Pengertian Otonomi Daerah dan Berbagai P

Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah
biologi tentang limbah dan pemanfaatannya dengan baik.
Adapun makalah Pendidikan Kewarganegaraan tentang otonomi daerah, antara harapan
dan realisasinya ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak
lupa menyampaikan bayak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadar sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik
dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada
dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin member
saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah Pendidikan
Kewarganegaraan ini.
Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah ini dapat diambil hikmah dan
manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca.
Malang, Oktober 2014
Penyusun

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang
Kebijakan otonomi daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap
berbagai kewenangan yang selama 20 tahun pemerintahan Orde Baru (OB) menjalankan
mesin sentralistiknya. UU No. 5 tahun 1974 tentang pemerintahan daerah yang kemudian
disusul dengan UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa menjadi tiang utama
tegaknya sentralisasi kekuasaan OB. Semua mesin partisipasi dan prakarsa yang sebelumnya
tumbuh sebelum OB berkuasa, secara perlahan dilumpuhkan dibawah kontrol kekuasaan.
Stabilitas politik demi kelangsungan investasi ekonomi (pertumbuhan) menjadi alasan
pertama bagi OB untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari rakyat.
Otonomi daerah muncul sebagai bentuk veta comply terhadap sentralisasi yang sangat
kuat di masa orde baru. Berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru tidak membawa
perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakat
daerah.
Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat sangat tinggi sehingga
sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat itu. Di masa orde
baru semuanya bergantung ke Jakarta dan diharuskan semua meminta uang ke Jakarta. Tidak
ada perencanaan murni dari daerah karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak mencukupi.
Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan tidak bisa cepat bangkit,

menunjukan sistem pemerintahan nasional Indonesia gagal dalam mengatasi berbagai
persoalan yang ada. Ini dikarenakan aparat pemerintah pusat semua sibuk mengurusi daerah
secara berlebih-lebihan. Semua pejabat Jakarta sibuk melakukan perjalanan dan mengurusi
proyek di daerah.
Dari proyek yang ada ketika itu, ada arus balik antara 10 sampai 20 persen uang
kembali ke Jakarta dalam bentuk komisi, sogokan, penanganan proyek yang keuntungan itu
dinikmati ke Jakarta lagi. Terjadi penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan kebijakan

untuk mengambil hutang secara terus menerus. Akibat perilaku buruk aparat pemerintah
pusat ini, disinyalir terjadi kebocoran 20 sampai 30 persen dari APBN.
Akibat lebih jauh dari terlalu sibuk mengurusi proyek di daerah, membuat pejabat di
pemerintahan nasional tidak ada waktu untuk belajar tentang situasi global, tentang
international relation, international economy dan international finance. Mereka terlalu sibuk
menggunakan waktu dan energinya untuk mengurus masalah-masalah domestik yang
seharusnya bisa diurus pemerintah daerah. Akibatnya mereka tidak bisa mengatasi masalah
ketika krisis ekonomi datang dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Sentralisasi yang sangat kuat telah berdampak pada ketiadaan kreativitas daerah
karena ketiadaan kewenangan dan uang yang cukup. Semua dipusatkan di Jakarta untuk
diurus. Kebijakan ini telah mematikan kemampuan prakarsa dan daya kreativitas daerah, baik
pemerintah maupun masyarakatnya. Akibat lebih lanjut, adalah adanya ketergantungan

daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar.
Bisa dikatakan sentralisasi is absolutely bad. Dan otonomi daerah adalah jawaban
terhadap persoalan sentralisasi yang terlalu kuat di masa orde baru. Caranya adalah
mengalihkan kewenangan ke daerah. Ini berdasarkan paradigma, hakikatnya daerah sudah
ada sebelum Republik Indonesia (RI) berdiri. Jadi ketika RI dibentuk tidak ada kevakuman
pemerintah daerah.
Karena itu, ketika RI diumumkan di Jakarta, daerah-daerah mengumumkan
persetujuan dan dukungannya. Misalnya pemerintahan di Jakarta, sulawesi, sumatera dan
Kalimantan mendukung. Itu menjadi bukti bahwa pemerintahan daerah sudah ada
sebelumnya. Prinsipnya, daerah itu bukan bentukan pemerintah pusat, tapi sudah ada sebelum
RI berdiri.
Karena itu, pada dasarnya kewenangan pemerintahan itu ada pada daerah, kecuali
yang dikuatkan oleh UUD menjadi kewenangan nasional. Semua yang bukan kewenangan
pemerintah pusat, asumsinya menjadi kewenangan pemerintah daerah. Maka, tidak ada
penyerahan kewenangan dalam konteks pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Tapi,
pengakuan kewenangan.
Lahirnya reformasi tahun 1997 akibat ambruknya ekonomi Indonesia dengan
tuntutan demokratisasi telah membawa perubahan pada kehidupan masyarakat, termasuk di
dalamnya pola hubungan pusat daerah. Tahun 1999 menjadi titik awal terpenting dari sejarah
desentralisasi di Indonesia. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan

para anggota Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun

1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU No.5 Tahun 1974
yang dianggap sudah tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan
perkembangan keadaan.

Kedua Undang-Undang tersebut merupakan skema otonomi daerah yang diterapkan
mulai tahun 2001. Undang-undang ini diciptakan untuk menciptakan pola hubungan yang
demokratis antara pusat dan daerah. Undang-Undang Otonomi Daerah bertujuan untuk
memberdayakan daerah dan masyarakatnya serta mendorong daerah merealisasikan
aspirasinya dengan memberikan kewenangan yang luas yang sebelumnya tidak diberikan
ketika masa orde baru.
Paling tidak ada dua faktor yang berperan kuat dalam mendorong lahirnya kebijakan
otonomi daerah berupa UU No. 22/1999. Pertama, faktor internal yang didorong oleh
berbagai protes atas kebijakan politik sentralisme di masa lalu. Kedua, adalah faktor eksternal
yang dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap kepentingan investasi terutama untuk
efisiensi dari biaya investasi yang tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang
panjang.
Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka
aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Selama lima tahun pelaksanaan UU No.
22 tahun 1999, otonomi daerah telah menjadi kebutuhan politik yang penting untuk
memajukan kehidupan demokrasi. Bukan hanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia
sangat heterogen dari segi perkembangan politiknya, namun juga otonomi sudah menjadi alas
bagi tumbuhnya dinamika politik yang diharapkan akan mendorong lahirnya prakarsa dan
keadilan. Walaupun ada upaya kritis bahwa otonomi daerah tetap dipahami sebagai jalan
lurus bagi eksploitasi dan investasi , namun sebagai upaya membangun prakarsa ditengahtengah surutnya kemauan baik (good will) penguasa, maka otonomi daerah dapat menjadi
“jalan alternative “ bagi tumbuhnya harapan bagi kemajuan daerah.
Namun demikian, otonomi daerah juga tidak sepi dari kritik. Beberapa diantaranya
adalah; (1) masalah yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan yang ditandai dengan
korupsi “berjamaah” di berbagai kabupaten dan propinsi atas alasan apapun. Bukan hanya
modus operandinya yang berkembang, tetapi juga pelaku, jenis dan nilai yang dikorupsi juga
menunjukkan tingkatan yang lebih variatif dan intensif dari masa-masa sebelum otonomi

diberlakukan. (2) persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam untuk
kepentingan (atas nama) Pendapatan Asli Daerah (PAD). Eksploitasi sumber daya alam untuk
memperbesar PAD berlangsung secara masif ketika otonomi daerah di berlakukan. Bukan
hanya itu, alokasi kebijakan anggaran yang dipandang tidak produktif dan berkaitan langsung

dengan kepentingan rakyat juga marak diberbagai daerah. (3) persoalan yang berkaitan
dengan hubungan antara pemerintah propinsi dan kabupaten. Otonomi daerah yang berada di
kabupaten menyebabkan koordinasi dan hirarki kabupaten propinsi berada dalam stagnasi.
Akibatnya posisi dan peran pemerintah propinsi menjadi sekunder dan kurang diberi tempat
dari kabupaten dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya. Tidak hanya menyangkut
hubungan antara propinsi dan kabupaten, tetapi juga antara kabupaten dengan kabupaten.
Keterpaduan pembangunan untuk kepentingan satu kawasan seringkali macet akibat dari
egoisme lokal terhadap kepentingan pembangunan wilayah lain. Konflik lingkungan atau
sumberdaya alam yang kerap terjadi antar kabupaten adalah gambaran bagaimana otonomi
hanya dipahami oleh kabupaten secara sempit dan primordial. (4) persoalan yang
berhubungan dengan hubungan antara legislatif dan eksekutif , terutama berkaitan dengan
wewenang legislatif. Ketegangan yang seringkali terjadi antara legisltif dan eksekutif dalam
pengambilan kebijakan menyebabkan berbagai ketegangan berkembang selama pelaksanaan
otonomi. Legislatif sering dituding sebagai penyebab berkembangnya stagnasi politik
ditingkat lokal.
Pada saat rakyat Indonesia disibukkan dengan pelaksanakan Pemilu 2004,
Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan
revisi terhadap UU No. 22 tahun 1999. Dilihat dari proses penyusunan revisi, paling tidak ada
dua cacat yang dibawa oleh UU yang baru (UU No. 32 tahun 2004) yakni, proses penyusunan
yang tergesa-gesa dan tertutup ditengah-tengah rakyat sedang melakukan hajatan besar

pemilu. Padahal UU otonomi daerah adalah kebijakan yang sangat penting dan menyangkut
tentang kualitas pelaksanaan partisipasi rakyat dan pelembagaan demokrasi. Kedua, UU
tersebut disusun oleh DPR hasil pemilu 2004 dimana pada waktu penyusunan revisi tersebut
anggota DPR sudah mau demisioner. Tanggal 29 September 2004 bersamaan dengan
berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 1999-2004, Sidang Paripurna DPR
menyetujui rancangan perubahan (revisi) terhadap UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No.
32 tahun 2004.Tanggal 1 Oktober Anggota DPR baru hasil pemilu 2004 dilantik. Secara
defacto DPR pemilu 1999 sudah kehilangan relevansinya untuk menyusun dan
mengagendakan pembahasan kebijakan yang sangat krusial.

Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Diharapkan dengan adanya
kewenangan di pemerintah daerah maka akan membuat proses pembangunan, pemberdayaan
dan pelayanan yang signifikan. Prakarsa dan kreativitasnya terpacu karena telah diberikan
kewenangan untuk mengurusi daerahnya. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat tidak lagi
terlalu sibuk dengan urusan-urusan domestik. Ini agar pusat bisa lebih berkonsentrasi pada
perumusan kebijakan makro strategis serta lebih punya waktu untuk mempelajari,
memahami, merespons, berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat darinya.
B. Rumusan Masalah
Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas, adalah:
1. Apakah harapan dengan diberlakukannya otonomi daerah?

2. Bagaimana realita pelaksanaan otonomi daerah saat ini?
3. Apa yang harus ditempuh oleh pemerintah untuk mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi
Daerah?

BAB II
Pembahasan

A. Harapan-harapan dengan diberlakukannya otonomi daerah
Pertama, otonomi daerah diharapkan akan menjadikan Pemerintah bisa lebih efektif dan
efisien dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat. Kalau selama ini kehadiran pemerintah masih dinilai belum optimal dalam
menjalankan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat yang ditandai antara lain aparatnya
cenderung minta dilayani daripada melayani, kurang peka terhadap persoalan yang muncul
dan kurang cepat dalam menyelesaikan persoalan, maka dengan otonomi daerah diharapkan
pemerintah akan lebih tanggap dan cepat dalam mengatasi berbagai persoalan yang dirasakan
masyarakat serta akan bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai kebutuhannya
sebaik

mungkin


tanpa

pandang

bulu.

Kedua, otonomi daerah diharapkan akan bisa mengembangkan kehidupan yang
demokratis sampai di tingkat grassroot. Kalau selama ini dinilai bahwa masyarakat sangat
tertekan dan takut karena rezim yang represif sehingga masyarakat kurang begitu peduli dan
kurang partisipasinya dalam kegiatan politik, terutama dalam proses pengambilan keputusan
publik, maka dengan otonomi daerah yang relatif luas diharapkan Pemerintah dan masyarakat
bisa secara bersama-sama berperan aktif dalam menentukan keputusan-keputusan publik.
Masyarakat diharapkan tidak akan takut dan ragu untuk mengemukakan dan menyampaikan
aspirasinya atau melakukan kontrol melalui lembaga-lembaga politik yang ada. Pemerintah
juga sangat diharapkan untuk mau dan bisa mendengar, memperhatikan, melihat dan
menyerap aspirasi masyarakat dengan metode demokratis seperti public hearing, polling dan
lain-lain.
Ketiga, Jika pada masa pemerintahan dan pembangunan yang masih sentralistis bisa
berakibat adanya kesenjangan antara pusat dan daerah atau tidak adanya pemerataan
penghasilan di masyarakat sehingga melahirkan masyarakat miskin/pra sejahtera di daerah

yang cukup tinggi, maka dengan otonomi daerah yang relatif leluasa bisa mengatur dan
mengurus segala sesuatu yang diinginkan diharapkan ada peningkatan kesejahteraan sosial

ekonomi

masyarakat

yang

berkeadilan.

Keempat, dengan otonomi daerah diharapkan masyarakat dan Pemerintah di daerah
masing-masing mempunyai rasa tanggung jawab dan kepedulian yang lebih besar terhadap
daerahnya di segala aspek kehidupan. Dengan kata lain, akan muncul semangat “kedaerahan”
yang

kompetitif

dan


positif

dalam

konteks

Negara

Kesatuan

RI.

Harapan-harapan tersebut akan menjadi kenyataan tidak turun begitu saja datang dari langit,
tetapi sangat tergantung dari kemauan dan sikap semua komponen masyarakat dan aparatur
pemerintah. Oleh karena itu, masyarakat dan pemerintah daerah dituntut untuk kreatif
berusaha dan meningkatkan kemampuan dirinya (SDM) terus menerus secara kompetitif.
Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak
aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan Undang-Undang tersebut. Otonomi
Daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah
untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem
pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan
yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Dengan kewenangan yang didapat
daerah dari pelaksanaan Otonomi Daerah, banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah
keadaan yang tidak

menguntungkan

tersebut.

Beberapa contoh kecil keberhasilan dari berbagai daerah dalam pelaksanaan otonomi
daerah

yaitu:

1. Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat lokal dan LSM yang mendukung telah
berkerja sama dengan dewan setempat untuk merancang suatu aturan tentang pengelolaan
sumber daya kehutanan yang bersifat kemasyarakatan (community-based). Aturan itu
ditetapkan pada bulan Oktober yang memungkinkan bupati mengeluarkan izin kepada
masyarakat untuk mengelola hutan milik negara dengan cara yang berkelanjutan.
2. Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di sana dengan bantuan LSM-LSM setempat
serta para pejabat yang simpatik di wilayah provinsi baru tersebut berhasil mendapatkan
kembali

kontrol

mereka

terhadap

wilayah

perikanan

tradisional/adat

mereka.

Kedua contoh di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah dapat membawa
dampak positif bagi kemajuan suatu daerah. Kedua contoh diatas dapat terjadi berkat adanya

Otonomi

Daerah

di

daerah

terebut.

Selain membawa dampak positif bagi suatu daerah otonom, ternyata pelaksanaan Otonomi
Daerah juga dapat membawa dampak negatif. Pada tahap awal pelaksanaan Otonomi Daerah,
telah banyak mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang
kaya akan sumber daya, daerah-daerah tersebut tidak sabar ingin agar Otonomi Daerah
tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber
daya, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah
menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan
sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber
daya pada umumnya belum siap ketika Otonomi Daerah pertama kali diberlakukan.
Selain karena kurangnya kesiapan daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya dengan
berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi daerah juga dapat timbul karena
adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut.
Berbagai penyelewengan dalam pelaksanan otonomi daerah:
1. Adanya kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui
pengumpulan pendapatan daerah.
Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan
rutin operasional pemerintahan) yang besar. Hal tersebut memaksa Pemerintah Daerah
menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan atau meningkatkan
objek pajak dan retribusi. Padahal banyaknya pungutan hanya akan menambah biaya
ekonomi yang akan merugikan perkembangan ekonomi daerah. Pemerintah daerah yang
terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya hanya akam menambah beratnya
beban yang harus ditanggung warga masyarakat

.

2. Penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol
Hal ini dapat dilihat dari pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah.
Pemberian fasilitas yang berlebihan ini merupakan bukti ketidakarifan pemerintah daerah
dalam mengelola keuangan daerah.
3. Rusaknya Sumber Daya Alam
Rusaknya sumber daya alam ini disebabkan karena adanya keinginan dari Pemerintah Daerah
untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), di mana Pemerintah Daerah menguras
sumber daya alam potensial yang ada, tanpa mempertimbangkan dampak negatif/kerusakan
lingkungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Selain itu,
adanya kegiatan dari beberapa orang Bupati yang menetapkan peningkatan ekstraksi besar-

besaran sumber daya alam di daerah mereka, di mana ekstraksi ini merupakan suatu proses
yang semakin mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta sengketa terhadap tanah.
Akibatnya terjadi percepatan kerusakan hutan dan lingkungan yang berdampak pada
percepatan sumber daya air hampir di seluruh wilayah tanah air. Eksploitasi hutan dan lahan
yang tak terkendali juga telah menyebabkan hancurnya habitat dan ekosistem satwa liar yang
berdampak terhadap punahnya sebagian varietas vegetasi dan satwa langka serta mikro
organisme

yang

sangat

bermanfaat

untuk

menjaga

kelestarian

alam.

4. Bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah
Praktik korupsi di daerah tersebut terjadi pada proses pengadaan barang-barang dan jasa
daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah barang dianggarkan jauh lebih besar
dari harga barang tersebut sebenarnya di pasar.
5. Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh dari
hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget mereka.
B. Hal-Hal Yang Menyebabkan Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia Menjadi Tidak
Optimal
Penyebab tidak optimalnya pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia:
1. Lemahnya pengawasan maupun check and balances.
Kondisi

inilah

kemudian

menimbulkan

penyimpangan-penyimpangan

dan

ketidakseimbangan kekuasaan dalam pelaksanaan otonomi Daerah
2. Pemahaman terhadap Otonomi Daerah yang keliru, baik oleh aparat maupun oleh warga
masyarakat menyebabkan pelaksanaan Otonomi Daerah menyimpang dari tujuan
mewujudkan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera.
3. Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan
rutin operasional pemerintahan) yang besar, memaksa Pemda menempuh pilihan yang
membebani rakyat, misalnya memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi,
dan juga menguras sumberdaya alam yang tersedia.
4. Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan
mengambil peran, juga sering disalah artikan, seolah-olah merasa diberi kesempatan untuk
mengekspolitasi sumber daya alam dengan cara masing-masing semaunya sendiri.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang seharusnya berperan mengontrol dan
meluruskan segala kekeliruan implementasi Otonomi Daerah tidak menggunakan peran dan
fungsi yang semestinya, bahkan seringkali mereka ikut terhanyut dan berlomba mengambil

untung dari perilaku aparat dan masyarakat yang salah . Semua itu terjadi karena Otonomi
Daerah lebih banyak menampilkan nuansa kepentingan pembangunan fisik dan ekonomi.
6. Kurangnya pembangunan sumber daya manusia / Sumber Daya Manusia (moral, spiritual
intelektual dan keterampilan) yang seharusnya diprioritaskan. Sumber Daya Manusia
berkualitas ini merupakan kunci penentu dalam keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah.
Sumber

Daya

Manusia

yang

tidak/belum

berkualitas

inilah

yang

menyebabkan

penyelenggaraan Otonomi Daerah tidak berjalan sebagaimana mestinya, penuh dengan intrik,
konflik dan penyelewengan serta diwarnai oleh menonjolnya kepentingan pribadi dan
kelompok.
C.

Cara

Mengoptimalkan

Pelaksanaan

Otonomi

Daerah

Pelaksanaan Otonomi Daerah yang seharusnya membawa perubahan positif bagi daerah
otonom ternyata juga dapat membuat daerah otonom tersebut menjadi lebih terpuruk akibat
adanya berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh aparat pelaksana Otonomi Daerah
tersebut.
Penerapan Otonomi Daerah yang efektif memiliki beberapa syarat yang sekaligus merupakan
faktor

yang

sangat

berpengaruh

bagi

keberhasilan

Otonomi

Daerah,

yaitu:

1. Manusia selaku pelaksana dari Otonomi Daerah harus merupakan manusia yang
berkualitas.
2. Keuangan sebagai sumber biaya dalam pelaksanaan Otonomi Daerah harus tersedia dengan
cukup.
3. Prasarana, sarana dan peralatan harus tersedia dengan cukup dan memadai.
4.

Organisasi

dan

manajemen

harus

baik.

Dari semua faktor tersebut di atas, “faktor manusia yang baik” adalah faktor yang paling
penting karena berfungsi sebagai subjek dimana faktor yang lain bergantung pada faktor
manusia ini. Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk meningkatkan kualitas Sumber
Daya Manusia karena inilah kunci penentu dari berhasil tidaknya pelaksanaan Otonomi
Daerah.
Selain itu, untuk mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah harus ditempuh berbagai
cara,
1.

seperti:
Memperketat

mekanisme

pengawasan

kepada

Kepala

Daerah.

Hal ini dilakukan agar Kepala Daerah yang mengepalai suatu daerah otonom akan terkontrol

tindakannya sehingga Kepala Daerah tersebut tidak akan bertindak sewenang-wenang dalam
melaksanakan tugasnya tersebut. Berbagai penyelewengan yang dapat dilakukan oleh Kepala
Daerah tersebut juga dapat dihindari dengan diperketatnya mekanisme pengawasan ini.
2.

Memperketat

pengawasan

terhadap

Dewan

Perwakilan

Rakyat

Daerah.

Pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dilakukan oleh Badan
Kehormatan yang siap mengamati dan mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan
kehormatan

dalam

menjalankan

tugasnya

Dengan berbekal ketentuan yang baru tersebut, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
yang telah jelas-jelas terbukti melanggar larangan atau kode etik dapat diganti.
BAB

III

PENUTUP
A.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah
di Indonesia masih belum optimal. Walaupun di daerah Wonosobo dan Gorontalo terdapat
contoh nyata keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah, tetapi kedua daerah tersebut hanya
merupakan contoh keberhasilan kecil dari pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Secara
keseluruhan, pelaksanaan Otonomi Daerah di tempat-tempat lain di seluruh pelosok
Indonesia

masih

belum

dapat

berjalan

dengan

optimal.

Belum optimalnya pelaksanaan Otonomi Daerah antara lain disebabkan karena adanya
berbagai macam penyelewengan yang dilakukan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan

Otonomi

Daerah

di

daera-daerah

otonom.

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah,
tetapi hal yang paling penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan
Otonomi Daerah itu adalah dengan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia sebagai
pelaksana dari Otonomi Daerah tersebut. Sumber Daya Manusia yang berkualitas merupakan
subjek dimana faktor-faktor lain yang ikut menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan
Otonomi Daerah ini bergantung. Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk meningkatkan
kualitas Sumber Daya Manusia karena inilah kunci penentu dari berhasil tidaknya
pelaksanaan

Otonomi

Daerah

di

Indonesia.

B.

Saran

Dari kesimpulan yang dijabarkan diatas, maka dapat diberikan saran antara lain:
1.

Pemerintahan

penyelenggaraan

daerah
otonomi

dalam

rangka

daerah,

meningkatkan

perlu

memperhatikan

efisiensi

dan

hubungan

efektivitas
antarsusunan

pemerintahan dan antarpemerintah daerah, potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Konsep otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab tetap dijadikan acuan dengan
meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah yang paling dekat dengan masyarakat.
3. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah juga perlu
diupayakan. Kesempatan yang seluas-luasnya perlu diberikan kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dan mengambil peran. Masyarakat dapat memberikan kritik dan koreksi
membangun atas kebijakan dan tindakan aparat pemerintah yang merugikan masyarakat
dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Karena pada dasarnya Otonomi Daerah ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat juga perlu bertindak
aktif dan berperan serta dalam rangka menyukseskan pelaksanaan Otonomi Daerah.
4. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah sebaiknya
membuang jauh-jauh egonya untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompoknya
dan lebih mengedepankan kepentingan masyarakat. Pihak-pihak tersebut seharusnya tidak
bertindak

egois

dan

melaksanakan

fungsi

serta

kewajibannya

DAFTAR

dengan

baik.

PUSTAKA

A.

Perundang-undangan

Indonesia. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 32 tahun 2004. Pasal 1
butir

5.

B.

Buku

Safri Nugraha, S.H., LL.M., Ph. D., dkk. 2005. Hukum Administrasi Negara. Depok: Badan
Penerbit

Fakultas

Hukum

Universitas

C.
http://www.pu.go.id/itjen/buletin/3031otoda.htm
http://www.transparansi.or.id/otoda/perkembangan.html

Indonesia.

Internet

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0302/20/opi02.html
http://www.apkasi.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=54
http://www.pu.go.id/humas/media%20massa/juni/sp0806002.htm
http://www.geocities.com/aripsda/makalah/hubungan.htm
http://www.ditjen-otda.go.id/otonomi/detail_artikel.php?id=52
http://www.indomedia.com/bernas/012001/05/UTAMA/05uta2.htm
http://www.komisihukum.go.id/konten.php?nama=Artikel&op=detail_artikel&id=104