MODEL PENDIDIKAN NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KELUARGA DAN LINGKUNGAN MANUSIA BAJO DI BAJOE.

(1)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

MODEL PENDIDIKAN

NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KELUARGA

DAN LINGKUNGAN MANUSIA BAJO DI BAJOE

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari

Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan

dalam Bidang Pendidikan Umum dan Nilai

Promovendus:

F A R D U S

0609150

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN UMUM

SEKOLAH PASCASARJANA


(2)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

BANDUNG

2010

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PANITIA

DISERTASI:

PROMOTOR MERANGKAP KETUA

PROF. H. A. CHAEDAR ALWASILAH, M. A., Ph. D.

KOPROMOTOR MERANGKAP SEKRETARIS

PROF. H. SUDARDJA ADIWIKARTA, M. A., Ph. D.

ANGGOTA

PROF. DR. H. SOFYAN SAURI, M.Pd.

MENGETAHUI KETUA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN UMUM DAN NILAI


(3)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

PROF. DR. H. SOFYAN SAURI, M.Pd.

ABSTRAK

Model Pendidikan Nilai Sosial Budaya dalam Keluarga dan Lingkungan Manusia Bajo di Bajoe. Pendidikan nilai sosial budaya merupakan salah satu pendidikan yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak yang tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang memiliki nilai-nilai sosial tinggi akan mampu menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis, damai, dan tentram. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Studi ini menemukan bahwa model pendidikan nilai sosial budaya manusia Bajo di Bajoe dalam mewariskan, menyebarkan, dan mengkonstruksi nilai sosial budayanya melalui dua wilayah kehidupan: di darat dan di laut. Wilayah kehidupan darat mewariskan nilai sosial budaya melalui media keluarga, sekolah, dan masyarakat, sedangkan wilayah kehidupan laut mewariskan nilai sosial budaya melalui media perahu dan sapa. Pola pewarisan dan konstruksi nilai sosial budaya manusia Bajo di Bajoe terjadi melalui pembiasaan, imitasi, identifikasi, pemberian hadiah dan hukuman, dan kebersamaan dalam keluarga, sedangkan pola penyebarannya melalui adat istiadat. Terwujudnya nilai sosial budaya dalam diri anak manusia Bajo di Bajoe terjadi melalui dua proses, yaitu secara verbal dan non verbal. Studi ini memiliki implikasi terhadap: (i) pembinaan dan pengembangan pendidikan nilai-nilai sosial budaya pada anak-anak Bajo; (ii) penanaman kesadaran orang tua manusia Bajo akan pentingnya pendidikan nilai-nilai sosial budaya bagi anak-anak mereka; dan (iii) pemberian profil dan pemahaman kepada masyarakat Indonesia tentang model pendidikan nilai sosial budaya dalam keluarga dan lingkungan manusia Bajo.


(4)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

ABSTRACT

Socio-Cultural Values Education Model on The Bajo‟s Family and Environment in Bajoe. Socio-cultural values education is one of the most important education for child growth and development. Children who grow and develop into mature adults with higher social values would create a harmonious, peaceful, and serene community life. The study used a qualitative approach with case study method. The study found the model of socio-cultural values education on the Bajo in bequeathing, spreading, and constructing socio-cultural values in two areas of life: on land and at sea. The land area of life bequeaths socio-cultural values through the media family, school, and community, while the area for sea life invests socio-cultural values through the media boat and sapa. The pattern of inheritance and construction socio-cultural values on the Bajo in Bajoe occurs through habituation, imitation, identification, provision of rewards and punishments, and togetherness in the family, while the pattern of spreading through customs. Realization of socio-cultural values on the Bajo children occurred through two processes, namely verbal and non verbal. The study has implications for: (i) founding and developing socio-cultural values education on the Bajo children; (ii) inculcating on the Bajo awareness of the importance of socio-cultural values education for the Bajo children; and (iii) providing profile and understanding of the Indonesian society about the education of socio-cultural values model on the Bajo‟s family and environment.


(5)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, atas kehendak Allah SWT sehingga disertasi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor ilmu pendidikan pada pendidikan umum dan nilai dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Disertasi ini lahir diawali dengan kerisauan penulis melihat kondisi anak-anak bangsa yang jauh dari nilai sosial budayanya yang pada akhirnya jauh dari nilai-nilai kehidupan yang damai, harmonis, aman, dan tentram. Sebaliknya budaya konflik sangat mudah tersulut walaupun hanya bersumber dari setitik “api” yang sangat kecil. Melalui diskusi dengan beberapa pakar, penulis memutuskan manusia Bajo di Bajoe Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan sebagai obyek penelitian dalam studi ini.

Nilai-nilai sosial yang terwujud dalam adat istiadat, kebersamaan, kerukunan dan pengetahuan tradisional telah mengkristal dalam diri dan kehidupan manusia Bajo di Bajoe sehingga mereka hidup dalam sebuah tatanan kehidupan yang sederhana dan bersahaja. Kehidupan yang menyatu dengan laut telah membentuk nilai-nilai sosial mereka dengan kuat yang bersumber dari falsafah hidup “lamonggai petujuta’ pangatonang daulu tikka mambo-mbota pasti nummu bala’ aha, iru pasabaan kedadian, apabila tidak menggunakan warisan-warisan nenek moyang dahulu pasti akan celaka, sebab tidak ada sesuatu langsung ada, tetapi ada asalnya. Betapa pentingnya nilai-nilai sosial budaya diwariskan kepada generasi penerus mereka sehingga meninggalkan nilai-nilai warisan leluhur dianggap sebagai suatu kecelakaan dalam kehidupan.

Penulis menyadari bahwa pendidikan nilai-nilai sosial budaya pada manusia Bajo di Bajoe Sulawesi Selatan yang ditemukan dan dideskripsikan dalam disertasi ini tentunya masih ada hal-hal yang kurang dan belum sempat digali, untuk itu penulis senantiasa mengharapkan sumbang saran dari berbagai pihak demi perbaikan selanjutnya.

Bandung, Januari 2010


(6)

(7)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis bersyukur kepada Allah SWT yang telah melapangkan jalan dan memudahkan segala urusan penulis sejak meninggalkan Makassar sampai di Bandung, dari matrikulasi, ujian tahap akhir dan promosi hingga mencapai gelar doktor pendidikan dapat dijalani dengan baik. Tentunya semua ini dapat tercapai berkat rahmat, karunia, dan kehendak Allah SWT, dan banyak orang yang telah dilembutkan dan ditanamkan rasa kasih sayang di dalam hatinya oleh Allah SWT sehingga tergerak hatinya untuk memberikan amal jariahnya dengan jalan membatu penulis menyelesaikan disertasi ini hingga rampung. Untuk itu penulis menghaturkan beribu terima kasih atas kebaikan mereka semuanya.

Pertama-tama ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Rektor Universitas Pendidikan Indonesia dan Direktur SPs UPI yang telah memberikan kesempatan berharga kepada penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana UPI tercinta ini. Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada seluruh staf SPs UPI yang senantiasa membantu melayani kelancaran pengurusan administrasi penulis selama kuliah. Pelayanan yang ikhlas dan ramah menyebabkan penulis tidak dapat membalas kebaikan-kebaikan mereka.

Ucapan terima kasih dan penuh penghargaan penulis haturkan kepada Bapak Prof. H. A. Chaedar Alwasilah, M.A., Ph.D. selaku promotor penulis. Beliau banyak memberikan inspirasi dan ide-ide cemerlang dalam penulisan disertasi ini, termasuk memberikan buku-buku dan jurnal ilmiah untuk memperkaya isi disertasi. Beliau juga telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mempresentasikan hasil penelitian ini di hadapan mahasiswa SPs UPI sebelum dipresentasikan di hadapan para Guru Besar. Kepada Bapak Prof. H. Sudardja Adiwikarta, M.A., Ph.D. selaku ko-promotor telah membimbing penulis dengan penuh kelembutan dan keramahan sejak dari perkuliahan di kelas hingga disertasi ini rampung. Beliau telah meletakkan pemahaman dasar-dasar sosiologi kepada penulis yang tentunya akan sangat bermanfaat untuk pengembangan diri penulis di masa depan. Kepada Bapak Prof. DR. H. Sofyan Sauri, M.Pd. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Umum dan Nilai


(8)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

dan sekaligus pembimbing penulis yang bijak dan tiada henti-hentinya memberikan motivasi kepada penulis agar cepat menyelesaikan studi dan segera memasuki dunia sesungguhnya untuk mengamalkan ilmu yang telah didapatkan. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada Bapak Prof. H. Endang Sumantri, M. Ed., Ph.D. dan Bapak Prof. H. Kusnaka Adimihardja, M.A., Ph.D. yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi penguji dan penelaah disertasi ini. Bantuan, dorongan, nasehat, dan segala kebaikan mereka yang telah diberikan kepada penulis, walaupun mereka dalam keadaan sibuk, tetapi masih tetap memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkonsultasi. Penulis menyadari segala kebaikan mereka, penulis tak mampu membalasnya. Semoga Allah SWT meridhoi dan menjadikan amal jariyah segala kebaikan beliau.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Direktur Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Depdiknas yang telah membantu penulis dengan memberikan beasiswa selama tujuh semester sehingga studi penulis dapat selesai. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Kepala Balai Pendidikan Nonformal dan Informal (BPPNFI) Regional V Makassar yang telah memberikan izin penulis untuk melanjutkan pendidikan. Terkhusus ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Ir. Djajeng Baskoro, M.Pd. (Ka P2PNFI Bandung), Bapak DR. H. Abdul Kahar, M.Pd. (Kasubdit Kesetaraan Pendidikan Dasar Ditjen PNFI Depdiknas), dan Bapak Drs. Abu Bakar, M.Pd. (PTK-PNF Depdiknas) atas jasa dan bantuan mereka sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini dengan baik.

Kepada Bupati Bone beserta stafnya dan kepada Kepala Kantor Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Bone yang telah memberikan izin kepada penulis untuk meneliti masyarakat Bajo di Bajoe, untuk itu penulis menyampaikan terima kasih. Begitu pula kepada Camat Tanete Riattang Timur, Lurah Bajoe, Kepala Dusun Bajo di Bajoe dan Kepala Dusun Bajo di Matanauwe Pulau Buton penulis mengucapkan terima kasih banyak atas segala bantuan dan informasinya. Terkhusus ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada Bapak Drs. H. Bustan Ramli, M.Si.


(9)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

(Sekretaris Inspektorat Kabupaten Bone) beserta Ibu Hj. Rosmini (Fung H. Bustan dan Fung Hj. Mini) yang telah memberikan fasilitas istimewa, termasuk menyediakan satu kamar di rumahnya untuk digunakan penulis sebagai tempat „mencoret-coret‟ data hasil lapangan.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Kepala Perpustakaan UPI Bandung berserta stafnya; Perpustakaan UGM Jogjakarta, Perpustakaan UNY Jogjakarta, Perpustakaan UNHAS Makassar, Perpustakaan UNM Makassar, Perpustakaan Wilayah Makassar, dan Perpustakaan Unidayan Baubau, yang telah melayani dan membantu mencarikan data yang dibutuhkan penulis sebagai referensi pendukung penyusunan disertasi ini.

Penulis menghaturkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Asmiddin, M. Si. beserta Ibu Dra. Darna Asmiddin di Kota Baubau yang senantiasa membantu dan memfasilitasi penulis selama mengunjungi perkampungan manusia Bajo di Pulau Buton. Demikian pula ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada tiga keluarga yang dijadikan sebagai informan utama dan kasus dalam studi ini: keluarga Uwa Kardang, Uwa Are, dan Uwa Tasya dan seluruh masyarakat Bajo di Bajoe yang telah menganggap penulis sebagaimana keluarga sendiri. Dengan sikap keterbukaan menyampaikan segala bentuk aktivitas, budaya, dan adat istiadat mereka sehingga penelitian ini dapat terwujud dalam bentuk disertasi ini.

Penulis tak lupa menyampaikan terima kasih kepada teman-teman se-kantor di BPPNFI Regional V Makassar: Drs. Tasmal, M.Pd, Drs. Kasau AR., Syafruddin, SE., Muh. As‟ad SE.,M.Si., Drs. Ibrahim, M. Pd., Jamaluddin, S.Kom., Drs. Harisman, M.Pd., Hasna Mustafa, SS.,M.Pd., Rahmadana, S.Pd., Irma, SE., Dra. Ridawati, M.Pd., Maryam, S.Pd., yang senantiasa membantu penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studinya dengan baik. Terkhusus kepada sehe Arwin, S.Pd., M.Si., yang senantiasa membantu penulis mengalihbahasakan bahasa Bajo ke dalam bahasa Indonesia sekaligus teman diskusi membahas budaya dan adat istiadat manusia Bajo. Penulis juga sampaikan terima kasih kepada Drs. Arman Agung yang dengan ikhlas membantu penulis mengedit semua hasil rekaman yang diambil


(10)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

melalui handy cam menjadi naskah berupa motion picture yang ditampilkan dalam disertasi ini. Begitu juga kepada teman-teman yang tidak sempat disebutkan namanya satu per satu, penulis menyampaikan terima kasih atas bantuan dan doanya.

Kepada teman-teman angkatan 2006 Pendidikan Umum dan Nilai UPI: Pak Dudung, Pak Sulthoni, Pak Yadi, Pak Suherman, Pak Duliman, Pak Dede, Pak Halimi, Pak Agus Salam, Pak Sukanta, Pak Adang, Pak Wakhuddin, Pak Zaim, Bu Popon, dan Bu Dewi penulis sampaikan terima kasih atas segala kebersamaan yang akrab dan bantuannya selama penulis menempuh pendidikan di UPI Bandung. Terima kasih sekali lagi penulis sampaikan atas segala kebersamaan itu dalam suasana “bitter and sweet” selama masa-masa kuliah: berdiskusi, mencari bahan materi ujian, hingga outbound ke luar kota Bandung untuk menghilangkan „kepenatan‟ selama satu semester.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Mas Hardika dan Mas Toni atas saran-saran dan masukan dalam disertasi ini, terutama pada saat menjelang dipresentasikan sehingga kekurangan-kekurangan yang tidak terlihat oleh penulis dapat diperbaiki. Kepada DR. Rasmuin, M.Pd. dan Irwan Abbas, SS., M.Hum. yang telah menyediakan waktunya untuk membaca dan mengedit disertasi ini, penulis menyampaikan terima kasih. Begitu pula kepada teman se-kos dan teman-teman pengajian di Masjid Nurul Falah Gerlong Girang dan Masjid Danunegaran Jogjakarta: Bapak Dr. H. Johar, M.A. H. Endang, H. Supriatna, Eko Zaid, Bang Hasan, Abu Ridho, Al Jirni, Rahman, Afwan, Charsan, Ahmad Khotib, Lukman, Adjie, Adi, dan Muji, termasuk semua saudara-saudaraku yang tidak sempat disebutkan di sini penulis menyampaikan terima kasih. Berkat doa-doa mereka sehingga penulis dimudahkan oleh Allah SWT menyelesaikan studi ini.

Terakhir penulis menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua penulis, Ambo Angkah dan Indo Tuwo, yang telah mendidik, memelihara, dan membesarkan penulis dengan penuh keiklasan dan kasih sayang yang tiada henti-hentinya mendoakan untuk kesuksesan anaknya di rantau. Ananda tidak akan mampu membalas semua pengorbanan mereka, hanya Allah SWT yang


(11)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

mampu membalasnya. Kepada isteri penulis: dr. Widyaningrum dan anak-anak tercinta Nurarrad Tenrigangka dan Muhammad Firdaus yang merelakan masa-masa golden age-nya bersama ayah untuk ditinggal selama menempuh pendidikan. Kepada Bapak dan Ibu mertua penulis: Bapak Wiyoto dan Ibu Wiyati yang dengan ikhlas menghabiskan hari-harinya mengurus kedua cucunya. Kepada nenek penulis: Hudaiyah, paman dan bibi: H. Zainal Abidin sekeluarga, Hj. Jahra sekeluarga, Hj. Ondeng sekeluarga, dan Anisrawati, adik-adik penulis: Muhammad Akis sekeluarga, Yusfira sekeluarga, dan Maryati, dan kakak ipar penulis: Widyastuti, M.Psi. sekeluarga, beserta seluruh keluarga penulis yang tidak sempat disebutkan namanya dalam ucapan terima kasih ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus atas segala bantuannya baik moril maupun materil. Begitu pula kepada semua guru penulis, tiada yang pantas penulis ucapkan selain ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya karena berkat didikan mereka penulis dapat mencapai jenjang pendidikan tertinggi dengan mendapat gelar doktor.


(12)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

DAFTAR ISI

ABSTRAK ………..

KATA PENGANTAR ……….

UCAPAN TERIMA KASIH ……….. DAFTAR ISI ………... DAFTAR TABEL ………... DAFTAR GAMBAR ……….. BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... B. Rumusan Masalah ... C. Tujuan Penelitian ... D. Manfaat Penelitian ... E. Metode Penelitian ... F. Lokasi Penelitian ...

i ii iv ix xiv xv 1 17 17 18 19 20

BAB II. PENDEKATAN TEORETIS

MODEL PENDIDIKAN NILAI SOSIAL BUDAYA

A. Model dan Maknanya …... B. Nilai Sosial Budaya Ditinjau dari Perspektif

Teori Struktural Fungsional dan Interaksi Simbolik ... C. Pewarisan, Penyebaran, dan Konstruksi Nilai Sosial Budaya ...

1. Pewarisan Nilai Sosial Budaya: Sebuah Proses

Internalisasi ... 2. Penyebaran Nilai Sosial Budaya: Sebuah Proses

Sosialisasi ... 3. Konstruksi Nilai Sosial Budaya ... D. Posisi Pendidikan Nilai Sosial Budaya dalam Perspektif

Pendidikan Umum ………... 21 27 41 41 44 54 61


(13)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

1. Konsep dan Teori tentang Nilai ... 2. Konsep dan Teori tentang Nilai Sosial ... 3. Konsep dan Teori tentang Kebudayaan ... 4. Konsep dan Teori tentang Pendidikan Umum ... E. Tripusat Pendidikan ………... 1. Konsep dan Teori tentang Pendidikan ... 2. Pendidikan Keluarga ... 3. Pendidikan Sekolah ... 4. Pendidikan Masyarakat ...

F. Wanita dan Eksistensinya ……….

G. Beberapa Hasil Studi tentang Manusia Bajo ... 61 77 88 105 117 117 127 133 144 152 166 BAB III. METODE PENELITIAN

PENDIDIKAN NILAI SOSIAL BUDAYA

A. Penelitian Kualitatif Sebagai Sebuah Pendekatan ... B. Studi Kasus: Sebuah Metode dalam Penelitian Kualitatif ... C. Langkah-Langkah Penelitian ...

D. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ………...

E. Informan Penelitian .………

F. Pelaksanaan Penelitian …..………...

G. Kerangka Pemikiran ……….

H. Definisi Operasional ………

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Kabupaten Bone Selayang Pandang ……...……… 2. Sejarah Kehidupan Manusia Bajo di Bajoe ……… 3. Tempat-Tempat Manusia Bajo di Nusantara ..……… 4. Profil Tiga Keluarga Manusia Bajo di Bajoe

170 180 186 188 195 196 198 199 203 210 232


(14)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

a. Profil Keluarga Uwa Kardang .……….

b. Profil Keluarga Uwa Are ………..………….

c. Profil Keluarga Uwa Tasya ………..………. 5. Budaya dan Kehidupan Manusia Bajo di Bajoe .……….

a. Pola Hidup Manusia Bajo di Bajoe ……… b. Warisan Nilai-Nilai Sosial Budaya ……….……… c. Sistem Kekerabatan dan Stratifikasi Sosial ……..………...

d. Agama dan Kepercayaan ………

e. Mata Pencaharian ……… f. Sistem Pengetahuan ……..………... B. Pembahasan

1. Pendidikan Nilai Sosial Budaya dalam Keluarga Bajo di Bajoe …

2. Pendidikan Nilai Sosial Budaya dalam Masyarakat Bajo

di Bajoe ……….……….……

3. Makna Pendidikan Nilai Sosial Budaya

bagi Anak Bajo di Bajoe …………..………..

4. Nilai Sosial Budaya dalam Kehidupan Manusia Bajo di Bajoe …..

a. Nilai Sosial Budaya yang Terwujud dalam Adat Istiadat ……... b. Nilai Sosial Budaya yang Terwujud dalam Pengetahuan ... c. Pewarisan Nilai Sosial Budaya ………... d. Konstruksi Nilai Sosial Budaya ……….. C. Pengembangan Model Pendidikan Nilai Sosial Budaya dalam

Keluarga dan Lingkungan Manusia Bajo di Bajoe ……….

BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan ………... 237 246 259 273 273 292 323 329 347 364 396 420 444 452 452 476 485 494 502 514 517


(15)

Nama Lengkap, Tahun Penyerahan

B. Implikasi dan Rekomendasi ………... DAFTAR PUSTAKA ……….

LAMPIRAN-LAMPIRAN:

1. Permohonan Izin Penelitian dari Sekolah Pascasarjana UPI ………..……….

2. Surat Izin Penelitian Pemerintah Kabupaten Bone ………..

3. Surat Izin Penelitian Kepala Desa Matanauwe ………....

4. Pedoman Wawancara untuk Keluarga …………...……….

5. Pedoman Wawancara untuk Sekolah ………...

6. Pedoman Wawancara untuk Masyarakat ………....

7. Pedoman Pengamatan ………..………

8. Peta Kabupaten Bone ……….………

9. Denah Lokasi Penelitian ………...

10. Foto-Foto Penelitian ………..………...

11. Glosarium ……….……….

RIWAYAT HIDUP ……….

520

536 537 538 539 540 541 542 543 544 545 552 559


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Nusantara sebagai simbol bangsa Indonesia terdiri dari gugusan pulau-pulau yang terletak antara benua Asia dan Australia. Istilah Nusantara sudah dikenal sejak masa Gadjah Mada menjadi Patih Kerajaan Majapahit. Dalam kitab Kakawin Nagarakertagama, Mpu Prapanca menulis sumpah Gadjah Mada yang terkenal

„Sumpah Palapa‟ pada tahun 1364 dengan menyebut beberapa negeri yang dikuasai

oleh Kerajaan Majapahit. Salah satu kalimat sumpah itu berbunyi ”...Ikang sakasanǔasa Makasar Boetoen Banggawwi ...” yang maksudnya adalah kesatuan Nusantara mencakup daerah Makasar, Buton, Banggai (Yunus, 1995: 11). Kata sakasanǔasa dalam sumpah itu bermakna Nusantara yang dikenal dengan istilah Nusantara sekarang ini.

Gugusan pulau-pulau di Nusantara tersebut dikemudian hari lebih dikenal sebagai Indonesia. Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan sosial dan budaya berarti bahwa pertama, masyarakat Indonesia adalah satu. Peri kehidupan bangsa harus merupakan kehidupan yang serasi dengan tingkat kemakmuran masyarakat yang sama, merata dan seimbang, serta adanya keselarasan kehidupan yang sesuai dengan kemajuan bangsa; kedua, budaya Indonesia pada hakekatnya adalah satu, sedangkan corak ragam budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya bangsa yang menjadi modal dan landasan pengembangan budaya bangsa seluruhnya yang hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh warga bangsa.


(17)

Multatuli menyebut Indonesia sebagai untaian Zamrud Khatulistiwa yang merupakan negara kepulauan yang subur dengan latar belakang kebudayaan yang kaya. Indonesia terbentang di antara Samudera Pasifik dan Hindia yang memanjang dalam jarak yang lebih besar dari pantai timur Amerika Serikat ke pantai baratnya. Ada empat pulau besar di dalamnya: Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Selain pulau-pulau besar tersebut, Indonesia mempunyai pulau-pulau kecil yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan pulau yang berpenghuni sekitar 6000 pulau (Grolier, 1989: 218).

Bangsa Indonesia adalah salah satu bangsa di dunia yang paling majemuk dan dihuni oleh ratusan kelompok etnik, serta kaya akan bahasa serta kebudayaan daerah. Kemajemukan Indonesia tersebut terlihat pada aspek geografis, etnis, sosio-kultural, agama, serta aliran-aliran kepercayaan. Setiap suku bangsa memiliki bahasa dan dialek tersendiri. Agama yang ada dalam masyarakat Indonesia meliputi agama Islam, Hindu, Budha, Kristen, dan Khonghucu, sedangkan sistem hukumnya terdiri dari hukum nasional, agama, dan hukum adat. Pola kehidupan dari berbagai sistem kekerabatan dan sistem perkawinan, baik monogami maupun poligami, dapat dijumpai dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia (Gloriel, 1989: 228).

Masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk itu berpotensi untuk melahirkan masalah sosial. Masalah sosial dapat terjadi karena tidak adanya kehendak bersama untuk menuju kesatuan dan kedamaian. Konflik sosial dapat terjadi apabila muncul keegoan antaretnik, orang-orang pribumi dan non pribumi, dengan latar belakang agama, budaya, bahasa dan karakter yang berbeda, masing-masing tidak saling


(18)

menghargai satu sama lain. Kemajemukan itu sangat potensial menjadi pemicu konflik antaretnis apabila tidak diatur dengan baik.

Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sebelum kedatangan bangsa penjajah, budaya konflik, kekerasan sosial, intrik dan perpecahan sudah sering terjadi di kalangan kerajaan-kerajaan, baik yang ada di Jawa maupun di luar Jawa. Demikian pula setelah datangnya koloni penjajah, maka masyarakat Indonesia menjadi manusia terjajah yang tidak memiliki hak kemerdekaan. Kesadaran akan kemerdekaan sebagai manusia bermartabat dalam suatu bangsa melahirkan semangat perjuangan untuk merdeka dan bersepakat bersatu yang ditandai dengan momentum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Puncak perjuangan rakyat Indonesia terjadi saat pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta. Deklarasi kemerdekaan tersebut melahirkan sebuah negara dan bangsa baru, merdeka dan bermartabat, yang bernama Indonesia.

Bapak pendiri bangsa Indonesia memilih Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan nasional yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Semboyan ini lahir sebagai refleksi atas realitas kemajemukan bangsa, sekaligus sebagai jawaban agar kemajemukan itu tidak memicu disintegrasi, tetapi justru menjadi tiang-tiang penyangga bagi hadirnya sebuah bangsa yang kokoh. Para pendiri bangsa menyadari bahwa tidak mungkin bangsa Indonesia yang besar dan luas yang di dalamnya terdiri dari berbagai manusia dengan suku, agama, dan ras yang berbeda menjadi bangsa yang homegen. Simbol Bhinneka Tunggal Ika dapat melahirkan aset yang berharga


(19)

untuk mempersatukan berbagai kelompok etnik dalam suatu ikatan yang berorientasi ke masa depan, adil dan makmur.

Kebhinnekatunggalikaan tersebut merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan masyarakat Indonesia yang majemuk. Masyarakat Indonesia terwujud sebagai hasil interaksi sosial dari banyak suku bangsa dengan aneka ragam latar belakang kebudayaan, agama, dan sejarah. Keanekaragaman sosial budaya yang mewarnai kehidupan bangsa Indonesia sangat menarik untuk dikaji, sebagaimana dikatakan Jong (Santoso, 1982: 11) bahwa kepulauan Nusantara merupakan suatu ethnologische studieveld yang ideal. Indonesia sebagai tempat yang dapat leluasa mengadakan studi perbandingan kemasyarakatan ataupun kebudayaan karena dari dalam satu kesatuan wilayah itu ditemukan aneka ragam masyarakat dan kebudayaan.

Sisi geografis dan falsafah bangsa Indonesia menunjukkan sebuah harapan dan cita-cita agung yang dapat membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang hidup damai dan sejahtera. Pada kenyataannya, harapan dan cita-cita tersebut belum terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sesama anak-anak bangsa masih senang menabur benih-benih kebencian, permusuhan, dengki, dan dendam. Pelajar, baik siswa maupun mahasiswa, masih sering terlibat dalam aksi-aksi kekerasan, pornografi, seks bebas, narkoba, dan aneka macam penyakit sosial lainnya, termasuk konflik antaretnik yang masih sering terjadi.

Lembaga pendidikan sebagai tempat mendidik anak menjadi manusia utuh tidak lepas dari tindakan kekerasan. Kekerasan di dunia pendidikan masih sering terjadi, seperti di salah satu SDN Pati, seorang ibu guru kelas IV menghukum


(20)

murid-murid yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah dengan menusukkan paku yang dipanaskan ke tangan siswa. Di Surabaya, seorang guru olahraga menghukum lari seorang siswa yang terlambat datang dengan lari beberapa kali putaran. Karena fisiknya lemah, anak tersebut meninggal dunia. Dalam periode yang tidak berselang lama, seorang guru Sekolah Dasar Lubuk Gaung, Bengkalis, Riau, menghukum muridnya dengan lari keliling lapangan dalam kondisi telanjang bulat (Assegaf, 2006: 3). Kasus-kasus tersebut mengindikasikan bahwa kekerasan di dunia

pendidikan masih „melembari wajah‟ pendidikan di negara ini.

Dalam beberapa dekade terakhir tujuan pendidikan masih cenderung berorientasi pada sesuatu yang bersifat pragmatis, artinya bahwa hasil pendidikan yang diinginkan adalah pendidikan yang dapat langsung dilihat dengan „mata dan

dinikmati oleh perut‟. Institusi pendidikan yang fungsi awalnya membentuk manusia

Indonesia seutuhnya, untuk saat ini tidak lebih dari sekadar lembaga bisnis dan industri yang melihat peserta didik sebagai obyek yang siap menjadi lahan memperoleh keuntungan dan biaya operasional penyelenggaraan pendidikan. Pada saat yang bersamaan, moral, etika, dan kepekaan hidup sosial bukan lagi menjadi

„menu bergizi‟ bagi peserta didik dan pendidik.

Pendidikan nilai sosial budaya dalam keluarga dan lingkungan memiliki peranan penting dalam upaya mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya. Pendidikan nilai sosial budaya dapat menjadi sarana strategis dalam menangkal pengaruh-pengaruh negatif, baik pengaruh-pengaruh yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Sejalan dengan derap laju pembangunan dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta arus reformasi sekarang ini, pembinaan nilai-nilai sosial budaya semakin


(21)

dirasa penting sebagai salah satu alat pengendali menuju tercapainya tujuan pendidikan nasional secara utuh. Adanya gejala di kalangan anak muda, bahkan orang tua, yang sudah mengabaikan nilai-nilai sosial budaya dalam tata krama pergaulan merupakan sebuah fenomena yang memprihatinkan.

Pendidikan nilai sosial budaya dalam keluarga dan lingkungan dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang sering muncul dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan nilai sosial budaya sangat bermanfaat terhadap pengembangan kepribadian anak, sebagaimana dikatakan Hasan (1996: 120) bahwa pendidikan ilmu-ilmu sosial bertanggung jawab untuk mengembangkan sikap, nilai, dan moral pada diri anak. Oleh karena itu, pendidikan nilai-nilai sosial dalam keluarga dan lingkungan suatu masyarakat harus mengembangkan sikap positif terhadap berbagai tradisi, nilai, dan moral yang dianut di dalam disiplin ilmu sosial, masyarakat, dan bangsanya. Dunia pendidikan perlu mengimplementasikan nilai sosial budaya pada anak sejak dini, baik melalui kurikulum sekolah, penelitian seputar gambaran dasar nilai sosial budaya dalam kehidupan masyarakat, atau melahirkan buku-buku pelajaran yang bernuansa nilai sosial budaya sampai pada merekomendasikan pentingnya pembelajaran nilai sosial budaya, baik di lingkungan sekolah, keluarga, maupun di masyarakat.

Bangsa Indonesia dapat melihat dan belajar dari bangsa Amerika mengenai pendidikan nilai moral bagi anak. Amerika sekitar tahun 60-an menghadapi peningkatan gejala-gejala penyimpangan moral seperti bunuh diri, penyalahgunaan obat terlarang, aborsi di kalangan remaja, seks bebas, dan berbagai tindak kriminal lainnya. Kondisi tersebut memicu keperdulian Thomas Lincona (Bakri, 2006: 2)


(22)

menulis sebuah buku, Educating for Character, yang secara khusus mengupas pentingnya pendidikan nilai-nilai kepribadian bagi anak-anak di sekolah. Bagi Lincona, peningkatan gejala-gejala semacam itu tidak lepas dari kebijakan pemerintah Amerika Serikat di bidang pendidikan. Model pendidikan nilai moral Lincona ternyata berhasil menurunkan angka demoralisasi di Amerika.

Pada mulanya bangsa Amerika memandang pendidikan nilai moral di sekolah sebagai suatu model pendidikan yang tabu dalam sistem pendidikan. Alasannya bahwa pendidikan nilai moral di sekolah umum merupakan bentuk pemaksaan nilai-nilai tertentu kepada siswa yang pluralis sehingga nilai-nilai-nilai-nilai moral tertentu dianggap sebagai suatu yang sangat subyektif. Pandangan ketabuan tersebut menurut Lincona dianggap sebagai sesuatu yang keliru. Lincona kemudian mengusulkan pendidikan nilai moral dengan membelajarkan dua model nilai moral dasar kepada siswa di sekolah, yaitu nilai-nilai penghargaan dan tanggung jawab. Nilai penghargaan mencakup tiga hal, yakni penghargaan terhadap diri sendiri, lingkungan hidup, dan terhadap segala bentuk kehidupan. Nilai penghargaan merupakan sisi larangan moralitas yang mengajarkan apa yang sebaiknya jangan dilakukan, sedangkan nilai tanggung jawab merupakan sisi yang mengajarkan apa yang seharusnya dilakukan. Model Lincona ini sukses mengantarkan anak-anak Amerika memahami pentingnya nilai moral dalam kehidupan mereka.

Miller, seorang ahli pendidikan dari Ontario Institute for Studies in Northwestern Center, juga menawarkan sejumlah model pembelajaran yang mampu menumbuhkan daya kreatif siswa sehingga tumbuh menjadi siswa yang berpribadi cerdas, sekaligus memiliki keluhuran budi. Miller menuangkan


(23)

gagasannya dalam buku “Humanizing The Class Room; Models of Teaching in Affective Education.” Miller memperkenalkan 17 model pembelajaran yang dapat dipilih oleh pelaku pendidikan dalam penerapan di kelas sesuai dengan keberadaan anak dan lingkungan yang mengitarinya. Ketujuhbelas model tersebut dikelompokkan ke dalam empat rumpun model, yakni (1) pengembangan, (2) konsep diri, (3) kepekaan dan orientasi kelompok atau sosial, dan (4) perluasan kesadaran. Guru dan praktisi pendidikan di sekolah dapat memilih model-model tersebut dengan mempertimbangkan dua hal. Pertama, tujuan dan kepentingan menjadi prioritas bagi guru atau fasilitator dalam proses pembelajaran yang ditanganinya; kedua, guru atau fasilitator memperhatikan dan menyesuaikan struktur dan suasana lingkungan yang mengitari anak didiknya (Bakri, 2006: 3).

Pengalaman bangsa Amerika perlu menjadi penghayatan dan contoh yang baik bagi bangsa Indonesia, terutama departemen pendidikan agar dapat menerapkan model pendidikan yang berbasis nilai-nilai sosial dalam keluarga dan lingkungan yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang plural. Dunia pendidikan memerlukan terobosan baru melalui pengembangan model pendidikan, yang bukan hanya menyangkut pengembangan model pendidikan budi pekerti dan pendidikan karakter, akan tetapi juga model pendidikan berbasis nilai sosial budaya. Model pendidikan nilai-nilai sosial budaya dalam keluarga dan lingkungan perlu diimplementasikan dalam dunia pendidikan karena model ini akan membawa anak paham dan siap mengamalkan nilai saling menghargai antarsesama, kehidupan yang harmonis, dan kepekaan terhadap masalah orang lain. Untuk sampai kepada tujuan itu, maka implementasi model pendidikan nilai sosial budaya dalam keluarga dan


(24)

lingkungan masyarakat perlu mendapat dukungan, baik dari pemerintah maupun masyarakat.

Masalah pendidikan, hingga saat ini, masih menjadi satu masalah yang

kompleks dan besar. Pendidikan sebagai „senjata‟ membangun kesadaran, karakter,

dan komunitas tidak hanya terkait dengan kebijakan dan teknis pendidikan, tetapi juga terkait dengan materi dan muatan pendidikannya. Kneller (Septiani, 2006: 56) mengatakan bahwa permasalahan mendasar pendidikan adalah lebih pada tidak tercakupnya nilai-nilai, sikap-sikap sosial, dan keterampilan sosial berkehidupan bersama dengan orang lain dalam proses pendidikan secara holistik, sehingga fondasi kebudayaan dalam perilaku pendidikan seolah-olah tercerabut dari akar-akarnya.

Nilai sosial budaya berkaitan erat dengan jati diri manusianya. Nilai-nilai ini sangat dijunjung tinggi oleh orang banyak. Apabila nilai sosial budaya sudah disepakati melalui konsensus orang banyak, maka ia akan dipandang sebagai hal yang menyangkut kesejahteraan bersama. Nilai ini selalu berorientasi pada peningkatan kualitas hidup manusia. Oleh karena itu nilai sosial budaya harus melekat pada etika dan moral masyarakat sehingga apa yang menjadi kebutuhan yang dianggap baik oleh masyarakat luas dapat menjadi pedoman hidup.

Melalato (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990: 144) mengatakan bahwa nilai budaya adalah suatu konsep abstrak mengenai masalah dasar dan bersifat umum yang sangat penting serta bernilai bagi kehidupan suatu masyarakat. Nilai budaya yang menjadi acuan tingkah laku sebagian besar anggota masyarakat yang bersangkutan akan berada dalam alam pikiran mereka dan sulit diterangkan secara rasional. Nilai budaya bersifat langgeng, tidak mudah berubah atau diganti dengan


(25)

nilai budaya lain. Anggota suatu masyarakat memiliki nilai itu sebagai hasil proses belajar sejak masa kanak-kanak sampai dewasa sehingga nilai-nilai itu mendarah daging.

Nilai sosial budaya berfungsi sebagai suatu landasan untuk membuat suatu keputusan, dan juga sebagai standar tingkah laku individu maupun kelompok. Nilai sosial budaya yang sudah menjadi standar tingkah laku akan berfungsi sebagai kerangka patokan interaksi sosial sehingga individu lebih menyadari nilai-nilai sosial budaya sebagai bagian dari dirinya. Nilai sosial budaya yang sudah menjadi nilai kedirian akan membawa manusianya sadar terhadap diri sendiri dan memandang adanya diri orang lain diluar dari dirinya, sehingga tindakan kedirian melahirkan suatu perasaan moralitas yang tinggi, serta suatu konsepsi diri tentang suatu tindakan yang akan mengagungkan kedirian manusia.

Dalam kehidupan masyarakat yang beraneka ragam, manusia tidak pernah lepas dari masalah. Masalah itu adalah masalah sosial. Lindgren (1981: 4)

mengatakan bahwa “...the most perplexing problems faced by humanity today are social problems”. Untuk mengatasi masalah sosial yang berpotensi terjadi, maka masyarakat tidak boleh mengabaikan nilai-nilai sosial budayanya. Nilai sosial budaya terkait mengenai apa yang dianggap baik atau buruk oleh masyarakatnya. Nilai tersebut merupakan petunjuk umum yang telah berlangsung lama dan dapat mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Selain sebagai pengarah, nilai sosial budaya juga berfungsi sebagai alat untuk berpikir dan bertingkah laku masyarakatnya, sehingga nilai tersebut


(26)

menjadi penentu terakhir bagi manusia penganutnya dalam memenuhi peranan-peranan sosial, alat solidaritas, dan sebagai alat kontrol perilaku.

Lee (2000: 2) mendefinisikan nilai sosial sebagai standar perilaku dalam masyarakat, sedangkan Raven (1977: 220) mengatakan bahwa nilai-nilai sosial merupakan seperangkat sikap masyarakat yang dihargai sebagai suatu kebenaran dan dijadikan standar untuk bertingkah laku sehingga mereka dapat hidup secara demokratis dan harmonis. Raven (1977: 221) mengelompokkan nilai sosial ke dalam tiga kelompok: cinta, tanggung jawab, dan kehidupan harmonis. Cinta mencakup dedikasi, tolong menolong, kekeluargaan, solidaritas, dan simpati. Tanggung jawab mencakup rasa memiliki, disiplin, dan empati. Kehidupan yang harmonis mencakup keadilan, toleransi, kerjasama, dan demokrasi. Lee dan Raven mengakui bahwa peranan nilai-nilai sosial budaya dalam kehidupan masyarakat memiliki fungsi penting yang tidak bisa diabaikan. Implementasi pendidikan nilai sosial budaya dalam keluarga dan lingkungan masyarakat dapat membawa masyarakatnya hidup dalam suasana yang harmonis, kasih sayang, dan bertanggung jawab.

Pendidikan nilai sosial budaya memiliki arti penting bagi kehidupan anak, yakni sebagai agen pengembangan pribadi dan nilai sosial pada diri anak. Kenyataan menunjukkan bahwa anak senantiasa berada dalam konteks kehidupan kelompok masyarakat di mana mereka hidup. Aliran progresivisme melihat bahwa tujuan pendidikan itu bersifat ganda, yaitu untuk mengembangkan diri individu dan juga sekaligus meningkatkan kehidupan sosial yang lebih baik. Pendidikan nilai sosial budaya bagi anak sebagai individu dan sebagai masyarakat tidak dapat dipisahkan, sebagaimana yang dikatakan oleh Hellenbeck (Kuntoro, 2006: 16) bahwa peserta


(27)

didik sebagai individu dan sebagai masyarakat tidak dapat dipisahkan karena anak tidak akan tumbuh dan berkembang secara normal tanpa berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu juga sebalikanya, masyarakat tidak akan ada tanpa ada individu yang hidup di dalamnya.

Ada kecenderungan orientasi pendidikan saat ini mengarah kepada penekanan peningkatan perolehan perbaikan taraf hidup anak didik. Hal ini dapat mengakibatkan peran pendidikan sebagai agen perubahan nilai sosial tidak diperhatikan. Salah satu contoh model pendidikan yang kurang menekankan pentingnya pendidikan nilai-nilai sosial budaya adalah pendidikan bentuk keterampilan dengan program pelatihan, seperti kursus mengemudi mobil atau montir. Peran pendidikan diutamakan hanya untuk mengembangkan keterampilan teknis dan pengetahuan individu, yaitu menyetir mobil, atau hanya memperbaiki kerusakan mobil. Padahal di sisi lain, sikap dan nilai-nilai sosial budaya dibutuhkan untuk turut membantu tertib lalu lintas, menghormati para pengguna jalan, atau mendahulukan pengendara lain yang dalam keadaan terburu-buru. Dengan tidak memperdulikan nilai-nilai sosial budaya dalam berlalu lintas, seseorang dapat mengakibatkan terjadinya kemacetan, dan bahkan kecelakaan lalu lintas. Demikian pula menjadi seorang montir, nilai-nilai sosial budaya memiliki peranan yang sangat bermanfaat dalam menjalin hubungan baik dengan pelanggan.

Salah satu nilai sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah nilai sosial budaya manusia Bajo. Sisi kehidupan manusia Bajo belum dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia. Ensiklopedi Nasional Indonesia (1990: 66) menyebutkan bahwa jumlah manusia


(28)

Bajo yang hidup diberbagai pulau di Indonesia belum dapat diketahui dengan baik karena sejak lama mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mobilitas yang tinggi ini adalah berkat keakraban mereka dengan kehidupan laut. Keluarga-keluarga manusia Bajo dahulu lebih banyak hidup di atas perahu yang mereka sebut bido. Mereka melakukan berbagai kegiatan hidup seperti tidur, memasak, melahirkan dan lain-lain di atas perahu. Walaupun manusia Bajo berpisah dalam tempat-tempat yang berjarak puluhan atau ratusan kilometer, hubungan kekeluargaan mereka masih tetap terjaga dalam tingkat keakraban tertentu. Mereka mengenal tingkat keluarga dekat dan keluarga jauh. Masyarakat Bajo menyukai hidup damai dan menghindari perkelahian, oleh sebab itu mereka bersikap pasif terhadap tekanan atau pemerasan dari pihak luar. Manusia Bajo umumnya beragama Islam, meskipun dalam beberapa hal masih mengamalkan animisme.

Salah satu komunitas manusia Bajo yang hidup tersebar di Nusantara adalah manusia Bajo yang ada di pesisir Teluk Bone, Bajoe, Sulawesi Selatan, yang selanjutnya dalam studi ini dinamakan Manusia Bajo di Bajoe. Manusia Bajo di Bajoe menjadi fokus studi karena mereka masih memiliki karakteristik nilai-nilai sosial budaya yang unik dan menarik untuk diteliti. Komunitas mereka mulai menetap di pesisir Teluk Bone sekitar tahun 1950-an. Tempat itu pada mulanya berfungsi sebagai tempat berlabuh perahu-perahu mereka manakala berada di lautan mencari nafkah. Kedatangan mereka menetap tinggal pertama kali di Kampung Bajoe adalah persebaran mereka yang pernah bermukim di Lassareng. Mereka mendirikan rumah-rumah yang sangat sederhana pada mulanya, lambat laun komunitas manusia Bajo di Bajoe semakin berkembang. Keluarga mereka yang


(29)

berasal dari Ussu Kabupaten Luwu, salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan, mulai bermigrasi ke Bajoe sehingga perkampungan mereka bertambah ramai. Di samping itu Kampung Bajo terletak pada lokasi yang sangat strategis karena berada di pesisir Teluk Bone yang kaya dengan hasil-hasil laut.

Komunitas manusia Bajo di Bajoe pada awalnya berasal dari Lassareng. Kampung Lassareng terletak di wilayah Desa Ujung Pattiro, Pattiro Bajo. Wilayah ini dahulu merupakan wilayah Kerajaan Bone, sekarang menjadi Kabupaten Bone. Penamaan Kampung Lassareng sebagai kampung orang Bajo diambil sesuai dengan nama Uwa Lassareng, kepala suku Bajo pada waktu itu. Masyarakat Bajo hidup tertata dengan aturan-aturan dan nilai sosial budaya yang kuat. Perangkat nilai-nilai sosial budaya masih ditaati dengan baik. Mereka memegang teguh nilai-nilai-nilai-nilai tersebut dalam membingkai kehidupan sosialnya. Nilai sosial budaya tumbuh dan berkembang dalam kehidupan mereka dengan latar belakang kehidupan laut.

Manusia Bajo dikenal sebagai manusia laut dengan karakteristik masyarakat nelayan dan pengembara lautan. Pada awalnya hidup mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan alat perahu dan sekaligus sebagai tempat tinggalnya. Keadaan tersebut berlangsung sejak dahulu sampai kira-kira seabad yang lalu. Kemudian mereka mengenal kehidupan yang menetap dipinggir pantai. Mereka mulai mengenal dan memiliki tanah sehingga sedikit demi sedikit meninggalkan kebiasaan mengembara di lautan. Mereka mulai membangun rumah-rumah tiang sangat sederhana yang dibangun di atas air. Sebagian dari mereka membuat tumpukan batu karang yang di atasnya dapat ditempati membuat rumah.


(30)

Masyarakat Bajo di Bajoe dalam aktivitas kesehariannya adalah bergotong royong. Aktivitas ini masih terpelihara hingga saat ini, misalnya dalam mendirikan rumah baru, memindahkan rumah, dan membuat perahu. Ketika mereka bergotong royong, pemilik hajat menyediakan makanan, minuman, dan kue-kue tradisional. Kue tradisional yang mereka senangi adalah onde-onde.

Masyarakat Bajo di Bajoe memiliki nilai solidaritas yang kuat di antara mereka. Nilai ini tampak ketika mereka turun melaut untuk mencari ikan dan hasil-hasil laut lainnya. Pada hari Jum‟at mereka tidak melaut karena mereka menganggap bahwa hari Jumat adalah hari khusus untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Mereka masih percaya bahwa barangsiapa yang berani melaut pada hari Jum‟at akan

mendapat musibah. Kepercayaan seperti itu hingga sekarang masih tetap ada. Kepercayaan itu menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Bajo di Bajoe masih memiliki keyakinan akan adanya kekuatan makhluk halus yang ada di laut yang dapat memberikan keselamatan diri dan rezeki bagi kaum nelayan. Perilaku tersebut menunjukkan adanya sinkretisme budaya antara keyakinan kepada Allah SWT sebagai pemeluk agama Islam dan kepercayaan nenek moyang mereka.

Manusia Bajo dalam kehidupannya hanya mengenal dua kelompok manusia, yakni Same dan Bagai. Semua orang Bajo adalah orang Same, sedangkan semua orang di luar etnis Bajo adalah Bagai. Jadi, etnis Bugis, Sunda, Jawa, Batak, dan sebagainya adalah Bagai. Dari sisi kehidupan sosial MBB, mereka sangat menghormati nilai-nilai sosial budaya masyarakat Bagai, bahkan manusia Bajo mudah beradaptasi dengan nilai-nilai budaya masyarakat di mana mereka berada. Sifat mudah beradaptasi menjadi bukti sikap hidup toleran dalam komunitas mereka.


(31)

Sikap toleran dan menghargai nilai sosial budaya orang bagai menjadi kunci keberhasilan mereka sehingga dapat hidup berdampingan dengan masyarakat Bagai. Mereka hidup jauh dari konflik.

Karakteristik pola hidup dan nilai-nilai sosial budaya yang masih tersimpan dalam kehidupan manusia Bajo di Bajoe tersebut menjadi perhatian khusus dan menarik untuk diteliti. Ada banyak hal menarik bagi manusia Bajo di Bajoe untuk dikaji, antara lain tingkat aspirasi pendidikan, nilai etos kerja, dan peranan gender dalam keluarga. Tema-tema tersebut sudah dikaji oleh beberapa studi, namun sisi pengembangan pendidikan nilai-nilai sosial budaya belum ditemukan hasil penelitian yang mengkajinya. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa peneliti memilih pendidikan nilai sosial budaya dalam keluarga dan lingkungan manusia Bajo di Bajoe Sulawesi Selatan.

Pendidikan nilai sosial budaya amat penting dan bermanfaat dalam membentuk karakter anak sebagai generasi penerus bangsa, sehingga studi pendidikan nilai sosial budaya perlu dibahas dan dikaji secara lebih mendalam. Orientasi pendidikan perlu diperluas pada aspek pendidikan nilai-nilai sosial budaya yang mencakup proses pewarisan, penyebaran, dan konstruksinya. Konflik antaretnik, tawuran antarpelajar, dan masalah-masalah sosial lainnya dapat terjadi karena nilai-nilai sosial budaya belum terwujud dalam diri anak. Sebagai tanda keprihatinan dan keperdulian terhadap masalah-masalah sosial di kalangan generasi muda sebagai generasi penerus dan pewaris bangsa di masa depan, maka pendidikan nilai sosial budaya dalam keluarga dan lingkungan harus dilakukan.


(32)

Nilai-nilai sosial budaya pada masyarakat Bajo di Bajoe merupakan sebuah

„mutiara yang masih terpendam di dalam lumpur‟. Mutiara tersebut perlu

dikeluarkan agar dapat berkilau dan bercahaya. Nilai sosial budaya manusia Bajo di Bajoe laksana mutiara yang sudah lama ada, namun masih belum banyak dibahas dalam sebuah kajian ilmiah. Saya akan menggali nilai-nilai sosial budaya tersebut menjadi sebuah model pendidikan yang di dalam studi ini dinamakan Model

Pendidikan Nilai Sosial Budaya dalam Keluarga dan Lingkungan Manusia Bajo

di Bajoe, sekaligus menjadi judul dari studi ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan teori dan data empirik pada bagian pendahuluan di atas, maka saya merumuskan tiga komponen utama yang harus digali untuk mengembangkan model pendidikan nilai sosial budaya dalam keluarga dan lingkungan manusia Bajo di Bajoe Sulawesi Selatan: (1) bagaimanakah manusia Bajo mewariskan nilai sosial budayanya? (2) bagaimanakah manusia Bajo menyebarkan nilai sosial budayanya? dan (3) bagaimanakah manusia Bajo mengkonstruksi nilai sosial budayanya?

C. Tujuan Penelitian

Studi ini bertujuan untuk menemukan dan mendeskripsikan secara empirik model pendidikan nilai sosial budaya dalam keluarga dan lingkungan manusia Bajo di Bajoe Sulawesi Selatan yang berkaitan dengan proses pendidikan manusia Bajo mewariskan nilai sosial budayanya, proses pendidikan manusia Bajo menyebarkan nilai sosial budayanya, dan proses pendidikan manusia Bajo mengkonstruksi nilai sosial budayanya.


(33)

D. Manfaat Penelitian

Ada dua aspek manfaat yang diharapkan dari penelitian ini: aspek teoretis dan aspek praktis.

1. Aspek Teoretis

Secara teoretis terdapat dua kontribusi utama dalam studi ini; pertama, studi ini menggunakan pendekatan interdisipliner, yaitu menggunakan disiplin ilmu sosiologi, psikologi, antropologi, filsafat, dan studi nilai, terutama dalam memahami nilai-nilai sosial budaya manusia Bajo di Bajoe. Kedua, studi pendidikan nilai sosial budaya manusia Bajo di Bajoe dapat memberi pengayaan pemikiran terhadap pengembangan kajian pada program studi pendidikan umum sebagai kajian interdisipliner.

2. Aspek Praktis

Secara praktis model pendidikan nilai sosial budaya dapat memberikan beberapa implikasi: pertama, studi ini dapat memberi sumbangan pemikiran secara konseptual terhadap pembinaan dan pengembangan pendidikan nilai-nilai sosial budaya pada komunitas manusia Bajo di wilayah Nusantara dan khususnya komunitas manusia Bajo di Bajoe Sulawesi Selatan; kedua, studi ini memiliki dampak positif, terutama untuk menanamkan kesadaran manusia Bajo akan pentingnya pendidikan nilai-nilai sosial budaya bagi anak-anak mereka; Ketiga, studi ini akan memberikan profil dan pemahaman kepada masyarakat Indonesia tentang pendidikan nilai-nilai sosial budaya manusia Bajo di Bajoe Sulawesi Selatan. Nilai-nilai ini penting diketahui bagi para pengkaji dan pengembang pendidikan supaya


(34)

proyek pendidikan bagi masyarakat Bajo yang hidup di pesisir pantai tidak salah arah dan sasaran.

E. Metode Penelitian

Studi ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Karena penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pendidikan nilai-nilai sosial budaya pada manusia Bajo di Bajoe melalui pengkajian secara mendalam, maka pendekatan kualitatif diyakini sangat tepat digunakan untuk menggali nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam kehidupan manusia Bajo di Bajoe tersebut.

Pendekatan penelitian kualitatif tepat digunakan karena pendekatan ini berdasar pada asumsi bahwa realitas merupakan sesuatu yang bersifat ganda. Realitas tersebut saling kait-mengkait dan di dalamnya terjadi saling bertukarnya pengalaman sosial yang diinterpretasikan oleh individu atau kelompok. Pendekatan ini lebih melihat sesuatu sebagaimana adanya dalam satu kesatuan yang saling terkait. McMillan (2001: 395) mengatakan bahwa pendekatan kualitatif sangat bermanfaat untuk digunakan mengkaji pengembangan kebijakan, issu-issu sosial, dan perbaikan praksis pendidikan.

Beberapa metode menurut Creswell (1998: 27) dapat digunakan dalam penelitian kualitatif seperti Biographical Life History, Phenomenology, Grounded Theory, Ethnography, dan Case Study. Saya memilih metode studi kasus dalam studi ini karena sifat naturalistik lebih menyukai modus laporan studi kasus. Studi kasus membutuhkan interaksi secara mendalam dan terus menerus antara peneliti dan informan sehingga memungkinkan peneliti menggali secara mendalam nilai-nilai


(35)

F. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam studi ini adalah komunitas manusia Bajo di Bajoe Sulawesi Selatan yang terletak di pesisir Teluk Bone. Komunitas manusia Bajo di Bajoe dipilih sebagai lokasi penelitian karena komunitas ini masih memiliki karakteristik unik sebagai sebuah perkampungan manusia Bajo. Selain itu, beberapa hasil penelitian mengemukakan bahwa persebaran manusia Bajo di kawasan pulau-pulau Indonesia Bagian Timur berasal dari manusia Bajo di Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Masyarakat Bajo di Bajoe diyakini masih menyimpan karakteristik nilai-nilai sosial budaya yang dapat merefleksikan nilai sosial budaya komunitas manusia Bajo di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.

Dusun Bajo secara geografis berada pada posisi strategis yang diapit oleh tiga dusun dan satu teluk. Tiga dusun tersebut adalah Dusun Rompe yang berada di sebelah selatan, Dusun Pao berada di sebelah barat, Dusun Appasareng berada di sebelah utara, dan Teluk Bone berada di sebelah timur (peta lokasi penelitian dapat dilihat pada lampiran 8 dan 9).


(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

PENDIDIKAN NILAI SOSIAL BUDAYA

Pada bab I, saya telah menyinggung secara sepintas pendekatan dan metode yang digunakan dalam studi ini. Pada bab III ini, saya akan menjabarkan lebih rinci tentang metode penelitian terutama mengenai pendekatan dan metode penelitian yang digunakan, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, sasaran penelitian, informan penelitian, dan jadual pelaksanaan penelitian.

A. Penelitian Kualitatif Sebagai Sebuah Pendekatan

Mengawali pembahasan penelitian kualitatif sebagai sebuah pendekatan, saya terlebih dahulu membahas masalah pengertian metodologi dan metode karena kedua istilah ini terkadang dipahami dalam makna yang sama, padahal istilah metodologi tidak identik dengan metode, sebagaimana dikemukakan McMillan dan Schumacher (2001: 9) bahwa “…the ways one collects and analyzes data.” Metodologi adalah cara seorang peneliti mengumpulkan dan menganalisis data secara sistematik dan mempunyai tujuan.

Cohen dan Manion (1994: 4) mengatakan bahwa metodologi adalah rancangan yang dipakai peneliti memilih prosedur pengumpulan dan analisis data dalam menyelidiki masalah penelitian tertentu. Hal ini mencakup asumsi dan nilai yang berfungsi sebagai rasional untuk riset dan standar atau kriteria yang dipakai peneliti untuk menginterpretasikan data dan mencapai kesimpulan.


(37)

Secara ringkas, metodologi berarti pengkajian, penjelasan, dan pembenaran metode, dan bukan metodenya itu sendiri, sebagaimana dikatakan Kaplan (Sirozi, 2004: 81) bahwa:

Metodologi penelitian adalah memerikan dan menganalisa metode, menyoroti keterbatasan dan sumbernya, menjelaskan presuposisi dan akibatnya, mengaitkan potensinya dengan daerah abu-abu di garis depan pengetahuan. Mengutamakan generalisasi dari keberhasilan teknik khusus, menerangkan cara penerapan baru, dan mengembangkan sikap khusus asas logika dan metafisik pada masalah konkrit, menyarankan perumusan yang baru.

Sebaliknya, metode merupakan salah satu bagian penting dalam penelitian. Mengapa metode penting dalam penelitian? Karena metode adalah alat untuk sampai ke tujuan, sebagaimana dikatakan Alwasilah (2003: 85) bahwa “bagaimana cara

Anda sampai ke Bandung?”. “Mengendarai mobil”. Itulah dinamakan metode.

Metode menurut Kaplan (Sirozi, 2004: 81) adalah cara seseorang mengumpulkan dan menganalisis data atau teknik atau prosedur yang digunakan dalam proses pengumpulan data. Untuk mencapai tujuan penelitian perlu suatu metode yang tepat. Dalam penelitian, metode bisa berarti cara seseorang mengumpulkan dan menganalisis data atau teknik dan prosedur yang dipakai dalam proses pengumpulan data (Cohen & Manion, 1994: 4). Jadi, metode penelitian dapat diartikan sebagai suatu proses pangumpulan dan analisis data secara sistematis untuk mencapai tujuan tertentu.

Sudah menjadi kaidah ilmiah bahwa untuk mengadakan suatu penelitian terlebih dahulu peneliti menetapkan pendekatan penelitian dan metode apa yang akan digunakan. Dalam studi ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena pendekatan ini memiliki keistimewaan tersendiri. Ada enam keistimewaan


(38)

pendekatan penelitian kualitatif menurut Alwasilah (2003: 107-110): Pertama, pemahaman makna, yakni makna merujuk pada kognisi, afeksi, intensi, dan apa saja yang terpayungi dengan istilah perspektif partisipan. Kedua, pemahaman konteks tertentu, yakni peneliti berkonsentrasi pada orang atau situasi yang relatif sedikit dan analisis secara mendalam terhadap kekhasan kelompok dan situasi itu saja. Ketiga, identifikasi fenomena dan pengaruh yang tidak terduga, yakni setiap informasi, kejadian, perilaku, suasana, dan pengaruh baru berpotensi sebagai data untuk membeking hipotesis kerja. Keempat, kemunculan teori berbasis data atau grounded theory. Kelima, pemahaman proses, artinya peneliti mengutamakan proses daripada produk kegiatan yang diamati. Keenam, penjelasan sababiyah atau causal explanation, artinya penjelasan itu mencari sejauh mana kejadian-kejadian itu berhubungan satu sama lain dalam rangka penjelasan sababiyah lokal.

Peneliti telah menetapkan pendekatan kualitatif sebagai pendekatan studi, oleh karena itu dipandang perlu mengemukakan beberapa definisi mengenai pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor (Moleong, 1990: 3) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitan yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendektan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik. Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.

Moleong (1990: 3) mengutip pendapat Kirk dan Miller bahwa penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri


(39)

dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Manusia sebagai alat dan hanya dia yang dapat berhubungan dengan responden atau obyek lainnya karena yang mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan hanyalah manusia. Begitu juga, hanya manusia pulalah yang dapat menilai apakah kehadirannya menjadi faktor pengganggu sehingga apabila terjadi hal yang demikian ia pasti dapat menyadarinya serta dapat mengatasinya.

Senada dengan Kirk dan Miller (Moleong, 1990: 3), Sukmadinata (2005: 60) mengatakan penelitian kualitatif merupakan suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Ia mengutip pendapat Lincoln dan Guba bahwa penelitian kualitatif bersifat naturalistik, sehingga kenyataan itu dianggap sebagai sesuatu yang berdimensi jamak. Peneliti dan yang diteliti bersifat interaktif dan tidak bisa dipisahkan. Penelitian kualitatif bersifat naturalistik karena datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya atau sebagaimana adanya dengan tidak merubah dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan (Nawawi, 1994: 174).

Penelitian kualitatif sebagai suatu konsep keseluruhan untuk mengungkapkan rahasia sesuatu dilakukan dengan menghimpun data dalam keadaan sewajarnya, mempergunakan cara bekerja yang sistematik, terarah, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga tidak kehilangan sifat ilmiahnya. Data kualitatif


(40)

dikumpulkan baik dalam bentuk gejala yang sedang berlangsung, reproduksi ingatan, maupun melalui pendapat yang bersifat teoretis atau praktis.

Bogdan dan Biklen (Sigit, 1999: 155) mengungkapkan lima ciri dari suatu penelitian yang disebut sebagai penelitian kualitatif. Kelima ciri tersebut adalah: (1) perangkat alami adalah sumber langsung data, dan peneliti sendiri adalah instrumen pokok; (2) data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan dalam bentuk kata-kata atau gambar-gambar; (3) penelitian kualitatif bertalian hanya dengan proses dan hasil; (4) penelitian kualitatif cenderung menganalisis data secara induktif; dan (5) penelitian kualitatif perduli terhadap bagaimana hidup manusia yang diteliti dan mempunyai arti bagi mereka.

Miles dan Huberman (1994: 10) mengatakan bahwa penekanan data penelitian kualitatif terletak pada pengalaman hidup manusia. Hanya manusialah dapat menemukan makna terhadap suatu kejadian, proses, dan struktur hidup mereka, seperti persepsi, asumsi, prapenilaian, praduga, dan untuk mengaitkan makna tersebut dengan dunia sosial di sekitar mereka. Sasarannya menurut Leininger (Sirozi, 2004: 90) adalah tidak untuk mengukur sesuatu, melainkan untuk memahami sepenuhnya makna fenomena dalam konteks dan untuk memberikan laporan mengenai fenomena yang dikaji. Penelitian kulitatif tidak ditujukan untuk menghasilkan sampel besar sampai populasi dengan menggunakan verifikasi statistik, akan tetapi peneliti secara sistematik dan dengan narasi rinci hanya menyelidiki fenomena khusus yang memiliki karakteristik, baik bagi individu, kelompok maupun institusi tertentu.


(41)

Eisner (Sirozi, 2004: 91) melihat bahwa penelitian kulalitatif lebih berurusan dengan proses ketimbang akibat, dengan keseluruhan ketimbang variabel bebas, dan dengan makna ketimbang statistik perilaku. Minatnya diarahakan kepada simpulan yang terikat konteks yang potensial bisa menunjukkan jalan kebijakan baru dan keputusan kependidikan yang bermanfaat.

Apabila seorang peneliti meneliti suatu kebudayaan dengan mengamati, mendengarkan, dan membuat kesimpulan dari apa yang diamati dan didengarkan dari orang-orang pendukung kebudayaan tersebut, maka metode ini dinamakan metode kualitatif (Spradley, 1997: 9). Metode kualitatif menjadikan peneliti bertindak sebagai instrumen penelitian. Teknik pengamatan dilakukan dengan metode observasi partisipan, sedangkan teknik wawacara dengan wawancara mendalam. Observasi berarti pengamatan sistematis dan terencana yang diniati untuk perolehan data yang dikontrol validitas dan reliabilitasnya (Alwasilah, 2003: 211), sedangkan wawancara mendalam dilakukan apabila fokus yang diteliti belum begitu jelas dan pertanyaan untuk para subyek penelitian menghasilkan jawaban yang kompleks maka teknik wawancara mendalam lebih dibutuhkan (Brannen, 1997: 12). Pengumpulan data penelitian kualitatif bersifat interaktif, berlangsung dalam lingkaran yang saling tumpang tindih (Sukmadinata, 2005: 114). Ia membagi lima tahap dalam pengumpulan data kualitatif: (1) perencanaan meliputi perumusan dan pembatasan masalah serta merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian, merumuskan situasi penelitian, satuan dan lokasi yang dipilih, serta informan sebagai sumber data; (2) memulai pengumpulan data dengan memulai menciptakan hubungan baik, menumbuhkan kepercayaan, serta membina hubungan akrab dengan


(42)

semua sumber data; (3) pengumpulan data dasar terjadi setelah peneliti berpadu dengan situasi yang diteliti. Data dikumpul lebih intensif lagi melalui wawancara mendalam, observasi dan pengumpulan dokumen. Peneliti benar-benar melihat, mendengarkan, membaca, dan merasakan apa yang ada disekitarnya; (4) pengumpulan data penutup yakni setelah peneliti telah mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan atau tidak ditemukan lagi data baru dan setelah itu peneliti meninggalkan lokasi; (5) melengkapi merupakan kegiatan menyempurnakan hasil analisis kemudian menyusun dan menyajikannya.

Alat pengumpul data paling penting dalam penelitian kualitatif adalah wawancara. Ada beberapa bentuk wawancara, seperti open-ended, wawancara terfokus, dan wawancara terstruktur. Pertama, bentuk wawancara yang paling umum adalah open- ended. Tipe open-ended adalah peneliti dapat bertanya kepada informan kunci tentang fakta-fakta suatu peristiwa di samping opini mereka mengenai peristiwa yang ada. Pada beberapa situasi peneliti bahkan bisa meminta informan untuk mengetengahkan pendapatnya sendiri terhadap peristiwa tertentu dan bisa menggunakan proposisi tersebut sebagai dasar penelitian selanjutnya. Informan kunci sangat besar perannya dalam studi kasus karena ia tidak hanya memberikan informasi tetapi juga bisa memberikan saran tentang sumber-sumber bukti lain yang mendukung, serta menciptakan akses terhadap sumber yang bersangkutan.

Kedua, tipe wawancara terfokus adalah informan diwawancarai dalam waktu yang pendek, sekitar satu jam. Pewawancara tidak perlu mengikuti serangkaian pertanyaan tertentu yang diturunkan dari protokol studi kasusnya. Namun pertanyaan-pertanyaan spesifik harus disusun dengan hati-hati agar peneliti tampak


(43)

aneh terhadap topik tersebut dan memungkinkan informan memberikan komentar yang segar tentang hal yang bersangkutan. Tujuan pokok wawancara ini sekedar mendukung fakta-fakta tertentu yang diperlukan oleh peneliti.

Tipe wawancara ketiga adalah wawancara terstruktur. Tipe ini menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang lebih terstruktur. Pertanyaan tersebut disusun terutama sebagai pengingat bagi peneliti berkenaan dengan informasi yang perlu dikumpulkan, dan bagimana cara pengumpulannya. Tujuan utamanya adalah untuk menjaga peneliti agar tetap berada pada alur ketika melakukan pengumpulan data.

Selain wawancara, teknik observasi pengumpulan data juga merupakan aspek penting dalam penelitian kualitatif. Secara umum, ada beberapa teknik observasi pengumpulan data biasanya digunakan dalam penelitian kualitatif. Teknik-teknik tersebut menurut Fraenkel & Wrankel (Sigit, 1999: 158) adalah: (1) partisipan sempurna. Dalam hal ini peneliti turut serta seperti anggota kelompok benar-benar atau sungguh-sungguh. Peneliti tidak boleh kelihatan sebagai orang lain sehingga harus membaur dalam kelompok; (2) partisipan sebagai observer. Dalam hal ini peneliti ikut serta secara penuh aktivitas-aktivitas dalam kelompok yang dipelajari dan menyatakan dirinya sebagai peneliti yang hanya diketahui oleh orang tertentu saja; (3) observer sebagai partisipan. Dalam hal ini, peneliti dengan terang-terangan menyatakan dirinya sebagai peneliti yang diketahui oleh hampir semua orang. Melakukan pembicaraan dan bergaul dengan kelompok sebagaimana layaknya anggota kelompok tersebut; dan (4) observer sempurna. Dalam hal ini peneliti semata-mata sebagai observer yang melihat dan mencatat tingkah laku dan


(44)

kejadian-kejadian yang dipantau, tanpa mengikuti aktivitas yang ada dalam kelompok tersebut.

Hasil temuan studi dalam penelitian kualitatif berupa deskripsi analisis tentang fenomena secara murni dan informatif. Untuk mencapai perluasan temuan penelitian, ada sepuluh komponen desain menurut Sukmadinata (2005: 107) dapat mempengaruhi perluasan temuan tersebut: (1) peranan peneliti dalam menjalin hubungan sosial dengan partisipan; (2) pemilihan informan. Kriteria, alasan, dan penentuan informan dilakukan dalam kaitan dengan sampel purposif; (3) konteks sosial yakni pengumpulan data dirancang dalam tatanan sosial baik fisik, sosial, hubungan interpersonal maupun fungsional; (4) strategi pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara mendalam, pengamatan partisipatif, dokumentasi, dan triangulasi; (5) strategi analisis data melalui penggambaran proses; (6) narasi murni disajikan secara naratif analitik dengan cara deskripsi yang padat; (7) kekhasan artinya kelompok atau lokasi yang memiliki karakteristik yang istimewa; (8) premis-premis analitis seperti teori-teori dasar dan kerangka pemikiran; (9) penjelasan alternatif: rencana penjelasan yang dapat diterima dan ditolak; dan (10) kriteria lain setelah penelitian selesai.

Semua definisi para ahli tersebut di atas menunjukkan bahwa obyek penelitian kualitatif adalah seluruh bidang kehidupan manusia, yakni manusia dan segala sesuatu yang dipengaruhi manusia. Obyek itu diungkapkan kondisinya sebagaimana adanya atau dalam keadaan sewajarnya, baik ekonomi, kebudayaan, hukum administrasi, agama dan sebagainya. Datanya dinyatakan dalam kalimat yang pengolahannya dilakukan melalui proses berpikir yang bersifat kritik, analitik, dan


(45)

tuntas. Berpikir tuntas tolak ukurnya adalah kepuasan yang ditandai dengan keyakinan bahwa hasilnya merupakan kebenaran terakhir yang dapat dicapai. Dengan demikian, penelitian kualitatif menuntut keteraturan, ketertiban, dan kecermatan dalam berpikir terhadap hubungan data yang satu dengan data yang lain dan konteksnya dalam masalah yang akan diungkapkan.

Peneliti kualitatif berfungsi sebagai partisipan dan juga sekaligus sebagai instrumen bermakna bahwa peneliti sendiri yang mengumpulkan data di lapangan. Peneliti secara langsung mewawancarai, mengobservasi, membaca situasi, serta menangkap fenomena melalui perilaku manusia. Agar peneliti tidak menjadi faktor pengganggu dalam menggali informasi di lapangan, maka peneliti melakukan beberapa strategi dengan cara: (1) peneliti menceburkan diri dengan sumber informasi dalam semua situasi sehingga dapat mengumpulkan semua fenomena yang berlangsung di lapangan; (2) peneliti merespon segala stimulus yang ada di lingkungan penelitian yang diperkirakan bermakna bagi peneliti. Semua peristiwa yang terjadi direkam dan dimaknai; dan (3) peneliti berusaha memahami dan menghayati sumber informasi di lapangan.

Untuk mencapai ketiga hal tersebut, peneliti membangun rapport yang baik dengan sifat-sifat terpuji sebagaimana dikatakan Alwasilah (2003: 145) bahwa:

Peneliti etnografis professional harus memiliki sifat-sifat sensitif, sabar, cerdik, tidak menghakimi, bersahabat, dan tidak menyerang, menunjukkan toleransi terhadap kemenduaan, memiliki selera humor, ingin menguasai bahasa responden, dan mampu menjaga rahasia responden. Untuk mempertahankan kepercayaan responden, peneliti

harus „berbudaya lokal responden‟ agar mendapatkan data secara terus menerus sampai penelitian usai.


(46)

Seorang peneliti harus memiliki sifat-sifat profesional tersebut agar mudah menggali peristiwa dan fenomena nilai sosial manusia sampai sekecil-kecilnya. Peneliti melibatkan diri secara langsung dan intensif ke dalam kehidupan sehari-hari keluarga dan masyarakat. Peneliti mengumpulkan data berdasarkan situasi yang wajar, berpartisipasi langsung, dan apa adanya tanpa terpengaruh oleh unsur-unsur dari luar lingkungan masyarakat.

Studi pendidikan nilai sosial budaya bagi masyarakat MBB ini tidak dimaksudkan untuk menguji suatu teori, tetapi lebih pada pemaparan naratif secara mendalam dari fenomena yang ditemukan di lapangan. Peneliti lebih memfokuskan pada pengkajian proses dan fenomena yang saling terkait secara holistik. Peneliti tetap berdasar pada asumsi bahwa realitas merupakan sesuatu yang bersifat ganda dan saling terkait. Untuk mengungkap realitas-realitas kehidupan manusia Bajo, maka pendekatan kualitatif dianggap tepat digunakan sebagai „pisau analisis‟.

B. Studi Kasus: Sebuah Metode dalam Penelitian Kualitatif

Pada awal pembahasan telah dikatakan bahwa penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus sehingga perlu ada pembahasan mengenai istilah studi kasus itu sendiri sebagai salah satu metode dalam penelitian kualitatif. Istilah studi kasus merupakan gabungan antara kata studi dan kasus. Kata studi berasal dari Bahasa Inggris, study, yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia berarti pelajaran, lokakarya, atau penyelidikan (Echols & Shadily, 2003: 563), sedangkan istilah kasus menurut Hasan (1996: 192) adalah suatu peristiwa, kejadian, fenomena, atau situasi tertentu yang terjadi di tempat tertentu dan berhubungan dengan aspek-aspek kehidupan manusia di masa lalu, masa kini, atau


(47)

masa yang akan datang. Istilah studi kasus yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sebuah metode penelitian dalam penelitian kualitatif.

Istilah studi kasus merupakan istilah yang pertama lahir dalam sejarah penelitian yang kemudian dikenal dengan studi kasus. Menurut Salim (2001: 92) studi kasus sebagai sebuah metode penelitian sudah dikenal sekitar tahun 1900 – 1950-an, namun belum menemukan bentuknya sebagai metode kualitatif. Akan tetapi secara substansial, studi kasus telah lama dipraktikkan oleh para ilmuwan dalam meneliti etnis dan kultur tertentu.

Salah satu buku studi kasus yang terbit pada era fase pertama itu adalah Middletown: A Study in American Culture (1929) oleh Lynd dan Lynd. Pada fase kedua, para peneliti semakin meminati metode ini yang ditandai dengan terbitnya buku-buku seperti Akenfield (1955-1959) oleh Blythe, Boys in White: StudentCulture in Medical Schools (1961) oleh Becker dkk., La Vida (1996) oleh Lewis, dan Children of Crisis (1967) oleh Coles. Pada fase ketiga, metode studi kasus semakin populer digunakan peneliti, baik untuk meneliti kasus-kasus secara tunggal maupun kasus-kasus kolektif. Pada fase terakhir yaitu periode postmodernisme hingga sekarang, metode ini bukan lagi sebagai pilihan metodologis namun sudah menjadi kesatuan dengan trade mark metodologi penelitian kualitatif, bahkan pada setiap pendekatan dalam penelitian kualitatif, studi kasus menjadi ancangan utama dan metode lain hanya menjadi pilihan yang melengkapinya (Salim, 2001: 92).

Biesanz (1959: 11) mempertegas bahwa studi kasus merupakan salah satu bentuk analisis kualitatif dengan penyelidikan sangat hati-hati dan sempurna, sebagaimana dikatakannya bahwa:


(1)

Patrick, J.J. (1991). Teaching the Responsibility of Citizenship. [Online]. Tersedia: http://www.ed.gov./databases/ERIC Digest/Ed332929.html [27 November 2007].

Pelras, C. (2006). Manusia Bugis. (Terjemahan). Jakarta: Nalar.

Phenix, P.H. (1964). Realms of Meaning. A Philosophy of The Curriculum For General Education. New York: McGraw-Hill Book Company.

Poloma, M.M. (2004). Sosiologi Kontemporer. (Terjemahan). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Priantono, B. (2006). Orang Bajo dan Diasporanya di Seluruh Indonesia. [Online]. Tersedia: http://bambangpriantono. multiply. com/ journal/ item/ 1229. [04 Pebruari 2009].

Rahim, A. R. (1995). Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19. Jakarta: Seri INIS XXIV.

Rahman, L. (1996). Implementasi Kebijakan Pemukiman Kembali Suku Bajo di Kabupaten Buton. Tesis pada Program Pascasarjana Unhas: Tidak diterbitkan. Raven, J. (1977). Education, Values, and Society: The Objectives of Education and

the Nature and Development of Competence. London:HK Lewis & Co. Ltd. Ritzer, G dan D.J. Goodman. (2005). Teori Sosiologi Moderen. (Terjemahan).

Jakarta: Prenada Media.

Robinson, P. (1986). Sosiologi Pendidikan: Beberapa Perspektif. (Terjemahan). Jakarta: Rajawali Pers.

Rokeach, M. (1973). The Nature of Human Values. New York: The Free Press. Sadulloh, U. (2006). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Salam, A. (2000). Implementasi dan Sosialisasi Siri: Studi Kasus pada Enam Keluarga Bugis Bone di Sulawesi Selatan. Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung: Tidak diterbitkan.

Salamun, dkk. (1994). Sosialisasi pada Perkampungan yang Miskin di Kota Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


(2)

Salim, A. (2001). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Pt. Tiara Wacana Yogya.

Sanderson, S.K. (2003). Makro Sosiologi. Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. (Terjemahan). Jakarta: PT RajaGrasindo Persada.

Santoso, S.B. (1982/83). Karakteristik Suku-Suku di Indonesia dalam Kaitan Pembinaan Persatuan dan Kesatuan. Jurnal Analisis Kebudayaan Tahun 111 – Nomor 2.

Sarwono, S.W. (2006). Teori – Teori Psikologi Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Sasongko, R.N. (2001). Model Pembelajaran Aksi Sosial Untuk Pengembangan Nilai-Nilai dan Keterampilan Sosial (Studi Ekperimental pada Mahasiswa Peserta Kuliah Kerja Nyata Universitas Bengkulu). Disertasi Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia: Tidak diterbitkan. Sastrosupono, M.S. (1982). Menghampiri Kebudayaan. Bandung: Alumni.

Sauri, S. (2006). Pendidikan Berbahasa Santun. Bandung: Ganesindo.

--- (2006). Membangun Komunikasi Dalam Keluarga. Bandung: Ganesindo. Sawe, D. (1983). Profil Masyarakat Bajo di Desa BajoE Kabupaten Bone, Ujung

Pandang: PLPIIS.

Seale, C. Dkk. (2005). Qualitative Research Practice. London: SAGE Publications Ltd.

Selfe, P. (1993). A Level Sociology Patterns. London: MacMillan Press Ltd.

Septiarti, S.W. (2006). Aktualisasi Nilai dalam Konteks Pendidikan Luar Sekolah yang Bebasis pada Kearifan Lokal. Jurnal Ilmiah Visi. Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Non Formal (PTK-PNF) Vol. 1, No. 2 – 2006. Jakarta: Dirjen PMP-TK

Sevilla, C. G. dkk. (1993). Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI Press.

Shadily, H. (1993). Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.


(3)

Siendenberg, B. and Snadowsky, A. (1976). Social Psychology. New York: The Free Press, A Division of McMillan Publishing Co. Inc.

Sigit, S. (1999). Pengantar Metodologi Penelitian Sosial, Bisnis, Manajemen. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.

Sirozi, M. (2004). Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989. Jakarta: INIS.

Sjarkawi. (2006). Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri.Jakarta: PT Bumi Aksara.

Soebadio, H. (1982/1983). Jurnal Analisis Kebudayaan. Pengkajian Warisan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Hal. 1 19.

Soelaeman, M.I. (1983). Memperhatikan Perkembangan Masa Dini Anak Berdasarkan Beberapa Pandangan Baru. Jurnal Analisis Pendidikan. Tahun IV – Nomor 3. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal.14 – 17. --- (1994). Pendidikan dalam Keluarga. Bandung: Alfabeta.

Soemarjan, S. (1988). Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Jambatan.

Spradley, J.P. (1997). Metode Etnografi. (Terjemahan). Yogyakarta: Tiara Wacana. Stagner, R. (1948). Physicology of Personality. McGraw Hill Book Company Inc.

New York.

Stanley, C. L. (2006). Sikap-Sikap dan Kesadaran Orang Bajo terhadap Lingkungan Hidup dan Konservasi. [Online]. Tersedia: http://www.acicis.murdoch. edu.au/hi/ field topics/CStanleyPhoto.pdf (01 September 2006).

Stark, R. (1989). Sociology (third edition). United State of America: Wadsworth Inc. Stein, J. (1983). The Random House Dictionary of The English Language. New York.

Random House, Inc.

Sukmadinata, N. S. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


(4)

Sumantri, E. (1993). Pendidikan Moral: Suatu Tinjauan dari Sudut Konstruksi dan Proposisi. Bandung: Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial UPI Bandung.

Sulistyono. (1991). Pendidikan Nilai Untuk Siswa SD. Cakrawala Pendidikan. Majalah Ilmiah Pendidikan. No. 1, Th. X, Februari 1991. Yogyakarta: Pusat Pengabdian Pada Masyarakat IKIP Yogyakarta.

Suparto. (2008). Nilai Sosial. [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/nilai sosial. [07 Juli 2008].

Suriasumantri, J.S., (2006). Ilmu dalam Perpektif. Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

--- (2007). Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Suseno, F.M. (2005). Pijar-Pijar Filsafat, cetakan ke-6. Yogyakarta: Kanisius.

Suwondo, N. (1981). Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Suyono, H. (2003). Pendidikan Perempuan Aset Bangsa. Jakarta: Yayasan Dana Sejahtera Mandiri.

Syahidin, (2004). Kajian Pedagogis Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat. ISBD di Perguruan Tinggi. Bandung: Kopertis Wilayah IV Jabar.

Syahriana-Syam. (2003). Keberadaan Rumah Suku Bajo terhadap Perubahan Lingkungan Tempat Tinggalnya. Studi Kasus Kelurahan Bajoe, Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Tesis pada Universitas Gadjah Mada: Tidak diterbitkan.

Syamsiah-Badruddin. (2004). Perilaku Pengasuhan Anak Kelurga Bugis Wajo. Disertasi Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar: Tidak diterbitkan.

Syarifuddin. (2008). Mantra Nelayan Bajo: Cermin Pikiran Kolektif Orang Bajo di Sumbawa. Disertasi Doktor pada Program Pasacarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada: Tidak diterbitkan.

Sztompka, P. (2005). Sosiologi Perubahan Sosial. (Terjemahan). Jakarta: Prenada Media.


(5)

Thaba, A. A. (1994). Masalah Nilai dalam Pemikiran Politik (Pasang Surut Teori Politik Normatif). Jurnal Ilmu sosial dan ilmu politik Universitas Riau Pekanbaru. Riau: Fak. ISILPOL UNRI.

The Encyclopedia Americana. (2001). International Edition. U.S.A: Grolier Incorporated.

Tilaar, H.A.R. (2000). Pendidikan, Kebudayaan, Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Rosdakarya.

Tillman, D. (2004). Living Values Activities for Children Ages 8 – 14. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo).

Tirtarahardja, U. dan La Sulo. (2000). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Turner, J.H. (1978). The Structure of Sociologycal Theory. The United States of

America: Darsey Press.

Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 & Undang Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003.

Vembriarto, ST. (1990). Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset.

Vredenbregt, J. (1980). Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.

Warnen-Suwarsih (1982/1983). Integritas Bangsa dan Pola Identitas Nasional di Indonesia dari Sudut Pandangan Psikologis Sosial. Jurnal Analisis Kebudayaan. Pengkajian Warisan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal. 11 – 30.

Webb, R.B. and Sherman, R.R. (1989). Schooling and Society. New York: MacMillan Publishing Company.

Wolcott, H.F. (1994). Transforming Qualitative Data. USA: Sage Publications, Inc. Woods. (2008). Nilai Sosial. [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/nilai

sosial. [07 Juli 2008].

Yin, R.K. (1996). Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

--- (2003). Case Study Research: Design and Mehtods. USA: Sage Publications, Inc.


(6)

Yudkin, M. (Ed.) (1971). General Education. A Symposium on the Teaching of Non-Specialist. Great Britain: Allen Lane The Penguin Press.

Yunus, A. R. (1995). Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19. Jakarta: Indonesia – Netherlands Cooperations in Islamic Studies (INIS).

Zacot, F. R. (2008). Orang Bajo Suku Pengembara Laut: Pengalaman Seorang Antropolog. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Zamroni. (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Zanden, J. W. V. (1990). Sociology The Core. 2nd Ed. USA: McGraw-Hill, Inc. Zen, M. (1993). Dinamika Pendidikan “Orang Laut” Sebagai Suatu Profil

Operasionalisasi Pendidikan Nasional. Disertasi Doktor pada Program Pascasarjana Program Studi Pendidikan Luar Sekolah IKIP Bandung: Tidak diterbitkan