Kerentanan Budaya Melaut Masyarakat Pesisir Suku Bajoe akibat Variabilitas Iklim (studi kasus Desa Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan)

KERENTANAN BUDAYA MELAUT MASYARAKAT PESISIR SUKU
BAJOE AKIBAT VARIABILITAS IKLIM
(Studi kasus Desa Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan)

NURMUJAHIDAH SYAMSUDDIN

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kerentanan Budaya
Melaut Masyarakat Pesisir Suku Bajoe akibat Variabilitas Iklim (Studi kasus Desa
Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan) adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Nurmujahidah Syamsuddin
NIM G24100008

ABSTRAK
NURMUJAHIDAH SYAMSUDDIN. Kerentanan Budaya Melaut Masyarakat
Pesisir Suku Bajoe akibat Variabilitas Iklim (Studi kasus Desa Bajoe, Kabupaten
Bone, Sulawesi Selatan). Dibimbing oleh Yon Sugiarto.
Kehidupan suku Bajoe yang sepenuhnya bergantung dengan laut sangat
rentan terhadap dinamika-dinamika laut yang terjadi akibat dari variabilitas iklim
akan membuat kondisi pesisir dan laut semakin parah dan berdampak terhadap
aktivitas ekonomi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kerentanan
budaya melaut suku Bajoe akibat variabilitas iklim. Metode yang digunakan
dalam pengumpulan data ini adalah analisis hubungan unsur iklim dan unsur
oseanografi dengan hasil produksi, juga dilakukan analisis kerentanan budaya
melaut yang diperoleh dari wawancara langsung dengan 55 responden nelayan.
Dari hasil kuisioner yang terdiri dari jarak melaut, lama melaut, dan jumlah
tangkapan dibuat kelas kerentanan budaya melaut meliputi kerentanan rendah,

kerentanan sedang, dan kerentanan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa unsur iklim seperti curah hujan, suhu udara, arah dan kecepatan angin serta
unsur oseanografi seperti tinggi gelombang dan suhu permukaan laut
mempengaruhi aktivitas melaut dan jumlah tangkapan nelayan. Tahun 1996-2002
jarak dan lama melaut nelayan berada pada kerentanan rendah, sedangkan jumlah
tangkapan ikan nelayan berada pada kerentanan tinggi. Tahun 2003-2008 jarak
dan lama melaut nelayan berada pada kerentanan sedang, sedangkan jumlah
tangkapan ikan berada pada kerentanan tinggi. Tahun 2009-2013 jarak dan lama
melaut nelayan berada pada kerentanan tinggi, sedangkan jumlah tangkapan ikan
berada pada kerentanan rendah.
Kata kunci: Variabilitas Iklim, suku Bajoe, kerentanan budaya melaut

ABSTRACT
NURMUJAHIDAH SYAMSUDDIN. Shipping tradition vulnerability of Bajoe
Tribe coastal area society caused by The Climate Variability (case study Bajoe
village, Bone Regency, South Sulawesi). Supervised by Yon Sugiarto
Bajoe tribe life is entirely depend on the sea which is particularly
vulnerable to ocean dynamics that occur as a result of climate variability will
make coastal and ocean conditions getting worse and give impact on economic
activity. This study aims to determine the shipping tradition vulnerability of Bajoe

due to climate variability. The methods used to collect this data are relationship
analysis of climate and oceanographic elements with production, and analysis of
shipping tradition vulnerability obtained from interviews with 55 respondents. The
result of questionnaire consists of the distance on fishing, the length time of
fishing and the number of catches which are made into culture vulnerability
classification. Based on the survey showed that the climate element such as
precipitation, air temperature, wind direction, wind speed, and oceanographic
element such as wave height and sea surface temperature affected the activity of
fishing and fishermen catch number. The distance on fishing and the length time
of fishing are at low vulnerability, while the number of catch fishing is at high
vulnerability in 1996-2002. The distance on fishing and the length time of fishing
are at moderate vulnerability, while the number of catch fishing is at moderate
vulnerability in 2003-2008. The distance on fishing and the length time of fishing
are at high vulnerability, while the number of catch fishing is at low vulnerability
in 2009-2013.
Keywords: climate variability, Bajoe tribe, shipping tradition vulnerability

KERENTANAN BUDAYA MELAUT MASYARAKAT PESISIR
SUKU BAJOE AKIBAT VARIABILITAS IKLIM
(Studi kasus Desa Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan)


NURMUJAHIDAH SYAMSUDDIN

Skipsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Kerentanan Budaya Melaut Masyarakat Pesisir Suku Bajoe
akibat Variabilitas Iklim (studi kasus Desa Bajoe, Kabupaten
Bone, Sulawesi Selatan)
Nama
: Nurmujahidah Syamsuddin

NIM
: G24100008

Disetujui oleh

Yon Sugiarto, SSi MSc
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Tania June
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah
kerentanan, dengan judul Kerentanan Budaya Melaut Masyarakat Pesisir Suku

Bajoe terhadap Variabilitas Iklim (studi kasus Desa Bajoe, Kabupaten Bone,
Sulawesi Selatan)
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Yon Sugiarto, SSi MSc selaku
pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada bapak
Saharuddin dari sah bandar pelabuhan Bajoe yang membantu selama
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,
dan adik-adik, keluarga cendana, serta teman-teman seperjuangan GFM 47 atas
segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Nurmujahidah Syamsuddin

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiv

DAFTAR GAMBAR


xiv

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian


2

Manfaat Penelitian

2

METODE

3

Tempat dan Waktu

3

Alat dan Bahan

3

Metode Penelitian


3

Prosedur Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

5

Keadaan Umum Desa Bajoe

5

Sejarah Kehidupan Suku Bajoe

5

Variabilitas Iklim Desa Bajoe


6

Analisis Kerentanan Ekonomi

9

Tingkat Kerentanan Budaya Melaut

15

Strategi Adaptasi Nelayan Bajoe

17

SIMPULAN DAN SARAN

18

Simpulan


18

Saran

18

DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN

20

RIWAYAT HIDUP

25

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Kelas kisaran nilai kerentanan jarak melaut nelayan
Kelas kisaran nilai kerentanan lama melaut nelayan Bajoe
Kelas kisaran nilai kerentanan jumlah tangkapan nelayan Bajoe
Persentase perubahan jumlah nelayan Bajoe pada tiga kelas kerentanan

3
3
4
16

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram tahapan analisis kerentanan budaya melaut masyarakat pesisir
suku Bajoe
2 Peta Desa Bajoe dan lokasi perkampungan Bajoe (sumber:
www.maps.google.com/)
3 Pembagian wilayah Indonesia berdasarkan pembagian pola hujan
(sumber: www.bmkg.go.id/)
4 Curah hujan rata-rata Desa Bajoe tahun 1996-2013
5 Variabilitas curah hujan dan suhu rata-rata tahun 1996-2013
6 Variabilitas curah hujan dan tinggi gelombang tahun 2011-2013
7 Suhu pemukaan laut rata-rata tahun 1996-2013
8 Distribusi frekuensi angin pada musim penangkapan ikan
9 Hubungan kecepatan angin dan produksi ikan di Teluk Bone tahun
2011-2013
10 Hubungan curah hujan dan produksi ikan di perairan Teluk Bone tahun
2011-2013
11 Fluktuasi jumlah produksi ikan nelayan Bajoe pada musim penangkapan
ikan tahun 2011-2013
12 Hubungan tinggi gelombang laut dengan jumlah produksi ikan nelayan
Bajoe di Teluk Bone tahun 2011-2013
13 Jumlah dan Nilai produksi ikan nelayan Bajoe di perairan Teluk Bone
tahun 2002-2013 (tidak terdapat data untuk Tahun 2009-2010)
14 Hubungan suhu permukaan laut dengan jumlah produksi ikan nelayan
Bajoe tahun 2011-2013

4
5
6
7
7
8
8
9
10
10
11
12
13
14

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil wawancara nelayan Bajoe mengenai aktivitas melaut
2 Akumulasi jumlah produksi nelayan Bajoe berdasarkan musim
penangkapan ikan tahun 2011-2013
3 Curah hujan bulanan Desa Bajoe tahun 2011-2013
4 Suhu permukaan laut Perairan Teluk Bone tahun 2011-2013
5 Arah dan kecepatan angin perairan Teluk Bone tahun 2011-2013
6 Arah dan tinggi gelombang perairan Teluk Bone tahun 2011-2013
7 Jumlah dan produksi hasil perikanan laut nelayan Bajoe tahun 20022013

20
22
22
22
23
23
24

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki variabilitas iklim
yang tinggi. Variabilitas iklim dapat mempengaruhi berbagai aktifitas kehidupan
baik sosial, ekonomi, maupun budaya. Variabilitas iklim dapat diidentifikasi
melalui penyimpangan atau anomali unsur-unsur iklim seperti curah hujan, suhu
udara atau unsur lainnya sebagai akibat pengaruh dari berbagai faktor pengendali
iklim dalam skala global, regional maupun lokal.
Variabilitas iklim diprediksi akan mempegaruhi kehidupan masyarakat di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di berbagai belahan dunia (Klein dan
Nicholls 1999). Salah satu hal yang akan berubah adalah perubahan proses-proses
ekologi di wilayah pesisir. Perubahan yang terjadi pada aspek biologi-fisik ini
juga akan berdampak terhadap aspek sosial ekonomi masyarakat di wilayah
pesisir seperti hilangnya infrastruktur, penurunan nilai-nilai ekologi, nilai ekonomi
sumberdaya pesisir dan terganggunya sistem lingkungan dan ekonomi pesisir
(Klein dan Nicholls 1999).
Variabilitas iklim ini mempengaruhi aktivitas ekonomi, yaitu aktivitas
melaut nelayan. Iklim memiliki pengaruh yang relatif kuat terhadap ekonomi di
suatu Negara dalam skala Internasional. Berdasarkan hasil kajian model ekonomi,
tanpa intervensi manajemen, resiko iklim akan menyebabkan resiko biaya setara
dengan kerugian 5% GDP global setiap tahun. Jika memperhitungkan seluruh
resiko dan dampaknya maka total kerusakan diperkirakan bisa mencapai 20%
GDP global atau lebih. Sebaliknya, biaya untuk menurunkan pengaruh emisi gas
rumah kaca dalam rangka menghindar dari dampak perubahan iklim yang paling
buruk setara dengan 1% dari GDP global setiap tahunnya (Harvell et al 2002).
Variabilitas iklim juga berdampak terhadap ketahanan pangan termasuk bagi
masyarakat pesisir, terutama dikaitkan dengan suplai dan ketersediaan pangan,
akses, serta pemanfaatan pangan. Variabilitas iklim berdampak terhadap sistem
mata pencaharian masyarakat pesisir khususnya nelayan. Masyarakat pesisir
memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya pesisir dan perikanan.
Dengan terganggunya ekosistem pesisir dan perikanan akan berdampak terhadap
sumber mata pencaharian masyarakat pesisir.
Sumberdaya pesisir dan lautan Indonesia sementara ini sudah terancam
terdegradasi karena dua faktor utama, yaitu pengambilan secara tidak ramah
lingkungan (destructive fishing) dan pengambilan secara berlebihan (over fishing).
Ancaman dari variabilitas iklim secara bersama akan membuat kondisi pesisir dan
laut semakin parah. Mengingat pentingnya pesisir dan laut sebagai sumber mata
pencaharian masyarakat. Di wilayah pesisir ini, terdapat berbagai macam aktivitas
diantaranya adalah perdagangan, transportasi, nelayan, tambak, rekreasi, dan
permukiman. Pada banyak satuan permukiman, perairan laut merupakan ruang
yang relatif dominan dengan berbagai pola permukiman perairan. Diantara sekian
banyak permukiman perairan di Indonesia salah satu diantaranya adalah
permukiman suku Bajoe di wilayah pesisir Desa Bajoe, Kabupaten Bone,
Sulawesi Selatan.

2

Secara geografis Bajoe adalah desa pantai yang terletak 6 km dari
Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, dengan tipe iklim tropis basah, dan
didominasi oleh penduduk dengan mata pencaharian seperti nelayan. Aktivitas
yang homogen ini ditunjang oleh suatu permukiman yang didominasi oleh rumah
panggung dan material pendukung lainnya berasal dari alam. Berbeda dengan
pemukiman Bajoe daerah lain, rumah di Kampung Bajoe sebagian besar berdiri
diatas perairan laut yang permukaan lahannya selalu digenangi air laut pada
hampir sepanjang waktu tetapi sebagian rumah pula telah berdiri diatas daratan
berpasir yang telah mengalami penimbunan.
Penghuni permukiman ini merupakan suatu etnik (suku Bajoe). Suku bangsa
pelaut di Indonesia yang telah mengembangkan suatu kebudayaan maritim sejak
beberapa abad lamanya. Suku ini terkenal dengan mata pencaharian pokok adalah
menangkap ikan dengan perahu-perahu layar namun dalam 10 tahun belakangan
ini suku Bajoe telah tersentuh oleh peradaban modern, mereka tidak lagi
menangkap ikan menggunakan layar, melainkan menggunakan mesin. Mereka
melakukan segala aktivitas dan menghabiskan hidupnya diatas perahu, sehingga
dikenal dengan sebutan “manusia perahu”, seiring berjalannya waktu manusia
perahu ini menetap dalam suatu hunian yang berkelompok tetapi kehidupannya
masih dipengaruhi budaya laut.
Kehidupan suku Bajoe yang bergantung dengan laut ini sangat rentan
terhadap dinamika-dinamika laut yang terjadi akibat variabilitas iklim (Klein and
Nicholls 1999). Kenyataannya masyarakat harus menangkap ikan dengan jarak
yang lebih jauh dibanding tahun-tahun sebelumnya, hasil yang nelayan peroleh
pun mengalami perubahan jumlah dan jenis tangkapan, selain itu perubahan alat
penangkapan yang digunakan nelayan juga mengalami perubahan. Oleh karena itu
dilakukan penelitian untuk mengetahui kerentanan budaya melaut masyarakat
pesisir suku Bajoe.
Perumusan Masalah
Berdasarkan gambaran yang telah diuraikan pada latar belakang,
permasalahan yang dirumuskan adalah bagaimana pengaruh variabilitas iklim
terhadap budaya melaut suku Bajoe
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kerentanan budaya
melaut suku Bajoe akibat variabilitas iklim.
Manfaat Penelitian
1.
2.
3.
4.

Manfaat dari hasil penelitian ini meliputi
Memberikan gambaran perubahan budaya melaut suku Bajoe
Memberikan gambaran keadaan ekonomi masyarakat suku Bajoe di
Kampung Bajoe
Memberikan langkah-langkah adaptasi untuk nelayan Bajoe
Membantu pemerintah dalam menentukan kebijakan terhadap nelayan
terkait perubahan kondisi cuaca

3

METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari hingga bulan Februari di
Kampung Bajoe, Desa Bajoe, Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupaten
Bone, Sulawesi Selatan.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan adalah antara lain perangkat lunak Microsoft
Office 2010, WRPLOT View. Data yang digunakan dalam penenlitian ini berupa
data unsur iklim Kecamatan Tanete Riattang Timur yang diperoleh dari Stasiun
Klimatologi Kelas I Maros, meliputi data curah hujan bulanan untuk tahun 19962013, data suhu udara tahun 1996-2013. Data arah dan kecepatan angin tahun
2011-2013, serta data tinggi gelombang tahun 2011-2013 yang diperoleh di
Stasiun Meterologi Maritim Paotere. Data aktivitas melaut nelayan Bajoe. Data
jumlah dan nilai produksi ikan Kampung Bajoe tahun 2011-2013 dari Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bone. Data suhu permukaan laut tahun 19962013 yang diperoleh dari http://iridl.Ideo.columbia.edu/ERSST.
Metode Penelitian
Pengumpulan Data Primer
Pengumpulan data primer berupa data budaya melaut nelayan Bajoe yang
terdiri dari data jarak melaut, lama melaut, dan jumlah tangkapan dilakukan
dengan penyebaran kuisioner secara acak kepada nelayan-nelayan Bajoe, namun
pengisian kuisioner dilakukan dengan teknik wawancara terbuka sebanyak 55
responden. Dari hasil wawancara dibuat kelas kerentanan budaya melaut nelayan
seperti pada tabel dibawah ini.
Tabel 1 Kelas kisaran nilai kerentanan jarak melaut nelayan
Kisaran Nilai
Nilai
0 - 25 km
Kerentanan rendah
26 - 85 km
Kerentanan sedang
≥ 86 km
Kerentanan tinggi
Kelas kerentanan jarak melaut dibuat berdasarkan kondisi perairan dan
peluang terjadinya bencana-bancana dilautan pada selang jarak yang tertera pada
tabel seperti ketinggian gelombang antara, hujan badai, angin kencang, dan
kondisi-kondisi ekstrim yang lain.
Tabel 2 Kelas kisaran nilai kerentanan lama melaut nelayan Bajoe
Kisaran Nilai
Nilai
0 - 20 jam
Kerentanan rendah
21 - 3 hari
Kerentanan sedang
3 hari
Kerentanan tinggi

4

Kelas kerentanan lama melaut dipengaruhi oleh jarak melaut. Saat nelayan
melaut pada jarak yang cukup dekat maka lama melaut berada pada kerentanan
rendah, begitupun sebaliknya.
Tabel 3 Kelas kisaran nilai kerentanan jumlah tangkapan nelayan Bajoe
Kisaran Nilai
Nilai
≥ 15 kg/orang/trip
Kerentanan rendah
15-10 kg/orang/trip
Kerentanan sedang
9 kg/orang/trip
Kerentanan tinggi
Kelas kerentanan jumlah tangkapan nelayan dibuat berdasarkan jumlah
tangkapan nelayan dalam sekali melaut (trip) dibagi dengan jumlah orang dalam
kapal tersebut.
Analisis Data Sekunder
Data sekunder terdiri dari data unsur iklim dan oseanografi. Data unsur
iklim berupa data arah dan kecepatan angin, data curah hujan, dan data suhu
udara. Data unsur oseanografi berupa data gelombang dan suhu permukaan laut.
Semua data tersebut dianalisis untuk mengetahui variabiltas iklim yang terjadi di
sekitar perairan Teluk Bone, juga untuk mengetahui hubungan antara parameter
iklim dan oseanografi tersebut dengan hasil produksi.
Prosedur Analisis Data
Pengumpulan Data

Download Data
Iklim

Kajian pustaka

Pendekatan Analisis

Analisis unsur
iklim

Hasil Analisis

Hubungan unsur
iklim dan
oseanografi dengan
hasil produksi

Output penelitian

Kerentanan
perekonomian
masyarakat

Analisis unsur
oseanografi
Gambaran umum
perekonomian
masyarakat

Survey lapangan
Analisis aktivitas
melaut dan
perekonomian
masyarakat

Pengkategorian
kelas kerentanan
budaya melaut

Kategori kelas
kerentanan,
kerentanan rendah
Kerentanan sedang
kerentanan tinggi

Persentase jumlah
nelayan Bajoe pada
tiga kelas
kerentanan

Rancangan
strategi adaptasi

Gambar 1 Diagram tahapan analisis kerentanan budaya melaut masyarakat pesisir
suku Bajoe

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Desa Bajoe
Secara geografis Desa Bajoe terletak pada posisi 4ᵒ33 11.86 LS dan
120ᵒ23 09.27 BT dengan batasan wilayah sebelah selatan berbatasan dengan
Desa Kading, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Cellu, sebelah utara
berbatasan dengan Kelurahan Lonrae, dan sebelah timur berbatasan dengan Teluk
Bone. Jarak Kelurahan Bajoe dari ibukota kecamatan 0.5 km, jarak dari ibukota
kabupaten 9 km, sedangkan jarak dari ibukota provinsi 179 km. Topografi
kelurahan Bajoe merupakan daratan atau wilayah yang landai (Bone dalam angka
2006).

Gambar 2 Peta Desa Bajoe dan lokasi perkampungan Bajoe (sumber:
www.maps.google.com/)
Kelurahan Bajoe memiliki luas 5.58 km2. Menurut klafisikasi iklim
Koppen Kelurahan Bajoe termasuk daerah beriklim tropik basah (Af), suhu udara
harian berkisar antara 26ᵒC-27ᵒC. Suhu tertinggi dapat mencapai 30ᵒC dan suhu
terendah 24ᵒC. Kelembaban udara berkisar antara 70%-80% dengan curah hujan
rata-rata tahunan 1700 mm-2500 mm (Bone dalam angka 2006).
Sejarah Kehidupan Suku Bajoe
Dahlan (1986) mencatat bahwa nenek moyang suku Bajoe memasuki
pulau Sulawesi sekitar tahun 1898. Penyebaran suku Bajoe yang terdapat
diberbagai daerah disebabkan karena kebiasaan mereka menyeberangi lautan
lepas. Filosofi hidup suku Bajoe sebagai manusia perahu dikarenakan kebiasaan
mereka yang selalu berpindah-pindah. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah
satu tokoh masyarakat, suku Bajoe memasuki perairan Teluk Bone sekitar tahun
1950. Hal ini didasarkan potensi laut diperairan Teluk Bone yang melimpah
sehingga dapat memenuhi kebutuhan mereka.
Suku Bajoe membentuk perkampungan pada pesisir pantai dan menjorok
sampai perairan dangkal disepanjang perairan Teluk Bone. Lokasi ini merupakan
perkampungan yang merupakan ciri khas suku Bajoe, dengan menggunakan

6

rumah-rumah panggung diatas laut. Mereka dihubungkan dengan jembatan dan
perahu-perahu kecil sebagai alat transportasi utama untuk mengakses daratan. Alat
ini juga merupakan alat untuk mencari nafkah sebagai nelayan tradisional.
Awalnya Suku Bajoe merupakan masyarakat yang hidup secara
tradisional, mulai dari bentuk rumah sampai penggunaan alat tangkap. Namun
pada tahun 1998 masyarakat mulai menggunakan perahu bermesin namun masih
banyak masyarakat yang masih menggunakan perahu layar (Soesangobeng 1977).
1960 masyarakat mulai membangun rumah disepanjang pantai, untuk mengurangi
pelapukan kayu yang diakibatkan oleh hantaman air laut, masyarakat
memanfaatkan batu karang sebagai fondasi rumah, kesadaran masyakat akan
kondisi tersebut timbul tahun 1970. 1985 masyarakat mulai menimbun kolong
rumah dengan menggunakan pasir dan batu karang. Tahun 1990 dibangun jalanan
menuju daratan untuk mempermudah akses masyarakat Bajoe. Awalnya nelayan
melaut secara individual, namun memasuki tahun 2008 mayoritas nelayan Bajoe
melaut secara berkelompok.
Variabilitas Iklim Desa Bajoe
Variabilitas iklim disebabkan oleh faktor pengendali berupa interaksi
antara atmosfer, lautan, dan daratan. Karakteristik dan spesifikasi variabilitas
iklim dan keragaman curah hujan dapat dimanfaatkan untuk menunjang atau
menghambat berbagai kegiatan yang akan ditimbulkan (Harijono 2008). Indonesia
memiliki variabilitas iklim yang tinggi. Berdasarkan pola hujan, wilayah
Indonesia dibagi dalam tiga klasifikasi pola hujan, yaitu monsunal, ekuatorial, dan
lokal.

Gambar 3 Pembagian wilayah Indonesia berdasarkan pembagian pola hujan
(sumber: www.bmkg.go.id/)

7

350
300

CH (mm)

250

200
150
100
50
0

CH rata-rata Tahun 1996-2013

Gambar 4 Curah hujan rata-rata Desa Bajoe tahun 1996-2013

4000

27

3500

27

3000

26
26

2500

26

2000

26

1500

26

1000

25

500

25

0

25

CH Rata-rata Tahunan

Suhu Udara (°C)

CH (mm)

Sulawesi Selatan memiliki tipe hujan yang beragam, beberapa daerah
memiliki tipe hujan ekuatorial, dan beberapa daerah lainnya memiliki tipe hujan
lokal dan monsunal. Berdasarkan gambar curah hujan rata-rata Desa Bajoe, dapat
dilihat bahwa Desa Bajoe memiliki tipe hujan lokal.
Variabilitas iklim dapat dilihat dari keragaman curah hujan suatu wilayah.
Suhu udara, suhu permukaan laut (SPL) dan unsur oseanografi lain seperti
ketinggian gelombang merupakan variabel lain yang dapat menyebabkan
variabilitas iklim. Suhu udara merupakan energi kinetis rata-rata dari pergerakan
molekul udara (Handoko 1994). Suhu udara memiliki hubungan yang berbanding
terbalik dengan curah hujan, ketika suhu udara tinggi maka curah hujan akan
rendah, dan begitupun sebaliknya. SPL di wilayah tropis memiliki variasi yang
tinggi baik dalam skala ruang maupun waktu (As-Syakur 2011).

Suhu Rata-rata

Gambar 5 Variabilitas curah hujan dan suhu rata-rata tahun 1996-2013
Gambar 5 menunjukkan fluktuasi curah hujan dan suhu udara tahun 19962013. Pada gambar tersebut curah hujan di Desa Bajoe dari tahun 1996-2013
berada pada tren normal, namun pada tahun 2008 dan 2010 curah hujan cukup
tinggi dari rata-rata curah hujan tahunan, hal ini dikarenakan kejadian La nina juga
menyerang wilayah Kabupaten Bone (BMKG 2010). Untuk suhu udara berada
pada tren normal, dimana tidak terjadi perubahan suhu yang sangat signifikan dari
tahun ketahun.

700

3

600

2.5

500

CH (mm)

2
400
1.5
300
1
200

Tinggi gelombang (m)

8

0.5

100
0

0
Januari

Februari

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustus September Oktober November Desember

Tinggi Gelombang Tahun 2011

Tinggi Gelombang Tahun 2012

Tinggi Gelombang Tahun 2013

CH 2011

CH 2012

CH 2013

Gambar 6 Variabilitas curah hujan dan tinggi gelombang tahun 2011-2013
Gambar diatas memperlihatkan hubungan curah bulanan dengan ketinggian
gelombang di perairan Teluk Bone. Gelombang tinggi terjadi pada bulan JuniSeptember. Tidak terjadi perbedaan yang signifikan pada rata-rata ketinggian
gelombang dari tahun 2011-2103 di perairan Teluk Bone. Namun terjadi
varibilitas curah hujan yang cukup tinggi pada tahun 2011-2013. Seperti yang
terlihat pada grafik, tahun 2013 curah hujan cukup tinggi pada bulan Juli, berbeda
pada tahun 2011 dan 2012 dimana curah hujan normal pada bulan tersebut. Hal ini
sesuai dengan laporan akhir BMKG yang menyatakan bahwa diindikasikan terjadi
La Nina lemah pada tahun 2013, dan Kabupaten Bone merupakan salah satu
daerah yang terkena oleh dampak La Nina (BMKG 2013).

30.0

29.5

SPL ( C)

R² = 0.015
29.0

y = -0.003x + 29.22
28.5

28.0

SPL Rata-rata Tahunan

Gambar 7 Suhu pemukaan laut rata-rata tahun 1996-2013
Suhu permukaan laut (SPL) rata-rata tahunan di perairan Teluk Bone
berkisar antara 28.5ᵒC-29.5ᵒC. Pada grafik terlihat suhu permukaan laut tertinggi
terjadi pada tahun 1998 sebesar 29.5 dan tahun 2010 sebesar 29.3. Dari grafik
tersebut diperoleh persamaan garis y=-0.003x + 29.22 dan R2 sebesar 1.5%. Hal
ini menunjukkan bahwa pada perairan Teluk Bone untuk tahun 1996-2013
mengalami penurunan suhu permukaan laut namun tidak terlalu signifikan

9

sehingga dapat dikatakan suhu permukaan laut tersebut bersifat konstan. Jika
dikaitkan dengan kejadian curah hujan, maka terlihat adanya hubungan antara
curah hujan yang tinggi dengan peningkatan suhu permukaan laut.
Pengaruh kejadian La Nina ini ditandai dengan terjadinya peningkatan
durasi dan intensitas upwelling serta menaikkan lapisan termoklin sehingga
produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun normal (Susanto dan
Gordon, 2005 dalam Qu et al., 2005)
Analisis Kerentanan Ekonomi
Analisis kerentanan ini merupakan analisis kerentanan kondisi sosial
ekonomi penduduk. Analisis ini dilakukan terhadap kondisi sosial ekonomi yang
dikaitkan dengan unsur cuaca dan iklim serta unsur oseanografi yang berpengaruh
terhadap kerentanan masyarakat, yang didasarkan pada variabel jumlah produksi
hasil melaut, jarak melaut, dan frekuensi melaut. Variabel jumlah produksi hasil
melaut, jarak melaut, dan frekuensi melaut ini mempengaruhi tingkat pendapatan
masyarakat yang akan mempengaruhi cara pandang masyarakat dalam menyikapi
bencana yang akan terjadi.
Hubungan Curah Hujan dan Kecepatan Angin dengan Jumlah Produksi
Arah dan kecepatan angin merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi aktifitas nelayan saat berada di perairan. Berdasarkan data yang
diperoleh, kecenderungan arah mata angin di Teluk Bone tahun 1996-2013 pada
bulan Desember hingga bulan Maret arah mata angin cenderung kearah Barat, dan
pada bulan April hingga November arah mata angin cenderung kearah tenggara.
Musim penangkapan ikan di Indonesia terbagi dalam empat musim yaitu
musim barat, musim peralihan awal tahun, musim timur, dan musim peralihan
akhir tahun. kedua musim peralihan tersebut sering disebut sebagai musim
pancaroba (Nontji 1987).

(Musim Barat)
(Peralihan awal)
(Musim Timur)
(Peralihan akhir)
Gambar 8 Distribusi frekuensi angin pada musim penangkapan ikan
Pada musim barat, angin berorientasi kearah Barat sedangkan pada musim
timur angin berorientasi kearah tenggara. Kedua musim ini dipisahkan oleh bulan
Oktober-November sebagai bulan peralihan. Pada bulan Oktober-November arah
angin cenderung kearah selatan, berbeda dengan pola umum angin pada
umumnya. Begitupun pada musim peralihan awal yaitu antara bulan April-Mei
arah angin cenderung acak dan tidak menunjukkan pola umum seperti bulan
lainnya (Nontji 1987).

10

1600

10,0

1400

9,0
8,0

1200

7,0

1000

6,0

800

5,0

600

4,0
3,0

400

2,0

200

kecepatanan Angin (knots)

Jumlah Produksi Ikan (kg)

Kecepatan angin disekitar Teluk Bone berkisar antara 4 knot hingga 15
knot, dimana pada bulan Desember hingga April tidak terjadi perubahan
kecepatan angin yang signifikan, yaitu berkisar antara 4 knot- 8 knot. Peningkatan
kecepatan angin yang cukup signifikan terjadi pada bulan Mei yaitu 7 knot-11
knot sedangkan pada bulan September kecepatan angin mencapai 11 knot-15 knot.
Berdasarkan data kecepatan angin yang diperoleh, diketahui bahwa kecepatan
angin tertinggi terjadi pada bulan Juli, Agustus, September dimana pada bulan
tersebut merupakan angin musim timur.

1,0

0

0,0
Januari

Februari

Maret

April

Mei

Produksi Ikan Tahun 2011
Kecepatan Angin Tahun 2011

Juni

Juli

Agustus

September

Produksi Ikan Tahun 2012
Kecepatan Angin Tahun 2012

Oktober

November Desember

Produksi Ikan Tahun 2013
Kecepatan Angin Tahun 2013

1600

700

1400

600

1200

500

1000
400

800
300

CH (mm)

Jumlah Produksi Ikan (kg)

Gambar 9 Hubungan kecepatan angin dan produksi ikan di Teluk Bone tahun
2011-2013

600
200

400

100

200
0

0
Januari

Februari

Produksi 2011

Maret

April

Mei

Produksi 2012

Juni

Juli

Produksi 2013

Agustus September Oktober November Desember

CH 2011

CH 2012

CH 2013

Gambar 10 Hubungan curah hujan dan produksi ikan di perairan Teluk Bone
tahun 2011-2013
Berdasarkan gambar diatas diketahui bahwa pola kecepatan angin dan curah
hujan tahun 2011 hingga tahun 2013 berbeda setiap tahunnya. Perbedaan
kecepatan angin dan curah hujan menyebabkan keadaan produksi ikan nelayan
Bajoe tidak menentu setiap tahun. Tahun 2011, curah hujan dan kecepatan angin
rendah pada bulan Januari sehingga jumlah produksi ikan tinggi, tetapi pada bulan
Agustus kecepatan angin tinggi sehingga tidak memungkinkan nelayan untuk
melaut terlalu jauh walaupun curah hujan rendah pada bulan tersebut, sehingga
jumlah produksi tidak terlalu tinggi.
Tahun 2012, curah hujan dan kecepatan angin tinggi pada bulan Februari,
sehingga jumlah produksi sedikit. Pada bulan Agustus jumlah produksi cukup
tinggi dikarenakan curah hujan yang sedikit dan kecepatan angin yang berada

11

Jumlah Produksi Ikan (kg)

dalam batas angin normal bagi nelayan sehingga memungkinkan nelayan untuk
tetap melaut dengan jarak yang jauh.
Tahun 2013, telihat jumlah produksi tinggi pada bulan Februari, Maret dan
Desember. Pada bulan tersebut kecepatan angin dan curah hujan rendah.
Sedangkan pada bulan November, curah hujan dan kecepatan angin tinggi, dan
sehingga tidak memungkinkan nelayan untuk melaut terlalu jauh, menyebabkan
jumlah produksi sedikit.
Berdasarkan data curah hujan, kecepatan angin, dan hasil tangkapan di
perairan Teluk Bone diketahui bahwa kecepatan angin dan curah hujan sangat
mempengaruhi jumlah tangkapan nelayan, karena kecepatan angin dan curah
hujan menentukan melaut tidaknya nelayan.
5000

4000
3000
2000
1000
0
Des-Maret
Jumlah produksi ikan 2011

Apr-Mei

Jun-Sept

Jumlah produksi ikan 2012

Okt-Nov
Jumlah produksi ikan 2013

Gambar 11 Fluktuasi jumlah produksi ikan nelayan Bajoe pada musim
penangkapan ikan tahun 2011-2013
Musim penangkapan ikan nelayan terbagi menjadi musim barat, musim
peralihan awal, musim timur, dan musim peralihan akhir (Nontji 1987). Bulan
Desember hingga bulan Maret merupakan musim barat, bulan April-Mei
merupakan musim peralihan awal, bulan Oktober-November merupakan musim
peralihan akhir, dan bulan Juni-September merupakan musim timur (nontji 1987).
Hasil tangkapan mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Akumulasi dari
jumlah produksi ikan seperti yang terlihat pada gambar diatas menunjukkan
bahwa tahun 2011 akumulasi tangkapan nelayan tinggi pada musim timur. Pada
musim timur (Juni-September) kedaan perairan biasanya tenang, jarang terjadi
hujan dan ombak relatif kecil sehingga memungkinkan nelayan untuk melaut dan
biasanya pada musim ini merupakan musim puncak ikan (Nurhayati 2006).
Terjadi perbedaan pada tahun 2012, jumlah tangkapan cukup tinggi pada musim
peralihan awal dikarenakan curah hujan yang tidak terlalu tinggi dan kecepatan
angin yang rendah. Terlihat adanya pola yang berbeda antara jumlah produksi
tahun 2012 dengan tahun 2011, 2013 pada bulan Desember-Maret. Hal ini
disebabkan curah hujan pada bulan Maret-Desember lebih tinggi jika
dibandingkan dengan bulan Maret-Desember pada tahun 2011 dan 2013 yang
cukup rendah sehingga menyebabkan jumlah produksi ikan menururn pada musim
barat di tahun 2012. Tahun 2013 menunjukkan jumlah tangkapan pada musim
barat lebih tinggi dibandingkan musim timur, hal ini dikarenakan curah hujan
disertai kecepatan angin yang tinggi pada musim timur.

12

Hubungan Tinggi Gelombang dengan Jumlah Produksi
Gelombang merupakan faktor yang sangat penting dalam operasi
penangkapan ikan. Keadaan gelombang suatu perairan sangat mempengaruhi
lokasi penangkapan nelayan di daerah tersebut (Sastrawidjaya dan Manadiyanto
2002). Berdasarkan data yang diperoleh, arah pergerakan gelombang disekitar
Teluk Bone cenderung berubah-ubah. Terjadinya perubahan arah gelombang
permukaan tersebut dipengaruhi oleh pola arah angin yaitu peralihan dari angin
musim barat menjadi angin musim timur, begitupun sebaliknya (Hutabarat dan
Evans 1985). Hal ini dapat dilihat dari rata-rata pola pergerakan arah gelombang
permukaan dimana terjadi siklus perubahan arah gelombang dari arah barat daya
kearah tenggara dan kembali kearah barat daya.
1600

3

1400

2,5

1000
800

1,5

600

1

Jumlah Produksi (Kg)

Tinggi Gelombang (m)

1200

2

400

0,5

200
0

0
Januari

Februari

Produksi Ikan 2011

Maret

April

Produksi Ikan 2012

Mei

Juni

Produksi Ikan 2013

Juli

Agustus

Tinggi Gelombang 2011

September

Oktober

Tinggi Gelombang 2012

November

Desember

Tinggi Gelombang Tahun 2013

Gambar 12 Hubungan tinggi gelombang laut dengan jumlah produksi ikan
nelayan Bajoe di Teluk Bone tahun 2011-2013
Berdasarkan data pengamatan ketinggian gelombang, diketahui bahwa
ketinggian gelombang pantai disekitar Teluk Bone berkisar antara 1 meter hingga
2.5 meter dimana gelombang tertinggi cenderung pada bulan Juni, Juli, Agustus,
September dimana pada saat tersebut merupakan angin musim timur. Nelayan
Bajoe melaut pada kisaran gelombang 0.5 meter-2.5 meter. Pada ketinggian
gelombang 3 meter tidak memungkinkan nelayan Bajoe untuk melaut lagi (Hafid
et al 1996).
Berdasarkan data pengamatan selama tiga tahun, diketahui bahwa antara
ketinggian gelombang dengan hasil produksi cenderung terjadi hubungan yang
saling berlawanan. Pada tahun 2011, terlihat jumlah produksi ikan tertinggi pada
bulan April dan Mei, dengan tinggi gelombang mencapai 1.5 meter-1.7 meter. Hal
ini sesuai dengan hasil wawancara dengan beberapa nelayan Bajoe yang
menyatakan bahwa, jumlah produksi ikan tertinggi terjadi pada bulan April dan
Mei, dimana pada bulan tersebut merupakan musim peralihan menuju musim
kemarau. Jumlah produksi terendah terjadi pada bulan Juli, Agustus, September,
dimana gelombang tertinggi terjadi pada bulan-bulan tersebut, dan telah
memasuki musim kemarau. Namun ketika memasuki musim penghujan, jumlah
produksi ikan yang dihasilkan oleh nelayan Bajoe pun tidak terlalu tinggi, Pada
bulan-bulan tersebut, jarak yang ditempuh nelayan tidak begitu jauh, hal ini
dikarenakan kondisi cuaca yang tidak memungkinkan nelayan untuk melaut dan
dengan peralatan yang masih tradisional.
Tahun 2012 juga menunjukkan jumlah produksi tertinggi terjadi pada bulan
April dan Mei, sedangkan produksi terendah terjadi pada bulan Januari, yang telah

13

memasuki musim penghujan dengan curah hujan yang cukup tinggi. Pada tahun
2013 terlihat jumlah produksi tertinggi terjadi pada bulan Februari, Maret, dan
Desember berbeda dengan tahun 2011 dan 2012. Pada bulan Februari, Maret dan
Desember, curah hujan dan kecepatan angin di sekitar perairan teluk Bone rendah.
Curah hujan bulan Desember 145 mm, bulan Februari curah hujan mencapai 84
mm, dan bulan curah hujan bulan Maret 95 mm, kecepatan angin pada bulan
Desember yaitu 2.4 knot, kecepatan angin bulan Februari 1.9 knot, kecepatan
angin bulan Maret 1.5 knot, sehingga memungkinkan nelayan untuk melaut
walaupun telah memasuki musim penghujan. Namun jumlah produksi ikan cukup
rendah pada bulan Januari, hal ini dikarenakan kecepatan angin tinggi pada bulan
Januari yaitu 4.6 knot.

30000

50000000

25000

40000000

(Rp)

(Kg)

20000

15000

30000000

20000000

10000

10000000

5000
0

0

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2011 2012 2013

Jumlah Produksi

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2011 2012 2013
Hasil Produksi

Gambar 13 Jumlah dan nilai produksi ikan nelayan Bajoe di perairan Teluk Bone
tahun 2002-2013 (tidak terdapat data untuk tahun 2009-2010)
Berdasarkan gambar diatas terlihat sejak tahun 2002 sampai tahun 2013
produksi ikan yang diperoleh nelayan Bajoe mengalami fluktuasi. Jumlah
produksi ikan tahun 2002 hingga tahun 2006 terus mengalami peningkatan, namun
pada tahun 2007 dan 2008 jumlah produksi ikan nelayan Bajoe mengalami
penurunan. Tahun 2011 jumlah produksi ikan mengalami peningkatan, namun
produksi ikan menurun tahun 2012 dan 2013. Besarnya jumlah produksi tidak
sepenuhnya mempengaruhi besarnya nilai produksi. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan nilai jual atau harga dari masing-masing jenis ikan hasil tangkapan.
Jumlah produksi terendah berada pada tahun 2008 yaitu sebesar 17 479 kg dan
terbesar pada tahun 2011 yaitu 27 773 kg. Untuk nilai produksi perikanan laut
yang terbesar pada tahun 2013 sebesar Rp489 456 000 walaupun untuk jumlah
produksinya berada diurutan tertinggi keempat. Hal ini dikarenakan ikan yang
tertangkap merupakan ikan yang memiliki nilai jual tinggi atau karena adanya
kenaikan harga jual pada tahun tersebut dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,
sedangkan nilai jual terendah berada pada tahun 2002 sebesar Rp11 4753 000.
Secara spesifik jenis ikan yang diperoleh oleh nelayan Bajoe didominasi
oleh jenis ikan tuna, ekor kuning, kerapu, cakalang, layang, kakap putih.
Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa tuna merupakan ikan yang nilai
produksi dan nilai jual tinggi. Tahun 2011, 2012 dan 2013 menunjukkan nilai
produksi tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya dikarenakan jumlah produksi
ikan tuna yang dihasilkan oleh masyarakat cukup tinggi.

14

1600

30,5

1400

30

1200

29,5

1000
29
800
28,5
600

SPL ( C)

Jumlah Produksi Ikan (kg)

Hubungan Suhu Permukaan Laut dengan Jumlah Produksi
Suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk
menduga keberadaan organisme disuatu perairan, khususnya ikan (Nikolsky
1963). Setiap spesies ikan mempunyai toleransi nilai suhu tertentu yang disenangi
untuk melangsungkan hidupnya sehingga mempengaruhi keberadaan dan
penyebaran ikan di perairan. Setiap spesies memiliki tingkatan suhu optimum dan
batas toleransi suhu sekitar 0.1ᵒC (Nikolsky 1963).

28

400

27,5

200

27

0

Januari

Februari

Maret

Produksi ikan 2011

April

Mei

Produksi ikan 2012

Juni

Juli

Agustus September Oktober November Desember

Produksi ikan 2013

SPL 2011

SPL 2012

SPL 2013

Gambar 14 Hubungan suhu permukaan laut dengan jumlah produksi ikan nelayan
Bajoe tahun 2011-2013
Kisaran suhu permukaan laut (SPL) di perairan Teluk Bone berkisar antara
28ᵒC-30ᵒC. Distirbusi SPL pada musim barat yaitu bulan November-April berada
pada kisaran 28.5ᵒC -29ᵒC. Bulan Mei merupakan musim peralihan awal dengan
kisaran SPL 29.5ᵒC-30ᵒC. SPL pada musim timur berkisar antara 28ᵒC-28.5ᵒC.
Pada musim peralihan akhir SPL berkisar antara 29.5ᵒC-30ᵒC. Berdasarkan data
distribusi SPL tahun 2011-2013 diketahui bahwa distribusi kisaran SPL pada
musim timur lebih rendah dibanding pada musim barat. Pada tahun 2011 dan
2012, sebaran nilai SPL berlawanan dengan jumlah produksi ikan di Teluk Bone.
Nilai SPL tertinggi pada bulan Maret, April, Mei, November, Desember mencapai
29.5ᵒC dan pada bulan tersebut jumlah produksi ikan cukup rendah di perairan
Teluk Bone. Sedangkan kisaran nilai SPL rendah pada bulan Januari, Februari,
Juli, Agustus, September mencapai 28.5ᵒC dan pada bulan tersebut jumlah
produksi ikan tinggi di perairan Teluk Bone. Kondisi ini berbeda dengan tahun
2013, saat SPL rendah jumlah produksi ikan di perairan Teluk Bone juga
mengalami penurunan. Begitupun saat SPL tinggi jumlah produksi ikan
mengalami peningkatan.
Berdasarkan gambar diatas diketahui tinggi rendahnya SPL di perairan
Teluk Bone tidak mempengaruhi jumlah produksi ikan, hal ini disebabkan kisaran
SPL diperairan Teluk Bone masih berada dalam kisaran suhu yang disukai oleh
ikan pelagis (Purba et al 1994). Nilai SPL mengalami fluktuasi bulanan, demikian
pula dengan hasil tangkapan bulanan ikan pelagis sepanjang tahun. Berdasarkan
gambar, nampak adanya kecenderungan penurunan SPL akan diikuti oleh
peningkatan hasil tangkapan, sebaliknya peningkatan SPL akan diikuti oleh
penurunan hasil tangkapan. Namun demikian fluktuasi hasil tangkapan tidak
memiliki hubungan yang signifikan dengan SPL dominan.

15

Tingkat Kerentanan Budaya Melaut
Variabilitas iklim menyebabkan kondisi nelayan, terutama nelayan kecil
seperti nelayan Bajoe menjadi semakin terjepit. Kerusakan ekosistem, perubahan
cuaca yang cepat dan tidak menentu menyebabkan nelayan kesulitan melaut dan
pendapatannya semakin tidak pasti. UNDP (2007) menyebutkan bahwa
variabilitas iklim berdampak luas terhadap jutaan nelayan pesisir. Mereka
begantung pada ekosistem yang sangat rentan dengan perubahan kecil saja sudah
berdampak besar seperti perubahan suhu air yang dapat merusak terumbu karang.
Masyarakat nelayan menurut Pollnack (1988) dalam Satria (2009) mengahadapi
sumber daya yang bersifat open access yang menyebabkan nelayan harus
bepindah-pindah untuk mendapatkan hasil optimal sehingga resikonya relatif
sangat tinggi.
Suku Bajoe merupakan nelayan kecil yang menggunakan perahu 1-2 GT,
dengan alat pancing yang masih tradisional berupa alat pancing tonda, alat
pancing rawi, pukat cincin, panah atau tombak. Menurut undang-undang
perikanan tahun 2004 nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya
melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Nelayan kecil biasanya belum menggunakan alat tangkap yang maju, umumnya
hasil tangkapan nelayan kecil dijual kemudian dialokasikan untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari dan bukan untuk diinvestasikan kembali untuk
melipatgandakan keuntungan (Satria 2009). Oleh karena itu nelayan jenis ini
sering disebut sebagai peasant fisher yakni nelayan yang alokasi hasil
tangkapannya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan bukan diinvestasikan
untuk skala usaha (Satria 2001).
Hasil wawancara 55 responden ini dibagi kedalam tiga periode waktu, yaitu
tahun 1996-2002, tahun 2003-2008, dan tahun 2009-2013. Periodisasi waktu ini
didasarkan atas perubahan pola dan kondisi kehidupan nelayan. Tahun 1996-2002
kondisi terumbu karang disekitar pemukiman suku Bajoe masih sangat bagus,
namun tahun 2003 kondisi terumbu kurang telah rusak akibat adanya perubahan
iklim yang mengakibatkan terjadi pemutihan karang, karena rusaknya terumbu
karang maka pola kehidupan melaut nelayan yang sebelum tahun 2007 masih
melaut secara individu memasuki tahun 2008 dan 2009 mayoritas nelayan melaut
secara kelompok. Hal ini merupakan suatu bentuk strategi adaptasi yang dilakukan
nelayan agar tetap dapat mempertahankan kehidupan.
Parameter yang dikaji untuk menilai tingkat kerentanan suku Bajoe terdiri
dari jarak melaut, lama melaut, dan tingkat pendapatan nelayan. Responden
berjumlah 55 orang. Hasil wawancara dengan para nelayan suku Bajoe
menunjukkan bahwa pada tahun 1996-2002 jarak melaut nelayan bervariasi. Jarak
melaut pada tahun 1996-2002 berkisar 2 km hingga 20 km. 80% nelayan Bajoe
melaut pada jarak 2 km- 10 km, dan 20% nelayan yang melaut pada jarak 11 km –
20 km. Tahun 2003-2008, 65% nelayan yang melaut pada jarak 35 km, 15 %
nelayan melaut pada jarak 55 km, dan 20 % nelayan yang melaut pada jarak
60km-80 km. Tahun 2009-2013 jarak melaut nelayan semakin jauh berkisar antara
68 km-220 km. Sebanyak 65% responden melaut pada jarak 68 km- 90 km, 35%
responden melaut pada jarak 120 km-220 km.
Lama melaut nelayan juga mengalami perubahan dari tahun ketahun seiring
dengan perubahan jarak melaut. Tahun 1996-2002 lama melaut nelayan Bajoe

16

berkisar 3 jam hingga 10 jam, 80 % nelayan melaut dengan lama 3 jam-6 jam,
20% nelayan melaut dengan lama 8 jam-10 jam. Tahun 2003-2008 lama melaut
nelayan mengalami perubahan yang signifikan dibanding tahun sebelumnya.
Lama melaut nelayan berkisar 20 jam hingga 3 hari, 60% nelayan melaut dengan
waktu 2-3 hari dan 40% nelayan melaut selama 20 jam. Tahun 2009-2013
waktuyang dibuthkan nelayan untuk melaut semakin lama, 80% nelayan yang
melaut dengan lama 4 hari - 6 hari dan 20% nelayan melaut dengan lama 3-4 hari.
Jenis ikan hasil tangkapan nelayan Bajoe merupakan jenis ikan pelagis
seperti ikan tuna, cakalang, kakap putih, tenggiri, layang, ikan merah, ikan bawal,
ikan kembung, belanak, dll. Terjadi perubahan jumlah tangkapan nelayan dari
tahun ketahun. Tahun 1996-2002 jumlah tangkapan nelayan berkisar antara 6
kg/orang/trip – 10 kg/orang/trip. Tahun 2003-2008 jumlah tangkapan ikan nelayan
bervariasi mulai 4 kg/orang/trip - 10 kg/orang/trip. Tahun 2009-2013 jumlah
tangkapan nelayan berkisar antara 10 kg/orang/trip-31 kg/orang/trip. Pada tahun
2009-2013 nelayan mayoritas nelayan melaut secara berkelompok. Satu kapal
penangkapan ikan terdiri dari 6-7 orang, hal ini dilakukan untuk meminimalisir
pengeluaran selama perjalanan. Berikut persentase perubahan jumlah nelayan
pada tiga kelas kerentanan.
Tabel 4 Persentase perubahan jumlah nelayan Bajoe pada tiga kelas kerentanan
Persentase Jumlah Nelayan pada Kategori Kelas Kerentanan
Parameter

1996-2002

Jarak Melaut

Rendah
100%

Lama Melaut

100%

Jumlah Tangkapan

Tahun

Sedang

2003-2008
Tinggi Rendah Sedang
100%
40%

25%

Jarak Melaut

75%

2009-2013
Tinggi

Rendah

60%
25%

75%

Lama Melaut

70%

Sedang
20%

Tinggi
80%

20%

80%

30%

Jumlah Tangkapan

1996-2002
2003-2008
2009-2013

Persentasi jumlah nelayan tahun 1996-2002 masih berada pada kerentanan
rendah. Pada tahun 2003-2008, jarak melaut nelayan belum terlalu jauh namun
telah berada pada kelas kerentanan sedang. Tahun 2009-2013 jarak melaut
nelayan telah berada pada kerentanan tinggi.
Lama melaut nelayan pada tahun 1996-2002 masih berada pada tingkat
kerentanan rendah, sedangkan pada tahun 2003-2008 60% nelayan telah berada
pada tingkat kerentanan sedang, dan pada tahun 2009-2013 lama melaut nelayan
80% berada pada kerentanan tinggi.

17

Jumlah tangkapan nelayan pada tahun 1996-2002, 70% berada pada
tingkat kerentanan tinggi. Hal ini disebabkan alat tangkap nelayan masih bersifat
tradisional. Pada tahun 2003-3008, 75% jumlah tangkapan nelayan Bajoe berada
pada kelas kerentanan tinggi, dan 25% berada pada kelas kerentanan sedang.
Sedangkan pada tahun 2009-2013, 75% jumlah tangkapan nelayan berada pada
kelas kerentanan rendah, dan 30% nelayan berada pada kelas kerentanan sedang.
Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan jumlah tangkapan
nelayan adalah alat penangkapan yang digunakan semakin berkembang dibanding
tahun sebelumnya, dimana dengan alat penangkapan yang digunakan nelayan
sekarang memungkinkan untuk memperoleh jenis ikan dengan nilai jual tinggi.
Perubahan jarak melaut, lama melaut, dan jumlah tangkapan ini
disebabkan karena kerusakan terumbu karang yang ada disekitar pemukiman suku
Bajoe. Rusaknya terumbu karang disebabkan oleh aktivitas manusia itu sendiri
dan karena faktor alam. Salah satu dampak dari perubahan iklim yaitu pada tahun
2003, terjadi pemutihan karang di perairan Teluk Bone, hal ini juga didukung oleh
aktivitas masyarakat pesisir yang selalu membuang limbah rumah tangga ke
perairan sehingga menambah tingkat keasaman laut, dan kebiasaan nelayannelayan komersil yang menangkap ikan dengan cara pengeboman juga
memperparah keadaan terumbu karang diperairan tersebut (Brown 1994). Batu
karang yang sudah mati digunakan untuk fondasi rumah, pemanfaatan batu karang
semakin meningkat, sehingga potensial untuk merusak ekosistem terumbu karang
di sekitarnya. Seiring berjalan waktu kondisi terumbu karang diperairan tersebut
semakin rusak, rusaknya terumbu karang berarti ikan karang seperti ikan pelagis
juga punah. Hal ini menyebabkan lokasi penangkapan ikan yang lebih jauh
sehingga terjadi perubahan jarak dan frekuensi melaut, serta hasil tangkapan
nelayan.
Strategi Adaptasi Nelayan Bajoe
Perubahan lingkungan di Kampung Bajoe akibat adanya perubahan kondisi
cuaca yang merupakan faktor dominan yang menyebabkan nelayan harus
beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Perubahan kondisi cuaca ini
berdampak pada pola kehidupan dan usaha penangkapan ikan nelayan Bajoe. Ada
beberapa pola adaptasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah setempat agar
nelayan Bajoe dapat tetap mempertahankan budaya melaut yang mereka anut
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yaitu,
1. Mengganti jenis alat tangkap. Dengan penggantian alat tangkap, diharapkan
nelayan dapat memperoleh ikan dengan jumlah yang lebih banyak serta lebih
bevariasi jenisnya.
2. Mengganti perahu 1-2 GT menjadi perahu dengan mesin yang lebih besar, hal
ini memungkinkan nelayan untuk memperluas daerah penangkapan ikan
dengan meminimalisir waktu tempuh.
3. Memperbarui alat pendinginan ikan, hal ini dilakukan agar kualitas ikan tetap
terjaga saat tiba di daratan, karena selama ini kerugian yang dialami oleh
nelayan dikarenakan saat tiba didaratan ikan yang ditangkap telah busuk.
4. Pihak pemerintah harus memperkenalkan dan membimbing masyarakat
mengenai teknik budidaya perikanan, hal ini dimaksudkan saat kondisi cuaca

18

5.

ekstrem di perairan Teluk Bone nelayan tetap memperoleh penghasilan
walaupun tidak melaut.
Membuat terumbu karang buatan (artificial reef) disekitar pemukiman suku
Bajoe. Langkah ini merupakan salah satu cara alternatif yang dapat
digunakan untuk melestarikan ikan-ikan terumbu sehingga lokasi
penangkapan ikan nelayan tidak semakin jauh.

Strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan Bajoe itu sendiri sampai saat
ini adalah dengan membentuk kelompok-kelompok penangkapan ikan.
Pengelompokan ini telah berlangsung sejak tahun 2008. Hal ini merupakan suatu
upaya untuk mengatasi tingginya pengeluaran yang dikeluarkan nelayan dalam
sekali trip penangkapan yang dikarenakan semakin jauhnya jarak tempuh melaut
nelayan.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Suku Bajoe yang menggantungkan sepenuh hidupnya pada laut untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari berbeda dengan nelayan komersial. Aktivitas
melaut nelayan Bajoe telah menjadi suatu budaya dari suku Bajoe itu sendiri.
Perubahan cuaca berdampak pada pola kehidupan dan usaha penangkapan ikan
nelayan. Kecep