Analisis pemasaran garam di Kabupaten Sumenep Jawa Timur

ANALISIS PEMASARAN GARAM
DI KABUPATEN SUMENEP JAWA TIMUR

FIDDINI ALHAM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Pemasaran Garam di
Kabupaten Sumenep Jawa Timur adalah karya saya sendiri dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2013


Fiddini Alham
NIM H451110531

RINGKASAN
FIDDINI ALHAM. Analisis Pemasaran Garam di Kabupaten Sumenep Jawa
Timur Dibimbing oleh SUHARNO dan AMZUL RIFIN.
Kabupaten Sumenep merupakan salah satu daerah penghasil garam di
Indonesia. Garam mempunyai peranan penting hampir dalam seluruh proses
produksi dan industri, karena garam tidak memiliki barang pengganti, sehingga
garam menjadi komoditi yang strategis. Selama ini mata rantai tata niaga garam
dikuasai oleh segelintir perusahaan, kegiatan hilir didominasi oleh industri skala
besar dengan jaringan yang kuat sedangkan kegiatan hulu didominasi oleh
kegiatan pengelolaan garam dengan teknologi sederhana (Kementerian Kelautan
dan Perikanan, 2012). Dalam proses pemasarannya, petani dikondisikan hanya
sebagai produsen garam, tidak memiliki andil dalam penentuan harga, maupun
penentuan teknis kualitas garam yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan tertutupnya
akses petani terhadap informasi mutu dan perkembangan harga yang
menyebabkan mayoritas petani memiliki daya tawar atau bergining position
lemah dalam penentuan harga dan cendrung sebagai penerima harga (price taker).
Kondisi ini semakin diperparah oleh keterbatasan sarana dan prasarana, akses

pemodalan, serta akses untuk masuk pasar yang menyebabkan terbatasnya pilihan
saluran pemasaran bagi petani. Dari kondisi di atas penulis menduga bahwa
pemasaran garam yang terjadi saat ini di Kabupaten Sumenep tidak efisien.
Dibutuhkan analisis mengenai pemasaran garam dengan menggunakan
pendekatan structure, conduct dan performance (SCP). Berdasarkan uraian
tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur, perilaku dan
kinerja pasar garam di Kabupaten Sumenep. Lokasi penelitian dipilih secara
sengaja (purposive), sedangkan responden dalam penelitian dipilih secara acak
sederhana (simple random sampling) melalui penelusuran rantai pemasarannya.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pemasaran garam di Kabupaten
Sumenep tidak efisien, tidak adil, serta tidak transparan. Hal ini disimpulkan
dengan pendekatan struktur, perilaku, dan kinerja pasar garam yaitu, analisis
struktur pasar industri garam di Kabupaten Sumenep cenderung oligopsoni, hal ini
disimpulkan dari berbagai indikator: (a) jumlah partisipan dalam pasar yang tidak
seimbang antara penjual dan pembeli, (b) konsentrasi pasar tinggi, didominasi
oleh sedikit pesaing, (c) adanya hambatan masuk pasar mulai dari modal, jaringan
kerjasama, lisensi, teknologi. Analisis perilaku pasar menunjukkan bahwa terdapat
lembaga yang dominan dalam pelaksanaan kegiatan pemasaran. Lembaga tersebut
adalah perusahaan pengolahan. Terjadi kerjasama dan praktek tidak jujur dalam
proses pemasaran garam ini. Praktek tidak jujur ini terlihat dari (a) pedagang

pengumpul masih merupakan agen (kaki tangan) perusahaan, (b) penjualan garam
tidak disertai dengan penimbangan akurat (c) penentuan harga dominan berada
pada lembaga pemasaran ini. Analisis kinerja pasar menunjukkan bahwa
pemasaran belum efesien. Keuntungan yang tidak merata dengan balas jasa pada
fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan, farmer’s share yang rendah pada
seluruh saluran (≤20%), pasar tidak terintegrasi dalam jangka pendek dan jangka
panjang, sehingga kenaikan harga di tingkat retail tidak tertransmisikan di tingkat
petani.
Kata kunci: petani garam, structure, conduct, performance.

SUMMARY
FIDDINI ALHAM. Marketing Analysis of Salt in Sumenep Dsitrict, East Java.
Supervised by SUHARNO and AMZUL RIFIN.
Sumenep District is one of salt producing areas in Indonesia. Salt plays an
important role in almost all industrial processes and production because salt does
not have a substitute good, therefore salt becomes a strategic commodity. So far,
the link of the salt chain trade system is controlled by several companies, where
downstream activities are dominated by large -scale industry with strong network
while upstream activities are dominated by salt management activities with simple
technology (Ministry of Marine and Fisheries, 2012). In the marketing process,

farmers are conditioned as marginal salt producers which cannot contribute, both
in price determination and the technical determination of the quality of the salt
produced. This is due to the limited access for farmer to get the information about
quality and price developments that make the majority of farmers to have weak
bargaining position then finally have the tendency to be the price taker. This
condition then becomes worse because of other factors such as limited facility and
infrastructure, limited access to capital, and limited access to enter the market that
lead farmers to limitation choice for marketing channels. Based on the condition
above, author expects that the salt marketing in Sumenep today is inefficient.
Therefore, Analysis of salt marketing by using structure, conduct and performance
(SCP) approach is needed. This study aims to analyze the structure, conduct and
performance of salt market in Sumenep. Research locations were selected
intentionally (purposive), while respondents were randomly selected (simple
random sampling) through their marketing chain.
The analysis showed that the salt marketing in Sumenep is inefficient,
unfair and not transparent. It is concluded by structure, conduct, and performance
approach of the salt market. Structure analysis indicated that the market structure
of the salt industry in Sumenep tends to be oligopsonistic. It is inferred from
several indicators: (a) the unbalanced number of participants (between sellers and
buyers) in the market, (b) high market concentration which dominated by few

competitors, (c) the existence of barriers to entry the market, from the capital,
networks, licensing to technology. Conduct analysis for the market suggested that
there is a dominant institution for marketing activities; the processing company.
Cooperation and dishonest practices also occur in the marketing process.
Dishonest practices can be seen from (a) the collective traders are also agents
(accomplices) of a company, ( b) the salt sale does not accompanied by accurate
weighing (c) dominant price is determined by these marketing agencies. Market
performance analysis showed that the salt marketing is not yet efficient. Uneven
profit with the remuneration in the marketing functions performed, the low farmer
share in all channels (≤20%), and also the unintegrated market, both in the short
run and long run become the causal factor why the increasing price in the retail
level can not be transmitted to the farm level.
Keywords : small holding salt farmers, structure, conduct, performance.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan ngutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk laporan apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS PEMASARAN GARAM DI KABUPATEN
SUMENEP JAWA TIMUR

FIDDINI ALHAM

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis


: Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Penguji Program Studi

: Dr Ir Dwi Rachmina, MSi

Judul Tesis
Nama
NIM

: Analisis Pemasaran Garam di Kabupaten Sumenep Jawa
Timur
: Fiddini Alham
: H451110531

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Suharno, MAdev

Ketua

Dr Amzul Rifin, SP MA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Magister Sains Agribisnis

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 30 Agustus 2013

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena rahmat dan
hidayah-Nya, tesis yang berjudul “Analisis Pemasaran Garam di Kabupaten
Sumenep Jawa Timur” dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat
untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Master pada Program Studi
Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tesis ini dapat
diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu,
dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih yang setinggi tingginya kepada semua pihak yang telah membantu,
khususnya kepada:
1. Dr Ir Suharno, MAdev, selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Dr
Amzul Rifin, SP MA selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala
bimbingan, arahan, motivasi, dan bantuan yang telah diberikan kepada
penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini.
2. Dr Andriono Kilat Adi, MS selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan
kolokium proposal penelitian yang telah memberikan banyak arahan dan
masukan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik.
3. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku dosen penguji luar komisi dan Dr
Ir Dwi Rachmina, M Si selaku dosen penguji perwakilan program studi
pada ujian tesis.

4. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis
dan Dr Ir Suharno, MAdev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis,
serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas dorongan semangat,
bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani
pendidikan pada Program Studi Agribisnis.
5. Ucapan terimakasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Biro Perencanaan Kerjasama Luar Negeri (BPKLN) yang telah
memberikan beasiswa pendidikan kepada penulis.
6. Petani Garam di Kabupaten Sumenep Jawa Timur yang telah bersedia
menjadi responden dalam penelitian ini.
7. Teman-teman seperjuangan Angkatan II pada Program Studi Agribisnis
atas diskusi, masukan, dan bantuan selama mengikuti pendidikan.
8. Penghormatan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis
sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Ali Yusman Syam dan
Hamsiah, serta kakak Faisal Ali Ahmad dan Fitri Alham.
Bogor, Agustus 2013

Fiddini Alham

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Struktur Pasar Komoditas Pertanian
Perilaku Pasar Komoditas Pertanian
Kinerja Pasar Komoditas Pertanian
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Teoritis
Kerangka Operasional
4 METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengambilan Contoh
Metode Analisis Data
5 EKONOMI GARAM
6 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Struktur Pasar Garam
Analisis Perilaku Pasar Garam
Analisis Kinerja Pasar Garam
7 SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

xv
xvi
xvi
1
1
2
4
4
4
4
4
5
6
6
6
15
17
17
17
17
17
22
32
32
36
45
56
57
59
64

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Tingkat kebutuhan, produksi dan impor garam nasional tahun
2008-2011
Tipe-tipe pasar berdasarkan kondisi utama
Jenis dan penggunaan garam
Perkembangan konsumsi garam Indonesia tahun 2007-2012
Identitas petani responden garam di Kabupaten Sumenep
Perbandingan jumlah partisipan pasar garam di Kabupaten
Sumenep tahun 2011
Pangsa pasar dan konsentrasi pasar 6 perusahaan pengolahan
garam di Jawa Timur tahun 2012
Hambatan pesaing untuk masuk dalam setiap lembaga
pemasaran
Aktivitas penjualan garam oleh petani responden
Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan di tingkat petani
responden
Produksi garam bahan baku PT Garam berdsarakan kualitas
yang dihasilkan di Kabupaten Sumenep
Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan di tingkat PT Garam
sebagai produsen raw material
Aktivitas penjualan garam oleh pedagang pengumpul responden
Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan di tingkat pedagang
pengumpul
Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan di tingkat perusahaan
pengolahan
Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan di tingkat distributor
Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan di tingkat retail
Sumber informasi dan proses penentuan harga garam pada
setiap lemabga pemasaran
Sistem pembayaran pada setiap lembaga pemasaran
Farmer’s share komoditas garam di Kabupaten Sumenep tahun
2012
Indeks integrasi pasar garam pada jangka pendek
Indeks integrasi pasar garam pada jangka panjang

2
8
24
25
32
33
34
36
38
39
40
40
41
41
43
43
44
44
45
52
54
54

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Pola pergerakan garam di tingkat petani dan retail
Paradigma structure conduct dan performance
Kurva biaya rata-rata jangka panjang
Marketing marjin
Kerangka pemikiran operasional
Luas lahan garam nasional tahun 1997-2012
Perkembangan produksi garam nasional tahun 1997-2012

3
7
10
12
16
23
24

8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Perkembangan produktivitas tambak garam tahun 1997-2012
Volatilitas harga di tingkat petani dan retail
Tata niaga garam di Indonesia
Saluran pemasaran garam 1
Saluran pemasaran garam 2
Saluran pemasaran garam 3
Saluran pemasaran garam 4
Saluran pemasaran garam 5
Gabungan seluruh saluran pemasaran pergaraman di Kabupaten
Sumenep
Disrtibusi harga beli, biaya, harga jual, keuntungan setiap
lembaga pemasaran pada saluran pemasaran 1
Disrtibusi harga beli, biaya, harga jual, keuntungan setiap
lembaga pemasaran pada saluran pemasaran 2
Disrtibusi harga beli, biaya, harga jual, keuntungan setiap
lembaga pemasaran pada saluran pemasaran 3
Disrtibusi harga beli, biaya, harga jual, keuntungan setiap
lembaga pemasaran pada saluran pemasaran 4
Hubungan keterkaitan antara struktur, perilaku dan kinerja pasar
garam di Kabupaten Sumenep

26
27
30
46
46
46
47
47
48
49
50
50
51
56

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Analisis marjin pemasaran dan farmer’s share garam di
Kabupaten Sumenep
Hasil output analisis integrasi pasar vertikal

61
63

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar didunia yang terdiri dari
17 508 pulau, dan luas pantai yang panjangnya hampir 100 000 kilometer. Hal ini
menguntungkan Indonesia karena memiliki sumber daya pesisir berupa hayati
(ikan, mangrove, lamun, terumbu karang), non hayati (garam, pasir laut,
polimethalic nodules), serta jasa-jasa lingkungan (pariwisata, industri maritim,
OTEC, pasut sebagai pembangkit energi listrik). Sumber daya ini memberikan
banyak manfaat berupa mata pencahariaan bagi rakyat Indonesia. Baik menjadi
nelayan, petani garam, serta usahalain yang terkait.
Salah satu sumber daya di atas yang menjadi persoalan di Indonesia saat
ini adalah garam. Indonesia merupakan sentra produksi garam nomor ke 30
terbesar didunia. Garam dapat digolongkan menjadi 2 bagian, yaitu: a) garam
konsumsi yang memenuhi SNI garam dengan kadar NaCl minimal 94.7 persen,
garam untuk konsumsi ini meliputi garam konsumsi rumah tangga, industri aneka
pangan, dan untuk industri pengasinan dan pengawetan ikan, b) garam industri
yaitu garam untuk pembuatan soda elektrolitis, atau Chlor Alkali Plan (CAP)
dengan kadar NaCl tinggi minimal 99.7 persen dan industri lainnya (garam non
CAP) dengan kadar NaCl tinggi minimal 97 persen (Kementerian Kelautan dan
Perikanan, 2011).
Garam mempunyai peranan penting hampir dalam seluruh proses produksi
industri dan konsumsi masyarakat, sehingga menjadi komoditi yang strategis.
Garam merupakan barang yang tidak memiliki barang pengganti. Pada Tabel 1
terlihat kebutuhan dan produksi garam Indonesia dari tahun 2008 hingga tahun
2011. Produksi garam tahun 2008-2011 sangat berfluktuasi, terjadi penurunan
yang sangat drastis pada tahun 2010, dikarenakan cuaca yang tidak menentu.
Mengingat proses produksi garam di negara kita masih menggunakan solar
evaporation (cahaya matahari). Pada tahun 2011 kebutuhan garam nasional baik
industri maupun konsumsi merupakan garam imporsebesar 1.7 juta ton. Hal ini
dikarenakan kebutuhan garam konsumsi mencapai 1.1juta ton dan garam industri
1.8juta ton, sedangkan produksi garam nasional ditahun ini hanya mencapai 1.4
juta ton. Impor ini dilakukan mengingat bahwa negara kita memang belum
mampu menghasilkan kualitas garam sesuai dengan ketentuan SNI (Kementerian
Kelautan dan Perikanan 2012).

2

Tabel 1 Tingkat kebutuhan, produksi dan impor garam nasional tahun 2008-2011
Uraian
Kebutuhan Garam
A. Garam Konsumsi
a. Rumah Tangga
b. Industri Aneka Pangan
c. Industri Pengasinan Ikan
B. Garam Industri
a. Industri CAP
b. Industri NON CAP
Produksi Garam
A. Garam Konsumsi
B. Garam Industri

2008
2888920
1140920
687000
154920
299000
1748000
1550000
198000
1199000
1199000
0

2009
2960250
1160150
700000
160150
300000
1800100
1600000
200100
1371000
1371000
0

2010
3003550
1200800
720000
165800
315000
1802750
1600000
202750
30600
30600
0

2011
2900000
1100000
750000
250000
100000
1800000
1600000
200000
1400000
1400000
0

Impor Garam (Realisasi)
A. Garam Konsumsi
B. Garam Industri

1630793
88500
1542293

1736453
99754
1636 699

2187632
597583
1590049

1707509
923756
783753

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012
Posisi Indonesia sebagai negara kepulauan, menyebabkan beberapa daerah
menjadi pusat produksi garam. Produksi garam terkonsentrasi di Pulau Jawa dan
Madura, misalnya Jawa Barat dengan pusat konsentrasi produksi garam di
Kabupaten Indramayu dengan luas 1 533 ha, Kabupaten Cirebon 1 447 ha. Di
Jawa Tengah terpusat di Kabupaten Pati dengan luas 2 407 ha, Kabupaten
Rembang 1 590.90 ha. Sedangkan di Madura terpusat di Kabupaten Sampang
dengan luas 4 200 ha, dan Kabupaten Pamekasan 1 795.70 ha. Sedangkan di
Kabupaten Sumenep sendiri produsen garam diklasifikasikan menjadi dua
kelompok yaitu usaha garam yang dikelola oleh rakyat dengan luas lahan lebih
kurang 1 408.68 ha, sedangkan 2 595 ha dimiliki oleh PT. Garam. Keberadaan
PT. Garam bukan saja sebagai produsen raw material namun juga sebagai
perusahaan pengolahan garam, disamping itu PT. Garam juga menyerap atau
membeli garam rakyat.
Masalah pergaraman rakyat di Indonesia sangat kompleks, ketika produksi
yang dilakukan masih sangat tradisional tergantung pada sinar matahari (solar
evaporation), kualitas garam yang dihasilkan belum sesuai dengan yang
diharapkan. Permasalahan ini semakin rumit, dimana sarana dan prasarana
produksi belum memadai, lahan garam belum berada dalam satu hamparan yang
luas tetapi terfragmentasi dalam lahan-lahan skala kecil. Selain itu, kelembagaan
para petani garam masih relatif lemah terutama petani garam yang menyewa, bagi
hasil atau buruh tambak. Ditambah lagi mata rantai tata niaga garam dikuasai oleh
beberapa perusahaan yang juga mendapat lisensi untuk mengimpor (Kementerian
Kelautan dan Perikanan, 2011). Pemasaran merupakan suatu hal yang tidak bisa
dipisahkan dengan usaha produksi, karena pemasaran merupakan ujung tombak
untuk menilai berhasilnya usaha yang dijalankan.
Dalam kegiatan pemasaran garam, kegiatan hilir didominasi oleh industri
skala besar dan retail dengan jaringan yang kuat sedangkan kegiatan hulu
(produksi garam) didominasi oleh kegiatan pengelolaan garam dengan teknologi
tradisional. Ketidakseimbangan ini, membuat keuntungan lebih dinikmati oleh
industri hilir (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011). Sehingga peneliti
menduga, pemasaran garam tidak efisien dan adil. Dibutuhkan analisis mengenai
pemasaran garam dengan menggunakan pendekatan structure, conduct dan

3

performance (SCP). Pemilihan pendekatan SCP dikarenakan menurut Soekartawi
(2002) pendekatan SCP merupakan teknik yang relatif baru dalam menganalisis
efisiensi pemasaran dan sekaligus memperhatikan welfare sociaty.

Rumusan Masalah
Kabupaten Sumenep merupakan pusat perdagangan garam di Pulau
Madura pada khususnya dan Provinsi Jawa Timur pada umumnya. Sebagian besar
penduduk Sumenep ± 3 322 orang bekerja sebagai petani garam. Terdapat lebih
kurang 300 pedagang pengumpul dan tiga perusahaan pengolahan skala besar
dalam pengolahan garam (raw material) menjadi garam konsumsi dan kebutuhan
lainnya. Di samping itu PT Garam juga merupakan produsen garam terbesar di
Kabupaten ini. Sesuai dengan latar belakang penelitian di atas adanya pihak-pihak
yang mendominasi perdagangan garam di Kabupaten Sumenep menyebabkan
ketidakadilan dan kegagalan pasar.
Harga dasar (floor price) yang ditetapkan oleh pemerintahRp750 per kg
untuk garam dengan kualitas 1 (KP1), kualitas2 (KP2) Rp550 tidak terlaksana
hingga saat ini. Harga garam di tingkat petani hanya mencapai Rp480 per kg
untuk kualitas 1, sedangkan garam dengan kualitas 2 berkisar pada harga Rp300
per kg nya. Pada tingkat retail, harga relatif tinggi berkisar Rp4 000 hingga Rp5
000 per kg (Kementerian Perdagangan, 2012). Intervensi pemerintah belum
mampu memperbaiki tata niaga garam di Kabupaten Sumenep. Pergerakan harga
antara tingkat petani dengan retail dari tahun 2008 hingga 2012 dapat dilihat pada
Gambar 1.
4500
4000

Rupiah/Kg

3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
2003

2004

Garam KP 1

2005

2006

2007

Garam KP 2

2008

2009

2010

Garam KP 3

2011

2012

Retail

Sumber: Kementerian Perdagangan, 2012
Gambar 1 Pola pergerakan harga garam di tingkat petani dan retail
tahun 2003-2012
Dalam proses pemasarannya, petani dikondisikan hanya sebagai produsen
garam, tidak memiliki andil dalam penentuan harga, maupun penentuan teknis
kualitas garam yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan tertutupnya akses petani

4

terhadap informasi mutu dan perkembangan harga yang menyebabkan mayoritas
petani memiliki daya tawar atau bergaining position lemah dalam penentuan
harga dan cenderung sebagai penerima harga (price taker). Jika terjadi kenaikan
harga garam, petani tidak pernah menikmati keuntungan tersebut. Kondisi ini
semakin diperparah oleh keterbatasan sarana dan prasarana, akses pemodalan.
Integrasi kegiatan pemasaran dari hulu dan hilir ini perlu dikembangkan
secara sinergis sehingga terjadi distribusi keuntungan ekonomi yang lebih adil,
dan efisiensi dalam industri garam. Efisiensi dan keadilan dalam sistem
pemasaran berkaitan erat dengan farmer’s share, marjin pemasaran, serta integrasi
pasar dimana ketiga indikator ini merupakan beberapa bagian dari analisis kinerja
pasar (performance). Namun dalam penelitian ini tidak hanya menggunakan satu
pendekatan saja, tapi juga menggunakan pendekatan struktur pasar (structure) dan
Perilaku pasar (conduct), karena adanya hubungan yang komprehensif pada tiga
pendekatan ini. Menurut Philips (1970) dalam Asmarantaka (2012)mengajukan
keterkaitan hubungan dua arah yang bersifat timbal balik dan sifat hubungan
endogenous diantara veriabel-variabel SCP serta memperhitungkan waktu.
Pendekatannya menunjukkan bahwa structure (S), conduct (C), dan performance
(P) dalam satu waktu berada pada sistem dimana S dan C adalah penentu dari P,
dilain waktu S dan C ditentukan oleh P. Hal ini menunjukkan suatu sistem
dinamis yang mengembangkan respon penyesuaian dari perusahaan terhadap
kondisi pasar dan keadaan yang memungkinkan.

Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang diuraikan, maka tujuan
penelitian ini secara umum akan mengkaji sistem pemasaran Garam di Kabupaten
Sumenep, dan secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis struktur pasar garam di Kabupaten Sumenep.
2. Menganalisis perilaku pasar garam di Kabupaten Sumenep.
3. Menganalisis kinerja pasar garam di Kabupetan Sumenep.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bahan
pertimbangan bagi berbagai pihak yang berkepentingan, antara lain bagi
pemerintah diharapkan dapat merumuskan kebijakan yang tepat dalam
meningkatkan kesejahteraan petani garam sebagai bahan referensi untuk penelianpenelitian selanjutnya. Serta sebagai proses pembelajaran bagi penulis.

Ruang Lingkup Penelitian
1. Penelitian ini mengkaji seluruh lembaga pemasaran Garam di Kabupaten
Sumenep.
2. Penelitian ini mencakup analisis struktur pasar (pangsa pasar, konsentrasi pasar
dan hambatan masuk pasar), perilaku pasar (sistem penentuan harga, praktek

5

penjualan dan pembelian, kerjasama lembaga pemasaran), kinera pasar (marjin
pemasaran, farmer’sshare, integrasi pasar vertikal.
2

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan menjelaskan beberapa penelitian-penelitian yang terkait
dengan pemasaran menggunakan pendekatan struktur, perilaku, dan kinerja pasar.
Dalam bab ini juga akan terlihat perbedaan dan persamaan penelitian ini dengan
penelitian terdahulu.

Struktur Pasar Komoditas Pertanian
Penelitian yang dilakukan oleh Azizi et al. (2011) mengenai analisis
pemasaran garam rakyat di Kabupaten Pati Jawa Tengah, diperoleh bahwa
struktur pasar garam rakyat cenderung kepada pasar yang oligopsonik. Dalam
menentukan struktur pasar garam di Kabupaten Pati ini peneliti hanya
menggunakan perbandingan jumlah partisipan pasar. Akan berbeda sekali dengan
penelitian yang akan di lakukan, dimana penulis menggunakan beberapa alat
analisa dalam menentukan struktur pasar garam di Kabupaten Sumenep, seperti
CR4.
Penelitian selanjutnya mengenai analisa pemasaran garam rakyat studi
kasus Kecamatan Kalianget Kaupaten Sumenep yang dilakukan oleh Suherman et
al. (2011) dimana strutur pasar dianalisa secara kualitatif maupun kuantitaif.
Analisa kualitatif dapat dilihat dari jumlah penjual dan pembeli, diferensiasi
produk dan hambatan keluar masuk pasar. Sedangkan analisa kuantitaf
menggunakan analisa konsentrasi ratio. Dilihat dari jumlah penjual dan pembeli
yang tidak seimbang, maka pemasaran garam di Desa Kertasada Kecamatan
Kalianget dikategorikan sebagai pasar tidak efisien, karena beberapa tingkat pasar
hampir semuanya mengarah ke pada pasar monopsoni. Sedangkan dilihat dari
aspek diferensiasi produk, tidak ada perubahan bentuk yang dapat menciptakan
nilai tambah dari garam yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemasaran yang
terlibat. Sedangkan hambatan keluar masuk pasar dapat dilihat dari kondisi
dimana petani yang memiliki hubungan seperti pinjaman kepada tengkulak, tidak
bisa memilih menjual garam kepada saluran pemasaran yang lain yang dapat
memberikan harga yang lebih baik. Sedangkan dalam pasar antara tengkulak
dengan tengkulak lainnya tidak dapat keluar masuk pasar secara bebas, karena
para tengkulak kesulitan dalam mendapatkan garam dari petani, hal ini
disebabkan para petani sebagian besar terikat secara tidak formal dengan
tengkulak lain yang sudah lama memiliki ikatan dengan mereka.
Kementerian Perdagangan di tahun 2010 juga melakukan penelitian
mengenai pemasaran garam dengan pendekatan struktur. Penelitian ini membahas
mengenai struktur pasar garam di beberapa wilayah Indonesia. Pemanfaatan hasil
produksi garam di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan sebagai daerah produsen
biasanya langsung dijual ke pedagang besar, baik untuk konsumsi lokal maupun
untuk provinsi lain. Di beberapa wilayah seperti di Indonesia Bagian Timur,
biasanya pabrikan mendatangkan garam dari Surabaya atau Makasar, kemudian

6

diolah (yodifikasi) dan selanjutnya dipasarkan. Jumlah pabrikan sebagai produsen
garam beryodium relatif sedikit, sementara lembaga perantara selanjutnya makin
banyak. Khusus untuk kawasan Nabire, produsen pengolah hanya satu perusahaan
dan daerah Papua tidak memiliki produsen pengolah sama sekali. Setelah di olah
di pabrikan penjualan produk dari pabrikan umumnya dijual ke pedagang besar
propinsi (distributor) atau kabupaten dan selanjutnya dijual ke pengecer.
Mengalirnya barang ke tangan konsumen pastinya memerlukan informasi pasar.
Informasi pasar biasanya bersumber dari distributor atau pedagang besar. Para
pedagang maupun petani biasanya memperoleh informasi harga dari sesama
pedagang maupun media massa. Sedangkan untuk harga jual ke pedagang
pengecer atau ke level pemasarannya selanjutnya berdasarkan modal pembelian
ditambah dengan biaya transportasi dan keuntungan. Sehingga pasar garam
disimpulkan menjadi pasar oligopoli.
Dalam beberapa penelitian lainpun menunjukkan bahwa struktur pasar
yang dihadapi oleh petani adalah pasar oligopsoni (Bosenaet al 2011; Mmasa et al
2013; Funke et al; 2012). Dimana beberapa penelitian ini disimpulkan
menggunakan beberapa indikator yaitu jumlah partisipan dalam pasar, nilai CR4,
hambatan keluar masuk pasar.

Perilaku Pasar Komoditas Pertanian
Penelitian Suherman et al. (2011) mengenai pemasaran garam di
Kecamatan Kalianget mengenai perilaku pasar menyatakan terdapat praktek tidak
jujur dalam pemasaran garam, hal ini terlihat dari kejadian dimana petani yang
memiliki hubungan dengan tengkulak menetapkan harga garam di bawah standar
yang telah ditentukan oleh pemerintah. Begitu juga dengan penelitian yang
dilakukan oleh Azizi et al. (2011) mengenai pemasaran garam di Kabupaten Pati
adanya kolusi dalam pemasaran garam di daerah ini. Beberapa lembaga
pemasaran yang terlibat dalam pemasaran garam yaitu : petani garam sebagai
produsen, pedagang pengumpul, pedagang perantara dan pedagang besar, maka
pedagang pengumpul merupakan agen atau kaki tangan pedagang perantara
maupun pedagang besar. Pedagang Besar memiliki peran yang dominan dan dapat
menguasai info pasar.
Kementerian Perdagangan (2010) dalam penelitiannnya mengenai perilaku
pasar garam menyimpulkan bahwa terdapat sembilan poin yang menggambarkan
perilaku pasar garam di Indonesia :
1. Pada umunya tidak ditemui pemasaran yang dilakukan secara berkelompok
antar produsen pabrikan.
2. Perlakuan terhadap produk oleh produsen pabrikan umumnya adalah sortasi,
proses yodifikasi, pengemasan hingga pendistribusian. Pendekatan fungsi
dalam pemasaran garam di beberapa wilayah Indonesia ini mencakup : a)
fungsi pengangkutan, pergerakan produk dari daerah sentra produksi ke
konsumen akhir melalui beberapa tahap. Sehubungan dengan negara kita
adalah negara kepulauan pengangkutan garam dari pulau ke pulau biasanya
menggunakan kapal laut, hal ini dikarenakan transportasi ini lah yang biayanya
lebih rendah, namun risiko yang ditanggung lembaga pemasaran lebih tinggi.
Setelah produk sampai di pelabuhan, biasanya akan diambil oleh pihak-pihak

7

pabrikan, yang nantinya produk akan di olah dan dipasarkan kembali ke
konsumen akhir menggunakan jalur darat atau sesuai dengan sarana dan
prasarana yang tersedia. b) Fungsi sortasi, fungsi ini biasanya dilakukan lagi di
tingkat pedagang perantara, dikarenakan jarak yang jauh akan mengakibatkan
produk rusak. c) Fungsi pengemasan, pengemasan bertujuan untuk
mempermudah penjualan dan melindungi produk dari kerusakan. Biasanya di
level pabrikan garam telah di kemas ke dalam botol atau plastik. Kemasan ini
biasanya berukuran 0.25 kg, 0.5 kg dan 1 kg, bungkusan-bungksusan ini
nantinya dikemas lagi dalam karung plastik berisi 40 pak, dan setiap pak berisi
6 bungkus. d) Fungsi penyimpanan, kegiatan penyimpanan dilakukan
menunggu garam laku terjual sekaligus sebagai stok, fungsi penyimpanan
disetiap level pemasaran sangat penting untuk menjaga stok karena ditakutkan
terjadinya kerusakan sarana angkutan atau mengalami hambatan dalam proses
distribusi pada saat musim hujan. Ketidakpastian penawaran (supply) akan
mempengaruhi harga, hal ini juga lah yang menyebabkan fungsi penyimpanan
sangat penting. e) Fungsi pembelian dan penjualan, dengan mengalirnya
barang dari produsen ke konsumen akhir pastinya akan melakukan fungsi
pembelian dan penjualan ini.
3. Kolusi antar lembaga pemasaran biasanya tidak terjadi pada sesama distributor
atau pedagang besar, demikian juga di tingkat pedagang pengecer. Asosiasi
garam di daerah tertentu mengatur skema pendistribusian garam mulai dari
pabrikan hingga area distribusi.
4. Perlakuan terhadap produk oleh lembaga perantara hanya meliputi
pendistribusian.
5. Diversifikasi penjualan oleh lembaga perantara berdasarkan kualitas terhadap
produk garam sudah dilakuan sejak dari pabrikan. Beberapa pabrikan biasanya
telah memberi merek, kemasan dan kandungan yang berbeda untuk kebutuhan
konsumen yang beragam.
6. Sistem pembelian produk dari produsen pabrikan oleh lembaga perantara
umumnya melalui distributor. Namun di beberapa pedagang langsung membeli
ke pabrikan.
7. Sistem penentuan harga antara produsen pabrikan dengan lembaga perantara
umunya relatif tetap dan disarkan pada hasil tawar menawar di antara
keduanya. Penentuan harga di beberapa daerah terpencil lebih banyak
ditentukan oleh pabrikan dan pedagang besar dan pengecer hanya menerima
harga.
8. Sistem pembayaran dari lembaga perantara ke produsen dapat dilakukan
dengan beberapa cara yaitu : pembayaran tunai sesuai dengan jumlah
pembelian atau setelah dikurangi biaya produksi, pembayaran secara tempo
sesuai dengan hasil kesepakatan produsen dengan lembaga perantara. Biasanya
tempo yang diberikan maksimal satu minggu setelah sebelumnnya lembaga
perantara memberikan uang muka pada produsen.
9. Praktek-praktek tidak jujur diantara lembaga perantara umumnya tidak
dijumpai.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Bosena et al. (2011)dalam
metodologinya untuk menganalisis perilaku pasar, maka peneliti mendeteksi
indikator penetapan harga yang tidak wajar dan tidak adil di setiap level
pemasaran. Isu-isu yang dipertimbangkan adalah adanya pemasaran formal dan

8

informal kelompok yang mempengaruhi daya tawar dan ketersedian informasi
harga serta dampaknya pada harga yang berlaku. Analisis berikutnya yaitu
mekanisme penentuan harga, faktor yang mempengaruhi penetapan harga,
patokan dasar dalam diferensiaasi harga, dan dampak lokasi fisik pasar pada
harga. Dari hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak adanya sistem harga
yang kompetitif, sekitar 90 persen petani menunjukkan bahwa mereka tidak
memiliki kekuatan dalam menentukan harga. Hal ini menunjukkan penyimpangan
pasar kapas dari norma pasar yang kompetitif baik dalam praktek penjualan,
pembeilan dan strategi harga.

Kinerja Pasar Komoditas Pertanian
Masih dalam penelitian Azizi et al. (2011) mengenai kinerja pasar
disimpulkan bahwa marjin pemasaran tertinggi diperoleh oleh pedagang
pengumpul. Pada penelitian ini hanya menghitung marjin pemasaran saja dan
tidak ada penjelasan mengenai bagian yang diterima petani (farmer’s share),
peneliti hanya mengungkapkan bahwa saluran pemasaran garam cenderung lebih
efisien.
Sedangkan penelitian yang dilakukan Suherman et al. (2011) mengenai
kinerja pasar garam di Kecamatan Kalianget digunakan indikator analisis marjin
pemaran, share harga yang diterima petani. Dari hasil penelitian didapatkan
bahwa lembaga pemasaran yang banyak melakukan fungsi pemasaran
mendapatkan distribusi marjin yang terbesar, distribusi marjin yang terbesar
diterima oleh pabrik garam. Dari aspek share petani, mereka hanya menerima 11
persen, share ini lebih kecil dibandingkan dengan share yang diterima oleh pabrik
dan tengkulak. Peneliti menyimpulkan bahwa pemasaran garam di Kecamatan
Kalianget ini tidak efisien.

3

KERANGKA PEMIKIRAN

Konsep SCP (Structure, Conduct, Performance) dan Perkembangannya
Model SCP ini pertama kali dikemukakan oleh Joe Bain dalam bukunya
“Industrial Organization” yang menjelaskan hubungan yang dapat diramalkan
antara struktur, perilaku, dan kinerja pasar. Dahl dan Hammond (1977)
menjelaskan bahwa analisis sistem pemasaran dapat dikaji melalui struktur,
perilaku dan kinerja pasar. Pada awalnya paradigma SCP merupakan pendekatan
yang umumnya digunakan untuk mengkaji hubungan dinamika persaingan suatu
industri dengan kinerjanya (Waldman dan Jensen, 2007). Begitu pula Carlton dan
Perloff (2000) juga menyatakan bahwa paradigma SCP pada awalnya digunakan
untuk mengkaji pembentukan organisasi
industri. Namun dalam
perkembangannya pendekatan SCP ini telah banyak digunakan dalam pemasaran
komoditas pertanian. Karena menurut Soekartawi (2002) pendekatan
SCPmerupakan teknik yang relatif baru untuk meningkatkan efisiensi dan
sekaligus memperhatikan welfare sociaty.

9

Pada konsepnya struktur pasar dipengaruhi oleh kondisi permintaan dan
penawaran. Kondisi permintaan (elastisas harga, keberadaan barang subsitusi,
metode pembelian) dan penawaran (teknologi, struktur biaya, pertumbuhan pasar)
akan mempengaruhi struktur pasar (market structure) yang terbentuk. Struktur
pasar adalah penggolongan produsen kepada beberapa bentuk pasar berdasarkan
ciri-ciri seperti jenis produk yang dihasilkan, banyaknya perusahaan dalam
industri, mudah tidaknya keluar atau masuk ke dalam industri serta konsentrasi
pasar. Perilaku pasar (market conduct) menggambarkan tingkah laku perusahaan
dalam menghadapi struktur pasar tertentu. Identifikasi perilaku pasar terdiri atas
proses penentuan harga, kegiatan integrasi, merger, kolusi. Sedangkan keragaan
pasar (market performance) merupakan hasil akhir perilaku pasar. Dalam
kenyataan interaksi antara struktur, perilaku dan kinerja pasar tidak selalu linear,
malah cenderung bersifat komplek dan saling mempengaruhi secara dinamis
(Waldman dan Jensen, 2007).Keterkaitan antara komponen dalam pendekatan
SCP dapat dilihat pada Gambar 2.

Supply Conditions
Technology and cost structure
Factor markets
Organizational structure
Location

Structure
Number and size
distribution of buyers and
sellers
Entry and exit conditions
Market consentration

Demand Conditions
Price elasticity of demand
Availibility of substitutes
Method of purchase

Conduct
Collusion
Pricing Strategy
Mergers

Performance
Profitability
Allocative Efficiency
Growth
Technological Progres

Goverment Policy
Regulation
Taxes and Subsidies
Employment Policy
Regional Policy
Competition Policy
Trade Policy

Sumber: Kuncoro (2007)
Gambar 2 Paradigma structure conduct performance

10

Pendekatan SCP dalam Sistem Pemasaran
Struktur Pasar (Market Structure)
Struktur pasar menjelaskan bagaimana pelaku pasar terorganisasi
berdasarkan karakteristik yang mempengaruhi hubungan antara penjual dan
pembeli. Dengan kata lain struktur pasar mengindikasikan derajat kompetisi
dalam pasar yang berpengaruh signifikan pada perilaku harga. Beberapa krtiteria
yang digunakan dalam mengidentifikasi struktur pasar adalah : banyaknya jumlah
lembaga pemasaran yang terlibat, pangsa pasar, konsentrasi pasar, diferensiasi
produk dan kondisi keluar masuk pasar (Kohl dan Uhl, 2002). Sedangkan Jaya
(2001) mendifinisikan struktur pasar lebih mengacu pada organisasi pasar yang
dapat mempengaruhi persaingan dan tingkat harga, baik barang maupun jasa.
Struktur pasar dalam konteks ini menunjukkan atribut pasar yang mempengaruhi
sifat persaingan. Sama halnya dengan Kohl dan Uhl, Jaya juga menjelaskan
beberapa elemen penting untuk mengukur struktur pasar diantaranya tingkat
konsentrasi dan hambatan masuk pasar.
Dari hasil identifikasi berdasarkan kriteria di atas struktur pasar akan dapat
diklasifikasikan menjadipasar kompetitif (perfect competitive market) dan pasar
persaingan tidak sempurna (imperfect competitive market). Tipe-tipe pasar
berdasarkan kondisinya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Tipe-tipe pasar berdasarkan strukturnya
Ciri-ciri
Kondisi
Utama

Memiliki
100%
pangsa
pasar

Jumlah
Produsen
Entry/Exit
Barrier
Tipe Produk

Satu

Banyak

Sedikit

Banyak

Sangat
tinggi
Heterogen

Tinggi

Tinggi

Rendah

Heterogen

Heterogen

Kekuasaan
Menentukan
Persaingan
Harga
Informasi

Sangat besar

Relatif

Homogen atau
heterogen
Relatif

Persaingan
Murni
Lebih dari
50 pesaing
yang tidak
satupun
memiliki
pangsa
pasar yang
berarti
Sangat
Banyak
Sangat
Rendah
Homogen

Sedikit

Tidak ada

Tidak ada

Besar

Besar

Besar

Tidak ada

Sangat
Terbatas
Berlebih
Kurang baik

Cukup
terbuka
Berlebih
Kurang baik

Terbatas

Cukup
terbuka
Normal
Cukup baik

Terbuka

Profit
Efisiensi

Monopoli

Perusahaan
Dominan
Menguasai
50-100%
pangsa pasar
tanpa
pesaing ketat

Oligopoli
Gabungan
beberapa
perusahaan
terkemuka yang
pangsa pasarnya
40-80%

Agak berlebih
Kurang baik

Persaingan
Monopolistik
Banyak
pesaing yang
efektif, tidak
satupun
memiliki lebih
dari 10%
pangsa pasar

Normal
Baik

Sumber: Jaya (2001)
1. Pangsa Pasar (Market Share)
Menurut Jaya (2001) pangsa pasar merupakan elemen primer, karena
pangsa pasar berpengaruh terhadap keuntungan. Besaran pangsa pasar berkisar
antara 0 hingga 100 persen dari total penjulan seluruh pasar. Menurut Besanko et

11

al (2010) pangsa pasar dapat dihitung dengan menggunakan penerimaan
penjualan atau kapastias produksi.

Keterangan :
= pangsa pasar perusahaan i (%)
= penjualan perusahaan i (rupiah)
= penjualan total seluruh perusahaan (rupiah)
Pangsa pasar yang besar biasanya menandakan kekuatan pasar yang besar,
sebaliknya pangsa pasar yang kecil berarti perusahaan tidak mampu bersaing
dalam tekanan persaingan (Jaya, 2001).
2. Konsentrasi
Konsentrasi atau pemusatan merupakan kombinasi pangsa pasar dari
perusahaan-perusahaan oligopolis, dimana adanya saling ketergantungan satu
sama lain. Kelompok perusahaan ini terdiri dari 2 sampai 8 perusahaan.
Kombinasi pangsa pasar oligopolis membentuk suatu tingkat pemusatan dalam
pasar. Konsentrasi pasar ini sangat berkaitan erat dengan pangsa pasar (Jaya,
2001).

Keterangan :
= konsentrasi rasio dari m perusahaan terbesar dalam struktur pasar
= pangsa pasar perusahaan ke 1 (i = 1, 2,3 ...., n) dalam persen
m
= jumlah perusahaan terbesar
Rasio konsentrasi yang standar memerlukan data mengenai ukuran pasar
secara keseluruhan dan ukuran perusahaan-perusahaan yang memimpin pasar.
Indeks Hirschman Herfindahl merupakan penjumalahan kuadrat pangsa pasar
semua perusahaan dalam suatu industri.


Keterangan :
= Herfindahl Hirchman Index
= pangsa pasar perusahaan ke 1 (i = 1,2,3, ..........n) dalam persen
Herfindahl Hirchman Index berada antara 0 sampai 10 000. Untuk pasar
persaingan sempurna Herfindahl Hirchman Index sama dengan nol sedangkan
pasar monopoli 10 000. Jaya (2001) menyatakan bahwa hasil yang baik dapat
menggunakan pengukuran Herfindahl Hirchman Index sebagai pengganti rasio
konsentrasi. Walaupn demikian, rasio konsetrasi tetap merupakan pengukuran
serba guna mengenai derajat kompetisi yang paling baik. Pengukuran ini lebih
jelas daripada pengukuran yang lain dan mempunyai pengertian yang lebih baik.

12

3. Hambatan Masuk Pasar
Jaya (2001) ada beberapa hal umum mengenai hambatan memasuki suatu
pasar yang harus dipahami. Pertama, hambatan-hambatan timbul dalam kondisi
pasar yang mendasar, tidak hanya dalam bentuk perangkat yang legal ataupun
dalambentuk kondisi-kondisi yang berubah dengan cepat. Kedua, hambatan dibagi
dalam tingkatan mulai dari tanpa hambatan sama sekali (bebas masuk), hambatan
rendah, sedang sampai tingkatan tinggi dimana tidak ada jalan masuk.
Menurut Bain (1956) dalam Asmarantaka (2012) penentu utama kondisi
masuk pasar adalah skala ekonomi yang besar, diferensiasi produk dan
keuntungan biaya absolut antara perusahaan yang ada dengan yang baru. Skala
ekonomis (economics of scale) terjadi apabila pertambahan produk dapat
mengakibatkan biaya produksi rata-rata menurun atau semakin kecil, hal ini
terlihat pada output 0 hingga Q*. Hubungan ini dapat di ilustrasikan pada Gambar
3.
Biaya

AC
LRAC

Economies of Scale

Diseconomies of Scale

Output

Q*
Sumber: Baye (2010)
Gambar 3 Kurva biaya rata-rata jangka panjang
Perilaku Pasar (Market Conduct)
Terdapat lima dimensi perilaku pasar menurut Tatiek (2012). Perilaku
pasar merupakan cara partisipan pasar beradaptasi terhadap situasi pasar, yaitu :
1. Prinsip dan metode yang digunakan pelaku pasar untuk menentukan harga
dan tingkat output yang dijualnya.
2. Kebijakan harga strategis dan pelaku pasar baik secara individual maupun
kelompok.
3. Aktivitas promosi dan pelaku pasar.
4. Alat koordinasi dan adaptasi harga, produk dan promosi yang dilakukan
dalam hubungan antar penjual yang kompetitif. Koordinasi ini mungkin
berbentuk kolusi baik terbuka maupun tertutup di antara price maker pada
pasar persaingan tidak sempurna.
5. Ada tidaknya strategi penetapan harga pesaing.

13

Kinerja Pasar (Market Performance)
Kinerja pasar menurut Dahl dan Hammond (1977) merupakan keadaan
sebagai akibat dari struktur dan perilaku pasar dalam kenyataan sehari-hari yang
ditunjukkan dengan harga, biaya, dan volume produksi yang pada akhirnya akan
memberikan penilaian baik atau tidaknya suatu sitem pemasaran. Deskripsi
kinerja pasar dapat dilihat dari : (1) harga dan penyebarannya ditingkat produsen
dan tingkat konsumen, (2) marjin pemasaran dan penyebarannya pada setiap
tingkat lembaga pemasaran. Kinerja pasar merupakan gabungan antara struktur
pasar dan perilaku pasar yang menunjukkan terjadi interaksi antara struktur pasar,
perilaku pasar, dan kinerja pasar yang tidak selalu linear, tetapi saling
mempengaruhi. Adapun elemen kinerja pasar terdiri atas marjin pemasaran,
farmer’s share, R/C Rasio, dan integrasi pasar.
Kinerja dalam kaitannya dengan ekonomi memiliki banyak aspek namun
biasanya dipusatkan pada tiga aspek pokok, yaitu efisiensi, kemajuan teknologi,
dan keseimbangan dalam industri (Jaya, 2001). Pada bagian ini hanya akan
dibahas dua aspek saja yaitu :
a. Efisiensi. Efisiensi akan menghasilkan suatu nilai output yang maksimum
dengan menggunakan sejumlah input tertentu, baik secara kuantitas maupun
nilai ekonomis dan tidak ada nilai sumberdaya yang terbuang. Namun, dalam
pemasaran indikator efisiensi dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu efisiensi
operasional dan efisiensi harga (Purcell 1979; Kohl dan Uhl 2002). Efisiensi
operasional berkaitan dengan pelaksanaan aktivitas pemasaran yang dapat
meningkatkan atau memaksimumkan rasio output-input pemasaran sedangkan
efisiensi harga menekankan kepada kemampuan sistem pemasaran dalam
mengalokasikan sumberdaya dan mengkoordinasikan seluruh produksi
pertanian dan proses pemasaran sehingga tercapai kepuasan dan keinginan
konsumen (Asmarantaka, 2012).
b. Keadilan. Keadilan dalam pemasaran sangat erat kaitannya dengan efisiensi
dalam pengalokasian. Keadilan mempunyai tiga dimensi pokok yaitu
kesejahteraan, pendapatan dan kesempatan. Kesejahteraan dan pendapatan
berkaitan dengan nilai uang. Sementara kesempatan berkaitan dengan peluang
yang dimiliki setiap orang.
Adapun pengukuran terhadap kinerja pasar, dapat dilihat pada bagian di
bawah ini :
1. Marjin Pemasaran
Tomek dan Robison (1990), memberikan alternatif dari definisi marjin
pemasaran yaitu : (a) perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga
yang diterima produsen (petani), (b) merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa
pemasaran sebagai akibat adanya aktivitas-aktivitas bisnis yang terjadi dalam
sistem pemasaran tersebut.
Pada Gambar 4 menunjukkan nilai marjin pemasaran (the value of the
marketing marjin atau VMM) yang merupakan selisih harga di tingkat konsumen
dan petani dikalikan dengan jumlah produk yang dipasarkan (Kohl dan Uhl,
2002). Secara matematik sederhana VMM = (Pr-Pf) Q. Nilai dari marjin
pemasaran (VMM) dapat dipandang secara agregat atau kedalam dua aspek yang
berbeda. Aspek pertama dari VMM adalah penerimaan dari input yang
dipergunakan dalam proses pengolahan atau jasa pemasaran dari tingkat petani
sampai konsumen (marketing cost or returns to factors), termasuk dalam

14

kelompok ini adalah upah, suku bunga, sewa dan keuntungan. Aspek kedua dari
VMM adalah returns to institutions or marketing changers yaitu pedagang
pengecer, grosir, pengolah dan assemblers.
Derived Supply
Primary Supply
Pr
Marjin
Pf
Primary Demand
Derived Demand

Qr,f
Sumber: Tomek dan Robinson (1990)
Gambar 4Marketing margin
Irawan dan Sudjoni (2001), berpendapat banyaknya lembaga pemasaran
dan jarak antara produsen ke konsumen sangat berpengaruh terhadap arus
distribusi barang dan tingkat harga yang diterima oleh produsen ataupun tingkat
harga yang harus dibayar oleh konsumen. Jika dalam penyaluran barang dari
produsen ke konsumen melalui banyak lembaga pemasaran yang terlibat, maka
akan semakin besar perbedaan harga komoditas tersebut pada produsen
dibandingkan dengan harga yang akan dibayarkan oleh konsumen, dalam hal ini
tidak memberikan keuntungan yang wajar, baik bagi petani maupun bagi
konsumen. Dengan demikian pemasaran yang melibatkan banyak lembaga
pemasaran dapat menyebabkan rendahnya harga di tingkat produsen dan
tingginya harga di tingkat konsumen sehingga marjin pemasaran menjadi
tinggi.Secara matematis marjin pemasaran dapat dirumuskan sebagai berikut :

Dengan demikian total marjin pemasaran adalah :


Keterangan :
= Marjin pemasaran pada saluran pemasaran di tingkat pasar tertentu
= Harga jual di pasar ke-i
= Harga beli di tingkat pedagang ke-i
= Biaya pemasaran di tingkat pedagang ke-i
= Keuntungan pemasaran pada pedagang ke-i

15

Tomek dan Robinson (1990) menyatakan bahwa marjin pemasaran dapat
berubah dalam faktor harga, efisiensi dari jasa pemasaran, kualitas dan kuantitas
jasa pemasaran yang dipergunakan dalam proses produksi produk akhir.
2. Farmer’s Share
Efisiensi pemasaran dapat juga dianalisis dengan menghitung bagian harga
yang diterima petani atau farmer’s share. Soekartawi (2002), mengemukakan
untuk mengukur efisiensi pemasaran digunakan harga jual petani sebagai dasar
(Pf) dan dibandingkan dengan harga beli pedagang di tingkat konsumen akhir (Pr)
dikalikan dengan 100 persen. Hal ini berguna untuk mengetahui porsi harga yang
berlaku di tingkat konsumen yang dinikmati oleh petani. Apabila dari hasil
pengujian diperoleh bagian harga yang diterima petani rendah (