Spatial co-location pattern dari data cuaca dan kebakaran Hutan di rokan hilir, provinsi riau

SPATIAL CO-LOCATION PATTERN DARI DATA CUACA DAN
KEBAKARAN HUTAN DI ROKAN HILIR, PROVINSI RIAU

SERGI ROSELI

DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Spatial Co-location
Pattern dari Data Cuaca dan Kebakaran Hutan di Rokan Hilir, Provinsi Riau
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014

Sergi Roseli
NIM G64100015

ABSTRAK
SERGI ROSELI. Spatial Co-location Pattern dari Data Cuaca dan Kebakaran
Hutan di Rokan Hilir, Provinsi Riau. Dibimbing oleh IMAS SUKAESIH
SITANGGANG dan LAILAN SYAUFINA.
Salah satu permasalahan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya
kebakaran hutan di Indonesia adalah kekeringan yang dipengaruhi oleh kondisi
cuaca. Oleh karena itu, kondisi cuaca dan kebakaran hutan saling berkaitan.
Pendekatan spatial co-location pattern dapat diterapkan untuk mengidentifikasi
kondisi cuaca yang rentan mengalami kebakaran berdasarkan jarak antartitik
pengamatannya dengan kemunculan titik panas. Penelitian ini bertujuan
menerapkan algoritme co-location miner pada dataset cuaca dan kebakaran hutan
di Rokan Hilir serta menganalisis pola co-location yang diperoleh. Dengan
mengetahui kondisi cuaca pada titik pengamatan tertentu dan kemunculan titik
panas di sekitar titik tersebut dapat diketahui daerah mana yang lebih rentan

mengalami kebakaran akibat banyaknya titik panas yang muncul di sekitar titik
pengamatan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan melakukan colocation pattern mining, diketahui nilai curah hujan yang membentuk kolokasi
dengan kemunculan titik panas berada dalam rentang nilai 0.08 - 6.69 mm/hari,
sedangkan temperaturnya berada dalam rentang nilai 22 oC – 29.17 oC. Pada
rentang nilai curah hujan dan temperatur tersebut akan muncul titik panas pada
radius 9.724 km dari titik pengamatan curah hujan dan temperatur. Sepanjang
tahun 2008, titik panas di Rokan Hilir banyak ditemukan di Desa Sungai Kubu
Kecamatan Kubu, Desa Ujung Tanjung Kecamatan Tanah Putih, dan Desa Sungai
Daun Kecamatan Pasir Limau Kapas dengan rata-rata curah hujan 3.65 – 3.71
mm/hari dan rata-rata temperatur 24.44 oC – 25.23 oC.
Kata kunci: algoritme co-location miner, co-location pattern mining, curah hujan,
temperatur, titik panas

ABSTRACT
SERGI ROSELI. Spatial Co-location Pattern from Weather and Forest Fire Data
in Rokan Hilir, Riau Province. Supervised by IMAS SUKAESIH SITANGGANG
and LAILAN SYAUFINA.
One of problems that can increase the risk of forest fire occurrences in
Indonesia is drought which is affected by weather conditions. Therefore, weather
conditions and forest fire are strongly related. Spatial co-location pattern can be

applied to identify the weather conditions that are vulnerable in having fires based
on the distance between weather observation points and hotspot occurrences. The
purpose of this research is to implement the co-location miner algorithm on the
weather and hotspot data in Rokan Hilir and to analyze the generated co-location
patterns. Along with the weather conditions on several observation points and
hotspot occurrences around that points, we can identify the locations which have
higher possibilities in having fires because of the number of hotspot occurrences
around the area. Exprimental results show that precipitation values which colocated with hotspot occurrences are in the range of 0.08 – 6.69 mm/day. In

addition, the temperature values which co-located with hotspot occurrences are in
the range of 22 oC – 29.17 oC. Inside the intervals, hotspots will occur in the
radius of 9.724 km from the precipitation and temperature observation points. In
2008, many hotspots were found on the three areas in Rokan Hilir, namely Desa
Sungai Kubu Kecamatan Kubu, Desa Ujung Tanjung Kecamatan Tanah Putih, and
Desa Sungai Daun Kecamatan Pasir Limau Kapas with the average of
precipitation around 3.65 – 3.71 mm/day and the average of temperature around
24.44 oC – 25.23 oC.
Keywords: co-location miner algorithm, co-location pattern mining, hotspot,
precipitation, temperature


.

SPATIAL CO-LOCATION PATTERN DARI DATA CUACA DAN
KEBAKARAN HUTAN DI ROKAN HILIR, PROVINSI RIAU

SERGI ROSELI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komputer
pada
Departemen Ilmu Komputer

DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji:

Hari Agung Adrianto, SKom MSi

Judul Skripsi : Spatial Co-location Pattern dari Data Cuaca dan Kebakaran Hutan
di Rokan Hilir, Provinsi Riau
Nama
: Sergi Roseli
NIM
: G64100015

Disetujui oleh

Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi MKom
Pembimbing I

Dr Ir Lailan Syaufina, MSc
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Buono, MSi MKom

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena
atas segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini disusun sebagai laporan penelitian yang telah dilakukan penulis sejak
bulan Januari 2014 dengan judul Spatial Co-location Pattern dari Data Cuaca dan
Kebakaran Hutan di Rokan Hilir, Provinsi Riau.
Banyak pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam
pelaksanaan dan penyelesaian tugas akhir ini. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada:
1 Ayah dan ibu serta adik-adik penulis yang selalu memberikan dukungan,
doa, serta mengingatkan agar tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan
baik.
2 Ibu Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi MKom dan Ibu Dr Ir Lailan
Syaufina, MSc selaku dosen pembimbing I dan II yang selalu bersedia
membantu dan membimbing penulis dalam menyelesaikan tugas akhir
ini.

3 Bapak Hari Agung Adrianto, SKom MSi selaku dosen penguji atas
kesediaannya sebagai penguji pada ujian tugas akhir.
4 Bapak Dr Ir Agus Buono, MSi MKom selaku dosen pembimbing
akademik yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan di
Departemen Ilmu Komputer.
5 Umil, Indry, Colin, dan Ajeng yang bersama-sama mempelajari Python
untuk menyelesaikan tugas akhir masing-masing.
6 Iin, Putri, dan Laura yang selalu saling memberikan dukungan dan
bantuan pada penulis.
7 Teman-teman Ilkom 47 yang selama tiga tahun terakhir menjalani suka
duka perkuliahan bersama dan senantiasa membantu penulis selama
masa perkuliahan.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

Sergi Roseli

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2


Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA
Titik Panas (Hotspot)

3

Spatial Co-location Pattern

3


METODE PENELITIAN
Data dan Sumber Data

5

Tahapan Penelitian

5

Praproses Data

5

Implementasi Algoritme Co-location Miner

5

Analisis Pola Co-location


6

Perangkat Penelitian

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Praproses Data

6

Implementasi Algoritme Co-location Miner

8

Analisis Pola Co-location

12

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

17

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

19

RIWAYAT HIDUP

31

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Tabel titik panas
Tabel curah hujan
Tabel temperatur
Pola co-location yang berukuran dua dari titik panas dan curah hujan
Pola co-location yang berukuran dua dari titik panas dan temperatur
Hasil percobaan nilai minimum prevalence
Pola co-location yang berukuran tiga
Nilai conditional probability
Hasil percobaan nilai minimum conditional probability
Hasil perhitungan korelasi Pearson
Nilai curah hujan dan temperatur yang banyak membentuk kolokasi
dengan titik panas di Rokan Hilir tahun 2008
12 Tiga titik pengamatan curah hujan dan temperatur yang membentuk
kolokasi terbanyak dengan titik panas di Rokan Hilir tahun 2008

7
7
7
9
9
10
10
11
12
13
15
16

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6

Tahapan penelitian
Hasil plot data curah hujan dan titik panas
Hasil plot data temperatur dan titik panas
Pembagian tiga daerah iklim di Indonesia
Siklus curah hujan tahunan pada daerah A, B, dan C
Hasil plot pola co-location (titik panas dan curah hujan) bulan Agustus
2008
7 Hasil plot pola co-location (titik panas dan temperatur) bulan Agustus
2008
8 Tiga titik pengamatan curah hujan dan temperatur yang membentuk
kolokasi terbanyak dengan titik panas di Rokan Hilir tahun 2008

5
8
8
12
13
14
14
16

DAFTAR LAMPIRAN

1 Potongan program co-location pattern mining menggunakan Python
2 Hasil praproses data titik panas di Rokan Hilir, Riau tahun 2008
3 Hasil praproses data cuaca di Rokan Hilir, Riau tahun 2008 hasil
pemodelan yang dilakukan oleh Sitanggang et.al (2013)
4 Peta Rokan Hilir, Riau

19
21
28
30

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Secara faktual kekayaan hutan Indonesia merupakan hutan tropis terbesar
kedua di dunia setelah Brazil (Nasikhun 2013). Keberadaan hutan dengan
berbagai keanekaragaman hayati di dalamnya sangat penting sebagai paru-paru
dunia. Akan tetapi, masalah yang sering muncul terhadap hutan-hutan di
Indonesia adalah masalah kebakaran hutan. Penyebab kebakaran hutan dapat
dibagi dalam dua kelompok utama, yaitu alam dan campur tangan manusia. Di
Indonesia, faktor manusia lebih banyak menyebabkan terjadinya kebakaran hutan.
Menurut Forest Fire Coordinator, Forest-Freshwater-and Terrestrial Species
Program, WWF-Indonesia, Dedi Harini, penyebab utama kebakaran hutan dan
lahan tak lain datang dari faktor manusia (Pamungkas 2012). Di Indonesia, faktor
iklim sangat berperan dalam menentukan terjadinya kebakaran hutan serta
perilaku api (Syaufina 2008). Terdapat beberapa faktor pendukung terjadinya
kebakaran hutan, misalnya faktor cuaca yang dapat mempengaruhi kelembapan
tanah. Oleh karena itu, faktor pendukung kebakaran hutan juga penting untuk
diketahui, dicegah, dan diantisipasi. Di sisi lain, kekeringan merupakan salah satu
masalah yang sudah tidak asing lagi terjadi di Indonesia. Hal tersebut dapat terjadi
pada daerah dengan tipe iklim kering apalagi terkadang panjang musim kemarau
juga tidak menentu bahkan lebih panjang daripada yang seharusnya. Terjadinya
musim kemarau berkepanjangan dapat pula mengakibatkan sebagian daerah di
Indonesia mengalami kekeringan. Faktor yang mempengaruhi kekeringan adalah
curah hujan dan temperatur yang merupakan komponen dari data cuaca. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa ada keterkaitan antara kondisi cuaca dan
kebakaran hutan.
Kabupaten Rokan Hilir merupakan salah satu wilayah yang sering
mengalami kebakaran hutan di Riau. Pada bulan Agustus 2013, terdapat 468 titik
panas yang muncul di Riau, 51 di antaranya terdapat di Rokan Hilir (BNPB 2013).
Jumlah tersebut merupakan jumlah titik panas ketiga terbanyak yang muncul di
antara seluruh kabupaten yang ada di Riau. Mayoritas kebakaran di Riau terjadi
pada lahan gambut. Banyaknya lahan gambut yang mengalami kekeringan juga
menjadi salah satu penyebab tingginya resiko kebakaran hutan di Riau. Keringnya
lahan gambut tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor termasuk adanya
campur tangan manusia, misalnya pembuatan kanal-kanal yang berfungsi untuk
mengeringkan lahan gambut dari air. Kondisi tersebut akan menjadi lebih buruk
jika pada saat bersamaan terjadi musim kemarau berkepanjangan sehingga sedikit
sumber api saja dapat mengakibatkan kebakaran.
Penerapan teknik data mining spasial terhadap data kemunculan titik panas
telah banyak dilakukan, misalnya clustering dan klasifikasi. Hal tersebut
dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan.
Salah satu metode lain dalam data mining untuk analisis data spasial adalah
spatial co-location pattern mining yang mempelajari keterkaitan antarobjek dalam
lingkup spasial. Adanya keterkaitan antara kondisi cuaca dan kebakaran hutan
mendorong penulis untuk menerapkan spatial co-location pattern mining terhadap
data cuaca dan kebakaran hutan sehingga nantinya dapat dilihat pola co-location

2

dari kondisi cuaca dan kejadian kebakaran hutan. Pola co-location tersebut dapat
digunakan untuk mengetahui cuaca dan kejadian kebakaran hutan. Pola colocation tersebut dapat digunakan untuk mengetahui daerah yang berpotensi
menimbulkan kebakaran hutan sehingga terjadinya kebakaran hutan dapat segera
dicegah dengan efektif.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
1 Bagaimana penerapan metode co-location pattern mining yang tepat pada
dataset cuaca dan kebakaran hutan di Rokan Hilir, Riau?
2 Bagaimana pola co-location dari data cuaca dan kebakaran hutan di Rokan
Hilir, Riau?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1 Menerapkan metode co-location pattern mining pada dataset cuaca dan
kebakaran hutan di Rokan Hilir, Riau
2 Menganalisis pola co-location dari kondisi cuaca dan kebakaran hutan di
Rokan Hilir, Riau
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah membantu proses pengambilan keputusan
mengenai pencegahan kebakaran hutan dengan lebih efektif. Efektivitas
pengambilan keputusan dapat ditingkatkan dengan mengetahui kondisi cuaca yang
secara kolokasi menimbulkan tingginya kemunculan titik panas sehingga dapat
dilakukan pencegahan lebih dini.
Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan tiga data, yaitu data curah hujan,
temperatur, dan titik panas. Data curah hujan dan temperatur yang digunakan
merupakan data grid. Dalam penelitian ini digunakan asumsi bahwa titik
pengamatan curah hujan dan temperatur yang berupa data grid merupakan lokasi
stasiun cuaca yang real. Pengolahan data spasial dilakukan menggunakan metode
co-location pattern mining yaitu algoritme co-location miner yang dikemukakan
oleh Shekhar dan Huang (2001) serta perhitungan participation index dan
conditional probability sebagai threshold yang dikemukakan oleh Shekhar et al.
(2004).

3

TINJAUAN PUSTAKA
Titik Panas (Hotspot)
Hotspot adalah titik panas yang diindikasikan sebagai lokasi kebakaran
hutan dan lahan (Heryalianto 2006). Pemantauan titik panas dilakukan dengan
penginderaan jauh (remote sensing) dengan menggunakan satelit. Satelit yang
biasa digunakan untuk pemantauan titik panas adalah satelit Natural Oceanic and
Atmospheric Administration (NOAA) yang dilengkapi dengan sensor Advanced
Very High Resolution Radiometer (AVHRR) yang dapat memberikan infromasi
suhu di suatu wilayah. Pada citra yang dihasilkan satelit tersebut, sebuah pixel
yang tinggi temperatur permukaannya mengindikasikan kebakaran disebut titik
panas.
Sebuah titik panas dapat mencerminkan sebuah areal yang mungkin
terbakar sebagian atau seluruhnya karena hal itu tidak menunjukkan secara pasti
seberapa besar areal yang terbakar (Heryalianto 2006). Jumlah titik panas dapat
sangat bervariasi dari suatu pengukuran kemudian tergantung dari waktu
pengukuran pada hari itu (aktivitas api berkurang pada malam hari dan paling
tinggi pada sore hari), cuaca (sensor yang digunakan tidak dapat menembus awan
dan asap), dan organisasi apa yang memberikan data tersebut (tidak terdapat
standar ambang batas temperatur atau suhu untuk mengidentifikasikan titik
panas). Kelompok titik panas yang berjumlah besar dan berlangsung secara terusmenerus adalah indikator yang baik untuk kebakaran. Meskipun disebut titik
panas, tidak semua titik panas merupakan actual fire. Oleh karena itu, data titik
panas harus dianalisis lebih lanjut untuk menentukan apakah kebakaran akan
benar-benar terjadi pada titik tersebut. Hal ini dilakukan untuk pendeteksian dini
terhadap terjadinya kebakaran hutan.
Spatial Co-location Pattern
Spatial co-location pattern menggambarkan suatu pola yang menunjukkan
adanya subsets dari sebuah himpunan boolean spatial feature yang anggotanya
sering muncul secara bersamaan dalam ruang lingkup spasial. Pola yang
digambarkan merepresentasikan hubungan antara events yang terjadi pada lokasi
yang berbeda namun berdekatan. Output akhir yang dihasilkan dari pencarian
spatial co-location pattern yaitu berupa spatial co-location rules.
Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menemukan colocation rules, yaitu spatial statistics dan association rules (Shekhar dan Huang
2001). Pendekatan spatial statistics menggunakan perhitungan korelasi spasial
untuk mengelompokkan hubungan antara feature spasial yang berbeda dari tiap
event. Perhitungan tersebut meliputi chi-square tests, koefisien korelasi, dan
model regresi. Sedangkan pendekatan association rules lebih berfokus pada
pembentukan transaksi antardata seperti yang dilakukan oleh algoritme apriori
pada teknik asosiasi. Pendekatan association rules ini termasuk dalam pendekatan
data mining untuk melakukan co-location pattern mining (Shekhar et al. 2004).
Salah satu algoritme yang dapat digunakan untuk menemukan co-location pattern
adalah algoritme co-location miner yang termasuk dalam pendekatan data mining.
Algoritme co-location miner merupakan algoritme yang digunakan untuk
membangkitkan seluruh co-location pattern dan co-location rules yang memiliki

4

nilai prevalences dan conditional probabilities diatas nilai minimum prevalence
dan minimum conditional probability yang ditentukan (Shekhar et al. 2004). Colocation pattern digunakan untuk membangkitkan co-location rules yang
berbentuk prediksi terhadap kemunculan feature dengan nilai interestingness
tertentu. Dalam algoritme co-location miner, awalnya setiap data akan
diinisialisasi menjadi co-location set yang memiliki ukuran k=1, k merupakan
jumlah anggota dari co-location set tersebut. Selanjutnya akan dibangkitkan
prevalent co-location rules yang memiliki ukuran k=2 dan seterusnya hingga
k=jumlah feature yang terdapat dalam data. Untuk setiap ukuran k > 1 akan
dihitung participation index yang nantinya digunakan untuk membangkitkan colocation pattern pada ukuran k menggunakan spatial join neighbor relationship.
Nilai participation index dapat diperoleh dengan menghitung nilai participation
ratio (pr) terlebih dahulu, untuk ukuran-k co-location c = {f1,….., fk} rumusnya
adalah (Shekhar et al. 2004):
pr(c, fi) =

πfi (|table_instance(c)|
|table_instace(fi)|

(1)

� melambangkan hubungan ketetanggaan antarobjek pada feature yang diamati, c
merupakan co-location, fi adalah feature ke-i yang diamati, dan |table_instance|
menunjukkan tabel yang menyimpan nilai c dan fi pada (1).
Setelah mengetahui nilai participation ratio, nilai participation index
dapat dihitung dengan mencari nilai minimum di antara participation ratio (pr)
tersebut sebagai berikut (Shekhar et al. 2004):
pi(c) = minki=1 {pr c,fi }

(2)

untuk ukuran-k colocation c = {f1,….,fk). Participation index (pi) menunjukkan
signifikansi dari pola co-location yang terbentuk, pi diperoleh dari pr yang
menunjukkan pengaruh suatu feature terhadap pembentukan sebuah pola colocation. Jika pada perhitungan pi dipilih nilai maksimum pr maka nilai pi akan
cenderung besar sehingga menyebabkan biasnya nilai pi. Hal tersebut dikarenakan
nilai pr yang kecil akan tertutupi oleh nilai pr yang besar sehingga nilai pi yang
menunjukkan signifikansi pola menjadi bias. Pembentukan co-location rules
dilakukan dengan menghitung nilai conditional probability dari setiap pola yang
diperoleh sebelumnya dan membandingkannya dengan minimum conditional
probability sebagai threshold. Rumus conditional probability adalah (Shekhar et
al. 2004):
|πc1 (table_instance( c1 ∪c2 ))|
|table_instace({c1 })|

(3)

� melambangkan hubungan ketetanggaan antarobjek pada feature yang diamati, c1
dan c2 berarti co-location berukuran satu dan co-location berukuran dua.

5

METODE PENELITIAN
Data dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data cuaca dan titik panas di kabupaten Rokan
Hilir pada tahun 2008. Data yang digunakan adalah data curah hujan (mm/hari)
dan temperatur (K) bulanan berupa data grid yang diperoleh dari Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dengan format .csv yang
merupakan hasil pemodelan dan sudah diproses oleh sebelumnya oleh Sitanggang
et al. (2013) serta data titik panas yang diperoleh dari FIRMS MODIS
Fire/Hotspot, NASA/University of Maryland.
Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian yang dilakukan dalam penerapan algoritme co-location
miner untuk menemukan pola co-location dapat dilihat pada Gambar 1.
Mulai

Data Cuaca dan
Titik Panas

Selesai

Data Hasil
Praproses

Praproses Data

Analisis Pola
Co-location

Impelementasi
Algoritme Colocation Miner

Gambar 1 Tahapan penelitian
Praproses Data
Pada tahap ini dilakukan praproses terhadap data curah hujan, temperatur
dan titik panas di Rokan Hilir. Praproses data yang dilakukan adalah seleksi data.
Seleksi data dalam tahapan praproses ini dilakukan dengan memilih atribut sesuai
dengan kebutuhan analisis. Kemudian dilakukan penambahan beberapa atribut
pada data agar data dapat saling terhubung untuk memudahkan proses
implementasi.
Implementasi Algoritme Co-location Miner
Pada tahap ini diterapkan algoritme co-location miner terhadap data curah
hujan, temperatur, dan titik panas di Rokan Hilir. Tahapan ini dilakukan dengan
mengimplementasikan algoritme co-location miner menggunakan bahasa
pemrograman Python. Pengolahan data dengan algoritme co-location miner
menghasilkan pola co-location antara kemunculan titik panas dan kondisi cuaca

6

yang terjadi di Rokan Hilir. Pola ini kemudian digunakan untuk membangkitkan
aturan co-location.
Analisis Pola Co-location
Pada tahap ini telah diperoleh hasil akhir berupa pola co-location dan
aturan co-location yang kemudian akan dianalisis sehingga dapat diketahui
hubungan antara kondisi cuaca dan kemunculan titik panas di Rokan Hilir
berdasarkan pendekatan co-location pattern mining.
Perangkat Penelitian
Penelitian mengenai spatial co-location pattern ini dilakukan dengan
menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak sebagai berikut:
Perangkat keras berupa komputer personal dengan spesifikasi sebagai berikut:
• Processor Intel Core i5-450M
• RAM 2 GB
• Monitor 14.0” HD LED LCD
• Harddisk 640 GB
• Mouse dan keyboard
Perangkat lunak:
• Sistem operasi Windows 7 Ultimate
• Python 3.3 sebagai bahasa pemrograman yang digunakan untuk mengolah data
• Quantum GIS 2.0.1 untuk analisis data spasial dan visualisasi
• Notepad++ sebagai text editor
• Microsoft Excel untuk pengolahan data
• PostgreSQL 9.1 untuk menyimpan data yang akan diolah

HASIL DAN PEMBAHASAN
Praproses Data
Pada tahap ini, proses pertama yang dilakukan adalah pemilihan atribut
dan data yang diperlukan dalam penelitian. Seluruh data yang digunakan dalam
penelitian ini dikelola oleh DBMS PostgreSQL. Basis data awal memiliki tiga
tabel, yaitu tabel titik panas, tabel curah hujan, dan tabel temperatur. Pada
awalnya, data titik panas memiliki sembilan atribut, yaitu lat, long, satellite, orbit,
time, date, source, provinsi, dan kab_kota. Kemudian pada data titik panas
dilakukan penghapusan atribut satellite, orbit, time, source, dan provinsi. Setelah
itu, dilakukan query select * from hotspot where kab_kota’ROKAN HILIR’ untuk
memilih titik panas pada wilayah studi. Setelah pemilihan atribut dan data,
dilakukan penambahan beberapa atribut ke dalam tabel titik panas. Pada tabel titik
panas dilakukan penambahan atribut hid sebagai primary key untuk tabel titik
panas dan atribut bulan sebagai penanda kemunculan titik panas tersebut terjadi
pada bulan tertentu. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan proses

7

implementasi. Tabel 1 menunjukkan tabel titik panas yang digunakan dalam
penelitian ini.
Tabel 1 Tabel titik panas
hid
1
2

377

lat
1.454
1.598

1.364

long
100.833
100.797

101.012

tanggal
20080101
20080105

20081203

kab_kota
ROKAN HILIR
ROKAN HILIR

ROKAN HILIR

bulan
1
1

12

Data curah hujan memiliki 17 atribut, yaitu gid, long, lat, the_geom,
rnd01, rnd02, rnd03, rnd04, rnd05, rnd06, rnd07, rnd08, rnd09, rnd10, rnd11,
rnd12, dan rnd_ave. Atribut yang berawalan rnd berisi nilai curah hujan pada titik
dan bulan tertentu, misalnya rnd01 menyatakan nilai variabel curah hujan pada
bulan Januari tahun 2008. Sedangkan rnd_ave menyatakan nilai curah hujan ratarata pertahun pada titik tertentu. Pada data curah hujan dilakukan pembuangan
atribut the_geom karena tidak diperlukan dalam analisis hasil pola co-location.
Tabel 2 menunjukkan tabel curah hujan yang digunakan dalam penelitian ini.
Tabel 2 Tabel curah hujan
gid

long

lat

1

62

100.334 1.16766


100.514 2.60479

1

62

100.334 1.16766


100.514 2.60479

rnd01
2.3

1.7
rnd08
2.2

1.08

rnd02
4

2.5
rnd09
1.5

1.9

Nilai curah hujan (mm/hari)
rnd03
rnd04
rnd05
rnd06
rnd07
7
5.3
3.1
0.2
0.03





3
2.2
1.8
0.25
0.77
rnd10
rnd11
rnd12
rnd_ave
6.9
4.4
6
3.6




2.87
2.5
3.2
2

Data temperatur memiliki 17 atribut, yaitu tid, long, lat, the_geom,
tscrn01, tscrn02, tscrn03, tscrn04, tscrn05, tscrn06, tscrn07, tscrn08, tscrn09,
tscrn10, tscrn11, tscrn12, dan tscrn_ave. Atribut yang berawalan tscrn berisi nilai
temperatur pada titik tertentu, misalnya tscrn01 menyatakan nilai variabel
temperatur pada bulan Januari tahun 2008. Sedangkan tscrn_ave menyatakan nilai
temperatur rata-rata pertahun pada titik tertentu. Pada data temperatur juga akan
dilakukan penghapusan atribut the_geom karena tidak diperlukan dalam analisis
hasil pola co-location. Tabel 3 menunjukkan tabel temperatur yang digunakan
dalam penelitian ini.
Tabel 3 Tabel temperatur
tid

long

lat

1

62

100.3

100.5

1.17

2.60

1

62

100.3

100.5

1.17

2.60

tscrn01
293.8

296.6
tscrn08
298.8

300.4

tscrn02
294.3

296.6
tscrn09
299.1

300.5

Nilai temperatur (K)
tscrn03 tscrn04 tscrn05
297.3
298
298.4



298.98 300.2
300. 7
tscrn10 tscrn11 tscrn12
295.9
294.7
294.6



299.2
298.8
297.5

tscrn06
tscrn07
300.4
300.8


302
301.5
tscrn_ave
297.3

299.4

8

Implementasi Algoritme Co-location Miner
Hasil praproses data yang telah disimpan ke dalam basis data selanjutnya
digunakan untuk co-location pattern mining. Record data pada ketiga tabel awal
(tabel titik panas, tabel curah hujan, dan tabel temperatur) yang tersimpan dalam
basis data dianggap sebagai pola co-location yang berukuran satu sehingga
terdapat tiga jenis pola co-location, yaitu titik panas, curah hujan, dan temperatur.
Dalam penerapan algoritme co-location miner ini, hal utama yang diperhatikan
adalah neighborhood relationship antarobjek pada masing-masing feature yang
diamati. Dalam penelitian ini, neighborhood relationship tersebut ditentukan
berdasarkan jaraknya. Untuk membangkitkan pola co-location yang berukuran
dua, dilakukan perhitungan jarak Euclid dengan pendekatan kombinatorial. Setiap
objek pada masing-masing feature dipasangkan dan dihitung jarak Euclidnya
untuk menentukan bagaimana hubungan ketetanggaan antarobjek tersebut. Hal
tersebut dilakukan karena hanya objek-objek bertetangga yang dapat membentuk
kolokasi. Dalam penelitian ini, suatu pasangan objek dikatakan berkolokasi
apabila jarak antarobjek ≤ 0.0875 yang bermakna bahwa pasangan objek tersebut
bertetangga. Nilai 0.0875 diperoleh dari jarak antartitik pada data curah hujan dan
temperatur dibagi dengan dua. Data curah hujan dan temperatur yang merupakan
data grid memiliki nilai koordinat yang sama, yang membedakan kedua data
tersebut adalah feature yang diamati, yaitu nilai temperatur dan curah hujan.
Dalam penelitian ini, variabel curah hujan dan temperatur dianggap sebagai faktor
penyebab kemunculan titik panas sehingga yang akan dilihat adalah pola colocation antara faktor penyebab dan akibat yang muncul. Nilai jarak maksimum
sebesar 0.0875 dipilih dengan asumsi bahwa kemunculan suatu titik panas akan
dipengaruhi oleh tetangga terdekatnya yang merupakan objek dari variabel curah
hujan dan temperatur sehingga setengah dari jarak antartitik pada data curah hujan
dan temperatur akan menunjukkan nilai curah hujan dan temperatur yang
mempengaruhi kemunculan titik panas di sekitarnya. Dalam hal ini, jarak
maksimum dapat dikatakan sebagai nilai batasan jarak dari pengaruh suatu objek
pada variabel curah hujan dan temperatur terhadap kemunculan titik panas.
Gambar 2 dan 3 menunjukkan lokasi pengamatan dari nilai curah hujan dan
temperatur serta lokasi kemunculan titik panas di Rokan Hilir pada tahun 2008.

Gambar 2 Hasil plot data curah hujan
dan titik panas

Gambar 3 Hasil plot data temperatur
dan titik panas

9

Setelah ditentukan co-location yang berukuran satu, terjadi pembentukan
kandidat co-location berukuran dua dengan cara mengombinasikan setiap objek
pada tiap atribut titik panas dengan curah hujan dan titik panas dengan temperatur
secara berpasangan. Apabila kandidat co-location yang terbentuk bukan tetangga
maka akan dihapus dari tabel co-location berukuran dua. Tabel 4 dan 5
menggambarkan pola co-location berukuran dua yang terbentuk dari pasangan
feature yang diamati.
Tabel 4 Pola co-location yang berukuran dua dari titik panas dan curah hujan
hid (id titik panas) gid (id curah hujan)
1
20
3
20


377
13
Tabel 5 Pola co-location yang berukuran dua dari titik panas dan temperatur
hid (id titik panas) tid (id temperatur)
1
20
3
20


377
13
Setelah diperoleh pola co-location yang berukuran dua, akan dihitung nilai
participation index dengan menghitung nilai participation ratio nya terlebih
dahulu untuk setiap pola co-location yang berukuran dua. Perhitungan
participation ratio (pr) menggunakan persamaan (1) dan participation index (pi)
menggunakan persamaan (2) terhadap pola co-location yang berukuran dua pada
Tabel 4 dan 5 yaitu:
Perhitungan pada Tabel 4
pr_titik panas(c2, f1) =

282
282
26

pr_curah hujan(c2, f2) =
pi(c2) =



2
�=1

62

Perhitungan pada Tabel 5
=1

pr_titik panas(c2, f1) =

= 0.419

pr_temperatur(c2, f2) =

{1, 0.419} = 0.419

pi(c2) =



2
�=1

282
282
26
62

=1
= 0.419

{1, 0.419} = 0.419

Nilai 282 pada perhitungan pr untuk Tabel 4 dan 5 diperoleh dari jumlah
objek titik panas yang terbentuk pada pola co-location di Tabel 4 dan 5 sedangkan
nilai 377 diperoleh dari jumlah total objek pada feature titik panas. Di sisi lain,
nilai 26 pada perhitungan pr untuk Tabel 4 dan 5 diperoleh dari jumlah objek
curah hujan dan temperatur pada Tabel 4 dan 5 sedangkan nilai 62 diperoleh dari
jumlah total objek pada feature curah hujan dan temperatur. Participation index
digunakan untuk melakukan pruning dengan membandingkan nilai participation
index dengan minimum prevalence yang ditentukan pengguna. Pruning ini
dilakukan untuk mengurangi jumlah kandidat co-location yang terbentuk pada
ukuran berikutnya dengan memperbesar atau memperkecil nilai minimum
prevalence. Untuk mengetahui nilai threshold terbaik, dilakukan beberapa

10

percobaan terhadap nilai minimum prevalence yang digunakan. Tabel 6
menunjukkan jumlah pola co-location berukuran tiga yang terbentuk dari pola colocation berukuran dua ketika dilakukan percobaan dengan menggunakan nilai
minimum prevalence yang berbeda.
Tabel 6 Hasil percobaan nilai minimum prevalence
Pola co-locaton berukuran dua
Minimum prevalence
0.1
0.2
0.4
0.5
0.6

Titik Panas-Curah
Hujan
282
282
282
282
282

Titik PanasTemperatur
282
282
282
282
282

Pola co-location berukuran tiga
Titik Panas-Curah HujanTemperatur
282
282
282
0
0

Berdasarkan hasil pada Tabel 6, dapat diketahui bahwa perubahan nilai
minimum prevalence dari 0.1 hingga 0.4 tidak mengakibatkan perubahan pada
jumlah pola yang terbentuk pada co-location yang berukuran tiga. Sedangkan
perubahan nilai minimum prevalence dari 0.5 akan mengakibatkan perubahan
jumlah pola co-location pada co-location berukuran tiga. Meskipun begitu,
perubahan nilai minimum prevalence > 0.5 akan menghasilkan jumlah pola colocation yang sama dengan nilai minimum prevalence 0.5. Penggunaan data curah
hujan dan temperatur yang berupa data grid pada penelitian ini mengakibatkan
pola co-location yang terbentuk antara titik panas-curah hujan dan titik panastemperatur berjumlah sama karena posisi pengamatannya yang sama. Nilai
participation index yang dimiliki oleh masing-masing pola pada co-location yang
berukuran dua dapat menunjukkan bahwa jika nilai minimum prevalence ≥ 0.419
maka tidak akan terbentuk pola co-location berukuran tiga karena pola co-location
berukuran dua tidak ada yang memenuhi nilai threshold yang ditentukan. Oleh
karena itu, pemilihan minimum prevalence yang lebih baik adalah kurang dari
0.419, dengan begitu maka pola co-location yang berukuran tiga dapat terbentuk.
Sedangkan untuk besarnya nilai minimum prevalence tidak perlu ditentukan
secara spesifik dalam penelitian ini selama nilainya kurang dari 0.419 karena akan
menghasilkan jumlah pola co-location yang sama. Dalam pembahasan ini
digunakan nilai minimum prevalence 0.2.
Setelah dilakukan pruning menggunakan nilai minimum prevalence, hasil
pruning tersebut akan digunakan sebagai kandidat co-location yang berukuran
tiga. Dalam hal ini, pola co-location yang berukuran tiga akan dibangkitkan dari
pola co-location berukuran dua, yaitu titik panas-curah hujan dan titik panastemperatur. Kandidat pola co-location yang terbentuk akan dievaluasi berdasarkan
hubungan ketetanggaannya yang kemudian akan menghasilkan pola co-location
berukuran tiga seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7 Pola co-location yang berukuran tiga
hid (id titik panas)
1

377

gid (id curah hujan)
20

13

tid (id temperatur)
20

13

11

Dalam penelitian ini, co-location pattern mining hanya akan dilakukan
sampai terbentuk co-location yang berukuran tiga karena feature yang diamati ada
tiga, yaitu titik panas, curah hujan, dan temperatur. Oleh karena itu, setelah
diperoleh pola co-location berukuran tiga, dilakukan pembangkitan aturan colocation. Pembangkitan aturan co-location ini dilakukan untuk setiap iterasi pada
pembentukan pola co-location dengan menghitung nilai conditional probability
untuk setiap aturan yang terbentuk pada tiap iterasi dan membandingkannya
dengan nilai minimum conditional probability sebagai threshold. Contoh
perhitungan conditional probability (cp) menggunakan persamaan (3) terhadap
aturan co-location yang dibangkitkan dari pola co-location yang terbentuk pada
Tabel 4 yaitu:
Titik Panas  Curah Hujan
cp =

282
377

= 0.748

Curah Hujan  Titik Panas
cp =

26
62

= 0.419

Nilai 282 pada perhitungan cp diperoleh dari jumlah objek titik panas yang
terbentuk pada pola co-location di Tabel 4 sedangkan nilai 377 berasal dari
jumlah total objek pada feature titik panas. Di sisi lain, nilai 26 pada perhitungan
cp diperoleh dari jumlah objek curah hujan pada Tabel 4 sedangkan nilai 62
diperoleh dari jumlah total objek pada feature curah hujan. Tabel 8 menunjukkan
nilai conditional probability yang dimiliki oleh setiap aturan co-location yang
mungkin terbentuk dari pola co-location.
Tabel 8 Nilai conditional probability
Conditional probability
0.748
0.419
0.748
0.419
0.911
0.911

Aturan co-location
Titik Panas  Curah Hujan
Curah Hujan  Titik Panas
Titik Panas  Temperatur
Temperatur  Titik Panas
Titik Panas, Curah Hujan  Titik Panas, Temperatur
Titik Panas, Temperatur  Titik Panas, Curah Hujan

Untuk mengetahui nilai threshold terbaik, dilakukan beberapa percobaan
terhadap nilai minimum conditional probability yang digunakan. Tabel 9
menunjukkan aturan co-location yang terbentuk jika dilakukan percobaan dengan
menggunakan nilai minimum conditional probability yang berbeda.
Berdasarkan hasil pada Tabel 9, akan dipilih nilai minimum conditional
probability yang lebih kecil dari 0.5, misalnya 0.3. Nilai minimum conditional
probability yang kurang dari 0.5 akan menghasilkan aturan yang sama. Nilai
minimum conditional probability tersebut dipilih karena pada nilai minimum
conditional probability 0.5 dihasilkan aturan “Titik Panas  Curah Hujan” dan
“Titik Panas  Temperatur” dari pola co-location yang berukuran satu. Pada
kedua aturan tersebut, titik panas bertindak sebagai penyebab awal sedangkan
pada penelitian ini ingin dilihat bagaimana pengaruh curah hujan dan temperatur
terhadap kemunculan titik panas. Dengan nilai minimum conditional probability
0.5 aturan tersebut tidak muncul sedangkan dengan nilai conditional probability
0.8 aturan yang muncul hanya berasal dari pola co-location berukuran dua. Perlu
diperhatikan bahwa dalam co-location pattern mining menggunakan algoritme co-

12

location miner, aturan yang dibangkitkan hanya berupa feature yang diamati
secara garis besar bukan berupa objek dari feature tersebut seperti yang
digambarkan pada Tabel 9. Hal tersebut dikarenakan pada proses pruning
menggunakan conditional probability, nilai yang diperhatikan adalah jumlah
kemunculan objek dari feature tertentu yang muncul pada pola co-location yang
terbentuk. Perhitungan conditional probability ini dilakukan untuk setiap iterasi
dimulai dari iterasi kedua.
Tabel 9 Hasil percobaan nilai minimum conditional probability
Minimum conditional probability

0.1

0.3

0.5

0.8

Aturan co-location
Titik Panas  Curah Hujan
Curah Hujan  Titik Panas
Titik Panas  Temperatur
Temperatur  Titik Panas
Titik Panas, Curah Hujan  Titik Panas, Temperatur
Titik Panas, Temperatur  Titik Panas, Curah Hujan
Titik Panas  Curah Hujan
Curah Hujan  Titik Panas
Titik Panas  Temperatur
Temperatur  Titik Panas
Titik Panas, Curah Hujan  Titik Panas, Temperatur
Titik Panas, Temperatur  Titik Panas, Curah Hujan
Titik Panas  Curah Hujan
Titik Panas  Temperatur
Titik Panas, Curah Hujan  Titik Panas, Tenperatur
Titik Panas, Temperatur  Titik Panas, Curah Hujan
Titik Panas, Curah Hujan  Titik Panas, Tenperatur
Titik Panas, Temperatur  Titik Panas, Curah Hujan

Analisis Pola Co-location
Wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga daerah iklim berdasarkan siklus
curah hujan tahunannya (Aldrian dan Susanto 2003). Gambar 4 menunjukkan
pembagian daerah di Indonesia berdasarkan siklus curah hujannya.

Gambar 4 Pembagian tiga daerah iklim di Indonesia (Aldrian dan Susanto 2003)
Berdasarkan pembagian iklim tersebut, Rokan Hilir termasuk dalam daerah B
yang memiliki iklim semi monsun. Iklim semi monsun memiliki dua puncak curah

13

hujan, yaitu pada bulan Oktober/November/Desember dan Maret/April/Mei.
Gambar 5 menunjukkan siklus curah hujan untuk masing-masing daerah.

Gambar 5 Siklus curah hujan tahunan pada daerah A, B, dan C (Aldrian dan
Susanto 2003)
Iklim atau cuaca mempengaruhi kadar air bahan bakar hutan (Syaufina
2008). Bahan bakar yang dimaksud biasanya berasal dari pelapukan vegetasi dan
material ranting-ranting. Rastioningrum (2004) menunjukkan bahwa unsur cuaca
seperti suhu, kelembapan relatif, penguapan, lama penyinaran matahari, intensitas
penyinaran matahari, kecepatan angin, dan curah hujan memengaruhi kadar air
bahan bakar hutan secara terintegrasi. Kondisi kadar air yang rendah juga dapat
menyebabkan kekeringan. Informasi mengenai kekeringan dapat digunakan untuk
mengetahui resiko kebakaran hutan (Syaufina 2008). Kekeringan sangat erat
kaitannya dengan curah hujan dan temperatur sehingga kedua faktor cuaca
tersebut dapat digunakan sebagai indikator kemunculan titik panas.
Adanya keterkaitan antara kondisi cuaca dan kemunculan titik panas dapat
dilihat melalui nilai korelasi antara variabel cuaca dan kemunculan titik panas.
Perhitungan korelasi dilakukan antara variabel titik panas-curah hujan dan titik
panas-temperatur. Tabel 10 menunjukkan hasil perhitungan korelasi yang telah
dilakukan terhadap data titik panas, curah hujan, dan temperatur.
Tabel 10 Hasil perhitungan korelasi
Korelasi
Titik panas-curah hujan
-0.067
Titik panas-temperatur
0.232
Berdasarkan Tabel 10, terjadinya hujan hanya berdampak sangat kecil
terhadap kemunculan titik panas. Hal tersebut kemungkinan disebabkan
kemunculan titik panas di Rokan Hilir yang banyak terjadi pada lahan gambut.
Lahan gambut memiliki sifat irreversible drying sehingga jika lahan sudah kering
tidak dapat menyerap air. Zamzami (2014) mengatakan bahwa 95.96% titik panas
di Riau terjadi pada lahan gambut. Di sisi lain, suhu juga tidak secara langsung
mempengaruhi kemunculan titik panas karena lahan yang kering membutuhkan
waktu untuk proses pengeringannya. Hal tersebut menyebabkan suhu yang tinggi
pada suatu waktu tidak akan langsung mempengaruhi jumlah titik panas pada
waktu bersamaan.
Dengan menggunakan nilai minimum prevalence 0.2 dan minimum
conditional probability 0.3, diperoleh pola co-location sebanyak 282 dan aturan
co-location sebanyak enam sebagaimana tercantum pada Tabel 9. Gambar 6 dan 7

14

menunjukkan hasil plot dari pola co-location antara titik panas, curah hujan, dan
temperatur yang terbentuk pada bulan Agustus 2008.

Keterangan :
Titik panas
Curah hujan
2.8 – 3.6 mm/hari
3.6 – 4.4 mm/hari
4.4 – 5.2 mm/hari

Gambar 6 Hasil plot pola co-location (titik panas dan curah hujan) Agustus 2008

Keterangan :
Titik panas
Temperatur
24.45 – 25.15 oC
25.15 – 25.75 oC
25.75 – 26.45 oC

Gambar 7 Hasil plot pola co-location (titik panas dan temperatur) Agustus 2008
Jumlah titik panas yang muncul pada bulan Agustus merupakan jumlah
yang paling banyak sepanjang tahun 2008, yaitu 125 titik. Berdasarkan siklus
curah hujan tahunan untuk daerah Rokan Hilir, bulan Agustus merupakan salah
satu bulan dengan tingkat curah hujan yang rendah. Pada Gambar 6, hanya
terdapat dua titik pengamatan cuaca yang memiliki nilai curah hujan antara 2.8 –
3.6 mm/hari, ditandai dengan titik yang berwarna putih. Mayoritas titik panas
yang muncul berkolokasi dengan titik pengamatan cuaca yang memiliki nilai
curah hujan antara 3.6 – 4.4 mm/hari dan 4.4 – 5.2 mm/hari serta nilai temperatur
antara 25.15 – 25.75 oC dan 25.75 – 26.45 oC. Tabel 11 menunjukkan beberapa
nilai curah hujan dan temperatur yang membentuk kolokasi dengan banyak titik
panas dari bulan Januari hingga Desember. Nilai tersebut dapat digunakan sebagai

15

indikator kemunculan titik panas yang tinggi dan juga berimplikasi terhadap
jumlah kadar air bahan bakar hutan.
Tabel 11 Nilai curah hujan (mm/hari) dan temperatur (oC) yang banyak
membentuk kolokasi dengan titik panas di Rokan Hilir tahun 2008
Bulan
Pola
1
2
3

1
2

1
2
3

1
2
3

1
2

1
2

Januari
Curah hujan
min max avg
0.5
5.9
3.9
0.3
6.3
3.7
0.6
5.9
3.7

Temperatur
min
max
avg
21.55 27.45 24.55
21.85 28.85 25.15
21.85 26.65 24.35
Maret
Curah hujan
Temperatur
min max avg
min
max
avg
0.6
5.9
3.7 21.85 26.65 24.35
0.5
5.7
3.7 21.65 27.45 24.55
Mei
Curah hujan
Temperatur
min max
avg
min
max
avg
0.5
5.9
3.9 21.55 27.45 24.55
0.4
5.9
3.7 21.85 26.85 24.35
0.3
6.3
3.7 21.85 28.85 25.15
Juli
Curah hujan
Temperatur
min max
avg
min
max
avg
0.6
5.9
3.7 21.85 26.65 24.35
0.3
6.3
3.7 21.85 28.85 25.15
0.5
5.9
3.8 21.55 27.35 24.55
September
Curah hujan
Temperatur
min max
avg
min
max
avg
0.6
5.9
3.7 21.85 26.65 24.35
0.4
5.9
3.7 21.85 26.85 24.35
Desember
Curah hujan
Temperatur
min max
avg
min
max
avg
0.6
5.9
3.9 21.55 26.95 24.35
0.5
5.9
3.8 21.45 27.75 24.65

Februari
Curah hujan
min max avg
0.4
5.9
3.7
0.6
5.9
3.7
0.4
5.3
3.4

Temperatur
max
avg
21.85 26.85
24.35
21.85 26.65
24.35
21.85 27.55
24.75
April
Curah hujan
Temperatur
min max avg
min
max
avg
0.4
5.9
3.7 21.85 26.85 24.35
0.5
5.9
3.8 21.55 27.35 24.55
Juni
Curah hujan
Temperatur
min max avg
min
max
avg
0.4
5.9
3.7 21.85 26.85 24.35
0.4
5.8
3.8 21.55 27.55 24.55
0.4
5.3
3.4 21.85 27.55 24.75
Agustus
Curah hujan
Temperatur
min max avg
min
max
avg
0.6
6
3.8 21.65 26.95 24.45
0.3
6.3
3.7 21.85 28.85 25.15
0.4
5.9
3.7 21.85 26.85 24.35
November
Curah hujan
Temperatur
min max avg
min
max
avg
0.5
5.7
3.4 21.95 27.05 24.55
min

Berdasarkan pola co-location yang terbentuk antara titik panas, curah
hujan, dan temperatur, diketahui bahwa nilai curah hujan yang membentuk
kolokasi dengan kemunculan titik panas berada dalam rentang nilai 0.08 - 6.69
mm/hari, sedangkan temperaturnya berada dalam rentang nilai 21.41 oC – 29.12
o
C. Dari hasil itu dapat disimpulkan bahwa titik panas akan muncul di sekitar titik
pengamatan cuaca yang memiliki nilai curah hujan dan temperatur dalam rentang
nilai tersebut dengan radius 0.0875 degree atau kira-kira 9.724 km.
Sepanjang tahun 2008, terdapat 26 titik pengamatan curah hujan dan
temperatur yang membentuk kolokasi dengan 282 titik panas. Dari hasil colocation pattern mining diketahui terdapat beberapa titik pengamatan curah hujan

16

dan temperatur yang membentuk cukup banyak kolokasi dengan kemunculan titik
panas, titik pengamatan tersebut ditunjukkan pada Tabel 12.
Tabel 12 Tiga titik pengamatan curah hujan dan temperatur yang membentuk
kolokasi terbanyak dengan titik panas di Rokan Hilir tahun 2008
Longitude

Latitude

100.514

Rata-rata
temperatur
(oC)
24.85

Jumlah
titik panas

Desa/Kecamatan

2.06587

Rata-rata
curah hujan
(mm/hari)
3.69

44

101.2339

1.52695

3.66

24.40

40

100.334

2.06587

3.71

25.18

31

Sungai
Kubu/Kubu
Ujung
Tanjung/Tanah
Putih
Sungai
Daun/Pasir
Limau Kapas

Informasi mengenai lokasi serta nilai curah hujan dan temperatur yang
diperoleh dari hasil co-location pattern mining dapat digunakan untuk mengetahui
daerah mana di Rokan Hilir yang kemunculan titik panasnya tinggi sehingga
penanggulangan maupun pencegahan dapat segera dilakukan. Kondisi cuaca yang
membentuk pola co-location terbanyak juga dapat diketahui melalui hasil colocation pattern mining seperti yang dijelaskan pada Tabel 12. Gambar 8
menunjukkan lokasi pengamatan curah hujan dan temperatur yang terdapat pada
Tabel 12.

Keterangan :
titik panas
curah hujan dan temperatur

Keterangan :
titik panas
curah hujan dan temperatur

Gambar 8 Tiga titik pengamatan curah hujan dan temperatur yang membentuk
kolokasi terbanyak dengan titik panas di Rokan Hilir tahun 2008

17

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dengan menggunakan algoritme co-location miner dapat diketahui kondisi
cuaca yang kemunculan titik panasnya tinggi di sekitar titik pengamatan cuacanya
dalam radius 9.724 km. Selain itu dapat diketahui juga lokasi mana yang perlu
diwaspadai terlebih dahulu karena tingginya tingkat kemunculan titik panas.
Dengan informasi tersebut pengambilan keputusan untuk pencegahan maupun
penanggulangan kebakaran hutan dapat dilakukan dengan lebih efektif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dengan melakukan co-location pattern mining,
diketahui nilai curah hujan yang membentuk kolokasi dengan kemunculan titik
panas berada dalam rentang nilai 0.08 – 6.69 mm/hari, sedangkan temperaturnya
berada dalam rentang nilai 22 oC – 29.17 oC. Berdasarkan pola co-location yang
diperoleh dari data titik panas, curah hujan, dan temperatur tahun 2008, daerah
Rokan Hilir yang perlu diwaspadai adalah Desa Sungai Kubu Kecamatan Kubu,
Desa Ujung Tanjung Kecamatan Tanah Putih, dan Desa Sungai Daun Kecamatan
Pasir Limau Kapas. Pada wilayah tersebut terjadi kemunculan titik panas yang
tinggi dengan rata-rata curah hujan 3.65 – 3.71 mm/hari dan rata-rata temperatur
24.44 oC – 25.23 oC sehingga peluang terjadinya kebakaran di wilayah tersebut
lebih tinggi dibanding wilayah lain di Rokan Hilir.
Berdasarkan hasil percobaan, pengaruh pruning dengan threshold
minimum prevalence dan minimum conditional probability tidak begitu terlihat.
Hal ini disebabkan oleh penggunaan data grid curah hujan dan temperatur pada
penelitian ini sehingga sulit untuk melihat pengaruh dari pruning pada algoritme
dikarenakan kedua data tersebut akan memiliki nilai minimum prevalence yang
sama jika berkolokasi dengan titik panas.
Saran
Untuk penelitian selanjutnya, perlu dilakukan implementasi co-location
pattern mining pada data yang bukan merupakan data grid. Dengan begitu, akan
diketahui bagaimana pengaruh pruning secara jelas dalam co-location pattern
mining dan hasil yang diperolehpun lebih baik. Hal tersebut karena pada
pendekatan ini, nilai utama yang diperhitungkan pada proses pruning dalam
eksekusi algoritme co-location miner adalah nilai jarak yang sangat bergantung
pada lokasi antartitik pengamatan. Sebaiknya dilakukan perluasan area studi agar
titik pengamatan cuacanya lebih menyebar tanpa dilakukan pemodelan. Selain itu,
perhitungan kolokasi untuk titik panas saat ini sebaiknya dilihat dari curah hujan
dan temperatur beberapa waktu sebelumnya. Penambahan variabel data selain data
cuaca juga dapat memperluas pengetahuan yang diperoleh dari hasil co-location
pattern mining karena akan memperluas cakupan analisis polanya. Di sisi lain,
informasi mengenai unsur cuaca lain dan jenis lahan juga dapat memperdalam
analisis terkait kemunculan titik panas dan kadar air bahan bakar hutan.

18

DAFTAR PUSTAKA
Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification of three dominant rainfall regions
within Indonesia and their relationship to sea surface temperature.
International Journal of Climatology [Internet]. [diunduh 2014 Mei 8] 23:
1435–1452. Tersedia pada: www.researchgate.net/publication/236846655_
Identification_of_three_dominant_rainfall_regions_within_indonesia_and_t
heir_relationship_to_sea_surface_temperature/file/9c960526a656a13310.pdf
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2013. Data titik panas
Provinsi Riau versi satelit NOAA-18 (Bulan Agustus 2013) [Internet].
[diacu 2014 Juni 5]. Tersedia dari : http://geospasial.bnpb.go.id/
monitoring/hotspot/.
Heryalianto SC. 2006. Studi tentang sebaran titik panas (hotspot) sebagai penduga
kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Kalimantan Barat tahun 2004
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nasikhun U. 2013. Ketergantungan dunia akan hutan Indonesia [Internet]. [diacu
2013 November 22]. Tersedia dari : http://green.kompasiana.com/iklim/2013
/2013/04/03/ketergantungan-dunia-akan-hutan-indonesia-541907.html.
Pamungkas A. 2012. Mencari solusi ditengah kebakaran hutan di Indonesia
[Internet].
[diacu
2013
November
23].
Tersedia
dari
:
http://www.wwf.or.id/?26222/Mencari-Solusi-Di-Teng