Penyediaan Perumahan Dan Infrastruktur Dasar Di Lingkungan Permukiman Kumuh Perkotaan

PENYEDIAAN PERUMAHAN DAN INFRASTRUKTUR
DASAR DI LINGKUNGAN PERMUKIMAN KUMUH
PERKOTAAN
(Studi Kasus: Kota Bandung)

VERONICA KUSUMAWARDHANI

PROGRAM STUDI
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
41

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penyediaan Perumahan
dan Infrastruktur Dasar di Lingkungan Permukiman Kumuh Perkotaan (Studi
Kasus Kota Bandung) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor,

Desember 2015

Veronica Kusumawardhani
NIM P052110304

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait

RINGKASAN

VERONICA KUSUMAWARDHANI. Penyediaan Perumahan dan Infrastruktur
Dasar di Lingkungan Permukiman Kumuh Perkotaan.
Bandung sebagai salah satu kota metropolitan yang berkembang di

Indonesia tidak luput dari permasalahan permukiman kumuh. Permasalahan
permukiman kumuh ditandai dengan penurunan kondisi lingkungan seperti
kurangnya ketersediaan air baku serta pencemaran. Selain itu menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
salah satu tanda permukiman kumuh adalah kualitas bangunan serta sarana dan
prasarana yang tidak memenuhi syarat. Penelitian ini bertujuan untuk (1)
menghitung kesenjangan sumberdaya ditinjau dari kuantitas dan kualitas air dan
lahan bagi penduduk di wilayah/kawasan permukiman kumuh Kota Bandung
dihitung berdasarkan standar pelayanan minimal dan standar kualitas baku mutu,
serta (2) menentukan bentuk infrastruktur dasar sebagai bentuk subtitusi
penyediaan sumber daya air dan lahan yang paling tepat. Penelitian dilakukan di
tiga kelurahan yang mewakili tiga tipologi permukiman kumuh yaitu berat adalah
Kelurahan Tamansari, sedang adalah Kelurahan Babakan Ciamis, dan ringan
adalah Kelurahan Cihargeulis berdasarkan peraturan pemerintah Kota Bandung.
Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data
sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen tertulis baik berupa tulisan ilmiah
maupun dokumen resmi dari instansi terkait. Data primer didapatkan dari
pengamatan langsung pada lokasi penelitian, observasi, serta wawancara dengan
pegawai pemerintahan di lokasi studi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kuantitas kebutuhan air pada ketiga
kelurahan tersebut terpenuhi dari sumber air PDAM dan sumur baik pompa

maupun gali. Sedangkan untuk lahan maka luas lahan eksisting untuk perumahan
pada ketiga kelurahan relatif mencukupiAdapun kualitas air pada ketiga kelurahan
terlihat bahwa kualitas air dari sumber PDAM telah memenuhi syarat namun
untuk kualitas air sumur di Kelurahan Tamansari, Kelurahan Babakan Ciamis, dan
Kelurahan Cihargeulis masih melebihi ambang batas yang disyaratkan.
Kemudian untuk kualitas tanah menunjukkan bahwa Kelurahan Tamansari
memiliki kualitas yang paling rendah, Kelurahan Cihargeulis memiliki kualitas
paling tinggi.
Bentuk infrastruktur yang menjadi prioritas bentuk penyediaan di
Kelurahan Tamansari sebagai permukiman kumuh berat untuk air minum adalah
perpipaan dari PDAM dan pengolahan air permukaan setempat, untuk air limbah
adalah MCK Komunal dan Instalasi Pengolah Air Limbah Skala lingkungan,
untuk persampahan adalah Komposting untuk sampah organik dan Bank Sampah
untuk sampah anorganik, dan untuk rumah adalah rumah susun. Bentuk
penyediaan infrastruktur di Kelurahan Babakan Ciamis sebagai permukiman
kumuh sedang untuk air minum adalah perpipaan PDAM, untuk air limbah adalah
MCK Komunal dan Instalasi Pengolah Air Limbah Skala lingkungan, untuk
persampahan adalah Komposting untuk sampah organik dan Bank Sampah untuk
sampah anorganik, dan untuk rumah adalah rumah susun. Sedangkan bentuk


penyediaan infrastruktur di Kelurahan Cihargeulis sebagai permukiman kumuh
ringan untuk air minum adalah perpipaan dari PDAM, air limbah adalah
pengolahan limbah tinja dan limbah domestik terpusat skala kota di Instalasi
Pengolahan Air Limbah Bojonsoang, persampahan adalah Komposting untuk
sampah organik dan Bank Sampah untuk sampah anorganik, dan rumah adalah
rumah tidak bersusun.
Berdasarkan kajian lebih lanjut dukungan untuk bentuk penyediaan supaya
dapat memenuhi kebutuhan penduduk di tiga kelurahan tersebut adalah mengatasi
kebocoran air dari PDAM, penyediaan lahan untuk membangun instalasi
pengolahan air limbah komunal, penetapan target yang konsisten untuk mengolah
sampah hingga 100%, serta penertiban dan penataan pembangunan rumah di lahan
yang boleh dibangun atau tidak.
Kata kunci: Permukiman kumuh, sumber daya alam air dan lahan, standar
pelayanan minimal, baku mutu lingkungan, infrastruktur dasar permukiman

SUMMARY
VERONICA Kusumawardhani. Housing and Basic Infrastructure Provision in
Urban Slum.
Bandung as one of the growing metropolitan in Indonesia did not escape from the
problems of slums emerging. The problem of slums is characterized by such as a

decrease in environmental conditions such as lack of raw water availability and
pollution. Based oh those facts, this study aimed to calculate the resource gap in
terms of quantity and quality of water and land, for people living in the slums in
Bandung city based on minimum service standards and environment quality
standards quality, and determining the form of basic infrastructure as a substitute
provider of natural resources water and land that most appropriate. The study was
conducted in three kelurahan which represent the three typologies of slums that
are heavy is Kelurahan Tamansari, moderate is Kelurahan Babakan Ciamis, and
light is Kelurahan Cihargeulis.
This study uses secondary data and primary data. Secondary data were obtained
from written documents in the form of scientific papers and official documents
from the relevant authorities. Primary data obtained from direct observation at the
location of the research, observation, and interviews with government officials in
the study area.
The results showed that in terms of quantity water in the three kelurahans are from
the ground water and piped water from PDAM. As for the the existing land for
housing in the three kelurahans suffice. In terms of water quality in the three
kelurahans is seen that the quality from PDAM have met the environment
standards but the quality from ground water have not. Then for soil quality with
reference to Soil Quality Index of BPS was seen that the Land Quality Index in

the Kelurahan Tamansari is the lowest, and Kelurahan Cihargeulis is the highest.
The shape of the priority infrastructure for Kelurahan Tamansari for water is
piping from PDAM or local surface water treatment, for wastewater is MCK
Communal for black water and local wastewater instalation treatment plat for grey
water, for solid waste is anorganic waste bank and composting for organic waste,
and multistorey housing. The shape of the priority infrastructure for Kelurahan
Babkan Ciamis for water is piping from PDAM, for wastewater is MCK
Communal for black water and local wastewater instalation treatment plat for grey
water, for solid waste is anorganic waste bank and composting for organic waste,
and multistorey housing. The shape of the priority infrastructure for Kelurahan
Cihargeulis for water is piping from PDAM, for wastewater is city level
wastewater installation treatment in Bojongsoang, for solid waste is anorganic
waste bank and composting for organic waste, landed housing.
Based on further research it is found that the support for infrastructure provisions
are handling PDAM water leakage, land provision to build in-site communal
wastewater handling installation, implementing consistent target to handle solid
waste up to 100%, housing building law enforcement.
Keywords: Slums, water and natural resources of land, minimum service
standards, environmental standards, the basic infrastructure of the settlements


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya
untuk kepentingan pendidikan, peneltiian, penulisan karya ilmiah,
penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;
dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

PENYEDIAAN PERUMAHAN DAN
INFRASTRUKTUR DASAR DI LINGKUNGAN
PERMUKIMAN KUMUH PERKOTAAN
(Studi Kasus: Kota Bandung)

VERONICA KUSUMAWARDHANI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Widiatmaka, DEA

Judul penelitian

Nama
NRP
Program Studi

: Penyediaan Perumahan dan Infrastruktur Dasar di
Lingkungan Permukiman Kumuh Perkotaan (Studi Kasus:
Kota Bandung)
: Veronica Kusumawardhani

: P052110304
: Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui,
Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Surjono H. Sutjahjo, MS).

(Dr. Ir. Indarti Komala Dewi, MSi)

Ketua

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam
Lingkungan


An. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Sekretaris Program Magister

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana,MS.
NIP. 196202121985011001

Prof. Dr. Ir. Nahrowi, MSc,
NIP. 196204251986031002

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subahnahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 ini ialah
mengenai kuantitas dan kualitas sumber daya alam air dan lahan dan subtitusinya
pada permukiman kumuh, dengan judul Kajian Penyediaan Perumahan dan

Infrastruktur Dasar di Lingkungan Kumuh Perkotaan Perkotaan dengan Studi
Kasus di Kota Bandung.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Surjono H. Sutjahjo,
MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, Ibu Dr. Ir. Indarti Komala Dewi, MSi
selaku Anggota Komisi Pembimbing, dan Bapak Dr. Ir. Widiatmaka, DEA selaku
penguji luar komisi serta Dr. Ir. Yanuar J. Purwanto selaku pimpinan sidang pada
ujian tesis atas segala saran, bimbingan, arahan, motivasi, dan bantuan yang telah
diberikan kepada penulis.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Pusat
Perencanaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,
Kepala Satker Perencanaan dan Pengendalian Pengembangan Infrastruktur
Permukiman Provinsi Jawa Barat, Kasubdit Keterpaduan Perencanaan dan
Kemitraan Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat, Kepala Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung,
Lurah Tamansari Kota Bandung, Lurah Babakan Ciamis Kota Bandung, dan
Lurah Cihargeulis Kota Bandung.
Kepada keluarga tercinta, Ibunda Maria Loretta Wangke, kakak Priscilla
Indrawardhani, dan adik Anneke Puspawardhani yang selalu memberi dukungan
moril. Selain itu kepada putra-putra penulis Muhammad Arkan Prayogo dan
Wisnu Ilyas Alamsyah untuk selalu menjadi sumber semangat dalam
menyelesaikan tesis, serta suami Cakra Nagara untuk bantuan dan selalu
mengingatkan supaya segera menyelesaikan studi.
Semua pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan kuliah,
penelitian dan penulisan ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu telah secara
langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi dan bantuannya.
Masukan, saran, dan bimbingan sangat penulis harapkan untuk menjadi lebih baik.
Semoga katya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor,

Desember 2015

Veronica Kusumawardhani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Kerangka Pemikiran

3

Perumusan Masalah

5

Tujuan Penelitian

7

Manfaat Penelitian

8

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

9

Pencemaran

10

Permukiman dan Perumahan

12

Permukiman Kumuh

13

Infrastruktur Dasar Permukiman

15

Standar Pelayanan Minimal

19

Teknik Analisis

20

3 METODE
Waktu dan Tempat

23

Metode Analisis

24

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Wilayah Studi

36

Kesenjangan Kebutuhan Sumber Daya Alam Air dan Lahan

39

Penentuan Bentuk Infrastruktur Dasar Permukiman Prioritas

48

Penentuan Jumlah Kebutuhan Infrastruktur Prioritas

55

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

62
62

DAFTAR PUSTAKA

64

LAMPIRAN

66

RIWAYAT HIDUP

87

DAFTAR TABEL
1.

Jenis Pelayanan Berdasarkan Indikator Kinerja

19

2.

Kualitas air

41

3.

Indeks Kualitas Tanah Lokasi Studi

44

4.

Sandingan Kebutuhan Kuantitas dan Kualitas Air dan Lahan
untuk Perumahan Kelurahan Tamansari

45

5.

Sandingan Kebutuhan Kuantitas dan Kualitas Air dan Lahan
untuk Perumahan Kelurahan Babakan Ciamis

46

6.

Sandingan Kebutuhan Kuantitas dan Kualitas Air dan Lahan
untuk Perumahan Kelurahan Cihargeulis

47

7.

Sandingan Kesesuaian Sumberdaya Air dan Lahan dengan
Infrastruktur Dasar Permukiman Terkait

49

8.

Data Pakar

50

9.

Bentuk Penyediaan Terpilih Infrastruktur Air Minum
Kelurahan Tamansari

51

10. Bentuk Penyediaan Terpilih Infrastruktur Air Limbah
Kelurahan Tamansari

51

11. Bentuk Penyediaan Terpilih Infrastruktur Persampahan
Kelurahan Tamansari

51

12. Bentuk Penyediaan Terpilih Rumah Kelurahan Tamansari

51

13. Bentuk Penyediaan Terpilih Infrastruktur Air Minum
Kelurahan Babakan Ciamis

52

14. Bentuk Penyediaan Terpilih Infrastruktur Air Limbah
Kelurahan Babakan Ciamis

52

15. Bentuk Penyediaan Terpilih Infrastruktur Persampahan
Kelurahan Babakan Ciamis

52

16. Bentuk Penyediaan Terpilih Rumah Kelurahan Babakan
Ciamis

52

17. Bentuk Penyediaan Terpilih Infrastruktur Air Minum
Kelurahan Cihargeulis

53

18. Bentuk Penyediaan Terpilih Infrastruktur Air Limbah
Kelurahan Cihargeulis

53

19. Bentuk Penyediaan Terpilih Infrastruktur Persampahan
Kelurahan Cihargeulis

53

20. Bentuk Penyediaan Terpilih Rumah Kelurahan Cihargeulis

53

21. Rangkuman Bentuk Infrastruktur dan Rumah Terpilih

54

22. Jumlah Debit Air dari Layanan PDAM

56

23. Jumlah Sampah yang Dihasilkan dan yang Tidak Terangkut
per Hari

57

24. Perhitungan Jumlah Rata-Rata Anggota Keluarga per KK

58

25. Perhitungan Kebutuhan Rumah Susun dan Luas Lahan
Kelurahan Tamansari dan Kelurahan Babakan Ciamis

59

26. Perkiraan Jumlah Kebutuhan Infrastruktur dan Perumahan
Prioritas

60

DAFTAR GAMBAR
1.

Diagram alir kerangka pemikiran penelitian

5

2.

Rumus Indeks Kualitas Tanah

12

3.

Peta Lokasi Penelitian

23

4.

Hirarki Penentuan Infrastruktur Air Minum

30

5.

Hirarki Penentuan Infrastruktur Air Limbah

32

6.

Hirarki Penentuan Infrastruktur Persampahan

33

7.

Hirarki Penentuan Bentuk Penyediaan untuk Rumah

35

8.

Kelurahan Tamansari

37

9.

Kelurahan Babakan Ciamis

38

10. Kelurahan Cihargeulis

39

DAFTAR LAMPIRAN
1.

Data Eksisting Kondisi Perumahan dan Infrastruktur

66

2.

Kriteria mutu air berdasarkan kelas dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas dan
Pengendalian Pencemaran Air

68

3.

Data Kualitas Air Hasil Olahan PDAM

67

4.

Data Kualitas Air Sumur

70

5.

Data Narasumber

73

6.

Matriks Pairwise Comparison untuk Seluruh Responden

74

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang perkotaan didefinisikan sebagai kawasan yang kegiatan utamanya bukan
di sektor pertanian dengan susunan fungsi-fungsi kawasan permukiman perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi (Hadi, 2012). Kondisi banyak kota di Indonesia yang
umumnya berkembang pesat dan berfungsi sebagai pusat kegiatan serta
menyediakan layanan primer dan sekunder, telah mengundang penduduk dari
daerah perdesaan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik serta berbagai
kemudahan lain termasuk lapangan kerja. Kondisi tersebut di atas mengakibatkan
terjadinya pertambahan penduduk yang lebih pesat dibanding kemampuan
pemerintah di dalam menyediakan hunian serta layanan primer lainnya.
Pertumbuhan kota tersebut juga diiringi dengan terjadinya kesenjangan ekonomi
yang cukup lebar antara penduduk. Penduduk dengan kemampuan ekonomi yang
rendah juga membutuhkan tempat tinggal sehingga yang terjadi adalah timbulnya
kantong-kantong permukiman yang dihuni oleh masyarakat berpendapatan
rendah.
Permukiman-permukiman tersebut biasanya menjadi kawasan
permukiman yang kurang layak huni, bahkan yang terjadi pada berbagai kota
cenderung berkembang menjadi kumuh dan tidak sesuai lagi dengan standard
lingkungan permukiman yang sehat. Seperti yang disampaikan oleh Chowdhury
et.al (2006) yaitu bahwa pertumbuhan kota-kota di negara berkembang disertai
dengan pertambahan jumlah penduduk kota yang menghuni permukimanpermukiman kumuh dengan kondisi kurang layak. Permukiman kumuh di kotakota biasanya ditandai dengan kurangnya pelayanan prasarana sarana dasar
dengan penghuni yang kebanyakan adalah masyarakat berpendapatan
rendah.Secara umum kepadatan permukiman maupun aktivitas penduduknya dapat
memberikan tekanan pada lingkungan, hingga pada satu titik, lingkungan atau
sumberdaya alam yang tersedia tidak dapat memenuhi kebutuhan penduduk
tersebut. Sedangkan pada suatu kawasan permukiman, kondisi lingkungan dan
ketersediaan sumberdaya alam merupakan suatu prasyarat bagi keberlanjutan
kehidupan permukiman. Jika daya dukung terlampaui oleh hasil aktivitas
masyarakatnya maka akan muncul eksternalitas negatif, seperti pencemaran, krisis
air baku, maupun masalah kesehatan. Seperti juga disampaikan dalam Supono
(2009) bahwa bila kecenderungan perkembangan dan pembangunan kota yang
merusak sistem daya dukung lingkungan dan komunitas warganya dibiarkan tanpa
pengendalian yang ketat, kota-kota itu tidak memiliki masa depan.
Masalah penanganan kawasan kumuh juga menjadi isu strategis nasional
dan internasional. Pada tataran internasional penanganan kawasan kumuh
dfokuskan pada pancapaian Millennium Development Goals 2015 khususnya
untuk tujuan 7 sasaran 11 yaitu “Pada tahun 2020 mendatang diharapkan dapat
mencapai pengembangan yang signifikan dalam kehidupan untuk sedikitnya 100
juta orang yang tinggal di daerah kumuh”. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2011,

1

luasan kawasan kumuh tersisa sebesar 12,75% atau menurun 8,18% dari kondisi
tahun 1993. Namun masih terdapat permukiman kumuh yang masih harus
ditangani. Penanganan tersebut sejalan dengan target Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yaitu bahwa pada tahun 2020
perkotaan di Indonesia sudah harus bebas dari kawasan kumuh.
Kota-kota di Indonesia tidaklah luput dari permasalahan permukiman
kumuh ini. Salah satunya adalah Kota Bandung, sebagai bagian dari Metropolitan
Bandung, yang tidak luput dari segala dampak pertumbuhan ekonomi dari kota
besar. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, saat ini terdapat 367 titik kawasan
permukiman kumuh. Di beberapa bagian wilayah Kota Bandung permukiman
kumuh menjadi masalah serius, seperti di DAS Cikapundung, ketika permukiman
kumuh tumbuh di beberapa bagian bantaran sungai yang menyebabkan masalah
pencemaran sungai, banjir akibat pendangkalan dan sampah, maupun konflik
sosial. Ataupun di beberapa kawasan lainnya yang ditandai dengan kepadatan
tinggi, ketidakteraturan hunian, masalah penyediaan infrastruktur dasar
permukiman, maupun tumbuhnya permukiman di lahan yang dilarang untuk
dibangun seperti lahan pemerintah maupun bantaran rel kereta api. Secara fisik
bentuk perumahan yang terlihat di permukiman kumuh Kota Bandung sebagian
besar terlihat kurang layak, seperti terletak di bibir sungai, berhimpitan, terbuat
dari material yang kurang kokoh, kurang pencahayaan, terletak di lingkungan
yang kotor, maupun permasalahan pada status tanahnya.
Lebih lanjut penyediaan infrastruktur di Kota Bandung masih mengalami
beberapa kendala di antaranya :

Belum tersedianya TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) yang berkelanjutan
dengan sistem pengolahan yang ekonomis;

Sistem drainase yang ada tidak berfungsi optimal dan 50% jaringan jalan
belum dilengkapi sistem drainase

Belum terintegrasinya sistem air limbah kota dengan IPAL (Instalasi
Pengolahan Air Limbah). Selain itu kapasitas IPAL terbatas, dan belum
digunakan secara optimal;

Jaringan air bersih baru melayani 53% penduduk dengan pengaliran kontinu
24 jam dan tingkat kebocoran 50%;

Sumber air baku tidak memadai dan ketersediaan serta kualitas air tanah
yang semakin kritis.
Pemerintah kota Bandung menyadari permasalahan tersebut dan
melakukan tindakan penanganan mulai dari tahap perencanaan, hingga penetapan
kawasan kumuh yang menjadi prioritas untuk segera ditangani. Selan itu juga
telah dibentuk Kelompok Kerja Revitalisasi kawasan kumuh yang tugas utamanya
adalah menerapkan langkah-langkah penanganan kawasan kumuh di Kota
Bandung namun tanpa konflik. Langkah-langkah ini dilakukan dengan landasan
bahwa masyarakat khususnya penghuni kawasan kumuh adalah subyek dan
bukannya obyek sehingga harus diperlakukan sebagai mitra oleh pemerintah.

2

Kerangka Pemikiran
Perkembangan kota selain berdampak pada pertumbuhan ekonomi juga
berdampak pada sisi lain yaitu memicu terjadinya urbanisasi, maupun
kesenjangan ekonomi. Santoso (2009) menjelaskan bahwa munculnya masalah
sosial dan kantong-kantong permukiman masyarakat berpenghasilan rendah di
kota akibat adalah urbanisasi semu (pseudo urbanization), ketika proses
urbanisasi di negara berkembang tidak sejalan dengan perkembangan ekonomi
(industrialisasi) keadaan sekarang ini yang disebut sebagai involusi kota. Involusi
kota sendiri adalah kondisi ketika penduduk perkotaan didorong masuk ke sektor
tersier walaupun sektor ini bersifat padat karya dan belum tentu memberikan
kehidupan yang lebih baik bagi pekerjanya. Pada akhirnya kondisi tersebut
menyebabkan golongan masyarakat berpendapatan rendah yang membutuhkan
tempat tinggal menghuni lokasi-lokasi yang tidak layak atau tidak diperuntukkan
bagi permukiman seperti tempat pembuangan sampah, bantaran sungai, maupun
sepanjang rel kereta api. Kondisi permukiman tersebut juga diperburuk dengan
rendahnya kesadaran penghuni permukiman kumuh untuk menjaga kualitas
lingkungannya (Soemarwoto, 1997). Kepadatan dan aktivitas penduduk
memberikan tekanan pada lingkungan yang menyebabkan terlampauinya daya
dukung lingkungan. Sedangkan dalam Soemarwoto (1997) juga disebutkan bahwa
tanda-tanda dilampauinya daya dukung lingkungan adalah kerusakan
lingkungan.Contohnya adalah menurunnya kondisi sanitasi. Hal ini disebabkan
oleh naiknya kepadatan penduduk. Jumlah rumah menjadi tidak cukup dan orang
membangun rumah yang sangat sederhana yang sering tidak dapat disebut sebagai
rumah. Rumah ini tidak mempunyai jamban, sumber air bersih dan tempat
pembuangan sampah. Kebiasaan untuk membuang air besar dimana-mana
dilakukan di sini. Demikian sampah juga dibuang di sembarang tempat,
sedangkan tidak terdapat tempat daur ulang. Akibatnya beban sampah atau
limbah kepada lingkungan mengalami kenaikan. Sedangkan pelayanan sanitasi
peningkatannya tidak sebanding dengan kebutuhan.
Tidak memadainya
pelayanan sanitasi dan air baku menyebabkan berkembangnya penyakit akibat
kondisi sanitasi yang kurang bersih, seperti kolera, muntaber, demam berdarah,
penyakit kulit, dll.
Masalah lain adalah banjir. Kenaikan jumlah penduduk memerlukan
bertambahnya rumah. Kenaikan kebutuhan akan perumahan yang disertai dengan
belum dilaksanakannya peraturan secara sepenuhnya dan masih rendahnya
kesadaran lingkunganmenyebabkan makin berkurangnya luas wilayah resapan air.
Selain itu banyak rumah yang dibangun di atas bantaran sungai sehingga
mengganggu fungsi DAS sebagai wilayah resapan air. Kondisi tersebut
diperparah dengan kerusakan hutan di daerah hulu sungai, sehingga pada waktu
hujan debit sungai cepat naiknya.
Salah satu pendekatan untuk mengatasi permasalahan dampak
menurunnya kualitas lingkungan di permukiman kumuh terhadap penduduknya
adalah melalui penyediaan infrastruktur dasar permukiman yang memadai.
Seperti yang disampaikan oleh Chogull (1996), bahwa infrastruktur adalah salah
satu cara untuk mengurangi dampak kondisi lingkungan di dalam kota, yang dapat
berdampak pada perbaikan kesehatan penduduk kota.
Infrastruktur juga
merupakan instrumen untuk menciptakan wilayah perkotaan yang tertata dengan

3

baik. Sehingga jika suatu kota gagal menyediakan tingkat pelayanan infrastruktur
yang memadai, maka kota tersebut
dapat dikatakan kurang mampu
mempertahankan keseimbangan lingkungan dengan standard kehidupan
penduduknya. Selain itu juga disampaikan dalam Suhono (2008) bahwa
infrastruktur dipercaya dapat ikut menjaga keseimbangan ataupun kualitas daya
dukung lingkungan agar tidak semakin menurun.
Infrastruktur dapat
meningkatkan kesejahteraan sosial, menjadikan permukiman lebih layak huni
serta mengurangi gangguan kesehatan masyarakat menjadi lebih sehat dan
produktif. Selain itu infrastruktur juga mempunyai peranan sangat penting dalam
mendorong adanya keberlanjutan daya dukung lingkungan dan efisiensi sumber
daya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia infrastruktur adalah prasarana
yaitu segala sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu
proses (usaha, pembangunan, proyek, dan sebagainya). Adapun menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
prasarana adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian yang memenuhi
standar tertentu untuk kebutuhan bertempat tinggal yang layak, sehat, aman, dan
nyaman. Dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 18 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung Tahun 2011 – 2031 disebutkan
bahwa prasarana kota adalah kelengkapan dasar fisik yang memungkinkan
kawasan permukiman perkotaan dapat berfungsi sebagaimana mestinya, yang
meliputi jalan, saluran air minum, saluran air limbah, saluran air hujan (drainase),
sarana persampahan, jaringan gas, jaringan listrik, dan telekomunikasi.
Sedangkan menurut rencana tata ruang wilayah kota tersebut sarana adalah
kelengkapan kawasan permukiman perkotaan yang berupa fasilitas pendidikan,
kesehatan, perbelanjaan dan niaga, pemerintahan dan pelayanan umum,
peribadatan, rekreasi dan kebudayaan, olah raga dan lapangan terbuka, serta
pemakaman umum.
Jika ditinjau keterkaitannya dengan konteks lingkungan mencakup aspek
air dan lahan, maka infrastruktur yang terkait mencakup air minum, air limbah,
drainase, dan persampahan, selain aspek rumah tinggal juga menjadi komponen
wajib yang harus diperhitungkan. Pada kebijakan pembangunan nasional,
infrastruktur dasar permukiman tersebut juga ditujukan untuk mengatasi masalah
lingkungan, seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Persampahan dengan amanatnya adalah Pasal 4 yaitu “Pengelolaan sampah
bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan
serta menjadikan sampah sebagai sumber daya”.Amanat lain tertuang dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum yaitu Pasal 8 Ayat (6) “Penggunaan air baku khususnya
dari air tanah dan mata air wajib memperhatikan keperluan konservasi dan
pencegahan kerusakan lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Perbaikan kondisi lingkungan di permukiman kumuh melalui penyediaan
infrastruktur dasar permukiman tidak terlepas dari peranserta masyarakat.
Melalui penelitian yang dilakukan oleh Chowdhury et.al (2006) terlihat bahwa
keberhasilan perbaikan permukiman kumuh bergantung pada partisipasi
masyarakat. Dalam hal ini masyarakat perlu dilibatkan mulai dari tahap
perencanaan hingga pemeliharaan sehingga akan timbul rasa memiliki. Sehingga

4

infrastruktur dasar permukiman yang telah terbangun akan terus dipelihara oleh
masyarakat.
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan dalam diagram
seperti pada Gambar 1.1 berikut ini.
Masyarakat Berpendapatan Rendah
Membutuhkan Tempat Tinggal
Urbanisasi

Tumbuhnya
KantongKantong
Permukiman
Kumuh

Perkembangan
Perkotaan
Kesenjangan
Ekonomi
Mendukung

Kepadatan dan
Aktivitas
Penduduk
Memberi
Tekanan pada
Kondisi
Lingkungan

Perbaikan
permukiman
kumuh melalui
infrastruktur
dasar
permukiman

Menentukan
infrastruktur dasar
permukiman untuk
mencapai kuantitas
dan dan kualitas
lingkungan yang
dibutuhkan di
permukiman kumuh

Keterangan:

Menentukan
selisih
kebutuhan
kuantitas
sumberdaya
yang
dibutuhkan
dan kualitas
lingkungan
yang harus
dicapai

Menghitung
Kondisi
Eksisting
ketersediaan
sumber daya
dan kualitas
dari aspek air
dan lahan di
permukiman
kumuh Kota
Bandung

Permasalahan
Kondisi
Lingkungan
Permukiman
Kumuh
Berpengaruh
terhadap:
• Ketersediaan
sumber daya
alam
• Kualitas
lingkungan
contoh:
pencemaran

Fokus penelitian
Gambar 1.1 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian
Perumusan Masalah

Dalam dokumen Strategi Pembangunan Permukiman dan Infrastruktur
Perkotaan Kota Bandung (2011), disampaikan bahwa sebagai bagian dari Kota

5

Inti kawasan Metropolitan Bandung, Kota Bandung menjadi pusat aktivitas dan
permukiman baik bagi warga Kota Bandung maupun warga Kota dan Kabupaten
yang ada di kawasan Metropolitan Bandung. Posisi tersebut menyebabkan
terdapat beberapa masalah yang dihadapi dalam perkembangan kota Bandung,
salah satunya keterbatasan daya dukung lingkungan untuk menampung jumlah
penduduk kota Bandung. Berdasarkan hasil kajian penataan ruang kawasan
metropolitan Bandung, daya dukung ruang Kota Bandung maksimum sebesar
3.018.038 jiwa dengan kepadatan 200 jiwa/ha. Dalam RTRW Kota Bandung
2004- 2013, jumlah penduduk Kota Bandung pada tahun 2013 diperkirakan sudah
mencapai batas maksimal daya tampung ruang Cekungan Bandung. Pada tahun
2030 mendatang jumlah penduduk Kota Bandung diperkirakan akan mencapai
sekitar 4.1 juta jiwa.
Daya tarik kota Bandung yang tinggi menyebabkan pertumbuhan
penduduk (baik pemukim maupun commuter) juga relatif tinggi. Perkembangan
jumlah penduduk tersebut tentu saja menuntut penyediaan lahan untuk perumahan
dan permukiman. Perumahan yang ada saat ini belum memenuhi kebutuhan
tersebut, sementara pengembangan perumahan di Kota Bandung akan semakin
terbatas karena lahan yang tersedia juga terbatas.Selain itu, tingkat pendapatan
dan daya beli yang rendah menyebabkan sejumlah penduduk tidak dapat memiliki
rumah yang layak dan sehat. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya penduduk
yang tinggal pada rumah dengan kondisi kurang layak atau kurang sehat bahkan
tidak sedikit yang tinggal pada permukiman kumuh. Hal tersebut diperparah
dengan ketidakseimbangan antara penyediaan infrastruktur dan utilitas kota
dengan dinamika aktivitas kota sehingga tingkat pelayanan menjadi tidak optimal.
Seperti telah diuraikan pada kerangka pemikiran di atas, salah satu
pendekatan untuk meningkatkan atau menjaga kualitas
lingkungan di
permukiman kumuh adalah perbaikan kondisi perumahan dan penyediaan
infrastruktur dasar permukiman. Seperti yang disampaikan oleh Chogull (1996)
bahwa infrastruktur adalah salah satu cara untuk mengurangi dampak kondisi
lingkungan di dalam kota, yang dapat berdampak pada perbaikan kesehatan
penduduk kota. Infrastruktur juga merupakan instrumen untuk menciptakan
wilayah perkotaan yang tertata dengan baik. Sehingga jika suatu kota gagal
menyediakan tingkat pelayanan infrastruktur yang memadai, maka kota tersebut
dapat dikatakan kurang mampu mempertahankan keseimbangan lingkungan
dengan standard kehidupan penduduknya. Seperti disampaikan dalam Suhono
(2008) bahwa infrastruktur dipercaya dapat ikut menjaga keseimbangan ataupun
kualitas daya dukung lingkungan agar tidak semakin menurun.
Pemenuhan perumahan dan infrastruktur dasar permukiman harus
mengacu pada besaran kuantitatif tertentu. Perumahan dan infrastruktur dasar
permukiman sebagai salah satu bentuk pelayanan dasar perkotaan/perdesaan harus
mengacu pada suatu standar minimum tertentu yang harus dipenuhi. Seperti yang
telah disampaikan oleh Joardar (1998), bahwa terdapat kriteria kunci bagaimana
daya dukung dapat dipertemukan dengan standar pelayanan perkotaan yaitu
bahwa dapat diukur dengan standar penyediaan minimal. Dari sisi ketersediaan,
pemerintah sebagai penyedia utama pelayanan infrastruktur dasar permukiman
telah menetapkan standar pelayanan minimal untuk penyediaan air minum, air
limbah, persampahan, drainase, dan bangunan tinggal.
Standar tersebut
merupakan besaran minimum yang harus disediakan untuk per penduduk, ataupun

6

per satuan luas kawasan tertentu.
Sedangkan untuk kemampuan
asimilatif/mengurai limbah pemerintah juga telah menetapkan besaran baku mutu
air yang harus dipenuhi. Acuan standar dan baku mutu tersebut tertuang dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air
dan Pengendalian Pencemaran Air, Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat
Republik Indonesia Nomor 22/Permen/M/2008 tentang Standar Pelayanan
Minimal Bidang Perumahan Rakyat Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota,
serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 1//PRT/2014 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang. Berdasarkan
uraian tersebut di atas maka perlu dipertanyakan bagaimanakah bentuk
penyediaan perumahan dan infrastruktur dasar permukiman hingga bisa
memenuhi standar pelayanan minimal dan baku mutu.
Pada permukiman kumuh, pemerintah adalah stakeholder utama dalam
penyediaan perumahan dan infrastruktur dasar permukiman. Hal ini dikarenakan
penyediaan perumahan dan infrastruktur dasar permukiman tidak bersifat cost
recovery atau pulih biaya mengingat karakteristik penduduk permukiman kumuh
yang biasanya masyarakat berpendapatan rendah sehingga pembebanan biaya
apapun dalam rangka penyediaan infrastruktur tersebut harus diperhitungkan
dengan sangat hati-hati dan seksama. Selain itu perlu diperhitungkan peranan
masyarakat penghuni permukiman kumuh dalam penyediaan perumahan dan
infrastruktur dasar permukiman. Hal ini dikarenakan masyarakat merupakan
pemakai dan pada akhirnya adalah pemelihara. Sehingga dibutuhkan bentuk dan
cara penyediaan perumahan infrastruktur dasar permukiman yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat namun juga dapat mendukung ketersediaan sumberdaya
alam dan kualitas lingkungan.
Terkait dengan uraian tersebut di atas maka beberapa pertanyaan atau
masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimanakah kuantitas dan kualitas perumahan dan infrastruktur dasar
permukiman yang terkait erat dengan lingkungan pada permukiman
kumuh di Kota Bandung?
2. Bagaimanakah bentuk penyediaan perumahan dan infrastruktur dasar
permukiman untuk memenuhi ketersediaan sumberdaya alam dan kualitas
lingkungan?

Tujuan Penelitian

1.

2.

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
Menganalisa kuantitas dan kualitas perumahan dan infrastruktur dasar
permukiman eksisiting yang terkait langsung dengan lingkungan khususnya
sumberdaya air dan lahan di permukiman kumuh dengan mengacu pada
besaran standar pelayanan minimal dan baku mutu lingkungan.
Merumuskan bentuk penyediaan perumahan infrastruktur dasar permukiman
yang paling tepat dan sesuai kebutuhan untuk mendukung ketersediaan
sumberdaya alam dan menjaga kualitas lingkungan.

7

Manfaat Penelitian
Diharapkan hasil penelitian ini akan memberikan manfaat bagi beberapa
stakeholder/pemangku kepentingan sebagai berikut:
1. Memberikan masukan mengenai kuantitas dan kualitas perumahan dan
infrastruktur dasar permukiman yang paling terkait dengan lingkungan
seperti air minum, air limbah, dan persampahan di permukiman kumuh.
2. Memberikan masukan bentuk penyediaan infrastruktur dasar permukiman
yang dibutuhkan untuk dapat mendukung kuantitas dan kualitas
sumberdaya alam air dan lahan di permukiman kumuh.

8

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Dalam Soerianegara (1977) disampaikan bahwa dalam pengertian umum,
sumberdaya ialah sumber persediaan, baik cadangan maupun yang baru. Lebih
lanjut disampaikan bahwa sumberdaya merupakan suatu atribut dari lingkungan,
yang menurut anggapan manusia mempunyai nilai dalam jangka waktu tertentu,
yang dibatasi oleh keadaan sosial, politik, ekonomi, dan kelembagaan. Adapun
pengertiannya dijabarkan sebagai berikut:
1.
Persediaan total (total stock), yaitu jumlah semua unsur lingkungan yang
mungkin merupakan sumberdaya jika seandainya dapat diperoleh.
2.
Sumberdaya (resources) ialah suatu bagian dari persediaan total yang dapat
diperoleh manusia.
3.
Cadangan (reserve) ialah bagian dari sumberdaya yang diketahui dengan
pasti dapat diperoleh.
Dalam Soearinegara (1977) juga didefinisikan bahwa sumberdaya alam
sebagai keadaan lingkungan dan bahan-bahan mentah yang digunakan manusia
untuk memenuhi kebutuhannya dan memperbaiki kesejahteraannya. Maka
definisi kerja dari sumberdaya alam ialah unsur-unsur lingkungan alam, baik fisik
maupun hayati, yang diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya dan
meningkatkan kesejahteraannya. Selain itu sumberdaya alam dapat dibedakan
sifatnya ke dalam sumberdaya alam fisik, seperti tanah, air dan udara, dan
sumberdaya alam hayati, yaitu hutan, padang rumput, tanaman pertanian,
perkebunan, margasatwa, populasi ikan, dan sebagainya. Pembagian lain
membedakan sumberdaya alam menurut kemungkinan pemulihannya yaitu:
1.
Sumberdaya alam yang dapat dipulihkan (renewable atau flow resources),
seperti tanah, air, hutan, padang rumput, dan populasi ikan).
2.
Sumberdaya alam yang tak dapat dipulihkan (non-renewable, fund, atau
stock resources), seperti tambang minyak bumi, batubara, gas bumi, dan
bijih logam.
3.
Sumberdaya alam yang tak akan habis (continuous resources), yaitu energi
matahari, energi pasang surut, udara dan air dalam siklus hidrologi.
Sumberdaya alam pun dapat dibedakan berdasarkan kebutuhan pokok manusia
yaitu:
1.
Sumberdaya tanah.
2.
Sumberdaya air dan udara.
3.
Sumberdaya energi.
Dalam Soerianegara (1977) disampaikan bahwa pengelolaan sumberdaya alam
dapat didefinisikan sebagai usaha manusia dalam mengubah ekosistem
sumberdaya alam agar manusia memperoleh manfaat yang maksimal dengan
mengusahakan kontinuitas produksinya. Pengelolaan sumberdaya alam dapat
pula diberi batasan sebagai suatu proses mengalokasikan sumberdaya alam dalam
ruang dan waktu untuk memenuhi kebutuhan manusia. Tetapi sudah tentu bahwa
dalam mengalokasikan sumberdaya alam ini diusahakan perimbangan antara
populasi manusia dan sumberdaya, dengan mengusahakan pula pencegahan
kerusakan pada sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Pada sumberdaya alam

9

yang dapat dipulihkan, pendayagunaannya memerlukan pengelolaan yang tepat,
yang sejauh mungkin mencegah dan mengurangi pencemaran lingkungan hidup
dan dapat menjamin kelestarian sumberdaya untuk kepentingan generasi yang
akan datang. Hal yang terakhir ini berarti pula bahwa sumberdaya alam yang
belum dimanfaatkan dijaga agar tidak mengalami kerusakan dan sumberdayasumberdaya genetik nabati dan hewani tidak mengalami kerusakan.
Sasaran pengelolaan sumberdaya alam adalah ekosistem sumberdaya
alam, sehingga pengelolaan lingkungan atau lingkungan hidup sudah tercakup
dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya alam. Akan tetapi, dalam beberapa
keadaan, seperti dalam masalah kerusakan dan pengotoran lingkungan oleh
kegiatan pertambangan dan industri, kegiatan pengelolaannya memang khusus
ditujukan untuk perbaikan keadaan lingkungan, yaitu perbaikan kualitas
lingkungan hidup. Dalam hal inilah pengelolaan sumberdaya alam terpisah dari
pengelolaan lingkungan hidup, dan ruang lingkupnya adalah perlindungan dan
perbaikan lingkungan. Lingkungan hidup dalam tiga sistem, yaitu sistem
lingkungan tanah, sistem lingkungan air, dan sistem lingkungan udara. Dari
sistem lingkungan hidup dapat terlihat bahwa tanah, air, dan udara, dapat
dianggap sebagai lingkungan atau sumberdaya, yaitu sumberdaya fisik. Maka
pada pengelolaan lingkungan hidup pun harus diusahakan dilestarikannya. Pada
sistem lingkungan tanah, usaha-usaha yang perlu dikerjakan adalah rehabilitasi,
pengawetan, perencanaan, dan pendayagunaan tanah yang optimum. Pada sistem
air dan udara, yang perlu diusahakan ialah pembersihan dari pengotoran dan
pencegahannya. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka lingkungan hidup akan
mundur kualitasnyadan akhirnya manusia takkan dapat memanfaatkannya lagi.
Manusia memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhannya dan
meningkatkan kesejahteraannya. Namun pemanfaatan sumberdaya alam dapat
menimbulkan akibat sampingan berupa:
1. Kerusakan dan kemunduran pada sumberdaya alam.
2. Pencemaran kimiawi, terutama pencemaran air dan udara.
3. Gangguan pada kesehatan, sebagai akibat pencemaran dan berjangkitnya
wabah penyakitsebagai akibat adanya kegiatan yang mengganggu
sumberdaya alam dan lingkungannya.
4. Gangguan sosial, yaitu tekanan yang dialami masyarakat manusia sebagai
akibat kegiatan pemanfaatan

Pencemaran
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa pencemaran lingkungan hidup
adalah masuk ataudimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,dan/atau komponen
lain ke dalam lingkunganhidup oleh kegiatan manusia sehingga melampauibaku
mutu lingkungan hidup yang telahditetapkan.Dalam Hadi (2012) disebutkan
bahwa aktivitas penduduk perkotaan (rumah tangga, industri, transportasi,
perdagangan, dll) menghasilkan berbagai macam limbah. Namun padatnya
penduduk yang ada di perkotaan mengakibatkan melimpahnya sampah dan limbah
cair yang ada di perkotaan, sebagai contoh sampah rumah tangga di DKI Jakarta
mencapai 70% dari seluruh sampah yang dihasilkan dan jumlahnya tidak kurang

10

dari 12.000 m3 (Sutjahjo et al, 2005 dalam Hadi, 2012). Melimpahnya sampah ini
mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah materi (berupa
limbah/sampah) yang perlu diproses dengan kemampuan dekomposer dalam
memprosesnya.
Akibatnya maka proses dekomposisi tidak berlangsung
sempurna, sehingga dari bahan organik akan dihasilkan berbagai gas beracun dan
berbagai bahan yang akan mencemari lingkungan (Martin et al, 1985 dalam Hadi,
2012). Limbah itu sebagian masuk ke badan air dan terjadi akumulasi bahan
pencemar, sedangkan kemampuan alam untuk memurnikan air sangat terbatas dan
membutuhkan waktu yang sangat lama (Riani et al 2005 dalam Hadi, 2012).
Selanjutnya dikatakan bahwa perkembangan perkotaan yang pesat, menyebabkan
kemampuan badan air untuk memurnikan limbah menjadi semakin rendah,
akibatnya terjadi pencemaran berat di beberapa badan air yang melewati daerah
perkotaan. Lebih lanjut dalam Hadi (2012) disampaikan bahwa besarnya beban
pencemaran pada air dapat dicermati dari kualitasnya. Mengacu pada Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air maka kualitas air dapat dibagi menjadi empat kelas
yaitu:
a.
Kelas I dapat digunakan sebagai bahan baku air minum.
b.
Kelas II dapat digunakan untuk prasarana dan sarana rekreasi air dan
perikanan.
c.
Kelas III dapat digunakan untuk pertanian dan budidaya ikan air
tawar.
d.
Kelas IV untuk mengairi pertamanan.
Berdasarkan pembagian segmennya, kualitas badan air, dalam hal ini sungai
sebagai salah satu sumber air baku terbagimenjadi beberapa kelas.
Mengukur tingkat pencemaran tanah dapat didekati melalui suatu besaran
yang dirumuskan oleh Badan Pusat Statistik yang disebut dengan Indeks Kualitas
Tanah (IKT). IKT Pemukiman adalah suatu nilai yang menggambarkan kondisi
atau mutu tanah di suatu daerah. Indeks kualitas tanah didekati dengan dua
indikator yaitu volume sampah perhari (m3) yang tidak terangkut per km2 dan
persentase rumah tangga dengan penampungan akhir tinja berupa tangki/ saluran
pembuangan akhir limbah (SPAL) di setiap ibukota provinsi. Tujuan dari indeks
ini adalah untuk mengetahui kualitas tanah dan kondisi pencemaran pada tanah di
suatu wilayah pada satu unit administrasi tertentu dengan membatasi pada dua
aspek yang berpengaruh yaitu volume sampah yang tidak terangkut pada satu unit
administrasi wilayah dan jumlah rumah yang memiliki saluran pembuangan air
limbah yang layak. Nilai IKT terdiri dari dua komponen yaitu Indeks Kualitas
Penanganan Sampah dan Indeks Kualitas Tangki Pengolahan Air Limbah. Nilai
IKT berkisar antara 0 sampai dengan 100. Nilai ideal adalah 100, yang menggambarkan kualitas terbaik. Sementara nilai 0 menggambarkan kualitas terburuk.
Nilai terbaik menunjukkan bahwa pada satu wilayah administratif tersebut sampah
yang tidak terangkut dan jumlah rumah yang tidak memiliki saluran pengolahan
air limbah yang layak jumlahnya paling minimal, dan berlaku sebaliknya. Rumus
dari perhitungan IKT adalah:

11

IKT Sampah
Rumus:
IKT Sampah = 100
ai x xi
Klasifikasi Y dan Nilai IKT Sampah
Kelas
Y
Ai Xi
Nilai IKT
1
0 Y
1
X1= Y - 0
100 - 90
1
0
2
1< Y
1
X1 = 1, X2 = Y 1
89,9 - 30
5
5
3
5
2
X1 = 1, x2 = 4, x3 = Y - 5
30
0
Y = 6,5 Nilai IKT Sampah = 0
Bila hasil penghitungan ini menghasilkan angka negatif, maka indeks = 0
Dimana:
ai = Bobot untuk kelas ke-i (ai = 10, 15, 20)
Y = Volume sampah per hari (m3) yang tidak terangkut per km2
Xi = Rentang Y di kelas ke-i
I = Klasifikasi Y
IKT Limbah
Rumus:



















100

IKT Kualitas Tanah
Rumus:





Gambar 2.1 Rumus indeks kualitas tanah
Pada studi ini pencemaran merupakan suatu indikator bahwa kualitas
sumberdaya alam telah mengalami penurunan. Untuk komponen air standar yang
digunakan adalah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, yang
kualitas air dibagi ke dalam kelas-kelas air dari I sampai IV hingga tidak termasuk
dalam kelas air manapun. Adapun komponen air yang distudi adalah air baku
untuk keperluan penduduk permukiman kumuh di Kelurahan Tamansari tersebut
dari PDAM, maupun sumber air lainnya.
Sedangkan untuk kondisi kualitas
tanah mengacu pada perhitungan Indeks Kualitas Tanah dari BPS yaitu
merupakan besaran yang bergantung pada jumlah sampah yang tidak terangkut
pada satu kawasan dan persentase rumah yang buangan air limbahnya
menggunakan sistem pengolahan air limbah.

Permukiman dan Perumahan
Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman definisi permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian
yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana,
sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di

12

kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Permukiman tidak bisa terlepas dari
perumahan, seperti dinyatakan juga dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman tersebut bahwa perumahan adalah
kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun
perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai
hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Disampaikan dalam Parwata
(2004) dalam Mulyana (2009) bahwa permukiman adalah suatu tempat bermukim
manusia yang telah disiapkan secara matang dan menunjukkan suatu tujuan yang
jelas, sehingga memberikan kenyamanan bagi penghuninya. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa permukiman terdiri dari: (1) isi, yaitu manusia sendiri maupun
masyarakat; dan (2) wadah, yaitu fisik hunian yang terdiri dari dari alam dan
elemen-elemen buatan manusia. Dua elemen permuiman tersebut selanjutnya
dapat dibagi ke dalam lima elemen yaitu: (1) alam yang meliputi: topografi,
geologi, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan iklim; (2) manusia yang
meliputi: kebutuhan biologi (ruang, udara, temperature, dsb), perasaan dan
persepsi, kebutuhan emosional, dan nilai moral; (3) masyarakat yang meliputi:
kepadatan dan komposisi penduduk, kelompok sosial, kebudayaan,
pengembangan ekonomi, pendidikan, hukum, dan administrasi; (4) fisik banguna
yang meliputi: rumah, pelayanan masyarakat (sekolah, rumah sakit, dsb), fasilitas
rekreasi, pusat perbelanjaan dan pemerintahan, industri, kesehatan, hukum dan
administrasi; dan (5) jaringan yang meliputi: sistem jaringan air bersih, sistem
jaringan listrik, sistem transportasi, sistem komunikasi, sistem manajemen
kepemilikan, drainase dan air kotor, dan tata letak fisik. Hadi (2012) menyatakan
bahwa perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia setelah
pangan dan sandang, sehingga berperan sebagai pusat pendidikan keluarga,
persemaian budaya dan nilai kehidupan, penyiapan generasi muda, dan bentuk
manifestasi jati diri.Pada hubungan ekologis antara manusia dan permukimannya,
kualitas sumberdaya manusia dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan
permukiman tenpat tinggalnya. Bagi kebanyakan masyarakat golongan menengah
ke bawah, rumah juga merupakan barang modal (capital goods), karena dengan
aset rumah dapat melakukan kegiatan ekonomi yang mendukung kehidupan dan
penghidupannya. Dalam studi ini konteks permukiman dibatasi pada lahan yang
menjadi tempat tinggal penduduk yaitu rumah atau perumahan.

Permukiman Kumuh
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman menyatakan bahwa permukiman kumuh adalah permukiman yang
tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan
yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak
memenuhi syarat. Sedangkan dalam Martinez et al (2007) disebutkan bahwa
menurut UN – Habitat (2003) rumahtangga kumuh adalah sekelompok individu
yang bertempat tinggal di bawah satu atap dengan keadaan kekurangan terhadap
beberapa hal berikut:
1. Akses terhadap air yang layak. Indikator ini terkait dengan akses air yang
memadai bagi keperluan keluarga, dengan harga yang terjangkau, tanpa usaha
untuk mendapatkannya secara ekstrem.

13

2.

Akses terhadap sanitasi yang layak. Indikator ini terkait dengan akses
terhadap tempat pembuangan yang layak, baik bersifat privat maupun public,
berbagi dengan s