Penggunaan Ekstrak Batang Pisang Ambon Sebagai Imunostimulan Untuk Pengendalian White Spot Disease Pada Budidaya Udang Vaname Di Karamba Jaring Apung

PENGGUNAAN EKSTRAK BATANG PISANG AMBON
SEBAGAI IMUNOSTIMULAN UNTUK PENGENDALIAN
WHITE SPOT DISEASE PADA BUDIDAYA UDANG VANAME
DI KARAMBA JARING APUNG

ABUNG MARULI SIMANJUNTAK

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Penggunaan
Ekstrak Batang Pisang Ambon sebagai Imunostimulan untuk Pengendalian
White Spot Disease pada Budidaya Udang Vaname di Karamba Jaring Apung”
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016

Abung Maruli Simanjuntak
NIM C151130681

RINGKASAN
ABUNG MARULI SIMANJUNTAK. Penggunaan Ekstrak Batang Pisang Ambon
sebagai Imunostimulan untuk Pengendalian White Spot Disease pada Budidaya
Udang Vaname di Karamba Jaring Apung. Dibimbing oleh SRI NURYATI dan
NUR BAMBANG PRIYO UTOMO.
Salah satu alternatif pengendalian penyakit viral yang dapat dikembangkan
adalah dengan menggunakan bahan herbal yang bersifat sebagai imunostimulan.
Penggunaan imunostimulan telah banyak diteliti untuk pengendalian penyakit
virus pada udang dan terbukti mampu meningkatkan respons imun non-spesifik
serta pertumbuhan udang. Akan tetapi, sampai saat ini masih sangat minim
informasi yang menjabarkan hubungan antara pengaruh dosis serta frekuensi
pemberian imunostimulan pada udang. Batang pisang ambon merupakan salah

satu limbah dari bahan alami yang tidak termanfaatkan dan mengandung beberapa
senyawa aktif imunostimulan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan bertujuan
untuk menentukan dosis dan frekuensi pemberian ekstrak batang pisang ambon
(EBPA) yang tepat, sehingga pada akhirnya diharapkan senyawa aktif yang
terkandung dalam EBPA tersebut mampu merangsang sistem kekebalan tubuh
non-spesifik terhadap serangan penyakit WSD (White Spot Disease) serta
merangsang pertumbuhan udang vaname yang dipelihara di karamba jaring apung
(KJA).
Penelitian tahap satu dilakukan untuk menentukan dosis dan frekuensi
EBPA terbaik dalam meningkatkan respons imun serta pertumbuhan udang
vaname. Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian tahap satu adalah
rancangan acak lengkap faktorial yang terdiri dari dua faktor, yaitu dosis dan
frekuensi pemberian EBPA yang berbeda. Terdiri dari 14 perlakuan yang meliputi
dua perlakuan kontrol (K); kontrol positif dan negatif dan 12 perlakuan pemberian
pakan EBPA, yaitu A1, B1, C1, dan D1 (dosis 0.5, 2, 4, 6 g/kg dengan frekuensi
pemberian setiap hari), A3, B3, C3, dan D3 (dosis 0.5, 2, 4, 6 g/kg dengan
frekuensi pemberian tiga hari sekali), A7, B7, C7, dan D7 (dosis 0.5, 2, 4, 6 g/kg
dengan frekuensi pemberian tujuh hari sekali dengan masing-masing 3 ulangan.
Pemberian pakan dengan ekstrak dilakukan pada perlakuan EBPA dan tanpa
ekstrak pada kontrol secara at-satiation dengan frekuensi pemberian empat kali

sehari selama 21 hari. Observasi parameter pertumbuhan meliputi rasio konversi
pakan (FCR) dan laju pertumbuhan spesifik (LPS) udang tiap perlakuan pada
akhir penelitian. Kemudian udang di uji tantang menggunakan filtrat WSSV (103
). Variabel pengamatan meliputi gejala klinis, kelangsungan hidup, histopatologi,
konfirmasi WSSV menggunakan PCR, serta parameter imunitas (total hemocyte
count (THC), aktivitas prophenoloxidase (proPO), aktivitas respiratory burst
(RB), dan glukosa) dilakukan sebelum dan sesudah uji tantang pada tiap
perlakuan.
Penelitian tahap dua dilakukan untuk mengevaluasi EBPA dengan dosis dan
frekuensi terbaik dalam meningkatkan respons imun serta pertumbuhan udang
vaname yang dipelihara di karamba jaring apung. Rancangan yang digunakan
pada penelitian tahap dua adalah rancangan eksperimental yang terdiri dari dua
perlakuan, yaitu perlakuan EBPA dengan dosis dan frekuensi pemberian terbaik
(0.5 g/kg dengan frekuensi pemberian setiap hari) serta perlakuan kontrol (tanpa

EBPA) yang diulang sebanyak tiga kali tiap perlakuan. Pemberian pakan
perlakuan dilakukan selama 30 hari dengan frekuensi pemberian pakan empat kali
sehari. Observasi kelangsungan hidup, konfirmasi WSSV (PCR dan
Histopatologi), dan pertumbuhan (FCR dan LPS) dilakukan terhadap kedua
perlakuan pada awal dan akhir penelitian. Pengamatan parameter imunitas (THC,

proPO, RB, dan glukosa) dilakukan terhadap kedua perlakuan pada awal, tengah,
dan akhir penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis pemberian EBPA
pada pakan menyebabkan terjadinya penurunan respons imun serta pertumbuhan
pada udang vaname. Sementara itu, semakin seringnya (setiap hari) frekuensi
pemberian EBPA mampu memberikan respons yang optimal dalam meningkatkan
sistem imun serta pertumbuhan udang vaname. Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian EBPA pada dosis rendah (0.5 g/kg) diiringi dengan frekuensi
pemberian setiap hari (perlakuan A1) terbukti mampu memberikan respons yang
optimal terhadap sistem imun (THC, proPO, RB), kelangsungan hidup dalam
melawan infeksi WSSV, serta dapat meningkatkan pertumbuhan (FCR dan LPS)
udang vaname. Konfirmasi WSSV menggunakan PCR dan histopatologi
menunjukkan bahwa udang perlakuan yang mati pada saat uji tantang positif
terinfeksi WSSV. Selanjutnya, aplikasi EBPA pada kegiatan budidaya udang di
karamba jaring apung (KJA) menggunakan dosis dan frekuensi pemberian terbaik
(A1) juga terbukti mampu meningkatkan kelangsungan hidup, sistem imun serta
pertumbuhan udang vaname. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian EBPA
melalui pakan pada udang vaname mampu meningkatkan pertumbuhan, serta
ketahanan tubuh udang terhadap infeksi WSSV.
Kata kunci: ekstrak batang pisang, udang vaname, karamba jaring apung, respons

imun, WSD

SUMMARY
ABUNG MARULI SIMANJUNTAK. Application of Banana Stem Extract as an
Immunostimulant for White Spot Disease Control in White Shrimp at Floating
Cage. Supervised by SRI NURYATI and NUR BAMBANG PRIYO UTOMO.
One alternative control of viral disease that can be developed to use herbal
compound which act as an immunostimulant. The use of immunostimulant has
been widely studied for the control of viral diseases in shrimp and proved to
increase the non-specific immune response as well as the growth of shrimp.
However, until now there is still minimal information that describes the
relationship between the effect of dose and frequency administration of
immunostimulant on shrimp. Banana stem is a natural waste that rarely utilized
and contain some of the immunostimulant active compounds. Therefore, this
study was conducted to determine the effective dosage and frequency of banana
stem extract administration so that active compounds contained in banana stem
extract able to stimulate the non-spesific immune system to enhance the immune
response against WSD (White Spot Disease) and stimulate the white shrimp
growth which being kept in floating cage.
The research stage one was conducted to determine the best dose and

frequency of banana stem extract in enhancing the immune response and growth
of white shrimp. The research design at stage one was used completely
randomized factorial design consisting of two factors, namely the different dosage
and frequency of banana stem extract administration. It consists of 14 treatments
includes two control treatments (K); positive and negative controls and 12 BSE
administration treatments, namely A1, B1, C1, and D1 (doses of 0.5, 2, 4, 6 g/kg
given daily), A3, B3, C3, and D3 (dose 0.5, 2, 4, 6 g/kg given once every three
days), A7, B7, C7, and D7 (doses of 0.5, 2, 4,hi 6 g/kg given once every seven
days), each treatments done with 3 replication. Administration with extracts
performed in banana stem extract treatment and without extract in control
treatments at-satiation with a frequency of four times a day for 21 days.
Observation of the growth parameters include the shrimp feed conversion ratio
(FCR) and specific growth rate (SGR) of every treatment at the end of the study .
Then the shrimp is challenged using the WSSV filtrate (10-3). Observation
variable includes clinical symptoms, survival rate, histopathology, WSSV
confirmation using PCR, and immune parameters (total hemocyte count (THC),
prophenoloxidase activity (proPO), respiratory burst activity (RB), and glucose)
performed before and after the challenge test in each treatment.
The research stage two was conducted to evaluate the best dose and
frequency of banana stem extract to enhancing the immune response and growth

of white shrimp were cultured in floating cage. The design at stage two was used
the experimental design consisting of two treatments, namely banana stem extract
treatments with the best dose and frequency of administration (0.5 g/kg given
daily) as well as the control treatment (without banana stem extract) which
repeated three times for each treatment. The administration on treatments carried
out for 30 days with the administration frequency of four times a day. Observation
of survival, confirmation WSSV (PCR and histopathology) immune parameters

(THC, proPO, RB, and glucose) and growth (FCR and SGR) was done for the two
treatments at the beginning, middle, and end of the study.
The results showed that the higher doses of banana stem extract in the feed
cause a decrease in the immune response and growth of white shrimp. Meanwhile,
more frequently (daily) administration of banana stem extract was able to provide
the optimal response in enhancing the immune system and the growth of white
shrimp. Banana stem extract administration was given in low doses (0.5 g/kg) and
in daily frequency (treatment A1) is proved being capable of providing an optimal
response to the immune system (THC, proPO, RB), survival rate against WSSV
infection, and can increase the growth (FCR and SGR) of white shrimp. WSSV
confirmation using PCR and histopathology showed that treatment shrimp that
died when challenge testing is positively WSSV infected. Furthermore, the

application of banana stem extract in shrimp farming activities in floating cage
using the best dose and frequency of administration (A1) was also shown to
improve survival, immune system, and the growth of white shrimp. This indicates
that administration of banana stem extract through feed on white shrimp is able to
increase the shrimp growth and resistance against WSSV infection.
Keywords: Banana stem extract, white shrimp, floating cage, immune response,
WSD

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGGUNAAN EKSTRAK BATANG PISANG AMBON
SEBAGAI IMUNOSTIMULAN UNTUK PENGENDALIAN

WHITE SPOT DISEASE PADA BUDIDAYA UDANG VANAME
DI KARAMBA JARING APUNG

ABUNG MARULI SIMANJUNTAK

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Munti Yuhana, SPi MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah
yang berjudul Penggunaan Ekstrak Batang Pisang Ambon sebagai Imunostimulan
untuk Pengendalian White Spot Disease pada Budidaya Udang Vaname di
Karamba Jaring Apung pada Sekolah Pascasarjana, Program Studi Ilmu
Akuakultur, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan secara khusus kepada
Ibu Dr Sri Nuryati dan Bapak Dr Nur Bambang Priyo Utomo selaku dosen
pembimbing atas waktu, kebijaksanaan, tuntunan, perhatian, kesabaran, nasehat,
semangat, dan masukan-masukan yang telah diberikan hingga tesis ini dapat
diselesaikan. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan Kepada Bapak Irzal
Effendi, MSi selaku pembimbing lapangan dan ketua penelitian udang vaname di
karamba jaring apung Sea Farming Kepulauan Seribu atas izin penelitian yang
diberikan serta bantuan, masukan dan saran selama kegiatan penelitian. Terima
kasih juga penulis ucapkan kepada Dr Munti Yuhana selaku penguji luar komisi
dan Dr Eddy Supriyono selaku ketua program studi dalam pelaksanaan ujian tesis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada kedua
orang tua, calon istriku tercinta Ruth Merlin Silitonga, SE, serta keluarga besar
atas doa, semangat, kasih sayang, dan keteladanan untuk selalu pantang
menyerah, fokus, dan saling berbagi ilmu antar sesama.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Direktorat Jendral Pendidikan

Tinggi (DIKTI) dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah
memberikan beasiswa S2 Fresh Graduate pada tahun 2013 serta kepada Lembaga
Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dibawah Kementerian Keuangan dan
Kementrian Agama Republik Indonesia atas bantuan penyediaan Beasiswa Tesis
pada tahun 2015 sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini serta
memperdalam ilmu di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu serta memberikan
masukan dan ide yang membangun selama kegiatan penelitian, Bapak Ranta,
Bapak Henda, Bapak Shofy Mubarak, MSi, Mba Lina Mulyani, Dwi Febrianti,
MSi, Yanti Ineke Nababan, SPi, Dendi Hidayatullah, MSi, Rangga Garnama SPi,
Hasan Nasrullah, SPi, Denny Wahyudi MSi, Deni Yunus Wijaya, Tim Penelitian
Udang (Shavika Miranti, MSi, T. M. Haja MSi, Sophia Margaretha, MSi, dan
Fazril Saputra, MSi), serta teman-teman mahasiswa Program Studi Ilmu
Akuakultur Angkatan 2013 dan Yayasan El-Hikmah Perjuangan (Novieanto
Poernomo, MSi, Fitria Nawir, MSi, Rahmat Hidayat, MSi, Yunarty, MSi, Artin
Indrayati, MSi, Rifqi Tamamdusturi, MSi, Asep Akmal Aonullah, MSi, Sekar
Ayu Chairunnisa, MSi dan Nurin Dallilah Ayu, MSi) atas bantuan, kebersamaan,
kekompakan serta motivasinya dalam perjuangan menempuh studi.
Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kemajuan ilmu
pengetahuan umumnya dan perikanan budidaya khususnya.
Bogor, Januari 2016

Abung Maruli Simanjuntak

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
3
4

2 METODE
Waktu dan Tempat
Rancangan Penelitian
Penelitian tahap 1
Penelitian tahap 2
Prosedur Penelitian
Preparasi EBPA
Analisis Kulitatif dan Kuantitatif Fitokimia
Persiapan Wadah dan Media Budidaya
Persiapan Hewan Uji
Preparasi Pakan
Pembuatan Filtrat dan Infeksi WSSV
Variabel Pengamatan
Total Hemocyte Count (THC)
Aktivitas Prophenoloxydase (ProPO)
Aktivitas Respiratory Burst (RB)
Glukosa Darah
Kelangsungan Hidup
Gejala Klinis
Histopatologi
Konfirmasi Keberadaan WSSV Menggunakan PCR
Laju Pertumbuhan Spesifik
Rasio Konversi Pakan
Kualitas Air Media Pemeliharaan
Prosedur Analisis Data

4
4
4
4
5
6
6
6
6
6
7
7
8
8
8
8
9
9
9
9
9
10
10
10
10

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Analisis Ekstrak Batang Pisang Ambon
Respons Imun
Total Hemocyte Count (THC)
Aktivitas prophenoloxydase (proPO)

11
11
11
11
11
13

Aktivitas Respiratory Burst (RB)
Glukosa Darah
Kelangsungan Hidup
Gejala Klinis
Histopatologi
Konfirmasi WSSV Menggunakan PCR
Laju Pertumbuhan Spesifik
Rasio Konversi Pakan
Pembahasan

15
17
18
20
21
22
23
24
25

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

31
31
32

DAFTAR PUSTAKA

32

LAMPIRAN

36

RIWAYAT HIDUP

48

DAFTAR TABEL
1
2
3

Perlakuan pemberian EBPA dengan dosis dan frekuensi yang berbeda
Pengamatan parameter kualitas air selama penelitian
Hasil analisis kualitatif dan kuantitatif EBPA

4
10
11

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Skema perumusan masalah
Skema uji in vivo selama perlakuan Tahap 1
Total hemocyte count udang vaname sebelum dan pascauji tantang
dengan WSSV
THC udang selama 30 hari pemeliharaan di karamba jaring apung
Aktivitas prophenoloxydase udang vaname sebelum dan pascauji
tantang dengan WSSV
Aktivitas prophenoloxydase udang selama 30 hari pemeliharaan di
karamba jaring apung
Aktivitas respiratory burst udang vaname sebelum dan pascauji tantang
dengan WSSV
Aktivitas respiratory burst udang selama 30 hari pemeliharaan di
karamba jaring apung
Glukosa darah udang vaname sebelum dan pascauji tantang dengan
WSSV
Glukosa darah udang selama 30 hari pemeliharaan di karamba jaring
apung
Mortalitas udang vaname pascauji tantang dengan WSSV
Kelangsungan hidup udang selama 30 hari pemeliharaan di karamba
jaring apung
Perubahan gejala klinis secara morfologis udang terinfeksi WSSV
Perubahan gejala klinis secara mikroskopis karapaks udang terinfeksi
WSSV pada perbesaran 400x
Histopatologi jaringan hepatopankreas pada perbesaran 1000x
Histopatologi jaringan hepatopankreas pada perbesaran 1000x
Konfirmasi keberadaan WSSV menggunakan PCR
Konfirmasi keberadaan WSSV menggunakan PCR
Laju pertumbuhan spesifik udang vaname selama 21 hari perlakuan
Laju pertumbuhan spesifik udang selama 30 hari pemeliharaan di
karamba jaring apung
Rasio konversi pakan udang vaname selama 21 hari perlakuan
Rasio konversi pakan udang selama 30 hari pemeliharaan di karamba
jaring apung

3
5
12
13
14
15
16
17
17
18
19
19
20
21
21
22
22
23
24
24
25
25

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Prosedur analisis kualitatif fitokimia
Prosedur analisis glukosa darah menggunakan kit Human® Glucose
Liquicolor
Analisis ragam dan uji lanjut tukey data total hemocyte count (THC)
udang vaname pada penelitian tahap 1
Analisis ragam dan uji lanjut tukey data aktivitas prophenoloxydase
(proPO) udang vaname pada penelitian tahap 1
Analisis ragam dan uji lanjut tukey data aktivitas respiratory burst (RB)
udang vaname pada penelitian tahap 1
Analisis ragam dan uji lanjut tukey data kelangsungan hidup udang
vaname pada penelitian tahap 1
Analisis ragam dan uji lanjut tukey data laju pertumbuhan spesifik
(LPS) udang vaname pada penelitian tahap 1
Analisis ragam dan uji lanjut tukey data rasio konversi pakan (FCR)
udang vaname pada penelitian tahap 1

37
38
38
41
43
45
46
46

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kegiatan budidaya udang vaname (Litopeneaus vannamei) telah
berkembang pesat di seluruh dunia, terutama pada daerah tropis dan khususnya di
Indonesia. Sampai saat ini, kegiatan budidaya udang vaname pada umumnya
dilakukan pada wilayah pesisir atau tambak. Di sisi lain, wilayah lautan di
Indonesia memiliki potensi yang besar untuk pembangunan budidaya udang pada
karamba jaring apung (KJA), dan ini menjadi alternatif untuk kegiatan budidaya
udang yang berkelanjutan. Budidaya udang pada karamba jaring apung memiliki
beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan budidaya udang di tambak, antara
lain; relatif tidak terjadi penumpukan limbah organik dari sisa pakan, rasio
konversi pakan lebih baik karena tersedianya pakan alami yang cukup dalam
memenuhi kebutuhan nutrien udang, serta tidak memerlukan energi untuk
pergantian air dan aerasi (Zarain-Herzberg et al. 2010). Selain memiliki beberapa
keunggulan tersebut, budidaya udang di karamba jaring apung juga memiliki
kelemahan, salah satunya adalah pengendalian apabila terjadi serangan penyakit
infeksius. Hal ini disebabkan karena kondisi perairan laut yang terbuka tidak
sepenuhnya dapat terkontrol seperti yang dapat dilakukan pada budidaya udang di
tambak.
Penyakit infeksius yang disebabkan oleh parasit, bakteri, jamur, dan virus
merupakan penyakit utama yang sering dijumpai pada kegiatan budidaya udang
vaname. Virus merupakan salah satu jenis penyakit yang secara signifikan dapat
meningkatkan mortalitas udang vaname, sehingga menghambat proses produksi
dalam kegiatan budidayanya. White spot disease (WSD) hingga kini masih
menjadi masalah dalam budidaya udang vaname yang disebabkan oleh virus White
spot syndrome virus (WSSV). Infeksi WSSV pada tingkat akut dapat menyebabkan
kematian hingga 100% dalam waktu 7-10 hari pascainfeksi (Lightner 1996).
Beberapa alternatif pencegahan dan pengendalian yang umum digunakan untuk
pengendalian penyakit WSSV pada kegiatan budidaya udang vaname antara lain
dengan menggunakan benih udang SPF (specific pathogen free), penerapan
biosekuriti (Lightner 2005), penggunaan probiotik (Lakshmi et al. 2013; Lauzon
et al. 2014) dan imunostimulan (Citarasu et al. 2006; Sirirustananun et al. 2011).
Vaksinasi sebagai upaya pencegahan penyakit pada udang kurang efektif
untuk diterapkan, karena mekanisme pertahanan udang lebih ditentukan oleh
sistem kekebalan bawaan (innate immunity) untuk mengenali dan menangkal
serangan patogen (Flegel et al. 2008). Imunostimulan saat ini mulai banyak
digunakan untuk pengendalian penyakit pada kegiatan budidaya sebagai alternatif
terhadap penggunaan obat-obatan, bahan kimia, dan antibiotik (Jane et al. 2015;
Karunasagar et al. 2014). Penggunaan imunostimulan berupa bahan herbal juga
telah banyak diteliti aplikasinya untuk pencegahan penyakit pada kegiatan
budidaya ikan maupun udang dan diketahui meningkatkan respons imun nonspesifik, nafsu makan, pertumbuhan, serta bersifat sebagai anti-stres, antibakterial, anti-fungal dan anti-viral (Citarasu 2010; Harikrishnan et al. 2011;
Ramudu dan Dash 2013). Imunostimulan dapat diaplikasikan dengan metode
injeksi, perendaman, maupun melalui pakan (oral). Pemberian imunostimulan
melalui pakan merupakan salah satu metode pemberian imunostimulan yang

2
banyak diteliti pada udang vaname. Beberapa hasi penelitian melaporkan bahwa
penggunaan ekstrak herbal Cyanodon dactylon (Balasubramanian et al. 2008),
Phyllanthus niruri (Jayanthi et al. 2013) dan Momordica charantia (Ghosh et al.
2014) melalui pakan mampu meningkatkan respons imun udang terhadap infeksi
WSSV. Akan tetapi, sampai saat ini masih sangat minim informasi yang
menjabarkan hubungan antara pengaruh dosis serta frekuensi pemberian
imunostimulan pada udang vaname.
Batang pisang ambon (Musa paradisiaca) merupakan salah satu limbah dari
bahan alami yang tidak termanfaatkan dan sangat mudah ditemukan di beberapa
daerah di Indonesia. Ekstrak tanaman pisang yang dihasilkan dari bagian akar
(Biswas et al. 2011), batang (Apriasari et al. 2014; Onyenekwe et al. 2013),
bunga (Sumathy et al. 2011) dan daun (Enechi et al. 2014) mengandung beberapa
bahan aktif imunostimulan dan anti-inflamasi, antara lain; alkaloid, steroid,
flavonoid, saponin, tannin, triterpenoid, dan glikosida. Dari bagian-bagian
tanaman pisang tersebut, batang pisang memiliki kandungan senyawa aktif
imunostimulan lebih tinggi dibandingkan dengan bagian lainnya (Loganayaki et
al. 2010). Kandungan senyawa aktif tersebut berguna untuk menjaga maupun
meningkatkan kesehatan ikan maupun udang budidaya. Aplikasi ekstrak batang
pisang khususnya untuk budidaya udang vaname hingga kini belum dikaji secara
ilmiah. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan sebagai langkah awal untuk
menentukan pengaruh dosis dan frekuensi pemberian ekstrak batang pisang
ambon (EBPA) yang tepat untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh nonspesifik udang vaname terhadap infeksi WSSV serta merangsang pertumbuhan
udang vaname. Akhirnya diharapkan pemberian EBPA dengan dosis dan
frekuensi yang optimal mampu meningkatkan respons imun udang vaname
terhadap infeksi WSSV serta meningkatkan pertumbuhan udang vaname pada
kegiatan budidaya udang vaname di karamba jaring apung.
Perumusan Masalah
Pencegahan dan pengendalian yang tepat terhadap serangan penyakit viral
khususnya WSD pada kegiatan budidaya udang vaname sampai saat ini belum
ditemukan. Udang merupakan hewan invertebrata yang memiliki sistem imun
yang primitif dibandingkan dengan hewan vertebrata (ikan), karena udang tidak
memproduksi antibodi (pertahanan spesifik). Mekanisme pertahanan udang sangat
bergantung pada kekebalan bawaan (innate immunity) atau dikenal sebagai sistem
pertahanan non-spesifik, terdiri dari komponen humoral dan seluler yang sangat
efektif dalam menangkal serangan patogen. Alternatif pengendalian penyakit
viral yang dapat dikembangkan adalah dengan menggunakan bahan herbal berupa
EBPA sebagai imunostimulan. Dalam hal ini, belum ada informasi ilmiah yang
mengkaji manfaat EBPA sebagai imunostimulan untuk budidaya udang.
Upaya peningkatan respons imun pada udang menggunakan imunostimulan
perlu memperhatikan dosis dan frekuensi pemberian imunostimulan yang optimal.
Pemberian dosis imunostimulan yang terlalu tinggi dapat menekan mekanisme
sistem pertahanan, sedangkan dosis pemberian yang rendah kurang efektif untuk
meningkatkan respons imun udang vaname. Frekuensi pemberian imunostimulan
juga penting untuk diperhatikan agar dapat dihasilkan proteksi yang optimal.
Respons imun pada udang dapat dinyatakan dalam bentuk kelangsungan hidup
udang yang terinfeksi, serta parameter imun berupa total hemocyte count (THC),

3
aktivitas prophenoloxidase (proPO), aktivitas respiratory burst (RB), dan
glukosa. Penelitian ini diharapkan dapat mengungkap dosis dan frekuensi
pemberian EBPA terbaik melalui pakan dalam meningkatkan respons imun
udang vaname terhadap infeksi WSSV serta meningkatkan pertumbuhan udang
vaname. Selanjutnya pemberian EBPA dengan dosis dan frekuensi yang optimal
diharapkan mampu meningkatkan respons imun udang vaname terhadap infeksi
WSSV serta meningkatkan pertumbuhan udang vaname pada kegiatan budidaya
udang vaname di karamba jaring apung.

Gambar 1 Skema perumusan masalah

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menentukan dosis dan frekuensi optimum
EBPA yang dapat meningkatkan respons imun serta pertumbuhan udang vaname

4
terhadap serangan WSSV, dan (2) mengevaluasi pengaruh aplikasi dosis dan
frekuensi EBPA terbaik terhadap respons imun dan pertumbuhan pada kegiatan
budidaya udang vaname di karamba jaring apung.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat dalam memberikan informasi tentang aplikasi
EBPA untuk pencegahan dan pengendalian penyakit viral khususnya WSSV pada
kegiatan budidaya udang vaname.

2 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada September - Desember 2014 dan Januari Agustus 2015. Penelitian tahap satu dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, serta penelitian tahap dua dilakukan di
Stasiun Penelitian Coe Sea Farming dan Sea Ranching PKSPL IPB, Kepulauan
Seribu.
Rancangan Penelitian
Penelitian tahap 1
Penelitian tahap satu dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian
EBPA terhadap respons imun serta pertumbuhan udang vaname, serta
menentukan dosis dan frekuensi yang optimal untuk meningkatkan respons imun
udang vaname terhadap serangan WSSV serta pertumbuhan udang vaname.
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial yang terdiri
dari dua faktor, yaitu dosis dan frekuensi pemberian EBPA yang berbeda. Terdiri
dari 14 perlakuan, yang meliputi dua perlakuan kontrol (K); kontrol positif dan
negatif, dan 12 perlakuan pemberian pakan EBPA, yang diulang sebanyak tiga
kali tiap perlakuan (Tabel 1).
Tabel 1 Perlakuan pemberian EBPA dengan dosis dan frekuensi yang berbeda
Perlakuan
Kontrol (-)
Kontrol (+)
A1
B1
C1
D1
A3
B3
C3
D3
A7
B7
C7
D7

Dosis Ekstrak (g/kg)
0
0
0.5
2
4
6
0.5
2
4
6
0.5
2
4
6

Frekuensi Pemberian
Setiap hari
Setiap hari

Tiga hari sekali

Tujuh hari Sekali

Pemberian pakan dengan ekstrak dilakukan pada perlakuan EBPA dan tanpa
ekstrak pada kontrol secara at-satiation dengan frekuensi pemberian empat kali

5
sehari selama 21 hari, dan dilakukan observasi parameter pertumbuhan meliputi
rasio konversi pakan (FCR) dan laju pertumbuhan spesifik (LPS) udang tiap
perlakuan pada akhir penelitian. Uji tantang menggunakan filtrat WSSV (10-3)
dilakukan pada udang perlakuan K positif dan EBPA, sementara perlakuan K
negatif di injeksi menggunakan PBS (Phosphate Buffer Saline). Setelah proses uji
tantang, dilakukan pemberian pakan perlakuan (pakan EBPA dan Kontrol) selama
14 hari sesuai dengan masing-masing perlakuan. Pengamatan gejala klinis,
kelangsungan hidup, dan parameter imunitas dilakukan pada semua perlakuan
sebelum dan setelah uji tantang. Parameter imunitas meliputi total hemocyte count
(THC), aktivitas prophenoloxidase (proPO), aktivitas respiratory burst (RB), dan
glukosa. Konfirmasi keberadaan WSSV sebelum dan sesudah uji tantang pada tiap
perlakuan dilakukan secara histopatologis dan menggunakan PCR (Gambar 2).

Gambar 2 Skema uji in vivo selama perlakuan Tahap 1. ( ) pemberian pakan
kontrol, ( ) pemberian pakan perlakuan, ( * ) pengamatan parameter
imun, ( ) pascauji tantang.
Penelitian tahap 2
Penelitian tahap dua bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian
pakan dengan dosis dan frekuensi pemberian EBPA terbaik yang diperoleh dari
hasil penelitian tahap pertama terhadap respons imun serta pertumbuhan udang
vaname yang dipelihara dalam karamba jaring apung (KJA). Dosis pemberian
pakan EBPA yang digunakan dalam penelitian tahap dua ini adalah sebesar 0.5
g/kg dengan frekuensi pemberian setiap hari. Rancangan yang digunakan adalah
rancangan eksperimental berupa dua perlakuan; perlakuan pemberian pakan
EBPA dan pakan kontrol selama 30 hari pemeliharaan, yang diulang sebanyak
tiga kali tiap perlakuan. Observasi kelangsungan hidup, konfirmasi WSSV (PCR
dan histopatologis), dan pertumbuhan (FCR dan LPS) dilakukan terhadap kedua
perlakuan pada awal dan akhir penelitian. Pengamatan parameter imunitas (THC,
proPO, RB, dan glukosa) dilakukan terhadap kedua perlakuan pada awal, tengah,
dan akhir penelitian.

6
Prosedur Penelitian
Preparasi EBPA
Prosedur ekstraksi yang dilakukan mengikuti prosedur yang dilakukan oleh
Septiana dan Asnani (2012). Ekstraksi dilakukan menggunakan metode maserasi
menggunakan pelarut etanol 96%. Batang pisang ambon yang telah dibersihkan
sebelumnya dipotong menjadi bagian-bagian kecil. Batang pisang ambon yang
telah dicacah menjadi bagian-bagian kecil diekstraksi dengan perbandingan 1:10
antara sampel dan pelarut. Setelah terendam dengan sempurna batang pisang
ambon di shaker selama 24 jam menggunakan Thermoshake dengan kecepatan
150 rpm pada suhu 40 oC. Filtrat yang diperoleh disaring untuk memisahkan
dengan ampas, kemudian dilakukan penguapan dengan rotary evaporator pada
suhu 40 oC. Hasil yang diperoleh berupa ekstrak kental batang pisang ambon.
Analisis Kulitatif dan Kuantitatif Fitokimia
Analisis kualitatif fitokimia dilakukan di Laboratorium Pusat Studi
Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor dengan mengikuti prosedur Harborne
(2006), meliputi uji alkaloid, uji saponin, uji tanin, uji titerpenoid, uji fenolik dan
flavonoid (Lampiran 1). Selanjutnya, analisis kuantitatif dilakukan di
Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Cimanggu, Bogor
menggunakan metode spektrophotometri (flavonoid dan tanin) dan Thin-Layer
Chromatography scanner (saponin) untuk menghitung jumlah masing-masing
kandungan bahan aktif dalam persen (%).
Persiapan Wadah dan Media Budidaya
Penelitian tahap 1
Wadah yang digunakan pada penelitian tahap satu adalah 42 akuarium
berukuran 60 × 30 × 35 cm yang terlebih dahulu didesinfeksi dengan kaporit
konsentrasi 50 ppm selama 24 jam kemudian dibilas dengan air tawar sampai
bersih. Akuarium diisi dengan air laut sebanyak 40 liter/akuarium. Air laut yang
digunakan untuk pemeliharaan bersalinitas 30,80±0.52 ppt. Sebelum digunakan
air laut terlebih dahulu disaring dan disterilkan dengan menggunakan calcium
hypoclorite (Ca(CIO2)) konsentrasi 30 ppm pada bak tandon sebelum dimasukkan
ke akuarium.
Penelitian tahap 2
Wadah yang digunakan pada penelitian tahap dua adalah karamba jaring
apung dengan ukuran 1 × 1 × 2,5 m yang dipasang terlebih dahulu selama dua hari
sebelum digunakan. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan zat-zat kimia yang
terkandung dalam karamba yang akan digunakan. Sebelum digunakan karamba
diberi anco (tempat pakan) dengan ukuran 1 × 1 m pada dasar wadah perlakuan.
Persiapan Hewan Uji
Penelitian tahap 1
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian tahap satu adalah udang
vaname dengan bobot rata-rata 5,50±0.33 gr/ekor yang berasal dari PT Suri Tani
Pemuka, Anyer. Udang uji yang akan digunakan terlebih dahulu dipastikan tidak
terinfeksi WSSV dengan melakukan konfirmasi menggunakan PCR, kemudian

7
diadaptasikan selama 14 hari dalam akuarium perlakuan sebanyak 10 ekor/ 40L
(Febriani et al. 2013) dan diberi pakan komersial secara at-satiation dengan
frekuensi pemberian pakan empat kali sehari. Pengelolaan kualitas air media
dipertahankan pada kondisi optimal dengan melakukan kontrol kualitas air serta
penyiponan terhadap kotoran dan sisa pakan yang terakumulasi di dalam
akuarium. Udang uji dipuasakan selama 24 jam sebelum diberi perlakuan dengan
tujuan menghilangkan sisa pakan dalam tubuh.
Penelitian tahap 2
Penelitian tahap dua udang uji yang digunakan udang vaname dengan
ukuran 2,09±1,20 g/ekor yang berasal dari Stasiun Penelitian Coe Sea Farming
dan Sea Ranching PKSL IPB, Kepulauan Seribu. Udang uji terlebih dahulu
dipastikan tidak terinfeksi WSSV dengan melakukan konfirmasi menggunakan
PCR, kemudian diadaptasikan selama tujuh hari dalam karamba perlakuan
sebanyak 200 ekor/m3. Selama proses adaptasi udang diberi pakan komersial
secara at-satiation dengan frekuensi pemberian pakan empat kali sehari. Udang
uji dipuasakan selama 24 jam sebelum diberi perlakuan dengan tujuan
menghilangkan sisa pakan dalam tubuh.
Preparasi Pakan
Ekstrak kental batang pisang ambon masing-masing ditimbang dan
disiapkan berdasarkan dosis perlakuan yang telah ditentukan sebelumnya (Tabel
1). Pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan udang komersil
dengan kadar protein 40%. Sebelum dicampur pada pakan, ekstrak kental batang
pisang ambon dicampur dengan Tween 80 (sebagai emulsifier) dengan
perbandingan 1:1 (Alves et al. 2011), kemudian dilarutkan dengan akuades yang
mengandung putih telur (binder) sebanyak 2% sampai tercampur rata.
Selanjutnya, larutan ekstrak disemprotkan secara perlahan pada pakan dan
dikeringanginkan pada suhu ruang tanpa terkena sinar matahari langsung. Pakan
yang telah siap dapat langsung digunakan atau dapat dimasukkan dalam wadah
yang tertutup rapat sampai saat akan digunakan.
Pembuatan Filtrat dan Infeksi WSSV
Udang vaname positif WSSV diperoleh dari Balai Pengembangan Budidaya
Air Payau (BPBAP) Situbondo, Jawa Timur yang sebelumnya telah dikonfirmasi
menggunakan PCR. Prosedur pembuatan filtrat WSSV selanjutnya dilakukan
dengan mengikuti metode yang dilakukan oleh Xie et al. 2005. Jaringan tubuh
udang yang terinfeksi WSSV (tanpa hepatopankreas, usus dan karapaks)
ditimbang sebanyak 5 gram, kemudian dicacah menjadi bagian-bagian kecil dan
dihomogenkan dengan 20 mL TN-Buffer (200 mM Tris, 400 mM NaCl, pH 7,5)
menggunakan mortar. Selanjutnya, jaringan udang yang telah dihomogenkan
dengan TN-Buffer disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit
pada suhu 4 oC, kemudian supernatan yang diperoleh dipindahkan pada wadah
mikrotube yang baru dan disentrifugasi kembali pada kecepatan 3000 rpm selama
15 menit pada suhu 4 oC. Hasil supernatan yang diperoleh kemudian dilakukan
pengenceran dengan konsentrasi 10 -3 dan difilter menggunakan syringe filter 0,45
µm. Injeksi WSSV dilakukan pada bagian punggung udang, diantara segmen
ketiga dan keempat sebanyak 0,1 mL/ekor dengan dosis 10-3 yang diperoleh dari

8
LD50 yang telah dilakukan sebelumnya. Udang yang digunakan sebagai kontrol
negatif di injeksi menggunakan larutan Phospate Buffer Saline (PBS) sebanyak
0,1 mL/ekor.
Variabel Pengamatan
Total Hemocyte Count (THC)
Pengamatan total hemocyte count (THC) udang vaname dilakukan dengan
mengambil darah udang atau hemolim sebanyak 0,2 mL dari pangkal kaki renang
pertama dengan menggunakan syringe 1 mL yang sudah berisi 0,2 mL
antikoagulan. Selanjutnya, campuran tersebut dihomogenkan dengan cara
menggoyangkan syringe membentuk angka delapan. Tetesan pertama cairan yang
mengandung hemolim dan antikoagulan yang telah dihomogenkan dibuang
sedangkan tetesan selanjutnya diteteskan pada haemocytometer dan diamati di
bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali kemudian dihitung jumlah sel/mL.
Aktivitas Prophenoloxydase (ProPO)
Aktivitas prophenoloxydase hemosit udang diukur menggunakan metode
yang dilakukan Immanuel et al. (2012) berdasarkan formasi dopachrome yang
dihasilkan oleh L-DOPA (L-dihydroxyphenylalanine). 1 mL campuran hemolimantikoagulan disentrifugasi 700x g selama 10 menit pada suhu 4 oC. Supernatan
dibuang dan pelet disuspensi kembali secara perlahan dengan menambahkan 1 mL
larutan cacodylate-citrate buffer (0,01 M sodium cacodylate, 0,45 M sodium
chloride, 0,10 M trisodium citrate, pH 7) dan disentrifugasi kembali 700x g
selama 10 menit suhu 4 oC. Supernatan yang terbentuk dibuang dan ditambahkan
200 µL cacodylate-citrate buffer (0,01 M sodium cacodylate, 0,45 M sodium
chloride, 0,10 M trisodium citrate, pH 7). Suspensi sel sebanyak 100 µL
kemudian diinkubasi dengan 50 µL trypsin (1 mg/mL cacodylate buffer) sebagai
aktivator selama 10 menit pada temperatur 25-26 oC. Selanjutnya ditambahkan 50
µL L-DOPA (3 mg/mL cacodylate buffer), diamkan selama 5 menit dan
ditambahkan 800 µL cacodylate buffer. Densitas optikal (OD) diukur dengan
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Larutan
standar mengandung 100 µL suspensi hemosit, 50 µL cacodylate buffer
(pengganti trypsin), dan 50 µL L-DOPA. Densitas optikal (OD) dari aktivitas
proPO dinyatakan sebagai formasi dopachrome dalam 100 µL hemolim.
Aktivitas Respiratory Burst (RB)
Aktivitas respiratory burst dari hemosit udang diukur menggunakan metode
yang dilakukan Immanuel et al. (2012) berdasarkan reduksi NBT (nitroblue
tetrazolium) sebagai ukuran superoxide anion (O2-). Sebanyak 50 µL campuran
hemolim-antikoagulan diinkubasi selama 30 menit dalam suhu ruang. Selanjutnya
disentrifugasi dengan kecepatan 700x g selama 20 menit dan supernatan dibuang,
kemudian ditambahkan 100 µL NBT dalam larutan HBSS (hank's buffered salt
solution dengan konsentrasi 0,3% dan didiamkan selama 2 jam pada suhu ruang.
Kemudian disentrifugasi 700x g selama 10 menit, supernatan dibuang dan
ditambahkan 100 µL metanol absolut untuk selanjutnya disentrifugasi 700x g
selama 10 menit (supernatan dibuang). Pelet yang terbentuk kemudian dibilas
sebanyak 2 kali dengan metanol 70%. Selanjutnya 120 µL KOH (2M) dan 140

9
µL DMSO (dimethylsulfoxide) ditambahkan untuk melarutkan pelet. Pelet yang
telah larut kemudian dimasukkan ke dalam microplate untuk diukur densitas
optikal (OD) menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 630 nm.
Glukosa Darah
Analisis glukosa darah dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor untuk mengetahui pengaruh
EBPA terhadap respons stress pada udang sebelum uji tantang (setelah pemberian
EBPA) maupun pascauji tantang. Analisis dilakukan dengan cara mengambil
cairan hemolim udang menggunakan syringe 1 mL dengan perbandingan 1:1
antara antikoagulan dan hemolim. Selanjutnya, hemolim yang diperoleh di
homogenkan dengan kecepatan 3500 rpm selama 5 menit untuk mendapatkan
plasma darah udang. Plasma darah digunakan untuk menganalisis kadar glukosa
darah dengan menggunakan metode yang telah tersedia pada kit Human®
Glucose Liquicolor seperti yang tersaji pada Lampiran 2.
Kelangsungan Hidup
Kelangsungan hidup udang vaname dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
Keterangan :
Nt : Jumlah udang yang hidup pada akhir pengamatan (ekor)
No : Jumlah udang pada awal pengamatan (ekor)
Gejala Klinis
Gejala klinis yang timbul pada udang dapat menunjukkan tingkat infeksi
dari WSSV tersebut. Pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan gejala
klinis, patologi anatomi (makroanatomi), maupun mikroanatomi. Data gejala
klinis yang dihasilkan berupa data kualitatif (deskriptif).
Histopatologi
Histopatologi diambil dari jaringan hepatopankreas udang uji. Sampel
udang uji diambil dari setiap perlakuan untuk mengetahui tingkat kerusakan
jaringan yang terjadi akibat WSSV dan pengaruh perlakuan yang diberikan. Organ
dan jaringan yang diambil dari udang uji difiksasi terlebih dahulu dengan larutan
fiksatif davidson selama 24 jam. Organ dipotong 3-5 mm dan 1 × 1 cm,
selanjutnya dilakukan dehidrasi, clearing, impregnasi, embedding dan blocking
parrafin. Block jaringan selanjutnya diiris menggunakan mikrotom 5 µm dan
diwarnai dengan hematoxylin-eosin.
Konfirmasi Keberadaan WSSV Menggunakan PCR
Pemeriksaan virus dengan metode PCR (KAPA Taq PCR, Boston, USA)
dilakukan guna mengkonfirmasi keberadaan virus WSSV pada udang vaname. Uji
konfirmasi yang digunakan dalam perlakuan dan pada saat setelah diinfeksi
menggunakan teknik one step PCR menggunakan primer 146F2 (5’-GTA-ACTGCC-CCT-TCC-ATC-TCC-A-3’) dan 146R2 (5’-TAC-GGC-AGCTGC-TGCACC-TTG-T-3’) mengikuti prosedur yang dilakukan Nunan dan Lightner (2011).

10
Laju Pertumbuhan Spesifik
Laju pertumbuhan spesifik (LPS) udang uji dihitung berdasarkan persamaan
berikut (Bai et al. 2010):
LPS =
Keterangan:
LPS = Laju pertumbuhan spesifik
ln (fw) = Bobot ikan / udang pada akhir penelitian
ln (iw) = Bobot ikan / udang pada awal penelitian
t
= Lama pemeliharaan
Rasio Konversi Pakan
Rasio konversi pakan atau Feeding Conversion Rate (FCR) udang vaname
selama pemeliharaan dihitung menggunakan rumus (Yang et al. 2015):
FCR =
Keterangan :
FCR = Konversi pakan
Fi
= Jumlah pakan (gram)
Fw
= Biomassa udang pada saat akhir perlakuan (gram)
Iw
= Biomassa udang pada saat awal perlakuan (gram)
Kualitas Air Media Pemeliharaan
Kualitas air pemeliharaan udang selama kegiatan penelitian dipertahankan
pada kondisi stabil dengan melakukan penyiponan sisa pakan serta pergantian air
sebanyak satu kali dalam seminggu. Monitoring kualitas air yang meliputi
parameter TAN dilakukan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor setiap tiga hari sekali
selama masa penelitian berlangsung. Parameter pengamatan yang terdiri dari
suhu, salinitas, dissolved oxygen (DO), dan pH dilakukan pengukuran langsung
pada wadah penelitian menggunakan alat pengukur masing-masing parameter,
yaitu: salinitas (salinity AZ-8371), pH (pHep hanna instrument), suhu dan DO
(dissolved oxygen meter Lutron DO-5509). Hasil pengukuran kualitas air selama
kegiatan penelitian tersaji pada tabel 2.
Tabel 2 Pengamatan parameter kualitas air selama penelitian
Tahap
penelitian
Tahap 1
Tahap 2

Suhu (oC)

Salinitas
(ppt)

DO
(mg/L)

pH

TAN
(mg/L)

27,5-28,7
28,8-30,5

30-31,7
32-35

7,3-7,6
4,8-6,5

7,6-8,3
8,0-8,4

0,003-0,021
0,002-0,007

Prosedur Analisis Data
Penelitian Tahap 1
Data kuantitatif yang diperoleh selama penelitian ditabulasi menggunakan
program Microsoft Excel 2013 dan dianalisis secara statistik menggunakan

11
software Minitab version 16. Metode analisis yang digunakan yaitu analisis ragam
(analysis of variance/ANOVA) pada selang kepercayaan 95% (a=0,05). Analysis
of variance digunakan untuk analisis data kelangsungan hidup, THC, proPO, RB,
FCR, dan LPS. Apabila terdapat perbedaan antar perlakuan maka analisis
dilanjutkan dengan uji Tukey. Analisis deskriptif digunakan untuk data hasil
analisis EBPA, glukosa darah, konfirmasi WSSV menggunakan PCR,
pengamatan gejala klinis, histopatologi, dan data kualitas air.
Penelitian Tahap 2
Data yang diperoleh selama kegiatan penelitian ditabulasi kemudian
dikelompokkan berdasarkan data masing-masing parameter pengamatan
(kelangsungan hidup, THC, proPO, RB, FCR, dan LPS), lalu diuji normalitasnya.
Metode analisis yang digunakan yaitu uji t pada selang kepercayaan 95%. Analisis
desktiptif dilakukan pada data glukosa darah, hasil konfirmasi WSSV
menggunakan PCR serta data pengamatan kualitas air.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Analisis Ekstrak Batang Pisang Ambon
Hasil analisis fitokimia secara kualitatif menunjukkan bahwa EBPA
mengandung beberapa senyawa aktif seperti; flavonoid, hidroquinon, saponin,
steroid, triterpenoid, dan tanin (Tabel 3). Senyawa alkaloid tidak terdeteksi dalam
EBPA. Hasil analisis secara kuantitatif menunjukkan bahwa konsentrasi senyawa
aktif dari flavonoid adalah 19,52%, saponin 8,38%, dan tanin 4,94% (Tabel 3).
Tabel 3 Hasil analisis kualitatif dan kuantitatif EBPA
Bahan aktif

Metode analisa

Kualitatif
Alkaloid
Flavonoid
+
Hidroquinon
+
Saponin
+
Steroid
+
Triterpenoid
+
Tanin
+
Ket : × = Tidak dilakukan pengukuran secara kuantitatif

Kuantitatif (%)
×
19,52
×
8,38
×
×
4,94

Respons Imun
Total Hemocyte Count (THC)
Pengamatan pada penelitian tahap satu menunjukkan bahwa THC udang uji
mengalami peningkatan setelah 21 hari perlakuan (sebelum uji tantang),
selanjutnya menurun 1 hari pascauji tantang, meningkat kembali pada hari ke-3
dan hari ke-7 pascauji tantang, kemudian kembali menurun pada hari ke-14
pascauji tantang (Gambar 3). Semakin tingginya penggunaan dosis pakan EBPA
yang semakin tinggi menyebabkan terjadinya penurunan nilai THC pada udang
uji. Pemberian pakan EBPA dengan dosis 0,5 g/kg (perlakuan A) selama 21 hari

12
(sebelum uji tantang) menunjukkan nilai THC (29,1x106 sel/mL) yang lebih tinggi
(p