Metode Isolasi Terbaik dan Kadar Masoilakton Minyak Masoyi (Cryptocarya massoia) dari Berbagai Daerah di Papua

METODE ISOLASI TERBAIK DAN KADAR MASOILAKTON
MINYAK MASOYI (Cryptocarya massoia) DARI BERBAGAI
DAERAH DI PAPUA

AYUSTIYAN FUTU WIJAYA

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Metode Isolasi Terbaik
dan Kadar Masoilakton Minyak Masoyi (Cryptocarya massoia) dari Berbagai
Daerah di Papua adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015
Ayustiyan Futu Wijaya
NIM G44100079

ABSTRAK
AYUSTIYAN FUTU WIJAYA. Metode Isolasi Terbaik dan Kadar Masoilakton
Minyak Masoyi (Cryptocarya massoia) dari Berbagai Daerah di Papua.
Dibimbing oleh BUDI ARIFIN dan TUN TEDJA IRAWADI.
Kulit masoyi (Cryptocarya massoia) adalah komoditas ekspor hasil hutan
bukan kayu Indonesia yang tumbuh endemik di Papua dan Maluku. Minyak atsiri
dari kulit masoyi digunakan antara lain sebagai cita rasa es krim dan kosmetik.
Belum ada pedoman mutu dalam perdagangan minyak masoyi. Masoilakton C10
(5,6-dihidro-6-pentil-2H-piran-2-on) telah diketahui sebagai komponen kimia
utama minyak masoyi. Kadarnya berbeda-beda bergantung pada daerah asalnya
maka berpotensi dijadikan penanda kimia mutu minyak masoyi. Penelitian ini
menggunakan sampel kulit dan minyak masoyi dari beberapa daerah di Papua dan

Papua Niugini. Hasil penelitian menunjukkan penyulingan air sebagai metode
isolasi terbaik minyak masoyi, dibandingkan dengan maserasi dan penyulingan
uap, berdasarkan kadar masoilakton C10 tertinggi hasil analisis dengan
kromatografi gas-spektrometer massa. Mutu terbaik adalah minyak hasil
penyulingan air asal Bintuni berdasarkan kadar masoilakton C10 yang tertinggi
dan tidak mengandung senyawa benzil salisilat. Bobot jenis dan viskositas minyak
masoyi tidak berkorelasi dengan kadar masoilakton C10. Informasi harga
diperlukan untuk dapat mengelompokkan mutu minyak masoyi dalam
perdagangan berdasarkan kadar masoilakton C10.
Kata kunci: kromatografi gas, maserasi, penyulingan air, penyulingan uap,
spektrometer massa

ABSTRACT
AYUSTIYAN FUTU WIJAYA. The Best Isolation Method and Masoilactone
Contents of Masoyi (Cryptocarya massoia) Oil from Various Regions in Papua.
Supervised by BUDI ARIFIN dan TUN TEDJA IRAWADI.
Masoyi bark (Cryptocarya massoia) is an Indonesia’s non-wood forestry
export commodity that grows endemic in Papua and Maluku. Essential oil from
masoyi bark is used as flavor for ice cream and cosmetics. C-10 masoilactone
(5,6-dihydro-6-pentyl-2H-pyran-2-one) is known as the main chemical component

of masoyi oil. Its content varies depending on the region of origin. Therefore, it is
potential to be used as a chemical marker of masoyi oil quality. In this study, the
masoyi bark and oil samples were collected from several regions in Papua and
Papua New Guinea. The results showed that water distillation is the best isolation
method for masoyi oil, based on the highest C-10 masoilactone content measured
by using gas chromatography-mass spectrometer. The best quality is oil produced
by water distillation from Bintuni based on the highest amount of C-10
masoilactone and no benzyl salicylate. Specific gravity and viscosity were not
correlated with the C-10 masoilactone content. Pricing information is needed to
classify the quality of masoyi oil in trading, based on the C-10 masoilactone
content.
Key words: gas chromatography, maceration, mass spectrometer, steam
distillation, water distillation

METODE ISOLASI TERBAIK DAN KADAR MASOILAKTON
MINYAK MASOYI (Cryptocarya massoia) DARI BERBAGAI
DAERAH DI PAPUA

AYUSTIYAN FUTU WIJAYA


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi: Metode Isolasi Terbaik dan Kadar Masoilakton Minyak Masoyi
(Cryptocarya massoia) dari Berbagai Daerah di Papua
Nama
: Ayustiyan Futu Wijaya
NIM
: G44100079

Disetujui oleh


Budi Arifin, SSi, MSi
Pembimbing I

Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Dra Purwantiningsih Sugita, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Bismillahirrahmaanirrahiim
Segala puji dan rasa syukur ke hadirat Allah SWT penulis ucapkan atas
nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyusun dan menyelesaikan
karya ilmiah berjudul Metode Isolasi Terbaik dan Kadar Masoilakton Minyak
Masoyi (Cryptocarya massoia) dari Berbagai Daerah di Papua yang dilakukan

pada bulan Maret hingga Oktober 2014 di Laboratorium Kimia Organik dan
Kimia Fisik, Departemen Kimia, FMIPA, IPB, Bogor. Penelitian ini adalah
bagian dari kegiatan Hibah Penelitian Strategis Aplikasi “Membangun Standar
Nasional Indonesia untuk Komoditas Minyak Atsiri Masoyi dan Asap Cair Kayu”
yang didanai oleh BOPTN IPB tahun 2014 dengan ketua peneliti Prof Ir Suminar
Setiati Achmadi, PhD.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Budi Arifin dan Ibu Tun
Tedja Irawadi selaku pembimbing yang senantiasa memberikan petunjuk dan
bimbingan selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Suminar Setiati Achmadi; para laboran
(Bapak Sabur, Ibu Yenni, dan Ibu Nia); Pusat Standardisasi dan Lingkungan,
Kementerian Kehutanan; Pak Mulyono (pengusaha minyak atsiri PT Scent
Indonesia); Pak Eko (pengusaha minyak atsiri di Cianjur); serta Ibu Endah yang
telah membantu penelitian ini.
Karya tulis ini merupakan wujud penghargaan untuk Ibunda (Supriyati),
Ayahanda (Suyanto), dan Kakak (Igha Reniftasari) yang senantiasa memberikan
semangat dan doa. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Hasna, Lia,
Ferra, Sari, Beno, Nanda, Alif, Nur, Dian, Kak Mario, Kak Kurnia, Kak Mella,
Kak Anna, teman-teman peneliti di Laboratorium Kimia Organik, serta rekanrekan Activator Chemists 47 atas masukan, saran, kerja sama, dan kebersamaan
dalam menjalankan penelitian.

Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi penulis maupun bagi pembaca.
Bogor, Februari 2015
Ayustiyan Futu Wijaya

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Lingkup Kerja
Preparasi Sampel Kulit Kayu Masoyi
Ekstraksi
Penyulingan
Pengukuran Viskositas
Penentuan Bobot Jenis
Identifikasi dan Kuantifikasi Komposisi Senyawa
Rancangan Percobaan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstrak Kasar Masoyi

Hasil Penyulingan Minyak Masoyi
Identifikasi Senyawa Berdasarkan GCMS
Sifat Fisis Minyak Masoyi
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

vii
vii
1
2
2
2
3
3
3
4
4

4
5
5
5
7
10
12
13
13
13
13
28

DAFTAR GAMBAR
1

Ekstrak etanol, aseton, dan etil asetat kulit masoyi asal Jayapura dan
Nabire
2 Rendemen ekstrak aseton, etanol, dan etil asetat kulit masoyi asal
Jayapura dan Nabire

3 Struktur kimia masoilakton C10, C12, dan C14, serta analog jenuhnya
(δ-dekalakton dan δ-dodekalakton)
4 Kadar masoilakton C10 dalam ekstrak aseton, etanol, dan etil asetat
kulit masoyi asal Jayapura dan Nabire
5 Minyak masoyi hasil penyulingan air dan penyulingan uap kulit masoyi
asal Pegunungan Bintang dan Bintuni
6 Kadar minyak hasil penyulingan air dan penyulingan uap kulit masoyi
asal Pegunungan Bintang dan Bintuni
7 Kadar masoilakton C10 hasil penyulingan air, penyulingan uap, dan
maserasi (ekstrak etil asetat) kulit masoyi asal Pegunungan Bintang dan
Bintuni
8 Minyak masoyi daerah Bade, Fakfak, Jayapura, Merauke, masoyi 50%,
masoyi 70%, Papua Niugini, serta sampel lakton 95%
9 Kadar masoilakton C10 dalam minyak masoyi dari berbagai daerah
10 Struktur kimia benzil salisilat
11 Kadar benzil salisilat dalam minyak masoyi dari berbagai daerah
12 Nilai bobot jenis dan viskositas minyak masoyi dari berbagai daerah

5
6

6
7
8
8

9
10
11
11
11
12

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Persyaratan khusus kulit masoyi (SNI 7941:2013)
Diagram alir penelitian
Rendemen ekstrak kasar kulit masoyi
Sidik ragam untuk uji faktor wilayah dan pelarut terhadap rendemen
ekstrak kasar kulit masoyi
Komponen ekstrak kulit masoyi yang terdeteksi dengan GC-MS
Rendemen ekstrak etil asetat kulit masoyi
Komposisi ekstrak etil asetat kulit masoyi yang terdeteksi dengan GCMS
Rendemen minyak masoyi hasil dari berbagai metode penyulingan
Sidik ragam untuk uji faktor wilayah dan metode penyulingan terhadap
kadar minyak kulit masoyi
Komposisi minyak masoyi hasil penyulingan air dan uap yang
terdeteksi dengan GC-MS
Kromatogram GC-MS minyak masoyi hasil penyulingan air asal
Bintuni
Komposisi minyak masoyi yang terdeteksi dengan GC-MS
Bobot jenis minyak masoyi dari berbagai daerah
Viskositas minyak masoyi dari berbagai daerah

15
16
17
18
19
20
20
21
22
23
24
25
26
27

PENDAHULUAN
Hutan di Indonesia kaya akan berbagai jenis tumbuhan yang mempunyai
prospek sangat baik sebagai komoditas ekspor hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Masoyi (Cryptocarya massoia) merupakan salah satu komoditas HHBK yang
berasal dari wilayah timur Indonesia. Masoyi termasuk famili Lauraceae dan
merupakan spesies endemik di Papua dan Maluku. Bagian yang umumnya
dimanfaatkan adalah kulit kayu masoyi yang diekstraksi untuk menghasilkan
minyak (Triantoro dan Susanti 2007). Kulit masoyi dimanfaatkan oleh masyarakat
sebagai bahan makanan dan jamu (Iskandar dan Ismanto 1999), cita rasa es krim
(Mulyono 6 Agustus 2014, komunikasi pribadi), obat cacing dan kejang perut,
serta telah dikembangkan untuk industri perisa (flavor) makanan, kosmetik, dan
sebagai obat penenang (Rali et al. 2007).
Dalam perdagangan HHBK, harga lebih banyak ditentukan oleh importir.
Pihak pengumpul dan eksportir tidak memiliki daya tawar sebab belum ada
standar mutu yang jelas. Penyusunan standar mutu kulit dan minyak masoyi sudah
disarankan sejak tahun 1999 (Moestafa et al. 1999). Badan Standardisasi Nasional
(BSN) telah membuat Standar Nasional Indonesia (SNI) 7941:2013 sebagai
pedoman mutu kulit masoyi dalam perdagangan (Lampiran 1). Parameter khusus
ini berguna untuk mencegah penipuan dan perbedaan persepsi mutu dalam jualbeli kulit masoyi. Namun, standar tersebut sebagian besar masih didasarkan pada
sifat fisis kulit masoyi. Belum ada parameter penciri mutu yang bersifat kuantitatif
berupa kadar senyawa penanda kimia (chemical marker).
Moestafa et al. (1999), Rali et al. (2007), dan Triantoro dan Susanti (2007)
telah melaporkan senyawa golongan lakton yang disebut masoilakton sebagai
komponen kimia utama dalam kulit masoyi. Kandungan masoilakton ini berbedabeda menurut sumber kulit masoyi. Rali et al. (2007) melaporkan komposisi
senyawa masoilakton dalam kulit masoyi dari daerah Epa, Papua Niugini, yaitu
masoilakton C10 (5,6-dihidro-6-pentil-2H-piran-2-on) mencapai 65% dan C12
(5,6-dihidro-6-heptil-2H-piran-2-on) sebanyak 17%, terdeteksi dengan
kromatografi gas-spektrometer massa (GC-MS). Pada kayu teras terdeteksi pula
1.4% senyawa masoilakton C14 (5,6-dihidro-6-nonil-2H-piran-2-on) dan 2.5%
turunan C10 (-dekalakton).
Moestafa et al. (1999) melaporkan kadar masoilakton C10 sebesar 76% dan
C12 sebesar 12.5% pada kulit masoyi dari daerah Serui, Papua. Triantoro dan
Susanti (2007) mendapatkan masoilakton sebanyak 79% pada kayu teras bagian
pangkal dan ujung dari daerah Wasior, Papua Barat, tetapi tidak dijelaskan
komposisinya. Sementara Rachmatiah et al. [tahun terbit tidak diketahui]
mendapatkan kadar masoilakton C10 (36.76%) dan C12 (29.49%) pada kulit
masoyi dari daerah Bogor, Jawa Barat. Oleh karena itu, kadar masoilakton
berpotensi untuk dijadikan sebagai penciri kimia mutu minyak masoyi.
Masalah lain dalam proses produksi minyak masoyi ialah masih rendahnya
rendemen proses penyulingan. Masyarakat Papua lazim menyuling kulit masoyi
dengan cara penyulingan air (Moestafa et al. 1999). Dengan cara ini, Moestafa et
al. (1999) dan Rali et al. (2007) melaporkan rendemen minyak masoyi sebesar 0.7
dan 0.35%. Metode maserasi (Triantoro dan Susanti 2007) dan penyulingan uap

2
(Wahyudi 2013, Rachmatiah et al. [tahun terbit tidak diketahui]) telah digunakan
untuk meningkatkan rendemen isolat minyak atsiri.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dengan GC-MS komposisi
masoilakton pada minyak masoyi dari berbagai daerah di Papua, yang dikenal
dalam perdagangan. Selain itu, penelitian ini membandingkan efektivitas metode
maserasi dalam beberapa pelarut berbeda, penyulingan air, dan penyulingan uap
untuk menghasilkan minyak dari kulit masoyi. Efektivitas dibandingkan
berdasarkan parameter rendemen serta komposisi senyawa yang dihasilkan
dengan menggunakan GC-MS. Parameter bobot jenis dan viskositas minyak
masoyi juga dianalisis dan dikorelasikan dengan kadar masoilakton C10 untuk
mengkaji kemungkinan penggunaannya sebagai parameter mutu.

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah radas penyulingan air dan uap, viskometer
TV-10 Toki Songyo, piknometer 5 mL, dan GC-MS Shimadzu, GC-17A
ditandem dengan MS QP 5050A. Analisis GC-MS menggunakan kolom kapiler
DB-5 ms (J&W) (silika 30 m × 250 μm × 0.25 μm) dengan suhu awal kolom
50 °C dan dinaikkan hingga 290 °C dengan laju 15 °C/menit, gas pembawa
helium pada tekanan tetap 7.6411 psi, serta pangkalan data Wiley 9N. Analisis
GC-MS dilakukan di Laboratorium Forensik, Mabes Polri, Jakarta.
Bahan yang digunakan adalah kulit masoyi dari 4 daerah di Papua
(Jayapura, Nabire, Pegunungan Bintang, dan Bintuni), minyak masoyi dari 6
daerah di Papua (Bade, Fakfak, Jayapura, Merauke, 2 sampel masoyi 50 dan 70%)
dan dari Papua Niugini, serta sampel lakton 95%. Sampel diperoleh dari koleksi
Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Kementerian Kehutanan; Bapak Mulyono
(pengusaha minyak atsiri PT Scent Indonesia); Bapak Eko (pengusaha minyak
atsiri di Cianjur); serta dari pedagang besar di Jayapura. Hasil sulingan
masyarakat lokal umumnya masih bermutu rendah, maka Bapak Eko menyuling
ulang minyak tersebut kemudian difraksionasi, hingga didapatkan lakton 95%.
Informasi tentang mutu dan harga juga dikumpulkan dari pedagang.

Lingkup Kerja
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Oktober 2014, di
Laboratorium Kimia Organik dan Kimia Fisik, Departemen Kimia, FMIPA, IPB.
Bagan alir penelitian terdapat di Lampiran 2. Penelitian dilakukan dalam 3 tahap.
Pada tahap pertama, ditentukan pelarut pengekstrak terbaik dari maserasi 2 sampel
kulit masoyi berdasarkan parameter rendemen serta komposisi senyawa yang
diperoleh dengan menggunakan GC-MS. Tahap kedua adalah penggunaan pelarut
pengekstrak terbaik pada 2 sampel kulit kayu asal Papua lainnya, lalu
diidentifikasi komposisi senyawanya menggunakan GC-MS. Hasil yang diperoleh

3
dibandingkan dengan minyak masoyi yang didapat dari praktik penyulingan air
yang lazim dilakukan oleh masyarakat lokal, serta penyulingan uap.
Pada tahap ketiga, 8 sampel minyak masoyi yang diperoleh dari lokasi
berbeda di Papua dan Papua Niugini ditentukan bobot jenis dan viskositasnya,
serta diidentifikasi komposisi senyawanya menggunakan GC-MS. Sampel dari
lokasi berbeda memiliki harga yang berbeda dalam perdagangan, dan harga
diasumsikan berkorelasi dengan mutu sampel. Korelasi komposisi senyawa,
khususnya kandungan masoilakton, dengan harga diharapkan kelak dapat
dikembangkan sebagai penciri mutu yang lebih sahih untuk minyak dan juga kulit
masoyi.

Preparasi Sampel Kulit Kayu Masoyi
Kulit kayu masoyi dipotong kecil-kecil agar mudah digiling menjadi serbuk.
Serpih masoyi digiling menggunakan Willey mill hingga diperoleh serbuk
berukuran 40 60 mesh yang siap untuk diekstraksi atau disuling minyaknya.

Ekstraksi
Serbuk kulit masoyi asal Jayapura dan Nabire dimaserasi menggunakan
etanol, aseton, dan etil asetat. Ekstraksi dilakukan sebanyak 3 kali dengan nisbah
bobot serbuk dan pelarut sebesar 1:4, masing-masing selama 48 jam. Proses
ekstraksi dapat dihentikan apabila ekstrak sudah tidak berwarna. Ekstrak
kemudian dipekatkan, ditimbang bobotnya, dan dihitung rendemennya sebagai
berikut:

Penyulingan
Penyulingan Air
Sebanyak 50 g serbuk kulit masoyi dimasukkan ke dalam labu didih 2 L,
kemudian ditambahkan 300 mL akuades. Labu dirangkai dengan kondensor, lalu
dipasang di atas pemanas listrik. Penyulingan dilakukan 3 kali ulangan. Kadar
minyak atsiri yang diperoleh dihitung dengan persamaan

Penyulingan Uap
Sebanyak 50 g serbuk kulit masoyi dimasukkan ke dalam labu didih 500
mL. Kemudian 800 mL akuades dididihkan dengan cepat dalam labu didih 1 L
yang terhubung dengan labu didih pertama untuk mengalirkan uap panas

4
pengekstrak. Penyulingan dilakukan 3 kali ulangan. Kadar minyak atsiri yang
tersuling dihitung dengan persamaan

Pengukuran Viskositas
Viskositas minyak masoyi diukur menggunakan viskometer digital pada
suhu ruang. Minyak dimasukkan ke dalam tabung viskometer. Spindel ukuran 22
dipasang pada viskometer, lalu viskometer diturunkan sehingga spindel masuk ke
dalam tabung yang berisi minyak. Kecepatan viskometer diatur 100 rpm.
Viskositas diukur sebanyak 3 kali ulangan dalam satuan sentipoise (cP).

Penentuan Bobot Jenis
Piknometer 5 mL ditimbang bobot kosongnya (m1), lalu diisi penuh dengan
akuades dan ditimbang kembali bobotnya (m2). Suhu air diukur, dan bobot jenis
air pada suhu tersebut (da) dicari di dalam handbook. Kemudian piknometer diisi
penuh dengan minyak masoyi dan bobotnya dicatat (m3). Bobot jenis sampel
dihitung menggunakan persamaan berikut:

Keterangan:
d : bobot jenis minyak (g/mL)
m1 : bobot piknometer kosong (g)
m2 : bobot piknometer kosong + air (g)
m3 : bobot piknometer kosong + minyak (g)
da : bobot jenis air saat suhu tertentu (g/mL)

Identifikasi dan Kuantifikasi Komposisi Senyawa
Komponen kimia dalam ekstrak kasar kulit masoyi, minyak masoyi hasil
distilasi, dan 8 sampel minyak masoyi dari lokasi berbeda di Papua dan Papua
Niugini dianalisis dengan GC-MS. Senyawa yang teridentifikasi dalam
kromatogram dipilih berdasarkan kemiripan ( 90 ) dengan pangkalan data
Wiley 9N tahun 2008 serta berdasarkan komponen dominan (% luas). Kadar
masoilakton C10 yang didapatkan lazim dianggap berkorelasi dengan mutu
minyak masoyi dalam perdagangan.

5
Rancangan Percobaan
Percobaan maserasi dan penyulingan disusun berdasarkan rancangan acak
kelompok. Percobaan maserasi disusun dari 2 faktorial (wilayah dan pelarut), 3
perlakuan (digunakan pelarut etanol, aseton, dan etil asetat) dengan 3 ulangan,
sehingga terdapat 18 satuan percobaan. Sementara percobaan penyulingan disusun
dari 2 faktorial (wilayah dan metode penyulingan), 2 perlakuan (metode
penyulingan air dan penyulingan uap) dengan 3 ulangan, sehingga terdapat 12
satuan percobaan. Rendemen ekstrak kasar hasil maserasi serta kadar minyak
masoyi hasil penyulingan direratakan untuk setiap perlakuan, lalu dianalisis
dengan uji F. Jika perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata pada hasil
pengamatan, maka dilakukan analisis uji lanjut Duncan multi range test (DMRT)
pada taraf nyata 5% menggunakan program SPSS.
Hasil analisis ekstrak kasar hasil maserasi digunakan untuk mengetahui
apakah ada beda nyata di antara wilayah dan pelarut, antarwilayah, dan
antarpelarut. Sementara hasil analisis minyak masoyi hasil penyulingan bertujuan
mengetahui apakah ada beda nyata di antara wilayah dan metode penyulingan,
antarwilayah, dan antarmetode penyulingan yang digunakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstrak Kasar Masoyi
Ekstrak kasar masoyi diperoleh dari proses maserasi dengan pelarut etanol,
aseton, dan etil asetat (Gambar 1a c). Pelarut etanol dipilih berdasarkan hasil
penelitian Triantoro dan Susanti (2007). Etanol bersifat polar, sehingga dapat
mengekstraksi senyawa polar dalam contoh. Sementara pelarut aseton dan etil
asetat dipilih berdasarkan sifatnya yang semipolar, sehingga mampu
mengekstraksi senyawa semipolar. Hal ini mengikuti kaidah like dissolves like,
yaitu zat terlarut polar akan terekstraksi pada pelarut polar, demikian pula
sebaliknya.

(a)
(b)
(c)
Gambar 1 Ekstrak etanol (a), aseton (b), dan etil asetat (c) kulit masoyi asal
Jayapura (kiri) dan Nabire (kanan)
Rendemen ekstrak etanol kulit masoyi asal Jayapura maupun Nabire lebih
tinggi dibandingkan dengan ekstrak etil asetat dan aseton (Gambar 2). Hal ini
menunjukkan bahwa lebih banyak senyawa polar yang terekstraksi dari kulit
masoyi tersebut. Lebih lanjut, rendemen ekstrak etanol dari kulit masoyi Jayapura
lebih tinggi daripada kulit masoyi Nabire (Gambar 2 dan Lampiran 3). Sejalan

6

Rendemen (%)

dengan itu, hasil uji lanjut DMRT pada taraf 5% (Lampiran 4) menunjukkan
pengaruh yang lebih besar dari pelarut etanol pada rendemen ekstraksi, sedangkan
etil asetat dan etanol sama pengaruhnya. Secara keseluruhan, faktor antarpelarut
berpengaruh pada rendemen ekstrak kasar kulit masoyi, sedangkan interaksi
wilayah dengan pelarut dan faktor antarwilayah tidak berpengaruh (Lampiran 4).
5

4.17

4

3.83

3.37

3.05

3.91 3.88

3
2
1
0
Jayapura

Nabire

Asal daerah
Gambar 2 Rendemen ekstrak aseton
asal Jayapura dan Nabire

, etanol

, dan etil asetat

kulit masoyi

Moestafa et al. (1999), Rali et al. (2007), dan Triantoro dan Susanti (2007)
melaporkan senyawa golongan lakton sebagai komponen utama dalam kulit
masoyi. Lima struktur senyawa lakton yang pernah dilaporkan adalah masoilakton
C10 (5,6-dihidro-6-pentil-2H-piran-2-on), C12 (5,6-dihidro-6-heptil-2H-piran-2on), dan C14 (5,6-dihidro-6-nonil-2H-piran-2-on), serta -dekalakton dan dodekalakton (Rali et al. 2007) (Gambar 3). Kadar lakton dalam minyak masoyi,
khususnya masoilakton C10 merupakan komponen penting bagi importir, tetapi
informasi ini umumnya belum dimiliki oleh pihak eksportir Indonesia, sebab
belum ada standar mutu untuk hal tersebut. Tiga macam standar mutu masoyi
lazim dikenal dalam perdagangan, yaitu dengan kandungan masoilakton C10
sebanyak 45 52%, 60 65%, dan 70 75%. Semakin baik mutu kulit masoyi,
kadar masoilakton C10 dalam minyak masoyi akan semakin tinggi dan harganya
pun semakin mahal (Mulyono 6 Agustus 2014, komunikasi pribadi).

O

O

n

O

O

n

(a)
(b)
Gambar 3 Struktur kimia masoilakton (a): C10 (n = 3), C12 (n = 5), C14 (n = 7),
serta analog jenuhnya (b): δ-dekalakton (n = 3), dan δ-dodekalakton (n
= 5) (Rali et al. 2007)
Kadar masoilakton C10 dalam ekstrak aseton diperoleh sebanyak 45.02%
(Jayapura) dan 67.54% (Nabire), dalam ekstrak etanol sebesar 41.88% (Jayapura)
dan 56.29% (Nabire), serta dalam ekstrak etil asetat sebesar 46.02% (Jayapura)
dan 59.90% (Nabire) berdasarkan hasil GC-MS (Gambar 4). Selain masoilakton
C10, terdeteksi pula turunan C10 (-dekalakton) pada ekstrak etanol asal Jayapura
(0.87%) dan ekstrak aseton asal Nabire (1.59%) (Lampiran 5). Dalam penelitian

7

Kadar masoilakton
C10 (%)

sebelumnya, Triantoro dan Susanti (2007) mendapatkan kadar masoilakton dari
daerah Wasior, Papua Barat jauh lebih tinggi, yaitu berkisar 79% pada kayu teras
bagian pangkal dan ujung.
80
60

67.54

56.29 59.90

45.02 41.88 46.02

40
20
0
Jayapura

Nabire

Asal daerah
Gambar 4 Kadar masoilakton C10 dalam ekstrak aseton
asetat
kulit masoyi asal Jayapura dan Nabire

, etanol

, dan etil

Kandungan masoilakton C10 tertinggi diperoleh pada ekstrak etil asetat
untuk kulit masoyi asal Jayapura dan pada ekstrak aseton untuk kulit masoyi asal
Nabire (Gambar 4). Perbedaan hasil maserasi ini menyebabkan pelarut terbaik
untuk maserasi kulit masoyi ditentukan berdasarkan rendemen. Pelarut etil asetat
secara konsisten memberikan rendemen yang lebih tinggi daripada pelarut aseton.
Oleh karena itu, pelarut etil asetat digunakan untuk maserasi 2 sampel kulit kayu
masoyi lainnya asal Pegunungan Bintang dan Bintuni. Selain masoilakton C10,
terdapat 2 senyawa yang selalu terdeteksi pada ketiga ekstrak, yaitu benzil alkohol
dan benzil benzoat (Lampiran 5).
Rendemen ekstrak etil asetat kulit masoyi asal Pegunungan Bintang (4.13%)
lebih tinggi dibandingkan dengan Bintuni (3.99%), Nabire (3.88%), dan Jayapura
(3.83%) (Lampiran 6). Hal ini menunjukkan lebih tingginya kandungan senyawa
semipolar dalam kulit masoyi asal Pegunungan Bintang. Akan tetapi, kadar
senyawa masoilakton C10 dalam ekstrak etil asetat Pegunungan Bintang dan
Bintuni berturut-turut hanya 42.08 dan 13.88%, lebih rendah dibandingkan
dengan Jayapura (46.02%) dan Nabire (59.90%). Selain itu, terdeteksi pula δdekalakton berturut-turut 1.11 dan 0.89%, sementara turunan C12 (δdodekalakton) terdeteksi hanya pada Pegunungan Bintang (0.61%) (Lampiran 7).

Hasil Penyulingan Minyak Masoyi
Moestafa et al. (1999), Rali et al. (2007), dan SNI 7941:2013 menggunakan
metode penyulingan air untuk menghasilkan minyak masoyi. Cara ini pula yang
digunakan oleh masyarakat Papua (Moestafa et al. 1999). Sebelum disuling,
sampel dipotong-potong kecil agar minyak lebih mudah menguap. Sampel
kemudian dikeringkan agar ketika disuling, minyak tidak tertahan oleh air yang
terkandung dalam bahan. Bahan yang telah dikeringkan harus disimpan dalam
ruangan yang terjaga suhu dan kelembapannya (Handa et al. 2008).
Minyak hasil penyulingan-air kulit masoyi asal Pegunungan Bintang dan
Bintuni berwarna kuning (Gambar 5a) dengan rendemen berturut-turut 0.56 dan

8
0.36%. Hasil ini masuk dalam kisaran hasil yang dilaporkan oleh Moestafa et al.
(1999) dan Rali et al. (2007), yaitu berturut-turut 0.7 dan 0.35%. Minyak masoyi
hasil penyulingan uap (Gambar 5b) juga berwarna kuning dengan kadar minyak
0.79% (Pegunungan Bintang) dan 0.13% (Bintuni). Hasil ini lebih rendah
daripada yang dilaporkan oleh Rachmatiah et al. [tahun terbit tidak diketahui],
yaitu 1.6%. Rendemen minyak masoyi yang dihasilkan dalam penelitian ini juga
masih di bawah ketentuan SNI 7941:2013, yaitu minimum 1.6% (Lampiran 1).
Pada metode penyulingan uap, serbuk kulit masoyi tidak kontak langsung dengan
air. Uap air yang terbentuk mula-mula akan mengembun dan membasahi serbuk.
Pembasahan ini terus berlangsung hingga seluruh serbuk menjadi sama suhunya
dengan titik didih air, dan uap mulai menyuling minyak dari serbuk kulit masoyi.

(a)
(b)
Gambar 5 Minyak masoyi hasil penyulingan air (a) dan penyulingan uap (b) kulit
masoyi asal Pegunungan Bintang dan Bintuni

Kadar minyak (%)

Berdasarkan hasil penyulingan uap, kadar minyak masoyi asal Pegunungan
Bintang lebih tinggi (0.79%), sedangkan Bintuni lebih rendah (0.13%)
dibandingkan dengan hasil penyulingan air (Gambar 6 dan Lampiran 8). Menurut
Wahyudi (2013), metode penyulingan uap menghasilkan kadar minyak lebih
tinggi dibandingkan dengan penyulingan air. Dalam penelitian ini, lama
penyulingan uap dan penyulingan air adalah 3 jam. Suhu dan waktu penyulingan
sangat berpengaruh terhadap rendemen dan mutu minyak atsiri (Wahyudi 2013).
Oleh karena itu, waktu, suhu, dan tekanan perlu dioptimasi untuk menghasilkan
kadar minyak yang lebih tinggi. Hasil sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan
bahwa interaksi wilayah dengan metode penyulingan, serta faktor antarwilayah
berpengaruh pada kadar minyak kulit masoyi, sedangkan faktor antarmetode
penyulingan tidak berpengaruh.
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0

0.79
0.56
0.36
0.13
Pegunungan Bintang

Bintuni

Asal daerah
Gambar 6 Kadar minyak hasil penyulingan air dan penyulingan uap
masoyi asal Pegunungan Bintang dan Bintuni

kulit

Kadar masoilakton C10 dalam minyak masoyi hasil penyulingan-air asal
Pegunungan Bintang dan Bintuni berturut-turut adalah 56.87 dan 60.10%, lebih

9
tinggi daripada hasil penyulingan uap, yaitu 44.30 dan 53.17% (Tabel). Minyak
masoyi hasil penyulingan air dan penyulingan uap asal Bintuni, serta hasil
panyulingan uap asal Pegunungan Bintang juga mengandung δ-dekalakton
masing-masing sebanyak 0.67%, 0.56%, dan 0.63% (Lampiran 10). δDodekalakton juga terdeteksi pada hasil penyulingan air dan penyulingan uap
minyak masoyi asal Bintuni, berturut-turut 0.15 dan 0.25%, serta sebanyak 0.4%
pada hasil penyulingan air asal Pegunungan Bintang.
Tabel Kadar masoilakton dalam minyak masoyi hasil penyulingan
Penyulingan air

Penyulingan uap

Senyawa
PB
Masoilakton C10 (%)
Masoilakton C12 (%)
Masoilakton C14 (%)
δ-Dekalakton (%)
δ-Dodekalakton (%)

56.87
0.40

B

[1]

[2]

PB

B

[3]

60.10 76
12.5
0.67
0.15
-

65
17
-

44.30
0.63
-

53.17
0.56
0.56
0.25

36.76
29.49
0.43
-

Keterangan: PB: Pegunungan Bintang, B: Bintuni
[1]: Serui, Papua (Moestafa et al. 1999), [2]: Epa, Papua Niugini (Rali et al. 2007), [3]: Bogor,
Jawa Barat (Rachmatiah et al. [tahun terbit tidak diketahui])

Kadar masoilakton
C10 (%)

Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Moestafa et al. (1999) dan Rali et
al. (2007), kadar masoilakton hasil penyulingan air dalam penelitian ini lebih
rendah (Tabel). Akan tetapi, kadar masoilakton hasil penyulingan uap masih lebih
tinggi jika dibandingkan dengan Rachmatiah et al. [tahun terbit tidak diketahui]
(Tabel). Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa metode penyulingan
air lebih efektif untuk mendapatkan minyak masoyi dibandingkan dengan metode
maserasi dan penyulingan uap (Gambar 7), karena menghasilkan kadar
masoilakton C10 yang lebih tinggi. Oleh karena itu, metode penyulingan air
disimpulkan sebagai metode isolasi terbaik minyak atsiri dari kulit masoyi.
80
60

60.10

56.87
44.30 42.08

53.17

40
13.88

20
0
Pegunungan Bintang

Bintuni

Asal daerah
Gambar 7 Kadar masoilakton C10 hasil penyulingan air , penyulingan uap ,
dan maserasi (ekstrak etil asetat)
kulit masoyi asal Pegunungan
Bintang dan Bintuni

10
Identifikasi Senyawa Berdasarkan GC-MS
Selain 4 sampel kulit masoyi, sebanyak 7 sampel minyak masoyi (6 asal
Papua dan 1 dari Papua Niugini), serta sampel lakton 95% (Gambar 8a h) juga
diidentifikasi komposisi senyawanya menggunakan GC-MS. Minyak masoyi hasil
penyulingan air asal Bintuni paling tinggi kadar masoilakton C10-nya (60.10%)
(Gambar 9 dan Lampiran 11). Sebaliknya, kadar masoilakton C10 terendah
terkandung dalam minyak masoyi hasil penyulingan uap asal Pegunungan
Bintang, yaitu 44.30%. Istilah masoyi 50 dan 70% merujuk kadar masoilakton
sebanyak 50 dan 70% (Hastuti D 19 Desember 2014, komunikasi pribadi), tetapi
tidak dijelaskan komposisinya. Hasil yang diperoleh menunjukkan kadar
masoilakton C10 yang lebih rendah, khususnya untuk masoyi 70%, yang didapati
hanya mengandung 58.45% masoilakton C10.
Kadar masoilakton C10 dalam sampel lakton 95% jauh melebihi sampel
lainnya. Sampel ini merupakan hasil redistilasi dan fraksionasi minyak masoyi
oleh salah seorang pedagang di Cianjur. Warna minyaknya kuning jernih (8h) dan
istilah lakton 95% merujuk kadar masoilakton yang mencapai 95%. Kadar
masoilakton C10 yang diperoleh pada lakton 95% mendekati nilai tersebut, yaitu
91.65% (Gambar 9). Nilai jual lakton 95% juga lebih tinggi, yaitu mencapai
US$ 700 (Wibowo E 2 Juli 2014, komunikasi pribadi). Hasil ini menunjukkan
perlunya dilakukan redistilasi dan fraksionasi pada minyak masoyi yang masih
bermutu rendah untuk meningkatkan nilai jualnya dalam perdagangan.

(a)
(b) (c)
(d)
(e)
(f)
(g) (h)
Gambar 8 Minyak masoyi daerah Bade (a), Fakfak (b), Jayapura (c), Merauke
(d), masoyi 50% (e), masoyi 70% (f), Papua Niugini (g), serta sampel
lakton 95% (h)
δ-Dekalakton terdeteksi pada minyak masoyi asal Bade (0.52%), Jayapura
(1.59%), dan Papua Niugini (1.90%), serta masoyi 50% (1.18%) dan masoyi 70%
(1.62%). δ-Dodekalakton juga terdeteksi pada minyak masoyi asal Jayapura
(0.45%), Papua Niugini (0.46%), masoyi 50% (0.62%), dan masoyi 70% (0.31%)
(Lampiran 12). Senyawa benzil salisilat (Gambar 10) terdeteksi paling tinggi pada
minyak masoyi 70% (3.21%) (Gambar 11). Keberadaan senyawa ini akan
menurunkan mutu minyak masoyi, sehingga menurunkan harga jualnya (Wibowo
E 2 Juli 2014, komunikasi pribadi). Minyak masoyi hasil penyulingan air asal
Bintuni tidak hanya mengandung masoilakton C10 paling tinggi, tetapi juga tidak
mengandung benzil salisilat. Oleh karena itu, sampel tersebut disimpulkan sebagai
yang terbaik mutunya di antara semua sampel uji.

Daerah

11

91.65

Lakton 95%
Bintuni (penyulingan air)
Masoyi 70%
PB (penyulingan air)
Fakfak
Bintuni (penyulingan uap)
Masoyi 50%
Merauke
Jayapura
Bade
Papua Niugini
PB (penyulingan uap)

60.10
58.45
56.87
55.33
53.17
48.21
45.11
44.53
44.39
44.34
44.30
0

10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Kadar Masoilakton C10 (%)
Gambar 9 Kadar masoilakton C10 dalam minyak masoyi dari berbagai daerah

OH

O

O

Gambar 10 Struktur kimia benzil salisilat

3.21

Masoyi 70%
2.80

Asal daerah

Bintuni (penyulingan uap)
2.16

Bintuni (penyulingan air)
Fakfak

0.70

Merauke

0.69
0.63

Masoyi 50%

0.47

Papua Niugini
0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

Kadar benzil salisilat (%)
Gambar 11 Kadar benzil salisilat dalam minyak masoyi dari berbagai daerah

12
Sifat Fisis Minyak Masoyi
Tujuh sampel minyak masoyi (6 asal Papua dan 1 asal Papua Niugini), serta
sampel lakton 95% dianalisis lebih lanjut sifat fisisnya, meliputi bobot jenis dan
viskositas. Keterbatasan jumlah sampel menyebabkan sampel masoyi 50 dan 70%
tidak dapat diukur bobot jenisnya. Sampel minyak masoyi hasil penyulingan juga
terlalu sedikit untuk dapat dianalisis sifat fisisnya. Hasil analisis menunjukkan
bahwa bobot jenis minyak asal Fakfak (0.9885 g/mL) lebih tinggi dibandingkan
dengan daerah lainnya (Gambar 12 dan Lampiran 13). Kisaran nilai bobot jenis
yang diperoleh adalah 0.9620 0.9885 g/mL (Lampiran 13). Menurut Ketaren
(1997), bobot jenis minyak atsiri yang berasal dari famili Lauraceae umumnya
berkisar 0.6960 1.0888 g/mL. Nilai bobot jenis yang didapat berada dalam
kisaran tersebut, sesuai dengan masoyi yang termasuk dalam famili Lauraceae dan
genus Cryptocarya (DiGeorgio 1999).
Bade

Asal daerah

Fakfak
Jayapura
Merauke
Masoyi 50%
Masoyi 70%
Papua Niugini
Lakton 95%
0

0,1

Gambar 12 Nilai bobot jenis
daerah

0,2

0,3

0,4

0,5

dan viskositas

0,6

0,7

0,8

0,9

1

minyak masoyi dari berbagai

Hasil bobot jenis tidak berkorelasi dengan nilai viskositas. Minyak masoyi
asal Jayapura memiliki nilai viskositas 0.97 cP, paling tinggi dibandingkan
dengan daerah lainnya (Gambar 12 dan Lampiran 14). Besarnya bobot jenis dan
viskositas minyak lazim dipengaruhi oleh jenis dan jumlah komponen kimia
dalam minyak. Semakin banyak komponen kimia dalam minyak dan semakin
besar bobot molekulnya, akan semakin tinggi pula bobot jenis dan viskositas
minyak tersebut (Wiyono et al. 2000).
Akan tetapi, nilai bobot jenis dan viskositas hasil penelitian ini tidak
berkorelasi dengan kadar masoilakton C10 (Gambar 9 dan 12). Bobot jenis atau
viskositas yang tinggi tidak berkorelasi dengan tingginya kadar masoilakton,
demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, kedua sifat fisis tersebut tidak dapat
dijadikan penanda mutu minyak masoyi.

13

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Minyak masoyi dari berbagai daerah di Papua dan Papua Niugini yang
digunakan dalam penelitian memiliki kadar masoilakton C10 berbeda-beda
berdasarkan hasil analisis dengan GC-MS. Mutu terbaik adalah minyak masoyi
hasil penyulingan-air asal Bintuni berdasarkan kadar masoilakton C10 yang
tertinggi (60.10%) dan tidak mengandung senyawa benzil salisilat. Berdasarkan
kadar masoilakton C10 dan rendemen, etil asetat adalah pelarut terbaik untuk
maserasi kulit masoyi. Dibandingkan dengan penyulingan uap dan maserasi,
penyulingan air merupakan metode isolasi terbaik minyak masoyi berdasarkan
kadar masoilakton C10, tetapi masih diperlukan optimasi untuk meningkatkan
rendemen.
Kadar masoilakton C10 sampel lakton 95% hasil redistilasi dan fraksionasi
minyak masoyi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sampel lainnya, sehingga
berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Sifat fisis minyak masoyi (bobot
jenis dan viskositas) tidak dapat menjadi penanda mutu karena tidak menunjukkan
korelasi dengan kadar masoilakton C10.

Saran
Informasi lebih lanjut mengenai harga diperlukan untuk dapat
mengelompokkan mutu kulit dan minyak masoyi dalam perdagangan berdasarkan
kadar masoilakton C10. Redistilasi dan fraksionasi minyak masoyi perlu diteliti
lebih lanjut untuk meningkatkan nilai jual dalam perdagangan. Optimasi waktu,
suhu, dan tekanan dalam proses penyulingan air dan uap juga diperlukan untuk
menghasilkan kadar minyak atsiri yang lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2013. Kulit masoyi. SNI 7941:2013. Jakarta
(ID): BSN.
DiGeorgio S. 1999. Bioactive components in kombucha tea, Cryptocarya massoy
(Oken) Kosterm, and Rollinia emarginata Schlecht [disertasi]. Lafayette
(US): Purdue University.
Handa SS, Khanuja SPS, Longo G, Rakesh DD. 2008. Extraction Technologies
for Medicinal and Aromatic Plants. Trieste (IT): ICS-UNIDO.
Iskandar MI, Ismanto A. 1999. Tinjauan beberapa sifat dan manfaat tumbuhan
masoyi (Massoia aromaticum Becc.). Warta Tumbuhan Obat Indones.
5(2):7-8.
Ketaren S. 1997. Minyak Atsiri Bersumber dari Daun. Bogor (ID): IPB Agro
Industri Pr.

14
Moestafa A, Hutajulu TF, Chairul. 1999. Teknologi penyulingan minyak masoyi
(Cryptocarya masoia). Warta Tumbuhan Obat Indones. 5(2):4-6.
Rali T, Wossa SW, Leach DN. 2007. Comparative chemical analysis of the
essential oil constituents in the bark, heartwood and fruits of Cryptocarya
massoy (Oken) Kosterm (Lauraceae) from Papua New Guinea. Molecules.
12:149-154.
Rachmatiah T, Murningsih T, Sari DK. Tahun terbit tidak diketahui. Uji potensi
penangkap radikal bebas dan analisis kandungan kimia minyak atsiri kulit
batang Cryptocarya massoy (Oken) Kosterm dari daerah Bogor Jawa Barat.
Triantoro RGN, Susanti CME. 2007. Kandungan bahan aktif kayu kulilawang
(Cinnamomum culilawane Bl.) dan masoyi (Cryptocaria massoia). J Ilmu &
Teknol Kayu Trop. 5(2):85-92.
Wahyudi. 2013. Buku Pegangan Hasil Hutan Bukan Kayu. Syafii W, editor.
Yogyakarta (ID): Pohon Cahaya.
Wiyono B, Hartoyo, Poedji H. 2000. Sifat dasar minyak keruing dan
kemungkinan penerapan baku mutunya. Bul Penelitian Hasil Hutan.
18(2):123-135.

15
Lampiran 1 Persyaratan khusus kulit masoyi (SNI 7941:2013)
Penggunaan
Parameter uji
Satuan
Jamu
Minyak atsiri
Panjang
cm
15
5
Lingkar luar gulungan kulit
cm
3
3
Lebar kulit masoyi
cm
5
0.5
Komposisi serbuk dan serpih
%
1
Kandungan serbuk
%
1
1
Tebal kulit
mm
4
Kadar minyak
%
1.6

16

Lampiran 2 Diagram alir penelitian
16
Masoyi

8 sampel daerah Papuaa
Kulit kayu

Minyak

Digiling
Identifikasi dan kuantifikasi
dengan GC-MS

Serbuk masoyi
(40 60 mesh)

Kromatogram

Penentuan:
1. Viskositasa
2. Bobot jenisb

2 sampelc

2 sampeld

Maserasi tahap I
(etanol, aseton, dan etil asetat)
Rendemen
Uji statistik
1. Korelasi wilayah dengan pelarut
2. Faktor wilayah, pelarut, dan ulangan

Ekstrak kasar

Rendemen

Maserasi tahap II
(Pelarut terbaik)

Penyulingane
Minyak

Ekstrak kasar

Kadar minyak

Identifikasi dan kuantifikasi
dengan GC-MS
Kromatogram

Identifikasi dan kuantifikasi
dengan GC-MS

Uji statistik

Kromatogram
Pelarut pengekstrak terbaik

1. Korelasi wilayah dengan metode penyulingan
2. Faktor wilayah, metode penyulingan, dan ulangan
Keterangan:
(a)
Daerah Bade, Fakfak, Jayapura, Merauke, masoyi 50 dan 70%, Papua Niugini, dan lakton 95%
(b)
Daerah Bade, Fakfak, Jayapura, Merauke, Papua Niugini, dan lakton 95%
(c)
Daerah Jayapura dan Nabire
(d)
Daerah Pegunungan Bintang dan Bintuni
(e)
Penyulingan air dan uap

17
Lampiran 3 Rendemen ekstrak kasar kulit masoyi
Daerah

Pelarut

Aseton

1

Bobot
sampel
(g)
2.5069

Bobot
kosong
(g)
18.8443

Bobot
kosong
+ekstrak (g)
18.9270

Bobot
ekstrak
(g)
0.0827

2

2.5080

18.8729

18.9466

0.0737

2.94

3

2.5082

19.2794

19.3523

0.0729

2.91

Ulangan

Rendemen
(%)

Rerata

Jayapura

Etanol

3.05

1

2.5057

18.8823

18.9679

0.0856

3.42

2

2.5010

19.2572

19.3624

0.1052

4.21

3

2.5040

18.8050

18.9271

0.1221

4.88

Rerata

Etil
asetat

4.17

1

2.5029

19.0576

19.1619

0.1043

4.17

2

2.5030

19.2579

19.3504

0.0925

3.70

3

2.5000

19.1088

19.1991

0.0903

3.61

Rerata

Aseton

3.83

1

2.5006

19.2297

19.3148

0.0851

3.40

2

2.5000

19.2019

19.2877

0.0858

3.43

3

2.5003

19.4427

19.5244

0.0817

3.27

Rerata

Nabire

Etanol

3.37

1

2.5015

19.1445

19.2420

0.0975

3.90

2

2.5002

19.0700

19.1667

0.0967

3.87

3

2.5017

19.2004

19.2992

0.0988

3.95

Rerata

Etil
asetat

3.91

1

2.5012

18.9396

19.0475

0.1079

4.31

2

2.5020

19.1207

19.2103

0.0896

3.58

3

2.5048

18.9618

19.0556

0.0938

3.74

Rerata

Contoh perhitungan rendemen ekstrak aseton asal Jayapura (ulangan 1):
Bobot ekstrak

Rendemen (%)

3.30

3.88

18
Lampiran 4 Sidik ragam untuk uji faktor wilayah dan pelarut terhadap rendemen
ekstrak kasar kulit masoyi
Type III Sum of
Mean
Source
df
F
Sig.
Squares
Square
Intercept
246.346
1
246.346
8.786 103 0.000
F1*F2
0.253
2
0.126
0.790
0.480tn
Kelompok
0.056
2
0.028
0.175
0.842tn
F1
0.005
1
0.005
0.033
0.859tn
F2
2.275
2
1.138
7.113
0.012*
Keterangan: F1= Wilayah, F2= Pelarut
tn= tidak berpengaruh nyata, *= berpengaruh nyata pada taraf 5%

Hasil uji Duncan faktor pelarut pada ekstrak kasar kulit kayu masoyi
Subset
F2
N
1
2
Aseton
6
3.2083*
Etil asetat
6
3.8517**
Etanol
6
4.0383**
Sig.
1.000
0.438
Keterangan: *= berpengaruh nyata, **= tidak berpengaruh nyata

19
Lampiran 5 Komponen ekstrak kulit masoyi yang terdeteksi dengan GC-MS
Jayapura
No
Nama senyawa
Aseton
Etanol
Etil asetat
Rt
% area
Rt
% area
Rt
% area
1 Benzil alkohol
7.23
0.83
7.23
0.85
7.23
0.49
2 Asam asetat
8.47
1.68
3 Masoilakton C10
11.58 45.02
11.57 41.88
11.56 46.02
4 -Dekalakton
11.65
0.87
5 Benzil benzoat
13.78
1.11
13.78
1.13
13.78
1.00
6 Benzil salisilat
7 Asam palmitat
14.82
0.50
14.82
0.70
14.81
0.60
8 1-Oktadekena
15.68
0.21
15.67
0.16
9 Asam linoleat
16.25
0.25

Aseton
Rt
% area
7.38
0.52
17.43 67.54
17.69
1.59
23.82
4.59
26.03
3.56
-

Nabire
Etanol
Rt
% area
7.23
0.88
11.64
56.29
13.79
4.55
14.56
3.58
14.84
0.98
15.68
0.14
16.25
0.40

Etil asetat
Rt
% area
7.23
0.72
8.47
1.42
11.59 59.90
13.78
4.58
14.54
3.19
14.82
0.59
-

Keterangan: (-) tidak terdeteksi

19

20
Lampiran 6 Rendemen ekstrak etil asetat kulit masoyi
Daerah

1

Bobot
sampel
(g)
2.5004

2

2.5030

19.1000

19.1961

0.0961

3.84

3

2.5000

18.8941

19.0005

0.1064

4.26

Ulangan

Pegunungan
Bintang

19.0088

Bobot
kosong
+ekstrak (g)
19.1161

Bobot
ekstrak
(g)
0.1073

Bobot
kosong (g)

Rerata

Bintuni

Rendemen
(%)
4.29

4.13

1

2.5001

19.3464

19.4712

0.1248

4.99

2

2.5002

19.2408

19.3272

0.0864

3.46

3

2.5001

19.2230

19.3112

0.0882

3.53

Rerata

3.99

Contoh perhitungan rendemen ekstrak etil asetat asal Pegunungan Bintang
(ulangan 1):
Bobot ekstrak

Rendemen (%)

Lampiran 7 Komposisi ekstrak etil asetat kulit masoyi yang terdeteksi dengan
GC-MS
Pegunungan Bintang
Bintuni
No
Nama senyawa
Rt
% area
Rt
% area
1
Masoilakton C10
22.52
42.08
22.47
13.88
2
δ-Dekalakton
17.91
1.11
17.96
0.89
3
δ-Dodekalakton
22.74
0.61
4
Benzil benzoat
9.93
0.39
5
Benzil salisilat
26.29
1.79
6
Asam heksadekanoat
27.69
1.24
7
1-Oktadekena
29.97
0.30
8
Benzil alkohol
7.56
0.15
Keterangan: (-) tidak terdeteksi

21

Lampiran 8 Rendemen minyak masoyi hasil dari berbagai metode penyulingan
Metode
Penyulingan

Daerah

Pegunungan
Bintang

Ulangan

Bobot
sampel
(g)

Bobot
kosong
(g)

Bobot
kosong
+minyak
(g)

Bobot
minyak
(g)

Rendemen
(%)

1

50.0024

10.3603

10.6460

0.2857

0.57

2

50.0000

10.2264

10.5671

0.3407

0.68

3

50.0004

10.2960

10.5099

0.2139

0.43

Rerata

Air

Bintuni

0.56

1

50.0026

10.2335

10.4072

0.1737

0.35

2

50.0024

10.5851

10.7301

0.1450

0.29

3

50.0108

9.7802

9.9999

0.2197

0.44

Rerata

Pegunungan
Bintang

0.36

1

50.0016

11.1637

11.5240

0.3603

0.72

2

50.0008

11.0440

11.3999

0.3559

0.71

3

50.0052

10.1648

10.6412

0.4764

0.95

Rerata

Uap

Bintuni

0.79

1

50.0061

10.5911

10.6364

0.0453

0.09

2

50.0026

10.2119

10.3307

0.1188

0.24

3

50.0060

11.3895

11.4157

0.0262

0.05

Rerata

0.13

Contoh perhitungan rendemen minyak masoyi asal Pegunungan Bintang hasil
penyulingan air (ulangan 1):
Bobot minyak

Rendemen (%)

22
Lampiran 9
Source
Intercept
F1*F2
Kelompok
F1
F2

Sidik ragam untuk uji faktor wilayah dan metode penyulingan
terhadap kadar minyak kulit masoyi
Type III Sum of
Mean
df
F
Sig.
Squares
Square
2.539
0.163
0.005
0.563
0.000

1
1
2
1
1

2.539
0.163
0.002
0.563
0.000

1.047 103
10.328
0.153
35.623
0.000

Keterangan: F1= Wilayah, F2= Metode Penyulingan
tn= tidak berpengaruh nyata, *= berpengaruh nyata pada taraf 5%

0.001
0.018*
0.861tn
0.001*
1.000tn

23
Lampiran 10 Komposisi minyak masoyi hasil penyulingan air dan uap yang terdeteksi dengan GC-MS
Penyulingan air
Penyulingan
Pegunungan Bintang
Bintuni
Pegunungan Bintang
No
Nama senyawa
Rt
% area
Rt
% area
Rt
% area
1 Benzil alkohol
7.55
0.06
(3E,5Z)-1,3,52
10.27
0.08
10.27
0.10
Undekatriena
3 Masoilakton C10
17.96
56.87
18.10
60.10
17.92
44.30
4 δ-Dekalakton
18.20
0.67
18.06
0.63
5 δ-Dodekalakton
22.85
0.40
22.84
0.15
6 Benzil benzoat
24.09
0.04
7 Benzil salisilat
26.33
2.16
-

uap
Bintuni
Rt
% area
7.55
0.04
-

-

18.03
18.15
22.86
24.19
26.33

53.17
0.56
0.25
7.78
2.80

Keterangan: (-) tidak terdeteksi

23

24

24

24

Lampiran 11 Kromatogram GC-MS minyak masoyi hasil penyulingan air asal Bintuni
2 .8 e + 0 7
1 8 .0 9
2 .6 e + 0 7
2 .4 e + 0 7

Kelimpahan

2 .2 e + 0 7
2e+07
2 2 .7 0
1 .8 e + 0 7
2 4 .2 0

1 .6 e + 0 7
1 .4 e + 0 7
1 .2 e + 0 7
1e+07
8000000

2 6 .3 3
6000000
4000000
2000000
7 .5 5
5 .0 0

1 8 .2 0
1 6 .8 0
2 21 2. 6. 07 5
2 2 .2 1
1 4 . 5 21 6 . 2 8
21.9.0202
00
122.121511.1.91..24.552793224 . 8 4
91 .08.52 7 1 2 . 4 8
1 15 6. 1
9. 479 4. 11188811..996722..0122
1 0 .0 0

1 5 .0 0

2 0 .0 0

2 6 .8 6
2 6 .4 3
2 6 .25 78 . 6 6 2 93. 70 1. 45 73
2 5 .0 0

3 0 .0 0

3 5 .0 0

Waktu retensi

-->

Senyawa
Benzil alkohol
Masoilakton C10
δ-Dekalakton
δ-Dodekalakton
Benzil salisilat

Rt (menit)
7.55
18.10
18.20
22.84
26.33

% area
0.06
60.10
0.67
0.15
2.16

Kemiripan (%)
97
90
94
86
91

25
Lampiran 12 Komposisi minyak masoyi yang terdeteksi dengan GC-MS
No

Senyawa

Bade

Fakfak

Jayapura

Merauke

Masoyi 50%

Masoyi 70%

Papua Niugini

Lakton 95%

Rt

% area

Rt

% area

Rt

% area

Rt

% area

Rt

% area

Rt

% area

Rt

% area

Rt

% area

10.53

0.26

-

-

10.52

0.30

10.52

0.29

-

-

-

-

10.52

0.49

-

-

15.02

44.39

15.05

55.33

15.02

44.53

15.12

45.11

15.04

48.21

15.08

58.45

15.02

44.34

15.20

91.65

2

(3E,5Z)-1,3,5Undekatriena
Masoilakton C10

3

δ-Dekalakton

15.08

0.52

-

-

15.08

1.59

-

-

15.11

1.18

15.14

1.62

15.09

1.90

-

-

4

Benzil benzoat

18.20

0.65

18.19

2.94

18.23

8.90

18.27

6.41

18.20

2.99

18.21

6.71

18.21

6.08

18.17

0.77

5

δ-Dodekalakton

-

-

-

-

17.53

0.45

-

-

17.56

0.62

17.50

0.31

17.53

0.46

-

-

6

Ilagen

-

-

13.43

0.14

13.43

0.17

13.42

0.09

-

-

-

-

13.43

0.15

-

-

7

γ-Kadinena

-

-

15.31

0.67

15.30

0.17

15.31

0.09

-

-

-

-

15.31

0.09

-

-

8

δ-Kadinena

-

-

-

-

15.35

0.21

15.36

0.06

-

-

15.36

0.13

15.35

0.16

-

-

9

Kadalin

-

-

17.23

0.76

17.22

0.45

-

-

-

-

-

-

17.22

0.27

-

-

10

Benzil salisilat

-

-

19.31

0.70

-

-

19.32

0.69

19.31

0.63

19.33

3.21

19.31

0.47

-

-

11

Linalool

-

-

-

-

9.32

0.29

9.32

0.19

-

-

-

-

9.32

0.21

-

-

12

α-Kopaena
(E)-15Heptadekenal

-

-

-

-

13.49

0.45

13.48

0.06

13.48

0.09

13.49

0.23

13.49

0.17

-

-

21.03

0.29

-

-

21.03

0.24

21.03

0.30

-

-

-

-

-

-

-

-

1

13

Keterangan: (-) tidak terdeteksi

25

26
Lampiran 13 Bobot jenis minyak masoyi dari berbagai daerah
Bobot piknometer (g)
da
Daerah
Ulangan
(g/mL)
m1
m2
m3
1
14.3244 19.4610 19.3088
2
14.3066 19.4562 19.3081 0.99651
Bade
3
14.3221 19.4541 19.3097
Rerata
1
143.0060 19.4640 19.4179
2
14.3007 19.4604 19.4267 0.99651
Fakfak
3
14.3220 19.4559 19.4122
Rerata
1
14.3055 19.4565 19.3472
2
14.3074 19.4548 19.3468 0.99651
Jayapura
3
14.3065 19.4523 19.3527
Rerata
1
14.3098 19.4580 19.3355
2
14.3145 19.4560 19.3337 0.99651
Merauke
3
14.3043 19.4570 19.3390
Rerata
1
14.3161 19.4532 19.2478
Papua
2
14.3021 19.4525 19.2854 0.99651
Niugini
3
14.3112 19.4524 19.2911
Rerata
1
14.3050 19.4525 19.3660
Lakton
2
14.2964 19.4508 19.3685 0.99651
95%
3
14.3070 19.4576 19.3673
Rerata
Contoh perhitungan pada daerah Papua Niugini (ulangan 1):

Penentuan bobot jenis air (suhu 27 )

d (g/mL)
0.9670
0.9679
0.9685
0.9678
0.9876
0.9900
0.9880
0.9885
0.9754
0.9756
0.9772
0.9761
0.9728
0.9728
0.9737
0.9731
0.9567
0.9642
0.9652
0.9620
0.9798
0.9806
0.9792
0.9799

27


Penentuan bobot jenis minyak
3
2

×

Lampiran 14 Viskositas minyak masoyi dari berbagai daerah
Viskositas (cP)
Daerah
Rerata (cP)
3
1
2
Bade
0.69
0.70
0.69
0.69
Fakfak
0.91
0.91
0.91
0.91
Jayapura
0.97
0.97
0.97
0.97
Merauke
0.66
0.66
0.66
0.66
Masoyi 50%
0.86
0.86
0.86
0.86
Masoyi 70%
0.83
0.83
0.84
0.83
Papua Niugini
0.72
0.72
0.72
0.72
Lakton 95%
0.69
0.69
0.69
0.69

28

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada 24 September 1992 dari ayah Suyanto dan
Ibu Supriyati. Penulis merupakan anak ke-2 dari 2 bersaudara. Penulis lulus dari
SMA Sejahtera 1 Depok pada tahun 2010 dan pada tahun yang sama diterima di
Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur masuk Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI) dan diterima di Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi
kemahasiswaan. Penulis menjadi pengurus himpunan profesi Ikatan Mahasiswa
Kimia (Imasika) IPB Departemen Eksternal tahun 2011/2012 dan 2012/2013,
pengurus Ikatan Himpunan Mahasiswa Kimia Indonesia (Ikahimki) BPP
Departemen Biokimia tahun 2012/2014, dan pengurus Paguyuban Karya Salemba
Empat IPB Departemen Eksternal tahun 2013/2014. Penulis juga aktif dalam
berbagai kepanitiaan di Imasika tahun 2011 2014 dan Ikahimki Wilayah 2 tahun
2013 2014.
Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum di berbagai mata kuliah, di
antaranya Kimia B TPB tahun 2013/2014 dan 2014/2015, Kimia Dasar 1 TPB
tahun 2014/2015, Penerapan Komputer 2014/2015, dan Kimia Polimer tahun
2014/2015. Penulis juga berkesempatan melaksanakan praktik lapangan pada
bulan Juli Agustus 2013 di Laboratorium Biologi Sel dan Jaringan Tanaman,
Balai Besar Litbang Bio