Pengaruh Instrumen Moneter Syariah terhadap Pembiayaan Investasi di PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.
PENGARUH INSTRUMEN MONETER SYARIAH TERHADAP
PEMBIAYAAN INVESTASI
DI PT. BANK MUAMALAT INDONESIA, Tbk.
MAS „UDI FARIDATUSH SHAFIYAH
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ABSTRAK
MAS „UDI FARIDATUSH SHAFIYAH. Pengaruh Instrumen Moneter Syariah
terhadap Pembiayaan Investasi di PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. Dibimbing
oleh IRFAN SYAUQI BEIK.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh instrumen moneter syariah
dan variabel kinerja Bank Muamalat terhadap program pembiayaan investasi di
Bank Muamalat Indonesia. Data yang digunakan merupakan data dari laporan
keuangan Bank Muamalat mulai dari Juli tahun 2002 hingga Juni tahun 2012.
Metode yang digunakan adalah metode vector autoregression (VAR) dengan
tujuh variabel, yaitu SBIS, PUAS, pembiayaan investasi, margin, dana pihak
ketiga, profit loss sharing dan non performing financing. Hasil metode VAR
menunjukkan bahwa SBIS kurang berpengaruh signifikan daripada instrumen
PUAS, sedangkan margin, dana pihak ketiga (DPK), profit loss sharing dan non
performing financing sebagai variabel kinerja perbankan syariah memberikan
pengaruh signifikan terhadap pembiayaan investasi di Bank Muamalat.
Kata kunci: instrumen moneter syariah, pembiayaan investasi Bank Muamalat,
VAR/VECM
ABSTRACT
MAS „UDI FARIDATUSH SHAFIYAH. The Impact of Islamic Monetary
Instruments towards Investment Financing in PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.
Supervised by IRFAN SYAUQI BEIK.
This study examines the impact of islamic monetary instruments and
performance variables of Bank Muamalat towards investment financing of Bank
Muamalat Indonesia. This research utilizes data taken from bank Muamalat
Indonesia for the period of 2002 until June 2012. The study uses vector
autoregression method (VAR) with seven variables, comprising SBIS, PUAS,
investment financing, margin, depositors fund, profit loss sharing and non
performing financing. The results show that SBIS does not significantly affect
investment financing as compared to PUAS instrument. Investment financing is
affected significantly by margin, profit loss sharing, and non performing financing
variables.
Keywords: islamic monetary instruments, investment financing of Bank
Muamalat, VAR/VECM
PENGARUH INSTRUMEN MONETER SYARIAH TERHADAP
PEMBIAYAAN INVESTASI
DI PT. BANK MUAMALATINDONESIA, Tbk.
MAS „UDI FARIDATUSH SHAFIYAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Pengaruh Instrumen Moneter Syariah terhadap Pembiayaan
Investasi di PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.
Nama
: Mas „Udi Faridatush Shafiyah
NIM
: H14090001
Disetujui oleh
Irfan Syauqi Beik, Ph.D
Pembimbing
Diketahui oleh
Dedi Budiman Hakim, Ph.D
Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2012 ini ialah
pembiayaan investasi, dengan judul Pengaruh Instrumen Moneter Syariah
terhadap Program Pembiayaan Investasi di PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Irfan Syauqi Beik selaku
pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu
Dwiyanti dari Muamalah Institute yang telah membantu selama pengumpulan
data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, ayah, suami, serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2013
Mas ‘Udi Faridatush Shafiyah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
5
METODE
Metode Pengolahan dan Analisis Data
16
17
GAMBARAN UMUM
20
HASIL DAN PEMBAHASAN
24
Uji Pra Estimasi
24
Uji Kausalitas Granger
26
Hasil Estimasi VECM
27
SIMPULAN DAN SARAN
31
Simpulan
32
Saran
32
DAFTAR PUSTAKA
33
LAMPIRAN
35
RIWAYAT HIDUP
47
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Perkembangan jumlah BUS, UUS dan BPRS
Pertumbuhan aset, DPK dan PYD Bank Muamalat
Perkembangan volume transaksi PUAS
Hasil uji stasioneritas variabel
Hasil uji lag optimum variabel
Hasil uji stabilitas VAR variabel
Hasil uji kointegrasi variabel
Hasil uji kausalitas granger
Hasil estimasi VECM
Hasil FEVD terhadap pembiayaan investasi
2
3
12
24
25
25
26
26
27
31
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Perkembangan pembiayaan Bank Muamalat
Kerangka pemikiran
Perkembangan SBIS
Perkembangan pembiayaan Bank Muamalat
Hubungan antar variabel
Hasil IRF instrumen moneter syariah terhadap pembiayaan investasi
Hasil IRF sistem bagi hasil terhadap pembiayaan investasi
Hasil IRF DPK dan NPF terhadap pembiayaan investasi
Hasil FEVD terhadap pembiayaan investasi
3
15
22
23
25
29
30
30
31
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
Surat keterangan riset
Struktur organisasi Bank Muamalat Indonesia
Hasil uji stasioneritas
Hasil analisis VAR/VECM
35
36
37
41
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dunia usaha merupakan penggerak dan penyelamat perekonomian global.
Suatu negara dikatakan maju apabila jumlah pengusaha mencapai minimal angka
dua persen dari total penduduk. Angka 2 persen dari jumlah populasi penduduk
merupakan parameter dunia untuk menetapkan memiliki kekuatan ekonomi
standar suatu negara. Jumlah pengusaha Indonesia pada tahun 2012 mencapai
angka 1.56 persen atau 3.8 juta jiwa dari 245 juta penduduk. Untuk mencapai dua
persen, Indonesia masih membutuhkan kurang lebih 1.1 juta wirausaha agar
memiliki perekonomian yang relatif kuat dan mampu bersaing (Kementerian
KUKM 2012).
Dunia usaha menopang perekonomian karena mampu menurunkan tingkat
pengangguran melalui perluasan kesempatan lapangan kerja yang diciptakan.
Penyerapan tenaga kerja pada sektor ini mencapai 91.8 juta orang pada 55.2 juta
unit usaha dan mampu memberikan kontribusi sebesar 56.5 persen pada Produk
Domestik Bruto (BPS 2011).
Jumlah pengusaha masih relatif rendah jika dibandingkan dengan jumlah
sumberdaya manusia Indonesia. Menurut World Economic Forum 2012-2013,
daya saing Indonesia hanya menduduki peringkat ke 50 dari 144 negara. Kendala
rendahnya seorang individu dapat meraih keinginannya menjadi seorang
wirausaha adalah akibat kurang adanya perencanaan bisnis yang matang,
kemampuan manajerial dan keterampilan sumberdaya manusia Indonesia yang
masih tergolong kurang handal. Di samping itu, kendala lain yang lebih
fundamental adalah faktor modal dan investasi. Modal dan investasi diperlukan
untuk mendirikan dan mengembangkan sebuah usaha. Hanya sedikit yang
memanfaatkan peminjaman modal pada bank dan lembaga keuangan lainnya,
karena menganggap persyaratannya yang rumit, proses lama dan tingginya suku
bunga kredit. Pengusaha yang sudah sukses justru memiliki akses lebih mudah
untuk memperoleh dana dibandingkan seorang pemula.
Proses untuk meminjam modal di bank bila ditinjau lebih jauh tidak sesulit
yang dibayangkan, mulai dari persyaratan hingga prosesnya. Dewasa ini, calon
pemohon modal cenderung semakin memahami kurangnya konsep yang
diterapkan perbankan konvensional. Oleh karena itu, pada tahun 1992 industri
perbankan di Indonesia mulai menerapkan sistem dual-banking dimana Bank
Umum Konvensional berjalan secara paralel dengan Bank Umum Syariah. Sistem
yang dikembangkan ini merupakan upaya suatu bank agar dapat terus bersaing
memenuhi minat masyarakat yang beralih pada bank syariah. Bank syariah
merupakan alternatif pembiayaan bagi sektor-sektor dalam perekonomian nasional.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menjadi
dasar pengembangan industri perbankan syariah nasional. Tabel 1.1 menunjukkan
perkembangan jumlah Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS)
dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dalam kurun waktu empat tahun
terakhir.
2
Tabel 1.1 Perkembangan jumlah BUS, UUS dan BPRS
Jenis Bank
2009 2010 2011
Bank Umum Syariah
Unit Usaha Syariah
Bank Perkreditan Rakyat Syariah
2012
6
11
11
11
25
23
24
24
138
150
155
156
ª Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia (2012)
Pada fungsi utamanya sebagai lembaga intermediasi, bank berperan
sebagai penghubung antara pihak surplus dengan pihak defisit dalam
perekonomian. Terdapat perbedaan mendasar dalam menjalankan fungsi ini antara
konsep bank konvensional dan bank syariah, sehingga perlu dipahami secara
benar landasan filosofis bank syariah yang membedakannya secara prinsip dengan
bank konvensional. Penyaluran dana pada bank konvensional disebut dengan
kredit, sedangkan penyaluran dana yang dilakukan oleh bank syariah disebut
sebagai pembiayaan.
Pada prinsipnya, bank syariah tidak meminjamkan uang pada nasabah.
Bank syariah hanyalah sebagai perantara penyedia barang yang diperlukan
nasabah dan nasabah dapat mengembalikan apa yang dibutuhkan. Bank bertindak
sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli yang dapat membayar secara
angsuran. Tugas lain adalah bank syariah melakukan pembiayaan dengan
menyertakan modal usaha ataupun membiayai kebutuhan nasabah tanpa adanya
pembungaan saat pengembalian.
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Pasal 1) disebutkan bahwa, “tugas bank umum syariah adalah
menghimpun dana dalam bentuk investasi berupa deposito, tabungan, atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad mudharabah atau akad
lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah”. Berdasarkan undang-undang
tersebut, prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan bank syariah
meningkat signifikan pada tahun 2013 dengan laju pertumbuhan sebesar 40.06
persen. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan pembiayaan dari Rp 96.62 triliun
menjadi Rp 135.58 triliun. Peningkatan pembiayaan ini mengindikasikan
peningkatan kinerja sektor riil mengingat bahwa pembiayaan yang diberikan
(PYD) perbankan syariah sebagian besar disalurkan ke sektor riil. Wujud
dukungan perbankan syariah terhadap sektor riil di Indonesia sudah sangat nyata,
terutama untuk sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang porsi
pembiayaannya di seluruh Indonesia mencapai lebih dari 61.25 persen dari total
pembiayaan atau Rp 83.09 triliun (BI 2013).
Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank syariah pertama di
Indonesia mampu menunjukkan kemampuannya dalam mengelola keuangan. Hal
ini terbukti bahwa Bank Muamalat sebagai bank yang pertama kali menerapkan
prinsip bagi hasil mampu tetap stabil ditengah krisis moneter 1997. Kerapuhan
suatu bank dapat terjadi akibat sebuah prinsip yang digunakan suatu bank yaitu
bunga (Antonio 2003). Bank Muamalat hingga saat ini memiliki peran signifikan
3
dalam pertumbuhan perbankan nasional. Saat ini Bank Muamalat memiliki 76
Kantor Pusat Operasional, 140 Kantor Cabang Pembantu dan 145 Kantor Kas
yang tersebar di seluruh Indonesia.
Tabel 1.2 Pertumbuhan aset, DPK dan PYD Bank Muamalat (juta rupiah)
2009
2010
2011
2012b
Aset
16,064,093 21,442,596 32,479,506 32,689,318
Dana Pihak Ketiga
818,223
759,975
1,080,051
629,766
Pembiayaan
5,485,772
6,906,582
9,094,435 10,947,636
ªSumber: Bank Muamalat 2012; bJangka waktu sampai Juli 2012
Kesimpulan dari tabel diatas adalah bahwa PYD Bank Muamalat semakin
meningkat tiap tahunnya. Dana yang disalurkan ini dapat berbentuk pembiayaan
konsumtif maupun produktif. Pembiayaan produktif dinilai dapat meningkatkan
pendapatan per kapita nasional karena dipengaruhi sisi permintaan dan penawaran,
sedangkan pembiayaan konsumtif hanya dipengaruhi sisi permintaan. Gambar 1.1
menunjukkan perkembangan pembiayaan di BMI dimana terdapat gap yang
semakin besar antara dana yang disalurkan untuk pembiayaan investasi dengan
pembiayaan total yang diberikan.
Pembiayaan
Perkembangan pembiayaan
30,000,000
25,000,000
20,000,000
PYD
INV
15,000,000
10,000,000
5,000,000
0
Tahun
Gambar 1.1 Perkembangan pembiayaan BMI (juta rupiah)
Penyaluran dana berupa pembiayaan syariah ini dipengaruhi oleh faktor
ekonomi dan non-ekonomi. Dari sisi ekonomi pembiayaan dapat dipengaruhi
instrumen moneter syariah baik pada Pasar Uang Antar Perbankan Syariah
(PUAS) ataupun berupa instrumen Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS).
4
Instrumen moneter berbasis syariah merupakan alat untuk menghimpun dana
jangka pendek sehingga dana tersebut tidak digolongkan sebagai dana angguran.
Instrumen moneter bukan ditujukan sebagai alat investasi utama suatu bank. Oleh
karena itu, pengaruh instrumen moneter terhadap dana yang dialokasikan untuk
pembiayaan perlu diteliti lebih lanjut terhadap perkembangan usaha di Indonesia.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Instrumen Moneter Syariah
terhadap Pembiayaan Investasi di Bank Muamalat”.
Perumusan Masalah
UMKM memiliki banyak peran pada sektor riil dalam pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Oleh karena itu sudah sewajarnya bila Bank Sentral dan
pemerintah memberikan perhatian terhadap pengembangan usaha tersebut,
termasuk perbankan dalam penyaluran dana.
Lahirnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 1 Tahun 2004 tentang
diharamkannya bunga karena ia adalah riba turut berpengaruh dalam pesatnya
pertumbuhan perbankan syariah. Antonio (2007) menyatakan bahwa riba adalah
pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam
secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Membungakan uang oleh bank di seluruh dunia, telah memberikan pendapatan
yang tetap dan pasti bagi bank. Sementara itu, Lembaga Keuangan Syariah adalah
lembaga yang didasarkan pada prinsip bagi hasil atas pembiayaan. Prinsip bagi
hasil ini tentu dapat membantu masyarakat, terutama rakyat kecil untuk
melepaskan diri dari jeratan tengkulak yang pada umumnya melakukan riba.
Pengetahuan masyarakat yang semakin terbuka dan lebih memilih syariah
yang lebih adil dan sesuai dengan ajaran Islam membuat mereka semakin yakin
untuk melakukan transaksi dengan bank syariah, baik dalam urusan jual beli
maupun urusan kemitraan usaha. Mekanisme transmisi moneter syariah
merupakan salah satu faktor yang turut memengaruhi kegiatan pembiayaan
investasi Bank Muamalat. Aset Bank Muamalat yang diinvestasikan pada
instrumen moneter dapat memperkecil penyaluran dana dalam peran pembiayaan.
Adapun perumusan masalah yang akan diteliti yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaruh instrumen moneter syariah terhadap pembiayaan
investasi yang diberikan Bank Muamalat?
2. Bagaimanakah pengaruh variabel kinerja Bank Muamalat terhadap
pembiayaan investasi yang diberikan Bank Muamalat?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian terhadap pembiayaan investasi adalah sebagai berikut:
5
1. Melihat pengaruh instrumen moneter syariah terhadap pembiayaan
investasi yang diberikan Bank Muamalat.
2. Melihat pengaruh variabel kinerja Bank Muamalat terhadap pembiayaan
investasi yang diberikan Bank Muamalat.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca baik
bagi praktisi, kalangan akademisi, maupun penulis.
1. Bagi praktisi, dapat menyalurkan ide usaha yang telah direncanakan
dengan bantuan yang akan dapat diperolehnya melalui sistem syariah.
2. Bagi akademisi, dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian
selanjutnya ataupun menambah pemahaman untuk para akademisi yang
lain terkait pembiayaan investasi syariah.
3. Bagi penulis, menambah pengetahuan dan pemahaman terkait pembiayaan
investasi syariah dan dampak yang dihasilkannya terhadap para pengusaha.
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Mekanisme Transmisi Moneter
Kebijakan moneter ganda di Indonesia menggunakan instrumen kebijakan
moneter yang dinamakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berdasarkan suku bunga
pada sistem konvensional dan SBI Syariah (SBIS) berdasarkan bagi hasil untuk
perbankan syariah yang sama-sama mengacu pada SBI rate. SBI rate dan bagi
hasil SBIS merupakan tolok ukur kebijakan yang dapat memengaruhi pinjaman
dan pembiayaan baik melalui pasar uang konvensional maupun syariah.
Selanjutnya hal ini memengaruhi tingkat pengembalian dari penyaluran dana
berupa kredit dan pembiayaan yang pada akhirnya akan memengaruhi tingkat
output dan inflasi (Ascarya 2012).
Berdasarkan sudut pandang konvensional, mekanisme transmisi moneter
bekerja melalui jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset dan
jalur ekspektasi. Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara
kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang
rendah dan stabil. Suku bunga kebijakan BI rate ditetapkan Bank Indonesia
sebagai instrumen kebijakan utama untuk memengaruhi aktivitas kegiatan
perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi. Namun jalur atau transmisi
dari keputusan BI rate sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat
kompleks dan memerlukan waktu (time lag).
6
SUKU
BUNGA
SBI
SBIS
KREDIT
DISTRIBUSI
PUAK
OUTPUT
PUAS
INFLASI
PLS
PEMBIAYAAN
Gambar 2.1 Mekanisme transmisi moneter
Transmisi kebijakan moneter dibuat sejak dipisahkannya otoritas kebijakan
moneter dengan kebijakan fiskal. Otoritas moneter diberlakukan pada saat
pengembangan bank sentral dari bank sirkulasi, karena tingkat inflasi uang kertas
yang tinggi, sehingga tugas bank sentral bertambah dengan mengawasi penawaran
uang yang beredar untuk mengatur inflasi. Hal ini tidak perlu dilakukan ketika
uang memiliki nilai intrinsik seperti koin Dinar dan Dirham pada masa keislaman.
Pada perekonomian konvensional yang mendominasi, ekonomi Islam muncul
pada negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam dengan sistem uang kertas
dan bank sentral. Oleh karena itu, kebijakan moneter syariah dan proses
transmisinya mulai tumbuh.
Penerapan Lembaga Keuangan Syariah tidaklah berbeda jauh dengan sistem
keuangan konvensional, hal ini dapat dilihat bahwa instrumen kebijakan moneter
syariah mirip dengan yang instrumen kebijakan konvesional. Sejak kedua sistem
memiliki persamaan dan perbedaan, sistem transmisi kebijakan moneter syariah
memang dapat dikatakan sama ataupun berbeda dengan konvensional (Ascarya
2012).
Chapra (1985) sebagai pencetus ekonomi moneter Islam tidak menjelaskan
secara spesifik tentang transmisi kebijakan moneter syariah. Pengembangan teori
moneter syariah juga tidak menjelaskan hal itu, termasuk mekanismenya (Siddiqui
2007). Walaupun begitu, terdapat beberapa studi empiris yang mengangkat topik
untuk melihat karakter transmisi kebijakan moneter syariah seperti yang dilakukan
Sukmana dan Kassim (2010) dalam penelitiannya yang melihat pengaruh
transmisi kebijakan moneter melalui jalur pembiayaan terhadap pertumbuhan
sistem ekonomi perbankan syariah.
Instrumen Moneter
Kebijakan moneter adalah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah atau
penguasa moneter untuk memengaruhi jumlah uang yang beredar dan kredit yang
7
pada akhirnya memengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat. Tujuan kebijakan
moneter terutama untuk stabilitas ekonomi dapat diukur dengan kesempatan kerja,
kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Jika
kestabilan dalam kegiatan ekonomi terganggu, maka kebijaksanaan moneter
dapat dipakai untuk memulihkannya. Dengan kata lain, kebijakan moneter
ditetapkan pemerintah untuk menjaga agar jumlah uang yang beredar di
masyarakat tetap stabil sehingga tidak menyebabkan terjadinya inflasi.
Pemerintah memiliki dua jenis instrumen berdasarkan sudut pandang yang
berbeda, yaitu konvensional dan syariah. Instrumen moneter syariah merupakan
alat untuk menginvestasikan dana yang dilakukan hanya untuk sementara waktu.
Semakin besarnya dana yang diinvestasikan pada instrumen moneter
mengindikasikan berkurangnya dana yang digunakan untuk pembiayaan. Demi
menjaga peran perbankan syariah yang optimal dalam perekonomian, tentu hal ini
menarik perhatian agar perbankan syariah meminimalisir pengalokasian dana
yang tidak terkait dengan dunia usaha. Ketersediaan instrumen moneter syariah
hendaknya disikapi sebagai penempatan dana sementara akibat kelebihan
likuiditas, bukan untuk mencari keuntungan yang seharusnya diperoleh dari
pembiayaan kepada sektor riil (Kahf 1995). Hal ini juga dijelaskan oleh Ismal
(2011) bahwa instumen moneter syariah yang mampu berkontribusi dalam
stabilisasi perekonomian adalah kelebihan likuiditas yang tidak digunakan untuk
instrumen moneter syariah melainkan dimanfaatkan ke dalam kegiatan usaha.
Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
Sertifikat Bank Indonesia adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek, yaitu 1-3
bulan dengan sistem diskonto atau bunga (BI 2012). SBI merupakan salah satu
mekanisme yang digunakan Bank Indonesia untuk mengontrol kestabilan nilai
rupiah. Dengan menjual SBI, Bank Indonesia dapat menyerap kelebihan uang
primer yang beredar. Tingkat suku bunga yang berlaku pada setiap penjualan SBI
ditentukan oleh mekanisme pasar berdasarkan sistem lelang. Sejak awal Juli 2005,
Bank Indonesia (BI) menggunakan mekanisme BI rate, yaitu BI mengumumkan
target suku bunga SBI yang diinginkan BI untuk pelelangan pada masa periode
tertentu. BI rate ini kemudian yang digunakan sebagai acuan para pelaku pasar
dalam mengikuti pelelangan.
Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI)
FASBI merupakan fasilitas yang diberikan BI kepada bank untuk
menempatkan dananya di Bank Indonesia dalam rupiah. Jangka waktu FASBI
maksimum 7 hari dihitung dari tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan
tanggal jatuh waktu. FASBI tidak dapat diperdagangkan, tidak dapat diagunkan,
dan tidak dapat dicairkan sebelum jatuh waktu (BI 2012).
Giro Bank Indonesia
Giro pada BI merupakan saldo rekening giro bank baik dalam rupiah
maupun dalam valuta asing di Bank Indonesia. Kegiatan bank meliputi
pengambilan dan penyetoran kas fisik, penyelesaian kewajiban kepada pihak lain,
penerimaan tagihan dari pihak lain (Dinda 2010).
8
Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
SBIS adalah instrumen moneter syariah pertama yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia pada tahun 2000. SBIS ini dimaksudkan untuk mengalokasikan
dana bila terjadi over-likuiditas harian. Instrumen likuiditas yang digunakan
sebelumnya adalah Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) dimana imbal hasil
yang ditawarkan tergolong pasif. Perbandingan SWBI dan Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) dinilai tidak sama, rate SBI berada di posisi yang lebih tinggi.
Penerbitan SBIS oleh BI berdasarkan PBI Nomor 10/11/PBI tanggal 31
Maret 2008 tentang SBIS dan menggantikan SWBI syariah dengan lebih baik.
Dalam PBI baru tersebut, SBIS didefinisikan sebagai surat berharga berdasarkan
prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan
oleh BI. SBIS menggunakan akad jualah. Dengan akad tersebut, maka bank
syariah yang menempatkan dana pada SBIS berhak mendapatkan upah (ujrah)
atas jasa membantu pemeliharaan keseimbangan moneter Indonesia. PBI
menyebutkan, SBIS dapat diagunkan kepada BI, tapi tidak bisa diperdagangkan di
pasar sekunder. Mekanisme penerbitan SBIS menggunakan sistem lelang.
Peserta yang diperbolehkan ikut hanya bank umum syariah (BUS) atau
unit usaha syariah dengan rasio minimal pembiayaan terhadap dana pihak ketiga
yang ditetapkan BI. Lelang pertama SBI syariah diikuti 13 bank syariah sebagai
peserta. Peserta lelang diantaranya Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank
Syariah Mandiri (BSM), dan Bank Mega Syariah (BMS). Selain itu, terdapat pula
10 UUS diantaranya Bank Permata Syariah, Bank BII Syariah, Bank Niaga
Syariah serta lima UUS BPD. Dana yang diajukan ke-13 bank syariah dalam
lelang perdana tersebut Rp 1.136 triliun. Semuanya diserap SBI Syariah dengan
imbal hasil 7.9 persen (BI 2012).
Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS)
Fasilitas pasar uang antar bank akan memberikan kemudahan pada bank
memanfaatkan dana yang sementara menganggur agar tetap dapat produktif. Bank
dapat melakukan investasi jangka pendek pada pasar uang antar bank ataupun
meminjam dana untuk memenuhi kebutuhan likuiditas jangka pendek. Pasar uang
antar bank merupakan wadah beredarnya surat-surat berharga yang berdasarkan
bunga. Hal ini membuat bank umum syariah tidak dapat memanfaatkan pasar
uang yang ada dikarenakan perbedaan prinsip yang dianut. Pada tahun 2002,
diciptakanlah pasar uang antar bank khusus berbasis syariah dalam rangka
mendukung bank syariah mengelola likuiditasnya yang dikenal dengan Pasar
Uang Antar Bank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS), sehingga bank syariah
dapat turut memanfaatkan pasar uang antar bank dengan nyaman.
Transaksi dalam PUAS menggunakan instrumen Sertifikat Investasi
Mudharabah Antar Bank Syariah (IMA). Sertifikat ini merupakan sarana investasi
bagi bank yang memiliki kelebihan dana untuk diputar dan memperoleh
keuntungan. Selain itu, Sertifikat IMA dapat digunakan pula sebagai sarana bagi
bank yang mengalami kekurangan dana untuk mendapatkan pinjaman jangka
pendek berdasarkan prinsip mudharabah (bagi hasil). Masalah ini telah diatur oleh
Bank Indonesia dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 14/1/PBI/2012 dan
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 38/DSNMUI/X.2002.
Tojibi menyatakan bahwa penerbitan Sertifikat Investasi Mudharabah
Antar Bank Syariah (IMA) harus memenuhi empat persyaratan sebagai berikut;
9
1. Mencantumkan hal-hal sebagai berikut;
a. Kata-kata “Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank”
b. Tempat dan tanggal penerbitan Sertifikat IMA
c. Nomor seri Sertifikat IMA
d. Nilai nominal investasi
e. Nisbah bagi hasil
f. Jangka waktu investasi
g. Tingkat indikasi imbalan
h. Tanggal pembayaran nominal dan imbalan
i. Tempat pembayaran
j. Nama bank penanam dana
k. Nama bank penerbit dan tanda tangan pejabat yang berwenang
2. Berjangka waktu paling lama 90 hari (sembilan puluh) hari.
3. Diterbitkan oleh kantor pusat Bank Umum Syariah atau Unit Usaha
Syariah.
4. Format Sertifikat IMA hendaknya mengikuti aturan yang telah ditetapkan
oleh Bank Indonesia. Bagi bank syariah yang telah menerbitkan Sertifikat
IMA wajib melaporkan kepada Bank Indonesia pada hari penerbitan
Sertifikat IMA tersebut mengenai hal-hal;
a. Nilai nominal investasi
b. Nisbah bagi hasil
c. Jangka waktu investasi
d. Tingkat indikasi imbalan Sertifikat IMA
Adapun mekanisme dan penyelesaian transaksi Sertifikat IMA dalam
pasar uang, yaitu sebagai berikut;
1. Sertifikat IMA yang diterbitkan oleh Bank Pengelola dana dalam rangkap
tiga, lembar pertama dan kedua tersebut wajib diserahkan kepada bank
penanam dana sebagai bukti penanaman dana, sedangkan lembar ketiga
digunakan sebagai arsip bagai bank penerbit dana.
2. Bank penanam dana pada Sertifikat IMA melakukan pembayaran kepada
bank penerbit Sertifikat IMA dengan menggunakan nota kredit melalui
kliring, atau Bilyet Giro Bank Indonesia dengan melampiri lembar kedua
Sertifikat IMA atau dengan transfer dana elektronik yang disertai dengan
penyampaian lembar kedua Sertifikat IMA kepada Bank Indonesia.
3. Pemindahtanganan Sertifikat IMA hanya dapat dilakukan oleh pihak bank
penanam dana pertama, sedangkan bank penanam dana kedua tidak
diperkenankan untuk memindah tangankan kepada bank lain sampai
berahirnya jangka waktu, artinya Sertifikat IMA hanya sekali dapat
dipindahtangankan. Hal ini dimaksudkan agar Bank Penerbit Sertifikat
IMA dapat melakukan pembayaran kepada bank yang berhak, oleh karena
itu bank pemegang sertifikat terakhir wajib memberitahukan kepemilikan
sertifikat tersebut kepada bank penerbit Serftifikat IMA.
4. Kemudian pada saat Sertifikat IMA jatuh tempo, penyelesaian transaksi
dilakukan oleh bank penerbit Sertifikat IMA dengan melakukan
pembayaran kepada pemegang sertifikat terakhir sebesar nilai nominal
investasi (face Value) dengan menggunakan nota kredit melalui kliring,
menggunakan Bilyet Giro BI atau menggunakan transfer dana secara
elektronik. Sedangkan imbalan Sertifikat IMA akan dibayar pada hari
10
kerja pertama bulan berikutnya. Selanjutnya penghitungan imbalan
Sertifikat IMA dihitung berdasarkan tingkat realisasi imbalan Sertifikat
IMA mangacu pada tingkat imbalan Deposito Investasi Mudharabah pada
bank penerbit sesuai dengan jangka waktu penanaman.
Sertifikat Berharga Lainnya
Penempatan dana dapat pula dilakukan oleh bank umum pada surat
berharga lainnya seperti Surat Berharga Negara (SBN). SBN terdiri dari Surat
Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), sebagaimana
yang diatur pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 14/16/PBI/2012. SUN
adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah
maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh negara
sesuai dengan masa berlakunya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
yang berlaku. SBSN atau yang biasa disebut Sukuk Negara adalah surat berharga
negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas penyertaan
terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing,
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang berlaku (BI 2012).
Pembiayaan Bank Syariah
Bank Islam atau dikenal dengan bank syariah adalah bank yang beroperasi
dengan tidak berdasarkan atas bunga. Bank syariah juga dapat diartikan sebagai
lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan
berlandaskan Al-Qur‟an dan Hadits. Arifin (2009) berpendapat bahwa bank
syariah didirikan dengan tujuan untuk mempromosikan dan mengembangkan
dasar prinsip-prinsip syariah Islam dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan
dan perbankan serta bisnis lainnya yang terkait. Prinsip utama yang diikuti oleh
bank Islam, yaitu:
1. Larangan riba dalam berbagai bentuk transaksi.
2. Melakukan kegiatan usaha dan perdagangan berdasarkan perolehan
keuntungan yang sah menurut Islam.
3. Memberikan zakat.
Tugas bank syariah adalah sebagai perantara dalam menyediakan barang
yang dibutuhkan seorang nasabah. Kegiatan perbankan syariah memiliki
komposisi penyaluran dalam bentuk pembiayaan perdagangan dan penyertaan
modal. Pada umumnya proporsi pada pembiayaan lebih besar dibandingkan dalam
bentuk penyertaan modal. Berdasarkan perjanjian pembiayaan antara pihak
nasabah dan pihak bank, bank syariah memiliki beberapa kontrak atau yang
disebut dengan akad dan dibagi menjadi tiga bagian kegiatan bank syariah, yaitu
kegiatan penghimpunan dana, kegiatan jasa keuangan dan kegiatan penyaluran
dana. Selanjutnya kegiatan penyaluran dana yang akan menjadi ruang lingkup
dalam penelitian ini.
Kegiatan Penyaluran Dana
Dana yang terdapat di bank, dapat disalurkan kembali oleh bank kepada
masyarakat, dengan menggunakan 3 prinsip pokok (Antonio 2001), yaitu:
11
1. Prinsip Jual Beli
Akad Murabahah : Perjanjian pembiayaan berupa transaksi jual beli suatu
barang sebesar harga perolehan barang ditambah dengan
margin yang disepakati oleh para pihak, dimana penjual
menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan
kepada pembeli.
Akad Istishna
: Perjanjian pembiayaan berupa transaksi jual beli barang
dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan
pembayaran sesuai dengan kesepakatan.
Akad Salam
: Perjanjian pembiayaan berupa transaksi jual beli barang
dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu
dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.
2. Prinsip Bagi Hasil
Akad Mudharabah : Perjanjian pembiayaan/penanaman dana dari pemilik
dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib)
untuk melakukan kegiatan usaha tertentu yang sesuai
syariah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua
belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya.
Akad Musyarakah : Perjanjian pembiayaan/penanaman dana dari dua atau
lebih pemilik dana dan/atau barang untuk menjalankan
usaha tertentu sesuai syariah dengan pembagian hasil
usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang
disepakati, sedangkan pembagian kerugian berdasarkan
proporsi modal masing-masing.
2. Prinsip Sewa
Akad Ijarah
Akad Qardh
: Perjanjian pembiayaan berupa transaksi sewa menyewa
atas suatu barang dan/atau jasa antara pemilik objek
sewa termasuk kepemilikan hak pakai atas objek sewa
dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek
sewa yang disewakan.
: Perjanjian pembiayaan berupa transaksi pinjam
meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak
peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara
sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.
Definisi pembiayaan menurut Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1998
Tentang Lembaga Pembiayaan pasal 1 ayat 2 memiliki sedikit perbedaan dengan
UU No. 10 Tahun 1998, yaitu kegiatan yang berbentuk penyediaan dana atau
barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung. Perbedaan istilah
terdapat pada objek perjanjian, dimana pada UU No. 10 Tahun 1998 yang menjadi
objek adalah uang sedangkan menurut Keppres No. 61 Tahun 1998 objeknya
adalah uang dan barang modal.
12
Pemisahan kedua objek perjanjian tersebut berimplikasi pada kedudukan
hukum para pihak dalam pembiayaan berdasarkan prinsip syariah bahwa
mengambil imbalan dari peminjaman uang akan menjadi riba, sedangkan
mengambil imbalan dari pembiayaan berupa barang modal disebut keuntungan.
Menurut istilah riba merupakan pengambilan tambahan dari harta pokok atau
modal secara batil. Ibnu Al-Maliki menjelaskan pengertian riba sebagai suatu
tambahan (ziyadah), namun dalam Al-Quran dijelaskan bahwa riba adalah setiap
penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau
penyeimbang yang dibenarkan syariah.
Antonio (2001) menjelaskan bahwa pembiayaan merupakan salah satu
tugas pokok dari bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk
memenuhi kebutuhan pihak yang merupakan deficit unit. Menurut sifat
penggunaannya, pembiayaan dibagi menjadi dua hal:
1. Pembiayaan konsumtif yaitu pembiayaan yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk
memenuhi kebutuhan.
2. Pembiayaan produktif yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha
produksi, perdagangan, maupun investasi. Menurut keperluannya,
pembiayaan produktif terbagi menjadi dua, yaitu pembiayaan modal kerja
dan pembiayaan investasi.
Pendekatan Bagi Hasil
Berbeda dengan bank konvensional yang menerapkan konsep bunga
sebagai keuntungan atas kredit yang diberikan, bank syariah menerapkan konsep
bagi hasil sebagai komponen terpenting dalam sistem moneter syariah dan
menjadi cerminan dari kinerja sektor riil. Sistem bagi hasil menyebabkan
distribusi kekayaan dan pendapatan yang semakin merata sehingga sektor riil
dapat tumbuh (Ayuniyyah 2010). Profit loss sharing sebagai konsep yang
diterapkan dalam sistem bagi hasil merupakan rasio bagi hasil antara musyarakah
dan mudharabah, dimana pada Bank Muamalat persentase pembiayaan
berdasarkan akad musyarakah dan mudharabah mencapai 38 persen.
Ada beberapa bentuk skema bagi hasil, yang dalam hal ini dibedakan
menurut dasar perhitungan pendapatan bagi hasil untuk masing-masing pihak
(Tarsidin 2010), yaitu;
1. Profit Sharing. Sebagai dasar perhitungan dengan keuntungan yang
diperoleh dari usaha yang dibiayai dengan kredit/pembiayaan. Keuntungan
merupakan selisih antara penjualan/pendapatan usaha dan biaya-biaya
usaha, baik berupa harga pokok penjualan/biaya produksi, biaya penjualan,
serta biaya umum dan administrasi. Penggunaan istilah profit sharing
dalam hal ini juga merujuk pula pada istilah profit and loss sharing,
mengingat besaran profit yang bisa bertanda positif (untung) atau negatif
(rugi).
13
2. Gross Profit Sharing. Dasar perhitungannya adalah gross profit (laba
kotor), yaitu penjualan/pendapatan usaha dikurang dengan harga pokok
penjualan/biaya produksi. Dengan skema ini, pihak-pihak yang berkontrak
tidak menghadapi kepastian di sisi biaya penjualan, serta biaya umum dan
administrasi.
3. Revenue Sharing. Dasar perhitungannya adalah penjualan/pendapatan
usaha. Dalam hal ini pemilik dana hanya menghadapi kepastian atas tinggi
rendahnya penjualan/pendapatan usaha dan tidak menghadapi
ketidakpastian atas biaya-biaya usaha (harga pokok penjualan/biaya
produksi, biaya penjualan dan biaya umum dan administrasi).
Penelitian Terdahulu
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rusydiana (2009) menyimpulkan
bahwa semakin tinggi SWBI yang ditetapkan Bank Indonesia maka akan semakin
rendah pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syariah. Terdapat hubungan
negatif antara pembiayaan syariah dan SBI, semakin tinggi SBI akan
menyebabkan penurunan pembiayaan syariah dan sebaliknya. Hal ini disebabkan
jika bank sentral menaikan suku bunga maka akan memicu perbankan
konvesional untuk menaikan suku bunga, baik pinjaman maupun deposito.
Ayuniyyah (2010) mengatakan bahwa instrumen moneter konvensional
memberikan guncangan yang lebih besar terhadap pertumbuhan sektor riil
dibandingkan dengan instrumen moneter syariah karena proporsi instrumen
konvensional yang masih mendominasi sampai dengan 97 persen dari share
perbankan nasional Indonesia. Instrumen moneter syariah pun memiliki
karakteristik yang lebih stabil dibandingkan dengan variabel moneter konvesional
karena kemampuannya yang cepat menemukan titik stabil. Selain itu, dapat
disimpulkan bahwa kebijakan moneter baik ekspansif maupun kontraktif dengan
suku bunga SBI, tidak mampu memengaruhi jumlah penawaran kredit investasi
perbankan umum melalui jalur bank lending.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Widyastuti dan Anwar (2009)
mengatakan bahwa dampak yang ditimbulkan akibat transaksi instrumen moneter
syariah terhadap kinerja perbankan syariah berhubungan positif dengan aset dan
dana pihak ketiga, serta berhubungan negatif dengan pembiayaan dan non
performing financing. Peranan instrumen moneter syariah SWBI memberikan
dampak yang lebih baik terhadap kinerja perbankan syariah daripada instrumen
moneter syariah PUAS. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian lain
yang dilakukan oleh Mutiara (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis
Pengaruh Instrumen Moneter Konvensional dan Syariah terhadap Penyaluran
Dana kepada UMKM”. SBI memiliki hubungan yang negatif terhadap kredit
UMKM. Begitu juga dengan SBIS yang memiliki hubungan yang negatif terhadap
pembiayaan UMKM. Perbankan akan lebih tertarik untuk mengalokasikan
dananya di SBI atau SBIS ketika terjadi kenaikan imbal hasil. Dari hasil FEVD,
baik dari jalur perbankan konvensional maupun syariah instrumen yang paling
berpengaruh adalah SBIS.
14
Pada penelitian lainnya tentang pembiayaan dikemukakan oleh Irawan
(2004), yaitu penawaran pembiayaan BUS di Indonesia secara nyata dipengaruhi
oleh variabel SWBI. Begitupun dengan variabel NPF yang berpengaruh signifikan
namun memiliki hubungan yang positif. Artinya, BUS lebih mengutamakan untuk
menyalurkan dana yang terkumpul dari DPK dan tidak terlalu memerhatikan NPF
ketika persentasenya berada pada kondisi yang tinggi. Permintaan dan penawaran
pembiayaan BUS dipengaruhi pula secara nyata oleh nisbah bagi hasil yang
diterima oleh pihak bank sesuai dengan yang diungkapkan oleh Maula (2008).
Maula (2008) dalam hasil penelitiannya menunjukkan margin memiliki
pengaruh secara positif dan signifikan terhadap pembiayaan murabahah. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi margin yang diperoleh
maka bank akan mempertinggi jumlah pembiayaan murabahah, hal ini didukung
dengan transaksi murabahah yang dominan dalam pelaksanaan investasi
perbankan syariah. Variabel NPF berpengaruh negatif dan signifikan sehingga
semakin tinggi NPF yang dimiliki oleh suatu bank maka bank akan lebih hati-hati
dengan mengurangi pembiayaan. Variabel DPK tidak berpengaruh positif
terhadap pembiayaan murabahah, hal ini disebabkan karena pembiayaan
murabahah bukan berasal dari DPK, namun berasal dari modal inti yaitu
pemegang saham suatu bank.
Hipotesis
1. Variabel SBIS memiliki hubungan negatif terhadap penyaluran
berupa pembiayaan investasi yang diberikan.
2. Variabel PUAS memiliki hubungan negatif terhadap penyaluran
berupa pembiayaan investasi yang diberikan.
3. Variabel DPK memiliki hubungan positif terhadap penyaluran
berupa pembiayaan investasi yang diberikan.
4. Variabel M memiliki hubungan positif terhadap penyaluran
berupa pembiayaan investasi yang diberikan.
5. Variabel PLS memiliki hubungan positif terhadap penyaluran
berupa pembiayaan investasi yang diberikan.
6. Variabel NPF memiliki hubungan negatif terhadap penyaluran
berupa pembiayaan investasi yang diberikan.
dana
dana
dana
dana
dana
dana
15
Kerangka Pemikiran
Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan
dalam bagan berikut:
Fungsi Intermediasi Bank
Dana Pihak Ketiga
Instrumen Moneter Syariah
SBIS
Program Pembiayaan
Pembiayaan
Investasi
PUAS
Margin
Pembiayaan
Modal Kerja
NPF
Gambar 2.1 Kerangka pemikiran
Keterangan :
= Ruang lingkup penelitian
= Alur analisis
= Tool
Pembiayaan
Konsumsi
16
METODE
Sumber dan Jenis Data
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, yaitu penelitian yang
digunakan untuk mengukur suatu fenomena tertentu dengan menggunakan
analisis statistik. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder berupa time series sebanyak 40 data, yaitu periode triwulanan dari Juli
2002 sampai dengan Juni 2012. Metode VAR/VECM dapat digunakan dalam
analisis data time series karena memiliki pendekatan yang meminimalkan teori
agar mampu menangkap fenomena ekonomi denan baik. Sumber data diambil dari
Muamalah Institute (MI), Bank Indonesia (BI), Statistik Perbankan Syariah Bank
Indonesia (SPSBI),
Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
(kemenkop) dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Variabel dan Definisi Operasional
Variabel yang digunakan dalam penelitian adalah SBIS, PUAS, INV, DPK,
M, PLS dan NPF yang selanjutnya akan dijabarkan sebagai berikut:
1. SBIS adalah bonus sertifikat bank Indonesia syariah yang diterima oleh
Bank Muamalat untuk menghimpun dana sementara dalam satuan rupiah
selama periode triwulanan Juli 2002 sampai Juni 2012.
2. PUAS adalah pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah dengan
menggunakan sertifikat investasi mudharabah antar bank, yaitu antar Bank
Muamalat dengan bank syariah lain. Data ini memiliki satuan rupiah yang
akan dilihat selama periode triwulanan Juli 2002 sampai Juni 2012.
3. INV adalah pembiayaan investasi dalam satuan rupiah yang diberikan oleh
Bank Muamalat sebagai pembiayaan investasi untuk usaha perseorangan
berdasarkan akad yang telah ditentukan selama periode triwulanan Juli
2002 sampai Juni 2012.
4. DPK merupakan dana pihak ketiga yang berasal dari nasabah Bank
Muamalat berupa tabungan, deposito, giro ataupun lainnya. Data ini
memiliki satuan rupiah yang diterima dalam kurun waktu selama periode
triwulanan Juli 2002 sampai Juni 2012.
5. M (margin) adalah pendapatan secara umum yang diperoleh Bank
Muamalat berupa persentase murabahah terhadap pembiayaan selama
periode triwulanan Juli 2002 sampai Juni 2012.
6. PLS adalah profit loss sharing, pendapatan yang diterima oleh Bank
Muamalat berupa total persentase pendapatan bagi hasil mudharabah dan
musyarakah terhadap pembiayaan selama periode triwulanan Juli 2002
sampai Juni 2012.
7. NPF adalah non performing financing, persentase jumlah pembiayaan
bermasalah secara umum yang diterima oleh Bank Muamalat dengan
17
kriteria kurang lancar, diragukan, dan macet terhadap total pembiayaan
yang diberikan selama periode triwulanan Juli 2002 sampai Juni 2012.
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Vector Autoregression (VAR)
Penyempurnaan persamaan simultan untuk mengidentifikasi variabel
eksogen dan endogen pada sistem dikritisi oleh Sims (1980). Tidak setiap teori
mampu menjelaskan hubungan variabel ekonomi dengan baik, baik itu penjelasan
teori terlalu rumit untuk menjelaskan fenomena yang ada ataupun fenomena yang
terjadi terlalu sulit untuk dijelaskan dengan teori yang ada. Sims menyarankan
penggunaan model Vector Autoregression (VAR) untuk melakukan peramalan
pada data time-series yang bersifat tidak teoritis atau dikenal juga dengan model
non-struktural. VAR merupakan model a-teori namun sangat berguna dalam
menganalisis hubungan antar variabel di dalam data time series. Dalam model
VAR ada dua hal yang perlu diperhatikan: 1) VAR mengasumsikan bahwa semua
variabel merupakan variabel endogen, 2) dalam melihat hubungan antara variabel
dibutuhkan lag optimum (Widarjono 2005).
Uji Stasioneritas
Langkah pertama dalam mengestimasi model VAR adalah dengan uji
stasioneritas data yang dapat dilakukan dengan menggunakan uji Augmented
Dickey-Fuller (ADF). Hasil uji akar unit ADF sangat akan dipengaruhi oleh lag
optimum. Setiap data time series yang merupakan suatu data dari hasil proses
stokastik yang bersifat random sebagai kumpulan dari variabel random dalam
urutan waktu. Suatu data hasil proses random dikatakan stasioner jika memenuhi
kriteria, yaitu jika rata-rata dan varian konstan sepanjang waktu dan kovarian
antara dua data runtun waktu hanya tergantung dari lag optimum antara dua
periode waktu tertentu (Widarjono 2005).
Uji stasioner dipengaruhi oleh lag optimum yang dapat diperoleh melalui
kriteria dari Akaike Information Criterion (AIC), Schwartz Information Criteria,
Hannan-Quin Criteria, Likelihood Ratio, maupun Final Prediction Error. Lag
optimum yang dipilih adalah lag optimum dengan nilai absolut terkecil, jika
criteria yang digunakan lebih dari satu, maka periksa adjusted R-square. R-square
dengan nilai paling besar menunjukkan lag optimum yang harus dipilih.
Pemilihan Lag Optimum
Penentuan lag optimum sangat penting karena penentuan lag optimum
berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sebuah sistem VAR.
Penentuan lag optimum juga berguna untuk menunjukkan jangka waktu reaksi
suatu variabel terhadap variabel lainnya.
Prosedur untuk menentukan apakah data stasioner atau tidak dengan cara
membandingkan antara nilai statistik DF dan ADF dengan nilai DF dan ADF tabel.
Jika nilai statistik DF dan ADF lebih besar dari nilai kritisnya, maka data yang
18
diamati menunjukkan stasioner. Sebaliknya data tidak stasioner jika nilai absolut
nilai statistik DF dan ADF lebih kecil dari nilai kritis distribusi statistik-t.
Uji Kointegrasi
Apabila data yang telah diamati pada uji akar unit ternyata tidak stasioner,
maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji kointegrasi. Kointegrasi adalah
suatu hubungan jangka panjang antar variabel yang tidak stasioner akan menjadi
stasioner jika variabel-variabel tersebut dikombinasikan secara linier. EngleGranger (1983) menyatakan bahwa keberadaan variabel non stasioner
menyebabkan kemungkinan besar terjadinya hubungan jangka panjang antar
variabel.
Uji Stabilitas VAR
Metode yang digunakan dalam melakukan analisis pengaruh instrumen
moneter syariah terhadap pembiayaan investasi di Bank Muamalat adalah dengan
menggunakan analisis impuls response function (IRF) dan analisis forecasting
error variance decomposition (FEVD). Sistem persamaan VAR yang telah
terbentuk harus diuji kestabilannya terlebih dahulu sebelum analisis selanjutnya
dilakukan, yaitu melalui VAR stability condition check. Uji stasbilitas VAR
dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi polinomial. Model VAR
tersebut dikatakan stabil, apabila semua akar dari fungsi polinomial tersebut
berada di dalam unit circle atau jika nilai absolutnya lebih kecil dari satu sehingga
IRF dan FEVD yang dilakukan dianggap valid.
Uji Kausalitas
Persamaan regresi yang dibangun biasanya lebih memusatkan perhatian
pada hubungan satu arah, namun dalam kenyataannya perilaku peubah ekonomi
tidak hanya mempunyai hubungan satu arah, tetapi juga menunjukkan adanya
hubungan dua arah yang dikenal dengan konsep kausalitas. Uji kausalitas adalah
pengujian untuk menentukan hubungan sebab-akibat antara peubah dalam sistem
VAR. hubungan sebab-akibat ini dapat diuji dengan menggunakan uji kausalitas
granger (Bambang 2012).
Impulse Response Function dan Forecast Error Variance Decomposition
Estimasi dengan menggunakan VECM diperdalam dengan melihat analisis
impulse response funtion (IRF). Secara umum, koefisien di dalam model VAR
sulit untuk diinterpretasikan, oleh karena itu para ahli menggunakan analisis IRF.
Analisis IRF ini merupakan salah satu alat analisis penting di dalam VAR yang
mampu menangkap respon dari variabel endogen di dalam sistem VAR karena
adanya goncangan (shock) atau perubahan dalam variabel gangguan.
Selain IRF, model VAR memiliki analisis forecast error variance
decomposition. Analisis ini digunakan untuk melihat bagaimana perubahan dalam
suatu variabel yang ditunjukkan oleh perubahan error variance dipengaruhi oleh
variabel-variabel lainnya. Analisis ini digunakan untuk menghitung seberapa
besar pengaruh acak guncangan dari variabel tertentu terhadap variabel endogen.
Dengan metode ini kita dapat melihat kekuatan dan kelebihan masing-masing
variabel dalam mempengaruhi variabel yang lainnya dalam kurun waktu yang
panjang (Bambang 2012).
19
Model Penelitian
Mengetahui pengaruh instrumen moneter syariah terhadap pembiayaan
investasi di Bank Muamalat dilihat dengan menggunakan variabel data
pembiayaan investasi, data SBIS, data PUAS, data profit loss sharing (PLS), data
margin dan data non performing financing (NPF). Model dapat pula dijabarkan
dijabarkan sebagai berikut;
INVt = ƒ(SBISt , PUASt , DPK t
PLSt , MARGINt , NPFt ) (1)
Model yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk matriks
sebagaimana berikut ini;
Xt = Ʃi=1 Ai Xt-i + ℯt
(2)
Matriks selanjutnya dapat dijabarkan sebagai berikut;
=
[
]
+
[ ]
dimana :
Log_INV
Log_SBIS
Log_PUAS
Log_PLS
Log_M
Log_NPF
aij
ℯ
[
] [
ℯ
ℯ
ℯ
+
(3)
ℯ
ℯ
[
ℯ ]
]
: Pembiayaan investasi Bank Muamalat
: Bonus SBIS yang diterima Bank Muamalat
: PUAS yang diikuti Bank Muamalat
: Profit loss sharing yang diterima Bank Muamalat
: Margin yang diterima Bank Muamalat
: Non performing financing pada Bank Muamalat
: koefisien regresi pada model VAR
: error
GAMBARAN UMUM
Gambaran Umum Perusahaan
PT. Bank Muamalat Ind
PEMBIAYAAN INVESTASI
DI PT. BANK MUAMALAT INDONESIA, Tbk.
MAS „UDI FARIDATUSH SHAFIYAH
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ABSTRAK
MAS „UDI FARIDATUSH SHAFIYAH. Pengaruh Instrumen Moneter Syariah
terhadap Pembiayaan Investasi di PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. Dibimbing
oleh IRFAN SYAUQI BEIK.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh instrumen moneter syariah
dan variabel kinerja Bank Muamalat terhadap program pembiayaan investasi di
Bank Muamalat Indonesia. Data yang digunakan merupakan data dari laporan
keuangan Bank Muamalat mulai dari Juli tahun 2002 hingga Juni tahun 2012.
Metode yang digunakan adalah metode vector autoregression (VAR) dengan
tujuh variabel, yaitu SBIS, PUAS, pembiayaan investasi, margin, dana pihak
ketiga, profit loss sharing dan non performing financing. Hasil metode VAR
menunjukkan bahwa SBIS kurang berpengaruh signifikan daripada instrumen
PUAS, sedangkan margin, dana pihak ketiga (DPK), profit loss sharing dan non
performing financing sebagai variabel kinerja perbankan syariah memberikan
pengaruh signifikan terhadap pembiayaan investasi di Bank Muamalat.
Kata kunci: instrumen moneter syariah, pembiayaan investasi Bank Muamalat,
VAR/VECM
ABSTRACT
MAS „UDI FARIDATUSH SHAFIYAH. The Impact of Islamic Monetary
Instruments towards Investment Financing in PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.
Supervised by IRFAN SYAUQI BEIK.
This study examines the impact of islamic monetary instruments and
performance variables of Bank Muamalat towards investment financing of Bank
Muamalat Indonesia. This research utilizes data taken from bank Muamalat
Indonesia for the period of 2002 until June 2012. The study uses vector
autoregression method (VAR) with seven variables, comprising SBIS, PUAS,
investment financing, margin, depositors fund, profit loss sharing and non
performing financing. The results show that SBIS does not significantly affect
investment financing as compared to PUAS instrument. Investment financing is
affected significantly by margin, profit loss sharing, and non performing financing
variables.
Keywords: islamic monetary instruments, investment financing of Bank
Muamalat, VAR/VECM
PENGARUH INSTRUMEN MONETER SYARIAH TERHADAP
PEMBIAYAAN INVESTASI
DI PT. BANK MUAMALATINDONESIA, Tbk.
MAS „UDI FARIDATUSH SHAFIYAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Pengaruh Instrumen Moneter Syariah terhadap Pembiayaan
Investasi di PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.
Nama
: Mas „Udi Faridatush Shafiyah
NIM
: H14090001
Disetujui oleh
Irfan Syauqi Beik, Ph.D
Pembimbing
Diketahui oleh
Dedi Budiman Hakim, Ph.D
Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2012 ini ialah
pembiayaan investasi, dengan judul Pengaruh Instrumen Moneter Syariah
terhadap Program Pembiayaan Investasi di PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Irfan Syauqi Beik selaku
pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu
Dwiyanti dari Muamalah Institute yang telah membantu selama pengumpulan
data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, ayah, suami, serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2013
Mas ‘Udi Faridatush Shafiyah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
5
METODE
Metode Pengolahan dan Analisis Data
16
17
GAMBARAN UMUM
20
HASIL DAN PEMBAHASAN
24
Uji Pra Estimasi
24
Uji Kausalitas Granger
26
Hasil Estimasi VECM
27
SIMPULAN DAN SARAN
31
Simpulan
32
Saran
32
DAFTAR PUSTAKA
33
LAMPIRAN
35
RIWAYAT HIDUP
47
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Perkembangan jumlah BUS, UUS dan BPRS
Pertumbuhan aset, DPK dan PYD Bank Muamalat
Perkembangan volume transaksi PUAS
Hasil uji stasioneritas variabel
Hasil uji lag optimum variabel
Hasil uji stabilitas VAR variabel
Hasil uji kointegrasi variabel
Hasil uji kausalitas granger
Hasil estimasi VECM
Hasil FEVD terhadap pembiayaan investasi
2
3
12
24
25
25
26
26
27
31
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Perkembangan pembiayaan Bank Muamalat
Kerangka pemikiran
Perkembangan SBIS
Perkembangan pembiayaan Bank Muamalat
Hubungan antar variabel
Hasil IRF instrumen moneter syariah terhadap pembiayaan investasi
Hasil IRF sistem bagi hasil terhadap pembiayaan investasi
Hasil IRF DPK dan NPF terhadap pembiayaan investasi
Hasil FEVD terhadap pembiayaan investasi
3
15
22
23
25
29
30
30
31
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
Surat keterangan riset
Struktur organisasi Bank Muamalat Indonesia
Hasil uji stasioneritas
Hasil analisis VAR/VECM
35
36
37
41
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dunia usaha merupakan penggerak dan penyelamat perekonomian global.
Suatu negara dikatakan maju apabila jumlah pengusaha mencapai minimal angka
dua persen dari total penduduk. Angka 2 persen dari jumlah populasi penduduk
merupakan parameter dunia untuk menetapkan memiliki kekuatan ekonomi
standar suatu negara. Jumlah pengusaha Indonesia pada tahun 2012 mencapai
angka 1.56 persen atau 3.8 juta jiwa dari 245 juta penduduk. Untuk mencapai dua
persen, Indonesia masih membutuhkan kurang lebih 1.1 juta wirausaha agar
memiliki perekonomian yang relatif kuat dan mampu bersaing (Kementerian
KUKM 2012).
Dunia usaha menopang perekonomian karena mampu menurunkan tingkat
pengangguran melalui perluasan kesempatan lapangan kerja yang diciptakan.
Penyerapan tenaga kerja pada sektor ini mencapai 91.8 juta orang pada 55.2 juta
unit usaha dan mampu memberikan kontribusi sebesar 56.5 persen pada Produk
Domestik Bruto (BPS 2011).
Jumlah pengusaha masih relatif rendah jika dibandingkan dengan jumlah
sumberdaya manusia Indonesia. Menurut World Economic Forum 2012-2013,
daya saing Indonesia hanya menduduki peringkat ke 50 dari 144 negara. Kendala
rendahnya seorang individu dapat meraih keinginannya menjadi seorang
wirausaha adalah akibat kurang adanya perencanaan bisnis yang matang,
kemampuan manajerial dan keterampilan sumberdaya manusia Indonesia yang
masih tergolong kurang handal. Di samping itu, kendala lain yang lebih
fundamental adalah faktor modal dan investasi. Modal dan investasi diperlukan
untuk mendirikan dan mengembangkan sebuah usaha. Hanya sedikit yang
memanfaatkan peminjaman modal pada bank dan lembaga keuangan lainnya,
karena menganggap persyaratannya yang rumit, proses lama dan tingginya suku
bunga kredit. Pengusaha yang sudah sukses justru memiliki akses lebih mudah
untuk memperoleh dana dibandingkan seorang pemula.
Proses untuk meminjam modal di bank bila ditinjau lebih jauh tidak sesulit
yang dibayangkan, mulai dari persyaratan hingga prosesnya. Dewasa ini, calon
pemohon modal cenderung semakin memahami kurangnya konsep yang
diterapkan perbankan konvensional. Oleh karena itu, pada tahun 1992 industri
perbankan di Indonesia mulai menerapkan sistem dual-banking dimana Bank
Umum Konvensional berjalan secara paralel dengan Bank Umum Syariah. Sistem
yang dikembangkan ini merupakan upaya suatu bank agar dapat terus bersaing
memenuhi minat masyarakat yang beralih pada bank syariah. Bank syariah
merupakan alternatif pembiayaan bagi sektor-sektor dalam perekonomian nasional.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menjadi
dasar pengembangan industri perbankan syariah nasional. Tabel 1.1 menunjukkan
perkembangan jumlah Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS)
dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dalam kurun waktu empat tahun
terakhir.
2
Tabel 1.1 Perkembangan jumlah BUS, UUS dan BPRS
Jenis Bank
2009 2010 2011
Bank Umum Syariah
Unit Usaha Syariah
Bank Perkreditan Rakyat Syariah
2012
6
11
11
11
25
23
24
24
138
150
155
156
ª Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia (2012)
Pada fungsi utamanya sebagai lembaga intermediasi, bank berperan
sebagai penghubung antara pihak surplus dengan pihak defisit dalam
perekonomian. Terdapat perbedaan mendasar dalam menjalankan fungsi ini antara
konsep bank konvensional dan bank syariah, sehingga perlu dipahami secara
benar landasan filosofis bank syariah yang membedakannya secara prinsip dengan
bank konvensional. Penyaluran dana pada bank konvensional disebut dengan
kredit, sedangkan penyaluran dana yang dilakukan oleh bank syariah disebut
sebagai pembiayaan.
Pada prinsipnya, bank syariah tidak meminjamkan uang pada nasabah.
Bank syariah hanyalah sebagai perantara penyedia barang yang diperlukan
nasabah dan nasabah dapat mengembalikan apa yang dibutuhkan. Bank bertindak
sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli yang dapat membayar secara
angsuran. Tugas lain adalah bank syariah melakukan pembiayaan dengan
menyertakan modal usaha ataupun membiayai kebutuhan nasabah tanpa adanya
pembungaan saat pengembalian.
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Pasal 1) disebutkan bahwa, “tugas bank umum syariah adalah
menghimpun dana dalam bentuk investasi berupa deposito, tabungan, atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad mudharabah atau akad
lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah”. Berdasarkan undang-undang
tersebut, prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan bank syariah
meningkat signifikan pada tahun 2013 dengan laju pertumbuhan sebesar 40.06
persen. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan pembiayaan dari Rp 96.62 triliun
menjadi Rp 135.58 triliun. Peningkatan pembiayaan ini mengindikasikan
peningkatan kinerja sektor riil mengingat bahwa pembiayaan yang diberikan
(PYD) perbankan syariah sebagian besar disalurkan ke sektor riil. Wujud
dukungan perbankan syariah terhadap sektor riil di Indonesia sudah sangat nyata,
terutama untuk sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang porsi
pembiayaannya di seluruh Indonesia mencapai lebih dari 61.25 persen dari total
pembiayaan atau Rp 83.09 triliun (BI 2013).
Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank syariah pertama di
Indonesia mampu menunjukkan kemampuannya dalam mengelola keuangan. Hal
ini terbukti bahwa Bank Muamalat sebagai bank yang pertama kali menerapkan
prinsip bagi hasil mampu tetap stabil ditengah krisis moneter 1997. Kerapuhan
suatu bank dapat terjadi akibat sebuah prinsip yang digunakan suatu bank yaitu
bunga (Antonio 2003). Bank Muamalat hingga saat ini memiliki peran signifikan
3
dalam pertumbuhan perbankan nasional. Saat ini Bank Muamalat memiliki 76
Kantor Pusat Operasional, 140 Kantor Cabang Pembantu dan 145 Kantor Kas
yang tersebar di seluruh Indonesia.
Tabel 1.2 Pertumbuhan aset, DPK dan PYD Bank Muamalat (juta rupiah)
2009
2010
2011
2012b
Aset
16,064,093 21,442,596 32,479,506 32,689,318
Dana Pihak Ketiga
818,223
759,975
1,080,051
629,766
Pembiayaan
5,485,772
6,906,582
9,094,435 10,947,636
ªSumber: Bank Muamalat 2012; bJangka waktu sampai Juli 2012
Kesimpulan dari tabel diatas adalah bahwa PYD Bank Muamalat semakin
meningkat tiap tahunnya. Dana yang disalurkan ini dapat berbentuk pembiayaan
konsumtif maupun produktif. Pembiayaan produktif dinilai dapat meningkatkan
pendapatan per kapita nasional karena dipengaruhi sisi permintaan dan penawaran,
sedangkan pembiayaan konsumtif hanya dipengaruhi sisi permintaan. Gambar 1.1
menunjukkan perkembangan pembiayaan di BMI dimana terdapat gap yang
semakin besar antara dana yang disalurkan untuk pembiayaan investasi dengan
pembiayaan total yang diberikan.
Pembiayaan
Perkembangan pembiayaan
30,000,000
25,000,000
20,000,000
PYD
INV
15,000,000
10,000,000
5,000,000
0
Tahun
Gambar 1.1 Perkembangan pembiayaan BMI (juta rupiah)
Penyaluran dana berupa pembiayaan syariah ini dipengaruhi oleh faktor
ekonomi dan non-ekonomi. Dari sisi ekonomi pembiayaan dapat dipengaruhi
instrumen moneter syariah baik pada Pasar Uang Antar Perbankan Syariah
(PUAS) ataupun berupa instrumen Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS).
4
Instrumen moneter berbasis syariah merupakan alat untuk menghimpun dana
jangka pendek sehingga dana tersebut tidak digolongkan sebagai dana angguran.
Instrumen moneter bukan ditujukan sebagai alat investasi utama suatu bank. Oleh
karena itu, pengaruh instrumen moneter terhadap dana yang dialokasikan untuk
pembiayaan perlu diteliti lebih lanjut terhadap perkembangan usaha di Indonesia.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Instrumen Moneter Syariah
terhadap Pembiayaan Investasi di Bank Muamalat”.
Perumusan Masalah
UMKM memiliki banyak peran pada sektor riil dalam pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Oleh karena itu sudah sewajarnya bila Bank Sentral dan
pemerintah memberikan perhatian terhadap pengembangan usaha tersebut,
termasuk perbankan dalam penyaluran dana.
Lahirnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 1 Tahun 2004 tentang
diharamkannya bunga karena ia adalah riba turut berpengaruh dalam pesatnya
pertumbuhan perbankan syariah. Antonio (2007) menyatakan bahwa riba adalah
pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam
secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Membungakan uang oleh bank di seluruh dunia, telah memberikan pendapatan
yang tetap dan pasti bagi bank. Sementara itu, Lembaga Keuangan Syariah adalah
lembaga yang didasarkan pada prinsip bagi hasil atas pembiayaan. Prinsip bagi
hasil ini tentu dapat membantu masyarakat, terutama rakyat kecil untuk
melepaskan diri dari jeratan tengkulak yang pada umumnya melakukan riba.
Pengetahuan masyarakat yang semakin terbuka dan lebih memilih syariah
yang lebih adil dan sesuai dengan ajaran Islam membuat mereka semakin yakin
untuk melakukan transaksi dengan bank syariah, baik dalam urusan jual beli
maupun urusan kemitraan usaha. Mekanisme transmisi moneter syariah
merupakan salah satu faktor yang turut memengaruhi kegiatan pembiayaan
investasi Bank Muamalat. Aset Bank Muamalat yang diinvestasikan pada
instrumen moneter dapat memperkecil penyaluran dana dalam peran pembiayaan.
Adapun perumusan masalah yang akan diteliti yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaruh instrumen moneter syariah terhadap pembiayaan
investasi yang diberikan Bank Muamalat?
2. Bagaimanakah pengaruh variabel kinerja Bank Muamalat terhadap
pembiayaan investasi yang diberikan Bank Muamalat?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian terhadap pembiayaan investasi adalah sebagai berikut:
5
1. Melihat pengaruh instrumen moneter syariah terhadap pembiayaan
investasi yang diberikan Bank Muamalat.
2. Melihat pengaruh variabel kinerja Bank Muamalat terhadap pembiayaan
investasi yang diberikan Bank Muamalat.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca baik
bagi praktisi, kalangan akademisi, maupun penulis.
1. Bagi praktisi, dapat menyalurkan ide usaha yang telah direncanakan
dengan bantuan yang akan dapat diperolehnya melalui sistem syariah.
2. Bagi akademisi, dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian
selanjutnya ataupun menambah pemahaman untuk para akademisi yang
lain terkait pembiayaan investasi syariah.
3. Bagi penulis, menambah pengetahuan dan pemahaman terkait pembiayaan
investasi syariah dan dampak yang dihasilkannya terhadap para pengusaha.
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Mekanisme Transmisi Moneter
Kebijakan moneter ganda di Indonesia menggunakan instrumen kebijakan
moneter yang dinamakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berdasarkan suku bunga
pada sistem konvensional dan SBI Syariah (SBIS) berdasarkan bagi hasil untuk
perbankan syariah yang sama-sama mengacu pada SBI rate. SBI rate dan bagi
hasil SBIS merupakan tolok ukur kebijakan yang dapat memengaruhi pinjaman
dan pembiayaan baik melalui pasar uang konvensional maupun syariah.
Selanjutnya hal ini memengaruhi tingkat pengembalian dari penyaluran dana
berupa kredit dan pembiayaan yang pada akhirnya akan memengaruhi tingkat
output dan inflasi (Ascarya 2012).
Berdasarkan sudut pandang konvensional, mekanisme transmisi moneter
bekerja melalui jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset dan
jalur ekspektasi. Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara
kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang
rendah dan stabil. Suku bunga kebijakan BI rate ditetapkan Bank Indonesia
sebagai instrumen kebijakan utama untuk memengaruhi aktivitas kegiatan
perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi. Namun jalur atau transmisi
dari keputusan BI rate sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat
kompleks dan memerlukan waktu (time lag).
6
SUKU
BUNGA
SBI
SBIS
KREDIT
DISTRIBUSI
PUAK
OUTPUT
PUAS
INFLASI
PLS
PEMBIAYAAN
Gambar 2.1 Mekanisme transmisi moneter
Transmisi kebijakan moneter dibuat sejak dipisahkannya otoritas kebijakan
moneter dengan kebijakan fiskal. Otoritas moneter diberlakukan pada saat
pengembangan bank sentral dari bank sirkulasi, karena tingkat inflasi uang kertas
yang tinggi, sehingga tugas bank sentral bertambah dengan mengawasi penawaran
uang yang beredar untuk mengatur inflasi. Hal ini tidak perlu dilakukan ketika
uang memiliki nilai intrinsik seperti koin Dinar dan Dirham pada masa keislaman.
Pada perekonomian konvensional yang mendominasi, ekonomi Islam muncul
pada negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam dengan sistem uang kertas
dan bank sentral. Oleh karena itu, kebijakan moneter syariah dan proses
transmisinya mulai tumbuh.
Penerapan Lembaga Keuangan Syariah tidaklah berbeda jauh dengan sistem
keuangan konvensional, hal ini dapat dilihat bahwa instrumen kebijakan moneter
syariah mirip dengan yang instrumen kebijakan konvesional. Sejak kedua sistem
memiliki persamaan dan perbedaan, sistem transmisi kebijakan moneter syariah
memang dapat dikatakan sama ataupun berbeda dengan konvensional (Ascarya
2012).
Chapra (1985) sebagai pencetus ekonomi moneter Islam tidak menjelaskan
secara spesifik tentang transmisi kebijakan moneter syariah. Pengembangan teori
moneter syariah juga tidak menjelaskan hal itu, termasuk mekanismenya (Siddiqui
2007). Walaupun begitu, terdapat beberapa studi empiris yang mengangkat topik
untuk melihat karakter transmisi kebijakan moneter syariah seperti yang dilakukan
Sukmana dan Kassim (2010) dalam penelitiannya yang melihat pengaruh
transmisi kebijakan moneter melalui jalur pembiayaan terhadap pertumbuhan
sistem ekonomi perbankan syariah.
Instrumen Moneter
Kebijakan moneter adalah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah atau
penguasa moneter untuk memengaruhi jumlah uang yang beredar dan kredit yang
7
pada akhirnya memengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat. Tujuan kebijakan
moneter terutama untuk stabilitas ekonomi dapat diukur dengan kesempatan kerja,
kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Jika
kestabilan dalam kegiatan ekonomi terganggu, maka kebijaksanaan moneter
dapat dipakai untuk memulihkannya. Dengan kata lain, kebijakan moneter
ditetapkan pemerintah untuk menjaga agar jumlah uang yang beredar di
masyarakat tetap stabil sehingga tidak menyebabkan terjadinya inflasi.
Pemerintah memiliki dua jenis instrumen berdasarkan sudut pandang yang
berbeda, yaitu konvensional dan syariah. Instrumen moneter syariah merupakan
alat untuk menginvestasikan dana yang dilakukan hanya untuk sementara waktu.
Semakin besarnya dana yang diinvestasikan pada instrumen moneter
mengindikasikan berkurangnya dana yang digunakan untuk pembiayaan. Demi
menjaga peran perbankan syariah yang optimal dalam perekonomian, tentu hal ini
menarik perhatian agar perbankan syariah meminimalisir pengalokasian dana
yang tidak terkait dengan dunia usaha. Ketersediaan instrumen moneter syariah
hendaknya disikapi sebagai penempatan dana sementara akibat kelebihan
likuiditas, bukan untuk mencari keuntungan yang seharusnya diperoleh dari
pembiayaan kepada sektor riil (Kahf 1995). Hal ini juga dijelaskan oleh Ismal
(2011) bahwa instumen moneter syariah yang mampu berkontribusi dalam
stabilisasi perekonomian adalah kelebihan likuiditas yang tidak digunakan untuk
instrumen moneter syariah melainkan dimanfaatkan ke dalam kegiatan usaha.
Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
Sertifikat Bank Indonesia adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek, yaitu 1-3
bulan dengan sistem diskonto atau bunga (BI 2012). SBI merupakan salah satu
mekanisme yang digunakan Bank Indonesia untuk mengontrol kestabilan nilai
rupiah. Dengan menjual SBI, Bank Indonesia dapat menyerap kelebihan uang
primer yang beredar. Tingkat suku bunga yang berlaku pada setiap penjualan SBI
ditentukan oleh mekanisme pasar berdasarkan sistem lelang. Sejak awal Juli 2005,
Bank Indonesia (BI) menggunakan mekanisme BI rate, yaitu BI mengumumkan
target suku bunga SBI yang diinginkan BI untuk pelelangan pada masa periode
tertentu. BI rate ini kemudian yang digunakan sebagai acuan para pelaku pasar
dalam mengikuti pelelangan.
Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI)
FASBI merupakan fasilitas yang diberikan BI kepada bank untuk
menempatkan dananya di Bank Indonesia dalam rupiah. Jangka waktu FASBI
maksimum 7 hari dihitung dari tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan
tanggal jatuh waktu. FASBI tidak dapat diperdagangkan, tidak dapat diagunkan,
dan tidak dapat dicairkan sebelum jatuh waktu (BI 2012).
Giro Bank Indonesia
Giro pada BI merupakan saldo rekening giro bank baik dalam rupiah
maupun dalam valuta asing di Bank Indonesia. Kegiatan bank meliputi
pengambilan dan penyetoran kas fisik, penyelesaian kewajiban kepada pihak lain,
penerimaan tagihan dari pihak lain (Dinda 2010).
8
Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
SBIS adalah instrumen moneter syariah pertama yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia pada tahun 2000. SBIS ini dimaksudkan untuk mengalokasikan
dana bila terjadi over-likuiditas harian. Instrumen likuiditas yang digunakan
sebelumnya adalah Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) dimana imbal hasil
yang ditawarkan tergolong pasif. Perbandingan SWBI dan Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) dinilai tidak sama, rate SBI berada di posisi yang lebih tinggi.
Penerbitan SBIS oleh BI berdasarkan PBI Nomor 10/11/PBI tanggal 31
Maret 2008 tentang SBIS dan menggantikan SWBI syariah dengan lebih baik.
Dalam PBI baru tersebut, SBIS didefinisikan sebagai surat berharga berdasarkan
prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan
oleh BI. SBIS menggunakan akad jualah. Dengan akad tersebut, maka bank
syariah yang menempatkan dana pada SBIS berhak mendapatkan upah (ujrah)
atas jasa membantu pemeliharaan keseimbangan moneter Indonesia. PBI
menyebutkan, SBIS dapat diagunkan kepada BI, tapi tidak bisa diperdagangkan di
pasar sekunder. Mekanisme penerbitan SBIS menggunakan sistem lelang.
Peserta yang diperbolehkan ikut hanya bank umum syariah (BUS) atau
unit usaha syariah dengan rasio minimal pembiayaan terhadap dana pihak ketiga
yang ditetapkan BI. Lelang pertama SBI syariah diikuti 13 bank syariah sebagai
peserta. Peserta lelang diantaranya Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank
Syariah Mandiri (BSM), dan Bank Mega Syariah (BMS). Selain itu, terdapat pula
10 UUS diantaranya Bank Permata Syariah, Bank BII Syariah, Bank Niaga
Syariah serta lima UUS BPD. Dana yang diajukan ke-13 bank syariah dalam
lelang perdana tersebut Rp 1.136 triliun. Semuanya diserap SBI Syariah dengan
imbal hasil 7.9 persen (BI 2012).
Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS)
Fasilitas pasar uang antar bank akan memberikan kemudahan pada bank
memanfaatkan dana yang sementara menganggur agar tetap dapat produktif. Bank
dapat melakukan investasi jangka pendek pada pasar uang antar bank ataupun
meminjam dana untuk memenuhi kebutuhan likuiditas jangka pendek. Pasar uang
antar bank merupakan wadah beredarnya surat-surat berharga yang berdasarkan
bunga. Hal ini membuat bank umum syariah tidak dapat memanfaatkan pasar
uang yang ada dikarenakan perbedaan prinsip yang dianut. Pada tahun 2002,
diciptakanlah pasar uang antar bank khusus berbasis syariah dalam rangka
mendukung bank syariah mengelola likuiditasnya yang dikenal dengan Pasar
Uang Antar Bank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS), sehingga bank syariah
dapat turut memanfaatkan pasar uang antar bank dengan nyaman.
Transaksi dalam PUAS menggunakan instrumen Sertifikat Investasi
Mudharabah Antar Bank Syariah (IMA). Sertifikat ini merupakan sarana investasi
bagi bank yang memiliki kelebihan dana untuk diputar dan memperoleh
keuntungan. Selain itu, Sertifikat IMA dapat digunakan pula sebagai sarana bagi
bank yang mengalami kekurangan dana untuk mendapatkan pinjaman jangka
pendek berdasarkan prinsip mudharabah (bagi hasil). Masalah ini telah diatur oleh
Bank Indonesia dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 14/1/PBI/2012 dan
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 38/DSNMUI/X.2002.
Tojibi menyatakan bahwa penerbitan Sertifikat Investasi Mudharabah
Antar Bank Syariah (IMA) harus memenuhi empat persyaratan sebagai berikut;
9
1. Mencantumkan hal-hal sebagai berikut;
a. Kata-kata “Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank”
b. Tempat dan tanggal penerbitan Sertifikat IMA
c. Nomor seri Sertifikat IMA
d. Nilai nominal investasi
e. Nisbah bagi hasil
f. Jangka waktu investasi
g. Tingkat indikasi imbalan
h. Tanggal pembayaran nominal dan imbalan
i. Tempat pembayaran
j. Nama bank penanam dana
k. Nama bank penerbit dan tanda tangan pejabat yang berwenang
2. Berjangka waktu paling lama 90 hari (sembilan puluh) hari.
3. Diterbitkan oleh kantor pusat Bank Umum Syariah atau Unit Usaha
Syariah.
4. Format Sertifikat IMA hendaknya mengikuti aturan yang telah ditetapkan
oleh Bank Indonesia. Bagi bank syariah yang telah menerbitkan Sertifikat
IMA wajib melaporkan kepada Bank Indonesia pada hari penerbitan
Sertifikat IMA tersebut mengenai hal-hal;
a. Nilai nominal investasi
b. Nisbah bagi hasil
c. Jangka waktu investasi
d. Tingkat indikasi imbalan Sertifikat IMA
Adapun mekanisme dan penyelesaian transaksi Sertifikat IMA dalam
pasar uang, yaitu sebagai berikut;
1. Sertifikat IMA yang diterbitkan oleh Bank Pengelola dana dalam rangkap
tiga, lembar pertama dan kedua tersebut wajib diserahkan kepada bank
penanam dana sebagai bukti penanaman dana, sedangkan lembar ketiga
digunakan sebagai arsip bagai bank penerbit dana.
2. Bank penanam dana pada Sertifikat IMA melakukan pembayaran kepada
bank penerbit Sertifikat IMA dengan menggunakan nota kredit melalui
kliring, atau Bilyet Giro Bank Indonesia dengan melampiri lembar kedua
Sertifikat IMA atau dengan transfer dana elektronik yang disertai dengan
penyampaian lembar kedua Sertifikat IMA kepada Bank Indonesia.
3. Pemindahtanganan Sertifikat IMA hanya dapat dilakukan oleh pihak bank
penanam dana pertama, sedangkan bank penanam dana kedua tidak
diperkenankan untuk memindah tangankan kepada bank lain sampai
berahirnya jangka waktu, artinya Sertifikat IMA hanya sekali dapat
dipindahtangankan. Hal ini dimaksudkan agar Bank Penerbit Sertifikat
IMA dapat melakukan pembayaran kepada bank yang berhak, oleh karena
itu bank pemegang sertifikat terakhir wajib memberitahukan kepemilikan
sertifikat tersebut kepada bank penerbit Serftifikat IMA.
4. Kemudian pada saat Sertifikat IMA jatuh tempo, penyelesaian transaksi
dilakukan oleh bank penerbit Sertifikat IMA dengan melakukan
pembayaran kepada pemegang sertifikat terakhir sebesar nilai nominal
investasi (face Value) dengan menggunakan nota kredit melalui kliring,
menggunakan Bilyet Giro BI atau menggunakan transfer dana secara
elektronik. Sedangkan imbalan Sertifikat IMA akan dibayar pada hari
10
kerja pertama bulan berikutnya. Selanjutnya penghitungan imbalan
Sertifikat IMA dihitung berdasarkan tingkat realisasi imbalan Sertifikat
IMA mangacu pada tingkat imbalan Deposito Investasi Mudharabah pada
bank penerbit sesuai dengan jangka waktu penanaman.
Sertifikat Berharga Lainnya
Penempatan dana dapat pula dilakukan oleh bank umum pada surat
berharga lainnya seperti Surat Berharga Negara (SBN). SBN terdiri dari Surat
Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), sebagaimana
yang diatur pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 14/16/PBI/2012. SUN
adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah
maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh negara
sesuai dengan masa berlakunya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
yang berlaku. SBSN atau yang biasa disebut Sukuk Negara adalah surat berharga
negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas penyertaan
terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing,
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang berlaku (BI 2012).
Pembiayaan Bank Syariah
Bank Islam atau dikenal dengan bank syariah adalah bank yang beroperasi
dengan tidak berdasarkan atas bunga. Bank syariah juga dapat diartikan sebagai
lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan
berlandaskan Al-Qur‟an dan Hadits. Arifin (2009) berpendapat bahwa bank
syariah didirikan dengan tujuan untuk mempromosikan dan mengembangkan
dasar prinsip-prinsip syariah Islam dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan
dan perbankan serta bisnis lainnya yang terkait. Prinsip utama yang diikuti oleh
bank Islam, yaitu:
1. Larangan riba dalam berbagai bentuk transaksi.
2. Melakukan kegiatan usaha dan perdagangan berdasarkan perolehan
keuntungan yang sah menurut Islam.
3. Memberikan zakat.
Tugas bank syariah adalah sebagai perantara dalam menyediakan barang
yang dibutuhkan seorang nasabah. Kegiatan perbankan syariah memiliki
komposisi penyaluran dalam bentuk pembiayaan perdagangan dan penyertaan
modal. Pada umumnya proporsi pada pembiayaan lebih besar dibandingkan dalam
bentuk penyertaan modal. Berdasarkan perjanjian pembiayaan antara pihak
nasabah dan pihak bank, bank syariah memiliki beberapa kontrak atau yang
disebut dengan akad dan dibagi menjadi tiga bagian kegiatan bank syariah, yaitu
kegiatan penghimpunan dana, kegiatan jasa keuangan dan kegiatan penyaluran
dana. Selanjutnya kegiatan penyaluran dana yang akan menjadi ruang lingkup
dalam penelitian ini.
Kegiatan Penyaluran Dana
Dana yang terdapat di bank, dapat disalurkan kembali oleh bank kepada
masyarakat, dengan menggunakan 3 prinsip pokok (Antonio 2001), yaitu:
11
1. Prinsip Jual Beli
Akad Murabahah : Perjanjian pembiayaan berupa transaksi jual beli suatu
barang sebesar harga perolehan barang ditambah dengan
margin yang disepakati oleh para pihak, dimana penjual
menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan
kepada pembeli.
Akad Istishna
: Perjanjian pembiayaan berupa transaksi jual beli barang
dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan
pembayaran sesuai dengan kesepakatan.
Akad Salam
: Perjanjian pembiayaan berupa transaksi jual beli barang
dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu
dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.
2. Prinsip Bagi Hasil
Akad Mudharabah : Perjanjian pembiayaan/penanaman dana dari pemilik
dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib)
untuk melakukan kegiatan usaha tertentu yang sesuai
syariah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua
belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya.
Akad Musyarakah : Perjanjian pembiayaan/penanaman dana dari dua atau
lebih pemilik dana dan/atau barang untuk menjalankan
usaha tertentu sesuai syariah dengan pembagian hasil
usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang
disepakati, sedangkan pembagian kerugian berdasarkan
proporsi modal masing-masing.
2. Prinsip Sewa
Akad Ijarah
Akad Qardh
: Perjanjian pembiayaan berupa transaksi sewa menyewa
atas suatu barang dan/atau jasa antara pemilik objek
sewa termasuk kepemilikan hak pakai atas objek sewa
dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek
sewa yang disewakan.
: Perjanjian pembiayaan berupa transaksi pinjam
meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak
peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara
sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.
Definisi pembiayaan menurut Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1998
Tentang Lembaga Pembiayaan pasal 1 ayat 2 memiliki sedikit perbedaan dengan
UU No. 10 Tahun 1998, yaitu kegiatan yang berbentuk penyediaan dana atau
barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung. Perbedaan istilah
terdapat pada objek perjanjian, dimana pada UU No. 10 Tahun 1998 yang menjadi
objek adalah uang sedangkan menurut Keppres No. 61 Tahun 1998 objeknya
adalah uang dan barang modal.
12
Pemisahan kedua objek perjanjian tersebut berimplikasi pada kedudukan
hukum para pihak dalam pembiayaan berdasarkan prinsip syariah bahwa
mengambil imbalan dari peminjaman uang akan menjadi riba, sedangkan
mengambil imbalan dari pembiayaan berupa barang modal disebut keuntungan.
Menurut istilah riba merupakan pengambilan tambahan dari harta pokok atau
modal secara batil. Ibnu Al-Maliki menjelaskan pengertian riba sebagai suatu
tambahan (ziyadah), namun dalam Al-Quran dijelaskan bahwa riba adalah setiap
penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau
penyeimbang yang dibenarkan syariah.
Antonio (2001) menjelaskan bahwa pembiayaan merupakan salah satu
tugas pokok dari bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk
memenuhi kebutuhan pihak yang merupakan deficit unit. Menurut sifat
penggunaannya, pembiayaan dibagi menjadi dua hal:
1. Pembiayaan konsumtif yaitu pembiayaan yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk
memenuhi kebutuhan.
2. Pembiayaan produktif yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha
produksi, perdagangan, maupun investasi. Menurut keperluannya,
pembiayaan produktif terbagi menjadi dua, yaitu pembiayaan modal kerja
dan pembiayaan investasi.
Pendekatan Bagi Hasil
Berbeda dengan bank konvensional yang menerapkan konsep bunga
sebagai keuntungan atas kredit yang diberikan, bank syariah menerapkan konsep
bagi hasil sebagai komponen terpenting dalam sistem moneter syariah dan
menjadi cerminan dari kinerja sektor riil. Sistem bagi hasil menyebabkan
distribusi kekayaan dan pendapatan yang semakin merata sehingga sektor riil
dapat tumbuh (Ayuniyyah 2010). Profit loss sharing sebagai konsep yang
diterapkan dalam sistem bagi hasil merupakan rasio bagi hasil antara musyarakah
dan mudharabah, dimana pada Bank Muamalat persentase pembiayaan
berdasarkan akad musyarakah dan mudharabah mencapai 38 persen.
Ada beberapa bentuk skema bagi hasil, yang dalam hal ini dibedakan
menurut dasar perhitungan pendapatan bagi hasil untuk masing-masing pihak
(Tarsidin 2010), yaitu;
1. Profit Sharing. Sebagai dasar perhitungan dengan keuntungan yang
diperoleh dari usaha yang dibiayai dengan kredit/pembiayaan. Keuntungan
merupakan selisih antara penjualan/pendapatan usaha dan biaya-biaya
usaha, baik berupa harga pokok penjualan/biaya produksi, biaya penjualan,
serta biaya umum dan administrasi. Penggunaan istilah profit sharing
dalam hal ini juga merujuk pula pada istilah profit and loss sharing,
mengingat besaran profit yang bisa bertanda positif (untung) atau negatif
(rugi).
13
2. Gross Profit Sharing. Dasar perhitungannya adalah gross profit (laba
kotor), yaitu penjualan/pendapatan usaha dikurang dengan harga pokok
penjualan/biaya produksi. Dengan skema ini, pihak-pihak yang berkontrak
tidak menghadapi kepastian di sisi biaya penjualan, serta biaya umum dan
administrasi.
3. Revenue Sharing. Dasar perhitungannya adalah penjualan/pendapatan
usaha. Dalam hal ini pemilik dana hanya menghadapi kepastian atas tinggi
rendahnya penjualan/pendapatan usaha dan tidak menghadapi
ketidakpastian atas biaya-biaya usaha (harga pokok penjualan/biaya
produksi, biaya penjualan dan biaya umum dan administrasi).
Penelitian Terdahulu
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rusydiana (2009) menyimpulkan
bahwa semakin tinggi SWBI yang ditetapkan Bank Indonesia maka akan semakin
rendah pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syariah. Terdapat hubungan
negatif antara pembiayaan syariah dan SBI, semakin tinggi SBI akan
menyebabkan penurunan pembiayaan syariah dan sebaliknya. Hal ini disebabkan
jika bank sentral menaikan suku bunga maka akan memicu perbankan
konvesional untuk menaikan suku bunga, baik pinjaman maupun deposito.
Ayuniyyah (2010) mengatakan bahwa instrumen moneter konvensional
memberikan guncangan yang lebih besar terhadap pertumbuhan sektor riil
dibandingkan dengan instrumen moneter syariah karena proporsi instrumen
konvensional yang masih mendominasi sampai dengan 97 persen dari share
perbankan nasional Indonesia. Instrumen moneter syariah pun memiliki
karakteristik yang lebih stabil dibandingkan dengan variabel moneter konvesional
karena kemampuannya yang cepat menemukan titik stabil. Selain itu, dapat
disimpulkan bahwa kebijakan moneter baik ekspansif maupun kontraktif dengan
suku bunga SBI, tidak mampu memengaruhi jumlah penawaran kredit investasi
perbankan umum melalui jalur bank lending.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Widyastuti dan Anwar (2009)
mengatakan bahwa dampak yang ditimbulkan akibat transaksi instrumen moneter
syariah terhadap kinerja perbankan syariah berhubungan positif dengan aset dan
dana pihak ketiga, serta berhubungan negatif dengan pembiayaan dan non
performing financing. Peranan instrumen moneter syariah SWBI memberikan
dampak yang lebih baik terhadap kinerja perbankan syariah daripada instrumen
moneter syariah PUAS. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian lain
yang dilakukan oleh Mutiara (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis
Pengaruh Instrumen Moneter Konvensional dan Syariah terhadap Penyaluran
Dana kepada UMKM”. SBI memiliki hubungan yang negatif terhadap kredit
UMKM. Begitu juga dengan SBIS yang memiliki hubungan yang negatif terhadap
pembiayaan UMKM. Perbankan akan lebih tertarik untuk mengalokasikan
dananya di SBI atau SBIS ketika terjadi kenaikan imbal hasil. Dari hasil FEVD,
baik dari jalur perbankan konvensional maupun syariah instrumen yang paling
berpengaruh adalah SBIS.
14
Pada penelitian lainnya tentang pembiayaan dikemukakan oleh Irawan
(2004), yaitu penawaran pembiayaan BUS di Indonesia secara nyata dipengaruhi
oleh variabel SWBI. Begitupun dengan variabel NPF yang berpengaruh signifikan
namun memiliki hubungan yang positif. Artinya, BUS lebih mengutamakan untuk
menyalurkan dana yang terkumpul dari DPK dan tidak terlalu memerhatikan NPF
ketika persentasenya berada pada kondisi yang tinggi. Permintaan dan penawaran
pembiayaan BUS dipengaruhi pula secara nyata oleh nisbah bagi hasil yang
diterima oleh pihak bank sesuai dengan yang diungkapkan oleh Maula (2008).
Maula (2008) dalam hasil penelitiannya menunjukkan margin memiliki
pengaruh secara positif dan signifikan terhadap pembiayaan murabahah. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi margin yang diperoleh
maka bank akan mempertinggi jumlah pembiayaan murabahah, hal ini didukung
dengan transaksi murabahah yang dominan dalam pelaksanaan investasi
perbankan syariah. Variabel NPF berpengaruh negatif dan signifikan sehingga
semakin tinggi NPF yang dimiliki oleh suatu bank maka bank akan lebih hati-hati
dengan mengurangi pembiayaan. Variabel DPK tidak berpengaruh positif
terhadap pembiayaan murabahah, hal ini disebabkan karena pembiayaan
murabahah bukan berasal dari DPK, namun berasal dari modal inti yaitu
pemegang saham suatu bank.
Hipotesis
1. Variabel SBIS memiliki hubungan negatif terhadap penyaluran
berupa pembiayaan investasi yang diberikan.
2. Variabel PUAS memiliki hubungan negatif terhadap penyaluran
berupa pembiayaan investasi yang diberikan.
3. Variabel DPK memiliki hubungan positif terhadap penyaluran
berupa pembiayaan investasi yang diberikan.
4. Variabel M memiliki hubungan positif terhadap penyaluran
berupa pembiayaan investasi yang diberikan.
5. Variabel PLS memiliki hubungan positif terhadap penyaluran
berupa pembiayaan investasi yang diberikan.
6. Variabel NPF memiliki hubungan negatif terhadap penyaluran
berupa pembiayaan investasi yang diberikan.
dana
dana
dana
dana
dana
dana
15
Kerangka Pemikiran
Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan
dalam bagan berikut:
Fungsi Intermediasi Bank
Dana Pihak Ketiga
Instrumen Moneter Syariah
SBIS
Program Pembiayaan
Pembiayaan
Investasi
PUAS
Margin
Pembiayaan
Modal Kerja
NPF
Gambar 2.1 Kerangka pemikiran
Keterangan :
= Ruang lingkup penelitian
= Alur analisis
= Tool
Pembiayaan
Konsumsi
16
METODE
Sumber dan Jenis Data
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, yaitu penelitian yang
digunakan untuk mengukur suatu fenomena tertentu dengan menggunakan
analisis statistik. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder berupa time series sebanyak 40 data, yaitu periode triwulanan dari Juli
2002 sampai dengan Juni 2012. Metode VAR/VECM dapat digunakan dalam
analisis data time series karena memiliki pendekatan yang meminimalkan teori
agar mampu menangkap fenomena ekonomi denan baik. Sumber data diambil dari
Muamalah Institute (MI), Bank Indonesia (BI), Statistik Perbankan Syariah Bank
Indonesia (SPSBI),
Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
(kemenkop) dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Variabel dan Definisi Operasional
Variabel yang digunakan dalam penelitian adalah SBIS, PUAS, INV, DPK,
M, PLS dan NPF yang selanjutnya akan dijabarkan sebagai berikut:
1. SBIS adalah bonus sertifikat bank Indonesia syariah yang diterima oleh
Bank Muamalat untuk menghimpun dana sementara dalam satuan rupiah
selama periode triwulanan Juli 2002 sampai Juni 2012.
2. PUAS adalah pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah dengan
menggunakan sertifikat investasi mudharabah antar bank, yaitu antar Bank
Muamalat dengan bank syariah lain. Data ini memiliki satuan rupiah yang
akan dilihat selama periode triwulanan Juli 2002 sampai Juni 2012.
3. INV adalah pembiayaan investasi dalam satuan rupiah yang diberikan oleh
Bank Muamalat sebagai pembiayaan investasi untuk usaha perseorangan
berdasarkan akad yang telah ditentukan selama periode triwulanan Juli
2002 sampai Juni 2012.
4. DPK merupakan dana pihak ketiga yang berasal dari nasabah Bank
Muamalat berupa tabungan, deposito, giro ataupun lainnya. Data ini
memiliki satuan rupiah yang diterima dalam kurun waktu selama periode
triwulanan Juli 2002 sampai Juni 2012.
5. M (margin) adalah pendapatan secara umum yang diperoleh Bank
Muamalat berupa persentase murabahah terhadap pembiayaan selama
periode triwulanan Juli 2002 sampai Juni 2012.
6. PLS adalah profit loss sharing, pendapatan yang diterima oleh Bank
Muamalat berupa total persentase pendapatan bagi hasil mudharabah dan
musyarakah terhadap pembiayaan selama periode triwulanan Juli 2002
sampai Juni 2012.
7. NPF adalah non performing financing, persentase jumlah pembiayaan
bermasalah secara umum yang diterima oleh Bank Muamalat dengan
17
kriteria kurang lancar, diragukan, dan macet terhadap total pembiayaan
yang diberikan selama periode triwulanan Juli 2002 sampai Juni 2012.
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Vector Autoregression (VAR)
Penyempurnaan persamaan simultan untuk mengidentifikasi variabel
eksogen dan endogen pada sistem dikritisi oleh Sims (1980). Tidak setiap teori
mampu menjelaskan hubungan variabel ekonomi dengan baik, baik itu penjelasan
teori terlalu rumit untuk menjelaskan fenomena yang ada ataupun fenomena yang
terjadi terlalu sulit untuk dijelaskan dengan teori yang ada. Sims menyarankan
penggunaan model Vector Autoregression (VAR) untuk melakukan peramalan
pada data time-series yang bersifat tidak teoritis atau dikenal juga dengan model
non-struktural. VAR merupakan model a-teori namun sangat berguna dalam
menganalisis hubungan antar variabel di dalam data time series. Dalam model
VAR ada dua hal yang perlu diperhatikan: 1) VAR mengasumsikan bahwa semua
variabel merupakan variabel endogen, 2) dalam melihat hubungan antara variabel
dibutuhkan lag optimum (Widarjono 2005).
Uji Stasioneritas
Langkah pertama dalam mengestimasi model VAR adalah dengan uji
stasioneritas data yang dapat dilakukan dengan menggunakan uji Augmented
Dickey-Fuller (ADF). Hasil uji akar unit ADF sangat akan dipengaruhi oleh lag
optimum. Setiap data time series yang merupakan suatu data dari hasil proses
stokastik yang bersifat random sebagai kumpulan dari variabel random dalam
urutan waktu. Suatu data hasil proses random dikatakan stasioner jika memenuhi
kriteria, yaitu jika rata-rata dan varian konstan sepanjang waktu dan kovarian
antara dua data runtun waktu hanya tergantung dari lag optimum antara dua
periode waktu tertentu (Widarjono 2005).
Uji stasioner dipengaruhi oleh lag optimum yang dapat diperoleh melalui
kriteria dari Akaike Information Criterion (AIC), Schwartz Information Criteria,
Hannan-Quin Criteria, Likelihood Ratio, maupun Final Prediction Error. Lag
optimum yang dipilih adalah lag optimum dengan nilai absolut terkecil, jika
criteria yang digunakan lebih dari satu, maka periksa adjusted R-square. R-square
dengan nilai paling besar menunjukkan lag optimum yang harus dipilih.
Pemilihan Lag Optimum
Penentuan lag optimum sangat penting karena penentuan lag optimum
berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sebuah sistem VAR.
Penentuan lag optimum juga berguna untuk menunjukkan jangka waktu reaksi
suatu variabel terhadap variabel lainnya.
Prosedur untuk menentukan apakah data stasioner atau tidak dengan cara
membandingkan antara nilai statistik DF dan ADF dengan nilai DF dan ADF tabel.
Jika nilai statistik DF dan ADF lebih besar dari nilai kritisnya, maka data yang
18
diamati menunjukkan stasioner. Sebaliknya data tidak stasioner jika nilai absolut
nilai statistik DF dan ADF lebih kecil dari nilai kritis distribusi statistik-t.
Uji Kointegrasi
Apabila data yang telah diamati pada uji akar unit ternyata tidak stasioner,
maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji kointegrasi. Kointegrasi adalah
suatu hubungan jangka panjang antar variabel yang tidak stasioner akan menjadi
stasioner jika variabel-variabel tersebut dikombinasikan secara linier. EngleGranger (1983) menyatakan bahwa keberadaan variabel non stasioner
menyebabkan kemungkinan besar terjadinya hubungan jangka panjang antar
variabel.
Uji Stabilitas VAR
Metode yang digunakan dalam melakukan analisis pengaruh instrumen
moneter syariah terhadap pembiayaan investasi di Bank Muamalat adalah dengan
menggunakan analisis impuls response function (IRF) dan analisis forecasting
error variance decomposition (FEVD). Sistem persamaan VAR yang telah
terbentuk harus diuji kestabilannya terlebih dahulu sebelum analisis selanjutnya
dilakukan, yaitu melalui VAR stability condition check. Uji stasbilitas VAR
dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi polinomial. Model VAR
tersebut dikatakan stabil, apabila semua akar dari fungsi polinomial tersebut
berada di dalam unit circle atau jika nilai absolutnya lebih kecil dari satu sehingga
IRF dan FEVD yang dilakukan dianggap valid.
Uji Kausalitas
Persamaan regresi yang dibangun biasanya lebih memusatkan perhatian
pada hubungan satu arah, namun dalam kenyataannya perilaku peubah ekonomi
tidak hanya mempunyai hubungan satu arah, tetapi juga menunjukkan adanya
hubungan dua arah yang dikenal dengan konsep kausalitas. Uji kausalitas adalah
pengujian untuk menentukan hubungan sebab-akibat antara peubah dalam sistem
VAR. hubungan sebab-akibat ini dapat diuji dengan menggunakan uji kausalitas
granger (Bambang 2012).
Impulse Response Function dan Forecast Error Variance Decomposition
Estimasi dengan menggunakan VECM diperdalam dengan melihat analisis
impulse response funtion (IRF). Secara umum, koefisien di dalam model VAR
sulit untuk diinterpretasikan, oleh karena itu para ahli menggunakan analisis IRF.
Analisis IRF ini merupakan salah satu alat analisis penting di dalam VAR yang
mampu menangkap respon dari variabel endogen di dalam sistem VAR karena
adanya goncangan (shock) atau perubahan dalam variabel gangguan.
Selain IRF, model VAR memiliki analisis forecast error variance
decomposition. Analisis ini digunakan untuk melihat bagaimana perubahan dalam
suatu variabel yang ditunjukkan oleh perubahan error variance dipengaruhi oleh
variabel-variabel lainnya. Analisis ini digunakan untuk menghitung seberapa
besar pengaruh acak guncangan dari variabel tertentu terhadap variabel endogen.
Dengan metode ini kita dapat melihat kekuatan dan kelebihan masing-masing
variabel dalam mempengaruhi variabel yang lainnya dalam kurun waktu yang
panjang (Bambang 2012).
19
Model Penelitian
Mengetahui pengaruh instrumen moneter syariah terhadap pembiayaan
investasi di Bank Muamalat dilihat dengan menggunakan variabel data
pembiayaan investasi, data SBIS, data PUAS, data profit loss sharing (PLS), data
margin dan data non performing financing (NPF). Model dapat pula dijabarkan
dijabarkan sebagai berikut;
INVt = ƒ(SBISt , PUASt , DPK t
PLSt , MARGINt , NPFt ) (1)
Model yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk matriks
sebagaimana berikut ini;
Xt = Ʃi=1 Ai Xt-i + ℯt
(2)
Matriks selanjutnya dapat dijabarkan sebagai berikut;
=
[
]
+
[ ]
dimana :
Log_INV
Log_SBIS
Log_PUAS
Log_PLS
Log_M
Log_NPF
aij
ℯ
[
] [
ℯ
ℯ
ℯ
+
(3)
ℯ
ℯ
[
ℯ ]
]
: Pembiayaan investasi Bank Muamalat
: Bonus SBIS yang diterima Bank Muamalat
: PUAS yang diikuti Bank Muamalat
: Profit loss sharing yang diterima Bank Muamalat
: Margin yang diterima Bank Muamalat
: Non performing financing pada Bank Muamalat
: koefisien regresi pada model VAR
: error
GAMBARAN UMUM
Gambaran Umum Perusahaan
PT. Bank Muamalat Ind