SERANGGA DAN LINGKUNGAN

SERANGGA DAN LINGKUNGAN
Prof Ir Rudy C Tarumingkeng, PhD
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
If you intend to use this material, please acknowledge the author and
the source of the information.
Nama penulis dan sumber perlu nyatakan jika anda menggunakan
bahan ini.

Pendahuluan

Kurang lebih 1 juta spesies serangga telah dideskripsi (dikenal dalam ilmu
pengetahuan), dan hal ini merupakan petunjuk bahwa serangga
merupakan mahluk hidup yang mendominasi bumi. Diperkirakan, masih
ada sekitar 10 juta spesies serangga yang belum dideskripsi. Peranan
serangga sangat besar dalam menguraikan bahan-bahan tanaman dan
binatang dalam rantai makanan ekosistem dan sebagai bahan makanan
mahluk hidup lain. Serangga memiliki kemampuan luar biasa dalam
beradaptasi dengan keadaan lingkungan yang ekstrem, seperti di padang
pasir dan Antarktika.
Walaupun ukuran badan serangga relatif kecil dibandingkan dengan
vertebrata, kuantitasnya yang demikian besar menyebabkan serangga

sangat berperan dalam biodiversity (keanekaragaman bentuk hidup) dan
dalam siklus energi dalam suatu habitat. Ukuran tubuh serangga
bervariasi dari mikroskopis (seperti Thysanoptera, berbagai macam kutu
dll.) sampai yang besar seperti walang kayu, kupu-kupu gajah dsb. Dalam
suatu habitat di hutan hujan tropika diperkirakan, dengan hanya
memperhitungkan serangga sosial (jenis-jenis semut, lebah dan rayap),
peranannya dalam siklus energi adalah 4 kali peranan jenis-jenis
vertebrata.
Satu-satunya ekosistem di mana serangga tidak lazim ditemukan adalah di
samudera. Serangga juga memiliki keanekaragaman luar biasa dalam
ukuran, bentuk dan perilaku. Kesuksesan eksistensi kehidupan serangga di
bumi ini diduga berkaitan erat dengan rangka luar (eksoskeleton) yang
dimilikinya, yaitu kulitnya yang juga merangkap sebagai rangka penunjang
tubuhnya, dan ukurannya yang relatif kecil serta kemampuan terbang
sebagian besar jenis serangga.
Ukuran badannya yang relatif kecil menyebabkan kebutuhan makannya
juga relatif sedikit dan lebih mudah memperoleh perlindungan terhadap
serangan musuhnya. Serangga juga memiliki kemampuan bereproduksi
lebih besar dalam waktu singkat, dan keragaman genetik yang lebih besar.
Dengan kemampuannya untuk beradaptasi, menyebabkan banyak jenis

serangga merupakan hama tanaman budidaya, yang mampu dengan
cepat mengembangkan sifat resistensi terhadap insektisida.
Beberapa jenis serangga juga berguna bagi kehidupan manusia seperti
lebah madu, ulat sutera, kutu lak, serangga penyerbuk, musuh alami
hama atau serangga perusak tanaman, pemakan detritus dan sampah,

dan bahkan sebagai makanan bagi mahluk lain, termasuk manusia. Tetapi
sehari-hari kita mengenal serangga dari aspek merugikan kehidupan
manusia karena banyak di antaranya menjadi hama perusak dan pemakan
tanaman pertanian dan menjadi pembawa (vektor) bagi berbagai penyakit
seperti malaria dan demam berdarah. Walaupun demikian sebenarnya
serangga perusak hanya kurang dari 1 persen dari semua jenis serangga.
Dengan mengenal serangga terutama biologi dan perilakunya maka
diharapkan akan efisien manusia mengendalikan kehidupan serangga
yang merugikan ini.
Keanekaragaman yang tinggi dalam sifat-sifat morfologi, fisiologi dan
perilaku adaptasi dalam lingkungannya, dan demilkian banyaknya jenis
serangga yang terdapat di muka bumi, menyebabkan banyak kajian ilmu
pengetahuan, baik yang murni maupun terapan, menggunakan serangga
sebagai model. Kajian dinamika populasi misalnya, bertumpu pada

perkembangan populasi serangga. Demikian pula, pola, kajian ekologi,
ekosistem dan habitat mengambil serangga sebagai model untuk
mengembangkannya ke spesies-spesies lain dan dalam skala yang lebih
besar.

.

Kiri: Hippodamia glacialis, predator dari aphid (J.Ogrodnick)
Tengah: Cotesia congregata, parasitoid pada ulat (K.Kester)
Kanan: Larva Sphenoptera jugoslavica pada akar tanaman knapweed (R.Richard).
(Sumber: http://www.nysaes.cornell.edu/ent/biocontrol/info/primer.html

Anatomi serangga

).

Serangga pada umumnya ringan dan memiliki eksoskeleton atau
integumen yang kuat. Jaringan otot dan organ-organ terdapat di
dalamnya. Di seluruh permukaan tubuhnya, integumen serangga memiliki
berbagai syaraf penerima rangsang cahaya, tekanan, bunyi, temperatur,

angin dan bau.
Pada umumnya serangga memiliki 3 bagian tubuh yaitu kepala, toraks
(“dada”) dan abdomen (“badan”). Kepala berfungsi sebagai tempat dan
alat masukan makanan dan rangsangan syaraf , serta untuk memproses
informasi (otak). Berbagai macam bagian mulut serangga seperti:
pengunyah (Orthoptera, Coleoptera, ulat Lepidoptera, penusuk-pengisap
(kutu daun, walang sangit, nyamuk), spons pengisap (lalat), belalai-sifon
(kupu-kupu dang ngengat).
Toraks yang terdiri atas tiga ruas memberikan tumpuan bagi tiga pasang
kaki (sepasang pada setiap ruas), dan jika terdapat sayap, dua pasang
pada ruas kedua dan ketiga. Bentuk kaki bervariasi menurut fungsinya

seperti untuk menggali (jangkrik, Gryllidae), menangkap (walang sembah,
Mantidae), untuk berjalan (semut, Formicidae) dsb.
Fungsi utama abdomen adalah untuk menampung saluran pencernaan
dan alat reproduksi. Anatomi internal serangga dicirikan oleh peredaran
darah terbuka, adanya saluran-saluran atau pipa pernapasan dan tiga
bagian saluran pencernaan.
Serangga memiliki jantung dan aorta tetapi darah beredar bebas di dalam
rongga badannya. Udara memasuki tubuhnya melalui spirakel (lobanglobang) pada dinding badannya, melaui system pipa yang becabangcabang ke seluruh tubuh.

Saluran pencernaan terdiri atas tiga bagian dengan fungsi yang berbedabeda. Sistem syaraf terdiri atas otak di kepala dan simpul-simpul syaraf di
bagian toraks dan abdomen, berfungsi untuk mengolah informasi dan
memberikan perintah-perintah ke organ-organ fungsional lainnya seperti
otot dan kelenjar-kelenjar.
Pengetahuan tentang struktur dan fungsi dari eksoskeleton serangga
merupakan aspek penting karena berguna untuk pengembangan formulasi
insektisida yang mampu menembus integumen serangga yang berlapis.
Kajian-kajian tentang komunikasi serangga menunjukkan bahwa terdapat
senyawa-senyawa kimia yang berperan dalam komunikasi antar individu
serangga, dan mekanisme dalam menemukan makanannya. Bahan kimia
ini disebut feromon (pheromones) dan banyak di antaranya telah
diidentifikasi dan diproduksi secara sintetik, misalnya bahan penarik
(atraktan) untuk lawan jenis, atraktan agregasi (atraktan individu
serangga sejenisnya) dan atraktan makanan. Feromon sintetik ini kini
banyak digunakan untuk mengumpan serangga hama (kemudian diracuni
dengan insektisida), mendeteksi adanya hama, mengestimasi kelimpahan
dan untuk pengendalian. Apa pula feromon sintetik yang dalam
pengendalian hama berfungsi membingungkan lawan jenis sehingga tidak
memungkinkan terjadi perkawinan, dan berakibat pada penurunan
populasi hama.

Struktur bagian mulut serangga digunakan juga dalam taktik pengendalian
hama, terutama dalam aspek selektivitas. Misalnya jika suatu serangga
hama daun memiliki tipe mulut mengunyah maka insektisida digunakan
dengan cara penyemprotan pada permukaan daun. Cara ini hanya efektif
jika daun dimakan hama sedangkan dengan kontak saja tidak efektif. Perlu
dipertimbangkan juga akan adanya serangga yang bersifat musuh alami
dari hama yang perlu dihindarkan dari bahaya insektisida.
Karena serangga bernapas melalui spirakel (lobang-lobang) pada
integumen, penyumbatan spirakel akan meyebabkan kematiannya.
Penggunaan insektisida berbasis minyak merusak integumen (yang bahan
utamanya adalah kutikel).
Ada pula bakteri yang menyebabkan penyakit serangga seperti Bacillus
thuringiensis. Komponen bakteri ini seperti spora kini telah diproduksi dan
dikemas sebagai insektisida thuricide. Thuricide menimbulkan penyakit
saluran pencernaan pada serangga. Sebagian besar insektisida yang

digunakan sekarang merupakan racun syaraf dan banyak di antaranya
secara kimia dikembangkan dari produk-produk alamiah seperti piretroida.
Contoh feromon sintetik yang kini digunakan sekarang antara lain untuk
mengendalikan serangan rayap pada bangunan dengan jalan menarik

(attracting); rayap yang tertarik diberi makan flumuron (bahan perusak
kutukel), membawanya ke sarang koloni, menyebabkan koloni rayap tidak
dapat berganti kulit dan kemudian punah.

Reproduksi serangga

Kebanyakan serangga memiliki kelamin dan bereproduksi secara seksual.
Pada beberapa spesies jarang terdapat jantan atau jika terdapat hanya
pada musim-musim tertentu saja. Dalam keadaan tak ada jantan,
betinanya masih bisa bereproduksi. Hal ini umum di antara kutu daun
(Aphids). Pada beberapa jenis penyengat (Hymenoptera), telur yang tak
dibuahi menjadi jantan, sedangkan yang dibuahi menjadi betina.
Apa pula spesies yang tak memiliki jantan, semua keturunannya betina.
Biasanya setiap telur mengembangkan satu embrio, tapi ada juga yang
mengembangkan banyak embrio (polyembryony), sampai ratusan.
Biasanya, serangga bertelur; namun ada pula jesis-jenis yang telurnya
menetas dalam tubuh induk sehingga melahirkan seperti ovipar, pada
Aphids (kutu daun).

Pertumbuhan serangga dan perkembangan (Metamorfosis)


Pertumbuhan serangga biasanya melalui empat tahap bentuk hidup yaitu:
telur, larva / nimfa, pupa dan stadium dewasa. Telur diletakkan secara
tunggal, atau dalam kelompok, di dalam atau di atas jaringan tanaman
atau binatang inang yang menjadi sasaran makanan serangga. Embrio di
dalam telur berkembang menjadi larva atau nimfa (tergantung macam
metamorfosis atau perkembangan) yang keluar dari telur pada saat telur
menetas.

Larva/nimfa memiliki tahapan perkembangan (instar), yang setiap
tahapannya melalui proses pergantian kulit ( ecdysis), karena setiap
meningkatan ukuran tubuh pada satu instar ke instar berikutnya
memerlukan integumen baru yang lebih besar (sama halnya dengan anak
yang bertumbuh memerlukan pakaian yang ukurannya lebih besar). Larva
berkembang menjadi pupa (pada ulat kup-kupu disebut cocoon atau
kepompong), dan pupa dan nimfa berkembang menjadi serangga dewasa.

Dua macam perkembangan yang dikenal dalam dunia serangga, yaitu
metamorfosis sempurna atau holometabola yang melaui tahapan-tahapan
atau stadium: telur – larva – pupa – dewasa, dan metamorfosis bertahap

(hemimetabola) yang melalui stadium-stadium: telur – nimfa – dewasa.
Pada hemimetabola, bentuk nimfa mirip dewasa hanya saja sayap belum
berkembang dan habitat (tempat tinggal dan makanan) nimfa biasanya
sama dengan habitat stadium dewasanya. Contoh hemimetabola adalah
jenis-jenis kepik seperti walang sangit, yang nimfanya menempati habitat
yang sama dengan kepik dewasa, biasanya pada daun. Jenis-jenis
belalang (Orthoptera) dan lipas (Blattaria) juga termasuk hemimetabola,
nimfa dan stadium dewasanya hidup dan makan pada habitat yang sama.
Kumbang (Coleoptera), kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera) dan semut
serta lebah (Hymenoptera) adalah serangga holometabola. Bentuk
pradewasa (larva dan pupa) jenis-jenis holometabola ini sangat berbeda
dengan stadium dewasanya. Perhatikanlah bentuk-bentuk larva seperti
ulat bulu, ulat hijau, ulat jengkal yang kelak menjadi pupa dan kemudian
menjadi kupu-kupu indah dan berwarna-warni. Habitat larva bisanya
sangat berbeda dari habitat dewasanya. Ulat makan daun sedangkan kupu
mengisap cairan bunga. Demikian pula, larva lebah madu dipelihara oleh
pekerja (dalam koloni), makan madu; tapi lebah dewasa yang bersayap
terbang mencari serbuk bunga sebagai makanannya.

Serangga metabola, setelah stadium larva memasuki tahapan pupa yang

“tidak aktif” (tidak makan), terbungkus dalam kulit kepompong yang
disebut puparium yang berfungsi sebagai pelindung.
Serangga termasuk berdarah dingin, sehingga pertumbuhannya banyak
dipengaruhi suhu lingkungannya. Di daerah-daerah beriklim dingin
pertumbuhannya lambat, sedangkan di daerah tropik seperti Indonesia
pertumbuhan serangga relatif cepat. Dengan demikian banyaknya
generasi yang terjadi di daerah beriklim panas lebih banyak daripada di
daerah dingin.
Dengan mempelajari perilaku pertumbuhan serangga para pakar
pengendalian hama serangga mengembangkan cara-cara pengendalian
dengan menggunakan pengatur tumbuh (insect growth regulators, IGR).
Salah satunya adalah pengendalian dengan hormon pertumbuhan, yang
mengganggu pembentukan kutikel pada saat ganti kulit. Cara ini sangat
efektif dan selektif (tidak mengganggu serangga yang bukan sasaran)
karena hanya mempengaruhi serangga sasaran.
Dinamika pertumbuhan serangga hama tanaman budidaya telah benyak
diteliti dan daripadanya dihasilkan model-model pertumbuhan yang dapat
digunakan untuk meramalkan saat-saat terjadinya epidemi pada tanaman
atau inang tertentu, sehingga tindakan pengendalian dapat dilaksanakan
secara lebih tepat.


Identifikasi dan klasifikasi serangga

Pengetahuan mengenai klasifikasi serangga diperlukan agar jenis-jenis
serangga yang demikian banyaknya dapat dibedakan. Misalnya, dari
sekian banyak serangga yang menjadi hama tanaman padi, perlu
diketahui jenis-jenisnya, karena mereka memiliki perilaku hidup yang
berbeda, menyerang bagian tanaman yang berbeda (daun, buah, batang,
akar) menyebabkan kerugian yang berbeda sehingga berbeda pula cara
penanganannya.
Pada umumnya spesies-spesies serangga dibedakan sesuai dengan
kemiripan dalam penampakannya. Jenis-jenis lalat misalnya, dibedakan
dari kupu-kupa berdasarkan karakter sayap. Lalat hanya memilki sepasang
sayap, sedangkan kupu-kupu dua pasang.
Secara hirarki, dikenal taksa-taksa (taxon, taxa) dalam klasifikasi, oleh
karenanya maka ilmu mengenai penggolongan jenis-jenis mahluk hidup
biasanya disebut taksonomi (taxonomy). Taksonomi ulat kubis misalnya
adalah sebagai berikut:

Filum (Phylum) - Arthropoda

Kelas - Insecta

Ordo - Lepidoptera

Famili - Plutellidae

Genus - Plutella

spesies - Plutella xylostella
Dengan demikian nama spesies Plutella xylostella berlaku universal bagi
ulat kubis di seluruh dunia.

Ekologi serangga
Ekologi adalah disiplin kajian hubungan-hubungan antar mahluk hidup dan
lingkungannya. Mengetahui kelimpahan (abundance) serangga (hama)
yang menyerang tanaman tertentu serta pengetahuan tentang kegiatan
dan penampilan hama tersebut (phenology) merupakan factor-faktor
penting dalam menentukan pengendaliannya. Beberapa hama memiliki
hanya satu generasi pada satu musim ( univoltine), sedangkan ada pula
yang banyak generasi per musim (multivoltine).
Dalam pengendalian hama berkonteks agrosistem biasanya hama
dianggap sebagai populasi. Atribut-atribut penting populasi adalah
kerapatan, distribusi umur, laju kelahiran dan laju kematian.

Dinamika populasi

Di bumi ini tak ada satupun yang tidak berubah. "Semua berubah dari
waktu ke waktu; tak ada yang tak berubah kecuali perubahan itu sendiri".
Demikian ucap Heraklitus 500 tahun S.M. Oleh perubahan juga maka kita
mengenal jenis-jenis hayati dan individu-individu populasi yang ada
sekarang -- termasuk di dalamnya eksistensi (dan status) kita sebagai
bagian dari populasi hayati di bumi. Dan mungkin kita menyesali jika
suatu saat karena ulah manusia sendiri atau bukan, ada jenis (spesies)
tertentu punah. Bahkan juga mungkin kita merasa berkeberatan jika ada
jenis lain yang tak diinginkan muncul. Perubahan yang terjadi di bumi
sebagian besar melibatkan populasi jenis-jenis hayati di mana manusia
termasuk di dalamnya. Tetapi manusia pula yang dianggap bertanggung
jawab untuk "memulihkan" perubahan atau lebih etis jika dikatakan
mengendalikan perubahan agar "berubah" ke arah lebih menguntungkan
manusia -- agar cukup tersedia populasi spesies-spesies hayati seperti
tanaman padi, ternak sapi, populasi ikan di laut dan di danau, semuanya
untuk pasokan pangan. Tapi kita tak menginginkan jika populasi tikus di
Jakarta menjadi demikian banyaknya sehingga jumlahnya melebihi jumlah
penduduk Jakarta sendiri (walaupun perkiraan itu mungkin benar) atau
patogen koli (salah satu penyebab penyakit saluran pencernaan manusia)
di sungai-sungai dan perairan menjadi demikian meningkat dan
mengancam kesehatan kita, sehingga dari waktu ke waktu perlu
dikendalikan (perlu diubah). Apa yang dikemukakan merupakan topik
populasi dan perubahan, atau singkatnya -- dinamika populasi.
Perkembangan ilmu dan teknologi yang berlangsung demikian cepatnya
masa kini diiringi oleh pengurasan sumber-sumber alam dalam bentuk
populasi hayati yang cenderung semakin meningkat dan dampaknya pun
semakin terasa. Dampak-dampak yang merupakan akibat perubahanperubahan status sistem sumber-sumber hayati sepanjang dimensi waktu
kehidupan manusia dari generasi ke generasi, termasuk konteks ilmu

perilaku alam -- yang perlu dikuasai dengan teknologi, termasuk metodemetode kuantitatif/ numerika. Tanpa analisis kuantatif rasanya tak
mungkin manusia dapat meramalkan dampak-dampak kualitatif akibat
perubahan-perubahan perilaku manusia dalam ia memanfaatkan dan
mengelola sumber daya alamnya. Upaya ini merupakan salah satu
jawaban atas tantangan-tantangan yang dihadapi yang tak dapat tidak
dilakukan melalui ilmu dan teknologi juga.
Masalah populasi mencakup sistem hayati apa saja yang ada di bumi ini
dan sehari-hari mungkin menjadi pembicaraan bahkan menjadi isyu politik
dan pembangunan. Jelaslah bahwa apa yang dimaksud dengan sistem
dalam pembahasan selanjutnya tak lain dari sistem populasi dalam
konteks populasi hayati yang menghuni bumi ini seperti jenis-jenis
tetumbuhan (tanaman budidaya, pohon dsb.), satwa liar, ikan, ternak dan
jasad renik seperti bakteria dan protozoa baik yang kini diketahui
bermanfaat maupun yang diketahui tak bermanfaat atau bahkan
merugikan yang semuanya dikenal sebagai sumber daya hayati yang
bertumbuh sehingga terus-menerus mengalami perubahan.
Sistem pertumbuhan populasi dikaji menurut perjalanan waktu tertentu
dan menurut laju tertentu, sehingga ia tunduk pada kaidah-kaidah
dinamika. Demikian pula ekosistem yang terbentuk dari populasi serta
lingkungan fisiknya senantiasa berubah dan bertumbuh sepanjang waktu.
Pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial, proses pendidikan dan bahkan
proses pembangunan merupakan contoh-contoh lain yang memerlukan
berbagai analisis yang didasarkan atas kaidah-kaidah perubahan
(dinamika) dengan mempertimbangkan sumberdaya hayati awal, laju
pertumbuhan dan batas-batas pertumbuhan (kemampuan sumber serta
daya dukung lingkungan), pengaruh-pengaruh lain dari lingkungan dan
sistem-sistem terkait lainnya.
Suatu keunggulan (advantage) bagi ekologi masakini adalah tidak seperti
40 tahun yang lampau, ekologi baru merupakan masalah "akademik" yang
dibicarakan di sekolah atau institusi yang berkaitan, kini ekologi telah
menjadi perbincangan khalayak dan merupakan isyu pembangunan,
karena kesadaran akan dampak-dampak masalah ekologi semakin
memasyarakat. Khalayak juga telah menyadari akan terbatasnya sumbersumber alam seperti hutan, tanah dan air, terancamnya perairan,
komunitas-komunitas dalam ekosistem dan sebagainya. Masalah-masalah
yang berkaitan dengan keterbatasan sumber, usaha-usaha pelestarian
dalam hubungannya dengan keanekaragaman hayati --- dan yang kini
populer dengan ungkapan pemungutan hasil berasaskan kelestarian
sumber, --- perlu dipecahkan oleh para pakar sumberdaya berdasarkan
analisis yang mendalam dan pengetahuan yang komprehensif karena
ramifikasi sistem dan komponen lingkungan serta sumberdaya hayati yang
sangat kompleks dan dinamis tidaklah sesederhana konstruksi fisik. Hal ini
merupakan salah satu kendala dalam pengkajian masalah lingkungan dan
sumberdaya hayati.

Dalam kaitan dengan hubungan inang-parasitoid atau mangsa-pemangsa,
model teoretik dinamika pertumbuhan "mangsa” (sumberdaya) dan
dinamika "pemangsa" (pemungut hasil, the exploiter), dapat dikaji lebih
lanjut bagi pemecahan pemanfaatan sumberdaya alam berasaskan
kelestarian dalam konteks manajemen populasi sumber daya hayati untuk
keperluan pembangunan umat manusia. Lebih jauh, masalah
keseimbangan dan kestabilan populasi dan ekosistem merupakan salah
satu kajian kunci bagi analisis kelestarian dan keanekaragaman hayati.

Ekologi dan studi populasi

Studi populasi dan ekosistem merupakan bagian dari ekologi. Sejak tahun
1960-an telah banyak diterbitkan buku-buku teks ekologi. Di antara sekian
banyak buku-buku ekologi yang digunakan untuk subyek ini antara lain
dapat diacu Odum (edisi ketiga, 1971), Watts (1973), Southwick (1976),
Price (1975), Krebs (1978) dan Begon, Harper dan Townsend, (edisi kedua,
1990).
Sejak zaman dahulu orang telah mengamati masalah-masalah ekologi
tetapi istilah ekologi sendiri belum digunakan pada waktu itu. Masyarakat
primitif telah menggunakan tumbuhan dan hewan di sekitar mereka untuk
keperluan hidupnya. Peradaban manusia secara bertahap tumbuh sejak
manusia mulai menggunakan api dan alat-alat untuk mengubah
lingkungannya bagi kepentingan kelangsungan hidupnya. Kemajuan
penguasaan manusia terhadap alam sejalan dengan berkembangnya
peradaban yang berarti juga perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang menghasilkan teknik-teknik pemanfaatan sumber-sumber
alam secara lebih efisien. Pertumbuhan peradaban juga menyebabkan
penduduk dunia semakin meningkat dan hal ini diiringi oleh berkurangnya
kualitas dan kuantitas sumber-sumber alam yang dieksploitasi manusia.
Proses-proses perubahan yang bersifat dinamik ini lambat laun
menginsyafkan manusia bahwa sumber-sumber alam yang persediaannya
terbatas perlu dikelola secara lestari agar hasil yang diperoleh dari
padanya tak mengalami penurunan, akan tetapi tetap berlanjut
(sustainable) dan sumber-sumber alam hayati yang digunakan
diusahakan untuk dapat dibaharui (renewable).
Tulisan-tulisan mengenai ekologi pada zaman dahulu muncul dalam
konteks ilmu hewan, ilmu tumbuhan dan/atau ilmu hayat. Pada abad ke 4
sebelum Masehi filsuf Aristoteles mencoba menjelaskan masalah-masalah
epidemi hama belalang dan tikus yang sering mengancam tanaman
pertanian Yunani. Dalam bukunya Historia Animalium, Aristoteles
menjelaskan bahwa terjadinya ledakan hama tikus disebabkan oleh laju
pertumbuhan populasi tikus yang tak terkendalikan oleh musuh-musuh
alaminya, dan pada waktu itu manusia tidak sanggup mengatasinya.
Menurut Aristoteles, hanya hujan deraslah yang dapat menghempaskan
populasi tikus itu sampai mati dan mengalirkannya ke sungai-sungai dan
selanjutnya ke laut. Plato dan Herodotus juga dalam tulisan mereka
menyinggung mengenai alam dan sumber-sumbernya yang mampu
menjamin berlangsungnya kehidupan spesies-spesies mahluk hidup.

Mereka menganggap bahwa kerapatan populasi atau jumlah individu dari
setiap spesies tidak banyak berubah sepanjang waktu. Jika terjadi ledakan
populasi yang dapat membawa bencana, hal ini disebabkan oleh tindakan
dewa-dewa untuk menghukum orang-orang yang hidupnya tidak berkenan
kepada para dewa. Penulis-penulis ini beranggapan bahwa dalam alam
terdapat keseimbangan, dan keselarasan (harmony) sehingga tidak akan
ada spesies yang dapat punah karena kepunahan spesies akan
menyebabkan gangguan keseimbangan dan keselarasan dalam alam.
Anggapan ini mungkin cukup berdasar pada zaman Plato karena pada
waktu itu manusia belum banyak melakukan perubahan-perubahan dalam
ekosistemnya.
Jadi, apa yang dikemukakan oleh filsuf-filsuf zaman dahulu merupakan
pemikiran pada zaman itu mengenai ekologi, walaupun istilah ekologi
belum digunakan sampai dengan abad ke 19. Istilah “oekologi" pertama
kali dimunculkan pada tahun 1869 oleh ahli ilmu hayat bangsa Jerman,
Ernst Haeckel. Oekologi atau ekologi berasal dari kata Junani oikos yang
berarti rumah, dan logos yang artinya pengetahuan. Ekologi biasanya
didefinisikan sebagai hubungan antara makhluk hidup dengan
lingkungannya. Karena ekologi berkaitan dengan biologi kelompokkelompok makhluk hidup dan proses-proses fungsional yang berlangsung
di darat, di lautan, di perairan dan di udara maka ekologi merupakan
kajian terhadap struktur dan fungsi alam, di mana manusia merupakan
bagian utama dari padanya. Ekologi dapat pula didefinisikan sebagai
keseluruhan pola-pola hubungan antara makhluk hidup dengan
lingkungannya.
Keadaan
lingkungan
hidup
mempengaruhi
keanekaragaman bentuk-bentuk hayati dan banyaknya jenis makhluk
hidup atau keanekaragaman hayati (biodiversitas) dan sebaliknya
keaneka-ragaman dan banyaknya makhluk hidup juga menentukan
keadaan lingkungan. Misalnya, kualitas dan kuantitas penutupan tanah
oleh hutan ditentukan oleh banyaknya jenis pohon yang ada dalam hutan
yang bersangkutan. Hutan Pinus merkusii yang cenderung berkembang
dalam formasi sejenis (hutan pinus "monokultur") membentuk serasah
yang proses humifikasinya lebih lambat sehingga sangat kurang
memberikan peluang bagi pertumbuhan tumbuhan bawah. Di lain pihak,
proses pertumbuhan hutan tropik yang pada umumnya terdiri atas
berbagai spesies pohon, menghasilkan serasah dengan humifikasi yang
cepat dan menumbuhkan berbagai jenis tumbuhan bawah. Hutan tropik
yang lebat ini memberikan konservasi lahan yang lebih baik karena tingkat
erosi tanah menjadi sangat berkurang, air hujan dapat diserap lebih
banyak ke dalam tanah sehingga pada musim penghujan tidak
mengakibatkan banjir di daerah aliran sungai sekitarnya.
Demikian pula, ekosistem hutan tropik yang memiliki komunitas dengan
keanekaragaman hayati yang tinggi merupakan habitat bagi pelbagai
makhluk hidup seperti bakteria, lumut, rayap dan berbagai satwa liar.
Keanekaragaman dan jumlah makhluk hidup yang ada dalam ekosistem
hutan menjamin keadaan lingkungan yang baik. Dari uraian ini jelas

bahwa ekologi merupakan keseluruhan pola hubungan timbal-balik antara
makhluk hidup dan lingkungan.
Dewasa ini dengan berkembangnya berbagai cabang ilmu pengetahuan
dan berkembangnya penekanan-penekanan khusus sesuai dengan
keperluan pembangunan, maka kajian-kajian ekologi juga berkembang
demikian rupa sehingga kita kini mengenal berbagai macam ekologi
seperti ekologi kependudukan, ekologi perairan, ekologi hutan, ekologi
pertanian, ekologi serangga dan bahkan ekologi perkotaan dan
sebagainya. Kemajuan-kemajuan dalam ilmu-ilmu dasar (matematika,
biologi, kimia, fisika dan statistika) sebagai dasar pengembangan
teknologi telah banyak berjasa dalam perkembangan ekologi terutama
sekitar 40 tahun terakhir. Kemajuan teknologi yang pada satu sisi telah
menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan, pada sisi lain merupakan
tumpuan harapan manusia dalam upayanya mengelola lingkungannya
secara lebih baik.
Kajian ekologi antara lain dapat dipelajari dengan membagi lingkungan
hidup (environment) atau biosfer (biosphere) dalam beberapa bagian
sesuai dengan komponen-komponen atau bagian yang membentuk
lingkungan yaitu:
1. Lingkungan fisik atau abiotik,
2. Lingkungan hayati atau biotic
3. Lingkungan fisik mencakup unsur-unsur litosfer (lithosphere) atau
lapisan kerak bumi termasuk tanah) yang mencakup tipe tanah, bahan
induk, serta parameter-parameternya seperti struktur, tekstur, sifat-sifat
fisik, kimia dan kesuburan), hidrosfer ( hydrosphere), yang meliputi lautan
dan perairan lainnya dengan parameter-parameter: arus, kedalaman,
salinitas, keasaman (pH), kandungan bahan-bahan, suhu dll.) dan
atmosfer (atmosphere, udara: iklim, cuaca, angin, suhu dll.).
4. Lingkungan biotik merupakan bagian dari keseluruhan lingkungan
yang terbentuk dari semua fungsi hayati makhluk-makhluk hidup yang
satu dengan yang lainnya saling berinteraksi. Asosiasi atau hubunganhubungan fungsional antar makhluk hidup dapat dikaji dalam berbagai
tahapan. Misalnya ada studi mengenai satu makhluk hidup dan seluruh
populasinya, ada pula studi yang mencakup seluruh komunitas yaitu kajian
atas interaksi berbagai populasi dalam satu daerah tertentu.
Perkembangan ekologi yang berkaitan dengan dinamika populasi walau
berkembang agak lambat tetapi cukup konsisten. Dapat dikatakan
walaupun sejak dahulu pada waktu-waktu tertentu orang telah tertarik
kepada masalah sensus penduduk, teori-teori populasi baru berkembang
pesat pada abad ke-19. Memang dasar-dasar studi populasi telah ada
sejak abad ke 17 tetapi kajian-kajian yang lebih mendalam baru mulai
mendapat perhatian setelah para ahli mulai memikirkan masalah
keterbatasan sumber daya (bahan makanan, perumahan dsb.) dalam
hubungannya dengan peningkatan penduduk.
Sepanjang sejarah dunia sejak abad-abad pertama bangsa-bangsa di
Eropah dan Asia Kecil telah mengenal sensus atau penghitungan jumlah

penduduk. Antara lain karena para penguasa ingin mengetahui besarnya
pajak yang dapat dipungut dari rakyatnya dan berapa besar angkatan
perang yang dapat dikerahkan untuk menaklukkan daerah-daerah sekitar
yang dapat dijangkau untuk melebarkan daerah jajahan.
Konsep-konsep mengenai analisis kependudukan baru mulai muncul pada
abad ke 17 di Inggeris. Pada tahun 1662 Graunt mengemukakan
argumentasi mengenai pentingnya data sensus penduduk untuk
menentukan laju kelahiran, laju kematian, nisbah kelamin (sex ratio) dan
struktur umur untuk mengukur potensi pertumbuhan penduduk, dan ia
berkesimpulan bahwa walaupun tanpa imigrasi penduduk London pada
waktu itu akan meningkat dua kali setelah 64 tahun.
Anthonie van Leeuwenhoek, yang dikenal sebagai penemu mikroskop
karena kegemarannya memeriksa makhluk-makhluk renik, juga gemar
mengamati perkembangan binatang kecil seperti kumbang beras, lalat
carrion dan kutu kepala manusia. Ia menghitung banyaknya telur yang
diletakkan oleh lalat carrion betina dan menyimpulkan bahwa dalam tiga
bulan sepasang lalat tersebut dapat menghasilkan 746.496 lalat.
Dalam bukunya berjudul Natural History, Buffon pada tahun 1756 ( vide
Krebs, 1978) mengemukakan bahwa setiap populasi makhluk hidup
mengalami proses yang sama. Antara lain dikemukakan, walaupun tingkat
keperidian (fertilitas) suatu organisme mungkin sangat tinggi tetapi
bahaya yang mengancam populasinya juga besar. Lebih jauh ia
mengemukakan bahwa ledakan populasi yang sewaktu-waktu terjadi pada
tikus lapangan sebagian dapat ditekan oleh penyakit dan kekurangan
makanan. Demikian pula, jika tidak terdapat penyakit yang mengancam
populasi kelinci, maka kelimpahan populasi kelinci akan mengubah setiap
padang rumput yang ada di dunia menjadi padang pasir. Buffon menolak
hipotesis Aristoteles mengenai ledakan populasi tikus lapangan yang
dapat ditekan oleh hujan deras. Akan ikhwal kelimpahan populasi tikus,
seperti halnya dengan kelinci, ia berpendapat bahwa epidemi tikus
lapangan kemudian menurun karena timbulnya wabah penyakit. Ternyata
bahwa masalah-masalah yang telah dikemukakan oleh Buffon mengenai
hama dan penyakit pada pertengahan abad ke 18 itu masih saja
merupakan masalah kita sekarang --- 250 tahun sesudahnya.
Perlu pula disinggung mengenai teori demografi yang kontroversial dari
Malthus. Dalam bukunya Essay on Population Malthus menghitung,
walaupun jumlah individu suatu organisme dapat berkembang secara
geometrik (deret ukur: 1, 2, 4, 8 ...) tetapi sumber-sumber makanan tidak
melampaui pertumbuhan aritmatik (deret hitung: 1, 2, 3, 4 ...). Besarnya
perbedaan dalam pola peningkatan kedua model ini menyebabkan
Malthus mengambil kesimpulan bahwa perkembangbiakan populasi
makhluk hidup akan dikendalikan oleh kemampuan makhluk hidup itu
untuk menghasilkan bahan makanan baginya. Peningkatan bahan
makanan secara aritmatik yang diberikan oleh Malthus memang
merupakan hipotesis yang kurang berdasar, tetapi sampai saat ini, 200
tahun
setelah
teori
Malthus
dicetuskan,
kita
masih
saja

mempermasalahkan implikasi-implikasi teori itu, antara lain kendalikendali apa yang dapat dilakukan untuk menekan laju pertumbuhan
penduduk yang memang tidak sesederhana pertumbuhan menurut pola
geometrik seperti yang dihipotesiskan oleh Malthus itu. Salah seorang
yang mempertanyakan teori Malthus adalah Doubleday (vide Krebs, 1978).
Berdasarkan pengamatannya terhadap perkembangan populasi manusia,
pada tahun 1841 ia mengemukakan suatu teori bahwa jika suatu spesies
terancam populasinya maka kesuburannya akan meningkat. Teori ini
didasarkan atas beberapa kenyataan yang diamatinya pada saat itu yaitu
adanya orang-orang yang gizinya kurang akan tetapi tingkat
kesuburannya lebih tinggi dari orang-orang yang makanannya
berkelimpahan. Doubleday menjelaskan bahwa penurunan kesuburan
pada orang-orang yang makanannya melimpah disebabkan oleh kelebihan
mineral dalam tubuhnya. Walaupun apa yang diamati oleh Doubleday
mungkin dapat kita amati sekarang namun pendekatan yang
digunakannya untuk menjelaskan masalah ini kini dianggap kurang tepat.
Quetelet, seorang ahli statistika Belgia adalah yang pertama kali
mengetengahkan teori mengenai terjadinya penekanan populasi sebagai
akibat peningkatan populasi secara geometrik. Pada tahun 1838, salah
seorang mantan muridnya, Verhulst, menggambarkan peningkatan suatu
populasi terhadap waktu, yang ia namakan kurva logistik dalam bentuk S.
Konsep yang dikemukakan oleh Verhulst telah membuka jalan bagi
perkembangan studi populasi sampai pada tahap yang dicapai sekarang.
Kelak dalam bab-bab berikut teori yang mendasari kurva logistik serta
implikasi-implikasinya akan dikaji lebih mendalam.

Populasi

Populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis
makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain
yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang
bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah
atau tata ruang tertentu. Adapun sifat-sifat khas yang dimiliki oleh suatu
populasi adalah kerapatan (densitas), laju kelahiran (natalitas), laju
kematian (mortalitas), sebaran (distribusi) umur, potensi biotik, sifat
genetik, perilaku dan pemencaran (dispersi). Dalam studi populasi,
lazimnya peneliti menentukan sendiri secara arbitrer kriteria yang
membatasi populasi yang akan ditelitinya. Sebagai contoh seorang peneliti
dapat secara arbitrer menentukan: populasi Eurema blanda L pada
persemaian Paraseriathes falcataria di Saradan, populasi banteng (Bos
sondaicus} di Baluran, populasi rayap kayu kering (Cryptotermes
cynocephalus Light) di gedung-gedung Kampus Universitas Pakuan, Bogor
dan seterusnya.
Dari segi populasi, ekologi dapat didefinisikan sebagai hubungan antara
kerapatan biomas populasi dengan lingkungan, interaksi antar (inter)
populasi dan dalam (intra) populasi, serta efek populasi terhadap
lingkungan.

Tingkatan organisasi
Seperti telah dikemukakan terdahulu populasi adalah sekelompok individu
dari suatu spesies pada suatu tempat yang terbatas dan tertentu (limited
and defined) dan pada waktu tertentu sedangkan lingkungan merupakan
variabel fisik dan hayati yang mempengaruhi populasi, termasuk interaksi
antara individu dalam populasi dan antar individu spesies-spesies yang
berbeda.
Dem (deme) adalah populasi setempat (local population) yang merupakan
sekelompok individu di mana setiap pasangan (jantan dan betina) dalam
kelompok itu memiliki peluang yang sama untuk kawin (memiliki satu
gene pool). Spesies adalah himpunan populasi-populasi yang memiliki
gene pool yang sama. Tingkatan organisasi yang lebih tinggi adalah
komunitas sebagai populasi dari berbagai spesies yang hidup pada satu
wilayah tertentu, sedangkan ekosistem adalah komunitas bersama-sama
dengan lingkungan fisiknya. Ekosistem-ekosistem regional seperti daerah
padang rumput, hutan hujan tropik dan hutan gugur daun adalah bioma
(biome).
Sistem kehidupan atau sistem hayati (life system) adalah suatu satuan
ekologi yang merupakan bagian dari ekosistem yang menentukan
eksistensi, kelimpahan dan evolusi dari populasi tertentu. Dari segi ini,
ekosistem dapat dianggap sebagai himpunan sistem-sistem kehidupan
yang saling mengunci (interlocking life system).

Jaring-jaring makanan, rantai makanan dan hubungan
trofik

Makanan sebagai sumber energi adalah salah satu komponen esensial
untuk kelangsungan hidup yang dapat membatasi pertumbuhan populasi.
Hubungan trofik merupakan pola hubungan produksi dan konsumsi bahan
makanan antar spesies dalam ekosistem, atau dalam ungkapan
sederhana: apa yang dimakan oleh suatu makhluk dan siapa yang
memakan makhluk yang bersangkutan. Jika ini diteruskan dengan
beberapa spesies maka terbentuklah suatu rantai atau bahkan beberapa
rantai yang saling berhubungan dan membentuk jaring-jaring, yang
dikenal sebagai rantai makanan atau jaring-jaring makanan. Pola
hubungan aras trofik (trophic levels) tampak sangat sederhana tetapi
kenyataan menunjukkan bahwa jaring-jaring makanan dapat menjadi
sangat kompleks.
Dari segi hubungan trofik, makhluk hidup dapat digolongkan dalam dua
kategori yaitu autotrof atau makhluk hidup yang memperoleh energi dari
sinar matahari dan/atau sumber-sumber non-hayati, dan heterotrof yang
memperoleh energi dari sumber-sumber hayati (makan makhluk hidup
lain). Sinar matahari merupakan sumber utama penghasil makanan
melalui proses fotosintesis. Makhluk hidup utama yang bertindak sebagai
produsen (autotrof) adalah tumbuhan (termasuk beberapa jenis bakteria),
yang dapat memanfaatkan sinar matahari untuk membentuk makanannya
(seperti tumbuhan yang memiliki klorofil), dan/atau dapat memanfaatkan

bahan-bahan non hayati di sekitarnya untuk makanannya. Sedangkan
konsumen (heterotrof) adalah semua jenis makhluk hidup di luar tumbuhtumbuhan dan bakteria yang hidupnya tergantung dari tersedianya
makhluk hidup produsen.
Sistem hubungan trofik dapat diberikan contoh, tegakan jati yang diserang
rayap inger-inger (Neotermes tectonae Damm.), sedangkan inger-inger
sendiri menjadi mangsa semut dan semut dimangsa oleh burung. Contoh
lain adalah ayam yang memangsa cacing tanah, dimangsa oleh musang,
sedangkan musang dimangsa oleh harimau. Pada contoh kedua ayam
berada pada posisi ketiga (karena cacing tanah makan humus yang
berasal dari serasah bahan tumbuhan) sedangkan musang keempat, dan
harimau kelima. Dalam contoh ini baik ayam, musang dan harimau adalah
karnivora (makhluk pemakan hewan) tetapi sebenarnya ayam yang makan
cacing tanah tidak mutlak termasuk karnivora melainkan omnivivora (yang
dapat makan tumbuhan maupun hewan) sedangkan harimau dan musang
lebih bersifat karnivora. Sebagaimana halnya ayam, manusia juga
termasuk omnivora karena kita gemar makan kambing dan ayam dan
sekaligus juga nasi, jagung dan sayur kubis. Herbivora (makhluk pemakan
tumbuhan) adalah konsumen primer, sedangkan karnivora dapat
dikategorikan kepada konsumen sekunder dan tertier. Serangga biasanya
berada pada posisi kedua dan ketiga dalam rantai makanan.
Berbagai hewan memiliki perilaku makan yang berbeda menurut musim.
Misalnya serigala Spitzbergen di dekat kutub Utara pada musim dingin
bersifat saprofag (memakan sisa-sisa jasad hidup yang telah mati) di
perairan beku, sedangkan pada musim panas memangsa burung-burung,
serangga dan tumbuhan. Beberapa jenis serangga berperilaku makan
yang berbeda pula pada tahap-tahap perkembangannya. Serangga
holometabola seperti kupu-kupu jelas menunjukkan sifat ini. Nyamuk pada
stadium larva makan jasad renik dalam air, pada stadium dewasa
mengisap darah vertebrata. Karena makanan seringkali tidak tersedia
dalam kuantitas yang memadai, serangga holometabola (yang mengalami
metamorfosis sempurna seperti Lepidoptera Coleoptera, Hymenoptera dan
Diptera) yang makanannya berbeda pada stadium larva dan imago selalu
menghindar dari persaingan makanan dalam spesiesnya (intra-spesies).
Sifat adaptasi ini menyebabkan keberhasilan eksistensi serangga
holometabola, yang mencakup 85 persen dari seluruh spesies serangga.
Sisanya (15 persen) adalah serangga hemimetabola yang pada stadium
dewasa dan pradewasa memiliki morfologi dan perilaku makan yang
sangat mirip satu dengan yang lain.
Studi populasi bertujuan untuk menjelaskan dan meramalkan
perkembangan suatu populasi. Dalam studi ini acapkali dipergunakan
model untuk menjelaskan sistem serta hubungan-hubungannya dapat
diberikan secara kualitatif maupun kuantitatif. Model adalah simplifikasi
dari suatu sistem, yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Untuk menyatakan bahwa hama kutu loncat, Heteropsylla sp. pada
lamtoro (Leucaena spp.) misalnya tahun depan tidak akan menjadi wabah

lagi karena menurut ramalan cuaca, hujan yang turun tahun depan di
bawah normal. Dengan curah hujan yang kurang, pucuk lamtoro sebagai
makanan kutu akan berkurang, pemangsa kutu loncat ( Curinus coeruleus)
akan menurun populasinya dan mungkin akan kesulitan memperoleh
mangsa yang lain. Dengan berkurangnya predator, kemungkinan pada
musim kemarau tahun berikutnya populasi kutu akan naik. Turun naiknya
populasi kutu daun berlangsung terus dalam bentuk siklus dua tahunan
sehingga kurva trayektori populasi berlangsung turun naik (osilasi). Dasardasar pernyataan yang bersifat deskriptif ini telah memadai, jika faktor
penentu naik turunnya populasi kutu loncat semata-mata hanya faktor
curah hujan dan pemangsanya.
Untuk mendapatkan model yang lebih baik, wawasan kajian perlu
diperluas dengan memasukkan faktor-faktor lain seperti informasi
mengenai pengaruh curah hujan yang tinggi terhadap pertumbuhan
lamtoro, musuh-musuh lain dari kutu lamtoro (parasit, parasitoid),
kemungkinan imigrasi individu kutu loncat dari tempat lain, sifat genetik
dan perilaku kutu loncat, dan seterusnya. Karena faktor yang menentukan
naik turunnya populasi organisme tidak semata-mata hanya tergantung
pada curah hujan dan pemangsanya saja. Berbagai faktor perlu diketahui
kemudian dicari besarnya pengaruh setiap faktor terhadap faktor yang lain
yang juga mungkin merupakan faktor yang menentukan untuk faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan populasi obyek yang kita kaji.
Penelitian ekologi populasi merupakan pencarian jawaban atas berbagai
pertanyaan seperti bagaimana perilaku pertumbuhan populasi jenis hayati
A ? Bagaimana nasib hutan hujan tropik Indonesia nanti setelah tahun
2000 ? Atau, berapa pengaruh hutan kita dalam memasok oksigen di
atmosfer pada tahun 2020 ? Banyak jawaban atas masalah-masalah
seperti disebutkan di atas dapat diberikan secara deskriptif tetapi
ketepatan (atau lebih tepat bila dikatakan kesimpulan yang mendekati
tepat) cenderung lebih mudah untuk diyakini bila semua pengaruh, kaitan,
fungsi, derivasi dan kecenderungan perilaku yang kita kaji itu dianalisis
dengan metode kuantitatif agar kesimpulan yang diambil tidak terlampau
samar-samar, dan ketidak-tepatan yang dihasilkan dapat diumpanbalikkan kepada proses kajian kita untuk diulangi kembali sehingga
diperoleh hasil yang lebih tajam.
Kepustakaan:
Begon, M, J.L. Harper dan C. L. Townsend (1990). Ecology: Individuals,
Populations and Communities. 2nd Ed. Blackwell Sci. Publ. , Boston, Oxford
etc. 945 p.
Hoffmann, M.P. and Frodsham, A.C. (1993) Natural Enemies of Vegetable
Insect Pests. Cooperative Extension, Cornell University, Ithaca, NY. 63 pp.
Insect Biology and Ecology: A Primer.
http://www.nysaes.cornell.edu/ent/biocontrol/info/primer.html
(Cornell
University), dikunjungi 15 Desember 2000.

Krebs, C.J. (1978). Ecology: The experimental Analysis of Distribution and
Abundance, 2nd Ed.. Harper & Raw Publ., New York etc. 678 p.
Meyer, John R. ; Department of Entomology, NC State University, ENT 425
http://www.cals.ncsu.edu/course/ent425 , dikunjungi 1 November 2000.
Odum, E.P. (1971). Fundamental of Ecology. W.B.Saunders Co. Philadelphia
etc., 574.
Tarumingkeng, PhD, Rudy C. (1994). Dinamika Populasi. Pustaka Sinar
Harapan. 284 p.