Agronomic traits performance and stability of rice genotypes in highland ecosystem

KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI DAN STABILITAS
GENOTIPE PADI PADA EKOSISTEM DATARAN TINGGI

SHERLY RAHAYU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA
PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keragaan Karakter
Agronomi dan Stabilitas Genotipe Padi pada Ekosistem Dataran Tinggi
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak
cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.


Bogor, Januari 2013

Sherly Rahayu
NRP. A 253100171

ABSTRACT

SHERLY RAHAYU. Agronomic Traits Performance and Stability of Rice
Genotypes in Highland Ecosystem. Supervised by HAJRIAL ASWIDINNOOR
and DESTA WIRNAS.

Rice is the most important staple food in the world. Development of rice
cultivation area is needed to increase rice productivity through expanding of
marginal land especially in high-elevation areas of Indonesia. Temperature, solar
radiation and rainfall influence rice yield by directly affecting the physiological
processes involved in grain production. The effects of abiotic stress on grain yield
and yield components vary with growth stage, depending on variety and weather
condition. The major constraint of rice cultivation in high elevation area is lack of
cold tolerance varieties. The objectives of this research were to obtain the

information of agronomic traits performance and stability of rice genotypes to be
adapted in highland across three different high-elevations (700, 900 and 1200 m
above sea level). The rice genotypes derived from mutation induction and
hybridization treatment were cultivated in dry season (2011) and rainy season
(2011/2012). Forty rice genotypes were used in dry season cultivation across two
different high-elevations (700 and 1200 m above sea level). Twenty five rice
genotypes were selected based on agronomic trait performance and grain yield in
dry season and then cultivated in rainy season across three different highelevations (700, 900 and 1200 m above sea level). Four stability analysis methods
i.e. Finlay- Wilkinson, Eberhart – Russel, Francis - Kannenberg and AMMI were
applied to analyze the stability of promising lowland rice lines. The results
showed that the difference of high elevations had influenced on yield in dry
season due to low air temperature (15ºC) during flowering period while there was
no significantly effect in rainy seasons across three different high elevation areas.
A minimum daily air temperature below 17°C in flowering period caused high
unfilled grain numbers, low filled grain percentage, reduced grain weight, low
panicle numbers, incomplete panicle extension, extended maturity date, extended
grain filling period and low yield which varied among genotypes. Stability
analysis indicated that some promising rice lines well adapted in different high
altitudes areas. There were 12 rice lines stable based on Finlay Wilkinson
method, Eberhart and Russell method (6 rice lines), Francis and Kannenberg

method (16 rice lines) and AMMI models revealed three stable rice lines. The OS30-199 mutant line produced the highest yield (4,69 ton/ha) among genotypes
observed which highly significant over check variety, Sarinah (3,42 ton/ha).
Keywords: rice, low temperature, agronomic trait, stability, high elevation

RINGKASAN

SHERLY RAHAYU. Keragaan Karakter Agronomi dan Stabilitas Genotipe Padi
pada Ekosistem Dataran Tinggi. Dibimbing oleh HAJRIAL ASWIDINNOOR dan
DESTA WIRNAS.
Beras merupakan sumber makanan pokok bagi sebagian besar penduduk di
dunia. Produksi beras perlu terus ditingkatkan untuk mengimbangi laju
pertumbuhan penduduk. Upaya untuk meningkatkan produktivitas padi dapat
dilakukan dengan perluasan areal tanam dengan memanfaatkan kawasan dataran
tinggi. Faktor penghambat budidaya padi di dataran tinggi yaitu sebagian besar
kultivar yang ditanam merupakan padi lokal yang memiliki karakter agronomi
yang kurang menguntungkan, seperti berumur dalam, tanaman yang tinggi, dan
produksi yang rendah. Berbagai faktor lingkungan turut mempengaruhi
pertumbuhan dan hasil padi di kawasan dataran tinggi. Oleh karena itu, penelitian
ini ditujukan untuk memperoleh informasi mengenai pengaruh ketinggian tempat
terhadap keragaan karakter agronomi dan produktivitas genotipe padi serta

mengetahui daya adaptasi dan stabilitas galur padi dataran tinggi.
Penelitian dilakukan selama dua musim tanam. Musim tanam pertama (MK
2011) dilakukan di dua ketinggian tempat (700 m dpl dan 1200 m dpl)
menggunakan 40 genotipe padi, sedangkan musim tanam kedua (MH 2011/2012)
dilakukan di tiga ketinggian tempat (700 m dpl, 900 m dpl dan 1200 m dpl)
menggunakan 25 genotipe yang dipilih berdasarkan keragaan karakter agronomi
dan hasil pada musim tanam pertama. Galur yang digunakan merupakan hasil
persilangan dan mutasi induksi. Analisis stabilitas dilakukan menggunakan
metode Finlay- Wilkinson, Eberhart – Russel, Francis – Kannenberg dan AMMI.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketinggian tempat mempengaruhi
keragaan karakter panjang malai, umur tanaman, jumlah gabah bernas, persentase
gabah isi, lama pengisian dan produksi GKG pada musim kemarau dengan adanya
cekaman suhu rendah (suhu minimum rata-rata 15°C) di ketinggian 1200 m dpl.
Nilai karakter tinggi tanaman yang lebih tinggi, umur panen yang lebih genjah,
lama pengisian biji yang lebih cepat dan jumlah gabah bernas yang lebih banyak
terdapat di ketinggian 700 m dpl disebabkan oleh kondisi lingkungan yang lebih
optimum untuk pertumbuhan tanaman. Produksi genotipe padi sawah tidak
menunjukan perbedaan yang nyata di ketiga ketinggian tempat pada musim hujan
dengan suhu minimum di atas 17ºC.
Semua karakter memiliki pengaruh genotipe yang berbeda nyata, kecuali

karakter jumlah anakan produktif yang tidak berbeda nyata di ketinggian 900 m
dpl dan 1200 m dpl, sehingga karakter ini tidak dipengaruhi oleh ketinggian
tempat dan cekaman lingkungannya. Semua karakter agronomi yang diamati
memiliki nilai koefisien keragaman tergolong rendah di ketinggian 700 m dpl.
Nilai koefisien keragaman yang tinggi terdapat pada karakter jumlah anakan
produktif dan karakter jumlah gabah bernas di ketinggian 900 m dpl. Koefisien
keragaman yang rendah dihasilkan pada kondisi lingkungan optimum dan
sebaliknya terjadi pada lingkungan bercekaman. Karakter utama yaitu jumlah
gabah bernas, memiliki nilai koefisien keragaman pada kategori sedang hingga
tinggi di tiga ketinggian tempat.

Korelasi negatif tingkat cekaman suhu rendah dengan keragaan karakter
agronomi terdapat pada karakter tinggi tanaman, jumlah gabah bernas per malai,
persentase gabah bernas, panjang malai dan bobot 1000 butir. Korelasi positif
tingkat cekaman suhu rendah terjadi pada karakter jumlah anakan produktif.
Sedangkan pada karakter panjang daun bendera, umur berbunga dan umur panen,
nilai rata-rata tertinggi terdapat pada ketinggian 900 m dpl.
Beberapa karakter agronomi yang memiliki korelasi positif sangat nyata
yang sama di ketiga ketinggian yaitu karakter jumlah anakan produktif dengan
produksi GKG, panjang malai dengan panjang daun bendera, karakter umur

berbunga dengan bobot 1000 butir, serta karakter persentase gabah isi dengan
jumlah gabah bernas dan produksi GKG.
Karakter yang memiliki pengaruh langsung bernilai positif yang besar dan
sama di ketiga ketinggian tempat yaitu karakter jumlah anakan produktif,
persentase gabah bernas dan bobot 1000 butir, dapat diindikasikan bahwa
karakter-karakter tersebut memiliki kontribusi besar terhadap hasil di ekosistem
dataran tinggi.
Galur OS-30-199 memiliki rata-rata hasil paling tinggi di lima lingkungan
pengujian yaitu 4,69 ton/ha. Produksi mencapai nilai optimal dengan suhu
minimum di atas 18°C dan lama penyinaran yang optimal pada musim kemarau.
Terjadi penurunan angka produksi GKG sebesar 2,5 ton/ha di ketinggian 700 m
dpl pada kondisi lama penyinaran yang lebih sedikit pada musim hujan.
Hasil analisis stabilitas mengindikasikan bahwa terdapat beberapa galur
yang stabil pada pengujian di lima lingkungan. Berdasarkan metode yang
dikembangkan oleh Francis dan Kannenberg, sebanyak enam belas genotipe yang
diuji mempunyai nilai CV yang rendah sehingga dapat dikatakan stabil.
Berdasarkan metode Finlay Wilkinson, galur C4-30-21. C8-10-25, IPB117-F-20,
RB-10-95, RB- 10-98, KN-20-124, KN-20-127, PK-20-133, C3-10-171, OS-30199, KK-10-249 dan CM-20-251 dikategorikan stabil karena memiliki nilai bi
yang tidak berbeda nyata dengan satu. Galur RB-30-82, KN-30-186, Kuning, dan
IPB97-F-13 beradaptasi baik pada lingkungan optimal, sedangkan galur KN-10111, PK-30-131, Randah Batu Hampa dan varietas pembanding Sarinah memiliki

daya adaptasi baik pada ketinggian 1200 m dpl pada MK 2011. Berdasarkan
metode Eberhart dan Russel (1966), galur IPB117-F-20, RB-10-95, C3-10-171,
OS-30-199, KK-10-249 dan CM-20-251 dikategorikan stabil karena memiliki
nilai bi tidak berbeda nyata dengan 1 dan nilai Sdi mendekati 0.
Berdasarkan metode AMMI, diketahui bahwa galur KN-10-111, KN-20-124
dan RB-10-98 merupakan galur yang stabil. Galur KK-10-249 adaptif di
ketinggian 900 m dpl. Galur C4-30-21, RB-10-95 dan KN-20-127 spesifik untuk
ketinggian 700 m dpl pada MK, sedangkan pada MH galur RB-30-82, IPB-117-F20 dan C3-10-171 memiliki daya adaptasi yang lebih baik. Galur PK-20-133
stabil di ketinggian 1200 pada MH sedangkan galur OS-30-199 dan Sarinah stabil
pada lingkungan dengan suhu terendah pada MK.

Kata kunci: padi, suhu rendah, karakter agronomi, stabilitas, dataran tinggi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB

KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI DAN STABILITAS
GENOTIPE PADI PADA EKOSISTEM DATARAN TINGGI

SHERLY RAHAYU

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Sintho Wahyuning Ardie, SP, M.Si


Judul Tesis

: Keragaan Karakter Agronomi dan Stabilitas Genotipe Padi
pada Ekosistem Dataran Tinggi

Nama

: Sherly Rahayu

NRP

: A253100171

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc
Ketua

Dr. Desta Wirnas, SP, M.Si

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pemuliaan dan Bioteknologi
Tanaman

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc

Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 28 Desember 2012

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur hanyalah milik Allah subhanahu wa ta’ala yang telah

memberikan segala karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat
diselesaikan dengan baik. Tesis ini berjudul Keragaan Karakter Agronomi dan
Stabilitas Genotipe Padi pada Ekosistem Dataran Tinggi.
Penulis

mengucapkan

terima

kasih

yang

setinggi-tingginya

yang

disampaikan kepada:
1. Dr. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc dan Dr. Desta Wirnas, M.Si selaku komisi
pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, dukungan dan
perhatian.
2. Dr. Sintho Wahyuning Ardie, SP, M.Si selaku dosen penguji luar komisi
pada ujian akhir tesis, Dr. Trikoesoemaningtyas M.Sc selaku ketua
program mayor PBT, serta dosen-dosen di Departemen Agronomi dan
Hortikultura IPB atas ilmu dan pengetahuan yang diberikan selama
menempuh pendidikan di IPB.
3. Kementrian Riset dan Teknologi sebagai sponsor biaya pendidikan dalam
Program Beasiswa Pascasarjana 2010 dan Prof (R). Dr. Mugiono (Alm)
sebagai penanggung jawab dana DIPA BATAN untuk penelitian ini.
4. Keluarga Bapak H. Adang, Bapak Dadang, Bapak H. Nono dan Bapak
Oma sebagai pemilik lahan sawah yang digunakan dalam penelitian ini
serta bantuan dan kerjasama yang telah diberikan selama penelitian
berlangsung.
5. Ibu Hj. Nemmi, Ayah H. Imran, adik-adik tercinta (Ayub Ilfandy, MS;
Ilhamdy, SE; dan Yashinta Rahayu) serta keluarga besar, atas dukungan,
semangat dan limpahan doa sehingga pendidikan ini dapat diselesaikan
dengan baik.
6. Suami tercinta, Faisal, SE dan anak-anak yang paling dicintai dan
disayangi Khaira Nasyitha Faisal dan Syafiq Abrar Faisal atas doa,
semangat, kerjasama dan perhatian yang besar dan tulus yang telah
diberikan selama penulis menempuh pendidikan di IPB.

7. Teman-teman PBT S2 dan S3 angkatan 2010 atas kekompakan, kerjasama
dan perhatian yang telah diberikan serta semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian pendidikan, penelitian dan penyusunan
tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi
bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.

Bogor, Januari 2013

Sherly Rahayu

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bukittinggi, pada tanggal 12 Juli 1981. Penulis
merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari ayah H. Imran dan Ibu Hj.
Nemmi. Penulis telah menikah dengan Faisal, SE pada tahun 2007 dan telah
dikaruniai sepasang buah hati bernama Khaira Nasyitha Faisal dan Syafiq Abrar
Faisal.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 01 Bukittinggi dan sekolah
menengah pertama di SMPN 10 Bandung. Tahun 1996, penulis melanjutkan
pendidikan di SMUN 5 Bandung. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S1)
jurusan Bioteknologi Tumbuhan, Fakulti Sains dan Teknologi, Universiti
Kebangsaan Malaysia pada tahun 2004.
Tahun 2006 hingga sekarang penulis bekerja sebagai staf peneliti di
kelompok Pemuliaan Tanaman, Bidang Pertanian, Pusat Aplikasi Teknologi
Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Jakarta.

DAFTAR TABEL
Halaman
1
2
3
4
5
6

7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Respon tanaman padi terhadap variasi suhu pada setiap fase pertumbuhan
Genotipe padi dataran tinggi yang digunakan dalam penelitian ...............
Analisis ragam dan kuadrat tengah harapan karakter agronomi genotipe
padi pada masing-masing lokasi................................................................
Analisis ragam gabungan model acak (5 lingkungan)…………………..
Analisis ragam pengaruh genotipe, lokasi, dan interaksi GxE terhadap
komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil padi dataran tinggi…
Nilai rata-rata karakter tinggi tanaman, umur berbunga dan umur panen
genotipe padi dataran tinggi di ketinggian 1200 m dpl dan 700 m dpl
pada ..........................................................................................................
Genotipe padi dataran tinggi yang digunakan dalam penelitian pada MH
2011/2012…................................................................................................
Analisis ragam karakter agronomi genotipe padi dataran tinggi di tiga
lokasi dengan perbedaan ketinggian tempat...............................................
Korelasi antar karakter agronomi galur padi dataran tinggi di ketinggian
700 m dpl ………………………………………………… …………..
Korelasi antar karakter agronomi galur padi dataran tinggi di ketinggian
900 m dpl…………………………………………………………………
Korelasi antar karakter agronomi galur padi dataran tinggi di ketinggian
1200 m dpl ….……………………………………………………………
Parameter genetik komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil
padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian………………………..
Pengaruh langsung dan tidak langsung antara komponen pertumbuhan,
komponen hasil terhadap hasil di ketinggian 700 m dpl.............................
Pengaruh langsung dan tidak langsung antara komponen pertumbuhan,
komponen hasil terhadap hasil di ketinggian 900 m dpl.............................
Pengaruh langsung dan tidak langsung antara komponen pertumbuhan,
komponen hasil terhadap hasil di ketinggian 1200 m dpl...........................
Analisis ragam pengaruh genotipe, lokasi, dan interaksi G x E terhadap
komponen hasil dan hasil padi dataran tinggi ……………………………
Rata-rata produksi GKG galur padi dataran tinggi di lima lingkungan.......
Parameter stabilitas hasil GKG genotipe padi dataran tinggi di lima
lingkungan pengujian……………………………………………………..
Analisis ragam AMMI genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan
pengujian.....................................................................................................

6
25
26
28
29

24
48
51
55
55
55
56
59
60
61
69
74
75
78

DAFTAR GAMBAR

1

Halaman
Bagan alir tahapan penelitian…………………………………………… 4

2

Skema siklus angiosperma tanaman ……………………………………

3

Suhu maksimum dan minimum di ketinggian 700 m dpl dan 1200 m dpl
pada MT 1 dan MT 2……………………………………………………

4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

7
29

Karakter jumlah gabah bernas per malai (A) persentase gabah bernas (B)
pada genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan ............. ……. .

33

Karakter jumlah gabah bernas per malai genotipe padi dataran tinggi di
lima lingkungan pengujian………………………………………….....
Karakter persentase gabah bernas genotipe padi dataran tinggi di lima

34

lingkungan pengujian …………………………………………………..

35

Diagram curah hujan di ketinggian 700 m dpl dan 1200 m dpl selama
dua musim tanam...................................................................................
36
Karakter jumlah anakan produktif genotipe padi di lima lingkungan....
37
Karakter jumlah anakan produktif genotipe padi berdasarkan lingkungan 37
Lama penyinaran matahari selama musim tanam pada ketinggian 700 m
dpl dan 1200 m dpl………………………………….………………….. 38
Distribusi frekuensi karakter panjang malai genotype padi dataran tinggi
di lima lingkungan pengujian..................................................................... 39
Karakter panjang daun bendera genotipe padi dataran tinggi berdasarkan
lingkungan………….……………………………………………………. 40
Karakter panjang daun bendera genotipe padi dataran tinggi di lima
lingkungan pengujian……………………………………………………. 41
Distribusi frekuensi karakter bobot 1000 butir genotipe padi dataran
tinggi di lima lingkungan pengujian …………………….……………… 42
Karakter bobot 1000 butir genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan
pengujian……………………………………………………………..…. 43
Distribusi frekuensi karakter produksi GKG genotipe padi dataran tinggi
di lima lingkungan pengujian…………………………………….……. . 70
Hasil genotipe padi dataran tinggi berdasarkan lingkungan di lima
lingkungan pengujian…………………………………………………… 71
Hasil GKG genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian..
72
2
Interpretasi parameter bi dan Sdi pada analisis stabilitas di lima
lingkungan………………………………………………………………
76
Biplot AMMI genotipe padi dataran tinggi pada lima lingkungan.........
79

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Data Klimatologi pada Ketinggian 700 m dpl...........................................
99
2 Data Klimatologi pada Ketinggian 1200 m dpl………………………….
100

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap persediaan makanan
pokok salah satunya beras, merupakan permasalahan yang masih belum dapat
teratasi. Peningkatan produksi padi dapat dicapai melalui pengelolaan budidaya
yang tepat. Keberhasilan budidaya tanaman padi ditentukan oleh jenis kultivar
yang digunakan dan areal pertanaman. Kedua faktor ini berperanan penting dalam
upaya peningkatan produktivitas. Berdasarkan data produktivitas padi, pada tahun
2007 produktivitas mencapai 4,71 ton/ha, tahun 2008 sampai 2010 meningkat
menjadi masing-masing 4,89 ton/ha, 4,99 ton/ha dan 5,02 ton/ha, tetapi pada
tahun 2011 mengalami penurunan dengan produktivitas 4,94 ton/ha (BPS 2012).
Salah satu penyebab menurunnya produktivitas padi di Indonesia merupakan
dampak konversi lahan sawah yang berlangsung pada tahun tertentu dan tidak
hanya menyebabkan hilangnya peluang produksi pada tahun yang bersangkutan
tetapi juga pada tahun-tahun berikutnya, atau bersifat kumulatif. Selama kurun
1981-1998 diperkirakan peluang produksi padi yang hilang akibat konversi lahan
sawah sekitar 233 juta ton gabah per tahun atau hampir setara dengan volume
impor beras yang jumlahnya sekitar 1,5 juta ton per tahun (Irawan et al. 2000).
Berbagai kendala ditemukan dalam rangka melestarikan dan meningkatkan
produksi padi di Indonesia. Salah satunya, keterbatasan lahan pertanian yang turut
menjadi faktor penghambat budidaya tanaman padi. Berbagai kawasan dengan
kondisi yang beragam terus dikembangkan untuk menjadi lahan yang potensial
bagi penanaman padi, di antaranya daerah dataran tinggi yang merupakan
sebagian besar kawasan di Indonesia. Salah satu pendekatan yang telah dikaji
untuk meningkatkan produktivitas lahan sawah adalah melalui pendekatan
varietas unggul (Balitpa 2003). Namun demikian hasil yang diperoleh masih
belum optimal.
Di Indonesia padi ditanam seluas 500,000 ha dengan ketinggian lebih dari
500 m dpl, dan biasa diselingi dengan tanaman hortikultura. Sebagian besar
kultivar yang digunakan merupakan padi lokal yang berumur 6-7 bulan.
Penanaman galur-galur varietas unggul padi sawah diharapkan mampu
meningkatkan produktivitas sehingga sistem usaha tani akan lebih kompetitif

2

dibandingkan dengan komoditas tanaman semusim lainnya khususnya pada
kawasan dataran tinggi.
Ekosistem dataran tinggi mempunyai rata-rata suhu selama musim
pertumbuhan bervariasi pada kisaran 20-38°C. Sementara itu, tanaman padi
sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu. Suhu rendah akan menginisiasi
terbentuknya malai, sedangkan jika suhu di bawah 15°C di malam hari dapat
menyebabkan buliran steril. Suhu di atas 21°C pada saat pembungaan dibutuhkan
untuk antesis dan penyerbukan (Lee 2001).
Tingkat toleransi tanaman padi terhadap berbagai cekaman lingkungan
sangat dipengaruhi oleh genotipe. Kultivar yang toleransi terhadap suhu rendah
dapat tumbuh sampai pada ketinggian 1230 m dpl. Padi dapat bertahan sampai
ketinggian 2300 m dpl di Filipina dan Himalaya Barat. Kultivar yang toleran
terhadap iklim dingin secara morfologi tidak berbeda dengan kultivar lainnya.
Tanaman padi dapat bertahan pada suhu 12°C pada tingkat semai, 15-17°C suhu
malam hari selama inisiasi malai dan suhu 21°C selama antesis (Shibata 1979).
Berbagai cara telah ditempuh untuk melakukan perbaikan sifat agronomis
tanaman yang sangat berpengaruh terhadap angka produksi. Di antaranya dengan
menambah variasi genetik tanaman dengan menggunakan teknik mutasi dan
persilangan. Pemuliaan tanaman dengan mutasi induksi merupakan cara yang
efektif untuk memperkaya plasma nutfah yang sudah ada dan sekaligus untuk
perbaikan varietas (Micke et al. 1990). Pemuliaan mutasi sangat bermanfaat untuk
perbaikan beberapa sifat tanaman saja dengan tidak merubah sebagian besar sifat
tanaman aslinya (Amano 2004). Pemuliaan dengan metode persilangan bertujuan
untuk menggabungkan semua karakter baik ke dalam satu genotipe baru,
memperluas keragaman genetik dan memanfaatkan vigor hibrida (Syukur et al.
2009)
Perakitan varietas padi sawah berdaya hasil tinggi dan toleran suhu rendah
merupakan alternatif pemecahan masalah pada daerah dataran tinggi dengan
cekaman suhu rendah. Pengaruh cekaman suhu pada beberapa ketinggian tempat
di dataran tinggi dapat memberikan perbedaan angka produksi padi bagi setiap
galur yang diuji. Hal ini merupakan faktor yang esensial untuk dipelajari secara
lebih mendalam dalam kerangka menghasilkan varietas padi dataran tinggi

3

dengan berbagai level ketinggian tempat maupun ketinggian tempat yang spesifik
untuk memperoleh hasil yang optimal.

Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memperoleh galur harapan padi
dataran tinggi dengan produktivitas tinggi. Tujuan khusus penelitian yang ingin
dicapai adalah :
1) Memperoleh informasi mengenai pengaruh ketinggian tempat terhadap
produktivitas genotipe padi dataran tinggi
2) Mempelajari keragaan karakter agronomi genotipe padi pada ekosistem
dataran tinggi
3) Mendapatkan informasi tentang stabilitas dan daya adaptasi genotipe padi
dataran tinggi pada tiga level ketinggian tempat.

Hipotesis Penelitian
Hipotesis pada penelitian ini adalah:
1)

Terdapat variabilitas genetik yang tinggi dari genotipe padi dataran tinggi
hasil persilangan dan mutasi induksi

2)

Terdapat genotipe padi dataran tinggi yang dapat beradaptasi pada beberapa
level ketinggian tempat

3)

Terdapat perbedaan daya hasil diantara genotipe padi yang diuji pada tiga
level ketinggian tempat

4)

Ketinggian tempat berpengaruh terhadap hasil/produktivitas padi.

4

Kerangka Pemikiran
Daya adaptasi tanaman sangat berpengaruh terhadap produksi tanaman.
Adanya interaksi di antara genotipe dan lingkungan menghasilkan perbedaan
fenotipe tanaman. Berbagai faktor lingkungan yang dapat menyumbangkan
pengaruh yang signifikan di antaranya ketinggian tempat yang dapat dikaitkan
dengan perbedaan suhu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dipelajari
interaksi antara beberapa genotipe padi dataran tinggi hasil mutasi induksi dan
persilangan terhadap tiga level ketinggian tempat serta melakukan analisis
stabilitas galur-galur padi dataran tinggi. Alur/kerangka pemikiran penelitian ini
disajikan pada Gambar 1.
Genotipe Padi untuk Target Dataran Tinggi Hasil Mutasi dan
Rekombinasi

Studi Keragaaan Genotipe Padi pada Cekaman Suhu Rendah di
Dua Ketinggian (700 dan 1200 m dpl) (Percobaan 1)

Studi Interaksi G x E dan Stabilitas pada Tiga Ketinggian
(700, 900 dan 1200 m dpl) (Percobaan 2)

Galur/Genotipe Kandidat Unggul untuk Dataran Tinggi

Gambar 1 Bagan alir tahapan penelitian

5

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Padi
Tanaman padi termasuk ke dalam divisio spermatophyta, sub divisio
Angiospermae, Kelas Monocotyledoneae, Ordo Graminales, Famili Gramineae,
dan Genus Oryza. Terdapat dua spesies budidaya yaitu Oryza sativa dan Oryza
glaberrima. Oryza sativa ditanam oleh banyak negara di dunia tetapi Oryza
glaberrima hanya ditanam di sebagian besar Afrika Barat. Oryza sativa kemudian
diklasifikasikan menjadi tiga sub spesies berdasarkan distribusi secara geografi
dan karakter morfologi yaitu japonica, indica, dan javanica (Takahashi 1984).
Padi memiliki jumlah kromosom bervariasi diantara 24-48 dengan n=12.
Berdasarkan perpasangan kromosom pada fase meiosis, padi mempunyai genom:
AA, BB, CC, EE dan FF untuk spesies diploid dan BBCC dan CCDD untuk
spesies tetraploid. Spesies padi diploid 2n=24 telah dibudidayakan pada berbagai
kondisi lingkungan. O. sativa banyak dibudidayakan di Asia Tenggara dan Asia
Selatan dan spesies O. rufipogon dan O. nivara yang merupakan tetua dari O.
glaberrima banyak dibudidayakan di Afrika Barat (Vaughan 1989).
Tipe japonika mempunyai karakter agronomis seperti berumur lebih
panjang, struktur tanaman tinggi, mempunyai bulu pada ujung gabah, dan biji
berukuran agak besar. Sedangkan tipe indica mempunyai ciri sebaliknya yaitu
umur tanaman lebih genjah, biji berukuran lebih kecil dan ramping, tanaman
pendek dan tidak berbulu pada bagian palea. Javanica memiliki ciri diantara
keduanya (Matsuo et al. 1995).
Pertumbuhan tanaman dibagi menjadi tiga tahapan yaitu tahapan
pertumbuhan vegetatif, reproduktif dan pengisian biji atau tahap pematangan.
Tahapan vegetatif dimulai dari perkecambahan, kemunculan daun,

hingga

membentuk anakan. Pemanjangan batang, munculnya daun bendera, fase bunting,
heading dan pembungaan termasuk pada tahapan reproduktif, sedangkan tahapan
pengisian biji merupakan tahapan pematangan yang merupakan akhir dari
pertumbuhan padi. Bagian vegetatif terdiri dari tiga bagian yaitu akar, batang dan
daun (Counce et al. 2000).

6

Pertumbuhan padi sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, terutama
suhu. Respon padi terhadap variasi suhu pada fase pertumbuhan (Yoshida 1977)
disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Respon tanaman padi terhadap variasi suhu pada setiap fase pertumbuhan
Fase Pertumbuhan
Perkecambahan
Bibit
Perakaran
Pemanjangan daun
Pembentukan anakan
Inisiasi malai
Diferensiasi malai
Antesis
Pematangan biji

Rendah
10
12-13
16
7-12
9-16
15
15-20
22
12-18

Temperatur Kritis (°C)
Tinggi
Optimum
45
20-35
35
25-30
35
25-28
45
31
33
25-31
38
35
30-33
30
20-23

Fotoperiode pertama dilaporkan oleh Garner dan Allard (1920), dan
kemudian tanaman dikelompokan pada tiga kategori berdasarkan respon
fotoperiode yaitu: tanaman hari pendek, hari panjang dan hari netral. Setiap
tanaman memiliki fotoperiode yang berbeda.

Sebagian besar kultivar padi

merupakan tanaman hari pendek yang memiliki fotoperiode sensitif. Terjadi
penundaan fase berbunga pada kultivar yang memiliki fotoperiode sensitif apabila
lama penyinaran tidak optimum. Selain fotoperiode, intensitas cahaya dan suhu
juga mempengaruhi fase berbunga pada tanaman padi (Vergara & Chang 1985).
Fase awal pembentukan mikrospora merupakan tahapan reproduktif yang paling
sensitif terhadap cekaman suhu rendah. Polen yang terhasil dapat menjadi
abnormal apabila mengalami cekaman suhu rendah. Proses penghasilan polen
seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.

7

Gambar 2 Skema siklus angiosperma tanaman (Raven & Johnson 2002)
dalam Thakur et al. (2010)
Untuk

mengembangkan

varietas

padi

dengan

hasil

yang

tinggi,

diindikasikan mempunyai indeks panen 0.6 (60% gabah dan 40% berat tanaman).
Padi Tipe Baru yang banyak dikembangkan mempunyai ciri jumlah anakan
produktif yang tinggi,

malai panjang (200-250 gabah/malai), tinggi tanaman

berkisar 90-100 cm, batang yang tebal dan kokoh, sistem akar yang vigor dan
umur tanaman 100-130 hari. Dengan karakter ini diharapkan lebih banyak energi
pada tanaman yang digunakan untuk penghasilan biji sehingga akan
meningkatkan hasil sebanyak 20% (Peng et al. 2005).

Ekosistem Dataran Tinggi dan Pengaruhnya Terhadap
Pertumbuhan Padi
Kondisi lingkungan di Indonesia, khususnya temperatur udara memiliki
perbedaan berdasarkan ketinggian tempat. Suhu minimum berkisar pada 12,8°C –
16,6°C di ketinggian 1000 m dpl, sedangkan pada ketinggian 900 m dpl suhu

8

minimum berkisar antara 14,4°C - 21,0°C (Harahap 1979). Terjadi penurunan
suhu sebesar 0,6°C setiap kenaikan ketinggian tempat 100 m (Lockwood 1974).
Tanaman padi memiliki suhu kritis berkisar 10°C - 20°C terutama pada waktu
antesis dan pada fase mikrosporogenesis (Cruz et al. 2006). Selain dipengaruhi
oleh suhu, padi dataran tinggi tumbuh sebagai pertanian yang tergantung hujan,
membutuhkan curah hujan lebih dari 750 mm di atas periode 3-4 bulan dan tidak
bertoleransi terhadap kekeringan. Di Asia Tenggara kebutuhan rata-rata air untuk
irigasi padi adalah 1200 mm per sekali tanam atau 200 mm curah hujan per bulan
(Harahap 1979).
Menurut Darmawan dan Baharsjah (2010) pengaruh lingkungan terhadap
pertumbuhan yaitu:
a. Curah hujan, besarnya curah hujan mempengaruhi kadar air tanah
sehingga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.
b. Tinggi dari permukaan laut. Ketinggian suatu tempat mempengaruhi
suhu, intensitas cahaya matahari dan curah hujan.
c. Keadaan tanah, yang terdiri dari keadaan fisik tanah yang ditentukan
oleh tekstur, struktur tanah dan keadaan kimia tanah yang berkaitan
dengan kandungan zat hara di dalam tanah.
d. Suhu, mempengaruhi kecepatan pertumbuhan maupun sifat dan struktur
tanaman. Pertumbuhan tanaman padi memiliki suhu minimum 5°C, suhu
optimum 25-30°C dan suhu maksimum berkisar antara 35-40°C. Tetapi
suhu kardinal (suhu minimum, suhu optimum dan maksimum) sangat
dipengaruhi oleh jenis tanaman dan berbeda menurut umur tanaman.
Fluktuasi suhu udara siang dan malam hari juga berpengaruh terhadap
pertumbuhan.
e. Cahaya matahari yang terdiri dari intensitas cahaya, kualitas cahaya
(panjang gelombang) dan lamanya penyinaran (panjang hari) juga sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Pengaruh dari ketiga sifat
cahaya tersebut terhadap pertumbuhan tanaman adalah melalui
pembentukan klorofil, pembentukan stomata, pembentukan antocyanin
(pigmen merah), perubahan suhu daun atau batang, penyerapan hara,
permeabilitas dinding sel, transpirasi dan gerakan protoplasma.

9

Faktor yang menyebabkan bahaya cekaman suhu rendah terhadap tanaman
padi berasal dari temperatur udara yang rendah dan suhu air irigasi yang dingin.
Kedua komponen ini dapat digunakan dalam skrining tanaman toleran suhu
rendah. Suhu tertentu akan menyebabkan kerusakan bergantung pada genotipe
dan fase pertumbuhan padi (Kaneda & Beachell 1974).
Mekanisme yang tejadi pada tanaman selama cekaman suhu rendah yaitu
terjadinya low temperature photoinhhibition, dimana terhambatnya pemanfaatan
cahaya oleh tanaman pada proses fotosintesis. Fotoinhibisi berkaitan langsung
dengan kompleks protein fotosistem II (PS II). Untuk mengurangi fenomena ini,
maka diperlukan asam lemak tak jenuh phosphatidylglycerol yang terdapat dalam
membran tilakoid yang berkaitan dengan kompleks fotosistem II (Taiz & Zeinger
2002).
Fotosintesis dalam peranannya pada proses diferensiasi dan perkembangan
tanaman yaitu memperbesar kapasitas sink dengan menyediakan bahan dan energi
yang diperlukan untuk peningkatan hasil. Setelah pembentukan malai, fotosintesis
akan berperanan dalam proses pengisian gabah dengan cara menyediakan
karbohidrat (Murata & Nishida 1989). Tekanan yang terjadi pada fotosistem II
pada proses fotosintesis, dapat mempengaruhi morfologi tanaman dan ekspresi
gen yang terlibat selama aklimasi suhu rendah (Gray et al. 1997).
Fase berbunga diatur oleh gen dan faktor lingkungan. Cahaya (fotoperiode
dan kualitas cahaya) dan suhu merupakan faktor pengatur utama pada fase
pembungaan tanaman. Fotoperiode (panjang hari) merupakan signal lingkungan
yang paling penting untuk transisi pembungaan. Tanaman dapat mengenali dan
mengukur perubahan panjang hari secara akurat untuk mengatur waktu berbunga.
Bahaya cekaman suhu rendah berbeda untuk setiap kultivar, pada suhu 15°C
selama 4 hari pada fase awal pembentukan mikrospora meningkatkan sterilitas
gabah pada kultivar yang toleran cekaman suhu rendah, sedangkan untuk kultivar
yang rentan terhadap cekaman suhu rendah mempunyai suhu kritis pada 17-19 °C.
Suhu rendah (12°C) selama dua hari tidak menyebabkan sterilitas, tetapi jika lebih
dari 6 hari menyebabkan sterilitas sebesar 100% (Satake 1969).

10

Waktu heading tanaman padi pada suhu rendah (23°C) berlangsung lebih
lambat dibandingkan dengan suhu normal (27°C). Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa gen Hd3a dan Hd1 memiliki peran penting selama fase
pembungaan. Ekspresi gen Hd3a berkurang pada suhu rendah selama fase
berbunga tetapi ekspresi gen Hd1 tidak dipengaruhi oleh perlakuan suhu yang
berbeda (23°C dan 27°C). Hal ini mengindikasikan bahwa penekanan ekspresi
gen Hd3a oleh suhu rendah menyebabkan terlambatnya waktu pembungaan (Luan
et al. 2009).
Waktu berbunga adalah tahapan yang paling sensitif terhadap cekaman suhu
rendah seperti yang telah dilaporkan oleh Enomoto (1933) dan Sakai (1937).
Terao et al. (1940) dalam percobaanya melaporkan bahwa tingkat sterilitas
maksimum terjadi pada cekaman suhu rendah pada fase meiosis yang terjadi pada
polen dan fase awal pembentukan malai. Penelitian lain menyatakan bahwa
tahapan yang paling sensitif terhadap cekaman suhu rendah yaitu pada fase
bunting, sekitar 11 hari sebelum heading (Kakizaki 1938). Tanaka (1962)
melaporkan bahwa pembungaan akan terhambat apabila suhu maksimum di
bawah 25°C dan yang paling mempengaruhi yaitu suhu minimum per hari.
Jumlah gabah hampa berkorelasi nyata dengan cekaman suhu rendah.
Jumlah polen per anter yang terhasil, lebih sedikit dan ukuran stigma lebih kecil
pada cekaman suhu rendah sehingga meningkatkan jumlah gabah hampa (Farrell
et al. 2006). Telah dibuktikan bahwa spikelet dan malai merupakan organ yang
paling sensitif terhadap cekaman suhu rendah selama fase bunting, terutama anter
(Nishiyama et al. 1969). Posisi spikelet pada malai juga turut menentukan tingkat
sterilitas pada kondisi suhu rendah, spikelet yang berada pada ujung malai lebih
banyak yang steril dibandingkan dengan di bagian bawah (Nishimura 1987).
Beberapa gen pada padi seperti Ehd1, Ghd7 dan RID1/ Ehd2/OsId1 yang
berperan penting dalam fase berbunga telah dapat diidentifikasi, namun
mekanisme molekular respon tanaman terhadap suhu pada fase berbunga masih
belum diketahui secara jelas (Li & Jiang 2012). Ketahanan tehadap cekaman suhu
rendah dikendalikan oleh 5-7 gen dominan yang bersifat aditif (Toriyama 1962).
Cekaman suhu rendah selama tahap reproduksi pada padi dapat mengurangi
jumlah gabah, eksersi malai yang tidak sempurna dan meningkatnya sterilitas

11

gabah sehingga berakibat pada berkurangnya hasil (Han et al. 2006). Hal yang
serupa disampaikan oleh Lee (2001) yang menyatakan bahwa faktor lingkungan
utama yang menyebabkan panjangnya umur tanaman dan

persentase gabah

hampa yang tinggi yaitu besarnya cekaman suhu rendah pada kawasan dataran
tinggi yang berakibat pada sterilitas polen, fase vegetatif menjadi lebih panjang
dan terhambatnya proses pengisian biji pada tanaman padi.
Kultivar yang memiliki ketahanan terhadap cekaman suhu rendah dapat
diidentifikasi pada suhu kritis tanaman padi yaitu 19°C. Suhu di bawah 15°C
selama fase vegetatif berdampak terhadap klorosis daun, jumlah anakan sedikit
dan penundaan waktu berbunga (Jena & Jeung 2004). Bobot 1000 butir dan
ukuran gabah lebih kecil pada kondisi cekaman suhu rendah, sedangkan
kandungan protein lebih tinggi. Pengaruh cekaman suhu rendah bervariasi untuk
setiap genotipe (Zhao et al. 2009).
Angka pertumbuhan yang sama diperoleh dengan membandingkan kultivar
yang tahan dan rentan cekaman suhu rendah pada tingkat suhu dan durasi
perlakuan yang berbeda. Kultivar yang toleran suhu rendah masih dapat tumbuh
setelah perlakuan selama 5 hari pada suhu 12-14°C, sedangkan pada kultivar yang
rentan suhu rendah angka pertumbuhan yang sama didapatkan setelah
diperlakukan dengan suhu 17-20°C selama 4 hari (Nishiyama et al. 1969). Suhu
malam di bawah 5°C tidak menyebabkan kerusakan yang berarti. Oleh karena itu,
cekaman suhu rendah selama beberapa jam tidak menyebabkan sterilitas. Selain
tingkat cekaman suhu rendah, durasi berlangsungnya cekaman suhu rendah juga
merupakan faktor yang penting (Kashibuchi 1968).
Dua akibat utama yang disebabkan cekaman suhu rendah yaitu sterilitas dan
terlambatnya pertumbuhan. Sterilitas merupakan gagalnya penyerbukan yang
disebabkan adanya cekaman suhu rendah selama fase bunting dan pembungaan.
Sedangkan jenis kerusakan terlambatnya pertumbuhan ditandai dengan matang
yang tidak sempurna. Suhu kritis yang menyebabkan sterilitas bervariasi
berdasarkan durasi cekaman suhu rendah, perbedaan suhu siang dan malam,
kondisi lingkungan sebelum dan sesudah fase kritis, metode dan jumlah pupuk
yang digunakan dan jenis kultivar yang digunakan (Matsuo et al. 1995).

12

Bentuk kerusakan pada tanaman padi akibat cekaman suhu rendah berbeda
pada suatu daerah dengan daerah lainnya. Seperti di Korea, cekaman suhu rendah
berpengaruh terhadap fase bibit dan pematangan, di Nepal dan India suhu rendah
berpengaruh terhadap jumlah anakan dan fase berbunga. Di negara tropis dimana
penanaman dilakukan secara terasering, perbedaan suhu bergantung pada
ketinggian tempat. Oleh karena itu perlu dikembangakan varietas padi dataran
tinggi yang spesifik lokasi karena beragamnya kerusakan yang ditimbulkan
cekaman suhu rendah pada berbagai fase pertumbuhan yang berdampak terhadap
penurunan hasil (Nanda & Seshu 1979).
Di Indonesia, penanaman beberapa varietas padi pada ketinggian 700-1000
m dpl, memiliki hasil yang rendah dengan sterilitas tinggi yang disebabkan oleh
cekaman suhu rendah selama fase bunting dan berbunga (Harahap 1979).
Perbedaan tingkat cekaman suhu rendah akan mempengaruhi hasil dan komponen
hasil padi yang ditanam di berbagai kondisi lingkungan, khususnya dengan suhu
rendah yang bervariasi (Jiang et al. 2010).
Selain cekaman suhu rendah, lama penyinaran juga mempengaruhi sterilitas
tanaman. Diperlukan intensitas cahaya yang lebih banyak selama proses
fotosintesis untuk menghasilkan tanaman yang baik. Pengaruh cekaman suhu
rendah pada proses fotosintesis sangat kecil pada kondisi kurang cahaya,
disebabkan karena tingkat reaksi ditentukan oleh fotokimia. Fotosintesis dapat
berlangsung optimal pada kisaran suhu 15°C – 30°C. Aktivitas RuBP karboksilase
yang terlibat dalam fiksasi CO2 selama proses fotosintesis dapat bereaksi pada
kisaran suhu 10 – 40 °C, aktivitas meningkat seiring dengan peningkatan suhu
(Ishii et al. 1977). Laju fotosintesis berkurang drastis pada suhu di bawah 18°C
dan di atas 33°C, tetapi tidak terdapat perbedaan pada kisaran suhu 18 - 33°C,
namun demikian suhu optimum fotosintesis relatif berbeda untuk setiap genotipe
(Yamada et al. 1955).
Laju fotosintesis dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya; (a) kadar
CO2 (b) suhu, apabila intensitas cahaya cukup tinggi, maka suhu semakin tinggi
dan laju fotosintesis semakin meningkat (c) cahaya, terdiri dari tiga komponen
yaitu intensitas cahaya, kualitas cahaya dan lama penyinaran (d) air tanah (e)
kadar O2 (f) kandungan hara dalam tanaman dan (g) kandungan klorofil.

13

Kaitan antara fotosintesis dan respirasi yang berpengaruh terhadap
komponen hasil seperti jumlah anakan, jumlah malai, jumlah gabah per malai,
persentase gabah isi dan bobot gabah telah dipelajari oleh Matsushima 1957.
Fotosintesis berfungsi menyediakan bahan dasar yang berkontribusi terhadap
setiap komponen hasil, di sisi lain respirasi menyediakan energi yang diperlukan
selama tahapan diferensiasi dan pertumbuhan organ pada komponen hasil.
Peranan fotosintesis selama periode pembentukan sink dan akumulasi karbohidrat
sebagai sumber sink lebih besar dibandingkan peranannya pada periode
pertumbuhan. Kurangnya cahaya berdampak terhadap berkurangnya jumlah
bunga yang terhasil dan persentase gabah isi (Yoshida 1981).
Pengaruh cekaman suhu rendah terhadap tanaman lain juga telah dilaporkan
pada sorgum (Yu et al. 2004), tembakau (Kodama et al. 1994) dan strawberi
(Rajashekar et al. 1999).

Keragaan Karakter Agronomi Padi Dataran Tinggi
Beberapa karakter yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan produksi padi
yaitu jumlah malai, kapasitas sink, jumlah gabah total, panjang malai, efisiensi
pengisian gabah yang stabil dan potensi hasil yang tinggi (Chen 2008). Tingginya
persentase gabah bernas dan jumlah gabah total berkorelasi positif terhadap
produksi. Karakter utama yang menentukan produksi di lingkungan dengan
cekaman suhu rendah adalah umur tanaman dan persentase gabah bernas. Oleh
karena itu perlu ditingkatkan keragaan karakter agronomi diantaranya memiliki
umur lebih genjah dan persentase gabah bernas, jumlah malai dan panjang malai
yang lebih baik (Rasyad et al. 2012).
Daun merupakan organ utama yang berfungsi dalam menghasilkan dan
mengangkut asimilat, oleh karena itu permukaan daun yang lebih luas akan
menghasilkan gabah yang lebih banyak, disamping itu posisi daun bendera juga
memainkan peranan penting terutama tiga daun pertama dengan sudut yang kecil
akan berpengaruh terhadap fotosintesis (Chen et al. 2002).
Kemampuan membentuk anakan produktif dipengaruhi oleh interaksi antara
genotipe dan lingkungan tumbuhnya. Pada ekosistem dataran tinggi, pembentukan
anakan padi terhambat diakibatkan oleh suhu dan intensitas cahaya matahari yang

14

rendah (Endrizal 2012). Fageria (2007) melaporkan bahwa kultivar dengan jumlah
anakan yang banyak akan lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki anakan
sedikit pada lingkungan bercekaman, karena dapat mengimbangi produksi, namun
pada lingkungan optimal tidak memiliki pengaruh nyata. Kemampuan tanaman
menghasilkan anakan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan malai
yang berkorelasi kuat dengan hasil (Miller et al. 1991). Jumlah anakan sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti cahaya, suhu, densitas tanaman dan
nutrisi (Wu et al. 1998).
Kontribusi karakter agronomi lainnya yaitu persentase gabah bernas yang
memiliki kontribusi di lingkungan optimal sebesar 4%, sedangkan di lingkungan
marginal jauh lebih besar yaitu sebesar 69%, dapat diartikan bahwa karakter
persentase gabah bernas merupakan karakter utama di dataran tinggi dengan
cekaman suhu rendah. Struktur tanaman yang pendek akan meningkatkan indeks
panen dan meningkatkan biomasa hasil (Khush 1999). Kepadatan malai, jumlah
gabah per malai, bobot gabah dan jumlah gabah bernas merupakan komponen
hasil utama yang berkontribusi terhadap hasil (Fageria 2007).

Pemuliaan Tanaman Padi
Berbagai metode pemuliaan tanaman telah digunakan untuk meningkatkan
keragaman genetik tanaman di antaranya dengan teknik persilangan buatan,
pemuliaan mutasi dan bioteknologi (Poespodarsono 1988). Program pemuliaan
berupaya melakukan perbaikan terhadap keragaan dan produktivitas tanaman
padi. Penentuan ideotipe tanaman dalam pemuliaan sangat diperlukan untuk
meningkatkan potensi genetik karakter yang diinginkan dengan memodifikasi
karakter tersebut secara spesifik (Roy 2000).
Hibridisasi (persilangan) pada tanaman padi dapat menyebabkan terjadinya
kombinasi alela-alela yang dapat meningkatkan keragaman genetik. Penentuan
tetua merupakan tahap yang sangat penting karena akan menentukan keberhasilan
dari tujuan perolehan karakter yang diinginkan. Tetua yang digunakan harus
memiliki karakter yang diinginkan dan mempunyai adaptasi yang baik.
Keragaman yang tinggi dapat dihasilkan dengan menggunakan tetua yang
mempunyai kekerabatan yang jauh (Allard 1960).

15

Pemuliaan mutasi terhadap tanaman padi telah dimulai pada tahun 1980. Di
beberapa negara teknik ini banyak digunakan untuk menghasilkan tanaman
dengan hasil yang lebih baik untuk berbagai karakter dan ketahanan terhadap
hama dan penyakit tanaman. Di Cina sebanyak 145 varietas telah dihasilkan sejak
1966 dengan menggunakan sinar gamma dan perbaikan dilakukan terhadap
karakter agronomi dan fenotipik kualitas gabah (Carena. 2009).
Sebanyak 2541 varietas telah dilepas, sebagian besar dihasilkan dari hasil
mutasi induksi. Jenis tanaman yang paling banyak dihasilkan melalui mutasi
induksi yaitu sereal (1212 varietas) diikuti oleh kekacangan dan tanaman industri.
Padi merupakan tanaman jenis sereal yang terbanyak dihasilkan dari teknik mutasi
yaitu sebanyak 525 varietas diikui oleh barley (303 varietas) dan gandum (200
varietas) (Guimaraes 2010). Karakter utama pada padi yang mengalami banyak
perubahan yaitu umur panen, tinggi tanaman dan ketahanan terhadap penyakit
(Maluszynski et al. 1998).

Korelasi Genetik Karakter Agronomi
Koefisien korelasi genetik dapat bernilai positif atau negatif. Korelasi antara
dua sifat mengindikasikan bahwa perubahan pada suatu sifat juga turut
memberikan andil bagi perubahan lainnya. Terjadi peningkatan keragaan secara
bersama-sama bila koefisien bernilai positif dan berbanding terbalik bila koefisien
korelasi negatif. Perubahan pada suatu sifat tidak memberikan andil bagi
perubahan sifat lainnya jika tidak terdapat korelasi (Steel et al. 1977).
Limbongan (2008) melaporkan hasil penelitian tanaman padi pada
ketinggian 750 m dpl dan 1500 m dpl. Kedua lokasi memiliki bobot gabah relatif
lebih tinggi pada tanaman yang berumur genjah dan hal sebaliknya terjadi pada
tanaman yang berumur lebih panjang. Tingginya persentase gabah isi dan jumlah
gabah total per malai berkorelasi positif terhadap produksi (Rasyad et al. 2012).
Schnier et al. (1990) melaporkan karakter tinggi tanaman dan umur panen
berkorelasi negatif dan nyata. Sedangkan karakter panjang malai, persentase
gabah isi, dan bobot 1000 butir berkorelasi positif dan nyata terhadap hasil. Hasil
berkorelasi kuat dengan persentase gabah isi, tetapi berkorelasi lemah dengan
jumlah gabah per malai. Jumlah anakan yang kurang merupakan faktor pembatas

16

bagi pembentukan sink. Jumlah malai per meter per segi merupakan komponen
hasil terpenting yang berpengaruh sebesar 89% dari variasi hasil (Jones & Synder
1987).
Terdapat pengaruh langsung yang positif di antara karakter jumlah gabah
bernas per malai terhadap hasil, namun merupakan pengaruh terpenting kedua
setelah pengaruh langsung kepadatan malai. Pengaruh langsung jumlah gabah
hampa per malai terhadap hasil bersifat negatif, tetapi bila berasosiasi dengan
persentase gabah isi, maka pengaruhnya lebih besar (Gravois & Helms 1992).

Interaksi Genotipe x Lingkungan
Adanya interaksi genotipe x lingkungan (G x E) menunjukkan kegagalan
genotipe yang diuji memperlihatkan keragaan yang relatif sama dari satu
lingkungan ke lingkungan lainnya (Fehr 1987). Informasi menenai GxE sangat
berguna dalam menentukan apakah dapat dilakukan pengembangan suatu kultivar
di semua lingkungan yang diinginkan atau perlu dilakukan pengembangan
kultivar spesifik untuk lingkungan target yang spesifik (Bridges 1989).
Urutan relatif suatu varietas akan berubah dari tempat ke tempat dan dari
musim ke musim dengan adanya interaksi G x E. Suatu genotipe akan dapat
tumbuh dan berproduksi dengan sama baiknya di berbagai tempat atau lingkungan
pertumbuhannya jika tidak terdapat interaksi G x E sehingga varietas atau galur
dapat dikatakan stabil. Varietas yang stabil sangat penting untuk mengurangi
resiko akibat perubahan lingkungan yang sukar diramalkan seperti kesuburan
tanah, perubahan cuaca yang menyolo