Perbandingan Kelestarian Hutan Rakyat Bersertifikat dan Tidak Bersertifikat di Kabupaten Kulonprogo

PERBANDINGAN KELESTARIAN HUTAN RAKYAT
BERSERTIFIKAT DAN TIDAK BERSERTIFIKAT
DI KABUPATEN KULONPROGO

NUR FATAH YULIANTO

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perbandingan
Kelestarian Hutan Rakyat Bersertifikat dan Tidak Bersertifikat di Kabupaten
Kulonprogo adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Nur Fatah Yulianto
NIM E14100084

NUR FATAH YULIANTO. Perbandingan Kelestarian Hutan Rakyat Bersertifikat
dan Tidak Bersertifikat di Kabupaten Kulonprogo. Dibimbing oleh HERRY
PURNOMO.
Sertifikasi di hutan rakyat merupakan salah satu bentuk instrumen untuk
mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari baik dari aspek ekologi, ekonomi,
dan sosial. Penelitian ini bertujuan memperoleh data mengenai pengelolaan hutan
ditinjau dari ekologi, kelayakan usaha, dan keorganisasian pada kelompok yang
sudah sertifikasi dan kelompok yang belum sertifikasi. Penelitian dilaksanakan di
dua lokasi yang terletak di Kabupaten Kulonprogo yaitu Desa Kaliagung,
Kecamatan Sentolo mewakili unit pengelola hutan rakyat yang belum bersertifikat
(Marsudi Boga) dan Desa Banjararum, Kecamatan Kalibawang mewakili unit
pengelola hutan rakyat bersertifikat Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM).
Kontribusi pendapatan rata-rata per hektar dalam satu tahun untuk hutan rakyat
bersertifikat (KWLM) sebesar Rp 25 961 264 dan untuk hutan rakyat belum

bersertifikat (Marsudi Boga) sebesar Rp 6 688 540. Potensi sediaan karbon per
hektar untuk hutan rakyat bersertifikat (KWLM) yaitu 27.035 ton C/ha, dan
potensi sediaan karbon per hektar hutan rakyat yang belum bersertifikat (Marsudi
Boga) 22.375 ton C/ha. Sertifikasi hutan rakyat memberikan manfaat yang lebih
baik berupa sediaan karbon dan pendapatan yang lebih tinggi.
Kata kunci: hutan rakyat, sertifikasi

ABSTRACT
NUR FATAH YULIANTO. The Sustainability Comparison of Certified and
Uncertified Forest Community at Kulonprogo Regency. Supervised by HERRY
PURNOMO.
Forest community certification is an instrument to achieve sustainability
forest management in ecology, economy, and social aspects. The objective of this
study was to obtain forest management data based on ecology, business
feasibility, and organizational in groups that have been certified and uncertified.
The research was conducted in two locations of Kulonprogo Regency, that were
Kaliagung Village, District of Sentolo that represent of uncertified forest
community management unit (Marsudi Boga) and Banjararum Village, District of
Kalibawang which represent of certified forest community management unit
Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM). The average income contribution of

certified forest community (KWLM) was Rp 25 961 264/ha/year and uncertified
forest community (Marsudi Boga) was Rp 6 688 540/ha/year. Carbon stock
potential of certified community forests (KWLM) was 27.035 tones C/ha and
uncertified forest community (Marsudi Boga) was 22.375 tones C/ha. Hence
certified forest community provided better benefits in the form of higher carbon
stock and average income.
Keywords: Community forest, Certification

PERBANDINGAN KELESTARIAN HUTAN RAKYAT
BERSERTIFIKAT DAN TIDAK BERSERTIFIKAT
DI KABUPATEN KULONPROGO

NUR FATAH YULIANTO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan


DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Perbandingan Kelestarian Hutan Rakyat Bersertifikat dan Tidak
Bersertifikat di Kabupaten Kulonprogo
Nama
: Nur Fatah Yulianto
NIM
: E14100084

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Herry Purnomo, MComp
Pembimbing

Diketahui oleh


Dr Ir Ahmad Budiaman, MSc Forst Trop
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni hingga Agustus 2014
ini ialah hutan rakyat, dengan judul Perbandingan Kelestarian Hutan Rakyat
Bersertifikat dan Tidak Bersertifikat di Kabupaten Kulonprogo.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Herry Purnomo,
MComp selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada Bapak Sad Windratmo dari KWLM, dan Bapak Sarmidi dari Kelompok
Tani Marsudi Boga, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas
segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015

Nur Fatah Yulianto

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

1

TINJAUAN PUSTAKA

2

Sertifikasi Hutan

2

Sertifikasi Hutan Rakyat di Indonesia


3

METODE

4

Lokasi dan Waktu Penelitian

4

Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data

4

Metode Analisis Data

5

HASIL DAN PEMBAHASAN


7

Deskripsi Kelompok Hutan Rakyat Bersertifikat (KWLM) dan Hutan Rakyat
Tidak Bersertifikat (Marsudi Boga)
7
Perbandingan Stok Karbon pada Hutan Rakyat Bersertifikat dengan Hutan
Rakyat Tidak Bersertifikat
Kelayakan Finansial Pengelolaan Hutan Rakyat Bersertifikat dan Hutan
Rakyat Tidak Bersertifikat

8
11

Perbandingan Kelembagaan yang dibangun pada Hutan Rakyat Bersertifikat
dan Hutan Rakyat Tidak Bersertifikat
12
SIMPULAN DAN SARAN

18


Simpulan

18

Saran

18

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

21

RIWAYAT HIDUP

25


DAFTAR TABEL
1 Nilai BEF, Fk (C), dan kerapatan kayu (WD)
2 Potensi tegakan per hektar hutan rakyat bersertifikat (KWLM)
3 Potensi tegakan per hektar hutan rakyat tidak bersertifikat (Marsudi
Boga)
4 Nilai dugaan biomassa dan cadangan karbon hutan rakyat bersertifikat
(KWLM) dan hutan rakyat tidak bersertifikat (Marsudi Boga)
5 Analisis finansial hutan rakyat bersertifikat dan hutan rakyat tidak
bersertifikat
6 Perbandingan kelembagaan hutan rakyat bersertifikat (KWLM) dan
tidak bersertifikat (Marsudi Boga)

6
8
9
10
12
14

DAFTAR GAMBAR
1 Peta Kabupaten Kulonprogo
2 Bagan struktur organisasi hutan rakyat bersertifikat (KWLM)
3 Bagan struktur organisasi hutan rakyat tidak bersertifikat (Marsudi
Boga)
4 Alur pemasaran kayu UMHR bersertifikat (KWLM)
5 Alur pemasaran kayu UMHR tidak bersertifikat (Marsudi Boga)
6 Bagan resolusi konflik hutan rakyat bersertifikat (KWLM)

7
12
13
15
16
16

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuisioner
2 Daftar responden kelompok hutan rakyat bersertifikat (KWLM)
3 Daftar responden kelompok hutan rakyat tidak bersertifikat (Marsudi
Boga)

21
24
25

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hutan rakyat di Indonesia terus meningkat, khususnya di Pulau Jawa.
Menurut Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS)
dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) XI Departemen Kehutanan
(2012), pada tahun 2005 luas hutan rakyat di Pulau Jawa sebesar 1 568 415.63 Ha,
dan pada tahun 2012 telah mencapai 2 741 425 Ha. Potensi yang dihasilkan dari
hutan rakyat sebesar 21 786 505 m3, dan membantu penyediaan kebutuhan kayu
nasional yang mencapai 65 652 302 m3, mengingat produksi kayu bulat dari hutan
negara sebesar 25 642 830 m3.
Perkembangan hutan rakyat dihadapkan pada berbagai tantangan, seperti
global warming dan ekolabel yang mensyaratkan kayu-kayu memiliki sertifikat.
Berdasarkan data Kementerian Kehutanan (2012), hutan rakyat yang telah
bersertifikat sebanyak 72 Unit Manajemen Hutan Rakyat (UMHR) dengan luas 40
523 Ha, atau hanya 1.5% dari luas hutan rakyat di Jawa. Keberadaan UMHR
bersertifikat dan tidak bersertifikat menimbulkan pertanyaan, apakah UMHR
bersertifikat akan memiliki nilai lebih dibandingkan dengan UMHR tidak
bersertifikat bila ditinjau dari aspek kelestariannya. Koperasi Wana Lestari
Menoreh (KWLM) dan Kelompok Tani Marsudi Boga merupakan contoh UMHR
yang telah bersertifikat dan belum bersertifikat. Pada penelitian ini dilakukan
analisis kelestarian untuk mengetahui potensi tegakan, kelayakan usaha, dan
kemanfaatan organisasi pada kedua UMHR tersebut.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kelestarian pengelolaan
UMHR bersertifikat dan UMHR tidak bersertifikat, dengan melihat aspek ekologi
(stok karbon), ekonomi, dan kelembagaan.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kelebihan dan
kekurangan dari praktik pengelolaan hutan rakyat yang telah bersertifikat dan
hutan rakyat tidak bersertifikat.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Sertifikasi Hutan

Sertifikasi hutan pertama kali dilakukan di Indonesia pada tahun 1990
melalui program Smartwood dari Rainforest Alliance, sebuah LSM yang
bertempat di New York. Semenjak itu sertifikasi berkembang secara cepat dan
pada tahun 1999 sudah lebih dari 15 juta hektar hutan di 26 negara telah
mendapatkan sertifikasi (FSC 1999 dalam Schlaepfer dan Eliot 2000). Definisi
lain menyebutkan bahwa sertifikasi hutan merupakan sebuah instrumen kebijakan
hutan berbasis pasar yang menggunakan stick and carrot approach, yaitu tidak
hanya mendorong pengelolaan hutan lestari melalui kampanye boikot kayu (stick)
dari hutan yang tidak dikelola secara lestari, tetapi diharapkan juga menawarkan
insentif (economic carrots), yaitu akses pasar yang lebih baik dan harga premium
kepada pengelola hutan yang mampu mengelola hutannya secara lestari (Cashore
et al. 2004). Komitmen berbagai pihak untuk mewujudkan pengelolaan hutan
secara lestaripun bermunculan, sehingga memicu munculnya berbagai standar
atau ukuran kelestarian yang dituangkan ke dalam seperangkat kriteria dan
indikator. Ukuran standar kelestarian tersebut ada yang secara khusus diarahkan
untuk menilai kinerja pengelolaan hutan yang dilakukan oleh suatu Forest
Management Unit (FMU) sebagai suatu persyaratan (requirement) untuk
memperoleh sertifikat untuk memenuhi permintaan pasar ataupun yang digunakan
terbatas pada upaya untuk mendorong FMU untuk mencapai pengelolaan hutan
secara lestari.
Standar kelestarian tersebut telah banyak dikembangkan, baik oleh
lembaga pemerintah maupun non pemerintah dengan cakupan nasional, regional
maupun internasional. Setiap standar memiliki karakteristik tersendiri, namun bila
dicermati lebih jauh semuanya mengarah pada muara yang sama, yaitu
tercapainya kelestarian. Perbedaan yang ada merupakan akibat perbedaan
preferensi dari para pengembang sesuai dengan tingkat kesejahteraan, penguasaan
teknologi, dan kesadaran akan pentingnya kelestarian hutan. Beberapa lembaga
pengembang standar kelestarian yang sering dikenal dan digunakan adalah
International Timber Tropical Organization (ITTO), Forest Stewardship Council
(FSC), Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), Pan-European Forest Certification
(PEFC), Certfor Chile, CSA, MTCC, SFI dan Departemen Kehutanan (Dephut).
Dari berbagai macam skema sertifikasi hutan, yang biasa digunakan di Indonesia
adalah Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan Forest Stewardship Council (FSC).
The Forest Stewardship Council (FSC) adalah sebuah organisasi yang
independen, nirlaba, non pemerintahan yang dibentuk untuk mendukung
pengelolaan hutan-hutan dunia yang layak secara lingkungan, bermanfaat secara
sosial, dan berkesinambungan secara ekonomi (FSC 2014). Sebagai organisasi
internasional, FSC menyediakan sistem untuk akreditasi dan sertifikasi oleh pihak
ketiga yang independen secara sukarela, sehingga memungkinkan pemegang
sertifikat untuk memasarkan produk dan layanan mereka, sebagai hasil
pengelolaan hutan yang lestari secara lingkungan, sosial, dan ekonomi. FSC

3
menetapkan standar-standar berupa prinsip dan kriteria, sebagai penunjang untuk
penilaian terhadap pihak yang mengajukan untuk mendapatkan sertifikasi dan
akreditasi dari FSC. Penerbitan prinsip dan kriteria FSC dilakukan pertama kali
pada tahun 1994. Prinsip FSC adalah aturan pokok atau unsur-unsur dari
pengelolaan hutan yang layak secara lingkungan, menguntungkan secara sosial,
dan berkesinambungan secara ekonomi serta menyediakan sarana untuk
melakukan penilaian apakah suatu prinsip telah terpenuhi atau tidak (FSC 2014).
Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) merupakan organisasi berbasis
konstituen yang bergerak di bidang sertifikasi dan akreditasi kehutanan. Skema
sertifikasi LEI didesain khusus untuk konteks pengelolaan hutan di Indonesia.
Skema sertifikasi LEI memiliki fokus, komitmen, dan keberpihakan kepada
masyarakat petani hutan/adat dan segala prosesnya melibatkan pendekatan
multistakeholder yang didukung oleh NGO/LSM, masyarakat adat, pengusaha
hutan, dan pemerintah. LEI mengembangkan tiga sistem sertifikasi bagi tiga tipe
pengelolaan hutan yang ada di Indonesia, yaitu hutan alam produksi (PHAPL),
hutan tanaman (PHTL), dan hutan berbasis masyarakat atau hutan rakyat
(PHBML). LEI sebagai pengembang skema sertifikasi, memiliki kriteria dan
indikator yang merupakan instrumen untuk melakukan penilaian terhadap
pengelola hutan yang mengajukan proses sertifikasi. Kriteria dan indikator LEI
sebenarnya hampir sama dengan kriteria dan indikator yang ditetapkan FSC yaitu
seperti penilaian terhadap kelestarian fungsi produksi, kelestarian fungsi ekologi
dan kelestarian fungsi sosial (LEI 2014).

Sertifikasi Hutan Rakyat di Indonesia

Sertifikasi hutan memang sudah lama dikenal, namun sertifikasi hutan
rakyat mulai diterapkan baru pada tahun 2004. Dua skema sertifikasi yang
beroperasi di Indonesia yaitu Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan The Forest
Stewardship Council (FSC). Sejak oktober 2004 hingga November 2007, LEI dan
FSC telah mengeluarkan enam sertifikat hutan rakyat di Indonesia, yaitu di Jawa
Tengah dan Sulawesi Tenggara (Hinrichs et al. 2008). Keberadaan sertifikasi ini
menimbulkan dinamika dan polemik baik dari kelompok tani atau individu
pengusaha hutan rakyat dan kalangan pembuat kebijakan. Dari data yang
dihimpun Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) baru 72 unit manajemen yang telah
mendapatkan sertifikasi legalitas kayu dengan luasan 40 532 Ha. Luasan hutan
rakyat yang mendapatkan sertifikasi tersebut hanya 1.5% dari luas hutan rakyat
yang berada di Pulau Jawa (Kemenhut 2012).
Pro dan kontra kebijakan sertifikasi hutan ini semakin menjadi ketika
muncul kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dalam tiga tahun
terakhir. Sistem sertifikasi tersebut merupakan akibat adanya kesepakatan
perjanjian kemitraan antara Indonesia dengan Uni Eropa terkait tata kelola dan
perdagangan produk sektor kehutanan, dimana SVLK menjadi tiang pancang
perjanjian kesepakatan tersebut. Dampak dari adanya sistem sertifikasi tersebut,
bisa dilihat dari data yang dikeluarkan Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK),
dimana nilai ekspor produk kehutanan pada periode Januari hingga November

4
2013 mencapai 5.2 miliar dollar AS, sementara pada periode yang sama di tahun
2012 nilai ekspor produk kehutanan hanya tercatat 4.69 miliar dollar AS
berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS 2012). Kenaikan capaian tersebut
bisa dikatakan dampak dari adanya sistem sertifikasi yang sedang dilaksanakan
pemerintah. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009
jo. P. 68/Menhut-II/2011 jo. P.45/Menhut-II/2012 jo. P.42/Menhut-II/2013 pasal
18 ayat 5, yang mengharuskan hutan rakyat memegang sertifikat LK terhitung 31
Desember 2013. Munculnya peraturan tersebut otomatis akan membuat
terhambatnya beredarnya kayu yang berasal dari hutan rakyat non sertifikasi
untuk tujuan ekspor, karena luasan hutan milik UMHR yang belum mendapatkan
sertifikasi cukup besar.
Perdebatan masalah sertifikasi ini memunculkan adanya beberapa
penelitian mengenai perbandingan hutan rakyat sertifikasi dengan hutan rakyat
yang belum tersertifikasi, dilihat dari aspek manfaat secara finansial yang
dihasilkan. Berdasarkan (Dermawan 2012) dalam penelitiannya yang
membandingkan kontribusi pendapatan yang dihasilkan dari hutan rakyat
sertifikasi dengan hutan rakyat belum tersertifikasi, didapatkan kontribusi
pendapatan sebesar Rp 24 436 327 /ha/tahun untuk hutan rakyat tersertifikasi
(Desa Dengok Kecamatan Playen Kabupaten Gunung Kidul) dan Rp 7 155 121
/ha/tahun untuk hutan rakyat belum tersertifikasi (Desa Mekargalih Kecamatan
Cikalongkulon Kabupaten Cianjur).

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di UMHR bersertifikat Koperasi Wana Lestari
Menoreh (KWLM) dan UMHR tidak bersertifikat (Marsudi Boga), Kabupaten
Kulonprogo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian dilaksanakan pada
bulan Juni sampai Agustus 2014.

Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang dikumpulkan melalui wawancara
dengan beberapa anggota dan pengurus KWLM dan Marsudi Boga. Data primer
adalah data yang terkait dengan pengelolaan usaha hutan rakyat mencakup
keuangan, data inventarisasi tegakannya, dan data aktivitas kelompok. Selain itu
data primer juga diperoleh dari hasil observasi ke lokasi tegakan milik anggota
kelompok. Data sekunder merupakan data yang berasal dari proses studi literatur
dan sumber lain yang terkait.

5

Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis data
kualitatif berupa analisis deskriptif mengenai gambaran pengelolaan usaha.
Analisis data kuantitatif berupa pendugaan cadangan karbon dan analisis
kelayakan usaha dengan metode aliran kas berdiskonto berdasarkan kriteria
kelayakan Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BCR). Pengolahan
data dilakukan dengan menggunakan Ms. Word dan Ms. Excel.
Pendugaan Cadangan Karbon
1. Menghitung nilai volume pohon melalui persamaan geometrik
� = ��� × × �
Keterangan :
V
= Volume pohon (m3)
T
= Tinggi pohon (m)
f
= Angka bentuk = 0.6 (Krisnawati et al. 2010)
LBDS
= 1⁄4 �� (m2)
2. Menduga biomassa tegakan dengan rumus:

Biomassa = Vol × WD × BEF

Keterangan :
Vol
= Volume pohon (m3)
WD
= Wood density (g/cm3) nilai disajikan pada Tabel 1
BEF
= Biomass Expansion Factor (IPCC 2003) dengan
nilai default yaitu 1.3 untuk jenis tidak terdaftar
3. Menduga cadangan karbon berdasarkan biomasa dengan rumus:
Karbon C = Biomassa × fk C

Keterangan:
fk (C)
= Faktor konversi biomassa ke karbon 0,47 (IPCC 2006)
untuk jenis tidak terdaftar

6
Tabel 1 Nilai BEF, Fk (C), dan kerapatan kayu (WD)
Nama lokal Nama latin
WD (kg/m3) Nilai BEF
Akasia
Acacia mangium
510
1.33
Jati
Tectona grandis
670
1.46
Mahoni
Swietenia macrophylla
560
1.36
Sengon
Paraserianthes falcataria
370
1.34
Sonokeling Dalbergia latifolia
780
1.49
Sumber : Kemenhut 2013

Fk (C)
0.45
0.49
0.47
0.44
0.48

Analisis Finansial
a. Net Present Value (NPV) diperoleh melalui persamaan (Gittinger 2008)
n
Bt − Ct
NPV = ∑
1+i t
t=

Keterangan:
Bt
= Pendapatan (benefit) pada tahun ke-t
Ct
= Biaya (cost) pada tahun ke-t
i = suku bunga (discount rate) (%)
t = umur ekonomis usaha
b. Benefit Cost Ratio (BCR) diperoleh melalui persamaan (Gittinger 2008)
t

+i t
BCR =
t

t
+i

Keterangan:
Bt
= Manfaat bersih tahunan yang bernilai positif
Ct
= Manfaat bersih tahunan yang bernilai negatif
t
= tahun ke-

Penilaian Keorganisasian
Penilaian dari segi organisasi hutan rakyat baik yang bersertifikat maupun
tidak bersertifikat pada penelitian ini dilakukan dengan wawancara terhadap
masyarakat petani hutan rakyat setempat dan pengurus kelompok (kuisioner
terlampir).

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Kelompok Hutan Rakyat Bersertifikat Koperasi Wana Lestari
Menoreh (KWLM) dan Hutan Rakyat Tidak Bersertifikat (Marsudi Boga)

Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) dan Kelompok Tani Marsudi
Boga adalah sebuah perkumpulan yang bergerak dalam pengelolaan hutan rakyat
di Kabupaten Kulonprogo. Sebagai sebuah perkumpulan yang membentuk
organisasi di bidang pengelolaan hutan rakyat, KWLM adalah kelompok yang
sudah mendapatkan sertifikasi dari FSC sejak tahun 2011 dari Rainforest Alliance,
sedangkan kelompok tani Marsudi Boga belum mendapatkan sertifikasi. Wilayah
kerja KWLM mencakup Kecamatan Kalibawang, Kecamatan Samigaluh,
Kecamatan Girimulyo, dan Kecamatan Nanggulan dengan luasan 700 Ha.
Kelompok tani Marsudi Boga memiliki areal kerja di Kecamatan Sentolo
(Gambar 1). Kondisi topografi dari keempat wilayah kecamatan tersebut
merupakan daerah dataran tinggi dalam jajaran perbukitan Menoreh dengan
ketinggian antara 100 - 1000 mdpl, dengan presentase 3% ketinggian 500 mdpl. Luas hutan
rakyat yang dikelola KWLM hingga 2014 telah mencapai hampir 700 hektar,
sedangkan Marsudi Boga mencapai 9.48 hektar.

Sumber : Batas administrasi Kabupaten Kulonprogo
Gambar 1 Peta Kabupaten Kulonprogo

8
Perbandingan Stok Karbon pada Hutan Rakyat Bersertifikat dengan Hutan
Rakyat Tidak Bersertifikat

Keberadaan hutan rakyat yang dikelola oleh anggota kelompok KWLM
dan Marsudi Boga, pada dasarnya sangat bermanfaat bagi kehidupan. Manfaatnya
tidak hanya hasil kayunya saja, namun juga hasil hutan lainnya seperti satwa, jasa
lingkungan baik estetika, tata air, penghasil udara bersih dan penyerap karbon.
Serapan karbon ini akan bergantung pada besarnya biomassa per pohon dalam
setiap lahan. Menurut Whitemore (1985), umumnya karbon menyusun 45 - 50%
bahan kering dari tanaman, dan menurut Satoo dan Madgwick (1982) selain curah
hujan dan suhu yang mempengaruhi besarnya biomassa adalah parameter umur,
kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan, serta kualitas tempat tumbuh.
Besaran nilai serapan karbon yang dikandung bisa dianggap sebagai salah satu
variabel tingkat kelestarian yang telah dicapai dari pengelolaan hutan.
Hasil inventarisasi yang dilakukan di areal hutan milik anggota KWLM
diperoleh data mengenai diameter, tinggi bebas cabang dan tinggi pohon.
Berdasarkan data inventarisasi, hutan rakyat di kelompok KWLM didominasi oleh
tanaman jati, mahoni, sengon dan sonokeling baik yang ditanam pada lahan
tegalan maupun pekarangan. Umur dari tanaman tersebut bervariasi hal ini dapat
dilihat dari beragamnya diameter pohon yang ada, walaupun secara spesifik
pemilik hutan rakyat tidak bisa menyebutkan umur tanam dari jenis yang ada.
Setiap tahunnya terjadi penanaman yang dilakukan oleh setiap anggota yang
melakukan pemanenan kayu. Penanaman dan pemanenan membuat adanya
perubahan komposisi strukturnya yang ditinjau dari segi kerapatan pohon per
hektar dan volumenya tertera pada Tabel 2. Tanaman jati memiliki potensi
volume terbesar dibanding jenis lainnya yang dibudidayakan oleh anggota
KWLM yaitu sebesar 44.13 m3/ha dengan jumlah kerapatan tegakan terbesar pada
rentang diameter 11 cm hingga 20 cm yaitu 348.57 pohon/ha.
Tabel 2 Potensi Tegakan Per Hektar Hutan Rakyat Bersertifikat (KWLM)
Jenis pohon
Jati

Mahoni

Sengon

Volume
(m3/ha)
Kerapatan
(pohon/ha)
Volume
(m3/ha)
Kerapatan
(pohon/ha)
Volume
(m3/ha)
Kerapatan
(pohon/ha)

≤ 10

Diameter (cm)
11 - 20
21 - 30
31 - 40

≥ 41

5.04

26.32

2.58

4.89

5.29

287.14

348.57

15.71

8.57

5.71

0.87

2.16

2.99

1.65

0

51.67

38.33

13.33

3.33

0

0.84

2.25

6.13

0.48

1.96

60

27.14

21.43

1.43

2.86

9
Potensi volume tegakan pada areal hutan rakyat anggota Marsudi Boga
yang didapat dari data inventarisasi tertera pada Tabel 3, memiliki tingkat
dominasi tertinggi pada jenis tanaman jati dengan potensi volumenya sebesar
28.48 m3/ha dan kerapatan tertingginya pada rentang diameter 11 cm hingga 20
cm yaitu 230 pohon/ha. Jenis tanaman potensial yang memiliki potensi tinggi dari
anggota Marsudi Boga adalah sengon dengan potensi volumenya 20.12 m3/ha.
Sengon merupakan tanaman dengan daur pendek dan digemari oleh anggota
Marsudi Boga untuk dibudidayakan.
Tabel 3 Potensi Tegakan Per Hektar Hutan Rakyat Tidak Bersertifikat (Marsudi
Boga)
Jenis pohon

Diameter (cm)
11 - 20
21 - 30
31 - 40

≤ 10
≥ 41
Volume
2.14
15.64
4.36
4.95
1.39
(m3/ha)
Kerapatan
127.50
230.00
22.50
10.00
2.50
(pohon/ha)
Mahoni
Volume
0.14
0.34
0.00
0.00
0.00
(m3/ha)
Kerapatan
10
5
0
0
0
(pohon/ha)
Sengon
Volume
0.75
2.80
0.00
16.56
0.00
(m3/ha)
Kerapatan
90
50
0
20
0
(pohon/ha)
Jenis tanaman yang dibudidayakan di kedua kelompok baik KWLM
maupun Marsudi Boga merupakan jenis komersil yang biasa dibudidayakan pada
hutan rakyat di daerah lain. Perbedaan potensi volume tegakan yang dihasilkan di
kedua kelompok terjadi karena kebutuhan dari setiap kelompok. KWLM sebagai
unit usaha berbasis koperasi memiliki target produksi yang tertuang dalam Jatah
Tebangan Tahunan (JTT) perusahaan. Jenis jati dan sengon merupakan tanaman
dengan prioritas tertinggi pada pengelolaan hutan rakyat di KWLM, hal ini dapat
dilihat dari JTT KWLM 2014 untuk jati dan sengon yang berturut-turut yaitu
621.604 m3 dan 658.702 m3. Marsudi Boga sebagai unit usaha berbasis kelompok
tani memiliki anggota yang lebih cenderung ke budidaya tanaman berdaur pendek
seperti sengon dan akasia. Sengon dan Akasia merupakan tanaman dengan daur
pendek yaitu 5 tahun hingga 8 tahun. Selain itu sengon merupakan tanaman yang
mudah dalam pemeliharaannya serta bisa diterapkan pada lahan dengan pola
tanam tumpang sari. Kelompok Marsudi Boga dalam pemanenannya lebih
mengarah terhadap sistem tebang butuh para anggotanya. Dominasi kelas
diameter di kedua unit pengelola hutan rakyat baik yang bersertifikat (KWLM)
dan yang belum bersertifikat (Marsudi Boga) cenderung sama yaitu didominasi
tanaman dengan kelas umur muda yaitu di bawah 20 cm. Selain tanaman yang
tertera pada tabel 2 dan tabel 3 terdapat jenis lain yang dibudidayakan, yaitu
sonokeling pada kelompok KWLM dan akasia pada kelompok Marsudi Boga.
Jati

10
Simpanan biomassa dan karbon tegakan hutan rakyat bersertifikat dan
tidak bersertifikat
Biomassa merupakan total berat kering dari vegetasi dan dinyatakan dalam
satuan kilogram atau ton. Biomassa terbagi menjadi biomassa hidup dan mati
seperti nekromassa dan serasah, selain itu biomassa terdiri dari biomassa di atas
permukaan tanah dan bawah permukaan tanah. Pendugaan biomassa pada
penelitian ini dilakukan pada biomassa tegakan dari masing-masing kelompok
hutan rakyat atas lahannya. Pendugaan biomassa merupakan salah satu cara untuk
mengetahui kandungan karbon yang tersimpan pada hutan, mengingat karbon
menyusun 45 - 50% dari biomassa tumbuhan (Ketterings et al. 2001; Brown 1997
dalam Roesyane 2010).
Simpanan biomassa tegakan terdiri dari simpanan biomassa pohon, tiang
dan pancang. Hasil pengukuran dan perhitungan di dapat biomassa per jenis dan
total dari masing-masing lahan hutan rakyat. KWLM pengelola hutan rakyat yang
telah bersertifikat memiliki biomassa per hektarnya adalah 56.027 ton/ha,
sedangkan Marsudi Boga sebagai kelompok hutan rakyat yang tidak bersertifikat
memiliki simpanan biomassa 47.452 ton/ha. Pendekatan yang digunakan untuk
pendugaan biomassa merupakan persamaan menurut Brown (1997) yaitu
berdasarkan pendugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian
dirubah menjadi jumlah biomassa (ton/ha) menggunakan faktor nilai Biomass
Expansion Factor (BEF) dari masing-masing jenis pohon. Perbedaan yang
dihasilkan dari nilai biomassa di kedua kelompok pengelola hutan rakyat sangat
berkorelasi dengan jumlah volume yang terkandung per hektar dari kedua lahan
hutan rakyat. Tingkat kerapatan, jenis, diameter, dan tinggi pohon merupakan
komponen yang mempengaruhinya.
Tabel 4 Nilai dugaan biomassa dan cadangan karbon hutan rakyat bersertifikat
(KWLM) dan hutan rakyat tidak bersertifikat (Marsudi Boga)
KWLM
Marsudi Boga
Jenis Pohon Volume Biomassa
Karbon
Volume Biomassa
Karbon
(m3/ha) (ton/ha) (ton C/ha) (m3/ha)
(ton/ha)
(ton C/ha)
Jati
44.13
43.169
21.153
28.48
27.856
13.650
Mahoni
7.67
5.842
2.746
0.47
0.361
0.170
Sengon
11.66
5.782
2.544
20.12
9.975
4.389
Jenis lain
1.06
1.234
0.592
13.65
9.259
4.167
Jumlah
64.52
56.027
27.035
62.72
47.452
22.375
Besaran nilai biomassa akan berpengaruh terhadap karbon yang dikandung
pada suatu lahan mengingat karbon menyusun 50% biomassa tumbuhan. Nilai
karbon per hektar di kedua unit hutan rakyat seperti yang tercantum pada Tabel 3
menunjukkan, KWLM sebagai kelompok hutan rakyat bersertifikat memiliki
simpanan karbon 27.035 ton C/ha, sedangkan Marsudi Boga memiliki simpanan
karbon 22.375 ton C/ha. Penelitian lain mengenai potensi karbon menunjukkan,
seperti Asyisanti (2004) di hutan rakyat Desa Karyasari, Kabupaten Bogor
menghasilkan nilai simpanan karbon antara 15.56 - 194.97 ton C/ha dengan
tanaman pokok kayu afrika, sedangkan penelitian Aminudin (2008) di hutan
rakyat Desa Dengok, Kabupaten Gunung Kidul dengan tanaman pokok jati

11
memberikan hasil nilai simpanan karbon antara 17.33 - 49 ton C/ha. Besaran nilai
yang dihasilkan dari penelitian hutan rakyat di KWLM dan Marsudi Boga
menunjukkan nilai simpanan karbon yang masuk pada kondisi normal pada hutan
rakyat jika meninjau penelitian sebelumnya. Perbedaan nilai yang dihasilkan
merupakan pengaruh dari umur, jenis, tindak silvikultur, dan kondisi ekologi
setempat.
Kelayakan Finansial Pengelolaan Hutan Rakyat Bersertifikat dan Hutan
Rakyat Tidak Bersertifikat
Analisis finansial merupakan salah satu analisis yang digunakan untuk
memperkirakan suatu investasi layak atau tidak (Gray 1997). Analisis finansial
dilakukan untuk melihat berjalannya dari kegiatan investasi ditinjau dari sisi
individu, perseroan, atau kelompok yang berhubungan dengan proyek. Penelitian
ini melakukan analisis finansial dari sisi kelompok dengan melihat potensi
pendapatan yang dihasilkan dari per hektar lahan hutan rakyat. Analisis finansial
dilakukan terhadap dua kelompok pengelola hutan rakyat yaitu KWLM unit yang
telah bersertifikat dan Marsudi Boga sebagai kelompok yang belum bersertifikat.
Menurut Gittinger (2008) kelayakan usaha hutan rakyat di lahan areal kerja
KWLM dan Marsudi Boga dapat diketahui menggunakan Cash Flow Analysis
dengan melihat diantaranya kriteria Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost
Ratio (BCR). Tingkat suku bunga yang digunakan adalah 13%, hal ini
berdasarkan tingkat suku bunga pada saat penelitian dilaksanakan.
Komponen yang dianalisis meliputi komponen biaya dan komponen
pendapatan. KWLM sebagai unit usaha yang telah bersertifikat memiliki
komponen biaya yang lebih banyak dibanding Marsudi Boga, seperti adanya biaya
sertifikasi, operasional pemasaran, administrasi, honor karyawan, sosialisasi
penambahan kelompok, sewa kantor, inventarisasi tahunan, dan biaya lainnya.
Mengenai komponen penerimaan pada kedua unit usaha baik KWLM maupun
Marsudi Boga cenderung sama yaitu dari penjualan kayu dan tanaman pertanian
tumpang sari, perbedaannya hanya pada nilai jual kayu yang didapat anggota
KWLM yang lebih besar karena mendapatkan premium price dari adanya
program sertifikasi serta pengelolaan produk pertanian bersama kelompok. Hasil
perhitungan pada Tabel 5 menunjukkan besarnya nilai potensi yang dikandung
pada kedua hutan rakyat baik milik anggota KWLM maupun Marsudi Boga dalam
satuan hektar per tahun. Nilai NPV KWLM sebesar Rp 25 961 264 /ha/tahun
dengan BCR 3.07, sedangkan Marsudi Boga memiliki nilai NPV Rp 6 688 540
/ha/tahun dengan BCR 2.71. Penelitian di tempat lain seperti penelitian
Dermawan (2012) di hutan rakyat bersertifikat Desa Dengok Kabupaten Gunung
Kidul dan hutan rakyat tidak bersertifikat Desa Mekargalih Kabupaten Cianjur
memberikan nilai besaran kontribusi pendapatan, dimana Desa Dengok sebesar
Rp 24 436 327 /ha/tahun dengan tegakan pokok jati, Desa Mekargalih sebesar Rp
7 155 121 /ha/tahun dengan tegakan pokok sengon. Selisih yang ada menunjukkan
manfaat yang dihasilkan dari keberadaan program sertifikasi. Lepas dari manfaat
yang dihasilkan dari program sertifikasi, nilai usaha yang dihasilkan KWLM dan
Marsudi Boga tergolong dalam usaha hutan rakyat yang layak karena memiliki
nilai NPV lebih besar dari nol dan rasio BCR lebih dari satu.

12
Tabel 5 Analisis Finansial pada Hutan Rakyat bersertifikat dan Hutan Rakyat
Tidak Bersertifikat
UMHR
KWLM (sertifikasi)
Marsudi Boga (non sertifikasi)

NPV (ha/tahun)
Rp 25 961 264
Rp 6 688 540

BCR (ha/tahun)
3.07
2.71

Perbandingan Kelembagaan yang dibangun pada Hutan Rakyat
Bersertifikat dan Hutan Rakyat Tidak Bersertifikat
Kajian mengenai hutan rakyat yang berkaitan dengan pengelolaannya dan
kelembagaannya sering dijumpai, hal tersebut timbul karena umumnya hutan
rakyat tidak dikelola individu melainkan kelompok baik yang berbasis kelompok
tani, koperasi, ataupun CV, hal tersebut berlangsung karena adanya harapan pasar
yang jelas maupun ajang pembelajaran diantara pemilik anggota. KWLM
merupakan salah satu contoh kelompok pengelola hutan rakyat yang berbasis
koperasi dan telah bersertifikat lestari, sedangkan Marsudi Boga merupakan
kelompok pengelola hutan rakyat yang berbasis kelompok tani dan belum
bersertifikat. Keberadaan dan kapasitas kelompok akan sangat mempengaruhi
perkembangan kedepannya dalam keberlanjutan usaha hutan rakyat.
Ketua

Wakil ketua

Kelembagaan

Bendahara I

Sekertaris I

Bendahara II

Sekertaris II

Humas dan
Penyuluhan

Budidaya
Kayu

Produksi

Budidaya
Hasil
Pertanian

Gambar 2 Bagan struktur organisasi hutan rakyat bersertifikat (KWLM)
KWLM dan Marsudi Boga merupakan kelompok hutan rakyat yang samasama terdiri dari sekumpulan orang, memiliki struktur kepengurusan, aturan dan
tujuan menunjukkan konsep kelembagaan menurut Syahyuti (2007). Struktur
kepengurusan KWLM pada Gambar 2 dan Marsudi Boga pada Gambar 3,
memiliki pola struktur sama dan umum. Perbedaan sistem kepengurusannya
terletak pada adanya badan pengawas dan pembina untuk kelompok KWLM, serta
unit pelaksana kerja di masing-masing kelompok. KWLM memiliki beberapa unit
yang tidak ada pada kelompok Marsudi Boga yaitu unit kelembagaan, humas, dan

13
pertanian. Unit tersebut menunjukkan pengelolaan hutan rakyat di KWLM tidak
hanya fokusnya pada kayu saja, seperti unit pertanian memiliki fungsi
menampung produk pertanian anggota dan unit humas yang memiliki fungsi
mengadakan sosialisasi untuk penambahan anggota baru, serta unit kelembagaan
yang bertugas menjalin hubungan dengan lembaga mitra pendukung KWLM.
Fokus pada pengelolaan hutannya saja berlangsung pada kelompok Marsudi
Boga, hal ini dapat dilihat dari unit kerjanya, sedangkan mengenai hubungan
dengan lembaga luar lebih dipegang ketua dan wakil ketua melalui kesepakatan
bersama kelompok terlebih dahulu.
Ketua

Wakil ketua

Unit Kerja
Penanaman dan
Pembibitan

Bendahara

Sekertaris

Wakil bendahara

Wakil sekertaris

Unit Kerja
Perawatan

Unit Kerja
Pengamanan

Unit Kerja Usaha

Gambar 3 Bagan struktur organisasi hutan rakyat tidak bersertifikat
(Marsudi Boga)
Penelitian ini dilakukan untuk mengumpulkan data dan mengukur
seberapa jauh perbedaan yang terjadi antara kelompok pengelola hutan rakyat
bersertifikat dengan kelompok pengelola hutan rakyat tidak bersertifikat.
Penilaian kapasitas dan kinerja suatu kelompok dapat dilakukan, salah satunya
dengan analisis kelembagaan terhadap masing-masing kelompok pengelola hutan
rakyat. Menurut Awang et al (2000) analisis kelembagaan bisa dilakukan
menggunakan beberapa pendekatan meliputi
aspek keorganisasian,
kepemimpinan, kapasitas kelembagaan, manajemen konflik, dan kegiatan.
Perbandingan kelembagaan hutan rakyat bersertifikat dan hutan rakyat tidak
bersertifikat tercantum pada Tabel 6.

14
Tabel 6 Perbandingan kelembagaan hutan rakyat bersertifikat (KWLM) dan tidak
bersertifikat (Marsudi Boga)
Variabel lembaga
Keorganisasian

Kepemimpinan

Kapasitas Organisasi

Manajemen Konflik

Kegiatan

KWLM (sertifikasi)
Memiliki legalitas, peraturan,
struktur, kepengurusan, dan
keanggotaan
Kekuasaan tertinggi oleh
rapat anggota, peranan
pemimpin sebagai Leader
dan Entrepreneur
Memiliki
rencana
kerja
tahunan, SOP kerja, sumber
daya,
dan
jaringan
pendukung
Memiliki
mekanisme
resolusi
konflik
dan
ditegakkannya sanksi
Terjadi kontinuitas kegiatan
pengelolaan hutan, adanya
manfaat
dalam
bentuk
ekonomi, sosial, dan ekologi

Marsudi Boga
Memiliki
peraturan,
struktur, kepengurusan,
dan keanggotaan
Kekuasaan
tertinggi
melalui rapat anggota,
peranan
pemimpin
sebagai fasilitator
Memiliki sumber daya
dan jaringan pendukung
yang terbatas
Mekanisme
resolusi
konflik tidak tersedia

Kegiatan
pengelolaan
hutan berlangsung tidak
secara kontinu, kegiatan
lebih
memberikan
dampak ekologi
Keorganisasian yang baik akan memudahkan suatu organisasi mencapai
tujuan utama kelompok. Hutan rakyat dalam pengelolaannya memiliki basis yaitu
keluarga, sehingga organisasi yang terbentuk di KWLM maupun Marsudi Boga
memiliki sifat kepengurusan yaitu berlandas kekeluargaan. Keberadaan atau
eksistensi sebuah organisasi juga dipengaruhi dengan adanya legalitas, hal ini
mengingat adanya tata hukum negara, namun tidak sedikit sebuah organisasi yang
tidak berbadan hukum. KWLM sebagai unit manajemen hutan rakyat yang telah
bersertifikat memiliki badan hukum nomor: 29/BH/XV.3/2009 yang diberikan
Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah melalui Bupati
Kulonprogo. Marsudi Boga sebagai unit manajemen hutan rakyat yang belum
bersertifikat belum mendapatkan legalitas. Sebenarnya legalitas sebuah organisasi
tidak memiliki kaitan dengan program sertifikasi hutan, namun keberadaan
program tersebut yang membuat sebuah organisasi melakukan upaya legalisasi.
KWLM dan Marsudi Boga sama-sama memiliki peraturan, perbedaanya peraturan
KWLM tertuang dalam AD/ART organisasi, sedangkan Marsudi Boga lebih
bersifat aturan tidak tertulis atau berdasar kearifan lokal setempat.
Mekanisme kepengurusan di KWLM berjalan tiga tahun masa kerja, hal
ini berdasarkan AD/ART organisasi. Marsudi Boga memiliki kepengurusan yang
cenderung tetap tidak berubah. Sifat keanggotaan di kedua manajemen bersifat
terbuka dan sukarela, perbedaanya adalah adanya kewajiban pada masing-masing
kelompok, seperti KWLM mewajibkan anggotanya membayar iuran wajib
Rp 5 000 serta menghadiri rapat dan memprioritaskan koperasi untuk membeli
kayu anggota. Sedangkan Marsudi Boga mewajibkan anggotanya untuk kumpul
bulanan serta membayar iuran Rp 10 000 setiap bulannya. Untuk Marsudi Boga

15
karena kelompok tidak menampung hasil kayu, maka untuk pemasaran diserahkan
penuh kepada pemilik hutan rakyat.
Secara aspek kepemimpinan kelompok KWLM memiliki pemimpin yang
berperan sebagai manajer, hal ini terlihat dari sikap dan cara mengelola kelompok
seperti kegiatan rencana tahunan yang disusun setiap tahunnya, pembukuan,
perencanaan JTT, mediasi terhadap anggota, menjalin kerja sama baik dengan
lembaga mitra dan buyer. Sedangkan peranan pemimpin pada kelompok Marsudi
Boga lebih mengarah pada fasilitator, yaitu perantara anggota dengan instansi
pemerintah maupun lembaga lain. Melihat kapasitas organisasi kelompok dilihat
dari sumber daya dan jaringan, KWLM memiliki kemapanan seperti tersedianya
kantor dan perangkat pendukung, tenaga kerja profesional, modal, lembaga mitra,
dan Buyer selaku konsumen kayu bulat. KWLM memiliki jumlah mitra dan buyer
yang cukup banyak, diantaranya TELAPAK Bogor, YABIMA, CUKATA, PT
Rimba Partikel Indonesia, PT Vincent Sheppart, dan PT Ploss Asia. Sedangkan
Marsudi Boga memiliki keterbatasan baik dari segi sumber daya maupun jaringan,
hal ini dapat dilihat dari tidak tersedianya tenaga kerja khusus.
Kantor sekertariat Marsudi Boga berada pada aula Kadus Kaliagung, dan
untuk modal lebih ke arah mandiri pemilik hutan rakyat. Mitra dari kelompok
Marsudi Boga adalah lembaga-lembaga pemerintahan seperti Dinas Kehutanan,
Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, dan untuk buyer lebih bergantung terhadap
tengkulak baik dari Kabupaten Kulonprogo maupun luar daerah. Terdapat
perbedaan alur pemasaran antara KWLM dan Marsudi Boga, hal ini merupakan
dampak dari pengelolaan manajemen kelompok. Alur pemasaran kayu pada
anggota KWLM tertera pada Gambar 4 yaitu kayu pemanenan harus melalui
koperasi atau kelompok terlebih dahulu untuk selanjutnya didistribusikan ke
perusahaan yang telah terikat kontrak. sedangkan alur pemasaran kayu di Marsudi
Boga kayu hasil pemanenan tidak perlu melalui kelompok yang ditunjukkan
Gambar 5.

Pemanenan

Depo KWLM

Perusahaan

Gambar 4 Alur pemasaran kayu UMHR bersertifikat (KWLM)

16

Pemanenan

Sawmill, Tengkulak

Gambar 5 Alur pemasaran kayu UMHR tidak bersertifikat (Marsudi Boga)
KWLM telah memiliki mekanisme atau SOP untuk resolusi konflik. SOP
ini berisi tentang cara pencegahan dan pengawasan konflik umum oleh tim,
bentuk pengaduan, dokumentasi, investigasi, dan penyelesaian konflik tertera
pada Gambar 6. Bentuk pencegahan dan pengawasan konflik di KWLM dilakukan
dengan melakukan pemantauan sosial bulanan ke setiap unit kelompok oleh wakil
koperasi, badan pengawas dan koordinator unit. Jika terjadi sebuah konflik maka
dapat dilakukan peengaduan secara tertulis oleh anggota ataupun stakeholder
setempat dan akan mendapat nomor pengaduan dari sekertaris KWLM. Tahapan
investigasi di sini pengelompokan jenis konflik apakah internal, eksternal atau
legal. Perbedaan kategori konflik tersebut untuk menentukan pihak yang akan
terlibat dalam investigasi dan penyelesaian konflik.

Investigasi

Penyelesaian
konflik

Pengaduan
Pencegahan
dan
pengawasan

Gambar 6 Bagan resolusi konflik hutan rakyat bersertifikat (KWLM)
Kelompok Marsudi Boga tidak memiliki manajemen resolusi konflik,
karena umumnya konflik diselesaikan dengan norma-norma yang berlaku di
masyarakat setempat. Berdasarkan hasil wawancara jika terjadi konflik maka
kedua belah pihak yang berkonflik akan dipertemukan dan akan di fasilitatori oleh
pengurus kelompok Marsudi Boga. Meninjau dari keanggotaan dari kelompok
Marsudi Boga yang telah berjalan sejak tahun 1986, membuat tingkat
persaudaraan yang sangat baik di antara sesama anggota sehingga keberadaan
konflik rentan untuk terjadi.
Usaha hutan rakyat tidak bisa lepas dari kegiatan struktural pengelolaan
hutan yang melibatkan praktek silvikultur dan konsep bisnis. Beberapa variabel
penentu untuk melihat keberhasilan pengelolaan hutan rakyat bisa dilihat dari
kontinuitas kegiatan, tingkat kemanfaatan, kemandirian, dan pengembangan
kelompok. Kontinuitas kegiatan hutan rakyat yang berkaitan langsung dengan
proses sertifikasi antara lain pemetaan lahan, inventarisasi potensi, pengadaan

17
bibit, pembinaan petani, dan penjualan kayu. Kegiatan pemetaan dan inventarisasi
hutan rakyat di KWLM dilaksanakan pada awal program, sedangkan Marsudi
Boga kedua kegiatan tersebut belum dilakukan. Pengadaan bibit dan pembinaan
petani di KWLM dilakukan secara berkala, sedangkan di Marsudi Boga dilakukan
saat berlangsungnya suatu program dari dinas atau instansi pemerintah. Penjualan
kayu sertifikasi di KWLM dilakukan secara rutin dan pada tahun 2013, volume
penjualan kayu rata-rata di KWLM 53.28 m3/bulan. Sementara itu, penjualan
kayu di Marsudi Boga tidak dilakukan secara rutin dan pada tahun 2013 volume
penjualan kayu rata-rata 2.13 m3/bulan. Penelitian lain oleh Wiyono dan Silvi
(2013) di Hutan Rakyat Sertifikasi CV Dipantara Desa Katongan, Kecamatan
Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul memberikan besaran volume penjualan kayu
rata-rata 30 m3/bulan dan memberikan premium price sebesar 20 - 35% untuk
kayu sertifikasi. Hal tersebut menunjukkan adanya manfaat sistem pengelolaan
dari hutan rakyat bersertifikat.
Salah satu manfaat yang dijanjikan dengan adanya program sertifikasi
adalah premium price atau nilai tawar lebih tinggi untuk kayu sertifikasi. KWLM
memberikan premium price kepada anggota kelompok berupa selisih harga beli
kayu sertifikasi lebih tinggi dibandingkan dengan harga kayu lokal sebesar 14%
jenis jati, 21% jenis mahoni, dan 5% untuk jenis sengon. Sementara itu di Marsudi
Boga harga kayu lebih mengikuti harga pasar kayu lokal. Selain premium price,
KWLM memberikan bentuk bantuan bibit 10 batang kepada anggota untuk setiap
pohon yang dipanen dan dijual ke KWLM. Sementara itu, Marsudi Boga
mendapatkan bantuan bibit bergantung dari adanya program pemerintah. KWLM
juga memberikan Sisa Hasil Usaha (SHU) kepada para anggotanya setiap tutup
tahun atau Rapat Akhir Tahunan (RAT) sebesar 15% dari SHU KWLM bagi
anggota yang potong kayu pada tahun berjalan.
Ditinjau dari kemandirian, KWLM memiliki ketergantungan dana
terhadap mitra dan memiliki tenaga profesional dalam kepengurusannya.
Sementara itu, pendanaan Marsudi Boga tidak bergantung terhadap mitra dan
lebih bersifat pendanaan mandiri setiap anggota. Untuk perkembangan kelompok,
pada tahun 2014 ini KWLM mengalami penambahan anggota sebanyak 65 orang
sehingga juga terjadi peningkatan luas. Tingkat keselarasan yang baik diantara
sesama membuat kelompok tani Marsudi Boga bertahan lama. Keselarasan
tersebut dilandasi norma agama dan nilai-nilai kehidupan seperti nilai
kebersamaan dan nilai keteladanan. Sebagian besar mayarakat di lingkup Marsudi
Boga memeluk Islam dan dari hasil wawancara diperoleh persepsi anggota bahwa
menanam pohon merupakan salah satu bentuk amalan baik, tidak hanya
berdampak positif untuk lingkungan namun juga untuk keturunannya. Selain itu,
adanya nilai-nilai yang dianut anggota Marsudi Boga seperti latar belakang
keinginan untuk membangun kebersamaan diantara sesama dan nilai keteladanan
dari nenek moyang membuat sistem keanggotaan Marsudi Boga diwariskan secara
turun temurun. Penelitian lain mengenai kelembagaan hutan rakyat oleh Ruhimat
(2008) di Desa Ranggang, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan juga
menunjukkan adanya landasan norma agama dan sanksi, serta nilai-nilai
kehidupan seperti keteladanan, kerja keras, berhati-hati yang dianut oleh
kelompok.

18

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Tingkat kelestarian dari pengelolaan hutan rakyat bersertifikat dan tidak
bersertifikat menghasilkan kebermanfaatan yang sama baik secara ekologi,
ekonomi, dan kelembagaan. Dari sisi ekologis khususnya potensi stok karbon
hutan, UMHR yang bersertifikat (KWLM) memiliki simpanan karbon tegakan
lebih besar yaitu 27.035 ton C/ha, sedangkan yang tidak bersertifikat (Marsudi
Boga) 22.375 ton C/ha. Dari segi ekonomi kedua kelompok UMHR dapat
dikatakan layak dari segi usaha karena memiliki NPV ≥ 0 dan BCR ≥ 1, KWLM
memiliki NPV Rp 25 961 264 dan BCR 3.07, sedangkan Marsudi Boga memiliki
NPV sebesar Rp 6 688 540 dan BCR 2.71. Dari aspek kelembagaan, KWLM
memiliki kinerja profesional dalam manajemen kelompok, mitra yang luas, dan
latar belakang pengurusnya yang memiliki kemampuan dalam bidangnya.
Sedangkan kelompok tani Marsudi Boga memiliki tingkat kekeluargaan yang
lebih terjalin mengingat kearifan lokal daerah tersebut yaitu landasan nilai agama
yang kental dan nilai kemasyarakatan, dalam hal kebersamaan dan gotong royong
yang tertanam pada setiap generasi anggota secara turun temurun.

Saran
Perlu adanya perkumpulan diskusi antar sesama kelompok, baik pengelola
hutan rakyat yang telah bersertifikat maupun yang belum bersertifikat, sehingga
terjadi pembelajaran bersama mengenai kepengurusan hutan, baik dari segi
manajemen organisasi maupun pengelolaan hutan. Serta bantuan dari pemerintah
dan instansi terkait untuk memberikan penyuluhan sertifikasi hutan rakyat kepada
kelompok tani.

DAFTAR PUSTAKA
Aminudin. 2008. Kajian potensi cadangan karbon pada pengusahaan hutan rakyat
(studi kasus: hutan rakyat Dengok, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung
Kidul). [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Asyisanti. 2004. Potensi karbon di atas permukaan tanah pada hutan rakyat (studi
kasus di Desa Karyasari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). [skripsi]. Bogor (ID):
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Awang SA, Suhardi, Myrna AS, Kustomo. 2000. Kelembagaan Kehutanan
Masyarakat, Belajar dari Pengalaman. Yogyakarta (ID): Aditya Media.
[BPS] Badan Pusat Statistika. 2012. Indonesia dalam Angka [Internet]. [Waktu
pembaharuan tidak diketahui]; [diunduh 2014 Mei 21]. Tersedia pada:
http://www.bps.go.id/id/
BPKH Wilayah XI Dephut. 2012. Luas Hutan Rakyat Indonesia [Internet].[Waktu
pembaharuan tidak diketahui]; [diunduh 2014 Mei 28]. Tersedia pada:
http://Dephut.go.id

19
Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest: A
pamer. FAO Forestry Paper.
Cashore B, Auld G, Newsom D. 2004. Governing Through Markets: Forest
certification and the emergence of non-state authority. New Haven and
London (UK): Yale University Press.
Dermawan FY. 2012. Manajemen Hutan Rakyat: Perbandingan Hutan Rakyat
Bersertifikasi Lestari dengan Hutan Rakyat Belum Bersertifikasi (Studi Kasus
Hutan Rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Cianjur). [tesis].
Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada.
[FSC] Forest Stewardship Council. 2014. Standar Forest Stewardship Hasil
Harmonisasi Standar Antar Lembaga Sertifikasi FSC untuk Indonesia. FSCSTD-IDN-01-2013 Indonesia Natural, Plantations and SLIMF EN Harmonised.
Hlm 1-59.
Gittinger JP. 2008. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Mangiri K dan
Sutomo S, penerjemah. Jakarta (ID): UI-Press. Terjemahan dari: Economic
Analysis of Agriculture. Edisi ke-2.
Grant JW, Pedersen EK, Marin SL. 1997. Ecology and Natural Resource
Management: System Analysis and Simulation. Massachusetts (US): AddisonWesley Publishing Company.
Gray. 1997. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta (ID): PT Gramedia.
Hinrichs A, Muhtaman DR, Irianto N. 2008. Sertifikasi Hutan Rakyat di
Indonesia. Jakarta (ID): Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit
(GTZ).
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2003. Good Practice
Guidance for Land Use, Land-Use Change and Forestry. Penman J, Gytarsky
M, Hiraishi T, Krug T, Kruger D, Pipatti R, Buendia L, Miwa K, Ngara T,
Tanabe K, Wagner F, editor. Hayama (JP): The Institute for Global
Environmental Strategies (IGES).
[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2006. 2006 IPCC Guidelines
for National Greenhouse Gas Inventories, Agriculture, Forestry and Other
Land Use. Simon E, Leandro B, Kyoto M, Todd N, Kiyoto T, editor. Volume 4.
Hayama (JP): The Institute for Global Environmental Strategies (IGE

Dokumen yang terkait

Sistem Distribusi Benih Padi (Studi Kasus : Desa Melati II, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai)

8 69 89

Kajian Penentuan Daur dan Kelestarian Hasil Pada Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Sukabumi

0 8 83

ANALISIS DAMPAK HUTAN RAKYAT BERSERTIFIKATLEGAL DI DESA SEMOYO KECAMATAN PATUK Analisis Dampak Hutan Rakyat Bersertifikat Legal di Desa Semoyo Kecamatan Patuk Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta.

0 3 14

ANALISIS DAMPAK HUTAN RAKYAT BERSERTIFIKATLEGAL DI DESA SEMOYO KECAMATAN PATUK Analisis Dampak Hutan Rakyat Bersertifikat Legal di Desa Semoyo Kecamatan Patuk Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta.

0 2 11

KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU BAHASA INGGRIS BERSERTIFIKAT PENDIDIK Kompetensi Pedagogik Guru Bahasa Inggris Bersertifikat Pendidik Di PGRI Kabupaten Kolaka.

1 3 16

PROFIL GURU BERSERTIFIKAT PENDIDIK PROFIL GURU BERSERTIFIKAT PENDIDIK (STUDI DI SD NEGERI BENDUNGAN 1 KABUPATEN SRAGEN).

0 0 14

STUDI KOMPARATIF KEPUASAN SISWA TERHADAP MUTU LAYANAN PEMBELAJARAN PADA SEKOLAH BERSERTIFIKAT ISO DAN TIDAK BERSERTIFIKAT ISO DI KOTA CIREBON.

1 5 65

STUDI KOMPARATIF KEPUASAN SISWA TERHADAP MUTU LAYANAN PEMBELAJARAN PADA SEKOLAH BERSERTIFIKAT ISO DAN TIDAK BERSERTIFIKAT ISO DI KOTA CIREBON.

0 3 65

PERBEDAAN KINERJA GURU TAMAN KANAK-KANAK YANG BERSERTIFIKAT DAN TIDAK BERSERTIFIKAT PENDIDIK PROFESIONAL SE-KECAMATAN TURI KABUPATEN SLEMAN.

1 2 159

Analisis komporasi rasio keuangan antara perusahaan bersertifikat dan tidak bersertifikat ISO 9001

0 1 4