Pola Bagi Hasil Usaha Garam Rakyat Di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur

POLA BAGI HASIL USAHA GARAM RAKYAT DI
KABUPATEN PAMEKASAN, JAWA TIMUR

CAMPINA ILLA PRIHANTINI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pola Bagi Hasil
Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016
Campina Illa Prihantini
NIM H453150096

RINGKASAN
CAMPINA ILLA PRIHANTINI. Pola Bagi Hasil Usaha Garam Rakyat di
Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT
dan ANNA FARIYANTI.
Provinsi Jawa Timur merupakan produsen garam terbesar di Indonesia.
Kabupaten Pamekasan menempati posisi ketiga sebagai kabupaten produsen
garam terbesar di provinsi Jawa Timur. Usaha garam rakyat di kabupaten ini
pada umumnya dijalankan dengan sistem bagi hasil karena petani garam
memiliki keterbatasan lahan dan modal untuk berproduksi. Hal ini membuat
bisnis pegaraman hanya dikuasai oleh beberapa pihak tertentu saja, padahal
bisnis tersebut masih perlu untuk dikembangkan di kabupaten ini. Penelitian
ini memiliki empat tujuan, yakni (1) mengidentifikasi perbedaan mekanisme
pelaksanaan sistem bagi hasil dalam usaha garam rakyat, (2) mengestimasi
besarnya pinjaman dan biaya pinjaman yang selama ini ditanggung oleh
petani penggarap, (3) mengestimasi tingkat keuntungan yang diterima oleh
masing-masing pihak antar pola, dan (4) menganalisis tingkat partisipasi

petani garam dalam sistem bagi hasil.
Penelitian ini menggunakan teknik snowballing sampling yang
menghasilkan 115 responden petani garam, terbagi menjadi 22 orang pemilik
lahan dan 93 orang petani penggarap. Analisis deskriptif digunakan untuk
menjelaskan perbedaan mekanisme pelaksanaan antara pola bagi dua dan
pola bagi tiga. Analisis biaya pinjaman untuk mengestimasi besarnya biaya
pinjaman yang ditanggung oleh petani penggarap. Analisis linier berganda
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi besarnya pinjaman
yang diterima dan besarnya biaya pinjaman yang ditanggung oleh petani
penggarap. Analisis bagi hasil digunakan untuk mengestimasi tingkat
keuntungan yang diterima oleh setiap pihak untuk setiap pola bagi hasil yang
dijalankan. Analisis regresi logistik digunakan untuk mengetahui faktorfaktor yang memengaruhi keputusan partisipasi pemilik lahan dan petani
penggarap dalam sistem bagi hasil.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan dasar antara pola bagi
dua dan pola bagi tiga adalah karakteristik lahan garam yang akan
memengaruhi besarnya biaya tambahan perbaikan lahan yang harus
ditanggung oleh petani penggarap. Rata-rata biaya pinjaman yang harus
ditanggung oleh petani penggarap ternyata sangat tinggi nilainya. Besarnya
pinjaman dan biaya pinjaman dipengaruhi oleh lama pinjaman, keuntungan
petani penggarap, keuntungan pemilik lahan, luas lahan garam, ketersediaan

jaminan, dan sumber pinjaman lain. Rata-rata keuntungan pemilik lahan lebih
tinggi terhadap rata-rata keuntungan petani penggarap. Partisipasi pemilik
lahan dan petani penggarap terhadap sistem bagi hasil dipengaruhi oleh
tingkat pendidikan pemilik lahan, produksi garam, usia petani penggarap,
jumlah anggota keluarga petani penggarap, dan keuntungan petani penggarap.
Kata kunci :

pola bagi hasil, biaya pinjaman, usaha garam rakyat, analisis
regresi logistik, Kabupaten Pamekasan

SUMMARY
CAMPINA ILLA PRIHANTINI. Sharecropping System of Salt Production
Busineess in Pamekasan Regency, East Java. Supervised by YUSMAN
SYAUKAT and ANNA FARIYANTI.
East Java province is the biggest salt-producer in Indonesia.
Pamekasan regency is the third position as the biggest salt-producer regency
in East Java province. Most of the salt production busineess in this regency
used sharecropping system because most of the sharecroppers are limited in
salt-field and capital. It makes the salt production busineess authorized by
some person, whereas this busineess is still to be developed in this regency.

This research has four objectives, there are (1) to identify the difference
between two type of sharecropping system, (2) to estimate the number of
credit and cost of fund paid by the sharecropper, (3) to estimate the number of
profit accepted by the landlord and the sharecropper, and (4) to analyze rate
of landlord’s and sharecropper’s participation in sharecropping system.
This research used snowballing sampling technique that is delivered
115 respondent of farmers, consist of 22 person landlords and 93 person
sharecroppers. Descriptive analysis is used to explain the difference of two
type of sharecropping system. Cost of fund analysis is used to estimate
number of cost of fund paid by the sharecropper. Multiple linier regression
analysis is used to identify the determinants of credit accepted and cost of
fund paid by the sharecropper. Sharecropping analysis is used to estimate
profit accepted by the landlord and the sharecropper for every type of
sharecropping system. Logistic regression analysis is used to identify the
determinants of landlord’s and sharecropper’s participation in sharecropping
system.
The result of this research shows the main difference of two type of
sharecropping system is the characteristic of salt-field that will affect the
additional maintenance cost paid by the sharecropper. The average number of
cost of fund paid by the sharecropper is very high. The number of credit

accepted by the sharecropper and the number of cost of fund are affected by
duration, sharecropper’s profit, landlord’s profit, dummy of collateral, and
dummy of another credit. The average profit accepted by the landlord is
higher than accepted by the sharecropper. The participation of landlord and
sharecropper in sharecropping system are affected by education level of
landlord, number of salt production, age of sharecropper, number of
sharecropper’s family, and sharecropper’s profit.
Keyword : sharecropping system, cost of fund, salt production busineess,
logistic regression analysis, Pamekasan regency

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


POLA BAGI HASIL USAHA GARAM RAKYAT DI
KABUPATEN PAMEKASAN, JAWA TIMUR

CAMPINA ILLA PRIHANTINI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Lukytawati Anggraeni, SP MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian kali ini
merupakan lanjutan dari penelitian skripsi dari penulis. Judul yang dipilih adalah
Pola Bagi Hasil Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Yusman Syaukat,
MEc dan Ibu Dr Ir Anna Fariyanti, MSi selaku ketua dan anggota komisi
pembimbing atas bimbingan, arahan, dan kasih sayang selama proses penulisan
tesis. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS
dan Ibu Dr Lukytawati Anggareni, SP MSi selaku penguji dari Mayor Ilmu
Ekonomi Pertanian dan penguji dari luar komisi pembimbing atas saran, kritik,
dan masukan untuk penyusunan tesis ini. Selain itu, ucapan terima kasih dan
penghargaan kepada seluruh pengajar dan staf akademik di lingkungan Mayor
Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah banyak memberi bimbingan dan bantuan
selama penulis menempuh kuliah.
Ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dan membantu
dalam penelitian ini, terlebih untuk Kepala Desa Padelegan, Sekretaris Desa
Padelegan, Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Pamekasan, Kepala Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pamekasan, Kepala Bagian Administrasi
Perekonomian Sekretariat Daerah Kabupaten Pamekasan, Kepala Kesatuan
Bangsa dan Politik Kabupaten Pamekasan, atas bantuan informasi, dukungan, dan
kerjasama yang diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua, Ibu Lailatul
Hairiyah dan Bapak Bambang Setiawan, beserta keluarga besar atas cinta, kasih
sayang, dukungan, dan doa yang tiada henti diberikan kepada penulis hingga saat
ini. Selain itu, ucapan terima kasih dan apresiasi kepada rekan-rekan Mayor Imu
Ekonomi Pertanian angkatan 2014 dan 2015 atas persahabatan dan kerjasama
yang terjalin, serta seluruh pihak yang sekiranya tidak dapat disebutkan satu per
satu atas bantuan dan dukungan selama penyelesaian tesis ini
Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, September 2016
Campina Illa Prihantini

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR


viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

1
1
5
7
8

2 TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Bagi Hasil di Indonesia

Perjanjian Bagi Hasil Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960
Kajian Ekonomi Bagi Hasil
Analisis Pendapatan Usahatani
Usaha Garam Rakyat
Biaya Modal Pinjaman (Cost of Fund)

9
9
11
14
15
16
20

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teori
Analisis Usahatani
Teori Bagi Hasil Tanpa Bagi Biaya
Teori Bagi Hasil Dengan Bagi Biaya
Teori Biaya Modal Pinjaman (Cost of Fund)

Kerangka Pemikiran Operasional

22
22
22
23
26
28
30

4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Penarikan Sampel
Analisis Deskriptif
Analisis Bagi Hasil
Analisis Biaya Pinjaman (Cost of Fund)
Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Besar Pinjaman
Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Biaya Pinjaman
Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Partisipasi Petani Garam
Terhadap Suatu Pola Bagi Hasil
Evaluasi Model

33
33
33
33
34
34
36
37
38
40
42

5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN USAHA GARAM
DI KABUPATEN PAMEKASAN
46
Keadaan Geografis
46
Pelaku Bagi Hasil dalam Usaha Garam Rakyat di Kabupaten Pamekasan 47

Proses Produksi Garam Berdasarkan Durasi Panen Garam
Profil Usaha Garam Kabupaten Pamekasan
Karakteristik Responden Petani Penggarap
Karakteristik Responden Pemilik Lahan
6 ANALISIS PERBANDINGAN MEKANISME PELAKSANAAN POLA
BAGI HASIL
Karakteristik Lahan Pola Bagi Hasil
Hak dan Kewajiban Petani Penggarap
Besar Pinjaman
Biaya Pinjaman
Biaya Tambahan Perbaikan Lahan Pola Bagi Dua
Persamaan Nilai Keuntungan Relatif
Pola-pola Lanjutan dalam Pola Bagi Tiga
Keterkaitan Pinjaman dalam Sistem Bagi Hasil Usaha Garam Rakyat

48
50
55
59
62
62
63
65
66
66
67
68
69

7 ANALISIS PINJAMAN DAN BIAYA PINJAMAN
72
Keterkaitan Luas Lahan Garam, Pinjaman, dan Biaya Pinjaman Antar
Pola Bagi Hasil
72
Perbandingan Biaya Pinjaman dengan Suku Bunga Pinjaman Formal
75
Perbandingan Biaya Pinjaman Per Besar Pinjaman Antar Pola Bagi Hasil 77
Faktor-faktor yang Memengaruhi Besarnya Pinjaman
80
Faktor-faktor yang Memengaruhi Biaya Pinjaman
87
8 ANALISIS KEUNTUNGAN YANG DITERIMA DALAM USAHA
GARAM RAKYAT
Struktur Keuntungan yang Diterima dalam Pola Bagi Tiga
Struktur Keuntungan yang Diterima dalam Pola Bagi Dua
Perbandingan Keuntungan yang Diterima Antar Pola Bagi Hasil
Perbandingan Nilai Keuntungan Relatif Antar Pola Bagi Hasil

93
93
96
98
100

9 ANALISIS PARTISIPASI PETANI GARAM DALAM SISTEM BAGI
HASIL
Faktor-faktor yang Memengaruhi Keputusan Pemilik Lahan dalam
Sistem Bagi Hasil
Faktor-faktor yang Memengaruhi Keputusan Petani Penggarap
Terhadap Suatu Pola Bagi Hasil

108

10 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

116
116
116

DAFTAR PUSTAKA

118

LAMPIRAN

123

RIWAYAT HIDUP

133

102
102

DAFTAR TABEL
1 Produksi Garam Nasional Berdasarkan Provinsi Tahun 2009–2013
1
2 Matriks Perbandingan Hak dan Kewajiban Pemilik Tanah
dan Penggarap
13
3 Perkembangan Kualitas Garam Rakyat 2004-2009
19
4 Matriks Struktur Bagi Hasil Tanpa Bagi Biaya
23
5 Matriks Struktur Bagi Hasil Dengan Bagi Biaya
26
6 Perbandingan Jadwal Panen Garam Berdasarkan Durasi Panen
49
7 Gambaran Usaha Garam Kabupaten Pamekasan
51
8 Jumlah Petani Garam Per Kecamatan di Kabupaten Pamekasan
Tahun 2015
54
9 Karakteristik Responden Petani Penggarap
56
10 Karakteristik Responden Pemilik Lahan
60
11 Perbandingan Hak dan Kewajiban Pemilik Lahan dan Petani
Penggarap
64
12 Rincian Biaya Tambahan Perbaikan Lahan untuk Pola Bagi Dua
67
13 Perbandingan Persamaan Nilai Koefisien Keuntungan Relatif
68
14 Perbandingan Pinjaman, Biaya Pinjaman, dan Luas Lahan Garam
Antar Pola Bagi Hasil Per Musim
72
15 Perbandingan Rata-rata Biaya Pinjaman Per Pola Bagi Hasil dan
Suku Bunga Pinjaman Formal
76
16 Perbandingan Pinjaman dan Biaya Pinjaman Per Kategori
Besarnya Pinjaman
78
17 Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Memengaruhi
Besarnya Pinjaman
80
18 Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Memengaruhi Biaya
Pinjaman
87
19 Struktur Keuntungan yang Diterima dalam Pola Bagi Tiga
94
20 Struktur Keuntungan yang Diterima dalam Pola Bagi Dua
96
21 Perbandingan Perbedaan Keuntungan yang Diterima untuk Setiap
Pola Bagi Hasil
99
22 Perbandingan Koefisien Keuntungan Relatif untuk Setiap Pola
Bagi Hasil
100
23 Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Memengaruhi
Keputusan Pemilik Lahan Terhadap Sistem Bagi Hasil
103
24 Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Memengaruhi
Keputusan Petani Penggarap Terhadap Pola Bagi Hasil
109

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian
2 Grafis Pola Bagi Tiga Tipe 1
3 Grafis Pola Bagi Tiga Tipe 2

32
69
69

DAFTAR LAMPIRAN
1 Perbandingan Perbedaan Antar Pola Bagi Hasil
2 Hasil Uji Beda Rata-rata (Two Sample T-Test and Confidence Interval)
dengan Menggunakan Program Aplikasi Minitab 11.0
3 Output Regresi Model Pinjaman dengan Menggunakan Metode
Ordinary Least Square (OLS) dan Program Aplikasi Minitab 11.0
4 Uji Heteroskedastisitas dan Uji Normalitas Model Besarnya Pinjaman
dengan Menggunakan Metode Ordinary Least Square (OLS) dan
Program Aplikasi Minitab 11.0
5 Output Regresi Model Biaya Pinjaman dengan Menggunakan Metode
Ordinary Least Square (OLS) dan Program Aplikasi Minitab 11.0
6 Uji Heteroskedastisitas dan Uji Normalitas Model Biaya Pinjaman
dengan Menggunakan Metode Ordinary Least Square (OLS) dan
Program Aplikasi Minitab 11.0
7 Hasil Analisis Regresi Logistik Faktor-faktor yang Memengaruhi
Keputusan Pemilik Lahan Terhadap Sistem Bagi Hasil dengan
Menggunakan Metode Maximum Likelihood Estimator (MLE) dan
Program Aplikasi Minitab 11.0
8 Hasil Analisis Regresi Logistik Faktor-faktor yang Memengaruhi
Keputusan Petani Penggarap Terhadap Pola Bagi Hasil dengan
Menggunakan Metode Maximum Likelihood Estimator (MLE) dan
Program Aplikasi Minitab 11.0

125
126
127

128
129

130

131

132

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Garam merupakan salah satu komuditas yang memiliki peranan penting
dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk konsumsi rumahtangga maupun industri.
Kebutuhan garam nasional mengalami peningkatan dari tahun 2007 hingga tahun
2011 dengan rata-rata pertumbuhan kebutuhan garam adalah 1,85 persen per tahun
(KKP 2011). Kementerian Perdagangan (2012) dan Kementerian Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia (2011) menyatakan bahwa alasan meningkatnya
kebutuhan garam adalah (1) pertambahan jumlah penduduk, (2) bertambahnya
jumlah industri, dan (3) luas lahan garam yang tidak berubah. Produksi garam
nasional juga mengalami peningkatan dari tahun 2009 hingga tahun 2013. Namun,
berdasarkan persentasenya, produksi garam dalam negeri justru mengalami
penurunan. Rata-rata pertumbuhan produksi garam dalam negeri dari tahun 2010
hingga tahun 2013 adalah -5,28 persen per tahun (KKP 2014).
Tabel 1 Produksi Garam Nasional Berdasarkan Provinsi Tahun 2009–2013
Produksi (Ton)
2009
2010
2011
2012
2013
1. Jawa Barat
95.000
5.000
131.000
535.249
221.430
2. Jawa Tengah
155.000
5.000
198.000
645.728
278.131
3. Jawa Timur
725.000
7.000
850.000
939.814
490.923
4. NTB
50.000
5.000
69000
230.095
118.462
5. NTT
60.000
3.000
67.000
11.857
3.726
6. Sulawesi Selatan
52.000
3.000
65.000
1.350
1.251
7. Sulawesi Tengah
18.000
1.000
20.000
99.223
39.359
Total
1.155.000 29.000 1.335.000
2.463.316 1.153.282
Sumber : Kemenperin 2009, 2012, KKP 2014
No.

Provinsi

Provinsi Jawa Timur merupakan sentra produksi garam terbesar di
Indonesia. Data pada tahun 2009 hingga tahun 2013 yang disampaikan oleh
Kementerian Perindustrian (2009, 2012) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia (2014) menunjukkan bahwa produksi tertinggi berasal dari
provinsi ini. Pada tahun 2009, Provinsi Jawa Timur mampu memroduksi sekitar
62,77 persen terhadap produksi total garam nasional. Pada tahun 2010, produksi
garam nasional mengalami penurunan yang sangat drastis. Namun, Provinsi Jawa
Timur masih menduduki posisi pertama sebagai produsen terbesar. Tahun 2011,
produksi garam Provinsi Jawa Timur kembali mencapai produksi yang tertinggi
dan memberikan kontribusi sebesar 63,67 persen. Tahun 2012 dan 2013, kontribusi
yang diberikan oleh provinsi ini berturut-turut mencapai angka 38,15 persen dan
42,57 persen terhadap produksi total garam nasional. Data ini membuktikan bahwa

2

benar Provinsi Jawa Timur adalah lumbung garam nasional. Data mengenai
produksi garam nasional disampaikan pada Tabel 1.
Data lainnya, yakni dari Badan Pusat Statistik (2014), menyebutkan bahwa
Provinsi Jawa Timur memiliki kontibusi sekitar 47 persen terhadap produksi garam
total nasional. Dibandingkan dengan provinsi lainnya, Provinsi Jawa Timur
memiliki kemampuan berproduksi tertinggi. Selisih produksi Provinsi Jawa Timur
dan Provinsi Jawa Tengah mencapai tujuh belas persen. Posisi ketiga diduduki oleh
Provinsi Jawa Barat yang memiliki kontribusi sebesar sepuluh persen terhadap
produksi total garam nasional pada tahun 2013. Data-data ini semakin memperkuat
status Provinsi Jawa Timur sebagai lumbung garam nasional.
Penurunan produksi garam pada tahun 2010 lebih disebabkan karena
adanya anomali iklim yang tidak mampu diprediksi oleh petani garam dan
stakeholders terkait. Adanya musim kemarau basah yang panjang selama satu
tahun membuat petani garam enggan untuk berproduksi. Keengganan petani untuk
memroduksi garam lebih dikarenakan ketakutan akan gagal panen. Hal inilah yang
membuat produksi garam nasional tahun 2010 mengalami penurunan yang nyata.
Salah satu cara yang mampu dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pemenuhan
kebutuhan garam nasional adalah impor garam. Pada tahun 2011 sebenarnya
peningkatan produksi garam domestik didukung oleh cuaca, hanya saja impor
garam masih tinggi karena terdapat tindakan beberapa oknum yang dengan sengaja
melakukan penimbunan garam (PK2PM 2012). Alasan lainnya mengapa impor
masih tinggi di antaranya adalah: (1) keterbatasan lahan, (2) pertumbuhan
penduduk, (3) pola hidup masyarakat, (4) iklim dan cuaca, (5) infrastruktur yang
sudah tua, dan (6) masalah kepemilikan lahan (Koirala et al. 2016).
Keberadaan Provinsi Jawa Timur sebagai sentra garam terbesar nasional
sekaligus lumbung garam nasional tidak terlepas dari keberadaan Pulau Madura.
Pulau Madura merupakan pulau yang dikelilingi oleh lautan. Hal ini membuat
Pulau Madura memiliki keunggulan komparatif untuk memroduksi garam. PT
Garam sebagai satu-satunya Badan Usaha Milik Negara yang memroduksi garam
pun berada di Pulau Madura karena sangat didukung oleh cuaca dan lahan yang
memadai untuk dilakukan produksi garam. PT Garam menguasai lahan garam
sekitar 5.130 hektar dengan produksi pada tahun 2009 mencapai 319.000 ton atau
sebesar 30 persen dari produksi garam nasional. Secara nasional luas lahan yang
diusahakan untuk memproduksi garam adalah seluas 34.731 hektar dan baru seluas
20.089 hektar yang produktif dengan 74,16 persen lahan tersebut diusahakan oleh
petani garam, dengan kapasitas produksi garam nasional rata-rata per tahun pada
musim normal sekitar 1,2 juta ton (Ihsannudin 2012).
Produksi garam tidak terlepas dari usaha garam rakyat yang dijalankan oleh
petani garam. Keberadaan petani garam menjadi sangat penting dalam produksi
garam nasional. Di Pulau Madura, usaha garam rakyat tidak terlepas dari adanya
sistem bagi hasil. Hampir di seluruh desa produsen garam rakyat terdapat sistem
bagi hasil. Penelitian yang dilakukan oleh Nurdiani (2013) dan Prihantini (2015)

3

menyimpulkan bahwa usaha garam yang dijalankan oleh petani garam adalah
berupa bagi hasil dengan berbagai pola, yakni bagi dua, bagi tiga atau bagi empat.
Berkembangnya sistem bagi hasil dalam usaha pertanian ternyata telah ada sejak
dahulu. Scheltema (1985) menyebutkan bahwa sistem bagi hasil merupakan bentuk
usaha yang paling sederhana dan merupakan hasil dan warisan dari sistem foedaal.
Seiring berkembangnya paham ekonomi, sistem bagi hasil pun tetap bertahan,
terlebih di daerah pedesaan dimana lahan pada umumnya dikuasai oleh pihak-pihak
tertentu (Ray 1999).
Sistem bagi hasil pada usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan tidak
terlepas dari adanya simbiosis mutualisme antara pemilik lahan dan petani
penggarap. Pemilik lahan pada umumnya merupakan tengkulak yang memiliki
lahan garam dan modal untuk digunakan dan dimanfaatkan oleh petani penggarap.
Petani penggarap merupakan petani yang memiliki keterbatasan input produksi,
yakni lahan garam dan modal, untuk menjalankan usaha garam. Pemilik lahan yang
memiliki lahan namun dibatasi oleh tenaga kerja dan waktu tentu membutuhkan
petani penggarap agar lahan garamnya mampu memberikan hasil kepadanya.
Dengan menggunakan lahan garam yang dimilikinya serta modal yang akan
diberikan sebagai pinjaman, pemilik lahan akan mencari petani penggarap yang
nantinya dapat memberikan hasil atas lahan dan modalnya. Inilah yang disebut
dengan sistem bagi hasil. Petani penggarap akan menerima modal dengan status
pinjaman tidak berbunga dari pemilik lahan. Selanjutnya, bagian bagi hasil yang
akan diterima oleh keduanya didasarkan atas keputusan bersama yang sekiranya
tidak merugikan kedua belah pihak (Shceltema 1985).
Dalam sistem bagi hasil, bagian bagi hasil sangat beragam (Ray 1999). Bagi
hasil dibedakan menjadi beberapa pola. Pada umumnya, pola bagi hasil yang sering
dilakukan adalah pola bagi dua dan bagi tiga (Erviana 2005, Dewi 2011, Negara
2013). Pola bagi dua, dalam beberapa bahasa daerah dikenal dengan istilah pardua
atau maron dua. Pola bagi dua menunjukkan bahwa baik pemodal maupun petani
penggarap menerima bagian yang sama, yakni perbandingan 1 : 1. Pola bagi tiga
yang dikenal dengan istilah partelon, mertelu, atau paroh tello’. Dalam pola bagi
tiga, output yang dihasilkan oleh petani penggarap dibagi menjadi tiga.
Selanjutnya, pemodal menerima dua bagian dan petani penggarap menerima satu
bagian saja. Pola bagi empat dikenal dengan istilah mrempat atau prempa´. Dalam
pola bagi hasil ini, pemodal mengambil dua bagian, petani penggarap satu bagian,
dan pihak ketiga (misalnya pemberi pinjaman dari luar, money-lender) juga
menerima satu bagian. Penentuan besarnya bagi hasil tentu didasarkan pada hak
dan kewajiban yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak. Dan tentunya,
masing-masing pihak akan berusaha untuk membagi hasil sesuai dengan kerja dan
usaha yang dilakukan.
Penelitian mengenai bagi hasil telah banyak dilakukan. Banyak hasil
penelitian mengatakan bahwa bagi hasil memberikan dampak yang negatif, terlebih
terhadap pendapatan yang diterima oleh petani penggarap. Hal ini sesuai dengan

4

apa yang disampaikan oleh Marshall (1890) yeng menyatakan bahwa bagi hasil
merupakan metode pertanian yang inefisien. Apriliana (2013) dan Nurdiani (2013)
menyimpulkan bahwa rata-rata pendapatan yang diterima oleh petani penggarap
yang menjalankan sistem bagi hasil lebih kecil daripada petani yang melakukan
sistem sewa atau kepemilikan sendiri. Bagi hasil yang dianalisis merupakan sistem
bagi hasil dengan pola bagi tiga, dimana pemilik lahan menerima atas hasil bruto
dan petani penggarap hanya menerima sebesar dari hasil bruto (Prihantini 2015).
Sistem bagi hasil sebenarnya tidak hanya memberikan dampak negatif,
terdapat beberapa dampak yang positif, yakni produktivitas lahan produksi.
Prihantini (2015) menyebutkan bahwa nilai produktivitas lahan garam yang
dijalanakan melalui sistem bagi hasil lebih tinggi daripada lahan sewa atau lahan
garam yang dijalankan sendiri. Garret et al.(2003) juga menyatakan hal yang sama.
Lahan yang digarap atau dijalankan dalam sistem bagi hasil ternyata juga lebih
efisien secara teknis daripada lahan yang dijalankan melalui sistem sewa atau
digarap sendiri (Koirala et al. 2016).
Adanya perbedaan yang nyata pendapatan yang diterima oleh petani
penggarap dalam sistem bagi hasil rasanya perlu diteliti mengapa hal ini bisa
terjadi. Selain itu, keberadaan sistem bagi hasil tetaplah menjadi solusi bagi petani
penggarap untuk memperoleh pendapatan. Scheltema (1985) menyatakan dalam
bukunya bahwa keberadaan sistem bagi hasil yang tetap bertahan hingga saat ini
dirasa mampu mengatasi beberapa masalah, seperti (1) upaya meningkatkan
penerimaan petani penggarap, (2) upaya penyerapan kelebihan tenaga kerja, (3)
upaya mengatasi permasalahan kekurangan modal, dan (4) upaya mengatasi
permasalahan keterbatasan lahan. Hal ini juga disampaikan oleh Lole (1995) bahwa
sistem bagi hasil pada pola gaduhan penggemukan sapi potong dirasa sebagai solusi
untuk mengatasi permasalahan di atas.
Selain itu, dalam sistem bagi hasil juga ditemukan bahwa pada umumnya
pemilik lahan juga memberikan modal produksi yang berstatuskan sebagai
pinjaman kepada petani penggarapnya. Ketika musim produksi garam berakhir,
petani penggarap tentu memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjaman
tersebut. Menariknya, dalam pemberian pinjaman ini pemodal tidak
memberlakukan bunga kepada petani penggarapnya. Namun, terdapat beberapa
kewajiban yang harus dipenuhi oleh petani penggarap. Misalnya, melakukan
penyetoran hasil produksi kepada pemilik lahan atau menjual hasil produksi dengan
tingkat harga yang lebih rendah daripada harga pasar. Hal inilah yang menjadi
alasan mengapa pemodal tetap melestarikan sistem bagi hasil. Bagi pemilik lahan
atau pemodal, hal tersebut dapat dianggap sebagai keuntungan yang diterima
melalui pemberian pinjaman kepada petani penggarap. Berbeda dengan pemodal,
hal ini dianggap sebagai biaya pinjaman modal oleh petani penggarap.
Perhitungan besarnya biaya pinjaman (cost of fund) dapat diperoleh dari
suku bunga yang ditetapkan oleh tengkulak, harga jual yang lebih rendah dari

5

harga pasar, dan bagi hasil keuntungan (Anggraini 2015). Pada umumnya dalam
bagi hasil usaha garam tidak diberlakukan suku bunga. Jadi, perhitungan biaya
pinjaman pada usaha garam rakyat dihitung berdasarkan harga jual garam yang
lebih rendah dari harga pasar atau bagi hasil keuntungan. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa biaya pinjaman dalam sistem bagi hasil sangat tinggi nilainya
(Lole 1995, Astuti 2003). Hal inilah yang menjadi alasan kuat mengapa sistem bagi
hasil dapat terus bertahan.
Kabupaten Pamekasan sebagai salah satu produsen garam terbesar di
Indonesia memiliki jumlah petani bagi hasil yang cukup tinggi dalam usaha garam
rakyat. Penelitian yang dilakukan oleh Prihantini (2015) menyebutkan bahwa
jumlah petani garam yang terlibat dalam pola bagi tiga atau dikenal dengan istilah
partelon mencapai 74 persen dari jumlah keseluruhan petani garam yang ada di
Desa Padelegan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan. Hal ini
menyebabkan pemerataan pendapatan dalam usaha garam rakyat di Kabupaten
Pamekasan belum dapat tercapai. Petani penggarap yang melakukan sistem bagi
hasil menerima pendapatan yang lebih rendah jika dibandingkan petani yang
melakukan usaha garam dengan lahan milik sendiri atau lahan sewa (Prihantini
2015). Adanya perbedaan harga yang diterima oleh petani penggarap dengan harga
pasar dapat dijadikan sebagai salah satu indikator bahwa pemilik lahan atau
pemodal juga menginginkan keuntungan melalui pinjaman yang diberikannya
(Anggraini 2015).
Tingginya jumlah petani garam yang terlibat dalam sistem bagi hasil ini
sangat disayangkan dengan potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Pamekasan untuk
melakukan pengembangan usaha garam rakyat. Kabupaten Pamekasan tercatat
sebagai kabupaten terbesar ketiga sebagai produsen garam di Provinsi Jawa Timur
(KKP 2010). Dengan potensi lahan garam seluas 1.414 Ha, masih terdapat 31
persen lahan garam yang belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini menjadi
menarik untuk dikaji lebih lanjut mengenai sistem bagi hasil yang lebih berkeadilan
dalam upaya pengembangan usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan.

Perumusan Masalah
Permasalahan yang sering dihadapi oleh petani garam pada umumnya
terletak pada permasalahan teknis dan non-teknis. Permasalahan teknis berkaitan
dengan proses memroduksi garam mulai dari persiapan hingga pasca-panen.
Permasalahan ini pada umumnya disebabkan oleh faktor alam, seperti cuaca,
kecepatan angin, sinar matahari, dan kecepatan penguapan. Di samping itu,
permasalahan teknis juga dipengaruhi oleh faktor non-alam seperti cara
pemungutan garam, kemampuan bertani yang dimiliki oleh petani, jenis input yang
digunakan, dan hal-hal yang lebih bersifat human error (Nurdiani 2013).

6

Permasalahan non-teknis, termasuk di dalamnya permasalahan yang
muncul setalah pasca-panen, seperti permasalahan dalam sistem permodalan,
sistem pemasaran, dan sistem penyimpanan (storage). Sistem permodalan atau
pembiayaan menjadi hal yang penting dan menarik untuk dianalisis dan dikaji
dalam usaha garam rakyat. Hal ini dikarenakan peranan modal yang begitu penting
dalam suatu usahatani (Arief dan Rosmiati 2007). Sama halnya dengan usahatani
lainnya, usaha garam rakyat juga memiliki permasalahan dalam sistem permodalan.
Prihantini (2015) menyebutkan bahwa permasalahan ini muncul karena adanya
dominasi peran tengkulak melalui sistem bagi hasil yang telah lama berkembang
dan bertahan di daerah perdesaan (kawasan produksi garam).
Sistem bagi hasil merupakan suatu sistem atau cara melakukan usahatani
dimana terdapat dua pemain utama, yakni petani pemilik lahan atau pemodal dan
petani penggarap. Pengertian ini telah sesuai dengan pengertian perjanjian bagi
hasil menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil
Pertanian. Pada umumnya, pemilik lahan juga berperan sebagai tengkulak dalam
sistem pemasaran atau tataniaga garam. Dalam sistem bagi hasil, terdapat
pembagian penyediaan input produksi, pembagian hasil produksi, pembagian
penerimaan dari hasil produksi, dan pembagian hak dan kewajiban bagi kedua
belah pihak.
Sistem bagi hasil terkadang membuat pemilik lahan menjadi lebih dominan
daripada petani penggarapnya (Ray 1999, Roy et al. 2001). Hal ini dikarenakan
petani penggarap memiliki ketergantungan terhadap keberadaan pemilik lahan
sebagai penyedia input produksi, yakni lahan garam. Selain itu, petani penggarap
juga bergantung terhadap pemilik lahan dalam hal penyediaan modal produksi. Dua
hal inilah yang membuat pemilik lahan seolah berkuasa penuh terhadap hasil
produksi garam. Petani penggarap diwajibkan untuk menjual, lebih tepatnya
menyerahkan, seluruh hasil produksinya kepada tengkulak dengan harga yang telah
ditetapkan oleh pemilik lahan. Penetapan harga jual garam ini juga cenderung
secara sepihak oleh pemilik lahan dan tentunya harga ini lebih rendah dari harga
pasar (Basu 1997). Kondisi inilah yang membuat petani penggarap tidak memiliki
posisi tawar yang kuat.
Di sisi lain, pemilik lahan juga tidak dapat terlepas dengan keberadaan
petani penggarap. Hal ini dikarenakan pemilik lahan juga kelebihan lahan dan
membutuhkan petani penggarap agar lahan garamnya dapat menghasilkan garam.
Sebenarnya, terdapat ketergantungan antara pemilik lahan dengan petani
penggarap. Namun, karena beberapa kondisi membuat sistem bagi hasil ini sedikit
dipandang negatif. Dan kenyataan di lapang menyatakan bahwa terdapat
ketidakadilan hak dan kewajiban serta pendapatan yang diterima oleh kedua belah
pihak (Dewi 2011).
Dominasi peran pemilik lahan juga dapat dilihat dari penetapan harga secara
sepihak. Penetapan harga ini juga cenderung lebih rendah dari harga pasar. Hal ini
dapat dijadikan sebagai indikator bahwa penurunan harga yang dilakukan oleh

7

pemilik lahan merupakan salah satu metode untuk memperoleh keuntungan bagi
pemilik lahan, namun bagi petani penggarap hal ini disebut sebagai biaya modal
pinjaman (cost of fund) (Anggraini 2015). Besarnya suku bunga ini akan
memengaruhi pendapatan yang diterima oleh pemilik lahan. Pun demikian
besarnya biaya modal pinjaman ini akan memengaruhi pendapatan yang diterima
oleh petani penggarap. Pada umumnya, pemodal tidak menerapkan suku bunga atas
pinjamannya. Hanya saja, petani penggarap memiliki kewajiban untuk menjual
kepada pemilik lahan dengan harga yang lebih murah, petani penggarap diwajibkan
menjual seluruh outputnya kepada pemodal, atau bahkan menerapkan sistem
keduanya (Basu 1997). Hal ini menjadi sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut
mengenai sistem bagi hasil yang tetap lestari dalam usaha garam rakyat di
Kabupaten Pamekasan. Lebih lanjut, perlu dikaji pola bagi hasil manakah yang
lebih memberikan keadilan kepada petani penggarap dan pemilik lahan.
Sistem bagi hasil tentu tidak dapat dipisahkan dengan bagian bagi hasil yang
akan diterima oleh kedua belah pihak. Bagian bagi hasil ini tentu akan
memengaruhi pendapatan yang akan diterima baik pemilik lahan maupun petani
penggarap. Adanya faktor sosial, seperti faktor kekeluargaan, diduga berpengaruh
nyata terhadap penentuan bagian bagi hasil (Sadoulet et al. 1997). Faktor
kekeluargaan dalam sistem bagi hasil ternyata memengaruhi efisiensi produksi.
Faktor lain apakah yang memengaruhi besarnya bagi hasil? Bagaimana dampak
atau pengaruh bagian bagi hasil terhadap hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak
rasanya juga menarik untuk diteliti lebih lanjut. Berdasarkan uraian di atas,
pertanyaan dalam penelitian ini adalah :
(1) Bagaimana mekanisme pelaksanaan sistem bagi hasil yang selama ini
dijalankan dalam usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan?
(2) Bagaimana besarnya pinjaman dan biaya pinjaman yang selama ini
ditanggung oleh petani penggarap dalam sistem bagi hasil usaha garam
rakyat di Kabupaten Pamekasan?
(3) Bagaimana tingkat keuntungan yang diterima oleh masing-masing pihak
antar pola usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan?
(4) Bagaimana tingkat partisipasi petani garam terhadap sistem bagi hasil
dalam usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
(1) Mengidentifikasi perbedaan mekanisme pelaksanaan sistem bagi hasil yang
selama ini dijalankan dalam usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan.
(2) Mengestimasi besarnya pinjaman dan biaya pinjaman yang selama ini
ditanggung oleh petani penggarap dalam sistem bagi hasil usaha garam
rakyat di Kabupaten Pamekasan.

8

(3) Mengestimasi tingkat keuntungan yang diterima oleh masing-masing pihak
antar pola usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan.
(4) Menganalisis tingkat partisipasi petani garam terhadap sistem bagi hasil
dalam usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan.

Ruang Lingkup dan Batasan Penilitian
Penelitian ini hanya berfokus pada usaha garam yang dijalankan oleh
rakyat. Usaha garam rakyat pada umumnya sangat bergantung pada sistem bagi
hasil. Sistem bagi hasil diindikasikan kurang memberikan keadilan kepada petani
penggarap. Dengan menggunakan beberapa indikator, penelitian diharapkan dapat
membuktikan bahwa memang terdapat ketidakadilan di dalam pola bagi hasil usaha
garam rakyat yang selama ini dijalankan di Kabupaten Pamekasan.
Penelitian ini menggunakan dua kelompok utama responden, yakni petani
garam rakyat yang berpartisipasi dalam sistem bagi hasil. Petani penggarap yang
menjadi responden merupakan penerima dana bantuan Program Pemberdayaan
Usaha Garam Rakyat (PUGAR) Kabupaten Pamekasan. Hal ini didasarkan untuk
mempermudah menentukan sampling frame dari responden petani penggarap.
Responden selanjutnya adalah pemilik lahan. Pemilik lahan merupakan pemodal.
Pemilik lahan juga terkadang hanya sebagai pihak ketiga dan menjadi perantara
antara pemodal dan petani penggarap. Dalam kasus ini, pemilik lahan tidak
memiliki modal yang cukup untuk membiayai lahan yang dimilikinya.
Penelitian hanya dilakukan di Kabupaten Pamekasan pada musim garam
tahun 2014 dan 2015. Dengan menggunakan tiga kecamatan produsen garam
terbesar di Kabupaten Pamekasan, diharapkan penelitian ini dapat menggambarkan
kondisi yang sebenarnya di lapang. Tahun 2014 dipilih karena penelitian ini
merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya. Data-data tahun 2014
digunakan untuk melengkapi analisis dan pembahasan dalam penelitian ini. Tahun
2015 digunakan karena petani penggarap cenderung hanya mengingat produksi dan
biaya produksi yang dikeluarkan satu tahun terakhir. Dengan demikian, data dan
informasi produksi garam tahun 2014 dan 2015 dapat saling melengkapi dalam
menyajikan informasi mengenai sistem bagi hasil usaha garam rakyat yang
dijalankan di Kabupaten Pamekasan.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Bagi Hasil di Indonesia
Bagi hasil dalam pertanian merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah,
dimana pembagian hasil terhadap dua unsur produksi, yaitu modal dan kerja,
dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto tanah tersebut dan pula
dalam bentuk natura sesuai dengan perkembangan usaha tani (Jenny 1913 dalam
Scheltema 1985). Dalam pengertian lainnya disampaikan bahwa bagi hasil
merupakan suatu perjanjian, dimana pemilik tanah mewajibkan keluarga buruh tani
menggarap sebidang tanah yang merupakan kesatuan usaha selama waktu yang
ditentukan dalam kontrak dengan memberikan bagian tertentu dari hasil bruto
kepada penggarap sebagai upah (Dietzel 1884 dalam Scheltema 1985).
Pengertian bagi hasil lainnya menyatakan bahwa bagi hasil menunjukkan
hubungan antara pemilik sebidang tanah atau orang lain yang berhak
menggunakannya, dengan penggarap. Merupakan suatu bentuk usaha, dimana
pemungutan bunga (rentetrekker) tidak mengeksploitasi sasaran usaha dengan
kerja sendiri atau sebagai pengusaha yang memimpin semua fungsi perusahaan
(Kobler 1928 dalam Scheltema 1985). Definisi lainnya mengatakan bahwa bagi
hasil atau bagi sewa ialah bentuk penggunaan, dimana menyewakan suatu
usahatani atau bidang tanah turut mendapat bagian dari penghasilan bruto menurut
perbandingan tertentu dan tetap memegang sendiri pimpinan dan pengawasan
usaha itu. Pada umumnya, pemilik lahan juga menyediakan sebagian inventarisnya
untuk dipergunakan. Secara keseluruhan, terdapat empat hal pokok yang penting
dalam bagi hasil, yakni:
(1)
Tidak ada hubungan hukum di dalam bagi hasil,
(2)
Terdapat pembagian hasil produksi yang seimbang,
(3)
Pembagian yang diterima berdasarkan hasil produksi, dan
(4)
Semua pekerjaan dilakukan oleh penggarap bagi hasil.
Sebenarnya apakah penyebab terjadinya bagi hasil dalam pertanian?
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat banyak faktor yang
menyebabkan bagi hasil terjadi di daerah pedesaan. Scheltema (1985) menyebutkan
bahwa terdapat tiga penyebab terjadinya bagi hasil, yakni (1) adanya pengakuan
terhadap hak atas tanah karena letaknya di luar kota, (2) adanya hubungan
perhambaan, dan (3) adanya sistem bawon atau adanya asas saling bantu antar
masyarakat.
Erviana (2003) menjelaskan bahwa terdapat tiga penyebab utama mengapa
hasil dapat terjadi, yakni (1) adanya rasa sosial atau keinginan balas jasa, (2)
berkaitan dengan hutang, dan (3) kurang mampu mengolah tanah. Negara (2013)
menyatakan bahwa terdapat beberapa alasan sosial, ekonomi, dan budaya yang

10

memengaruhi perjanjian bagi hasil dilaksanakan, yakni:
(1)
Tidak ada waktu, hal ini dikarenakan pemilik tanah terkadang bukanlah
petani tulen dan mempunyai pekerjaan utama di luar pertanian.
(2)
Tidak cukup tenaga, pada umumnya pemilik tanah mempunyai lahan
pertanian yang cukup luas sehingga tidak mampu untuk mengerjakan semua
lahannya.
(3)
Faktor kemanusiaan, hal ini berkaitan dengan adanya keinginan untuk
memberikan kesempatan kerja kepada orang lain yang tidak memiliki tanah
garapan sendiri sehingga timbul rasa saling tolong menolong.
(4)
Faktor ekonomi, hal ini lebih disebabkan karena terdapat beberapa kondisi
dimana pemilik tidak memiliki modal yang cukup untuk menggarap semua
lahan sawahnya sehingga melakukan bagi hasil pertanian.
Bagi hasil memiliki banyak istilah. Hampir setiap daerah memiliki istilah
masing-masing untuk menunjukkan bagi hasil. Seperti istilah maro atau maron
untuk daerah Jawa, Sulawesi, Sumatera, paroan untuk daerah Madura, dan masih
banyak lagi istilah lainnya. Istilah bagi hasil juga terkadang dibedakan berdasarkan
polanya, yakni pola bagi dua, bagi tiga, bagi empat, bagi lima, bahkan bagi sepuluh.
Perbedaan pola ini didasarkan pada bagian bagi hasil yang akan diterima oleh
pihak-pihak yang terlibat dalam bagi hasil itu sendiri.
Pola bagi dua atau dikenal dengan istilah mardua, paro dua, seperdua,
merupakan pola bagi hasil yang paling sederhana. Pihak yang terlibat dalam pola
ini hanya ada dua, yakni pemodal dan petani penggarapnya. Masing-masing pihak
akan memperoleh bagian output atau hasil produksi dengan perbandingan 1:1. Pola
bagi tiga atau dikenal dengan istilah martiga, martelu, paroh tello’, partelon,
merupakan pola bagi hasil dimana masing-masing pihak mendapat bagian output
atau hasil produksi sebesar 1:2. Dalam pola ini, terkadang ada pihak ketiga, selain
pemodal dan petani penggarapnya. Misalnya ada pihak ketiga dalam pola ini adalah
koperasi. Namun, pada umumnya, pihak-pihak yang terlibat pola bagi tiga adalah
pemodal dan petani penggarapnya. Pemodal biasanya menerima bagian sebesar
sedangkan petani penggarapnya memperoleh bagian sebesar saja.
Pola bagi empat, pola bagi lima, dan pola bagi sepuluh memiliki istilah
daerah yang beragam pula, seperti mrempat, prapat, mrapat, marlima, merlima,
persepuluh, dan masih banyak istilah daerah lainnya. Masing-masing pola bagi
hasil tersebut biasanya terdapat lebih dari dua pihak sehingga output atau hasil
produksi harus dibagi lebih banyak lagi karena setiap pihak seharusnya menerima
bagian yang sama. Pi (2003) menyimpulkan bahwa pola bagi hasil yang
memberikan keadilan pada kedua belah pihak adalah pola bagi dua dengan tetap
memberlakukan hak dan kewajiban yang seimbang.
Dalam sistem bagi hasil, pada umumnya pemodal juga ikut memberikan
modal produksi yang sifatnya pinjaman kepada petani penggarapnya. Penyediaan
modal sebagai pinjaman (kredit) dapat dijadikan indikator bahwa dalam bagi hasil

11

terdapat ketidaksempurnaan pasar (Key et al. 1999). Bagian modal ini bergantung
dengan luas lahan yang akan digarap oleh petani dan tingkat kedekatan (faktor
sosial) dengan pemodalnya (Sadoulet et al. 1997, Bandhari 2007, dan Pi 2013).
Modal ini kemudian digunakan sebagai biaya operasional dalam melakukan
kegiatan produksi.
Pemodal atau pemilik lahan pada umumnya tidak memberlakukan bunga
atas pinjaman yang diberikannya. Hanya saja, petani penggarap diwajibkan untuk
menjual hasil produksinya kepada pemodal. Artinya, dalam pinjaman ini, bagian
tingkat suku bunga yang diambil oleh pemodal bisa dilakukan dengan cara yang
tidak langsung. Jika bagi pemodal atau pemilik lahan keuntungan ini dianggap
sebagai suku bunga, maka bagi petani penggarap, keuntungan ini justru menjadi
biaya modal pinjaman. Biaya modal pinjaman (cost of fund) merupakan biaya yang
dibayarkan oleh petani penggarap kepada pemodal untuk memperoleh modal
pinjaman. Seperti yang disampaikan dalam Anggraini (2015) bahwa suku bunga
dalam dunia pertanian dikenal dengan istilah biaya modal pinjaman (cost of fund).
Beberapa penelitian mengenai besarnya biaya modal pinjaman
menunjukkan bahwa nilai dari biaya yang dikeluarkan oleh petani penggarap relatif
besar. Meskipun pemodal tidak memberlakukan suku bunga atas pinjaman yang
diberikannya, namun jika nilai dari biaya ini besar, maka dapat dipastikan bahwa
sebenarnya petani penggarap dirugikan. Bahkan jika dibandingkan dengan suku
bunga perbankan, nilai biaya modal pinjaman jauh lebih besar (Basu 1997).
Petani penggarap sebenarnya sadar bahwa mereka dirugikan secara tidak
langsung. Hanya saja, petani penggarap memiliki pendapat bahwa cara-cara di atas
merupakan hal yang wajar. Hal ini disebabkan karena petani penggarap merasa
dirinya masih sangat membutuhkan pemodal agar dirinya tidak menganggur saat
musim produksi. Sebagaimana kita ketahui bahwa saat musim produksi akan terjadi
kelebihan suplai tenaga kerja sehingga terkadang ada persaingan antar tenaga kerja.
Hal ini menjadi menarik mengenai penentuan suku bunga yang diberlakukan oleh
pemodal kepada petani penggarapnya melalui pinjaman modal yang diberikannya.

Perjanjian Bagi Hasil Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960
Perjanjian mengenai bagi hasil dalam pertanian sebenarnya telah diatur
dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Undang-undang ini mengatur bagaimana perjanjian bagi hasil dilaksanakan
sehingga mampu memberikan hasil yang adil dan berkeadilan kepada masingmasing pihak. Pelaksanaan mengenai perjanjian bagi hasil diatur dalam perundangundangan lainnya, yakni Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 4 Tahun
1964 tentang Penetapan Perimbangan Khusus dalam Pelaksanaan Perjanjian Bagi
Hasil Pertanian.

12

Perjanjian bagi hasil pertanian menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 2
Tahun 1960 adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara
pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang
dalam undang-undang ini disebut penggarap berdasarkan perjanjian mana
penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha
pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah
pihak. Pemilik ialah orang atau badan hukum yang berdasarkan sesuatu hak
menguasai tanah dan petani ialah orang, baik yang mempunyai maupun tidak
mempunyai tanah yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah
untuk pertanian.
Tanah ialah tanah yang biasanya dipergunakan untuk penanaman bahan
makanan sedangkan hasil tanah ialah hasil usaha pertanian yang diselenggarakan
oleh penggarap, setelah dikurangi biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk
menanam dan panen. Dari uraian dan pengertian di atas telah jelas siapa pihakpihak yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil. Berdasarkan pasal 3 UU No. 2 tahun
1960, bentuk perjanjian bagi hasil seharusnya berupa perjanjian tertulis antara dua
pihak yang terlibat dan dopersaksikan oleh Kepala Daerah setempat. Waktu yang
digunakan dalam perjanjian bagi hasil juga diatur dalam Pasal 4 bahwa lamanya
perjanjian adalah sekurang-kurangnyal tiga tahun untuk sawah dan sekurangkurangnya lima tahun untuk tanah kering. Aturan lainnya dinyatakan dalam Pasal
2 bahwa tanah yang diperbolehkan untuk digarap oleh penggarap adalah tidak lebih
dari sekitar tiga hektar.
Bagian atau imbangan bagi hasil yang akan diterima oleh pemilik dan
penggarap dijelaskan dalam Pasal 7 yang menyatakan bahwa besarnya bagian hasil
tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap Daerah Swatantara
Tingkat II ditetapkan oleh Bupati atau Kepala Daerah Swatantra Tingkat II yang
bersangkutan, dengan memperhatikan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan
penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi dan faktor-faktor ekonomis serta
ketentuan-ketentuan adat setempat. Kewajiban pemilik dan penggarap juga
disebutkan dalam Pasal 8. Secara umum, undang-undang ini telah mencakup
hampir seluruh bagian dalam perjanjian bagi hasil.
Pelaksanaan di lapangan sebenarnya masih jauh dari kata sesuai dengan apa
yang telah disampaikan dan diatur dalam undang-undang tersebut. Penelitian
mengenai pelaksanaan perjanjian sistem bagi hasil telah banyak dilakukan dan hasil
penelitian menyebutkan bahwa hampir seluruh responden menyatakan kurang atau
bahkan tidak paham dengan perjanjian sistem bagi hasil menurut perundangundangan (Erviana 2005). Dewi (2011) menyatakan bahwa responden di tempat
penelitian yang dilakukannya menyatakan bahwa pelaksanaan perjanjian bagi hasil
masih sepenuhnya belum terlaksana. Berikut beberapa penyebab mengapa
pelaksanaan perjanjian bagi hasil ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkan
berdasarkan penelitian yang dilakukan Hermawan (2012).
(1)
Faktor petugas yang menegakkannya, tidak ada sosialisasi Undang-undang

13

(2)

Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian kepada
masyarakat.
Faktor masyarakat, dimana masyarakat di desa penelitian telah merasa
cukup apabila mengikuti adat kebiasaan tentang perjanjian bagi hasil yang
selama ini mereka lakukan.

Tabel 2 Matriks Perbandingan Hak dan Kewajiban Pemilik Tanah dan
Penggarap
No.

Pemilik Tanah
Penggarap
Temuan di Lapang
(1)
Kewajiban
(a) Memberikan izin kepada penggarap
(a) Memberikan sebagian hasil panen
untuk mengolah tanah tersebut
atau imbangan menurut
kesepakatan
(b) Memberikan modal
(b) Mengolah tanah
(c) Menyediakan bibit, pupuk atau
pestisida
(c) Menyerahkan kembali tanah
garapan kepada pemilik setelah
(d) Menyediakan pondok
berakhir perjanjian
(2)
Hak
(a) Menerima hasil panen sesuai dengan
(a) Menerima penyuluhan/bimbingan
imbangan yang telah ditentukan
tentang pengolahan tanaman
sebelumnya
UU No. 2 tahun 1960
(1)
Kewajiban
(a) Menyerahkan tanah yang
(a) Mengusahakan tanah garapan
bersangkutan untuk diusahakan oleh
sebaik-baiknya
penggarap
(b) Menyerahkan sebagian hasil
(b) Membayar pajak tanah tersebut
tanah yang menjadi hak dari
(c) Memenuhi segala hal yang menjadi
pemilik
(c) Memenuhi segala hal yang
tanggungannya sesuai dengan
menjadi tanggungannya sesuai
perjanjian
dengan per