Studi Biologi Reproduksi Sebagai Dasar Pengelolaan Ketam Kelapa (Birgus latro) di Pulau Yoi, Kec. P. Gebe, Maluku Utara

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI SEBAGAI DASAR
PENGELOLAAN KETAM KELAPA (Birgus latro) DI PULAU
YOI, KECAMATAN P. GEBE, MALUKU UTARA

YUYUN ABUBAKAR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Biologi Reproduksi
Sebagai Dasar Pengelolaan Ketam Kelapa (Birgus latro) Di Pulau Yoi,
Kec.P.Gebe, Maluku Utara adalah hasil karya saya sendiri dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Juli 2009
Yuyun Abubakar

ABSTRACT
YUYUN ABUBAKAR. Biology reproduction study as the basic of coconut crab
(Birgus latro) management In Yoi island, at middle Halmahera district, North
Mollucass. Advised by SULISTIONO and KADARWAN SOEWARDI.
Coconut crab is kind of crustase which the best suited to the land
environment, and it is one of commodity that has high value and being protected.
It is an animal in beach ecosystem which until this present is getting decreased
population. It because of intensively catchment. The objective of this research
were(1) to see the reproduction of coconut crab (2) to see the distribution deal
with characteristic of the inhabitant suited to coconut crab (Birgus latro),. This
research was conducted at Yoi island, at middle Halmahera, North Mollucass,
during 12 months, from January until Desember 2008. samples of coconut crab
collected using hands with coconut as feed. This study learned about the
indicators of physically, chemistry and biology factor. They were soil
temperature, air temperature, dampness air, pH, soil texture, C-organic, gonad
mature, closing area. Aspects which studied about gonad maturity were gonad
weight, gonad maturity level/tingkat kematangan gonad (TKG), gonad maturity

index , fecundity and egg diameter. Sex ratio during this research was 1:1. Chi
square value at 0,05 shows that sex ratio is balance. Relation value between length
(CP+r) with weight of male coconut crab W= 0,006(CP+r) 2,531 and R2 = 0,877.
and the female W = 0,046(CP+r)2,030dengan R2 = 0,675. Condition factor of male
and female crab has the highest value at September until Desember. Spawn
process of female crab keeps on going. Gonad maturity index of male crab has the
top of spawn at September. And female at Desember. Fecundity between
17.698– 143.210 eggs. Egg diameter at TKG III between 0,010-0,085 mm and
TKG IV approximately between 0,012-0,095 mm. Spawn type of this crab was
total spawner. This is total eggs being out from its body. Analysis of correlation
between gonad maturity with habitat characteristic shows that there were
correlation between air temperature, air and soil humidity, with coconut crab
gonad maturity.
Keywords : coconut crab, biology, reproduction.

RINGKASAN

YUYUN ABUBAKAR. Studi Biologi Reproduksi Sebagai Dasar Ketam
Kelapa (Birgus latro) Di Pulau Yoi, Kec.P.Gebe, Maluku Utara.
Dibimbing oleh SULISTIONO dan KADARWAN SOEWARDI.

Birgus latro (LINNAEUS, 1767) lebih dikenal dengan nama ketam
kelapa atau Ketam kenari adalah jenis krustasea yang paling sukses
beradaptasi dengan lingkungan darat dan merupakan salah satu komoditi
yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Nilai ekonomi yang begitu penting
karena memiliki potensi sebagai komoditi ekspor. Ketam kelapa
merupakan hewan ekosistem pantai yang saat ini mengalami ancaman
penurunan populasi. Ketam ini dilindungi oleh pemerintah melalui surat
keputusan Menteri Kehutanan dengan SK Menhut No.12/KPTSII/Um/1987.
Kepentingan pelestariaan ketam kelapa pada alam asli dan
desakan permintaan konsumen akan semakin nyata dimasa akan datang.
Kesetimbangan antara permintaan dan suplai akan meningkatkan tekanan
terhadap populasi di alam. Pembukaan hutan pesisir yang merupakan
habitat ketam kelapa untuk berbagai kepentingan, diduga telah ikut
mengurangi sumber makanan alami dilingkungannya. Dengan berbagai
kepentingan diatas, maka perlu dilakukan suatu penelitian biologi
reproduksi sebagai dasar pengelolaan ketam kelapa (birgus latro) di
lingkungan asli dan untuk melakukan domestikasi. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui biologi reproduksi ketam kelapa (Birgus
latro). Manfaat penelitian diharapkan dapat dijadikan informasi tentang
biologi dan habitat ketam kelapa (Birgus latro) bagi upaya pengelolaan

dan pemanfaatan sumberdaya ketam kelapa terutama dalam upaya
konservasi dan domestikasi dengan tujuan restocking serta sebagai data
awal bagi usaha budidaya sehingga keberadaan di alam dapat dilestarikan
(tidak sampai punah) di masa mendatang.
Pelaksanaan penelitian untuk pengumpulan data terdiri dari 2
tahap, yaitu penelitian dilapangan dan pengamatan serta analisis di
laboratorium. Karakristik fisika kimia habitat sebagai data penunjang
penelitian diukur dan diamati. Pengamatan dan pengukuran parameter
dilakukan di insitu, bersamaan dengan waktu pengambilan contoh.
Sedangkan koleksi ketam kelapa contoh dilakukan pada 2 bulan sekali
dengan penangkapan menggunakan secara langsung tangan oleh nelayan.
Penangkapan dilakukan pada malam hari berdasarkan lokasi pengamatan.
Dari hasil penangkapan dilakukan identifikasi jenis kelamin dan
pengukuran panjang (CP+r) dan berat tubuh. kemudian preservasi
menggunakan larutan parraform 10%, sampel kemudian dianalisis di
laboratorium. Pengamatan aspek reproduksi seperti penentuan tingkat
kematangan gonad, indeks kematangan gonad, fekunditas dan pola
sebaran diameter telur.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, rasio kelamin didapat 1 : 1 .

pada uji Chi-Square pada taraf nyata 0,05 diperoleh bahwa rasio kelamin
menunjukkan adanya seimbangan. Pada hubungan panjang (CP+r) dengan
berat tubuh pada ketam jantan dan betina pada waktu pengamatan
memiliki pola pertumbuhan allometrik yaitu pertambahan (CP+r) lebih
cepat dibandingkan pertambahan berat tubuh dan lokasi pengamatan
diperoleh pola pertumbuhaan allometrik kecuali pada ketam jantan di
lokasi Selatan, utara dan barat yang memiliki pola pertumbuhan isometrik
yaitu pertambahan berat lebih cepat dibandingkan pertambahan panjang
(CP+r). Faktor kondisi ketam kelapa memiliki nilai terbesar pada
September dan Desember dan pada lokasi pengamatan terbesar di stasiun
telaga dan timur. Ketam kelapa (Birgus latro) dapat memijah pada bulan
September sampai Desember. Ukuran pertama kali matang gonad ketam
kelapa jantan pada selang ukuran 60-69 mm dan betina 50-59 mm. Indeks
kematangan gonad ketam kelapa jantan mencapai puncak pada bulan
September dan betina pada bulan Desember. Fekunditas berkisar 17.698 –
143.210 butir telur. Diameter telur pada TKG III adalah kisaran terbesar
0,052 – 0,054 dan TKG IV kisaran terbesar 0,052 – 0,054 mm dan 0,058 –
0,060 mm. Ketam kelapa memilki tipe pemijahan total spawner yaitu telur
seluruhnya dikeluarkan dari tubuh. Pengelolaan ketam kelapa yaitu
dilakukan penutupan area penangkapan pada musim pemijahan,

pembatasan ukuran penangkapan, melakukan kegiatan penangkaran dan
domestikasi di Pulau Yoi, Kec.p.Gebe, Maluku Utara.

 
 
 
 
 
 
 
 

@Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2.

Dilarang menggunakan atau memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI SEBAGAI DASAR
PENGELOLAAN KETAM KELAPA (Birgus latro) DI PULAU
YOI, KECAMATAN P. GEBE, MALUKU UTARA

YUYUN ABUBAKAR

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister sains pada
Departemen Perikanan dan Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009


PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perairan Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Januari
Sampai Desember 2009 dengan judul ‘’Studi Biologi Reproduksi Sebagai Dasar
Pengelolaan Ketam kelapa (Birgus latro) Di Pulau Yoi, Kec.P.Gebe, Maluku Utara’’
Terima kasih penulis ucapkan kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi sebagai Anggota Komisi Pembimbing
3. Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi sebagai dosen penguji luar komisi.
4. Bapak Drs. H. Sidik D. Siokona, M.pd sebagai Ketua Yayasan STIKIP Kieraha.
5. PT. Aneka Tambang Tbk di Jakarta yang telah memberikan bantuan dana dalam
penelitian ini.
6. Ayahanda Abubakar Aba dan Ibunda Asha Anto tercinta beserta Adik-adik Suriyanti
Abubakar, Murdiyono Abubakar dan Atman Anwar serta keluarga besar serta Fauzi
Hamisi, atas doa dan dorongan semangat selama penulis menyelesaikan studi.
7. Teman-teman di Program Studi Ilmu Perairan, Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
8. Teman-teman Forum Pascasarjana Maluku Utara (FPMU).

9. Masyarakat pulau Yoi yang telah membantu penelitian ini.
10. Serta semua pihak yang telah memberikan masukan dan saran sampai terselesainya
penulisan tesis ini.
Akhirnya kata penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini belum mencapai
kesempurnaan, oleh karena itu semua saran, masukan dan kritik yang sifatnya untuk
perbaikan penulisan ini, penulis terima dengan tangan terbuka.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Juli 2009

Penulis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ternate, Maluku Utara pada tanggal 01
Januari 1983 dan merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari ayah
Abubakar Aba dan Ibu Asha Anto.
Penulis selesaikan pendidikan dasar SD Inpres Togafo Ternate
1995. Selanjutnya penulis melanjutkan pada pendidikan menengah di
SLTP Neg 1 Ternate dan lulus pada tahun 1998 dan melanjutkan
pendidikan menengah atas pada SMU Neg 4 ternate dan selesai pada tahun

2001. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa
Perikanan dan Ilmu Kelautan Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan
Universitas khairun Ternate dan menyelesaikan pada tahun 2005.
Pada tahun 2006, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan pascasarjana di Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu
Perairan.

DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN PERNYATAAN................................................ i
HALAMAN HAK CIPTA...................................................... iv
PENGESAHAN...................................................................... vi
RIWAYAT HIDUP ................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR.............................................................. xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang ..................................................................................
Perumusan Masalah ..........................................................................
Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................................


1
2
3

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi .................................................................
Distribusi dan Habitat .......................................................................
Reproduksi ........................................................................................
Siklus Hidup......................................................................................

4

7
9
11

METODELOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................
Penentuan stasiun penelitian .....................................................
Metode pengambilan data ........................................................
Analisis Data .........................................................................

16
16
16
19

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian ............................................
Morfologi Ketam Jantan dan Betina ..........................................
Rasio Kelamin .......................................................................
Hubungan Panjang CP+r dengan Berat Tubuh ............................
Faktor Kondisi .......................................................................
Tingkat Kematangan Gonad .....................................................
Indeks Kematangan Gonad ......................................................
Fekunditas ............................................................................
Karakteristik Fisika Kimia Habitat ............................................
Pola Penyebaran ....................................................................
Pengelolaan Ketam Kelapa ......................................................

24
25
36
38
41
44
45
50
53
63
64

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ...........................................................................
Saran ....................................................................................

67
67

DAFTAR PUSTAKA....................................................................
LAMPIRAN...................................................................................

68
72

DAFTAR TABEL

Halaman
1.

Klasifikasi tingkat kematangan gonad ketam kelapa ..............................

18

2.

Klasifikasi tingkat kematangan gonad ketam kelapa jantan ....................

28

3.

Klasifikasi tingkat kematangan gonad ketam kelapa betina ....................

33

4.

Hubungan panjang (CP+r) dengan berat tubuh ketam kelapa
berdasarkan waktu pengambilan contoh ............................................

38

Hubungan panjang (CP+r) dengan berat tubuh ketam kelapa
Berdasarkan lokasi pengambilan contoh .............................................

40

6.

Hasil pengukuran fisika kimia habitat ketam kelapa di Pulau Yoi ..............

54

7.

Keadaan umum setiap lokasi pengamatan ............................................

58

5.

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1.

Gambar morfologi ketam kelapa...................................................

6

2.

Distribusi ketam kelapa di dunia ..................................................

7

3.

Ketam kelapa mengeluarkan telur dari tubuh...............................

11

4.

Siklus hidup ketam kelapa (Birgus latro)......................................

12

5.

Juvenil ketam kelapa .....................................................................

13

6.

Bagian yang diukur pada ketam kelapa.........................................

17

7.

Morfologi ketam kelapa .......................................................

26

8.

Morfologi ketam kelapa, (A) Jantan (B) Betina............................

26

9.

Ciri kelamin secara morfologis ....................................................

27

10. Gonad ketam kelapa jantan ...........................................................

27

11. Organ reproduksi ketam kelapa.....................................................

29

12. Organ ketam kelapa jantan ............................................................

29

13. Struktur histologist tubuli gonad/testis ketam kelapa jantan.........

30

14. Potongan melintang vas deferens ketam kelapa jantan .................

32

15. Morfolofis gonad ketam kelapa betina..........................................

34

16. Struktur histologis ovarium ketam kelapa betina ..........................

35

17. Rasio kelamin ketam kelapa..........................................................

37

18. Faktor kondisi ketam kelapa berdasarkan waktu ..........................

42

19. Faktor kondisi ketam kelapa berdasarkan lokasi...........................

43

20. Tingkat kematangan gonad ketam kelapa jantan berdasarkan
waktu .............................................................................................

44

21. Tingkat kematangan gonad ketam kelapa betina berdasarkan
waktu .............................................................................................

45

22. Persentase tingkat kematangan gonad ketam kelapa jantan.........

46

23. Persentase tingkat kematangan gonad ketam kelapa betina..........

47

24. Indeks kematangan gonad ketam kelapa berdasarkan waktu........

48

25. Indeks kematangan gonad ketam kelapa berdasarkan lokasi ........

49

26. Hubungan panjang (CP+r) dan berat tubuh dengan fekunditas
TKG III..........................................................................................

51

27. Hubungan panjang (CP+r) dan berat tubuh dengan fekunditas
TKG IV..........................................................................................

51

28. Sebaran diameter telur ketam kelapa TKG III ..............................

52

29. Sebaran diameter telur ketam kelapa TKG IV ..............................

53

30. Jumlah ketam kelapa berdasarkan waktu ......................................

63

31. Jumlah ketam kelapa berdasarkan lokasi ......................................

63

DAFTAR LAMPIRAN
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

      Halaman

1. Peta lokasi penelitian ketam kelapa (Birgus latro) di Pulau Yoi
Kec. P. Gebe, Maluku Utara .....................................................

72

2. Lokasi pengambilan contoh ketam kelapa di Pulau Yoi Kec.
P. Gebe, Maluku Utara .............................................................

73

3. Pembuatan preparat histologi gonad ...........................................

76

4. Rasio kelamin ketam kelapa berdasarkan waktu dan lokasi
Pengamatan ............................................................................

78

5. Faktor kondisi ketam kelapa jantan dan betina berdasarkan
waktu dan lokasi pengamatan ....................................................

79

6. Indeks kematangan gonad ketam kelapa berdasarkan waktu
dan lokasi pengamatan .............................................................

80

7. Pola penyebaran ketam kelapa berdasarkan lokasi pengamatan ......

81

8. Pola penyebaran ketam kelapa berdasarkan Waktu pengamatan.......

84

9. Perhitungan Uji Khi-kuadrat .....................................................

87

 
 
 
 
 
 

 

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Birgus latro (LINNAEUS, 1767) lebih dikenal dengan nama ketam kelapa
atau Ketam kenari adalah jenis krustasea yang paling sukses beradaptasi dengan
lingkungan darat dan merupakan salah satu komoditi yang memiliki nilai
ekonomis tinggi. Nilai ekonomi yang begitu penting karena memiliki potensi
sebagai komoditi ekspor. Ketam kelapa merupakan hewan ekosistem pantai yang
saat ini mengalami ancaman penurunan populasi. Ketam ini dilindungi oleh
pemerintah melalui surat keputusan Menteri Kehutanan dengan SK Menhut
No.12/KPTS-II/Um/1987 dan Menurut IUCN, ketam ini sudah dikatagorikan
sebagai ‘’rare’’ atau jarang dan spesies terancam punah ‘’endengared spesies’’
dalam’’Red Data Book’’ (I983 ; Anonim 2004)
Keberadaan ketam kelapa atau ketam kenari sudah dianggap hewan
langkah dan tergolong rawan, serta statusnya populasinya belum jelas, namun
masih diburu terus karena bernilai ekonomis tinggi (Pratiwi, 1989). Boneka
(1990) dan shokita (1991) dalam Sahami (1994), menyatakan bahwa populasinya
di alam kemungkinan akan merosot terus karena penangkapan yang sangat
intensif dan perombakan habitatnya. Selain dagingnya sebagai bahan makanan,
cangkangnya dapat digunakan sebagai hiasan. Di samping itu ketam

kelapa

terancam punah karena pertumbuhan yang lambat, juga banyak diburu karena
dagingnya yang lezat, bernilai untuk perdagangan maupun konsumsi masyarakat
lokal.
Ketam kelapa Coconut Crab, Kepiting kelapa atau disebut juga kepiting
kenari Robber Crab dan memiliki nama yang berbeda-beda di tiap - tiap daerah.
Menurut Holthuis 1963; Motoh 1980 dalam Pratiwi 1989) di Papua Nugini
menyebutnya Tinggau (Demta); di Jamna menyebutnya Tingkau Tankidi (Sobei)
sedangkan di Sarmi menyebut ‘’Adsoma’’ (Sobei). Di Filipina dikenal dengan
nama ‘’Alimangong lupa’’ (Tagalog), ‘’Tatus’’ ((Cebuano), dan ‘’umang’’
(Cebuano dan Ilongo). Di Inggris penduduk setempat menyebutnya dengan nama
“Coconut Crab” dan atau “Robber Crab”.

Menurut Pratiwi, 1989 ; Reyne, 1993 ; Rafiani, 2005, menyatakan bahwa
di Indonesia ketam kelapa atau ketam kenari tersebar di bagian timur yakni di
pulau-pulau Sulawesi Utara, Kepulauan Togian sampai Kepulauan Talaud,
Maluku, Irian Jaya dan di bagian timur Nusa tenggara Timur, wilayah Indonesia
bagian Utara, Tengah dan Timur : Sulawesi, Halmahera, Maluku, Nusa Tenggara
dan Irian Jaya. Namun hingga saat ini upaya perlindungan terhadap hewan ini
hanya sebatas penetapan hewan ini sebagai hewan yang dilindungi. Belum ada
upaya penetapan suatu daerah atau kawasan konservasi bagi keberlangsungan
hidup ketam yang jarang ini. Pulau Yoi terletak di Maluku Utara merupakan
pulau yang memiliki karakteristik ideal untuk dijadikan kawasan konservasi bagi
kelangsungan hidup ketam kelapa.
Konflik antara kepentingan pelestariaan ketam kelapa pada alam asli dan
desakan permintaan konsumen akan semakin nyata dimasa akan datang.
Kesetimbangan antara permintaan dan suplai akan meningkatkan tekanan
terhadap populasi di alam. Pembukaan hutan pesisir yang merupakan habitat
ketam kelapa untuk berbagai kepentingan, diduga telah ikut mengurangi sumber
makanan alami dilingkungannya. Dengan berbagai kepentingan diatas, maka perlu
dilakukan suatu penelitian biologi reproduksi sebagai dasar pengelolaan ketam
kelapa (birgus latro) di lingkungan asli dan untuk melakukan domestikasi
Perumusan Masalah
Tingginya usaha penangkapan yang dilakukan, dan penurunan kondisi
habitat

merupakan salahsatu penyebab penurunan jumlah populasi. Sebagai

upaya pengelolaan sumberdaya ketam kelapa (B. latro) perlu dilakukan berbagai
upaya agar sumberdaya ketam kelapa (B. latro) tetap lestari.
Pola pemikiran yang digunakan untuk pengelolaan sumberdaya perikanan
untuk mengatasi penurunan populasi ketam tersebut antara lain dengan (1)
mencari ukuran minimal yang matang gonad sehingga dapat dilakukan
pembatasan ukuran ketam yang boleh ditangkap, (2) mengetahui pola reproduksi
dan

musim pemijahan sehingga dapat diatur waktu penangkapan yang tidak

mengancam proses reproduksi ketam, (3) identifikasi karakteristik habitat yang
sesuai bagi ketam untuk melakukan reproduksi, dan (4) untuk keperluan
domestikasi.

Tujuan dan manfaat penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Biologi reproduksi ketam
kelapa (Birgus latro) , (2) identifikasi karakteristik habitat yang sesuai bagi ketam
kelapa (Birgus latro). Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi
tentang biologi dan habitat ketam kelapa (Birgus latro) bagi upaya pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya ketam kelapa terutama dalam upaya konservasi dan
domestikasi dengan tujuan restocking serta sebagai data awal bagi usaha budidaya
sehingga keberadaan di alam dapat dilestarikan (tidak sampai punah) di masa
mendatang.

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi
Crustacea termasuk ke dalam filum Arthoropoda berasal dari bahasa
(Yunani = sendi ; pous = kaki). Namanya berasal kakinya yang bersendi. Tubuhnya
terbagi dalam kepala (cephalin), dada (thorax) dan abdomen. Kepala dan dada
bergabung membentuk kepala- dada (cephalothorax). Menurut PPSDAHP
(1987/1988) dalam Pratiwi (1989) , B.latro adalah salah satu kelompok Decapoda
yang banyak menghabiskan waktunya didaratan. Ketam kelapa ini adalah krustase
yang paling besar dibandingkan dengan jenis-jenis krustase lainnya, sehingga
dikenal dengan arthropoda daratan yang terbesar di dunia. Hewan ini berperan
dalam perputaran bahan organik dalam tanah. Lemak perutnya dapat berkhasiat
sebagai aphrodisiac (perangsang gairah seksual). Berdasarkan cara makan dan jenis
pakan yang dimakannya, ketam ini termasuk ketam hama bagi pertanian dan
perkebunan karena sering memakan buah dan merusak pohon kelapa, kenari, dan
pepaya. Menurut Abele dan Bowman (1982) dalam Rafiani (2005) Ketam kelapa
(B.latro) memiliki susunan klasifikasi sebagai berikut :
Phylum

: Arthopoda

Superkelas

: Crustacea

Kelas

: Malacostraca

Subkelas

: Eumalacostraca

Superordo

: Eucarida

Ordo

: Decapoda

Subordo

: Pleocyemata

Infraordo

: Anomura

Superfamili

: Coenabitidea

Famili

: Coenabitidae

Genus

: Birgus

Spesies

: Birgus latro (L.)

Ketam kelapa atau ketam kenari (Birgus latro L.), mempunyai
karakteristik yang khas yakni secara morfologis mereka berada diantara seksi
Branchyura (dikenal dengan ketam sejati) dan Macrura (dikenal sebagai udangudangan) (Nontji, 1987). Tubuh terdiri dari bagian kepala (cephalon), dada

(toraks), perut (abdomen), ekor (telson yang diselimuti oleh rangka luar
(eksoskeleton) yang merupakan sifat morfologi krustasea (Barnes, 1974 dalam
Sahami, 1994). Disamping itu terdapat pula anggota tubuh yang lainnya yakni
pereopod, pleopod, antena dan mata.
Ketam kelapa mempunyai abdomen yang pendek dan terlindung kulit
yang keras serta memiliki bagian yang eksternal yang simetris dan ujung
abdomennya dapat berfungsi sebagai pemberat bila berada dalam liangnya, yang
berada dibawah akar pohon maupun pada pohon yang roboh. Karapas merupakan
bagian tubuh yang sangat keras karena mengandung zat kapur yang lebih tinggi
jika dibandingkan jenis kepiting lainnya, sedangkan bagian branchial bergembung
dengan

pembuluh-pembuluh

kapiler

yang

tebal(Wikipedia,

2008

http://id.wikipedia.org/wiki/ketam).
Tubuh ketam kelapa terdiri dari tiga bagian utama yaitu bagian depan
(kelapa = cephalon), bagian tengah (dada = toraks) dan bagian belakang (perut =
abdomen). Pembagian daerah kepala dan dada sangat jelas. Rostrum kecil dan
pendek. Dibalik karapas pada bagian toraks kiri dan kanan terdapat insang. Tubuh
beruas-ruas yang jumlahnya 14 ruas. Bagian kepala dan dada berjumlah delapan
ruas, bagian perut dimulai dari ruas kesembilan sampai ruas teakhir (Limbong,
1983) dalam Sahami (1994).
Ukuran tubuh ketam betina lebih kecil dari jantan dengan panjang
maksimum toraks kira-kira 55 mm (Whitten, et al., 1987 dalam Sahami 1994).
Betina mempunyai pleopod pada sebelah kiri yang digunakan membawa telur
sedangkan jantan tidak memilikinya.
Ketam dewasa memiliki panjang karapas kurang lebih 25-47 cm, lebar 5176 cm dan berat badan berkisar antara 2-4 kg. Capit sebelah kiri biasanya
mempunyai ukuran lebih besar dari capit yang sebelah kanan. Ketam

ini

dilengkapi dengan lima pasang kaki jalan, yang terdiri atas empat pasang kaki
jalan yang jelas terlihat berbentuk keras dan kuat dan satu pasang kaki jalan
terakhir berukuran kecil dan bersembunyi di bawah karapas. Semua kaki jalan
ditutupi oleh duri serta rambut-rambut halus. Ketam ini memiliki bagian bawah
(abdomen) yang lunak yang pada waktu kecil terlindung dari rumah siput, tetapi
rumah siput ini akan ditinggalkan ketika menginjak dewasa. Ketam ini tumbuh

dengan cara berganti kulit, dimana ia harus keluar dari rumah siputnya lalu
mencari tempat yang terlindung dari pemangsanya dan berganti kulit disana
(Motoh, 1980 dalam Pratiwi, 1989)

Gambar 1 Morfologi ketam kelapa
Kemampuan hewan ini untuk hidup dibantu oleh organ insang (alat
pernapasan yang telah dimodifikasi), modifikasi ini dikelilingi oleh jaringan
seperti spon yang selalu dalam keadaan basah (lembab). Ia akan mencelupkan ke
air dan mengambil air dari atas insang. Ketam kelapa memerlukan minum air laut
dari waktu ke waktu untuk menjaga keseimbangan garam (salinitas) dalam
tubuhnya. Menurut Cameron dan Meckklenburg (1973), hewan ini mengambil O2
dengan cara membenamkan kepalanya kedalam air dalam selang waktu yang
cukup lama. Hal ini dapat berlangsung karena insang marga B. latro telah
teradaptasi dengan ruangan insang yang sudah terbagi oleh membran, sehingga
membantu proses pertukaran gas. Dengan adanya fungsi dari insang tersebut,
menyebabkan ketam ini mampu bertahan cukup lama di daratan.
Harris dan Kormanik (1981) dalam Brown dan Fielder (1991) menyatakan
bahwa abdomen yang besar merupakan tempat penyimpanan air bagi ketam
Birgus yang dipergunakan ketika kondisi tubuhnya kekurangan air dan
lingkungan sangat kering. Morris et al. 2000) dalam Brown dan Fielder (1991),
melaporkan bahwa ketam di Pulau Christmas memiliki akses rutin terhadap air
tawar dan dengan demikian dapat mengurangi kehilangan ion dalam tubuhnya.

Distribusi dan Habitat
Ketam kelapa (Birgus latro) tersebar di Indo – Pasifik (Brown dan Fielder
(1991)). Whitten et al., (1987) dalam Sahami (1994), melaporkan bahwa hewan
ini dulu tersebar luas diseluruh pasifik barat hingga Samudera Hindia bagian
timur, tetapi sekarang terbatas pada pulau-pulau kecil. Di Aldabra dilaporkan
masih terdapat ketam ini di Kepulauan Seychelles diperkirakan sudah punah. B.
latro juga tersebar di pulau-pulau kecil di wilayah pantai Tanzania dan Sentinal
selatan (Andaman dan Nikobar), kepulauan Keeling dan Mauritius. Di Filipina
sekarang dilaporkan hanya terdapat di pulau Ilongo dan sebagian di pulau Cebu.
Di kawasan Pasifik ketam ini dapat dijumpai di Timor, kemudian menyebar ke
belahan bumi utara sampai Ryukus, Fiji dan kepulauan Marshall kecuali
kepulauan Hawaii, Wake dan Midway. Di Papua Nugini dapat ditemukan di
Propinsi Manus, yakni di Rantan, Sae dan Los Negros (PPSDAHP, 1987/1988)
dalam Pratiwi (1989).

Gambar 2 Distribusi ketam kelapa dunia (Brown et al. 1991).
Di Indonesia B. latro hanya tersebar di kawasan Indonesia timur yaitu di
pulau-pulau Sulawesi, Nusa tenggara, Maluku, Papua. Di Sulawesi, ketam kelapa
terdapat di wilayah Kepulauan Kawio, Talaud, Sangihe, Sulawesi Utara, Pulau
Siompu, Tongali, Kaimbulawa dan Liwutongkidi , Sulawesi Tenggara (Ramli,
1997) sedangkan di Nusa Tenggara terdapat di pantai berbatu Pulau Yamdena
(Monk, et al. 2000), dan Kalimantan terdapat di Pulau Derawan.

Ketam kelapa (Birgus latro L.), mendiami lubang-lubang pesisir yang
masih ditumbuhi vegetasi (Rondo dan Limbong, 1990 dalam Sahami 1994).
Mereka aktif pada malam hari (nokturnal) (Boneka, (1990) dalam Sahami (1994).
Tetapi jika keadaan lingkungan aman mereka juga dapat terlihat pada siang hari
dan cenderung bersifat kanibal, namun seringkali mereka membentuk grup terdiri
dari beberapa individu dalam suatu lubang.
Ketam kelapa tergolong ketam semi daratan (semiterestrial), namun
mereka mengawali hidupnya dilaut. Mereka bermigrasi dari laut (selama fase
postlarva glaocothoe) dengan menampilkan tingkah laku kehidupan seperti hermit
crab yakni menempati cangkang gastropoda yang kosong (Reese, 1968 dalam
Pratiwi, 1989). Cangkang tersebut akan dilepaskan kembali setelah ia tumbuh
menjadi lebih besar dan kemudian mereka tidak membutuhkan cangkang lagi.
Habitat yang disukai ketam kelapa dicirikan dengan kondisi vegetasi semak,
kelapa, pisang dan berbagai tanaman pantai yang cukup lebat (Rafiani, 2005).
Pada wilayah yang dekat pemukiman jumlah populasi berkurang dibandingkan
dengan yang jauh dari pemukiman.
Ketam kelapa hidup dibawah tanah atau celah-celah bebatuan, tergantung
daerah setempat. Mereka menggali tempat bersembunyi di pasir atau tanah
gembur. Di siang hari, ketam kelapa bersembunyi, untuk berlindung dan
mengurangi hilangnya air karena panas. Di tempat persembunyiannya terdapat
serat sabut kelapa yang dipakainya sebagai alas. Menurut Streets (1877), saat
beristirahat di liangnya, ketam kelapa menutup jalan masuk dengan salah satu
capitnya untuk menjaga kelembaban untuk pernafasannya. Di area dengan banyak
ketam kelapa, beberapa ketam juga keluar waktu siang hari, untuk mencari
makan. Ketam kelapa juga kadang-kadang keluar waktu siang jika keadaan
lembab atau hujan, karena keadaan ini memudahkan mereka untuk bernafas.
Mereka hanya ditemukan di darat dan beberapa dapat ditemui sejauh 6 km dari
lautan.

Reproduksi
McLaughlin (1983) dalam Rafiani (2005), menyatakan bahwa Sistem
reproduksi Ordo Malacostraca secara anatomi terpusat pada cephalothorax. Untuk
suku Caenobitidae dan Paguraidae khususnya, memiliki sepasang testis dan
sepasang ovarium berada pada abdomennya. Menurut Whitten et al., (1987)
menyatakan bahwa kematangan gonad ketam kelapa (Birgus latro) pada
umumnya mencapai panjang karapas kurang lebih 5 cm. Perkawinan hewan ini
berlangsung di darat. Telur yang telah dibuahi terletak pada bagian bawah perut
atau menempel pada pleopod. Limbong (1983) mencatat bahwa telur yang
dimiliki oleh seekor induk berjumlah ribuan. Hampir semua ketam kelapa harus
mencari air untuk perkembangan larvanya. Ketam betina melepaskan telurnya ke
laut pada saat pasang tertinggi dan selanjutnya telur menetas.
Ketam kelapa melakukan aktivitas reproduksinya yang ditandai oleh
adanya ovigerous pada tubuh. Secara geografis seluruh area tampaknya terjadi
musiman, berlangsung pada musim panas baik di belahan bumi utara maupun
selatan.
Menurut Brown dan Fielder ,1991 menyatakan bahwa pada musim panas
biasanya ketam kelapa betina hanya satu kali dalam setahun meletakkan telurnya
di negara belahan bumi utara dan selatan. Reese (1965 dan 1967) dalam Brown
dan Fielder (1991) mengamati betina ovigerous di kepulauan Eniwetok terjadi
pada bulan april (pertengahan musim semi) sampai dengan Agustus (akhir musim
panas).
Di daerah sub trofik di belahan bumi selatan ketam kelapa betina paling
sedikit aktif bereproduksi selama lebih kurang 9 bulan, setiap tahun adalah dari
akhir September atau awal Oktober sampai dengan awal Juni pada tahun
berikutnya. Sebaliknya di daerah tropik belahan bumi utara dan selatan aktifitasnya
tidak bergantung musim, tetapi terjadi sepanjang tahun berdasarkan data yang
didapat dari kepulauan Christmas dan Vanuatu (Brown dan Fielder ,1991).
Ketam betina apabila menetaskan telurnya akan bermigrasi dari daratan ke
tepi laut, untuk melepaskan telur-telurnya tanpa ketam jantan. Hal ini berbeda
dengan ketam darat lainnya, seperti Gecarcoidea natalis yang bila migrasi selalu
diikuti oleh ketam jantan (Gray, 1981 dalam Brown dan Fielder,1991). Hanya

betina Birgus yang berpartisipasi dalam reproduksi migrasi (Borradaile, 1900;
Chapman 1948; Gibson-Hill, 1949 dalam Brown dan Fielder, 1991).
Di Vanuatu ketam akan berada di daerah pantai selama 5-6 minggu
(1 bulan) dan biasanya akan kembali ke daratan 4 -10 hari setelah melepaskan
telur-telurnya. Ketam

ini biasanya berkumpul dalam kelompok di sepanjang

pantai dan kembali ke darat juga dalam kelompoknya yang kemudian akan
berpisah (menyebar) setelah sampai di darat. Migrasi ketam menuju ke laut dan
kembali ke daratan terjadi berdasarkan ritmik dari gelombang dan periodisitas
yang sama dari proses penetasan dan pelepasan telur (Brown dan Fielder ,1991).
Menurut Helfman (1977) telah melakukan pengamatan terhadap dua ketam
kelapa melakukan kopulasi di darat. Tidak seperti coenabitidae yang lain, kopulasi
pada ketam kelapa berlangsung singkat (sekitar 3 menit) dengan sedikit aktifitas
tingkah laku pre dan pasca kopulasi. Ketam jantan akan memegang cheliped betina
dengan capitnya dan berjalan ke depan sampai punggung ketam betina berada
dibawah, kaki-kaki mereka bersilang dan abdomen memanjang ke balik badan
mereka dengan abdomen betina memutar diatas abdomen jantan. Ketam jantan
menggunakan coxea yang dimodifikasi dari pasangan kaki kelima pereiopoda untuk
mentransfer masa spermatofora ke dan sekitar oviduct betina yang terbuka pada
bagian dasar pasangan kaki ketiga pereopoda.
Menurut Brown dan Fielder (1991) menyatakan bahwa untuk inkubasi
telur, pada bagian luar di bawah abdomen betina memiliki membran seperti spon
yang memberikan perlindungan dari lingkungan yang rentan terhadap
penggenangan air baik tawar atau asin. Telur yang sedang berkembang ini
terlindung dari perubahan jangka pendek akibat pengaruh eksternal ion-ion
inorganik dan air akibat dari paparnya telur dengan air tawar atau laut. Ketika
telur semakin matang, membran yang melindungi telur mulai memecah, membuat
telur rentan terhadap tekanan osmotik dan ionik jika terpapar dengan air tawar.
Pada telur yang telah matang sebagian besar membran telur telah pecah telur
bertindak sebagai osmometer akan segera menetas kontak dengan air tawar
ataupun air laut.

Gambar 3 Ketam kelapa mengeluarkan telur dari tubuh (Taku Sato dan Kenzo
Yoseda, http://www.mba.ac.uk/jmba/pdf/6370.pdf, 2009).
Proses vitelogenesis, inkubasi dan pengeluaran telur membutuhkan jalan
masuknya air dan ion inorganik. krustase teresterial, seperti B. latro dan
Gecarcoidea natalis, tidak mudah mendatangi air asin dari habitat normal mereka,
harus bermigrasi ke daerah pantai untuk mendapatkan air asin sebelum
melepaskan telurnya. Jejak ketam didaerah pantai dapat ditemukan selama masa
inkubasi sampai menemukan daerah yang cocok untuk tempat tinggalnya. Untuk
memperkecil dehidrasi dari massa telur, betina ovigerous memerlukan
perlindungan terhadap kelembaban tinggi, minimal terbuka untuk dikeringkan
dengan angin dan batasi cahaya matahari. Ini kontras dengan kepiting darat
lainnya Cardisoma guanhumi, dengan bermigrai ke pantai hanya melepaskan
telurnya, setelah itu segera kembali ke darat. Air dibutuhkan selama vitelogenesis
dan inkubasi telur, tersedia dari habitat “normal” ketam, dan kalau perlu
membangun tempat berlindung sementara waktu dilingkungan pantai.
Siklus Hidup Ketam Kelapa
Ketam kelapa selama hidupnya memiliki dua habitat yaitu laut

dan

daratan. Proses inkubasi dan matang telur berada di daratan, masa penetasan telur
berada di daerah pantai kemudian burayak sebagai larva planktonik yang hidup
bebas di laut, dan tahap dewasa kembali kedaratan.
Ketam kelapa yang sudah dewasa melakukan perkawinan di darat,
kemudian ketam betina akan mengerami telur. Ketika telur telah siap menetas,
ketam betina berjalan menuju laut untuk melepaskan telur dengan berjalan diatas

batu-batuan pada perbatasan daerah pasang surut, sehingga ombak yang datang
memecah akan membasahi bagian atas tubuhnya secara teratur. Pada saat telurtelur tersebut kontak dengan air laut, setelah menetas zoea dilepaskan ke dalam
laut (Brown dan Fielder, 1991).

Gambar 4 Siklus hidup Ketam Kelapa (B. Latro) (Fletcher dan Amost,1993)
Telur-telur yang menetas pada tahap zoea pertama lamanya 4-9 hari,
biasanya 5-6 hari, pergantian ke tahap zoea kedua dimulai pada hari ke empat dari
kehidupan larva dan mencapai puncaknya pada hari kelima dan hari keenam.
Tahap zoea berlangsung 3 – 15 hari dari kehidupan larva dan sebagian selesai
dalam waktu 10 hari. Lamanya tahap zoea ke tiga 3 -18 hari, tetapi biasanya 8-9
hari. Pergantian pada tahap zoea ke empat dimulai tepat pada hari ke 15 dari
kehidupan larva dan dilanjutkan kira-kira hari ke 24. Burayak yang mengalami
pergantian kulit pada hari ke 18 -20, biasanya pada hari ke 18 lah pergantian kulit
berlangsung sangat aktif. Sedangkan lamanya tahap zoea keempat dan
penyempurnaan atau tahap metazoa adalah 6 -12 hari dan akhirnya ketika usia
larva 20 -30 hari ketam berada dalam tahap terakhir pergantian zoea untuk
berubah ke tahap post larva “ glaucothoe”. Sedangkan Shokita et al.,1991) dalam
Sahami (1994) membagi tahap perkembangan zoea mulai dari tahap zoea I hingga

zoea V. Pada tahap-tahap ini bentuk tubuh ketam kelapa menyerupai udang.
Sesudah tahap zoea V tubuh berubah bentuk menjadi glaucothoe (megalopa).
Glaucothoe

akan mencari cangkang gastropoda yang kosong sebagai tempat

berlindung dan kemudian hidup di perairan dangkal. Ketam kelapa berada dalam
cangkang selama kurang lebih 6 bulan (Morton (1991) dalam Sahami (1994).
Ketam kelapa bermigrasi dan memulai hidupnya di darat setelah menjadi juvenil
(Shokita et al., (1991) dalam Sahami (1994).

Gambar 5 Juvenil ketam kelapa (a) dan Juvenil dengan cangkang gastropoda (b)
http://www.iucnredlist.org/details/2811. (2009).
Kadang-kadang tahap zoea ke lima ini terjadi, tetapi sedikit sekali
pengetahuan tentang lamanya zoea ke lima. Biasanya tahap zoea ke lima ini sama
seperti tahap zoea ke empat yaitu kurang dari enam hari. Tahap ini penting karena
memperhatikan campuran antara karakteristik zoea dan “glaucothoe” jika
diperhatikan pada umbai dada yang berhubungan dengan lipatan tertutup
sefalothoraks dan banyaknya setae pada pleopod dan abdomen. Ciri lainnya
adalah bentuk telson dan perlindungan terhadap segmen abdomialnya.
Fase post larva “glaucothoe” merupakan tahapan yang terpenting dalam
pertumbuhan
Perkembangan

B. latro. pada tahapan ini terjadi perubahan seperti amphibi.
selanjutnya

telah

dapat

berenang

dengan

menggunakan

pleopodanya atau bergerak perlahan-lahan di daratan. Pada tingkatan ini ketam
tersebut mulai menggunakan cangkang.

Biasanya “glaucothoe” memilih

cangkang gastropoda yang kecil dan bermigrasi dari lautan ke daratan. Seperti

halnya tingkah laku yang khas sebagai anggota infra ordo Anomura (kelomang).
Setelah itu bergerak perlahan-lahan menuju daratan, “glaucothoe” berjalan dengan
kulitnya yang sangat kecil dan bila sudah dewasa (“glaucothoe” dewasa) akan
mengubur dirinya dalam rangka mempersiapkan diri untuk berganti kulit. Setelah
tahap ini ketam tersebut menggali lubang dan terjadi pergantian kulit pada hari ke
28, ketam ini muncul sebagai ketam mudah pada hari ke 36. Setelah perubahan
bentuk mereka memakan kerangka luarnya yang lebih tua (Pratiwi, 1989).
Kecuali sebagai larva, ketam kelapa tidak berenang bahkan spesimen kecil
akan tenggelam dalam air. Mereka menggunakan organ khusus yang disebut paruparu branchiostegal untuk bernafas. Organ ini dapat ditafsirkan sebagai tingkat
perkembangan antara insang dan paru-paru, dan merupakan salah satu adaptasi
paling signifikan dari ketam kelapa terhadap habitatnya. Ruangan dari organ
pernafasan ini terletak bagian belakang sefalotoraks. Di organ ini terdapat jaringan
yang sama seperti pada insang, namun cocok untuk penyerapan oksigen dari udara,
bukannya di air. Mereka memakai kaki terakhir yang paling kecil untuk
membersihkan organ nafas ini, dan untuk membasahinya dengan air laut. Organ itu
memerlukan air agar berfungsi, dan ketam ini memenuhi hal ini dengan menekan
kaki yang dibasahi pada jaringan spons didekatnya. Ketam kelapa juga bisa
meminum air laut, menggunakan cara yang sama untuk mengambil air ke mulutnya.
Selain organ pernafasan ini, ketam kelapa mempunyai kumpulan insang
rudimenter tambahan. Namun sewaktu insang ini kemungkinan digunakan untuk
bernafas dalam air pada sejarah evolusi jenis ini, mereka tidak lagi menyediakan
cukup oksigen, dan ketam yang terbenam di air akan tenggelam dalam waktu
beberapa menit (laporan beragam, mungkin tergantung tingkat stres dan latihan
serta

konsumsi

oksigen

yang

dihasilkan)

(Wikipedia,

http://id.wikipedia.org/wiki/ketam 2008).
Menurut Reese, 1968 dalam Pratiwi (1989) penggunaan cangkang
gastropoda yang kosong pada fase “glaucothoe” dan ketam mudah merupakan
adaptasi tingkah laku yang berhubungan dengan keberhasilan emigrasi ketam
kelapa dari lingkungan perairan laut ke daratan. Tingkah laku ini dilakukan
sebagai cara untuk melindungi diri dari kekeringan dan berbagai ancaman yang
terjadi dalam fase yang rentan dalam siklus hidup hewan ini.

Biasanya setiap kali berganti kulit ketam kelapa juga akan mengganti
rumah keongnya. Penggantian rumah tersebut disesuaikan dengan pertambahan
ukuran tubuh. Tingkah laku yang demikian menjadikan ketam ini sebagai hewan
pembawa cangkang dan dapat berlangsung selama dua setengah tahun. Namun
demikian di Enowetok ditemukan ketam kelapa terkecil yang berukuran karapas
22 mm dan di Guam sekitar 8,4 mm keduanya tanpa rumah cangkang. Hill (1947)
dalam Pratiwi (1989) melaporkan bahwa di pulau Christmas, ketam kelapa
mempergunakan cangkang Trochus sp. hingga berumur 9 bulan. pada ketam
berukuran lebih kecil yang tidak menemukan cangkang untuk tinggal, akan
berlindung didalam hutan hingga berumur 12 bulan.
Menurut Reag dan Haig (1990); Tapilatu (1991) dalam Ramli (1997),
ketam

kelapa pada fase kelomang atau hidup dengan cangkang gastropoda,

bersifat semi-teresterial dan karakteristik hidup pada mintakat supra litoral yang
berpasir dan pada siang hari dapat ditemukan berkumpul di bawah semak-semak
dan diantara reruntuhan pohon yang mati dan kayu. Ketam kelapa mempunyai
tingkah laku yang menarik, pada fase kelomang hidup di mintakat litoral hingga
supralitoral dan jarang ditemukan pada daerah diatas mintakat supralitoral. Ketam
kelapa dewasa ditemukan diatas mintakat supralitoral yaitu pada celah atau lubang
karang atau pohon. Liangnya ditemukan berkisar antara 100 – 200 meter dari
garis pantai, walaupun pada daerah yang jauh dari pantai sekalipun dapat
ditemukan, diduga hal ini berhubungan dengan sifat reproduksinya yaitu pada
masa bertelur, ketam kelapa betina akan kembali ke laut untuk melepaskan telur.
Menurut Brown dan Fielder (1991) menyatakan bahwa ketam kelapa akan
mencapai matang gonad ketika mencapai umur 3,5 dan 5 tahun. Pada umur
tersebut ketam kelapa akan kembali melakukan aktifitas perkawinan dan memulai
siklus hidupnya dengan melepaskan telurnya ke laut. Sedangkan Pratiwi (1989)
menyatakan bahwa telur-telur ketam kelapa yang telah matang berwarna abu-abu
kekuning-kuningan dengan titik mata yang terlihat jelas.

METODELOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Yoi, Kecamatan P. Gebe Kabupaten
Halmahera Tengah, Maluku Utara dan dimulai dari bulan Januari sampai
Desember 2008.
Penentuan Lokasi Penelitian
Pulau Yoi sebagian besar terdiri atas tebing-tebing yang curam. Diatas
tebing tumbuh vegetasi hutan sampai ke tengah pulau. Bagian pantai yang curam
dibagian basecamp, selatan, utara dan barat. Sedangkan telaga dan timur landai.
Untuk pengambilan data, ditetapkan pada 6 stasiun berdasarkan informasi yang
diperoleh dari masyarakat.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan ketam kelapa dilakukan menggunakan tangan oleh penduduk
lokal yang umpannya kelapa di pasang pada siang hari. Penangkapan dilaksanakan
pada malam hari umumnya pada pukul 21.00 – 23.00. Pada setiap stasiun dipasang
transek yang berukuran 10 x 10 m. Tiap-tiap stasiun dipasang sebanyak 6 buah
kelapa. Sampel ketam kelapa yang tertangkap dikumpulkan untuk dilakukan
pengukuran terhadap Cephalothoraks tambah rostrum (CP+r).

Kemudian

ditimbang digital dengan menggunakan timbangan berketelitian 1 gram. Preservasi
dilakukan dengan menggunakan larutan paraform 10%.
Alat dan Bahan
Dilakukan histologi untuk studi penentuan berat gonad, TKG dan IKG
menggunakan alat bedah, kantung plastik, dan botol fim. Fekunditas dan diameter
telur yang digunakan adalah cawan petri, tissue, mikroskop, mikrometer okuler,
dan gelas preparat. Sedangkan bahan dan alat histologi gonad jantan dan betina
ketam kelapa meliputi aquades, alkohol, silol, haematoksilin, eosin, entellan
(canada balsam), mikrotom, oven (65 – 70 oC, gelas objek dan gelas penutup.

Pengukuran Aspek Biologi
Morfometrik
Pengambilan data morfometrik meliputi : pengukuran Rostrum, Kepala,
Dada (CP+r) dengan menggunakan meteran dan bobot total ketam kelapa
ditimbang dengan gonad yang masih di dalam tubuhnya dengan menggunakan
timbangan duduk yang memiliki ketelitian 1 gram. pengukuran dilakukan 2
bulan sekali.

Gambar 6 Bagian yang diukur pada ketam kelapa
Penentuan TKG
Pengamatan TKG dilakukan secara visual yaitu dengan melihat perubahan
morfologi gonad dan secara histologis. Penentuan TKG dilakukan berdasarkan
hasil histologi sel gonad. Contoh gonad diambil dari kematangan gonad I, II, III
dan IV pada jantan dan betina.

Tabel 1. Klasifikasi Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ketam kelapa (B.latro)
betina berdasarkan morfologi gonad (Rafiani, 2005)
TKG

Ciri morfologi

I

Permukaan ovarium halus, belum terbentuk butiran-butiran telur.
Ovarium mulai berkembang, berbentuk sepasang, ovariun berwarna
abu-abu muda. Pengisian ovarium didalam abdomen adalah 25 persen.

II

Permukaan ovarium lembut, mulai terlihat butiran-butiran telur, jika di
tekan mudah hancur. Ukuran ovarium semakin bertambah dan meluas,
warna dari putih menjadi abu-abu tua. Pengisian ovarium didalam
abdomen adalah 30 persen.

III

Permukaan ovarium terasa kasar, karena butiran-butiran telur semakin
membesar dan padat, jika di tekan kuat dan tidak mudah hancur.
Volume ovarium semakin membesar, berwarna orange. Butiran telur
terlihat dengan jelas, namun masih dilapisi oleh kelenjar minyak.
Pengisian ovarium didalam abdomen adalah 60 persen.

IV

Permukaan ovarium terasa kasar dan padat, karena butiran-butiran telur
yang semakin membesar dan jelas, jika di tekan kuat dan tidak akan
hancur. Hampir semua telur mempunyai ukuran yang relatif sama dan
bentuknya bulat. Butir-butir telur semakin membesar, hampir mengisi
seluruh abdomen dan terlihat dengan jelas berwarna merah tua dengan
mudah dapat dipisahkan karena lapisan minyak yang menyelubungi
sudah berkurang. Pengisian ovarium didalam abdomen adalah 80
persen.

Berat gonad dan IKG
Berat gonad dihitung menggunakan digital dengan ketelitian 0,01 gram
setelah dikeluarkan dari tubuh ketam. Setelah gonad itu diawetkan dengan
paraform 10%. IKG dihitung pada jantan dan betina disetiap TKG dengan dengan
menghitung perbandingan berat gonad dan berat tubuh yang diukur dengan
timbangan digital, hasil perbandingan tersebut dikalikan 100%.

Fekunditas
Perhitungan fekunditas dilakukan dengan mengambil gonad ketam yang
sudah mancapai TKG III dan TKG IV, dimana butiran telur sudah terlihat jelas
dengan mikroskop. Fekunditas dihitung dengan menggunakan metode gravimetrik.
Dengan menentukan terlebih dahulu berat kering udara seluruh gonadnya, demikian
pula sebagian dari telur yang akan ditimbang beratnya. Selanjutnya jumlah telur
dari sebagian kecil gonad yang ditimbang tersebut dihitung.
Diameter telur
Pengamatan diameter telur telah dilakukan dengan menggunakan
mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler dan mikrometer objektif.
Telur yang diukur diameternya berasal dari gonad yang sudah mencapai TKG III
dan TKG IV yang masing-masing individu sebanyak 100 butir.
Pengukuran Aspek Fisika
Pengukuran aspek fisika yaitu suh