Etnobotani Tumbuhan Pangan dan Obat Suku Kei Masyarakat Kampung Adat Waur Maluku Tenggara

ETNOBOTANI PANGAN DAN OBAT MASYARAKAT
SUKU KEI KAMPUNG ADAT WAUR KEI BESAR
MALUKU TENGGARA

THERESIA MAKARIA FARNEUBUN

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Etnobotani Tumbuhan
Pangan dan Obat Masyarakat Suku Kei Kampung Adat Waur adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Theresia Makaria Farneubun
NIM E34090070

ABSTRAK
THERESIA MAKARIA FARNEUBUN. Etnobotani Tumbuhan Pangan dan Obat
Masyarakat Suku Kei Kampung Adat Waur Kei Besar Maluku Tenggara.
Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan ERVIZAL A M ZUHUD.
Pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat secara tradisional sudah
berlangsung lama. Penelitian ini mengidentifikasi keanekaragaman tumbuhan
pangan, tumbuhan obat, dan bentuk kearifan tradisional dalam pemanfaatan
tumbuhan pangan dan obat oleh masyarakat Suku Kei. Metode yang digunakan
adalah observasi lapang, wawancara dan kajian pustaka. Berdasarkan hasil
penelitian, teridentifikasi sebanyak 111 spesies tumbuhan obat dari 38 famili dan
94 spesies tumbuhan pangan dari 50 famili dimanfaatkan oleh masyarakat.
Fabaceae merupakan famili yang paling banyak dimanfaatkan untuk tumbuhan
pangan, sedangkan tumbuhan obat adalah famili Euphorbiaceae. Pohon
merupakan habitus tumbuhan pangan yang paling banyak ditemukan, sedangkan

pada tumbuhan obat adalah perdu. Bagian tumbuhan yang paling banyak
digunakan pada tumbuhan pangan adalah buah dan pada tumbuhan obat adalah
daun. Masyarakat Kampung Adat Waur melakukan sistem pertanian ladang
berpindah dan memiliki larangan sasi untuk melindungi hutan dan lahan pertanian
yang telah dilakukan secara turun temurun.
Kata kunci: etnobotani, kearifan tradisional, tumbuhan obat, tumbuhan pangan

ABSTRACT
THERESIA MAKARIA FARNEUBUN. Food and Madicine Plant Ethnobotany
of Community Kai Ethnic Waur Vilage Traditional Southeast Moluccas.
Supervised by AGUS HIKMAT and ERVIZAL A M ZUHUD
Utilization of plants by local community has been carried out for long. The
objective of this research is to identify the diversity of food and medicinal plants
utilized by local community in Waur Traditional village and to identify traditional
wisdom of utilizing food and medicinal plant. Data collection method carried out
by interview, field observation, literature review. Result showed that total of 94
species of food plants were identified from 50 families and 111 species of
medicinal plants from 38 families. Fabaceae was the most frequent food plants
family found, while Euphorbiaceae were the most frequent medicinal plants
family. Trees was the most frequent habitus of food, while shrubs were the most

frequent medicinal plants Waur Traditional Village had implemented shifting
cultivation and moratorium system to protect the forest and agricultural land for
generations.
Keywords: ethnobotany, food plants, medicinal plants, traditional knowledge

ETNOBOTANI PANGAN DAN OBAT MASYARAKAT
SUKU KEI KAMPUNG ADAT WAUR KEI BESAR
MALUKU TENGGARA

THERESIA MAKARIA FARNEUBUN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2014

Judul Skripsi : Etnobotani Tumbuhan Pangan dan Obat Suku Kei Masyarakat
Kampung Adat Waur Maluku Tenggara
Nama
: Theresia Makaria Farneubun
NRP
: E34090070

Disetujui oleh

Dr Ir Agus Hikmat, MSc F
Pembimbing I

Prof Dr Ir Ervizal A M Zuhud, MS
Pembimbing II

Diketahui oleh


Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2013 ini ialah Etnobotani
Pangan dan Obat Masyarakat Suku Kei Kampung Adat Waur Maluku Tenggara.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Agus Hikmat, MSc F dan
Bapak Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS selaku pembimbing yang telah banyak
memberi saran dan bimbingan dalam penulisan karya ilmiah ini. Terima kasih
juga disampaikan kepada masyarakat Kampung Waur yang telah membantu saya
dalam kelancaran penelitian saya. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada
sahabat-sahabat terkasih dari kost Puri Riveria-99, keluarga pendamping dan
pendampingan, teman-teman KEMAKI, teman-teman PKLP Taman Nasional
Way Kambas, juga teman-teman seangkatan KSHE 46 „Anggrek Hitam‟ atas
kebersamaan, semangat dan perhatiannya. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada papa, mama, adik serta seluruh keluarga, atas segala doa dan

kasih sayangnya.

Bogor, September 2014

Theresia Makaria Farneubun

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

1

METODE

2


Lokasi dan Waktu

2

Alat dan Bahan

2

Objek Penelitian

3

Metode Pengumpulan Data

3

Analisis Data

5


HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian

6
6

Karakteristik Responden

10

Keanekaragaman Tumbuhan Pangan

12

Keanekaragaman Tumbuhan Obat

20

Kearifan Masyarakat Tradisional


26

SIMPULAN DAN SARAN

28

Simpulan

28

Saran

28

DAFTAR PUSTAKA

29

LAMPIRAN


31

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Jenis data yang dikumpulkan
Tata guna lahan
Presentase tumbuhan pangan berdasarkan habitus
Keanekaragaman tumbuhan obat berdasarkan habitus
Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan
Kelompok penyakit dan spesies tumbuhan obat
Cara penggunaan tumbuhan obat

3
10
18
22
24
24
25

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Lokasi penelitian
Sistem kepercayaan masyarakat, woma dan kolkoil
Wadah makanan rebusan, kabrahan, kamdada
Alat angkut hasil kebun, seloy
Sistem kesenian, tari kipas dan tari perang
Karakteristik responden, umur responden
Komposisi pendidikan
Mata pencaharian responden
Keanekaragaman tumbuhan pangan berdasarkan habitus
Sumber karbohidrat dan vitamin
Sumber karbohidrat yang dijadikan cemilan
Sumber vitamin dan mineral yang berasal dari buah dan sayur
Tipe habitat tumbuhan pangan
Komposisi status budidaya tumbuhan pangan
Teknik pengelolaan makanan sebagai sumber karbohidrat
Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan
Tumbuhan enmur
Presentase keanekaragaman famili tumbuhan obat
Presentase keanekaragaman habitat tumbuhan obat
Satus budidaya tumbuhan obat
Sasi berbentuk huwear anyaman daun kelapa

2
8
8
9
9
11
11
12
13
14
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
28

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Spesies tumbuhan pangan yang digunakan oleh masyarakat
Tipe habitat tumbuhan pangan yang digunakan oleh masyarakat
Spesies tumbuhan obat yang digunakan oleh masyarakat
Tipe habitat tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat
Kelompok penyakit dan spesies tumbuhan
Bentuk ramuan berdasarkan jenis penyakit atau penggunaannya

31
35
39
44
50
51

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagian masyarakat Indonesia terutama masyarakat etnis menggantungkan
hidupnya pada sumberdaya alam sekitar tempat mereka hidup terutama dalam
hal pangan dan kesehatan. Bagi masyarakat kebutuhan pangan dan obat
merupakan kebutuhan yang esensial dan terus meningkat seiring dengan
pertambahan penduduk. Kebutuhan akan pangan dan obat hampir sepenuhnya
tergantung pada tumbuhan, oleh karena itu sejak zaman prasejarah manusia telah
melaksanakan pekerjaan seleksi tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai
tumbuhan pangan (Moeljopawiro dan Manwan 1992).
Pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan pangan dan obat oleh masyarakat
etnis diwariskan secara turun- temurun dari generasi ke generasi, hal ini disebut
sebagai suatu kearifan lokal. Menurut Soendjoto dan Wahyu (2007) kearifan
lokal, dalam terminologi budaya, dapat di interpretasikan sebagai pengetahuan
lokal yang berasal dari budaya masyarakat yang unik, mempunyai hubungan
dengan alam dalam sejarah yang panjang, beradaptasi dengan sistem ekologi
setempat, bersifat dinamis dan selalu terbuka dengan tambahan pengetahuan
baru.
Suku Kei, merupakan suku yang mendiami Pulau Maluku Tenggara yang
memiliki hutan alami serta adat istiadat dan kebudayaan yang kuat. Suku Kei
memanfaatkan hutan sekitar desa untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari seperti
mengambil kayu bakar, rotan, tumbuhan pangan dan obat, berburu binatang
buruan dan berbagai macam hasil hutan lainnya. Namun demikian pemanfaatan
tumbuhan untuk keperluan sehari- hari pada masyarakat Suku Kei belum
terdokumentasi dengan baik oleh karena itu kajian pemanfaatan tumbuhan
(kajian etnobotani), pangan dan obat pada masyarakat Suku Kei perlu dilakukan.
Menurut Soekarman dan Riswan (1992), etnobotani adalah ilmu yang
mempelajari hubungan langsung manusia dengan tumbuhan dalam kegiatan
pemanfaatannya secara tradisional.
Tujuan Penelitian

1.

2.

Tujuan dari penelitian ini adalah:
Mengidentifikasi keanekaragaman tumbuhan pangan dan obat yang
dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat Suku Kei Kampung Waur
Kecamatan Kei Besar Maluku Tenggara.
Mengidentifikasi bentuk kearifan tradisional dalam pemanfaatan tumbuhan
pangan dan obat masyarakat Suku Kei.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam
pengembangan tumbuhan pangan dan obat berbasis pengetahuan tradisional
masyarakat di Kabupaten Maluku Tenggara sehingga dapat dilestarikan.

2

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi Penelitian di Kampung Waur Kecamatan Kei Besar Kabupaten
Maluku Tenggara (Gambar 1) selama 1 bulan yaitu pada bulan Juli 2013Agustus 2013.

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

Alat dan Bahan yang digunakan
1. Perlengkapan wawancara : Panduan wawancara (kuisioner), alat tulis menulis,
kamera.
2. Perlengkapan eksplorasi tumbuhan : Parang, karung, label, tally sheet.
3. Perlengkapan pembuatan herbarium : Alkohol 70 %, kertas koran, kantong
plastik, selotip, cutter, spesimen tumbuhan.

3
Objek Penelitian
Objek penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah, spesies
tumbuhan pangan dan obat yang digunakan oleh Suku Kei Kampung Waur
Kecamatan Kei Besar Kabupaten Maluku Tenggara dan bentuk-bentuk kearifan
tradisional dalam pemanfaatannya.
Jenis Data yang Dikumpulkan
Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data yang
diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian ataupun data penunjang lain. Jenis
dan metode pengumpulan data disajikan pada Tabel 1
Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan
No
1

2

Jenis data
Kondisi umum

Karakteristik
responden

4

Pemanfaatan
tumbuhan pangan
dan obat

5

Kearifan tradisional
dalam pemanfaatan
tumbuhan pangan dan
obat

Uraian
Letak dan luas
Iklim
Demografi
Sosial ekonomi
Budaya
Etnografi Suku Kei
Jenis kelamin
Umur
Pendidikan
Mata pencaharian
Pendapatan per bulan
Nama spesies
Famili
Habitus
Bagian yang digunakan
Cara penggunaan
Khasiat
Status budidaya
Frekuensi perjumpaan
Tipe habitat
Bentuk- bentuk kearifan
tradisional

Metode
Studi literatur

Wawancara dan
observasi

Wawancara dan
Observasi

Wawancara dan
Observasi

Metode Pengambilan Data
Studi Literatur
Kegiatan studi literatur dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi
mengenai kondisi umum lokasi penelitian (letak, luas, kondisi topografi,
geologi, klimatik, hidrologis, potensi flora dan kondisi sosial budaya) .

4

Wawancara
Wawancara dilakukan untuk memperoleh data tentang pemanfaatan
tumbuhan pangan dan obat oleh masyarakat Kampung Waur Kecamatan Kei
Besar Kabupaten Maluku Tenggara. Wawancara yang dilakukan bersifat semi
terstruktur yang terdiri dari pertanyaan tertutup dan terbuka. Pemilihan responden
diperoleh dengan menggunakan teknik snowball sampling yaitu teknik pemilihan
informan berdasarkan rekomendasi informan kunci dalam hal ini dukun atau
pengobat tradisional. Informasi tentang calon informan berikutnya didapat dari
informan sebelumnya. Wawancara akan dihentikan apabila tidak ditemukan lagi
informasi baru dari responden selanjutnya (Sugiyono 2007). Bentuk wawancara
yang digunakan yaitu wawancara tertutup yang merupakan wawancara yang
berdasarkan pertanyaan yang terbatas jawabannya seperti, wawancara yang
menggunakan lembar daftar pertanyaan (kuisioner) dengan jawaban yang telah
dipersiapkan untuk dipilih, seperti setuju, tidak setuju, ya, tidak, sangat baik,
cukup, kurang.
Observasi Lapang
Survei lapang dilakukan untuk memperoleh verifikasi spesies- spesies
tumbuhan pangan dan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang diperoleh
dari hasil wawancara. Verifikasi dilakukan dengan mencari informasi dari hasil
wawancara dan mengidentifikasi tumbuhan agar memperoleh data nama ilmiah
atau nama lokal dari spesies-spesies tersebut dan membuat dokumentasi atau
membuat contoh spesimen herbarium. Selain itu observasi digunakan juga untuk
mendapatkan data tentang tata guna lahan pada Kampung Waur.
Pembuatan Herbarium
Pembuatan herbarium dilakukan ketika ditemukan spesies- spesies yang
tidak dapat di identifikasi di lapang atau tumbuhan yang merupakan spesies
langka. Herbarium merupakan koleksi spesimen tumbuhan yang diawetkan terdiri
dari bagian-bagian tumbuhan yaitu ranting lengkap dengan daun, kalau ada bunga
dan buahnya.
Tahapan- tahapan dalam pembuatan herbarium menurut Triharto (1996)
yaitu:
1. Pengumpulan tumbuhan dilakukan dengan melakukan eksplorasi di lapangan.
Selanjutnya masukkan tumbuhan yang diperoleh kedalam halaman sebuah
buku yang tebal.
2. Tumbuhan di masukkan kedalam kertas yang kasar dan kering seperti kertas
koran, letakan di beberapa halaman dan sertakan catatan- catatan yang dibuat
untuk tumbuhan tersebut atau disertakan etiket gantung yang sesuai dengan
catatan lapang.
3. Tumbuh-tumbuhan yang berdaging tebal, direndam beberapa detik
dalam air yang mendidih kemudian tekanlah secara perlahan-lahan beberapa
hari kertas pengering tersebut, dapat juga dijemur dibawah sinar mata hari atau
didekatkan di dekat api (diutamakan dari arang). Tumbuhan dapat dikatakan
kering kalau dirasakan tidak dingin lagi dan juga terasa kaku.

5
4. Tempelkan nama pada kertas dengan kertas label. Tuliskan diatas kertas
herbarium data mengenai tanggal, tempat ditemukan, tempat mereka tumbuh,
nama penemu, catatan khusus, nama famili dan nama spesies.

Analisis Data
Karakteristik Responden
Karakteristik responden disusun dan dikelompokan dalam lima
karakteristik umum yaitu umur, pendidikan, jenis kelamin, mata pencaharian dan
pendapatan. Karakteristik umur dibedakan menjadi empat kelompok antara lain
kelas umur 20-30 tahun, 31-40 tahun, 41-50 tahun dan umur diatas 50 tahun.
Persentase bagian yang dimanfaatkan
Presentase tumbuhan obat meliputi bagian yang dimanfaatkan meliputi
daun, batang, kulit, buah, bunga dan akar. Menurut Fakhrozi (2009) rumus untuk
menghitung presentase bagian yang dimanfaatkan yaitu:

Presentase Habitus
Habitus merupakan perawakan suatu tumbuhan dan penampakan luar dari
suatu tumbuhan. Menurut Tjitrosoepomo (1988) berbagai habitus dari spesies
tumbuhan sebagai berikut:
1) Pohon yaitu tumbuhan berkayu yang tinggi besar, memiliki satu batang yang
jelas dan bercabang jauh dari permukaan tanah.
2) Perdu yaitu tumbuhan berkayu yang tidak terlalu besar dan bercabang dekat
dengan permukaan tanah atau di dalam tanah.
3) Semak yaitu tumbuhan berkayu yang hidup mengelompok dengan anggota
yang sangat banyak membentuk rumpun dan tumbuh pada permukaan tanah
yang tingginya mencapai 1 m.
4) Herba yaitu tumbuhan tidak berkayu dengan batang lunak
5) Liana yaitu tumbuhan berkayu, yang batangnya menjalar pada tumbuhan lain
6) Epifit yaitu tumbuhan yang hidupnya menumpang pada tumbuhan lain.
Menurut Fakhrozi (2009) untuk menghitung presentase habitus digunakan
persamaan berikut:

6
Presentase Tipe Habitat
Persentase bagian tumbuhan pangan dan obat berdasarkan tipe habitat
tumbuhan dapat dihitung berdasarkan jumlah spesies yang dimanfaatkan dari
berbagai tipe habitat berupa hutan, kebun, ladang, pekarangan dan lain-lain.
Mengitung persentase tipe habitat dapat digunakan persamaan :

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Letak dan Luas
Kampung Waur terletak di bagian selatan kota kecamatan dengan jarak
yang ditempuh dari kota kabupaten 120 km/jam. Waktu yang ditempuh untuk
sampai ke Kampung Waur dari kota kecamatan sekitar 15 menit dengan mobil
atau motor (ojek). Sedangkan waktu yang ditempuh dari kota kabupaten menuju
ke Kampung Waur sekitar 1 jam dengan menggunakan alat transportasi laut yaitu
kapal cepat (MV Indomas) dan speedboat.
Iklim
Iklim merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan tumbuhan di wilayah ini. Iklim Kampung Waur termasuk dalam
daerah sedang panas. Pada musim dingin/penghujan yaitu pada bulan September –
Desember bertiup angin timur sedangkan musim panas pada bulan Mei-Agustus
bertiup angin Barat.
Etnografi
1. Sosial budaya dan Ekonomi Masyarakat
Jumlah penduduk Kampung Waur dalam data terakhir tahun 2012
sebanyak 271 kepala keluarga dengan jumlah penduduk 1427 jiwa yang terdiri
dari 706 laki- laki dan 721 perempuan. Rata- rata setiap keluarga terdiri dari lima
anggota keluarga. Secara keseluruhan penduduk Kampung Waur merupakan
pemeluk agama Kristen Khatolik.
Mata pencaharian penduduk Kampung Waur beragam sesuai dengan latar
belakang kehidupan seperti Petani, PNS, nelayan, pedagang, berburu dan tukang
ojek, tetapi secara umum mata pencaharian masyarakat Kampung Waur adalah
petani. Jika laut teduh dan tidak berombak atau kering maka masyarakat akan
memanfaatkan hasil laut berupa siput laut, ikan, telur ikan, rumput laut dan cacing
laut sebagai makanan sehari- hari tetapi jika pada bulan september sampai
desember merupakan musim penghujan atau bertiupnya angin timur sehingga
gelombang laut yang tinggi membuat masyarakat tidak berani untuk melaut oleh
karena itu sebagian besar protein hewani mereka beli di pasar. Rata-rata

7
kehidupan sosial masyarakat Kampung Waur sangat baik hal ini disebabkan oleh
hubungan emosional dalam keluarga sangatlah kuat. Prinsip masyarakat Waur,
jika ada hajatan keluarga atau ada tetangga yang susah semuanya datang
membantu. Ketika masyarakat desa mengunjungi salah satu warga yang sedang
hajatan maka mereka akan membawa yelim atau sumbangan berupa makanan dari
hasil kebun atau sembako.
Gotong- royong masayarakat Kampung Waur pun dapat terlihat pada saat
musim kebun. Jika ada salah seorang masyarakat membuat kebun baru maka
tetangganya atau keluarganya membantu dengan memberikan yelim atau uang.
Gotong- royong mengerjakan kebun baru, dalam bahasa daerah disebut dengan
maren.
2. Asal usul dan Sejarah Masyarakat
Penduduk asli Suku Kei pada umumnya dan penduduk Kampung Waur
khusnya tidak diketahui dari mana asal mereka. Berdasarkan wawancara dengan
orang kai atau kepala kampung, Suku Kei sudah ada sebelum kapal orang- orang
Portugis tiba di tanah Kei, sedangkan penduduk asli orang Waur telah diketahui
sejak jaman heman ai (cawat yang terbuat dari kulit kayu). Para leluhur Kampung
Waur datang dari beberapa kampung, kelompok-kelompok yang telah membentuk
Kampung baru itu selanjutnya membentuk mata rumah atau fam (Marga)
diantaranya, Ohoiwirin, Rahanten yang terbagi lagi dari beberapa marga yaitu
Kaanubun, Samderubun, Farneubun, Heatubun, Borlak dan Ohoilean. Marga
Jangnain yang terdiri dari marga Sikteubun, Horokubun, Lengitubun, Toanubun
dan Baranyanan, marga terakhir yaitu marga Ngutra.
3. Struktur Organisasi
Struktur dan organisasi kampung sendiri diatur berdasarkan adat dan
kebudayaan dan masih digunakan secara turun-temurun. Kampung Waur
mempunyai ketua kampung yang disebut orong kai yang diangkat berdasarkan
garis keturunan dari marga Rahanten. Kepala kampung dapat dibantu oleh orang
soa, seniri atau kepala marga dan marinyo atau pembawa pesan- pesan penting
yang dalam bahasa daerah disebut tabaus. Soa dan seniri berperan untuk
membantu orong kai dalam peraturan Kampung Waur dalam bidang adat,
memberikan pertimbangan kepada pemerintah dan melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan peraturan Kampung Waur. Masa jabatan orong kai, soa dan
seniri adalah enam tahun.
4. Sistem Kepercayaan
Masyarakat Suku Kei yang mendiami Kampung Waur sebagian besar
beragama Kristen Khatolik. Menurut wawancara dengan kepala marga atau Seniri
dahulu masyarakat Kampung Waur menganut Animisme kemudian datanglah
pendatang- pendatang yang beragama muslim dan kristen protestan tetapi tidak
diketahui kapan mereka masuk ke Kampung Waur. Sekitar tahun 1906/1907 para
leluhur membawa pastor dari desa tetangga untuk membabtis masyarakat
sehingga Waur menjadi kampung Khatolik.
Kampung Waur mempunyai pusat kampung atau tugu yang bernama
Woma El Bulil Ngaid Lakes yang sakral. Tugu atau woma merupakan pusat dari
semua kegiatan adat masyarakat Kampung Waur selain itu woma digunakan untuk

10
dilihat dari luas Kampung Waur secara keseluruhan sebesar ± 86.400 ha dengan
rincian pemukiman 23 ha, sedangkan pertanian 63. 400 ha. (Tabel 2)
Tabel 2 Tata guna lahan oleh masyarakat
No
1
2

Penggunaan lahan
Tanah Pemukiman
Tanah Pertanian
Total

Luas (ha)
23
63.400
86.400

Sumber: Data Dasar Profil Desa Waur (2012)

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa penggunaan lahan oleh
masyarakat Kampung Waur sebagian besar untuk pertanian. Pemanfaatan lahan
Kampung Waur terdiri dari pemukiman, pusat desa, pertanian, pekarangan, TPU,
dan prasarana umum seperti sekolah, gereja dan pusat kesehatan.
Pusat kegiatan atau pusat desa berada di tengah kampung sebagai pusat
adat dan pemerintahan kampung. Terdapat beberapa fasilitas umum yaitu kantor
desa dan rumah adat atau Woma.
Areal pertanian berada tidak merata seperti beberapa yang dekat dengan
pemukiman. Sebagian besar berkebun di atas gunung dan jauh dari kampung, di
belakang TPU atau di belakang rumah dan di pinggir jalan raya. Sektor
perkebunan yang dikembangkan di Kampung Waur adalah keladi, kelapa, ubi dan
pisang atau kebun campuran pada lokasi yang sama. Pada umumnya kebun
campuran ditanami oleh tumbuhan semusim dan tumbuhan tahunan. Selain itu
kebun yang dikelola oleh masyarakat merupakan kebun tradisional dimana hasil
dan perkembangannya secara alami dan hanya memerlukan perawatan yang
minimal dan praktek pengelolaannya pun dilakukan secara sederhana (De foresta
et al. 2000). Selain itu masyarakat juga menggunakan pekarangan untuk areal
perkebunan yang pada umumnya ditanami sayur, bumbu dapur seperti cabe, serei
dan lengkuas atau ditanam tanaman hias. Sedangkan pekarangan belakang rumah
digunakan untuk beternak hewan seperti ayam dan babi pada umumnya.
Fasilitas lain seperti beberapa sekolah dasar, SMA, SMP dan PAUD yang
berada tersebar di kampung, gereja yang letaknya di pertengahan, posyandu dan
TPU berada pada ujung Kampung Waur

Karakteristik Responden
Umur Responden
Umur Responden yang diwawancara beragam mulai dari umur 18-40
tahun sampai diatas 60 tahun. Responden paling tua berumur 97 tahun, hal ini
menunjukan bahwa semakin tua usia maka pengetahuan tentang tumbuhan pangan
dan obat semakin banyak. Responden yang diwawancara sebanyak 30 dengan
kelas umur 18-40 tahun berjumlah 2 orang, 41-60 tahun 17 orang dan diatas 60
tahun 11 orang. Faktor yang mempengaruhi sedikitnya orang muda yang berperan
dalam pengetahuan tentang pangan dan obat adalah pendidikan di luar atau
perantauan keluar daerah sehingga kurang adanya regenerasi tentang pengetahuan

11
tumbuhan obat dan pangan di dalam Kampung Waur sendiri. Karakteristik
responden berdasarkan usia dapat dilihat pada Gambar 6.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kartikawati (2004) pada
masyarakat Suku Dayak Meratus, kebanyakan masyarakat yang berumur tua
tetapi masih produktif dan tingkat mobilitasnya tinggi karena mereka tergolong
sehat dapat dilihat dari makanan yang mereka makan sehari- hari yang
kebanyakan adalah sayuran, buah- buahan dan kacang-kacangan yang merupakan
hasil kebun yang memiliki kandungan gizi seperti karbohidrat, protein, vitamin,
mineral dan sebagainya
17
Jumlah orang

20
10

11
2

0
18-40

41-60

60>

Umur responden

Gambar 6 Karakteristik responden berdasarkan usia

Pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat Kampung Waur tergolong baik hal ini
dapat dilihat dari responden yang diwawancarai satu orang yang tidak bersekolah
sedangkan 11 orang reponden merupakan tamatan SD, 7 orang tamatan SMP, 3
orang tamatan SMA biasa, 5 orang tamatan SPG (sekolah perguruan) dan hanya 2
orang merupakan tamatan S1 (Gambar 7).

Jumlah responden

12
10
8
6
4
2
0
SD

SMP

SMA

Sarjana

Tidak
sekolah

Pendidikan Responden

Gambar 7 Komposisi pendidikan

Jenis Kelamin
Responden wanita merupakan responden paling banyak diwawancarai
yaitu 23 orang sedangkan laki- laki hanya 7 orang, Berdasarkan hasil observasi

12
perempuan dan laki- laki pada Kampung Waur sama-sama mempunyai peranan
yang penting dalam memenuhi kebutuhan sehari- hari yaitu berkebun, mencari
kayu bakar, mengangkut hasil kebun ataupun hasil hutan lainnya tetapi berburu
hanya dilakukan oleh laki- laki. Menurut Sajogyo (1987) bahwa beban kerja bagi
perempuan pedesaan bukanlah suatu permasalahan dan beban melainkan sebagai
hobi dan rasa tanggung jawab terhadap keluarga.
Mata Pencaharian Responden
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada masyarakat
Kampung Waur pada umumnya mata pencaharian masyarakat adalah petani
(56%), berburu (10%), pedagang (17%), guru/PNS (17%) (Gambar 9). Mata
pencaharian pokok adalah petani dan berdagang untuk menunjang kehidupan
perekonomian masyarakat.

10%
17%

56%
Petani
Guru/PNS
Pedagang

17%

Berburu

Gambar 8 Mata pencaharian responden

Selain itu untuk menunjang perekonomian masyarakat menjual hasil hasil
pertaniannya. Hasil yang sering dijual untuk memenuhi kebutuhannya adalah
sagu (Metroxylon sagu), keladi (Colocasia esculenta) ubi jalar (Ipomoea
batatas), enbal (Manihot utilissima) dan cekeh (Syzygium aromaticum).
Intensitas berkebun masyarakat Kampung Waur cukup besar karena setiap
keluarga mempunyai kebun masing- masing walaupun telah bekerja sebagai PNS
atau pensiunan selain itu juga kebanyakan masyarakat menghabiskan waktu di
hutan untuk berkebun sedangkan untuk memenuhi kebutuhan yang lain seperti
obat, ikan dan protein hewani masyarakat mengambil dari alam atau membelinya
di pasar.

Keanekaragaman Tumbuhan Pangan
Keanekaragam Famili
Berdasarkan hasil yang observasi lapang keanekaragaman famili
tumbuhan pangan yang teridentifikasi adalah 38 famili dengan total spesies
tumbuhan 94 (Lampiran 1). Famili yang paling banyak ditemukan adalah
Fabaceae sebanyak 9 spesies sedangkan yang terbanyak kedua adalah Musaceae

13
sebanyak 8 spesies dan famili lainnya jumlanya berfariasi antara 1-5 spesies
(Gambar 9)

Zingiberaceae

3

Famili

Euphorbiaceae

4

Arecaceae

5

Myrtaceae

5

Solanaceae

7

Cucurbitaceae

7

Musaceae

8

Fabaceae

9
0

2

4

6

8

10

Jumlah spesies

Gambar 9 Jumlah spesies tumbuhan pangan berdasarkan famili

Famili Fabaceae (polong-polongan) memiliki spesies paling banyak
diantara famili lainnya. Beberapa spesies dari famili Fabaceae diantaranya buncis
(Phaseolus vulgaris), kacang panjang (Vigna unguiculata), kacang hijau (Vigna
radiata), kacang tanah (Arachis hypogeae) dan kecipir (Psophocarpus
tetragonolobus) dan hampir semua spesies dari famili Fabaceae seperti kacang
panjang, kacang hijau, dan buncis di budidaya oleh masyarakat. Sedangkan famili
Musaceae dan Cucurbitaceae mempunyai jumlah spesies tinggi kedua hal ini
dikarenakan famili Musaceae atau pisang- pisangan dan Cucurbitaceae seperti
mentimun (Cucumis sativus), labu manis (Cucurbita moschata) banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai komoditas utama dalam pemenuhan
kebutuhan akan buah di kampung waur. Selain itu jumlah famili Musaceae di
alam pun melimpah. Sedangkan famili Cucurbitaceae dan Fabaceae pada
umumnya merupakan tanaman sayur-sayuran seperti kacang panjang (Vigna
unguiculata) dan labu siam (Sechium edule).
Keanekaragaman Spesies
Spesies tanaman pangan yang didapatkan di Kampung Waur berdasarkan
hasil observasi lapang sebanyak 94 spesies dari 38 famili. Spesies yang
merupakan makanan pokok dan sumber karbohidrat berasal dari famili Arecaceae
seperti keladi (Colocasia esculenta), sagu (Metroxylon sagu) dan enbal (Manihot
utilissima) selain itu famili yang mendominasi yaitu Musaceae yang merupakan
jenis pisang- pisangan seperti pisang ambon (Musa sapientum), pisang kepok
(Musa paradisiaca), pisang abu-abu (Musa acuminata), pisang susu (Musa
ducasse), pisang raja (Musa textilia), pisang tongka langit (Musa fehi) sedangkan
famili Cucurbitaceae dan Fabaceae yaitu labu siam (Sechium edule), labu manis
(Cucurbita moschata), papari (Momordica charantia), patola ular (Luffa
acutangula) pateka (Citrullus lanatus), dan kelilihan (Lablab purpureus).

15
c. Sumber Vitamin dan Mineral
Vitamin dan mineral berperan penting bagi tubuh manusia, mineral
berfungsi sebagai proses pertumbuhan, pengaturan dan perbaikan fungsi tubuh
sedangkan fungsi dari vitamin sendiri bermacam- macam seperti meningkatkan
daya tahan tubuh, meningkatkan stamina, mencukupi kebutuhan gizi dan
sebagainya. Sumber vitamin dan mineral yang berasal dari sayur- sayuran dan
buah- buahan yang dikonsumsi oleh masyarakat. Tumbuhan sebagai sumber
vitamin dan mineral yang dimanfaatkan oleh masyarakat Kampung Waur antara
lain sayur-sayuran seperti ganemo (Gnetum gnemon), lab ke roan (Diplazium
esculentum), sawi hijau (Brassica rapa), kangkung (Ipomoea reptans) dan buahbuahan seperti pepaya (Carica papaya), pisang (Musa sp), alpukat (Persea
americana) (Gambar 13). Pada umumnya tumbuhan sayur dan buah telah di
budidayakan oleh masyarakat dan ditanam di pekarangan rumah dan di kebun.

(a)
(b)
Gambar 13 Sumber vitamin dan mineral yang berasal dari sayur dan buah: (a)
Sawi hijau (Brassica rapa); (b) Pisang ambon (Musa sapientum)

b. Sumber Protein
Sumber protein hewani dimanfaatkan oleh masyarakat berasal dari ikan
laut, telur ikan, dan hewan ternak seperti ayam dan babi. Sedangkan sumber
protein nabati yang dimanfaatkan oleh masyarakat merupakan tumbuhan kacangkacangan seperti kacang tanah (Arachis hypogeae), kacang panjang (Vigna
unguiculata), kacang merah (Vigna angularis), kelilihan (Lablab purpureus) dan
kacang hijau (Vigna radiata) (Gambar 12).
Sumber protein nabati yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat yaitu
kelilihan (Lablab purpureus) yang merupakan jenis kacang-kacangan yang
tumbuh liar di hutan. Masyarakat sering memanfaatkan tumbuhan kelilihan
dengan cara dijadikan bubur. Menurut Duke (1983) kelilihan dapat tumbuh di
daerah tropis dan subtropis. Suhu yang baik untuk tanaman adalah 18°-30°C.
Namun, suhu yang tinggi tidak mempengaruhi perkembangannya. Tanaman ini
sangat toleran terhadap kekeringan dan beradaptasi dengan baik pada lahan kering
Selain itu tumbuhan kelilihan (Lablab purpureus) mempunyai karakter fraksi
protein yang sama dengan kacang kedelai sehingga dapat membantu mengatasi
kekurangan protein karena mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi berupa
protein, lemak, dan zat gizi yang lain. Nilai gizi kelilihan menempati urutan ketiga
setelah kacang tanah dan kedelai.

16
Keanekaragaman Tipe Habitat
Masyarakat Kampung Waur pada umunya menggunakan hutan, kebun dan
pekarangan rumah untuk menanam tumbuhan pangan. Tipe habitat yang paling
banyak ditemukan tumbuhan pangan adalah kebun dengan penggunaan lahan
sebanyak 52%, pekarangan 42% dan hutan 6% (Gambar 14). Tipe habitat
tumbuhan pangan secara lengkap tersaji pada Lampiran 2.

6%
52%
42%

Kebun
Pekarangan
Hutan

Gambar 14 Tipe habitat tumbuhan pangan

Hal ini karena masyarakat Kampung Waur sebagian besar berkebun untuk
memenuhi kebutuhan sehari- hari. Fungsi pekarangan juga sangat penting bagi
masyarakat karena sebagian besar tumbuhan pangan juga dibudidayakan di
pekarangan agar memudahkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan ketika
mereka tidak dapat mengambil hasil makanan dari kebun. Menurut Sumarnie et
al. (1993) fungsi pekarangan di daerah pedesaan sebagai penghasil bahan
makanan dan tambahan pendapatan sehari-hari.
Tumbuhan yang belum dibudidayakan atau liar biasanya diambil dari
hutan seperti bambu (Gigantochloa apus) dan lab ke roan (Diplazium esculentum).
Penyediaan pangan yang berasal dari hutan sudah terjadi sejak lama. Pemanfaatan
hutan untuk sumber pangan selain produk dan jasa kehutanan sudah dilakukan
oleh masyarakat di dalam dan di sekitar hutan secara tradisional dan turun
temurun. Kontribusi kehutanan melalui fungsi hutan sebagai penyedia pangan
dilakukan melalui pemanfaatan langsung plasma nutfah flora dan fauna untuk
pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan dan obat-obatan (Kementerian
Kehutanan 2009)
Tumbuhan pangan yang terdapat di Kampung Waur menurut status
budidayanya tergolong kedalam tumbuhan budidaya, semi budidaya dan liar.
Tumbuhan pangan pada Kampung Waur sebagian besar telah di budidayakan
yaitu sebanyak 75% selain itu ada beberapa tumbuhan yang telah dibudidaya
tetapi masih tumbuh liar atau tumbuhan semi budidaya yang merupakan
tumbuhan yang sudah di budidayakan dan ada yang tumbuh secara liar di hutan
yaitu masing- masing sebanyak 14% dan 11%. (Gambar 15).
Tumbuhan pangan yang tumbuh liar di dalam hutan sebanyak 10 spesies
di antaranya kelilihan (Lablab purpureus), ganemo (Gnetum gnemon), bambu
(Gigantochloa apus), lab ke roan (Diplazium esculentum) dan kenari (Canarium
commune).

17

11%
75%

Liar

14%

Semi budidaya

Budidaya

Gambar 15 Komposisi status budidaya tumbuhan pangan

Sistem pertanian di Kampung Waur masih sederhana yaitu dengan cara
nomaden atau ladang berpindah. Pada proses persiapan lahan untuk berkebun
rumput liar dan pohon- pohon kecil pada lahan tersebut dibabat habis atau yang
disebut oleh masyarakat sebagai pemiri setelah itu baru dibakar. Lahan yang telah
dibakar dibiarkan selama sebulan agar serasah- serasah yang dibakar tercampur
dengan tanah menjadi pupuk kemudian barulah ditanami hal ini dinamakan kebun
baru atau dalam bahasa daerah disebut maren. Ketika lahan tidak lagi produktif
pemilik kebun akan berpindah ke lahan yang baru. Menurut hasil wawancara
lahan kebun mempunyai masa produktif 5-6 tahun. Makanan pokok masyarakat
Kampung Waur ada 2 macam yaitu sagu dan enbal selain itu kedua tumbuhan ini
yang sering ditanami oleh masyarakat untuk dijual dipasar. Tumbuhan sagu dan
enbal atau singkong dapat ditemukan berbagai tipe habitat seperti hutan,
pekarangan dan kebun sehingga mudah ditanam oleh masyarakat dan mudah
dijumpai.
Sagu merupakan makanan pokok yang tumbuh liar di hutan tetapi dalam
status budidaya sehingga termasuk dalam kelompok semi budidaya. Pohon sagu
yang siap untuk dipanen pada umur 10-11 tahun dengan tanda tunas muda atau
kuncup bunga mulai muncul. Sagu yang telah siap dipanen, ditebang dan
dibersihkan bagian batangnya agar mudah untuk dibelah. Untuk mempermudah
dalam pengerukan pati, batang sagu tersebut dibelah menjadi dua bagian. Batang
yang telah dibelah menjadi dua kemudian dibelah lagi secara melintang barulah
dikeruk bagian dalamnya atau disebut pangkur sagu. Alat untuk pangkur sagu
disebut leb Setelah dipangkur, dicampur dengan air dan diperas setelah itu
dibiarkan selama dua hari sehingga patinya telah mengendap. Pati yang telah
mengendap dibuang airnya sehingga yang diambil merupakan padatannya yang
seperti tepung. Padatan dari sari pati sagu tersebut dimasukan kedalam wadah
yang telah dibuat dari daun sagu disebut dengan tumang.
Ketela pohon atau enbal juga merupakan makanan pokok bagi masyarakat
Kampung Waur. Pengelolaan enbal tidak begitu rumit seperti pengelolaan sagu.
Pertama-tama enbal dibersihkan kulitnya, setelah itu diparut dengan menggunakan
alat parut atau mesin. Hasil dari proses pemarutan di bungkus kedalam karung
yang telah dibersihkan kemudian di tindih dengan batu atau kayu agar airnya
keluar atau kering dan hasilnya seperti tepung. (Gambar 16).

18

(a)
(b)
Gambar 16 Teknik pengelolaan makanan pokok yang menjadi sumber
karbohidrat: (a) Pangkur sagu; (b) Enbal ditindih dengan kayu

Spesies liar yang sering dimanfaatkan sebagai pangan oleh masyarakat
Waur adalah kelilihan (Lablab purpureus). Tumbuhan ini tidak hanya hidup di
satu tipe habitat tetapi hidup liar di beberapa tipe habitat. Kelilihan hidup liar di
lahan yang kering atau tanah kurang subur. Hal ini sama seperti yang
diungkapkan oleh Heriyanto dan Rozi (2002) bahwa secara tradisional kelilihan
ditanam di daerah kering, buahnya digunakan sebagai bahan sayuran sedangkan
bijinya yang sudah cukup tua biasanya dimanfaatkan sebagai makanan ringan
(cemilan).
Keanekaragaman Habitus
Habitus merupakan perawakan dari setiap tumbuhan yang didasarkan oleh
karakteristik tumbuhan. Keanekaragaman habitus tumbuhan pangan yang
dimanfaatkan oleh masyarakat terdiri dari 5 habitus yaitu pohon, herba, semak,
liana, epifit dan perdu.
Pohon merupakan habitus yang paling banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat (Tabel 3) yaitu sebanyak 39% dengan jumlah spesies 38 hal ini karena
sebagian besar habitus pohon merupakan jenis buah- buahan yang sering
dikonsumsi oleh masyarakat.
Tabel 3 Presentasi tumbuhan pangan berdasarkan habitus
No
1
2
3
4
5
6

Habitus Tumbuhan
Pohon
Herba
Semak
Liana
Perdu
Epifit
Total

Jumlah(spesies)
38
24
9
11
8
4
94

Presentase (%)
39
26
10
12
9
4
100%

19
Bagian yang digunakan
Keanekaragaman tumbuhan pangan berdasarkan bagian tumbuhan yang
digunakan dikelompokan kedalam 6 bagian yang meliputi daun, buah, batang,
bunga, biji dan rimpang. Bagian tumbuhan pangan yang paling banyak digunakan
adalah buah sebanyak 64% (61 spesies) dan yang paling sedikit yaitu bunga
sebanyak 2% (2 spesies) sedangkan yang lain yaitu daun 20 spesies, batang 9
spesies, biji 3 spesies, rimpang 3 spesies dan umbi 5 spesies (Gambar 17).

Bagian tumbuhan

Umbi

5
3

Biji
Batang

9

Daun

20

Bunga

2

Buah

61
0

10

20

30

40

50

60

70

Jumlah spesies

Gambar 17 Bagian tumbuhan pangan yang dimanfaatkan

Pola Konsumsi
Masyarakat Kampung Waur pada umumnya mempunyai pola konsumsi
yang teratur dengan makan 3 kali sehari yaitu pada pagi hari sebelum berangkat
ke kebun, siang pada waktu istirahat dan malam. Menu yang dikonsumsi
masyarakat sehari- hari dari pagi hingga malam yaitu pisang, sagu, keladi enbal
dan petatas sebagai sumber karbohidrat sedangkan sebagai sumber protein hewani
masyarakat menkonsumsi ikan, kerang, siput, telor ikan dan hasil ternak yaitu
babi dan ayam. Masyarakat mengkonsumsi sayur-sayuran sebagai protein seperti
daun kasbi, ganemo, terong, pare, bunga pepaya, rebung dan yang lainnya.
Makanan yang masyarakat konsumsi tidak ada perbedaan antara pagi, siang dan
malam.
Pagi hari masyarakat melakukan sarapan dengan nasi, sagu, rebusan umbiumbian seperti singkong rebus, petatas rebus atau dengan gorengan pisang dan
keladi. Sedangkan sayur yang mereka konsumsi seperti rebusan daun singkon
atau sir- sir yang merupakan sayur tradisional masyarakat Pulau Kei, khususnya
Kampung Waur sendiri yaitu tumisan daun singkong dicampur dengan bunga
papaya (Gambar 18). Sarapan pagi dilakukan masyarakat karena mereka yang
bekerja seharian di kebun agar mempunyai banyak tenaga untuk bekerja.
Ketika siang masyarakat yang berada di kebun tidak pulang ke rumah
karena mereka telah menyiapkan bekal makan siang mereka sedangkan makan
malam mereka lakukan di rumah masing-masing. Menurut Hardinsyah dan
Tambunan (2004) setidaknya terdapat 10 syarat tentang pola makan yang sehat.
Syarat tersebut di antaranya selalu diawali dengan sarapan, makan pada waktunya,
memperhatikan ragam jenis dan jumlah pangan, cukup karbohidrat dan lauk pauk,
batasi gula (manis), lemak (gorengan) dan garam (asin), banyak mengkonsumsi
buah dan sayur, berhenti sebelum kenyang, sesuai dengan kemampuan, nikmati

20
dan pilih yang aman.Selain itu masyarakat juga mengkonsumsi buah- buahan
seperti jeruk bali (Citrus grandis), pisang ambon (Musa sapientum), belimbing
manis (Averrhoa carambola), jambu air (Syzygium aqueum) dan buah- buah
lainnya yang dihasilkan dari hasil kebun atau ditanam di pekarangan.
Berdasarkan pengamatan pola konsumsi pangan pada masyarakat Suku
Kei Kampung Adat Waur sangat beragam, selain itu pemanfaatan bahan baku
agar dijadikan makanan pula beragam oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
masyarakat telah melaksanakan diversifikasi pangan.

Keanekaragaman Tumbuhan Obat
Keanekaragaman Spesies
Sebanyak 111 spesies tumbuhan obat dari 50 famili yang ditemukan
berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapang. Spesies tumbuhan obat secara
lengkap tersaji pada Lampiran 3. Salah satu tumbuhan obat yang sering digunakan
masyarakat yaitu enmur (Phyllanthus niruri) (Gambar 20). Tumbuhan enmur
sering digunakan oleh masyarakat kampung Waur sebagai obat demam dan
kencing batu.

Gambar 20 Tumbuhan Enmur (Phyllantus niruri)

Menurut Subarnas dan Sidik (1993) pemanfaatan tumbuhan Phyllanthus
niruri sendiri sebagai obat tradisonal telah diketahui oleh masyarakat Indonesia
yang digunakan sebagai obat bagi penyakit kencing batu, demam, sakit perut,
batuk dan sakit gigi. Selain itu Phyllanthus niruri memiliki khasiat sebagai obat
antivirus. Senyawa yang ditemukan pada Phyllanthus niruri antara lain
triterpenoid, avonoid, tanin, alkaloid, dan asam fenolat.
Salah satu tumbuhan obat yang perpotensi seperti Wang roang (Kleinhovia
hospita) merupakan tumbuhan obat yang digunakan oleh masyarakat sebagai obat
batuk akan tetapi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Raflizar dan
Sihombing (2009) ditemukan bahwa daun wang roan (Kleinhovia hospita)
mengandung golongan kimia saponin, cardenolin, bufadienol dan antrakinon yang
dapat mengurangi kerusakan sel hati yang ditimbulkan oleh karbon tertaklorida
dan berkhasiat untuk pengobatan radang hati.

21

Jumlah spesies

Keanekaragaman Famili
Keanekaragaman famili di Suku Kei Kampung Adat Waur berdasarkan
hasil wawancara dan hasil observasi lapang ditemukan 50 famili yang
dimanfaatkan oleh masyarakat dari 111 spesies tumbuhan. Famili terbanyak yang
ditemukan adalah Euphorbiaceae yaitu sebanyak 7 spesies, sedangkan yang
terbanyak selanjutnya yaitu Zingiberaceae setelah itu Malvaceae dan masingmasing sebanyak 6 dan 5 spesies (Gambar 19).
8
7
6
5
4
3
2
1
0

7
6
5
4

4
3

3
2

Famili

Gambar 19 Presentase keanekaragaman famili tumbuhan obat
Famili Euphorbiaceae merupakan suku terbesar keempat dari lima suku
tumbuhan berpembuluh dikawasan Malesia yang mewadahi 1354 jenis dari 91
marga (Whitmore 1995). Berdasarkan hasil studi referensi yang dilakukan oleh
Djawarningsih (2007) bahwa berdasarkan data yang pernah muncul terdapat 148
jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai obat tradisional dari suku Euphobiaceae.
Tumbuhan dari famili Euphorbiaceae yang digunakan adalah dang- dang
roan (Acalypha wilkesiana), enmur (Phyllantus niruri) dan jarak pagar (Jatropha
curcas) masing-masing kegunaannya untuk mengobati sakit badan dan demam.
Tumbuhan dari famili Solanaceace yang digunakan sebagai tumbuhan obat antara
lain cabe rawit (Capsicum frutescens) untuk mengobati bisul raja dengan cara
daun dari cabe rawit di rauh pada bara api kemudian ditempelkan pada bisul raja.
Ceplukan (Physalis minima) dimanfaatkan untuk mengobati penyakit malaria
dengan cara direbus daunnya dan diminum air rebusan tersebut. Tumbuhan dari
famili Mytaceace yaitu cengkeh (Syzygium aromaticum) yang digunakan oleh
dukun beranak untuk pengobatan setelah melahirkan bagian yang digunakan
adalah bunganya. Bunganya direbus dan digunakan untuk mandi oleh wanita yang
baru melahirkan sedangkan tumbuhan dengan famili Zingiberaceace seperti
gelobak (Hornstedtia scottiana) untuk mengobati panas dalam, kunyit (Curcuma
domestica) untuk penyakit maagh dan meningkatkan nafsu makan pada anak dan
pacing (Costus speciosus) untuk mengobati penyakit kencing batu. Pada
umumnya tumbuhan dari famili Myrtaceace dan Zingiberaceace merupakan

22
tumbuhan domestikasi atau banyak budidayakan oleh masyarakat sebagai bumbu
masakan.
Keanekaragaman Habitus
Tumbuhan obat yang dimanfaatkan sebagai obat di manfaatkan oleh
masyarakat Suku Kei Kampung Adat Waur dikelompokkan menjadi 6 habitus
yaitu pohon, herba, semak, liana, epifit dan perdu. Habitus yang paling banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat yaitu perdu sebanyak 26% (28 spesies) sedangkan
kedua terbanyak yang dimanfaatkan yaitu herba sebanyak 22% (25 spesies) dan
yang paling sedikit yaitu epifit sebanyak 1% (1 spesies) (Tabel 4)
Tabel 4 Keanekaragaman habitus tumbuhan obat
No

Habitus

Jumlah (Spesies)

Presentase (%)

1
2
3
4
5
6

Perdu
Herba
Semak
Pohon
Liana
Epifit
Total

28
25
23
19
14
1
111

26
22
21
17
13
1
100

Tipe Habitat
Tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat paling banyak
ditemukan di beberapa tipe habitat yaitu pekarangan sebanyak 60%, kebun 26%,
hutan 35% dan Tempat Pemankaman Umum (TPU) 3% (Gambar 21). Tipe habitat
tumbuhan obat secara lengkap tersaji pada Lampiran 4.

TPU, 3%
Hutan, 35%
Pekarangan,
60%

Kebun, 26%

Gambar 21 Presentase keanekaragaman tipe habitat tumbuhan obat
Pekarangan merupakan tipe habitat yang paling banyak ditemui tumbuhan
obat karena pekarangan merupakan lahan yang dekat dengan rumah masyarakat
sehingga mudah dalam mendapatkan tumbuhan obat daripada mencari di hutan.

23
Tumbuhan obat yang ditanam di pekarangan yaitu tumbuhan yang sering
digunakan oleh masyarakat ketika sakit seperti biana (Stachytarpheta indica)
untuk mengobati kaki bengkak atau demam, giawas (Psidium guajava) mengobati
diare dan jarak pagar (Jatropha curcas) untuk mengobati demam pada anak- anak.
Tumbuhan- tumbuhan ini sering digunakan untuk mengobati penyakit yang sering
diderita oleh masyarakat sendiri seperti demam, batuk dan diare.
Selain lahan pekarangan banyak juga tumbuhan obat yang ditemukan liar
di hutan seperti aman farihin (Pouzolzia zeylanica) yang dan gelobak (Hornstedtia
scottiana) yang berkhasiat untuk mengobati penyakit panas dalam, batuk dan
amandel. Sedangkan tumbuhan obat ditemukan dikebun biasanya juga yang
dimanfaatkan sebagai pangan seperti halia (Zingibers officinale), kelapa (Cocos
nucifera) atau pinang (Areca catechu)
Tumbuhan obat menurut status budidayanya terbagi menjadi dua yaitu
tumbuhan obat yang dibudidaya dan tumbuhan obat yang hidup liar atau belum
dibudidaya. Tumbuhan obat yang hidup liar presentasenya sebesar 56% dan yang
dibudidayakan sebesar 44% (Gambar 22). Tumbuhan obat dibudidayakan di
pekarangan rumah masyarakat seperti kumis kucing (Orthosiphon stamineus),
kunyit (Curcuma domestica) dan kembang sepatu (Hibiscus rosasinensis) tetapi
ada juga tumbuhan obat yang ditemukan liar di pekarangan rumah masyarakat
seperti kanker roan (Vernonia cinerea) untuk mengobati penyakit dalam, lili
(Hymenocallis litthoralis) batangnya dapat mengobati penyakit malaria dan daun
kaca-kaca (Peperomia pellucid) untuk mengobati demam pada anak kecil.

44%

56%

Liar
Budidaya

Gambar 22 Status budidaya tumbuhan obat

Tumbuhan obat liar yang dimanfaatkan oleh masyarakat diambil dari
dalam hutan. Hal ini dapat di indikasikan bahwa intensitas masyarakat untuk
mengambil tumbuhan obat dari hutan cukup besar. Menurut Soekarman dan
Riswan (1992), baru sekitar 3-4% tumbuhan bermanfaat yang ada di Indonesia
sudah dibudidayakan dan ditanam, sementara sisanya masih tumbuh liar di hutanhutan.
Bagian yang digunakan
Tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat Kampung Waur
dibagi menjadi 11 bagian yang dimanfaatkan yaitu daun, bunga, buah, batang,
akar, kulit batang, pucuk, getah, air, rimpang dan umbi. Bagian yang paling
banyak dimanfaatkan yaitu daun sebesar 76 spesies (68%) dan yang paling rendah

24
yaitu bunga, kulit batang, getah, air dan rimpang, masing-masing yaitu 1 %,
banyaknya bagian tumbuhan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 5.
Menurut Lestari (2011) penggunaan daun banyak dilakukan oleh
masyarakat karena mereka percaya bahwa di dalam daun tersimpan berbagai
macam zat mineral tumbuhan yang dibawa dari akar menuju batang dan berakhir
di daun.

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Tabel 5 Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan
Bagian yang
Jumlah
digunakan
(Spesies)
Daun
76
Buah
10
Batang
11
Rimpang
1
Akar
4
Kulit batang
1
Pucuk daun
2
Getah
1
Air
1
Umbi
3
Bunga
1
Total
111

Persen (%)
68
9
10
1
4
1
2
1
1
3
1
100

Kelompok Penyakit
Berdasarkan wawancara penyakit yang paling banyak diderita oleh
masyarakat yaitu demam, darah tinggi, batu ginjal, batuk dan penyakit otot dan
persendian. Kelompok penyakit yang paling sering diderita masyarakat serta
spesies tumbuhan obat yang digunakan disajikan dalam Tabel 6 secara lengkap
tersaji pada Lampiran 5.
Tabel 6 Kelompok penyakit dan spesies tumbuhan obat
No
1

Kelompok penyakit
Demam

Spesies
Bunga ular (Cissus discolor), daun kaca- kaca
(Peperomia pellucid), kubang dit (Datura metel)

2

Penyakit darah tinggi

3

Penyakit ginjal

4

Penyakit malaria

Alpukat (Persea americana), labu siam (Sechium
edule), pandan wangi (Pandanus amarillifolius)
Uru-ruak (Spatholottis plicata), bunga lilin
(Stachytarpheta indica), enmur (Phyllantus niruri)
Kumis kucing (Orthosiphon stamineus), pepaya
(Carica papaya)

5

Penyakit pernapasan
(Batuk dan asma)
Penyakit otot dan
persendian

6

Wang roan (Kleinhovia hospita), jambu hutan
(Eugenia boerlagei), bawang putih (Allium sativum)
Mengkudu (Morinda citrifolia), petatas (Ipomea
batatas)

25
Berdasarkan jumlah spesies yang paling banyak digunakan untuk mengobati
penyakit demam, malaria dan kencing batu yaitu jarak pagar (Jatropha curcas),
daun kaca-kaca (Peperomia pellucid) dan kumis kucing (Orthosiphon stamineus).
Beberapa tumbuhan obat yang paling banyak digunakan untuk penyakit demam
daun kaca- kaca (Peperomia pellucid) yang sering digunakan oleh masyarakat
dalam pengobatan karena mudah ditemukan dan cepat sembuh jika menggunakan
tumbuhan ini. Menurut Heyne (1987), herba tumbuhan kaca-kaca digunakan oleh
masyarakat Indonesia untuk mengobati pusing kepala yang disebabkan demam,
dan hasil perasan daunnya digunakan untuk pengobatan pe