Integrasi Remote Sensing Dan Pemodelan Fisisologi Untuk Pendugaan Npp (Net Primary Production) Pada Pertanaman Kelapa Sawit.

INTEGRASI REMOTE SENSING DAN PEMODELAN FISIOLOGI
UNTUK PENDUGAAN NPP (NET PRIMARY PRODUCTION)
PADA PERTANAMAN KELAPA SAWIT

HENY MARIATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Integrasi Remote Sensing
dan Pemodelan Fisiologi untuk Pendugaan NPP (Net Primary Production) pada
Pertanaman Kelapa Sawit adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Heny Mariati
NIM G251110061

RINGKASAN
HENY MARIATI. Integrasi Remote Sensing dan Pemodelan Fisisologi untuk
Pendugaan NPP (Net Primary Production) pada Pertanaman Kelapa Sawit.
Dibimbing oleh TANIA JUNE dan MUHAMMAD ARDIANSYAH.
Kelapa sawit salah satu tanaman penghasil bahan baku minyak nabati yang
memiliki produktivitas tinggi, dan tanaman tersebut terus dibudidayakan dan
penanamannya masih diperluas. Kebutuhan lahan untuk pengembangan kelapa
sawit menjadi penyebab berlangsungnya konversi lahan dari hutan menjadi
perkebunan. Terjadinya konversi lahan tersebut menjadi pemicu konflik utama
lingkungan karena penanaman kelapa sawit dianggap telah merusak ekosistem
hutan dan memberikan kontribusi terhadap peningkatan CO2 di atmosfer. Disisi
lain kelapa sawit termasuk salah satu ekosistem terresterial yang juga berperan
pada siklus karbon global. Kelapa sawit berperan sebagai karbon sink yang secara
langsung merupakan tanaman yang memiliki potensi sebagai penyerap CO2.
Penelitian ini bertujuan menduga kemampuan kelapa sawit dalam menyerap

CO2 dengan menggunakan pemodelan fisiologi dan remote sensing. Penelitian
dilakukan pada Agroekosistem Kelapa Sawit PT Era Mitra Agro Lestari (EMAL)
Jambi, Sumatera, Indonesia. Penelitian ini berfokus pada areal kelapa sawit umur
1, 5, 10, 14, dan 19 tahun dan memanfaatkan data citra Landsat 5 dan Landsat 8
path/row125/62. Pendugaan penyerapan CO2 oleh suatu ekosistem dapat
dilakukan dengan terlebih dahulu menduga nilai NPP (Net Primary Production).
NPP konsisten dalam mengkuantifikasi aktifitas produksi dan pertumbuhan
vegetasi terrestrial dan banyak digunakan dalam menduga penyerapan CO2.
Hasil integrasi remote sensing dan pemodelan fisiologi pada berbagai umur
menunjukan variasi nilai NPP bergantung pada nilai efisiensi cahaya matahari
yang dipengaruhi variasi iklim (suhu). Kemudian variasi nilai NPP akan
mempengaruhi nilai penyerapan CO2. Semakin tinggi nilai NPP maka penyerapan
CO2 semakin meningkat. Kemampuan penyerapan CO2 kelapa sawit meningkat
seiring peningkatan umur, namun peda usia produktif tidak terjadi peningkatan
penyerapan secara signifikan, hampir stabil. Umur 1, 5, 10, 14, dan 19 tahun
secara berturut memiliki kemampuan menyerap CO2 yaitu 20, 92, 80, 89, dan 98
ton ha-1 tahun-1.
Kata kunci: CO2, kelapa sawit, penyerapan, fotosintesis, remote sensing.

SUMMARY

HENY MARIATI. Integration of Remote Sensing and Physiology Modeling to
Estimate NPP (Net Primary Production) of Oil Palm Plantations. Supervised by
TANIA JUNE and MUHAMMAD ARDIANSYAH.
Oil palm is one of plant that produce raw materials for making natural oil
and renewable biofuel with high productivity and over a considerable time frame,
oil palm continues to be grown and plantation development has been rapidly
expanding. The increasing demand of land for oil palm plantation development
has led to the steady conversion offorest lands into plantation, either in small farm
scale or in industrial estates. This has, in turn, led to major environmental conflict
since oil palm plantations have been considered to damage forest ecosystems and
contribute to the worsening CO2 emission into the atmosphere. On the other hand,
some other researchers have argued that oil palm plantations are, in fact, among
the terrestrial ecosystems that play an important role in the global carbon cycle.
They stressed that oil palms actually serve as carbon sink that possesses high
potential as carbon absorber.
This study was conducted with the principal objective of determining the
capacity of oil palm to absorb CO2 through the application of physiology
modeling integrated with remote sensing technology. The study site was at the PT
Era Mitra Agro Lestari (EMAL) Oil Palm Agroecosystem in Jambi, Sumatera,
Indonesia. This study focused on the area of oil palm plantations of different ages

1, 5, 10, 14, and 19 years, this study made use of Landsat 5 and Landsat 8
path/row 125/62 images. CO2 absorption by an ecosystem can be estimated by
NPP (Net Primary Production). This is so because NPP serves as a consistent
parameter to describe and quantify the bio-physical processes and growth of
terrestrial vegetation hence, is widely used in estimating CO2 absorption.
The integration of remote sensing and physiology modeling at different ages
has shown that the value of NPP depends on the light use efficiency value which
is influenced by variation in climatic condition (temperature). Consequently, the
variation in NPP would likewise influence the rate of CO2 absorption: the higher
the value of NPP, the higher would be CO2absorption. The capacity of oil palm to
absorbCO2 increases markedly as it grows older. The productive ages show no
significantly increases absorption and pretend to be stable. To illustrate, the
amounted CO2 absorbed by oil palm are 20, 92, 80, 89, and 98 tonha-1year-1 at
ages 1, 5, 10, 14, and 19 years, respectively.
Key words: CO2, oil palm, absorption, photosynthesis, remote sensing

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

INTEGRASI REMOTE SENSING DAN PEMODELAN FISIOLOGI
UNTUK PENDUGAAN NPP (NET PRIMARY PRODUCTION)
PADA PERTANAMAN KELAPA SAWIT

HENY MARIATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Klimatologi Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Surya Darma Tarigan, M.Sc

PR AKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Integrasi Remote Sensing dan
Pemodelan Fisiologi untuk Pendugaan NPP (Net Primary Production) pada
Pertanaman Kelapa Sawit dapat diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan
kepada Ibu Dr Ir Tania June dan Bapak Dr Ir Muhammad Ardiansyah atas segala
ilmu, motivasi, nasehat, dan bantuan yang telah diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga kepada Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah mensponsori penulis dalam
memperoleh Beasiswa Unggulan. Research Center 990 (CRC990) grup A3 atas
bantuan pendanaan untuk topik penelitian ini. Kepada Eko Suryanto, Dede
Herianto, Fauzan Nurachman, Putri Yasmin dan Iqhrima atas diskusi dan
bantuannya dalam penelitian ini. Teman-teman KLI 2011, teman-teman Wisma
Kurma serta sahabat-sahabat seperjuangan MHTI yang telah memberikan
motivasi selama perkuliahan.

Tesis ini penulis dedikasikan untuk ibu, ayah dan adik tersayang Mairza
Azra serta seluruh keluarga, tanpa doa dari mereka sungguh penelitian tidak
mudah untuk diselesaikan. Terimaksih atas motivasi dan kasih sayangnya yang
tentu tak terbalaskan.
Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Heny Mariati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN


vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

1
1
2

2 METODE
Lokasi
Bahan
Alat
Prosedur Analisis Data

2
2
3
3

3

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hubungan Suhu Permukaaan dan Suhu Udara dan Umur Kelapa Sawit
Hubungan Efisiensi Penggunaan Cahaya (εg) dan Umur Kelapa Sawit
Hubungan FAPAR, LAI, dan Umur Kelapa Sawit
Hubungan GPP (Gross Primary Production) dan Umur Kelapa Sawit
Hubungan Biomasa Total dan Umur Kelapa Sawit
Hubungan NPP (Net Primary Production) dan Umur Kelapa Sawit
Perkiraan Penyerapan C dan CO2 Kelapa Sawit

10
10
11
13
14
15
16
18


4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

19
19
19

DAFTAR PUSTAKA

20

LAMPIRAN

23

RIWAYAT HIDUP

43


DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Nilai berat kering pelepah (BKP) kelapa sawit pada beberapa umur
Nilai GPP pada beberapa umur kelapa sawit
Nilai biomasa total pada beebrapa umur kelapa sawit
Nilai NPP pada pada beberapa umur kelapa sawit
Nilai potensi penyerapan C dan CO2 pada beberapa umur kelapa sawit

9
15
16
18
19

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Peta perkebunan kelapa sawit
Hubungan umur kelapa sawit dan suhu udara
Hubungan umur kelapa sawit dan suhu permukaan
Hubungan umur kelapa sawit dan Tscalar
Hubungan umur kelapa sawit dan Wscalar
Hubungan umur kelapa sawit dan Pscalar
Hubungan umur kelapa sawit dan εg
Hubungan umur kelapa sawit dan LAI
Hubungan umur kelapa sawit dan FAPAR
Hubungan umur kelapa sawit dan GPP
Hubungan umur kelapa sawit dan bomassa total
Hubungan umur kelapa sawit dan Rgr
Hubungan umur kelapa sawit dan Rmt
Hubungan umur kelapa sawit dan NPP
Hubungan umur kelapa sawit dan Penyerapan CO2

2
11
11
12
12
13
13
14
14
15
16
17
17
17
18

DAFTAR LAMPIRAN
1 Daftar Istilah/Glossary
2 Tahapan penelitian
3 Nilai rata-rata dan standar deviasi suhu permukaan (Ts) dan suhu udara
(Ts)
4 Nilai rata-rata dan standar deviasi Tscalar, Wscalar, Pscalar, dan εg
5 Peta sebaran nilai efisiensi cahaya(εg) kelapa sawit PT EMAL umur 5
tahun
6 Peta sebaran nilai efisiensi cahaya (εg) kelapa sawit PT EMAL umur 10
tahun
7 Peta sebaran nilai efisiensi cahaya (εg) kelapa sawit PT EMAL umur 14
tahun
8 Peta sebaran nilai efisiensi cahaya (εg) kelapa sawit PT EMAL umur 19
tahun
9 Peta sebaran nilai GPP (Gross Primary Production) kelapa sawit PT
EMAL umur 5 tahun
10 Peta sebaran nilai GPP (Gross Primary Production) kelapa sawit PT
EMAL umur 10 tahun

23
25
26
26
27
28
29
30
31
32

11 Peta sebaran nilai GPP (Gross Primary Production) kelapa sawit PT
EMAL umur 14 tahun
12 Peta sebaran nilai GPP (Gross Primary Production) kelapa sawit PT
EMAL umur 19 tahun
13 Peta sebaran nilai NPP (Net Primary Production) kelapa sawit PT
EMAL umur 5 tahun
14 Peta sebaran nilai NPP (Net Primary Production) kelapa sawit PT
EMAL umur 10 tahun
15 Peta sebaran nilai NPP (Net Primary Production) kelapa sawit PT
EMAL umur 14 tahun
16 Peta sebaran nilai NPP (Net Primary Production) kelapa sawit PT
EMAL umur 19 tahun
17 Data lingkar batang, diameter batang, diameter kanopi, jumlah pelepah,
tinggi batang, dan tinggi total kelapa sawit umur 1 tahun
18 Data lingkar batang, diameter batang, diameter kanopi, jumlah pelepah,
tinggi batang, dan tinggi total kelapa sawit umur 5 tahun
19 Data lingkar batang, diameter batang, diameter kanopi, jumlah pelepah,
tinggi batang, dan tinggi total kelapa sawit umur 14 tahun
20 Data lingkar batang, diameter batang, diameter kanopi, jumlah pelepah,
tinggi batang, dan tinggi total kelapa sawit umur 19 tahun

33
34
35
36
37
38
39
40
41
42

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman penghasil bahan baku minyak
nabati yang memiliki produktivitas tinggi, dan terus dibudidayakan dan
penanamannya masih diperluas. Kebutuhan lahan untuk pengembangan kelapa
sawit menjadi penyebab berlangsungnya konversilahan dari hutan menjadi
perkebunan. Terjadinya konversi lahan tersebut menjadi pemicu konflik utama
lingkungan karena penanaman kelapa sawit dianggap telah merusak ekosistem
hutan dan memberikan kontribusi terhadap peningkatan CO2 di atmosfer. Menurut
Morel et al. (2011) resiko lingkungan yang terjadi selama proses konversi hutan
menjadi kelapa sawit mengakibatkan punahnya keanekaragaman hayati dan
peningkatan emisi gas rumah kaca, termasuk karbon (CO2).
1
Kelapa sawit termasuk salah satu ekosistem teresterial yang berperan pada
siklus karbon global serta karbon sink yang secara langsung merupakan tanaman
yang memiliki potensi sebagai penyerap CO2. Berdasarkan penelitian sebelumnya
kelapa sawit mampu menyerap CO2 lebih tinggi dibandingkan hutan hujan tropis
pada setiap tahunnya. Henson et al. (1997; 1999) melaporkan kelapa sawit di
Malaysia mampu menyerap CO2 74 dan 64.5 ton ha-1 tahun-1, sedangkan Nugroho
(2006) menyatakan bahwa hutan hujan tropis berkisar 26 sampai 40 ton ha-1
tahun-1 dengan rata-rata 32.18 ton ha-1 tahun-1. Dilihat dari kandungan biomassa,
hutan hujan tropis memiliki biomassa lebih tinggi dibandingkan kelapa sawit. Hal
tersebut dikarenakan siklus hidup hutan yang lebih lama dibandingkan kelapa
sawit. Pada hutan lindung memiliki nilai biomassa diatas permukaan 353 ton ha-1
sedangkan untuk kelapa sawit umur dewasa 52 ton ha-1 (Morel et al. 2011).
Pendugaan penyerapan CO2 oleh suatu ekosistem dapat dilakukan dengan
terlebih dahulu menduga nilai NPP (Net Primary Production). NPP konsisten
dalam mengkuantifikasi aktifitas produksi dan pertumbuhan vegetasi terrestrial
dan banyakdigunakan dalam menduga penyerapan CO2. NPP merupakan
perhitungan matematis sederhana untuk mengetahui banyaknya CO2 yang diserap
tanaman dalam proses fotosintesis (Zhang et al. 2012).
June et al. (2006) dan Tan et al. (2012) menyatakan untuk mengetahui
NPP serta penyerapan CO2 pada ekosistem dalam skala besar dapat dilakukan
dengan kombinasi pemodelan dengan teknologi remote sensing serta Sistem
Informasi Geografis (SIG). Pemanfaatan model LUE (Light Use Efficiency)
(Running et al. 1999, 2000) merupakan dasar beberapa model untuk menduga
NPP diantaranya CASA, GLO-PEM, VPM, C-Fix, TURC, EC-LUE, VI, TG, dan
3-PGS (Tan et al. 2012).
Model VPM (Vegetation Photosyntesis Model) memiliki keunggulan dalam
menduga NPP, beberapa penelitian menunjukan nilai NPP yang diperoleh dengan
menggunakan model VPM sangat relevan dengan hasil pengukuran NPP di
lapangan (Nugroho 2006). Model VPM pada beberapa penelitian selalu
menggunakan citra MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer)
(Nugroho 2006; Xiao et al. 2004). Citra MODIS memiliki resolusi spasial 1 x 1
km dan 0.5 x 0.5 km. Hal tersebut mengakibatkan citra MODIS tidak dapat

2
digunakan untuk menginterpretasi areal yang lebih sempit. Citra Landsat 5 ETM
dan Landsat 8 ETM memiliki resolusi spasial 30 x 30 m lebih tinggi dibandingkan
MODIS. Penelitianini mencoba mengaplikasikan citra Landsat dan mengkombinasikan model VPM (Xiao et al. 2004) dengan beberapa persamaan (June
2002; Kanniah et al. 2012).
Upaya mengkuantifikasi kemampuan kelapa sawit menyerap CO2 secara
akurat sangat penting. Variasi umur dan iklim sangat menetukan adalah variabel
NPP.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu menduga biomassa tanaman kelapa sawit
pada berbagai periode umur, menerapkan integrasi remote sensing dengan model
fisiologi pada berbagai periode umur dengan kondisi iklim berbeda (suhu) dan
menduga penyerapan CO2 oleh tanaman kelapa sawit pada berbagai periode umur
kondisi iklim berbeda (suhu).
METODE
Lokasi
Lokasi penelitian ini terletak pada Agroekosistem Kelapa Sawit PT Era
Mitra Agro Lestari (EMAL) Jambi, Sumatera, Indonesia (Gambar 1). Penelitian
ini berfokus pada areal kelapa sawit umur 1, 5, 10, 14, dan 19 tahun.

Gambar 1 Peta perkebunan kelapa sawit

3
Bahan
Data tinggi kelapa sawit diperoleh dari masing-masing umur sebanyak 15
pohon, umur 1, 5, 10, 14, dan 19 dipilih sebagai sampel digunakan untuk
menghitung nilai biomassa diatas permukaan (AGB). Kemudian peta vektor blok
kebun kelapa sawit PT.EMAL digunakan untuk membatasi wilayah kajian. Citra
Landsat 5 path/row 125/62 perekaman tanggal 29 April 2009, tanggal 3 Agustus
2009 dan Landsat 8 path/row 125/62 perekaman tanggal 28 Juni 2013. Data iklim
diantaranya suhu diperoleh dari hasil ekstraksi citra, radiasi global dan lama
penyinaran matahari diperolah dari stasiun klimatologi Jambi.
Alat
Untuk penelitian dilapangan diperlukan beberapa peralatan berupa pengukur
tinggi kelapa sawit, meteran dan GPS (Global Positioning System), yang
digunakan untuk menentukan titik plot pengambilan sampel dari biomassa. Untuk
pengolahan data alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa perangkat lunak
pengolah citra ER Mapper 7.0 dan Arc GIS 9.1.
Prosedur Analisis Data
Adapun tahapan analisis data diantaranya proses awal pengolahan citra
landsat 5 dan 8 yang terdiri dari proses mendownload citra, koreksi geometrik,
pemotongan citra, kombinasi band. Selanjutnya, dilakukan pemodelan fisiologi
untuk memperoleh nilai penyerapan CO2 kelapa sawit. Parameter-parameter yang
dibutuhkan dalam penentuan penyerapan CO2 yaitu efisiensi cahaya matahari
kelapa sawit yang digunakan untuk fotosintesis, FAPAR, PAR sehingga diperoleh
nilai GPP dan NPP ( Lampiran 2).
Proses Awal Pengolahan Citra
Proses Download Citra
Data citra Landsat 5 dan Landsat 8 ETM tersedia dan dapat didownload
melalui USGS http://glovis.usgs.gov/. Untuk mendownload citra tahap pertama
dilakukan registrasi data pengguna dan memastikan komputer telah diinstal
program Java. Selanjutnya memasukan kode path dan row wilayah Jambi,
Sumatera, Indonesia pada web tersebut. Kemudian memasukkan rentang tanggal
akuisisi citra landsat yang ingin dimunculkan untuk dipilih yang terbaik. Setelah
itu citra yang diinginkan akan muncul secara otomatis sehingga proses download
dapat dilakukan.
Koreksi Geometrik
Koreksi geometrik bertujuan untuk meminimalisir kesalahan atau distorsi
geometri pada citra. Perbedaan tinggi permukaan tanah, rotasi bumi,
kelengkungan bumi, sudut pandang perekaman atau gangguan sensor yang tidak
normal,menyebabkan hasil akuisisi terdistorsasi geometrik yang mengakibatkan
pergeseran sistem koordinat dan datum. Untuk Indonesia menggunakan UTM
(Universal Transverse Mercator) sebagai sistem proyeksi dan datum WGS84.
Kemudian dilakukan proses geodetic pada citra dengan menggunakan ER Mapper
7.0

4
Pemotongan Citra
Peta vector areal kelapa sawit tahun tanam 2008, 1999, dan 1994(format
shape file, shp) digunakan untuk memotong Citra Landsat 5 path/row 125/62
perekaman tanggal 29 April 2009 dan 3 Agustus 2009, dari kedua citra Landsat 5
tersebut dipilih yang paling baik untuk memperoleh wilayah kajian umur1 dan 10
tahun. Selanjutnya dengan peta vector yang sama dilakukan pemotongan citra
Landsat 8 path/row 125/62 perekaman tanggal 28 Juni 2013 untuk memperoleh
batas wilayah kajian umur 5, 14, dan 19 tahun. Setelah dilakukan proses
pemotongan masing-masing citra diperoleh potongan citra dari beberapa umur
kelapa sawit sebagai wilayah kajian diantaranya umur 1, 5,10, 14, dan 19 tahun.
Kombinasi Band
Pada penelitian ini dilakukan beberapa kombinasi band pada masing-masing
citra untuk Landsat 5: band 1, 2 dan 3 untuk menentukan Rsout (persamaan (15)),
band 3 dan 4 untuk menentukan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)
(persamaan (12)) serta band 4 dan 5 untuk menentukan LSWI(Land Surface
Water Index) (persamaan (5)). Pada citra Landsat 8: band 2,3 dan 4 untuk
menentukan Rsout (persamaan (16,17)), band 4 dan 5 menetukan NDVI, kemudian
band 5 dan 6 untuk menentukan LSWI.
Pemodelan Fisiologi
Menetukan Efisiensi Cahaya Matahari (εg) Tanaman Kelapa Sawit
Efisiensi penggunaan cahaya matahari dapat dijelaskan sebagai jumlah
energi radiasi yang dimanfaatkan oleh tanaman untuk fotosintesis. Setiap tanaman
memiliki nilai efisiensi penggunaan cahaya yang berbeda-beda pada saat proses
pertumbuhannya.Perbedaan efisiensi penggunaan cahaya matahari tersebut
dipengaruhi faktor fisiologi dan keadaan iklim mikro lingkungan. Menurut
Wanget al. (2011) efisiensi penggunaan cahaya matahari dipengaruhi oleh batas
nilai cahaya maksimum yang dimiliki oleh tanaman, fenologi daun, kondisi suhu,
dan ktersediaan air. Liet al.(2012) mengatakan nilai efisiensi penggunaan cahaya
matahari yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman bergantung pada kondisi ekstrim
lingkungan seperti suhu, tekanan uap defisit (VPD) dan ketersediaan air pada
tanah.
Efisiensi penggunaan cahaya matahari (εg) untuk fotosintesis pada
tumbuhan dipengaruhi oleh kondisi suhu, kelembaban permukaan tanah, dan
tekanan uap defisit.Efisiensi penggunaan cahaya maksimum (ε0) yang dibutuhkan
berbeda berdasarkan masing-masing jenis individu tumbuhan tertentu. Xiao et
al.(2004) menyatakan efisiensi cahaya matahari pada model VPM ditentukan
dengan persamaan sebagai berikut :
εg= ε0 × Tscalar × Wscalar × Pscalar

(1)

dimana εg adalah efisiensi penggunaan cahaya (gC m-2 MJ-1), ε0 adalah efisiensi
cahaya maksimum (µmol CO2 µmol-1 PAR). Menurut Dufrene dan Saugier (1993)
ε0 kelapa sawit memiliki nilai 0.051 (mol CO2 photon-1) atau 2.805 (gC m-2 MJ-1).
Tscalar merupakan indeks pengaruh suhu berfungsi untuk mendeteksi efek suhu
pada proses fotosintesis yang berlangsung di kanopi daun, Wscalar adalah indeks
pengaruh air berfungsi mengetahui efek air pada proses fotosisntesis dan Pscalar
adalah indeks pengaruh fenologi daun.

5
Persamaan untuk menentukan Tscalar dapat ditentukan sebagai berikut :
(2)

Tscalar =

Tscalar dihitung dari (Ta) suhu udara (oC), Tmin, Tmax, Topt suhu minimum,
maksimum, dan optimum yang digunakan untuk proses fotosintesis. Jika suhu
udara yang diperoleh berada dibawah suhu minimum maka Tscalar bernilai 0 (Xiao
et al. 2005). Tanaman kelapa sawit memiliki suhu minimum 11.5oC dan suhu
maksimum 38oC, suhu optimum sawit 23oC nilai tersebut didapatkan dari
kompilasi dari beberapa penelitian Pahanet al.(2008), suhu udara (Ta) dihitung
menggunakan citra Landsat.
Persamaan untuk menentukan Wscalar dapat ditentukan sebagai berikut :
(3)
Wscalar =
Wscalar yang dapat diperkirakan dengan menggunakan LSWI (Land Surface Water
Index) menurut persamaan, LSWImax yang merupakan LSWI maksimum diperoleh
dari nilai maksimum LSWI satu piksel pada musim tanaman yang tumbuh
bergantung pada time series sensor optik dan data citra.
Persamaan untuk menentukan Pscalar dapat ditentukan sebagai berikut :
(4)
Pscalar =
Pscalar memperhitungkanpengaruhumurdaunpadafotosintesispada tingkatkanopi.
Wscalar dan Pscalar dapat diperkirakan dengan menggunakan LSWI menurut
persamaan sebagai berikut :
(5)

LSWI =

LSWI mendeskripsikan tingkat kelembaban vegetasi dan tanah karena
(reflektan short wave infrared) sangat sensitif terhadap ketersediaan air dan
kelembaban tanah. Daun hijau sangat sensitif pada
(reflektan infrared). Jika
nilai
tinggi dari pada
maka nilai LSWI > 0.0.
Pendugaan Suhu Udara (Ta) Wilayah Studi
Suhu udara adalah salah satu parameter diperlukan untuk menentukan Tscalar
yang merupakan indeks pengaruh suhu pada proses fotosintesis.
Persamaan untuk menentukan suhu udara dapat ditentukan sebagai berikut :
=

-[

]

(6)

dimana H adalah fluks pemanasan udara (Wm-2),
adalah kerapatan udara
lembab (1.27 kgm-3)
panas spesifik udara pada tekanan konstan (1004
JKg-1K-1)
adalah suhu permukaan (K)
suhu udara (K)
adalah
-1
-0.96
tahanan aerodinamik (sm ) Rosenberg (1974):
= 31.9 x u
u adalah
kecepatan angin normal pada ketinggian 1-2 m, yaitu sekitar 2 ms-1, vegetasi (1.41
ms-1).

6
Pendugaan Suhu Permukaan (Ts) Wilayah Studi
Suhu permukaan dibutuhkan untuk menduga suhu udara dari citra Landsat
8, untuk mengetahui derajat suhu permukaan diperlukan beberapa tahapan seperti
konversi nilai digital number dari band 6 pada Landsat 5 dan band 11 (TIRS) pada
Landsat 8 untuk mendapatkan nilai spectral radiance, lalu nilai spectral radiance
( ) dikonversi dalam suhu kecerahan( ), selanjutnya nilai suhu kecerahan di
konversi menjadi nilai suhu permukaan.
Pada Landsat 5 suhu kecerahan dihitung dengan menggunakan nilai spectral
radiance yang diperoleh dari nilai digital number USGS (2009), persamaannya
adalah,
=

×

(7)

dimana adalah spectral radiance pada band ke-i (Wm-2sr-1µm-1), QCAL adalah
nilai digital number band ke-i,
adalah nilai minimum spectral radiance
band ke-i,
adalah nilai maximum spectral radiance band ke-i,
adalah minimum pixel value,
adalah maximum pixel value (255).
Sedangkan untuk memperoleh suhu kecerahan pada Landsat 8 juga dihitung
dengan mengkonversi nilai digital number kedalam spectral radiance (GISAM
2011), dengan persamaan sebagai berikut :
(8)
Lλ = ML QCAL + AL
dimana
adalah TOA spectral radiance pada band ke-i (Wm-2sr-1µm-1), ML
adalah nilai specific multiplicative rescaling factor band ke-i yang diperoleh dari
meta data, AL adalah nilai specific additive rescaling factor band ke-i yang
diperoleh dari meta data, dan QCAL adalah nilai digital number kanal ke-i.
Suhu kecerahan diperoleh dengan persamaan yang mengikuti hukum Planck
(USGS 2009; 2013) dinyatakan dengan :
Tb=

(9)

dimana adalah TOA spektral radiance(Wm-2sr-1µm-1) adalah suhu kecerahan
(oK),
adalah konstanta radiasi pertama Landsat 5 band 6 (607.76Wm-2sr-1 m-1),
Landsat 8 band 11(480.89 Wm-2sr-1 m-1),
adalah konstanta radiasi kedua
Landsat 5 band 6 (1260.56 K), Landsat 8 band 11 (1201.14 K).
Selanjutnya dilakukan konversi nilai suhu kecerahan menjadi nilai suhu
permukaan.Untuk mendapatkan suhu permukaan dari citra Landsat ETM+, perlu
dikoreksi dengan emisivitas benda melalui persamaan :
=

(10)

dimana Ts adalah suhu permukaan yang terkoreksi (K), Λ adalah panjang
gelombang radiasi emisi (12 m), ∂ adalah hc/σ (1.438 x 10-2 m K), h adalah
konstanta Planck (6.26x10-34 J sec),c adalah kecepatan cahaya (2.998 x 108 m sec1
), ε adalah emisivitas, σ adalah konstanta Stefan Boltzman (1.38 x 10-23 JK1
).Nilai emisivitas vegetasi sekitar 0.95 (Weng 2001).

7
Menentukan FluksBahangTanah WilayahStudi
Fluks bahang tanah dihitung berdasarkan hubungan antara radiasi netto (Rn),
suhu permukaan (Ts), albedo dan NDVI yang dirumuskan oleh Allen et al.(2001).
(11)

G=

dimana adalah albedo, Rn adalah radiasi Netto (Wm-2), dan Ts adalah suhu
permukaan (oC) dan NDVI adalah rasio reflektan NIR-IR terhadap NIR+IR
dengan persamaan sebagai berikut :
(12)

NDVI =

Pendugaan Fluks Panas Terasa Wilayah Studi
Pendugaan fluks panas terasa untuk mengetahui suhu udara Monteith and
Unsworth (1990) adalah sebagai berikut :
(13)

H=

dimana H adalah sensible heat flux (Wm-2), Rn adalah radiasi netto (Wm-2), G
adalah fluks pemanasan udara (Wm-2) dan β adalah bowen ratio.
Menetukan Radiasi Netto (Rn) Wilayah Studi
Radiasi netto dinyatakan sebagai radiasi netto gelombang pendek dikurangi
dengan radiasi netto gelombang panjang yang dipantulkan ke udara.
(14)
Rn = Rs netto + Rl netto
pada citra Landsat 5 radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dapat diduga
dengan menggunakan persamaan:
Rsout

d2

(15)

Untuk citra Landsat 8 radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dapat
diduga dengan menggunakan persamaan (GISAM 2011):
Rsout

d2

(16)

d adalah jarak astronomi bumi matahari,
adalah rata-rata nilai solar spectral
-2 -1
-1
irradiance pada kanal tertentu (Wm sr µm ), adalah spectral radiance (Wm2 -1
sr µm-1), Lhaze1%rad adalah haze radiance dikurangi 1% reflektan dengan
persamaan sebagai berikut (GISAM 2011):
1% reflektan



(17)

Nilai radiasi gelombang pendek yang diterima dapat diperoleh dengan
menggunakan persamaan :
(18)
Rsin
dimana adalah nilai albedo yang memiliki nilai 0.12 untuk kelapa sawit umur
muda dan 0.09 untuk kelapa sawit dewasa, RSout adalah radisi gelombang pendek
yang dipantulkan (Wm-2), RSin adalah radiasi gelombang panjang yang sampai di
permukaan (Wm-2).

8
Nilai radiasi gelombang panjang yang diterima dapat diperoleh dengan
menggunakan persamaan Waters et al. (2002):
(19)
R = εaσT 4
lin

cold

dimana Rlin adalah radiasi gelombang panjang yang diterima oleh permukaan
objek (Wm-2), εa adalah emisivitas atmosfer, σ adalah tetapan Stefan-Bolzman
(5.67x10-8Wm-2K-4), Tcold adalah suhu permukaan paling rendah pada piksel (oK).
Nilai radiasi gelombang panjang yang dipantulkan dapat diperoleh dengan
menggunakan persamaan :
(20)
Rlout = εσTs4
DimanaRloutadalah radiasi gelombang panjang yang diemisikan oleh permukaan
objek (Wm-2), ε adalah emisivitas, σ adalah tetapan Stefan-Bolzman (5.67x108
Wm-2K-4),Ts adalah suhu permukaan(oK).
Menentukan Nilai FAPAR Wilayah Studi
FAPAR adalah fraksi PAR yang diserap oleh daun untuk proses fotosintesis.
Persamaan paling umum yang digunakan untuk menghitung FAPAR adalah
dengan menghubungkan nilai LAI (Leaf Area Index) berdasarkan Hukum BeerLambert Kanniah et al.(2012) dimana k adalah koefisien pemadaman (k = 0.47):
FAPAR = [

(21)

LAI kelapa sawit umur 5, 10, 14, dan 19 tahun diperoleh dari persamaan Kaniah
et al. (2012) persamaan sebagai berikut :
(22)
LAI = - 0.156 × radiance NIR + 16.95
Menentukan Nilai PAR Wilayah Studi
PAR (Photosynthetically Active Radiation) digambarkan sebagai bagian dari
spektrum radiasi yang digunakan didalam proses fotosintesis. PAR diasumsikan
0,5 dari total radiasi global (MJm-2 hari-1) (June 2002). Radiassi global diperoleh
dari stasiun klimatologi Jambi. Pada penelitian ini areal kelapa sawit diasumsikan
menerima radiasi global setiap bulanya 10 (MJ m-2 hari-1). Nilai tersebut
merupakan nilai rata-rata harian berdasarkan data bulanan bulan juni 2013.
Menentukan Biomassa Kelapa Sawit
(Perhitungan Biomassa Diatas Permukaan dan Dibawah Permukaan)
Kegiatan awal penelitian dilakukan di lapangan yaitu menetapkan beberapa
sampel tanaman kelapa sawit berdasarkan tahun tanamnya. Individu-individu
kelapa sawit diambil sebanyak 15 pokok sebagai sampel, sampel diambil secara
acak pada tiap masing-masing umur 5, 14 dan 19, setiap sampel berasal dari 5
plot yang telah ditentukan yang terdiri dari 3 individu terdekat sebagai satuan plot.
Kegiatan kedua menghitung total biomassa dengan menjumlahkan
biomassa diatas permukaan tanah (AGB) dengan biomassa dibawah permukaan
(BGB), biomassa pelepah hasil pemangkasa dan buah tandan. Nilai biomassa
dibawah permukaan (BGB) diasumsikan 0.25 dari biomassa di atas permukaan
tanah biomassa (AGB) (Rogi 2002).Untuk memperkirakan (AGB) digunakan
persamaan alometrik. Persamaan alometrik dikembangkan untuk memperkirakan
biomassa kelapa sawit tanpa menebang pohon secara langsung/non desktruktif
(Aholoukp et al. 2013). Persamaan Alometrik menghubungkan dimensi pohon
dengan nilai biomassa pohon (Dewi et al. 2009; Thenkabail et al. 2004).
Penelitian ini menggunakan persamaan alometrik yang pernah dikembangkan oleh

9
Dewi et al. (2009) pada tanah mineral di Sumatera, Indonesia adalah sebagai
berikut:
Biomasa = Tinggi batang (m) * 0.0976 + 0,0706 (ton pohon-1) (23)
R2 = 0.7342
Perhitungan Biomassa Pelepah Hasil Pemangkasan, danBuah Tandan
Menurut Yulianti (2009) pada umumnya setiap perkebunan kelapa sawit
melakukan prosespemangkasanrata-rata 2 sampai 3 pelepah setiap 6 bulan,
sehingga dapat diasumsikan setiap tahunnya dilakukan sistem peruning 6pelepah
pada kelapa sawit. Pada penelitian ini biomassa pelepah pemangkasan diperoleh
dari persamaan:
BPP = [PP * BKP(kg pelepah-1) * PD] /1000

(24)

BPP adalah biomassa pelepah pemangkasan (ton ha-1 tahun-1), PP adalah jumlah
pelepah pemangkasan 1 pohon setiap tahun (diasumsikan 6 pelepah 1 pohon
tahun-1), PD adalah jumlah kelapa sawit per hektar (126 pohon ha-1). BKP adalah
berat kering 1 pelapah (menggunakan nilai rata-rata BKP Henson et al. (2012)).
Tabel 1 Nilai berat kering pelepah (BKP) kelapa sawit pada beberapa umur
Umur
BKP (kg pelepah-1)
3
0.248
5
0.261
10
0.258
13
0.200
15
0.187
18
0.368
20
0.312
24
0.315
Rata-rata
0.269
Untuk menghitung biomassa buah kelapa sawit digunakan persamaan Tan et
al.(2014) yang menghubungkan umur kelapa sawit terhadap biomassa tandan
buah dengan persamaan sebagai berikut:
Biomassa buah tandan (kg pohon-1) = 78.54 (lnx) – 18.52

(25)

Menentukan Nilai GPP (Gross Primary Production), Respirasi Pertumbuhan
(Rgr), dan Respirasi Pemeliharaan (Rmt) Kelapa Sawit
Pendekatan GPP (Gross Primary Production) diadopsi dari model LUE
Running et al. (1999; 2000) GPP adalah intensitas fotosintesis harian yang dapat
menduga jumlah total karbon yang berhasil diserap oleh tanaman selama proses
fotosintesis. GPP juga dapat didefinisikan sebagai total harian karbon hasil
fotosintesis sebelum dikurangi dengan total respirasi selama lebih dari 24 jam
sehari.
GPP = εg× FAPAR × PAR

(26)

10
Rgr adalah jumlah total karbon yang digunakan pada proses respirasi untuk
pertumbuhan pada vegetasi (gC m-2 tahun-1). Menurut Nugroho (2006) dan
Running (2000) respirasi pertumbuhan (Rgr) dinyatakan sebagai 0.25 dari GPP.
(27)

Rgr= 0.25 × GPP

Rmt adalah respirasi pemeliharaan pada vegetasi (gCm-2 tahun-1 ). Pada saat proses
fotosintesis berlangsung sebagian karbon langsung digunakan untuk respirasi
pemeliharaan (Nugroho 2006 dan Running 2000).
[

Rmt=



]

(28)

Respirasi pemeliharaan (Rmt) dinyatakan sebagai bagian dari GPP yang
hilang karena digunakan untuk respirasi pertumbuhan (Rgr), selain itu respirasi
pemeliharan juga dipengaruhi oleh jumlah biomassa total serta suhu klimatologi
(long term) atau karakteristik suhu wilayah penelitian (Tc) dan suhu udara wilayah
penelitian (Ta) (Nugroho 2006). Tc memiliki suhu 26.5 (oC) (Syahrinudin 2005),
Ta suhu udara (oC) diperoleh dari citra satelit.
Menentukan NPP (Net Primary Production) dan
Nilai Penyerapan CO2 Kelapa Sawit
NPP adalah sisa karbon total yang berhasil diserap oleh tanaman selama
proses fotosintesis setelah sebagiannya digunakan untuk respirasi pertumbuhan
dan respirasi pemeliharaan tanaman (Runing et al. 1999 dan Nugroho 2006).
Kuantifikasi NPPbiasanya disajikan dalam tahunan (Running 2000).
NPP = GPP - Rgr - Rmt

(29)

Penyerapan CO2 kelapa sawit diperoleh dari mengalikan NPP dengan 3.67
sebagai factor konversi CO2 ton ha-1.
CO2 = NPP 3.67

(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hubungan Suhu Permukaan (Ts) dan Suhu Udara (Ta) dan
Umur Kelapa Sawit
Suhu udara (Ta) diperoleh dari pengolahan citra Landsat 5 dan 8 dengan
mengekstrak nilai suhu permukaan (Ts) fluks bahang tanah (G), radiasi netto
(Rn) dan fluks panas terasa (H). Gambar 2 menunjukkan rata-rata suhu
permukaan (Ts) memiliki hubungan terhadap umur kelapa sawit dengan
R2=0.887. Hal tersebut diikuti oleh nilai suhu udara (Ta) yang juga menurun
mengikuti peningkatan umur kelapa sawit dengan R2=0.944 (Gambar 3). Umur 1
tahun memiliki nilai suhu udara paling tinggi yaitu 24.72 oC dibandingkan dengan
umur lainnya dengan Sd = 0.38 , dan suhu udara terendah ditunjukan pada kelapa
sawit umur 19 Tahun yaitu 22.49 oC dengan Sd = 0.19 (Lampiran 3). Semakin
rapat kanopi suatu vegatasi maka suhu akan menurun. Kelapa sawit umur 19

11

Suhu permukaan ( oC)

tahun memiliki tajuk yang paling rapat dibandingkan yang lainnya sehingga
memiliki suhu udara (Ta) paling rendah.
y = -0.098x + 26.36
R² = 0.887

27
26
25
24
0

5

10

15

20

Umur (tahun)

Suhu udara ( oC)

Gambar 2 Hubungan umur kelapa sawit dan suhupermukaan
y = -0.117x + 24.87
R² = 0.944

25
24
23
22
0

5

10

15

20

Umur (tahun)

Gambar 3 Hubungan umur kelapa sawit dan suhu udara.
Hubungan Efisiensi Penggunaan Cahaya Matahari (εg)
dan Umur Kelapa Sawit
Gambar 4 menunjukan indeks suhu (Tscalar) bertambah seiring meningkatnya umur kelapa sawit dan mulai stabil pada umur 10 tahun dengan R 2=0.980.
Indeks suhu terendah ditunjukan pada kelapa sawit umur 1 tahun dengan nilai
rata-rata yaitu 0.982 sedangkan umur 19 tahun yaitu 0.999 paling tinggi
dibandingkan umur lainnya. Nilai rata-rata indeks air (Wscalar) terendah terdapat
pada kelapa sawit umur 1 tahun yaitu 0.79 dan tertinggi pada umur 19 tahun.
Gambar 5 menunjukan indeks air meningkat ketika umur kelapa sawit meningkat
dengan R2= 0.749. Wscalar menggambarkan pengaruh air pada tanaman untuk
proses fotosintesis dilihat dari kondisi kelembaban tanah dan tekanan uap (Xiao et
al. 2004). Indeks fenologi daun (Pscalar) juga meningkat seiring bertambahnya
umur kelapa sawit dengan R2= 0.857 (Gambar 6). Kelapa sawit umur 1 tahun
memiliki nilai rata-rata Pscalar terendah yaitu 0.61,sedangkan pada umur 19 tahun
memiliki nilai tertingi yaitu 0.69. Pscalar dapat mepresentasikan tingkat kehijauan
serta kapasitas potosintesis yang dimiliki tanaman (Xiao et al. 2004).

12

Tscalar

Efisiensi cahaya matahari dan umur kelapa sawit memiliki nilai R2=0.835.
Variasi nilai Tscalar, Wscalar dan Pscalar sangat menentukan besarnya efisiensi cahaya
matahari yang dapat dimanfaatkan untuk proses fotosintesis. Berdasarkan hasil
penelitian semakin bertambah umur kelapa sawit maka nilai rata-rata Tscalar, Wscalar
dan Pscalar semakin mendekati nilai 1 dan keragamannya (Sd) semakin kecil
(Lampiran 3). Hal tersebut dapat diartikan bahwa pengaruh lingkungan terhadap
pengurangan efisiensi cahaya matahari semakin rendah, sehingga nilai rata-rata
efisiensi cahaya matahari bertambah seiring meningkatnya umur kelapa sawit
(Gambar 7). Nilai efisiensi cahaya yang digunakan untuk fotosintesis pada umur 1
tahun berkisar antara 0.4 sampai 1.1 gC m-2 MJ-1, sebaran nilai efisiensi cahaya
(εg) paling dominan pada areal umur 5tahun (Lampiran 5) berkisar antara 0.7
sampai 1.9 gC m-2MJ-1, pada areal umur 10 tahun (Lampiran 6) menurun yaitu
berkisar 0.4 sampai 1.5 gC m-2 MJ-1 ini disebabkan adanya tutupan awan yang
cukup luas pada daerah tersebut sedangkan pada areal umur 14 (Lampiran 7) dan
19 tahun (Lampiran 8) sebaran nilai efisiensi cahaya paling dominan secara
berturut-turut berkisar 1.2 sampai 2 dan 0.8 sampai 2 gC m-2 MJ-1. Rata- rata
nialai efisiensi cahaya dari umur 1 sampai 19 tahun adalah 1.5 gCm-2 MJ-1 (Tabel
2). Nilai tersebut hampir sesuai dengan hasil pengukuran langsung dilapangan
yang dilakukan oleh Tan et al.(2011) pada kelapa sawit di Malaysia yaitu 1.40 gC
m-2 MJ-1.

1
0.995
0.99
0.985
0.98

y = -8E-05x2 + 0.0024x + 0.9808
R² = 0.9805
0

5

10
Umur (tahun)

15

20

Wscalar

Gambar 4 Hubungan umur kelapa sawit dan Tscalar

1
0.8
0.6
0.4
0.2
0

y = 0.0076x + 0.8013
R² = 0.7497
0

5

10
Umur (tahun)

15

Gambar 5 Hubungan umur kelapa sawit dan Wscalar

20

13

Pscalar

0.8
0.6
0.4
y = 0.0045x + 0.6122
R² = 0.8575

0.2
0
0

5

10
Umur (tahun)

15

20

Gambar 6 Hubungan umur kelapa sawit dan Pscalar

εg (gC m-2 MJ-1)

2

1
y = 0.0359x + 1.2078
R² = 0.8358
0
0

5

10

15

20

Umur (tahun)

Gambar 7 Hubungan umur kelapa sawit dan εg
Hubungan FAPAR, LAI, dan Umur Kelapa Sawit
Gambar 8 hasil ekstraksi citra Landsat menunjukan hubungan nilai rata-rata
LAI terhadap peningkatan umur kelapa sawit memiliki nilai R2= 0.728. Nilai ratarata LAI pada umur 5,10, dan 14 adalah 4.5, LAI tertinggi ditunjukan pada kelapa
sawit umur 19 tahun yaitu 6.5. Nilai-nilai tersebut cukup relevan dengan hasil
penelitian Thut (2004) yang menyatakan bahwa LAI kelapa sawit berkisar antara
2,86 sampai 7.19.Tan et al. (2014) menyatakan bahwa kelapa sawit