PENGARUH ELEKTROAKUPUNTUR PADA TITIK ZUSANLI DAN NEIGUAN TERHADAP PERBAIKAN KERUSAKAN MUKOSA ILEUM AKIBAT PEMBERIAN 5 FLUOROURASIL

(1)

PENGARUH ELEKTROAKUPUNTUR PADA TITIK ZUSANLI DAN NEIGUAN TERHADAP PERBAIKAN KERUSAKAN MUKOSA ILEUM

AKIBAT PEMBERIAN 5-FLUOROURASIL

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

ADHITYARI IKKE PUTRI G 0006032

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 17 Februari 2010

Adhityari Ikke Putri NIM G0006032


(3)

PERSETUJUAN

Laporan Penelitian/Skripsi dengan judul : Pengaruh Elektroakupuntur Pada Titik Zusanli Dan Neiguan Terhadap Perbaikan Kerusakan Mukosa Ileum

Akibat Pemberian 5-Fluorourasil Adhityari Ikke Putri, G.0006032, Tahun 2010

Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Validasi Laporan Penelitian/Tim Ujian Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas

Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari Rabu, Tanggal 17 Februari 2010

Pembimbing Utama Penguji Utama

S. Andhy Jusup, dr., MKes, AIFM Balqis, dr., MSc., CMFM, AIFM

NIP : 132 296 401 NIP : 132 230 852

Pembimbing Pendamping Anggota Penguji

M.Arief Taufiqurrahman, dr., Mkes, PHK Arif Suryawan, dr.

NIP: 130 817 795 NIP : 131 569 250

Tim Skripsi

Diding H. Prasetyo, dr., M.Si NIP. 132 233152


(4)

ABSTRAK

Adhityari Ikke Putri, G0006032, 2010. Pengaruh Elektroakupuntur pada Titik

Zusanli dan Neiguan terhadap Perbaikan Kerusakan Mukosa Ileum Akibat Pemberian 5-Fluorourasil, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Latar Belakang : Antikanker menyebabkan efek samping terhadap sel normal terutama yang berproliferasi cepat seperti sel di gastrointestinal. Hal ini menyebabkan mukositis yang ditandai berkurangnya tinggi vili dan kedalaman kripte. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah EA pada kedua titik tersebut dapat mempercepat perbaikan mukosa saluran cerna.

Metode : Tikus jantan galur Wistar, usia 3 bulan, 130-200 gr, dibagi dalam 4 kelompok yaitu K, P1, P2, dan P3. K diinjeksi 2ml normal salin intraperitoneal pada hari ke-1, dikorbankan pada hari ke-7. P1, P2, P3 diinjeksi 150 mg/kgBB 5-Fluorourasil (5-FU) intraperitoneal pada hari ke-1. P1 dikorbankan pada hari ke-3 dan P2 pada hari ke-7. P3 mendapat terapi EA pada titik Zusanli dan Neiguan

setiap hari mulai hari ke-3 sampai dikorbankan pada hari ke-7. EA diberikan dengan frekuensi 2 Hz, amplitudo 10 mA, durasi 15 menit hingga timbul kontraksi otot. Ileum dibiopsi untuk dibuat preparat histologis dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin. Perbaikan mukosa ileum ditentukan dengan menjumlahkan tinggi vili dan kedalaman kripte (v+c) dengan mikrometer di bawah mikroskop cahaya.

Hasil : Rata-rata tinggi vili ileum untuk K;P1;P2;P3 adalah 51,56; 43,22; 54,75; 58,49 µm dan rata-rata kedalaman kripte ileum adalah18,5; 13,38; 17,11; 17,9 µm. Rata-rata (v+c) untuk K;P1;P2;P3 adalah 70,06; 56,77; 71,86; 76,43 µm. Percepatan perbaikan vili, kripte, dan mukosa ileum berbeda signifikan antara P1 dengan K, P2 dan P3. Tidak ada perbedaan signifikan antara K dengan P2 dan P3 dan antara P2 dengan P3 untuk percepatan perbaikan vili, kripte, dan mukosa

ileum.

Kesimpulan : Elektroakupuntur pada titik Zusanli dan Neiguan tidak berpengaruh terhadap perbaikan kerusakan mukosa ileum akibat pemberian 5-Fluorourasil.


(5)

ABSTRACT

Adhityari Ikke Putri, G0006032, 2010. The Effect of Electroacupuncture at Acupoint Zusanli and Neiguan Toward Recovery of Ileum Mucosal Damage Consequence of 5-Fluorouracyl Administration, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.

Background : Anticancer brings side effect in normal cells especially high proliferating cells such as gastrointestinal cells. It causes mucositis in gastrointestinal signed by decreament of villi height and crypt depth. This study intent on proofing whether electroacupuncture at Zusanli and Neiguan can accelerate mucosal recovery.

Methode : 24 male Wistar rates, 3 months old, 130-200 gr, were devided into 4 groups including K, P1, P2 and P3. K was injected with 2 ml NaCl intraperitoneal on the 1st day and sacrificed on the 7th day. P1, P2 and P3 were injected with 150 mg/kg 5- Fluorouracyl (5-FU) intraperitoneal on the 1st day. P1 was sacrificed on the 3rd day and P2 on the 7th day. P3 got EA at acupoint Zusanli and Neiguan

everyday began on the 3rd day until sacrificed on the 7th day. EA was set on 2 Hz and 10 mA, given for 15 minutes until appear muscles contraction. Ileums were biopsied to made into histological preparation with Hematoxilin-Eosin pigmentation. Recovery of Ileum mucous was determined by summed villi hight and crypt depth (v+c) measured with micrometer under light microscope.

Result: Mean of villi height for K;P1;P2;P3 are 51,56; 43,22; 54,75; 58,49 µm and mean of crypt depth are 18,5; 13,38; 17,11; 17,9 µm. Mean of (v+c) are 70,06; 56,77; 71,86; 76,43 µm. Acceleration of villi, crypt and ileum mucous recovery are significantly different between P1 and K, P2, P3. No significant different between K and P2, P3 also between P2 and P3.

Conclusion: Electroacupuncture at acupoint Zusanli and Neiguan had no effect on recovery of ileum mucosal damage consequence of 5-fluorouracyl administration


(6)

PRAKATA

Puji syukur senantiasa terpanjat ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Elektroakupuntur pada Titik Zusanli dan Neiguan terhadap Perbaikan Kerusakan Mukosa Ileum Akibat Pemberian 5-Fluorourasil”. Shalawat serta salam senantiasa tertuju kepada Rasulullah Muhammad SAW, suri tauladan bagi seluruh umat manusia yang mengilhami penulis untuk mengawali pembuatan karya ini dengan niat Lillahita’ala dan menguatkan semangat penulis untuk menyelesaikan karya ini.

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Skripsi ini dapat tersusun berkat adanya bimbingan, petunjuk, bantuan dan sarana dari berbagai pihak. Untuk itu Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. A.A. Subijanto, dr., MS, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Sri Wahjono, dr., MKes, selaku Ketua Tim Skripsi.

3. S.Andhy Jusup, dr., MKes, AIFM, selaku Pembimbing Utama

4. Arief Taufiqurrahman, dr., MS, PHK, selaku Pembimbing Pendamping 5. Balgis, dr., M.Sc., CMFM, AIFM , selaku Penguji Utama

6. Arif Suryawan, dr., selaku Pembimbing Pendamping

7. Dono Indarto, dr., Mbiotech St. AIFM, atas kepercayaan, ilmu dan pengalaman yang diberikan kepada saya dalam melaksanakan penelitian ini.

8. Segenap staf Laboratorium Fisiologi FK UNS atas segala bantuan yang diberikan, Pak Kidi dan Bu Kus dari Laboratorium Histologi FK UNS atas bantuannya dalam mengerjakan penelitian.

9. Ayah Setiyo Susilo, Ibu Uji Widaningsih, adikku Vidi dan Tiya, Eyang Sumasri, Eyang Yatmo Kakung dan Putri, serta segenap keluarga terimakasih untuk doa dan kasih sayang yang selalu tercurah untukku, terimakasih telah menjadi sumber inspirasi dan semangatku.

10.Rekan-rekan FK UNS angkatan 2006, sahabat-sahabat yang memberikan bantuan serta dukungan, dan untuk segenap pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang


(7)

membangun untuk karya yang lebih baik di kemudian hari. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat.

Surakarta, Februari 2010

Adhityari Ikke Putri

DAFTAR ISI

halaman

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 2

C. Tujuan Penelitian ... 2

D. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 4

1. ... 5-Fluorourasil ... 4


(8)

2. ... Mukositis

... 8

3. ... Akupuntur ... 9

4. Titik Akupuntur Zusanli dan Neiguan ... 12

B. Kerangka Pemikiran... 21

C. Hipotesis ... 21

BAB III METODE PENULISAN A. Jenis Penelitian... 22

B. Lokasi Penelitian ... 22

C. Subyek Penelitian... 22

D. Teknik Sampling ... 23

E. Rancangan Penelitian ... 23

F. Identifikasi Variabel... 25

G. Skala Variabel ... 25

H. Definisi Operasional Variabel ... 25

I. Instrumen dan Bahan Penelitian ... 27

J. Cara Kerja ... 28

K. Teknik Analisis Data... 31

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Berat Badan Subyek Penelitian ... 32

B. Tinggi Vili ... 33

C. Kedalaman Kripte ... 35

D. Perbaikan Mukosa ileum ... 38

E. Gambaran Mikroskopis ... 40

BAB V PEMBAHASAN ... 41

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 47


(9)

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Rata-rata Berat Badan Hewan Coba ... 27

Tabel 4.2. Rata-rata Tinggi Vili Ileum Hewan Coba ... 27

Tabel 4.3. Uji Mann-Whitney Tinggi Vili Ileum Hewan Coba ... 29

Tabel 4.4. Rata-rata Kedalaman Kripte Ileum Hewan Coba ... 30

Tabel 4.5. Uji Mann-Whitney Kedalaman Kripte Ileum Hewan Coba 31 Tabel 4.6. Rata-rata Penjumlahan Tinggi Vili dan Kedalaman Kripte Ileum Hewan Coba ... 32


(10)

Tabel 4.7. Uji Mann-Whitney Penjumlahan Tinggi Vili dan Kedala-

man Kripte Ileum Hewan Coba ... 33

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Metabolisme 5-FU ……... 6 Gambar 2.2. Titik Zusanli pada Tikus ... 11 Gambar 2.3 Titik Zusanli Tampak Penampang Melintang

…… ……... .

11

Gambar 2.4 Titik Neiguan Tampak Penampang Melintang ... 12 Gambar 4.5. Diagram Batang Rata-rata Tinggi Vili Ileum Hewan

Coba

28

Gambar 4.6 Diagram Batangn Rata-rata Kedalaman Kripte Ileum Hewan Coba………...

30

Gambar 4.7 Preparat Histologis Mukosa Ileum ……….. 34

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Ethical Clearance Lampiran 2. Jadwal Penelitian

Lampiran 3. Hasil Penimbangan Berat Badan Tikus, Dosis 5-FU dan Dosis NaCl

Lampiran 4. Analisis Statistik Berat Badan Tikus

Lampiran 5. Hasil Pengukuran Tinggi Vili Ileum Hewan Coba Lampiran 6. Analisis Statistik Tinggi Vili Ileum


(11)

Lampiran 8. Analisis Statistik Hasil Penjumlahan Tinggi Vili dan Kedalaman Kripte Ileum

Lampiran 9. Hasil Penjumlahan Tinggi Vili dan Kedalaman Kripte Lampiran 10. Foto-foto Preparat Histologis Ileum

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Antikanker tidak hanya akan membunuh sel kanker tetapi juga dapat merusak sel-sel tubuh normal yang berproliferasi cepat (Nafrialdi dan Gan, 2007). 5-FU (5-Fluorourasil) adalah antikanker golongan anti metabolit, sub golongan antagonis pirimidin yang digunakan untuk tumor-tumor solid. Efek samping 5-FU terutama mengenai sistem hemopoetik dan saluran cerna (Cancer Research UK, 2002).

Antikanker menimbulkan efek samping kerusakan mukosa atau mukositis. Mukositis ditandai dengan apoptosis, inflamasi, hingga ulserasi akibat kerusakan DNA sel epithel mukosa. Pada saluran cerna, kerusakan mukosa ditandai dengan penurunan tinggi vili dan kedalaman kripte (Verberg

et al.,2001). Setelah mengalami mukositis, mukosa intestinum dapat mengalami regenerasi. Regenerasi mulai terjadi pada hari ke-5 dan regenerasi lengkap terjadi pada hari ke-8 sampai 10 (Verberg et al.,2001).


(12)

Pada penelitian ini dilakukan pengamatan mukositis pada saluran cerna. Organ saluran cerna yang akan diamati adalah ileum karena mukositis terburuk pada saluran cerna terjadi di ileum (Niscola et al., 2007). Di samping itu, ileum merupakan tempat utama terjadinya absorbsi nutrisi. Manifestasi mukositis yang berupa mual, muntah dan diare mengakibatkan gangguan asupan nutrisi pada pasien kemoterapi dan hal ini dapat memperburuk kondisi pasien. Oleh karena itu, diperlukan suatu terapi yang efektif untuk mengoptimalkan perbaikan mukosa ileum yang mengalami mukositis.

Konsensus National Institute of Health Amerika Serikat (1997) menyatakan akupuntur telah terbukti efektif mengatasi mual dan muntah akibat kemoterapi. Keunggulan akupuntur adalah efek sampingnya yang lebih rendah daripada obat-obatan dan prosedur medis lain. Titik akupuntur yang banyak digunakan untuk mengatasi efek samping kemoterapi pada gastrointestinal adalah titik Zusanli (ST-36) dan Neiguan (PC-6). Namun, belum terbukti apakah efek yang ditimbulkan tersebut disertai perbaikan mukosa saluran cerna di tingkat seluler.

Dengan adanya bukti-bukti bahwa akupuntur pada titik Zusanli (ST-36) dan Neiguan (PC-6) dapat mengatasi efek samping kemoterapi pada saluran cerna, peneliti ingin membuktikan apakah elektroakupuntur pada kedua titik tersebut menyebabkan perbaikan nyata pada mukosa ileum yang mendapat paparan antikanker 5-FU.


(13)

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah ada pengaruh elektroakupuntur pada titik Zusanli dan Neiguan terhadap perbaikan kerusakan mukosa ileum akibat pemberian 5-Fluorourasil?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum :

Mengetahui pengaruh elektroakupuntur pada titik Zusanli dan Neiguan

terhadap perbaikan kerusakan mukosa ileum akibat pemberian 5-FU. 2. Tujuan Khusus :

Mengetahui apakah elektroakupuntur pada titik Zusanli dan Neiguan

dapat mempercepat perbaikan mukosa ileum yang mengalami mukositis akibat pemberian 5-FU.

D. Manfaat Penelitian 1. Aspek Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengaruh elektroakupuntur pada titik Zusanli dan Neiguan dalam memperbaiki mukositis ileum akibat pemberian 5-FU.


(14)

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan penelitian berikutnya untuk mengetahui lebih lanjut manfaat elektroakupuntur pada titik

Zusanli dan Neiguan. 2. Aspek Aplikatif

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan sebagai terapi untuk mengatasi efek samping kemoterapi dengan 5-FU pada saluran cerna.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. 5-Fluoroasil

5-Fluoroasil (5-FU) merupakan antikanker golongan anti metabolit sub golongan analog pirimidin. 5-FU hanya dapat digunakan untuk tumor solid (padat) (Nafrialdi dan Gan, 2007 p: 737). Antikanker ini biasa digunakan untuk karsinoma mammae, colorectal, ovarium, prostat, kepala, leher, pankreas, esofagus, dan hepatoma (Nafrialdi dan Gan, 2007 p: 747).

5-FU tersedia dalam bentuk larutan 50 mg/ml sedangkan dalam ampul tersedia 10 ml untuk intravena. Dosis 5-FU untuk orang dewasa adalah 400-500 mg/m2 per hari diberikan secara bolus intravena selama 4 hari berturut-turut. Dosis pemeliharaan diberikan 1 kali seminggu selama 6


(15)

minggu. Dosis awal kadang diulang setiap 4-5 minggu. Cara lain pemberian 5-FU adalah infus kontinyu 1 g/ m2 per hari selama 5 hari siulang setiap 3-4 minggu (Nafrialdi dan Gan, 2007 p: 747).

Setelah penetrasi ke dalam sel, 5-FU dimetabolisme melalui 2 rute yaitu anabolik dan katabolik. Pada rute anabolik, terdapat 3 mekanisme kerja 5-FU dalam membunuh sel kanker. Pertama inkorporasi dengan RNA. Terjadi pembentukan 5-fluoro-2′-deoxyuridine-5′-monophosphate (5-FdUMP) yang kemudian diubah menjadi 5-fluorouridine-5′ monophosphate (5-FUMP) diubah kembali menjadi 5-fluorouridine-5′ -diphosphate (5-FUDP) yang selanjutnya menjadi 5-fluorouridine-5′ -triphosphate (5-FUTP). Pada 5-FUTP atom fluorin menggantikan hidrogen pada posisi 5 urasil sehingga 5-FUTP dapat dikenali RNA polimerase sebagai substartnya. RNA polimerase merupakan enzim yang berfungsi dalam polimerisasi ribonukleotida menjadi rangkaian yang komplementer terhadap untai genetiknya. Oleh RNA Polimerase, 5-FUTP mengalami inkorporasi dengan RNA, menggantikan UTP (uridine-5′-triphosphate). Hal ini menyebabkan rangkaian RNA tidak komplementer dengan DNA (Malet-Martino dan Martino, 2002; Wyatt dan Wilson, 2009).

Kedua, inkorporasi dengan DNA. 5-FdUMP dan 5-FUDP dapat bertransformasi menjadi 5-fluoro-2′-deoxyuridine-5′-diphosphate (5-FdUDP) yang kemudian mengalami fosforilasi menjadi 5-fluoro-2′ -deoxyuridine-5′-triphosphate (5-FdUTP). FdUTP merupakan substart


(16)

DNA polimerase. Oleh DNA polimerase, FdUTP mengalami inkorporasi dengan DNA saat replikasi DNA. Hal ini menyebabkan gangguan dalam mengkopi materi genetik. (Malet-Martino dan Martino, 2002; Wyatt dan Wilson, 2009).

Ketiga dengan menghambat thymidylat synthase (TS). Supaya tidak terjadi inkorporasi FdUTP dengan DNA maupun RNA, FdUTP dimetabolisme oleh dUTP-ase menjadi FdUMP. FdUMP merupakan inhibitor TS. TS berfungsi mengubah dUMP menjadi TMP. dengan memanfaatkan donor methyl dari Methylene tetrahidrofolat (MeTHF). Dengan terbentuknya FdUMP, TS tidak mendapatkan transfer methyl dan kerjanya menjadi terhambat. Hal ini menyebabkan TMP (thymdine-52-monophosphat) tidak terbentuk dan selanjutnya TTP (thymidine-52-triphosphat) tidak dapat terbentuk, padahal TTP merupakan sumber energi untuk replikasi dan perbaikan DNA. Akibatnya sel kanker tidak dapat melalukan replikasi maupun perbaikan DNA (Malet-Martino dan Martino, 2002; Wyatt dan Wilson, 2009).

Pada rute katabolik, 5-FU akan mengalami degradasi mencapai 85%. Proses degradasi berlangsung sangat cepat di bawah pengaruh dihydropyrimidine dehydrogenase (DPD). Oleh DPD, 5-FU direduksi menjadi 5,6-dihydro-5-fluorouracil (5-FUH2) yang kemudian membentuk α-fluoro-β-ureidopropionic acid (FUPA) dan pada akhirnya terbentuk α


(17)

-fluoro-β-alanine (FBAL) yang merupakan katabolit utama 5-FU. (Malet-Martino dan (Malet-Martino, 2002)

Efek samping 5-FU antara lain lemah, sakit, nyeri mulut, diare, dan dampak terhadap sumsum tulang yang diantaranya mengakibatkan leukopeni, trombositopeni serta kerentanan terhadap infeksi (Cancer Research UK, 2002). Efek samping 5-FU terutama mengenai sistem hemopoetik dan saluran cerna. Pada sistem hemopoetik 5-FU menimbulkan efek samping leukopenia dan trombositopenia (Nafrialdi dan Gan, 2007 p: 747). Pada saluran cerna terjadi kerusakan mukosa intestinum yang ditandai dengan pemendekan vili dan berkurangnya kedalaman kripte (Verberg et al.,2001; Tavakkolizadeh et al., 2000). Selain itu 5-FU juga menurunkan jumlah leukosit perifer dan intestinal yang menyebabkan peningkatan sel sitotoksik dan Penurunan sel


(18)

Gambar 2.1. Metabolisme 5-FU (Malet-Martino dan Martino, 2002)

2. Mukositis

Mukositis (perlukaan barier mukosa) merupakan komplikasi yang umum terjadi pada penderita neoplasma yang mendapat perawatan kemoterapi (Niscola et al., 2007). Mukositis merupakan proses patologis yang ditandai dengan kerusakan mukosa, inflamasi ringan sampai ulserasi


(19)

dan berpengaruh terhadap satu atau lebih organ saluran cerna yang terjadi akibat paparan kemoterapi atau radiasi (Blijlevens et al., 2000).

Mukosa intestinal tersusun atas epitel kolumner selapis yang terdiri dari sel epithel silindris sederhana (enterosit) dan sel pemproduksi mukus yang tersusun pada dasar setiap villus atau yang disebut kelenjar kripte. Vili dan kripte mengalami apoptosis sehingga terjadi mukositis. Mukositis pada intestinum dapat diamati 24 jam sesudah pemberian kemoterapi. Proses apoptosis tersebut ditandai dengan penurunan tinggi vili dan kedalaman kripte pada hari ke-3. Mulai hari ke-5 terjadi regenerasi yang ditandai dengan hiperplasi mukosa intestinal yang menyebabkan motilitas abnormal dan striktura usus (Niscola et al., 2007).

Verberg et al., (2001) mengemukakan tahapan mukositis akibat paparan kemoterapi sebagai berikut:

a. hari ke-1 dan 2 : periode inhibisi proliferasi, terjadi kerusakan sel parah dan pengurangan kedalaman kripte

b. hari ke-3 dan 4 : periode hiperproliferasi, terjadi regenerasi kripte dan atropi villi, terjadi deplesi sel-sel epithel villi sehingga tampak pendataran

c. hari ke-5 dan 6 : periode regenerasi, proliferasi villi kembali normal d. hari ke 8 - 10 : periode pemulihan, regenerasi lengkap.

Sonis (2004) memaparkan fase patobiologi mukositis sebagai berikut :


(20)

a. Inisiasi : Kemoterapi menyebabkan kerusakan DNA sel-sel epithel basal dan pembentukan radikal bebas.

b. Pensinyalan : Kemoterapi dan radikal bebas yang terbentuk menginduksi apoptosis dan pelepasan sitokin inflamasi.

c. Amplifikasi : Sitokin inflamasi menyebabkan kerusakan sel lebih lanjut dan menguatkan sinyal dalam proses jejas. d. Ulserasi : Penurunan integritas mukosa menyebabkan nyeri

dan memungkinkan terjadi infeksi bakteri, virus dan jamur.

e. Penyembuhan : Proliferasi, migrasi, dan diferensiasi sel-sel epithel untuk mengembalikan integritas mukosa.

3. Akupuntur

Akupuntur merupakan bagian dari Tradisional Chinese Medicine

(TCM) yang telah digunakan di Cina sejak lebih dari 4000 tahun yang lalu. Secara harfiah akupuntur berasal dari kata Acus yang berarti jarum dan puncture yang berarti tusuk sehingga akupuntur diartikan sebagai pengobatan dengan cara menusuk jarum (Filshie et al., 1998).

Dasar dari pengobatan tradisional Cina, termasuk akupuntur, adalah teori kesimbangan Yin Yang dan Lima Unsur yang terdiri dari unsur Kayu, Api, Tanah, Logam dan Air. Dalam pandangan kedokteran modern, keseimbangan Yin Yang diartikan sebagai homeostasis neuro-endokrin-imun. Yin bersifat lambat dengan aktivitas lama, menguasai bagian depan


(21)

tubuh yang bersifat lunak dan dekat dengan organ viscera. Yang bersifat cepat dengan aktivitas pendek dan menguasai daerah kepala dan leher sebagai pusat segala aktivitas gerak, baik sadar maupun otonom. Lima Unsur juga harus dalam keadaan seimbang supaya tubuh tetap dalam keadaan sehat. Kelainan pada salah satu unsur akan mempengaruhi unsur yang lain sehingga menimbulkan sakit (Saputra, 2005) .

Teori umum akupuntur ialah adanya suatu pola aliran energi (Qi) di seluruh tubuh yang esensial bagi kesehatan. Gangguan aliran Qi

diyakini menyebabkan penyakit. Qi mengalir pada meridian yaitu suatu sistem saluran yang melintang dan membujur yang dilalui Qi. Meridian terdiri atas jalur internal dan eksternal. Meridian jalur eksternal meliputi kulit dimana titik akupuntur berada dan jalur internal terhubung dengan 12 organ viscera, selain itu juga terdapat 8 meridian istemewa (Ma, 2009).

Akupuntur dapat mengembalikan ketidakseimbangan aliran energi melalui stimulasi pada titik-titik tertentu dengan cara penetrasi pada kulit menggunakan jarum logam yang padat dan tipis. Untuk memberikan stimulus, penetrasi jarum dimanipulasi (digerak-gerakkan) secara manual atau dengan stimulasi elektrik (elektroakupuntur). Berbagai studi membuktikan bahwa akupuntur dapat menyebabkan berbagai respon biologis. Respon ini dapat terjadi lokal atau pada lokasi yang jauh yang dimediasi terutama oleh neuron sensoris terhadap struktur di dalam sistem saraf pusat. Akupuntur diketahui menyebabkan perubahan sekresi


(22)

neurotransmiter dan neurohormon serta perubahan regulasi aliran darah. Telah terbukti juga bahwa akupuntur menyebabkan perubahan fungsi imun (National Institute of Health : Acupuncture, 1997).

Salah satu pendapat tentang bagaimana akupuntur berfungsi adalah serabut saraf pada titik akupuntur terstimulasi, menghasilkan sinyal yang dihantarkan sepanjang jalur saraf dan menghasilkan efek terapeutik melalui dua kemungkinan mekanisme yaitu:

1. Efek lokal yaitu sistem saraf menghantarkan sinyal secara langsung dari titik akupuntur ke organ yang diterapi.

2. Efek sentral yaitu sistem saraf menghantarkan sinyal ke otak terlebih dahulu kemudian otak menghasilkan respon yang berpengaruh terhadap organ target.

(Dharmananda, 2001a)

Belum diketahui secara pasti bagaimana akupuntur berpengaruh terhadap berbagai efek fisiologis tubuh. Teori yang diyakini saat ini bahwa akupuntur mempengaruhi aktivitas persarafan di sistem saraf pusat melalui penjalaran impuls dari area stimulasi akupuntur pada serabut saraf sensoris yang diteruskan ke otak melalui medula spinalis. Sistem saraf pusat memberikan respon yang diteruskan melalui serabut saraf eferen menuju organ target. (Iwa et al.,2006).


(23)

Stimulasi pada titik akupuntur mempengaruhi proses intraseluler. Feng dan Ifrim (2004) membuktikan adanya peningkatan mukopolisakarida (MPS) di sekitar area akupuntur dengan konsentrasi yang bervariasi. Konsentrasi MPS tertinggi adalah di bawah titik akupuntur, berkurang di tingkat meridian dan terendah di area yang netral dari pengaruh akupuntur. MPS merupakan substansi penting yang berfungsi memelihara permebilitas membran basal, regenerasi, diferensiasi, inflamasi, serta mendasari kerja hormon dan substansi-substansi di jaringan ikat dan vaskuler interstiil.

4. Titik Akupuntur Zusanli (ST-36) dan Neiguan (PC-6)

a. Lokasi Titik Akupuntur

Titik Zusanli (ST-36) terletak pada 1/5 proximal permukaan kraniolateral tungkai bawah, beberapa milimeter di bawah tuberositas tibia (Ouyang et al., 2001; Tarcin et al., 2004). Penentuan titik Zusanli pada binatang coba berdasarkan sistem pengukuran pada manusia dimana jarak lutut-tumit adalah 16 cun, dan titik Zusanli terletak pada 3

cun yaitu sekitar 1/5 dari jarak lutut-tumit dengan Kedalaman insersi 1,5 cun atau 3,5-4 cm (Dharmananda,2001a). Stimulasi pada titik Zusanli naik melalui nervus somatic dan plexus saraf pada dinding vaskular menuju radix dorsalis vertebra thorax 6 sampai sacral 3 (T6-S3) (Wang, 2001).


(24)

Titik Neiguan terletak pada celah caudal antara musculus flexor carpi radialis dan musculus flexor digiti superficialis atau sekitar 3 cm di bawah pergelangan tangan (Ouyang et al., 2001; Tarcin et al., 2004) dengan kedalaman insersi titik Neiguan adalah 0,8-1 cun atau 0,5–1 cm. Sinyal afferent yang dihasilkan dari akupuntur titk Neiguan menuju

radix dorsalisnervus spinalisCervical 6 sampai Thoracal 1 (C6-T1). Gambar 2.2. Titik Zusanli pada tikus

(Acupunture Course, 1997)

Gambar 2.3. Titik Zusanli tampak

penampang melintang (Phenome, 2002)


(25)

Gambar 2.4. Titik Neiguan tampak penampang melintang (DiscoveryTCM, 2003)

b. Metode elektroakupuntur

Stimulasi pada titik akupuntur dapat dilakukan secara manual dengan memutar-mutar jarum akupuntur atau dengan memberikan stimulus dengan aliran listrik frekuensi rendah atau disebut juga elektroakupuntur. Dengan elektroakupuntur stimulasi lebih stabil dan kontinyu. Shi et al. (1998) membuktikan bahwa stimulasi pada titik Zusanli dengan elektroakupuntur lebih meningkatkan aliran darah di jaringan otak pada hewan coba kelinci dibandingkan stimulasi akupuntur manual.

Elektroakupuntur pada tikus menggunakan frekuensi listrik 2 Hz, amplitudo 10 mA (Gao et al., 2000) dengan durasi 10-20 menit (Dharmananda, 2001b). Sedangkan pada manusia, elektroakupuntur pada titik Zusanli dan Neiguan, untuk mengatasi efek samping kemoterapi pada


(26)

saluran cerna, menggunakan frekuensi l2-10 Hz, durasi 20 menit setiap hari selama 5 hari, (Shen et al., 2000).

c. Pengaruh elektroakupuntur titik Zusanli dan Neiguan terhadap efek samping kemoterapi

Mual dan muntah terinduksi kemoterapi terjadi akut maupun lambat. Mual muntah akut terjadi segera setelah injeksi intravena agen kemoterapi, hal ini disebabkan rangsangan pada chemoreceptor trigger zone (CTZ). Mual dan muntah lambat terjadi antara hari ke-2 sampai ke-4 pasca kemoterapi akibat toksisitas agen kemoterapi pada saluran cerna dan menyebabkan mukositis terinduksi kemoterapi (Conklin., 2001).

Akupuntur pada titik Zusanli dan Neiguan terbukti efektif mengatasi mual muntah akibat kemoterapi (National Institute of Health, 1997). Efek ini mungkin terjadi karena stimulasi pada kedua titik tersebut berpengaruh terhadap peningkatan motilitas saluran cerna. Elektroakupuntur pada titik Zusanli dan Neiguan juga terbukti signifikan mempercepat pengosongan lambung, meningkatkan irama gelombang lambat lambung, dan aktivitas vagal perifer. Percepatan pengosongan lambung tersebut diduga karena peningkatan aktivitas mioelektrik lambung (Ouyang et al., 2001; Noguchi et al., 2007). Dengan percepatan pengosongan lambung, refluk gastroesofageal akibat distensi lambung dapat dikurangi sehingga mengurangi mual dan muntah.


(27)

Hal ini juga diperkuat dengan peneliatian sebelumnya oleh Dundee

et al., (1991) yang membuktkan bahwa elektroakupuntur pada titik Neiguan dengan frekuensi rendah, 10-15 Hz, dengan durasi 5 menit tiap 2 jam, mengatasi mual dan muntah pada pasien dengan kemoterapi. Stimulasi akupuntur pada titik Neiguan juga merangsang pembentukan β -endorfin pada LCS yang menyebabkan desensitasi CTZ dan pusat muntah pada medulla oblongata (Tatewaki et al., 2004).

Mekanisme akupuntur titik Zusanli dan Neiguan secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut. Rangsang akupuntur pada titik-titik akupuntur merupakan rangsang mekanoreseptor. Rangsang mekanoreseptor dibawa oleh serabut saraf besar A bermielin ( Morris, 2004). Serabut tersebut masuk ke dalam columna dorsalis medulla spinalis

kemudian bersinap di nulkeus grascilis dan nukleus cuneatus (neuron tingkat I). Serabut saraf tersebut diteruskan ke medulla oblongata melalui

tractus spinothalamicus lateralis kemudian bersinap, berganti neuron (neuron tingkat II). Selanjutnya serabut saraf tersebut menyilang kontralateral, melalui lemnikus medialis menuju thalamus. Pada kompleks

ventrobasal thalamus terjadi pergantian neuron (neuron tingkat III). Dari

thalamus serabut saraf diteruskan ke cortex cerebri area somatosensorik melalui traktus thalamocortical dan melalui tractus frontokortikal


(28)

Peran akupuntur dalam mengatasi mual muntah akibat kemoterapi dilakukan terutama melalui nervus vagus parasimpatis efferent. Rangsang yang telah sampai ke cortrex cerebri diturunkan melalui traktus retikulospinalis dan retikulobulbaris menuju nukelus dorsalis nervus vagus (DMV) untuk pengendalian sistem saraf otonom (Pei et al., 2000). Serabut saraf eferen nervus vagus dari DMV memberikan persarafan parasimpatis pada gastrointestinal dan menimbulkan beberapa efek diantaranya percepatan pengosongan gastroduodenal, menghambat sekresi asam lambung, meningkatkan pelepasan opioid endogen (endorfin dan enkefalin) yang juga berefek menurunkan sekresi asam lambung (Rong et al., 2009). Efek-efek yang ditimbulkan dari persarafan parasimpatis ini menurunkan efek mual muntah akibat kemoterapi.

Penelitian membuktikan bahwa setelah penusukan elektroakupuntur pada titik Zusanli dan Neiguan terjadi peningkatan konsetrasi NO. Akupuntur pada titik Zusanli menyebabkan peningkatan konsentrasi NO di dalam darah dan mukosa lambung. Peningkatan konsentrasi NO ini karena elektroakupuntur pada titik Zusanli menyebabkan pelepasan NO dari nucleus grascilis medulla spinalis (Rong et al., 2009). Elektroakupuntur memodulasi aktivitas NO di lintasan somato sensori batang otak (nucleus grascilis, ganglia basalis, cortex cerebri, dan hippocampus).


(29)

Elektroakupuntur pada titik Zusanli diketahui meningkatkan aktivitas NOS pada hippocampus. Hippocampus merupakan central processing area yang menjadi tempat bertemunya impuls sensoris dan asosiatif dari cortex cerebri ( Morris, 2004). Impuls sensoris akupuntur yang sampai ke cortex cerebri diteruskan ke hippocampus kemudian terjadi modulasi akrivitas NOS. Elektroakupunur pada titik Neiguan juga terbukti meningkatkan ekspresi NOS. Didapatkan ekspresi positif NOS pada serabut saraf dan neuron di miokardium dan gastrointestinal (Wang et al., 2008). Mekanisme peningkatan NO juga terjadi melalui peran DMV. DMV menerima informasi afferen dari tractus gastrointestinal dan mengintegrasikannya dengan stimulus lain dari otak. DMV meneruskan informasi dari otak melalui serabut saraf eferen ke organ target. Di endothel vaskuler gastrointestinal, terjadi aktivasi NOS. NOS mengubah asam amino L-arginin menjadi NO (Pei et al., 2000).

Elektroakupuntur pada titik Zusanli juga meningkatkan ekspresi EGFR. Serum dari tikus yang diberi elektroakupuntur mampu meningkatkan ekspresi EGFR. Elektroakupuntur pada titik Zusanli diduga mengaktifkan substansi yang meningkatkan aktivitas gen EGFR. Belum diketahui secara pasti substansi apa yang diaktifkan oleh stimulasi pada titik Zusanli yang meningkatkan ekspresi EGFR (Yang et al., 2006).


(30)

d. Pengaruh elektroakupuntur titik Zusanli dan Neiguan terhadap perbaikan mukositis saluran cerna

Elektroakupuntur pada titik Zusanli dan Neiguan terbukti efektif mengatasi mual muntah akibat kemoterapi. Namun, belum ada penjelasan yang memadai apakah stimulasi pada kedua titik tersebut juga memperbaiki mukositis pada saluran cerna. Feng dan Ifrim (2004) membuktikan bahwa stimulasi titik akupuntur mempengaruhi histologis dan biokimia sel. Maka besar kemungkinan elektroakupuntur titik Zusanli dan Neiguan dapat berpengaruh sampai tingkat seluler termasuk dalam memperbaiki mukositis. Pei et al., (2000) membuktikan pengaruh akupuntur pada titik Zusanli terhadap perlindungan mukosa gaster. Akupuntur pada titik Zusanli meningkatkan Nitrit Oksida (NO) pada mukosa gaster. NO menyebabkan relaksasi otot polos vaskuler sehingga aliran darah mukosa meningkat. Selain itu NO memelihara integritas epithel mukosa sehingga mencegah kerusakan mukosa. Mekanisme efek tersebut diduga karena akupuntur titik Zusanli mengaktifkan Nitric Oxide Synthetase (NOS) endogen sehingga meningkatkan pembentukan NO. Elektroakupuntur pada titik Neiguan juga meningkatkan ekspresi NOS di saluran cerna dan jantung (Wang et al., 2008). Whittle et al. (1990) menyebutkan bahwa NO merupakan modulator dalam pengaturan integritas mukosa gaster yang tidak hanya meningkatkan vasodilator lokal pada mikrosirkulasi tetapi juga memelihara kontinuitas dan fungsi


(31)

endothel. Ada kemungkinan bahwa neuropeptida yang berasal dari neuron sensoris afferen di sekitar mikrovaskuler terlibat dalam regulasi NO.

Akupuntur pada titik Zusanli juga berperan meningkatkan regenerasi mukosa gastrointestinal. Akupuntur pada titik Zusanli dapat mengaktifkan Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR). EGFR merupakan reseptor untuk Epidermal Growth Factor (EGF) yang merangsang proliferasi, diferensiasi, dan migrasi sel-sel epithel mukosa (Yang et al.,2006). EGF dilepaskan oleh sel dan digunakan oleh sel itu sendiri, merangsang pertumbuhannya sendiri atau merangsang kemampuan sel tersebut untuk berdiferensiasi. Reseptor di permukaan membran akan mengikat EGF, bagian reseptor di bawah membran merupakan enzim tirosin kinase. Setelah mengikat EGF, reseptor yang merupakan rantai tunggal akan membentuk dimer. Sinyal protein dari reseptor diteruskan ke intrasel untuk menginisiasi sintesis DNA dan pertumbuhan sel (Goodsell, 2003).

Mekanisme peningkatan EGFR oleh stimulasi akupuntur titik Zusanli belum diketahui secara pasti. Namun didapatkan bukti bahwa dalam serum hewan coba yang mendapat akupuntur titik Zusanli terdapat substansi yang meningkatkan ekspresi mRNA EGFR. Substansi aktif di dalam serum tersebut belum diketahui (Yang et al.,2006).


(32)

5. Kerangka Pemikiran

5-FU

Kerusakan DNA

Apoptosis

Pelepasan Mediator inflamasi

Hari ke-3

Regenerasi Hari ke-5

Pemulihan Hari ke-8-10 Kerusakan

Mukosa Elektroakupuntur

Zusanli

↑ NO

-Memelihara integritas mukosa

-Meningkatkan aliran darah mukosa

Elektroakupuntur Neiguan

Merangsang proliferasi, diferensiasi dan migrasi sel

epithel mukosa


(33)

C. Hipotesis

Elektroakupunktur pada titik Zusanli dan Neiguan dapat mempercepat regenerasi mukosa ileum yang mengalami kerusakan akibat 5-FU.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

C. Subyek Penelitian

Subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus jantan galur Wistar, umur 3 bulan, dengan berat badan 130-200 gram. Jumlah sampel ditentukan dengan rumus Federer yaitu (k-1) (n-1) ³ 15. Jumlah kelompok perlakuan pada penelitian ini sebanyak 4 kelompok, dengan demikian perhitungan rumus federer untuk menentukan banyaknya sampel tiap kelompok sebagai berikut: (k-1) (n-1) ≥ 15

(4-1) (n-1) ≥ 15 3n-3 ≥ 15 3n ≥ 18 n ≥ 6


(34)

Keterangan : k = kelompok perlakuan

n = banyak sampel tiap kelompok

Dari perhitungan tersebut didapatkan jumlah sampel tiap kelompok sebanyak 6 sampel. Total sampel pada penelitian ini 24 sampel.

D. Teknik Sampling

Sampel dipilih secara dengan metode quota sampling, yaitu pengambilan sampel dilakukan dengan memberikan kuota untuk masing-masing kelompok. Sampel dipilih dari satu galur dengan umur dan jenis kelamin yang sama.

Sampel sebanyak 24 ekor tikus dibagi menjadi 4 kelompok secara acak yaitu kelompok Kontrol (K), Perlakuan 1 (P1), Perlakuan 2 (P2) dan Perlakuan 3 (P3). Pembagian seluruh sampel ke dalam kelompok dilakukan dengan menomori sampel dari 1 sampai 24. Tikus nomor 1,2,3 dan 4 sebagai sampel pertama untuk kelompok K, P1, P2 dan P3. Nomor sampel berikutnya adalah nomor sampel pertama ditambah 4, demikian seterusnya hingga tiap kelompok terdapat 6 sampel.

E. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian The Post Test Only Control Group Design.


(35)

Keterangan :

K : Kelompok Kontrol P1 : Kelompok Perlakuan 1 P2 : Kelompok Perlakuan 2 P3 : Kelompok Perlakuan 3

NaCl : Pemberian 2 ml NaCl 0,9% intraperitoneal

5-FU : Pemberian kemoterapi 5-FU dosis 150 mg/kg BB tikus intraperitoneal

OK : Observasi kelompok kontrol pada hari ke-7, dikorbankan 6 tikus OP1 : Observasi kelompok perlakuan 1 pada hari ke-3, dikorbankan 6

tikus

A Hari ke-3

Elektroakupuntur

Hari ke-7

OK Hari ke-1

NaCl

5-FU

5-FU

5-FU

OP1

OP2

OP3 K

P1

P2


(36)

OP2 : Observasi kelompok perlakuan 2 pada hari ke-7, dikorbankan 6 tikus

OP2 : Observasi kelompok perlakuan 3 pada hari ke-7, dikorbankan 6 tikus

A : Analisis data

Elektroakupuntur : Elektroakupuntur titik Zusanli dan Neiguan dilakukan setiap hari mulai hari ke-3 sampai hari ke-7.

F. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas : elektroakupuntur pada titik Zusanli dan Neiguan.

2. Variabel terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah perbaikan mukosa ileum tikus. 3. Variabel Luar

a. Variabel luar yang dapat dikendalikan : variasi genetik, umur, jenis kelamin, berat badan, makanan dan minuman dan suhu ruangan. b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan : kondisi psikologis dan

kondisi awal ileum tikus.

G. Skala Variabel

1. Elektroakupuntur pada titik Zusanli dan

Neiguan : Skala nominal


(37)

H. Definisi Operasional Variabel 1. Variabel bebas

Elektroakupuntur dilakukan pada titik Zusanli yang terletak di

lateral tuberositas tibia, 1/5 jarak lutut-mata kaki dengan kedalaman insersi 3-4 mm, penusukan tegak lurus dan titik Neiguan yang terletak pada celah caudal musculus flexor carpi radialis dan musculus flexor digiti superficialis dengan kedalaman insersi 2-3 mm, penusukan tegak lurus. Elektroakupuntur dilakukan setiap hari mulai hari ke-3 sampai hari ke-7. Pada tiap-tiap hari diberikan satu siklus elektroakupuntur selama 15 menit dengan frekuensi 2 Hz, amplitudo 10 mA, hingga timbul kontraksi otot area yang distimulasi elektroakupuntur.

2. Variabel terikat

Perbaikan mukosa ileum tikus ialah terjadinya percepatan regenerasi mukosa ileum yang diamati dengan mengukur tinggi vili dan kedalaman kripte. Vili dan kripte masing-masing diukur tinggi dan kedalamannya. Kemudian kedua parameter tersebut dijumlahkan untuk menggambarkan percepatan regenerasi mukosa ileum.

Ileum tikus diambil dan dibuat preparat histologis dengan tebal irisan 5 µm menggunakan pengecatan Hematoksilin-eosin. Setiap potongan jaringan dibuat 4 preparat. Dari tiap preparat dilihat 3 lapang pandang, dari tiap lapang pandang dipilih 1 vili dan 1 kripte. Vili dan kripte yang akan diukur dipilih yang utuh atau jika mengalami keusakan


(38)

bukan akibat kesalahan pemotongan. Pengukuran vili dimulai dari pangkal hingga puncak vili, menggunakan mikroskop cahaya pada perbesaran total 100 x dengan mikrometer objektif. Pengukuran kripte dimulai dari permukaan hingga dasar kripte, diamati menggunakan mikroskop cahaya pada perbesaran total 400 x untuk menentukan batas kripte, kemudian diukur pada perbesaran total 100 x dengan mikrometer obyektif. Data hasil pengukuran tinggi vili, kedalamn kripte dan penjumlahan keduanya, dirata-rata dan diAnalisis statistik.

3. Variabel luar

a. Variabel luar yang dapat dikendalikan

1) Variasi genetik : Tikus galur Wistar. 2) Umur : Tikus berumur 3 bulan. 3) Jenis kelamin : Tikus berjenis kelamin jantan. 4) Berat badan : 130-200 gram.

5) Makanan dan minuman : Makanan adalah pellet dan minuman dari

air PDAM diberikan secara ad

libithum.

6) Suhu ruangan : 25-280 C. b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan


(39)

Kondisi lingkungan mempengaruhi kondisi psikologis tikus. Tikus ditempatkan di ruangan tenang untuk meminimalkan stres psikologis.

2) Keadaan awal ileum tikus

Keadaan awal ileum tikus tidak dapat dikendalikan karena peneliti tidak melakukan pemeriksaan ileum tikus sebelum perlakuan.

I. Instrumen dan Bahan Penelitian 1. Instrumen

a. Alat Elektroakupuntur

b. Point detector untuk mengetahui titik akupuntur yang tepat

c. Jarum akupuntur steril sekali pakai merk Huanqiu ukuran 3 cun atau 0,25 x 50 mm untuk akupuntur pada tungkai (titik Zusanli) dan ukuran 1 cun atau 0,25 x 30 mm untuk pergelangan tangan (titik Neiguan) d. Timbangan

e. Spuit 1 ml

f. Alat-alat pembedahan hewan coba (gunting anatomis, pinset, jarum fiksasi, meja lilin)

g. Alat-alat untuk pembuatan preparat histologis

h. Mikroskop cahaya merk Olympus yang dilengkapi mikrometer objektif

2. Bahan


(40)

b. Pellet untuk makanan dan air PDAM untuk minuman hewan coba c. Bahan untuk membuat preparat histologis (pengecatan HE)

J. Cara Kerja

1. Adaptasi Hewan Coba

Tikus diadaptasikan selama satu minggu di Laboratorium Histologi FK UNS.

2. Menentukan Dosis 5-FU

Dosis 5-FU untuk tikus yang diketahui dapat menyebabkan kerusakan mukosa ileum sebesar 150 mg/kgBB tikus (Codacci-Pisanelli et al., 1997). Kadar 5-FU dalam sediaan 50 mg/ml. Sehingga dosis untuk tiap tikus sebagai berikut:

BB tikus (kg) x 150 mg/kgBB Dosis 5-FU untuk tikus= 50 mg/ml 3. Pengelompokkan Subyek

Tikus sebanyak 24 ekor dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing terdiri dari 6 ekor tikus. Pengelompokkan subyek sebagai berikut : a. K (kontrol), diinjeksi 2 ml NaCl 0,9% intraperitoneal pada hari

pertama dan dikorbankan pada hari ke-7.

b. P1 (Perlakuan 1), diinjeksi 5-FU intraperitoneal dosis 150 mg/kgBB pada hari pertama dan dikorbankan pada hari ke-3.

c. P2 (Perlakuan 2), diinjeksi 5-FU intraperitoneal dosis 150 mg/kgBB pada hari pertama dan dikorbankan pada hari ke-7.


(41)

d. P3 (Perlakuan 3), diinjeksi 5-FU intraperitoneal dosis 150 mg/kgBB pada hari pertama, dilanjutkan elektroakupuntur pada titik Zusanli dan

Neiguan yang dilakukan setiap hari mulai hari ke-3 hingga hari ke-7, selama 15 menit dengan frekuensi 2 Hz, amplitudo 10 mA, diberikan stimulasi hingga timbul kontraksi, kemudian dikorbankan pada hari ke-7.

4. Injeksi NaCl dan 5-FU

Pada hari pertama dilakukan injeksi intraperitoneal NaCl 0,9% 2ml untuk kelompok kontrol (K). Injeksi intraperitoneal 5-FU sesuai dosis yang ditentukan untuk kelompok perlakuan 1, 2 dan 3 (P1, P2, P3). Langkah-langkah yang dilakukan sebagai berikut :

a. Menyiapkan NaCl maupun 5-FU di dalam spuit 1 ml.

b. Menyiapkan alkohol untuk antiseptik.

c. Memegang dan menenangkan tikus.

d. Membersihkan kulit perut bagian bawah tikus dengan alkohol.

e. Mengangkat kulit perut bagian bawah tikus yang telah dibersihkan, injeksi di bawah kulit yang terangkat (rongga peritonium).

f. Mengembalikan tikus ke tempat semula. 5. Elektroakupuntur


(42)

Dilakukan elektroakupuntur pada titik Zusanli dan Neiguan untuk kelompok P3. Langkah-langkah elektroakupuntur sebagai berikut :

a. Menyiapkan alat elektroakupuntur dan jarum akupuntur. Mengatur saklar pada frekuensi 2 Hz, amplitudo 10 mA, waktu 15 menit.

b. Memegang dan menenangkan tikus.

c. Menetukan titik Zusanli dan Neiguan yang benar dengan point detector.

d. Membersihkan lokasi titik akupuntur dengan alkohol.

e. Menusukkan jarum akupuntur pada titik yang telah ditentukan dengan tegak lurus.

f. Memasang elektroda pada jarum akupuntur yang telah ditusukkan. g. Menyalakan saklar ON alat elektroakupuntur.

h. Memberikan stimulasi hingga terjadi kontraksi otot pada area yang diakupuntur

i. Apabila pada saat elektroakupuntur jarum terlepas, maka segera dibetulkan kembali.

6. Pengambilan Data

Setelah diberikan perlakuan, tikus dikorbankan pada hari yang telah ditentukan dengan cara neck dislocation. Ileum diambil untuk dibuat preparat histologis. Pengambilan jaringan dilakukan pada bagian yang berada dekat dengan caecum untuk memastikan bahwa yang diambil benar-benar ileum bukan bagian intestinum yang lain. Jaringan ileum yang


(43)

telah diambil dibuat preparat histologis dengan metode blok parafin dan dengan pengecatan Hematoksilin Eosin (HE). Setiap potongan jaringan dibuat 4 preparat dengan tebal irisan ± 5µm.

Preparat histologis diamati menggunakan mikroskop cahaya Tinggi vili dan kedalaman kripte diukur dengan mikrometer objektif. Dari tiap preparat dilihat 3 lapang pandang, dari tiap lapang pandang dipilih 1 vili dan 1 kripte kemudian hasil pengukuran vili dan kripte tiap sampel dirata-rata. Data tinggi vili, kedalaman kripte dan penjumlahan keduanya dihitung rata-ratanya dan diAnalisis statistik.

K. Teknik Analisis Data

Untuk mengetahui perbedaan yang bermakna di antara semua kelompok perlakuan dilakukan uji One Way Anova (α = 0.05). Apabila didapatkan perbedaan yang bermakna, uji statistik dilanjutkan dengan uji post hoc (α = 0.05) untuk mengetahui perbedaan di antara dua kelompok

perlakuan.

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Setelah memberikan perlakuan pada 24 ekor tikus Wistar jantan usia 3 bulan, berat badan 130-200 gr, yang dibagi dalam 4 kelompok yaitu K (kontrol) , P1 (mengalami mukositis), P2 (mengalami regenerasi spontan) dan P3 (mendapat terapi elektroakupuntur), didapatkan hasil sebagai berikut :


(44)

A. Berat Badan Subyek Penelitian

Rata-rata berat badan tikus Wistar yang digunakan dalam penelitian ini adalah 149,8 gr. Data lengkap berat badan tikus ditampilkan pada lampiran 1. Berat badan tikus dianalisis menggunakan program SPSS for Windows Release 16. Dari uji normalitas dan homogenitas varian didapatkan data tidak normal dan tidak homogen sehingga tidak memenuhi syarat untuk uji one way anova. Oleh karena itu digunakan uji non parametrik dengan uji Wallis dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Dengan uji Kruskal-Wallis tidak didapatkan perbedaan signifikan dengan p=0,445 (p ≥ 0,05). Rata-rata berat badan tikus dapat dilihat dalam tabel 4.1.

Tabel 4.1. Rata-rata Berat Badan Hewan Coba. Kelompok

Rata-rata berat badan tikus ± standar deviasi (gr)

Kontrol 143,3 ± 7,53

Perlakuan 1 147,5 ± 1,08 Perlakuan 2 151,7 ± 9,83 Perlakuan 3 153,3 ±1,21

Dari tabel tersebut tampak bahwa rata-rata berat badan tikus pada keempat kelopok tidak banyak berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa berat badan tikus dalam penelitian ini homogen.


(45)

Setelah perlakuan dilakukan biopsi ileum tikus. Ileum tikus kemudian dibuat preparat histologis dengan pengecatan Hematoksilin-Eosin. Setiap jaringan dibuat 4 preparat dengan tebal irisan 5µm. Dari tiap preparat dilihat 3 lapang pandang, dari tiap lapang pandang dipilih 1 vili kemudian hasil pengukuran vili dirata-rata. Vili dipilih yang utuh atau jika mengalami kerusakan bukan akibat kesalahan pemotongan. Vili diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 100 x. Tinggi vili diukur dengan mikrometer dari pangkal vili hingga puncak vili. Pada penelitian ini didapatkan rata-rata tinggi vili seperti tertera pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Rata-rata Tinggi Vili Ileum Hewan Coba.

Dari data tersebut rata-rata tinggi vili P1 lebih kecil daripada kontrol. rata tinggi vili P2 dan P3 lebih besar daripada P1 maupun kontrol. Rata-rata tinggi vili P3 lebih besar dibandingkan P2. Untuk lebih memperjelas, rata-rata tinggi vi ditampilkan dalam diagram batang sebagai berikut :

Kelompok Rata-rata Tinggi Vili ± SD (µm)

Kontrol 51,56 ± 4,18

Perlakuan 1 43,22 ± 4,09 Perlakuan 2 54,75 ± 9,42 Perlakuan 3 58,49 ± 4,91


(46)

G G

ambar 4.1. Diagram Batang Rata-rata Tinggi Vili Ileum Hewan Coba.

Tinggi vili dianalisis menggunakan program SPSS for Windows Release 16. Dari uji normalitas dan homogenitas varian didapatkan data tidak normal dan tidak homogen sehingga data tidak memenuhi syarat untuk uji one way anova. Oleh karena itu digunakan uji non parametrik dengan uji Kruskal-Wallis dilanjutkan uji Mann-Whitney. Analisis data dengan uji Kruskal-Wallis menunjukkan ada perbedaan bermakna pada semua kelompok perlakuan dengan p=0,006 (p<0,05) . Analisis tinggi vili dengan uji Mann-Whitney ditampilkan dalam tabel 4.3 :

Tabel 4.3. Uji Mann-Whitney Tinggi Vili Ileum Hewan Coba

Kelompok Mean 1(µm) Mean 2(µm) n p Signifikansi

K-P1 51,56 ± 4,18 43,22 ±4,09 12 0,009 Signifikan K-P2 51,56 ± 4,18 54,75 ±9,42 12 0,589 Tidak Signifikan K-P3 51,56 ± 4,18 58,49 ±4,91 12 0,015 Signifikan P1-P2 43,22 ±4,09 54,75 ±9,42 12 0,026 Signifikan


(47)

P1-P3 43,22 ±4,09 58,49 ±4,91 12 0,002 Signifikan P2-P3 54,75 ±9,42 58,49 ±4,91 12 0,699 Tidak signifikan

Dari data tersebut tampak perbedaan bermakna antara K-P1, hal ini mengindikasikan kelompok P1 mengalami mukositis ditandai dengan rata-rata tinggi vili P1<K. Tidak adanya perbedaan bermakna antara K-P2 menunjukkan rata-rata tinggi vili kelompok P2 (regenerasi spontan) mendekati kondisi normal. Adanya perbedaan bermakna tinggi vili K-P3 menunjukkan terjadi pertumbuhan vili yang lebih melebihi normal pada kelompok P3 (terapi elektroakupuntur) yang ditandai dengan rata-rata tinggi vili P3>K. Adanya perbedaan signifikan antara P1-P2 maupun P1-P3 menunjukkan bahwa pertumbuhan vili pada kelompok P2 dan P3 lebih baik daripada P1 yang ditandai dengan rata-rata tinggi vili P2 dan P3 lebih besar dibanding P1. Tidak adanya perbedaan bermakna antara P2-P3 menunjukkan perbaikan vili P3 tidak banyak berbeda dengan kelompok P2.

C. Kedalaman Kripte

Setelah perlakuan, dilakukan biopsi ileum tikus dan dibuat preparat histologis dengan pengecatan hematoksilin-eosin. Dari tiap preparat dilihat 3 lapang pandang, dari tiap lapang pandang dipilih 1 kripte kemudian hasil pengukuran kripte dirata-rata. Kripte dipilih yang utuh atau jika mengalami kerusakan bukan akibat kesalahan pemotongan. Kedalaman kripte diamati dengan mikroskop cahaya pada perbesaran 400 x dan diukur pada perbesaran


(48)

100 x dengan mikrometer. Pengukuran kedalaman kripte dilakukan dari permukaan hingga dasar kripte, kemudian hasilnya dirata-rata. Rata-rata kedalaman kripte tertera pada tabel 4.4.

Tabel 4.4. Rata-rata Kedalaman Kripte Ileum Hewan Coba

Dari data tersebut rata-rata kedalaman kripte P1 < K. Rata-rata kedalaman kripte P2 dan P3 lebih besar daripada P1 maupun kontrol. Rata-rata kedalaman kripte P3 > P2. Rata-rata kedalaman kripte ditampilkan dalam diagram batang seba

gai beri kut :

Gambar 4.2. Diagram Batang Rata-rata Kedalaman Kripte Ileum Hewan Coba.

Kelompok Rata-rata Kedalaman Kripte ± SD (µm)

Kontrol 18,5 ± 3,06

Perlakuan 1 13,38 ± 1,39 Perlakuan 2 17,11 ± 1,50 Perlakuan 3 17,9 ± 2,66


(49)

Kedalaman kripte dianalisis menggunakan program SPSS for Windows Release 16. Dari uji normalitas dan homogenitas didapatkan data tidak normal dan tidak homogen sehingga tidak memenuhi syarat untuk uji

one way anova. Oleh karena itu digunakan uji non parametrik dengan uji Kruskal-Wallis dilanjutkan uji Mann-Whitney. Analisis data dengan uji Kruskal-Wallis menunjukkan adanya perbedaan bermakna di antara semua kelompok perlakuan untuk kedalaman kripte dengan p=0,008 (p<0,05). Hasil analisis kedalaman kripte dengan uji Mann-Whitney ditampilkan dalam Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Uji Mann-Whitney Kedalaman Kripte Ileum Hewan Coba

D a

ri data tersebut tampak perbedaan bermakna antara K-P1, hal ini mengindikasikan kelompok P1 mengalami mukositis ditandai dengan rata-rata kedalaman kripte P1<K. Tidak adanya perbedaan bermakna antara K-P2 menunjukkan rata-rata kedalaman kripte kelompok P2 (regenerasi spontan) mendekati kondisi normal. Adanya perbedaan bermakna kedalaman kripte

Kelompok Mean 1(µm) Mean 2(µm) n p Signifikansi

K-P1 18,5 ± 3,06

13,38 ±1,39 12 0,004 Signifikan K-P2 18,5 ± 3,06 17,11 ±1,50 12 0,589 Tidak Signifikan K-P3 18,5 ± 3,06 17,9 ± 2,66 12 0,937 Tidak Signifikan P1-P2

13,38 ±1,39 17,11 ±1,50 12 0,004 Signifikan P1-P3

13,38 ±1,39 17,9 ± 2,66 12 0,002 Signifikan P2-P3 17,11 ±1,50 17,9 ± 2,66 12 0,818 Tidak Signifikan


(50)

K-P3 menunjukkan kedalaman kripte kelompok P3 (terapi elektroakupuntur) mendekati normal. Adanya perbedaan signifikan antara P2 maupun P1-P3 menunjukkan bahwa pertumbuhan kripte pada kelompok P2 maupun P1-P3 lebih baik daripada kelompok P1 yang ditandai dengan rata-rata kedalaman kripte P2 dan P3 lebih besar dibanding P1. Tidak adanya perbedaan bermakna antara P2-P3 menunjukkan perbaikan kripte P3 tidak banyak berbeda dengan kelompok P2.

D. Perbaikan Mukosa

Perbaikan mukosa ditandai dengan peningkatan tinggi vili dan kedalaman kripte. Untuk mengetahui kondisi mukosa ileum secara utuh, dilakukan penjumlahan tinggi vili dan kedalaman kripte. Rata-rata penjumlahan tinggi vili dan kedalaman kripte ditampilkan dalam tabel 4.6.

Tabel 4.6. Rata-rata Penjumlahan Tinggi Vili dan Kedalaman Kripte Ileum Hewan Coba

Dari data tersebut rata-rata jumlah tinggi vili dan kedalaman kripte P1 lebih kecil daripada kontrol. Rata-rata jumlah tinggi vili dan kedalaman kripte P2 dan P3 lebih besar daripada P1 maupun kontrol. Rata-rata jumlah tinggi vili dan kedalaman kripte P3 lebih besar dibandingkan P2.

Kelompok Rata-rata (Vili + Kripte) ± SD (µm)

Kontrol 70,06 ± 5,17

Perlakuan 1 56,77 ± 4,15 Perlakuan 2 71,86 ± 1,04 Perlakuan 3 76,43 ± 6,49


(51)

Penjumlahan tinggi vili dan kedalaman kripte Kedalaman kripte dianalisis menggunakan program SPSS for Windows Release. Dari uji normalitas dan homogenitas didapatkan data tidak normal dan tidak homogen sehingga tidak memenuhi syarat untuk uji one way anova. Oleh karena itu digunakan uji non parametrik dengan uji Kruskal-Wallis dan dilanjutkan uji Mann-Whitney. Analisis data dengan uji Kruskal-Wallis menunjukkan adanya perbedaan bermakna di antara semua kelompok perlakuan dengan p=0,005 (p<0,05). Hasil analisis penjumlahan tinggi vili dan kedalaman kripte dengan uji Mann-Whitney ditampilkan dalam tabel 4.7.

Tabel 4.7. Uji Mann Whitney Penjumlahan Tinggi Vili dan Kedalaman Kripte Ileum Hewan Coba

Dari data tersebut tampak perbedaan bermakna antara K-P1, hal ini mengindikasikan mukosa ileum kelompok P1 mengalami mukositis ditandai dengan rata-rata P1<K. Tidak adanya perbedaan bermakna antara K-P2 menunjukkan perbaikan mukosa ileum kelompok P2 (regenerasi spontan) mendekati kondisi normal. Tidak adanya perbedaan bermakna antara K-P3

Kelompok Mean 1(µm) Mean 2(µm) n p Signifikansi

K-P1

70,06 ±5,17 56,77 ±4,15 12 0,002 Signifikan K-P2 70,06 ±5,17 71,86 ±1,04 12 0,699 Tidak Signifikan K-P3 70,06 ±5,17 76,43 ±6,49 12 0,132 Tidak Signifikan P1-P2 56,77 ±4,15 71,86 ±1,04 12 0,015 Signifikan P1-P3 56,77 ±4,15 76,43 ±6,49 12 0,002 Signifikan P2-P3 71,86 ±1,04 76,43 ±6,49 12 0,394 Tidak signifikan


(52)

menunjukkan perbaikan mukosa ileum kelompok P3 (terapi elektroakupuntur) mendekati kondisi normal. Adanya perbedaan signifikan antara P1-P2 maupun P1-P3 menunjukkan terjadi perbaikan mukosa ileum pada kelompok P2 maupun P3 dibandingkan kelompok P1, yang ditandai dengan rata-rata P2 dan P3 lebih besar dibanding P1. Tidak adanya perbedaan bermakna antara P2-P3 menunjukkan perbaikan mukosa ileum

P3 tidak banyak berbeda dibandingkan dengan kelompok P2. E. Gambaran Mikroskopis

Pengamatan mikroskopis mukosa ileum masing – masing kelompok dapat dilihat sebagai berikut :


(53)

Gambar 4.3. Preparat histologis mukosa ileum tikus wistar dengan pengecatan Hematoksilin-Eosin, perbesaran 100x. (K) Kelompok kontrol. (P1) Kelompok Perlakuan 1, mukosa ileum mengalami mukositis yang ditadai dengan pemendekan vili dan pendangkalan kripte. (P2) Kelompok perlakuan 2, mukosa ileum mengalami regenerasi spontan, kondisi vili dan kripte mendekati kontrol. (P3) Kelompok perlakuan 3, mukosa ileum mengalami regenerasi dengan terapi elektroakupuntur titik Zusnli dan Neiguan, vili dan kripte mendekati kontrol.

BAB V PEMBAHASAN

Pemberian kemoterapi berdampak menimbulkan mukositis. Mukositis ialah komplikasi pada mukosa akibat pemberian kemoterapi atau radiasi (Niscola et al., 2007) yang ditandai dengan kerusakan mukosa, inflamasi ringan sampai ulserasi dan mempengaruhi satu atau lebih organ saluran cerna (Blijlevens et al., 2000). Kerusakan mukosa dimulai dengan terhambatnya proliferasi akibat kerusakan DNA dan pembentukan

P3 P2


(54)

oksidan, kemudian terjadi hiperproliferasi yang diakibatkan proses inflamasi dan dapat berlanjut menjadi ulserasi yang menyebabkan penurunan integritas mukosa. Seteleh kerusakan, mukosa mengalami regenerasi secara bertahap hingga akhirnya mencapai regenerasi lengkap (Verberg et al.,2001; Sonis et al.2004).

Pada penelitian ini, digunakan antikanker 5-FU untuk menimbulkan mukositis. Pemilihan 5-FU karena antikanker ini banyak digunakan dalam terapi berbagai jenis kanker solid yang prevalensinya cukup besar dengan angka morbiditas serta mortalitas yang tinggi, diantaranya karsinoma mammae, colorectal, ovarium, prostat.

Organ saluran cerna yang diamati dalam penelitian ini adalah

ileum. Pemilihan ileum disebabkan mukositis terburuk terjadi pada organ ini. Di samping itu, ileum merupakan tempat penyerapan nutrisi utama sehingga pemulihan ileum pasca kemoterapi sangat penting.

Mukositis pada saluran cerna menimbulkan gejala klinis nyeri

visceral mulai dari nyeri ringan sampai yang terproyeksikan ke dinding perut, hipermotilitas yang menyebabkan diare (Niscola et al.2007), serta mual muntah (Conklin et al., 2001). Niscola et al.(2007) menyatakan diare pada pasien yang mendapat antikanker terjadi mulai hari ke-3 dan mulai membaik pada hari ke-7 setelah pemberian antikanker. Hal ini sesuai dengan fakta yang didapatkan pada penelitian ini bahwa pada umumnya tikus mengalami diare mulai hari ke-3, menjadi semakin berat hingga hari


(55)

ke-5 kemudian secara bertahap diare berkurang dan kembali normal pada hari ke-7.

Terapi eletroakupuntur pada titik Zusanli terbukti mampu mempercepat pengosongan lambung dan peningkatan aktivitas mioelektrik lambung sehingga mengurangi mual dan muntah (Ouyang et al., 2001; Noguchi et al., 2007). Elektroakupuntur pada titik Neiguan terbukti dapat mengatasi mual muntah akibat kemoterapi (Dundee et al., 1991). Terapi elektroakupuntur pada kedua titik tersebut dengan frekuensi 2-10 Hz selama 10-20 menit terbukti dapat mengatasi efek samping antikanker pada saluran cerna berupa mual, muntah dan diare (Dharmananda,2001b; She et al., 2000; National Institute of Health, 1997). Namun, belum ada penelitian tentang bagaimana pengaruh terapi elektroakupuntur terhadap perbaikan mukosa saluran cerna yang mengalami kerusakan akibat antikanker. Oleh karena itu, dilakukan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh elektroakupuntur pada titik Zusanli dan Neiguan terhadap perbaikan kerusakan mukosa ileum akibat 5-FU.

Masa kerusakan dan regenerasi vili dan kripte pasca kemoterapi sedikit bebeda. Verberg et al. (2001) mengemukakan kerusakan kripte mulai terjadi pada hari ke-1-2 dan kerusakan vili mulai terjadi pada hari ke-3-4. Regenerasi kripte mulai terjadi pada hari ke-3-4 dan regenerasi vili mulai hari ke-5-6.


(56)

Pada penelitian ini, mukositis ileum terjadi pada kelompok P1 yang dikorbankan pada hari ke-3 pasca pemberian 5-FU. Pada P1 persentase tinggi vili jika dibandingkan kontrol sebesar 83,82%, gambaran preparat histologis tampak vili mengalami pendataran. Hasil pengukuran tinggi vili pada penelitian ini sesuai dengan Verberg et al.(2001) dan Niscola et al.(2007) bahwa pada hari ke-3 terjadi deplesi sel-sel epithel vili. Kedalaman kripte pada P1 sebesar 72,32% dibandingkan kontrol, gambaran preparat histologis tampak kripte menjadi lebih dangkal. Namun, hasil pengukuran kedalaman kripte berbeda dengan penemuan Verberg et al.(2001) yang menyatakan antara hari ke-3 dan 4 kripte mengalami hiperproliferasi dan mulai regenerasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada hari ke-3 tidak terjadi hiperproliferasi.

Mukosa saluran cerna yang mengalami mukositis dapat mengalami regenerasi spontan secara bertahap. Telah disebutkan bahwa regenerasi vili mulai terjadi pada hari ke-5-6 (Verberg et al.,2001) dan terjadi hiperplasi mukosa pada hari ke-5 (Niscola et al., 2007). Pada penelitian ini regenerasi spontan ditunjukkan oleh kelompok P2. Pada kelompok P2 terjadi regenerasi vili spontan pada hari ke-7 pasca pemberian 5-FU. Persentase tinggi vili P2 adalah 106% dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan adanya hiperplasi vili tetapi hasil analisa statistik menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan. Terjadinya regenerasi vili


(57)

spontan dapat dilihat dari hasil analisa statistik yang signifikan antara P1 dan P2 dengan perbandingan persentase 83,82% : 106%.

Hasil pengukuran kedalaman kripte pada kelompok P2 menunjukkan terjadinya regenerasi spontan. Persentase kedalaman kripte kelompok P2 sebesar 92,48% dibandingkan dengan kontrol menunjukkan regenerasi kripte spontan mendekati kondisi normal. Hal ini didukung dengan hasil analisa statistik yang menunjukkan kedalaman kripte K-P2 tidak signifikan. Terjadinya regenerasi kripte dapat dilihat dari hasil analisa statistik yang signifikan antara P1-P2 dengan perbandingan persentase 72,32% : 92,48%.

Pada kelompok P3, yang mendapat terapi elektroakupuntur titik

Zusanli dan Neiguan selama 5 hari (hari ke-3 sampai 7) pasca pemberian 5-FU, juga didapatkan perbaikan mukosa ileum. Pada kelompok P3 terjadi regenerasi kripte, dibuktikan dengan hasil analisa statistik yang signifikan antara P1 dan P3 dengan perbandingan persentase 72,32% : 96,75%. Hasil analisa statistik kedalaman kripte antara K-P3 menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan. Hal ini mengindikasikan perbaikan kripte pada P3 sebesar 96,75% mendekati kondisi normal dan lebih baik daripada P2 yang tidak mendapatkan terapi elektroakupuntur dengan persentase 92,48%. Terapi elektroakupuntur terbukti signifikan memperbaiki kerusakan vili dengan perbandingan persentase P1:P3 sebesar 83,82% : 113%. Antara kelompok K-P3 didapatkan perbedaan tinggi vili yang


(58)

signifikan dengan persentase K:P3 sebesar 100%:113%. Hal ini menunjukkan terjadi hiperplasi vili yang kemungkinan disebabkan kemampuan elektroakupuntur titik Zusanli dan Neiguan dalam meningkatkan produksi NO (Pei et al., 2000; Wang et al., 2000) dan mengaktifkan EGFR (Yang et al.,2006). Stimulasi pada kedua titik elektroakupuntur tersebut mengaktifkan NOS endogen sehingga produksi NO juga meningkat. NO berfungsi meningkatkan aliran darah mukosa dan memelihara integritas epithel mukosa (Pei et al., 2000; Whittle et al., 1990). Elektroakupuntur pada titik Zusanli terbukti mengaktifkan EGFR. Aktivasi EGFR meningkatkan ikatan dengan EGF yang berfungsi merangsang proliferasi, diferensiasi dan migrasi sel-sel epithel mukosa . Adanya aktivasi EGFR juga kemungkinan menimbulkan hiperplasi vili (Yang et al., 2006).

Antara kelompok P2-P3 tidak didapatkan perbedaan signifikan baik tinggi vili maupun kedalaman kripte. Perbandingan persentase P2:P3 untuk tinggi vili adalah 106%:113% dan kedalaman kripte 92,48%:96,75%. Meskipun tidak didapatkan perbedaan signifikan, pada kelompok P3 yang mendapat terapi elektroakupuntur terjadi peningkatan regenerasi vili dan kripte daripada kelompok P2 yang mengalami regenerasi spontan. Kondisi vili kelompok P3 pada hari ke-7 perlakuan tampak lebih mengalami hiperplasi daripada kelompok P2. Niscola et al.(2007) mengemukakan bahwa pada hari ke-5 terjadi hiperplasi mukosa,


(59)

maka kemungkinan pada hari ke-7 hiperplasi yang terjadi belum kembali normal. Kondisi mukosa akan kembali normal pada hari ke-8-10 (Verberg

et al.,2001).

Perbaikan mukosa ditandai dengan peningkatan tinggi vili dan kedalaman kripte. Untuk mengetahui kondisi mukosa ileum secara utuh, rata-rata tinggi vili dan kedalaman kripte dijumlahkan. Hasil penelitian ini menunjukkan pada kelompok P2 (regenerasi spontan) dan kelompok P3 (terapi elektroakupuntur) terjadi perbaikan mukosa ileum yang mendekati kondisi normal. Dibandingkan dengan kelompok P1 (mengalami mukositis), perbaikan mukosa ileum pada kelompok P2 dan P3 mengalami peningkatan yang signifikan. Perbaikan mukosa ileum antara kelompok P2 dan P3 tidak menunjukkan perbedaan signifikan. Meskipun demikian, rata-rata perbaikan mukosa ileum pada kelompok P3 lebih besar daripada kelompok P2.

Pada penelitian ini diharapkan terjadi peningkatan perbaikan mukosa ileum yang bermakna pada kelompok yang mendapat terapi elektroakupuntur dibandingkan kelompok yang mengalami regenerasi spontan. Rata-rata perbaikan mukosa ileum kelompok P3 lebih besar daripada kelompok P2. Namun, tidak ada perbedaan bermakna perbaikan mukosa ileum pada kedua kelompok tersebut. Perbaikan mukosa pada penelitian ini diamati pada hari ke-7. Menurut Verberg et al. (2001) dan Niscola et al. (2007) hari ke-7 merupakan fase pemulihan yang mendekati


(60)

fase regenerasi lengkap. Hal ini dapat menjelaskan mengapa pada penelitian ini tidak ada perbedaan signifikan perbaikan mukosa ileum pada hari ke-7 antara kelompok P2 dan P3. Kondisi mukosa ileum kedua kelompok tersebut pada hari ke-7 mendekati kondisi semula yang dibuktikan dengan tidak ada perbedaan signifikan antara kedua kelompok tersebut dengan kontrol. Perbedaan bermakna perbaikan mukosa ileum kemungkinan akan tampak sebelum hari ke-7 ketika mukosa ileum mengalami kerusakan berat.

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan

Elektroakupuntur pada titik Zusanli dan Neiguan tidak berpengaruh terhadap perbaikan kerusakan mukosa ileum akibat pemberian 5-Fluorourasil.

B. Saran

1. Dilakukan pengamatan saat regenerasi dimulai yaitu hari ke-5 untuk mengetahui perbedaan percepatan regenerasi mukosa ileum dan pengamatan hingga fase regenerasi lengkap yaitu hari ke 8-10 untuk mengetahui apakah hiperplasi vili ileum yang terjadi dapat kembali normal.

2. Dilakukan penelitian serupa dengan pemberian terapi elektroakupuntur yang lebih dini untuk melihat pengaruh eletroakupuntur pada titik


(61)

DAFTAR PUSTAKA Acupuncture Course. 1997.

http://www.acupuncturecourse.org/images/article1_1.jpg (19 April 2009). Blijlevens, Donnelly, dan De Pauw. 2000.Mucosal barrier injury: biology,

pathology, clinical counterparts and consequences of intensive treatment for haematological malignancy: an overview. Bone Marrow Transplant.

25: 1269-78.

Cancer Research UK. 2002. Fluorouracil.

http://www.cancerhelp.org.uk/help/default.asp?page=21006 (7 Februari 2009).

Codacci-Pisanelli, Kralovanszky, van der Wilt, Noordhuis, Colofiore, Martin, Franchi dan Peters. 1997. Modulation of 5-Fluoruracil in mice using uridine diphosphoglucose. Clin Cancer Res 3: 309-315.

Conklin Kenneth A. 2001. Acupuncture And The Cancer Patient. Medical Acupuncture Volume 14 / Number 1.

Dharmananda. 2001a. Zusanli (Stomach-36).

http://www.itmonline.org/arts/pc6.htm (7 Februari 2009). Dharmananda. 2001b. Neiguan(Pericardium-6).

http://www.itmonline.org/arts/pc6.htm (9 Februari 2009). Discovery TCM. 2003.

http://www.tcmadvisory.com/upload_pic/D200782193733.jpg(19 April 2009).

Dundee, Yang, dan McMillan.1991. Non-invasive stimulation of the P6 (Neiguan) antiemetic acupuncture point in cancer chemotherapy. Journal of the Royal Society of Medicine. Volume 84 April 1991.

Feng Ifrim-Chen dan Mircea Ifrim. 2004. Further study on the anatomical, histological and biochemical basesunderlying clinical acupuncture effectiveness. J Chin Med 15(2): 69-78, 2004

Filshie Jacqueline. 1998. Acupuncture for the relief of cancer related breathlessness. Paliative Medicine. 10 (2) : 145-150


(62)

Gao, Huang, Chen, Song, dan Wang. 2000. Regulatory effects of electro-acupuncture at Tsusanli on ir-SP content in rats pituitary gland and

peripheral blood and their immunity. World J Gastroenterol.6(4):581-584. Garrett, Tsuruta, Walke, Jackson, dan Sweat. 2003. Managing nausea and vomiting.

Critical Care Nurse. 23, No1 2003 3.

Goodsell. 2003. The mollecular perspective : epidermal growth factor. The Oncologist. 8:496-497.

Guyton dan Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC, pp: 580-583, 719-723.

Iwa, Matsushima, Nakade,Pappas, Fujimiya, dan Takahashi. 2006.

Electroacupuncture at ST-36 accelerates colonic motility and transit in freely moving conscious rats. Am J Physiol Gastrointest LiverPhysiol.

290: G285–G292.

Ma Ling. 2009. Acupuncture as complementary therapy in chemoterapy-induced nausea and vomiting. Baylor Univ Med Center. 22 (2) : 138-141

Malet-Martino dan Martino. 2002. Clinical studies of three oral prodrugs of 5-Fluorouracil (capecitabine, UFT, S-1): a review. The Oncologist. 7: 288-323.

Manzano, Bueno, Rueda, Ramirez-Tortosa, Prieto, dan Lopez-Pedrosa. 2007. Intestinal Toxicity Induced by 5-Fluorouracil in Pigs: A New Preclinical Model. Chemotherapy. 53:344-355.

Morris, William R. 2004. Acupuncture, neurobiology and the nitric oxide connection.

http://pulsediagnosis.com/AcupunctureNeurobiologyandtheNitricOxideCo nnection.htm. (10 januari 2010)

Nafrialdi dan Gan, 2007. Antikanker. Dalam : Gunawan (ed): Farmakologi dan Terapi. Ed:5, Jakarta, Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia p.737, 747.

National Institute of Heallth. 1997.NIH Consensus Statement : Acupuncture. NIH. 15: 5:3-5.

Niscola, Romani, Cupelli, Scaramucci, Dentamaro, Amadori, dan Fabritiis. 2007. Mucositis in patients with hematologic malignancies: an overview.


(63)

Noguchi. 2007.Mechanism of Reflex Regulation of the Gastroduodenal Function by Acupuncture. eCAM. 5(3)251–256.

Ouyang, Yin, Wang, Pasricha, dan Chen. 2002. Electroacupuncture accelerates gastric emptying in association with changes in vagal activity. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol. 282: G390–G396.

Pei, Xu, Sun, Zhu dan Zhang. 2000. Protective effect of electroacupuncture and moxibustion on gastric mucosal damage and its relation with nitric oxide in rats. World J Gastroenterol. 6(3):424-427.

Phenome.2002.

http://phenome.jax.org/phenome/protodocs/Mogil1/imgs/ZusanliAcupoint. jpg (19 April 2009).

Shi Renhua. 1998. Effects of electroacupuncture and twirling reinforcing-reducing manipulations on volume of microcirculatory blood flow in cerebral pia mater. Journal of Traditional Chinese Medicine. 18(3): 220–224.

Saputra Kosnadi. 2005. Akupuntur Dasar. Surabaya : Airlangga University Press, pp : 10-25.

Shen, Wenger, Glaspy. 2000. Electroacupuncture for control of myeloablative chemotherapy-induced emesis: a randomized controlled trial. JAMA. 2000;284:2755-2761.

Sonis , Elting , Keefe, Peterson, Schubert M, Hauer-Jensen. 2004. Mucositis Study Section of the Multinational Association for Supportive Care in Cancer; International Society for Oral Oncology. Perspectives on cancer therapy-induced mucosal injury: pathogenesis, measurement, epidemiology, and consequencesfor patients. Cancer. 100 Suppl 9:1995-2025.

Tarcin, Gurbuz, Pocan, Keskin, dan Demirturk. 2004. Acustimulation of the

neiguan point during gastroscopy Its effects on nausea and retching. Turk J Gastroenterol. 15 (4): 258-262.

Tatewaki M, Harris M, Uemura K, Ueno T, Hoshino E, Shiotani A,

Pappas TN, and Takahashi T. 2004. ual effects of acupuncture on gastric motility in conscious rats. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 285: R862–R872.


(1)

maka kemungkinan pada hari ke-7 hiperplasi yang terjadi belum kembali normal. Kondisi mukosa akan kembali normal pada hari ke-8-10 (Verberg et al.,2001).

Perbaikan mukosa ditandai dengan peningkatan tinggi vili dan kedalaman kripte. Untuk mengetahui kondisi mukosa ileum secara utuh, rata-rata tinggi vili dan kedalaman kripte dijumlahkan. Hasil penelitian ini menunjukkan pada kelompok P2 (regenerasi spontan) dan kelompok P3 (terapi elektroakupuntur) terjadi perbaikan mukosa ileum yang mendekati kondisi normal. Dibandingkan dengan kelompok P1 (mengalami mukositis), perbaikan mukosa ileum pada kelompok P2 dan P3 mengalami peningkatan yang signifikan. Perbaikan mukosa ileum antara kelompok P2 dan P3 tidak menunjukkan perbedaan signifikan. Meskipun demikian, rata-rata perbaikan mukosa ileum pada kelompok P3 lebih besar daripada kelompok P2.

Pada penelitian ini diharapkan terjadi peningkatan perbaikan mukosa ileum yang bermakna pada kelompok yang mendapat terapi elektroakupuntur dibandingkan kelompok yang mengalami regenerasi spontan. Rata-rata perbaikan mukosa ileum kelompok P3 lebih besar daripada kelompok P2. Namun, tidak ada perbedaan bermakna perbaikan mukosa ileum pada kedua kelompok tersebut. Perbaikan mukosa pada penelitian ini diamati pada hari ke-7. Menurut Verberg et al. (2001) dan Niscola et al. (2007) hari ke-7 merupakan fase pemulihan yang mendekati


(2)

fase regenerasi lengkap. Hal ini dapat menjelaskan mengapa pada penelitian ini tidak ada perbedaan signifikan perbaikan mukosa ileum pada hari ke-7 antara kelompok P2 dan P3. Kondisi mukosa ileum kedua kelompok tersebut pada hari ke-7 mendekati kondisi semula yang dibuktikan dengan tidak ada perbedaan signifikan antara kedua kelompok tersebut dengan kontrol. Perbedaan bermakna perbaikan mukosa ileum kemungkinan akan tampak sebelum hari ke-7 ketika mukosa ileum mengalami kerusakan berat.

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan

Elektroakupuntur pada titik Zusanli dan Neiguan tidak berpengaruh terhadap perbaikan kerusakan mukosa ileum akibat pemberian 5-Fluorourasil.

B. Saran

1. Dilakukan pengamatan saat regenerasi dimulai yaitu hari ke-5 untuk mengetahui perbedaan percepatan regenerasi mukosa ileum dan pengamatan hingga fase regenerasi lengkap yaitu hari ke 8-10 untuk mengetahui apakah hiperplasi vili ileum yang terjadi dapat kembali normal.

2. Dilakukan penelitian serupa dengan pemberian terapi elektroakupuntur yang lebih dini untuk melihat pengaruh eletroakupuntur pada titik Zusanlli dan Neiguan dalam mencegah mukositis ileum.


(3)

DAFTAR PUSTAKA Acupuncture Course. 1997.

http://www.acupuncturecourse.org/images/article1_1.jpg (19 April 2009). Blijlevens, Donnelly, dan De Pauw. 2000.Mucosal barrier injury: biology,

pathology, clinical counterparts and consequences of intensive treatment for haematological malignancy: an overview. Bone Marrow Transplant. 25: 1269-78.

Cancer Research UK. 2002. Fluorouracil.

http://www.cancerhelp.org.uk/help/default.asp?page=21006 (7 Februari 2009).

Codacci-Pisanelli, Kralovanszky, van der Wilt, Noordhuis, Colofiore, Martin, Franchi dan Peters. 1997. Modulation of 5-Fluoruracil in mice using uridine diphosphoglucose. Clin Cancer Res 3: 309-315.

Conklin Kenneth A. 2001. Acupuncture And The Cancer Patient. Medical Acupuncture Volume 14 / Number 1.

Dharmananda. 2001a. Zusanli (Stomach-36).

http://www.itmonline.org/arts/pc6.htm (7 Februari 2009). Dharmananda. 2001b. Neiguan(Pericardium-6).

http://www.itmonline.org/arts/pc6.htm (9 Februari 2009). Discovery TCM. 2003.

http://www.tcmadvisory.com/upload_pic/D200782193733.jpg(19 April

2009).

Dundee, Yang, dan McMillan.1991. Non-invasive stimulation of the P6 (Neiguan) antiemetic acupuncture point in cancer chemotherapy. Journal of the Royal Society of Medicine. Volume 84 April 1991.

Feng Ifrim-Chen dan Mircea Ifrim. 2004. Further study on the anatomical, histological and biochemical basesunderlying clinical acupuncture effectiveness. J Chin Med 15(2): 69-78, 2004

Filshie Jacqueline. 1998. Acupuncture for the relief of cancer related breathlessness. Paliative Medicine. 10 (2) : 145-150


(4)

Gao, Huang, Chen, Song, dan Wang. 2000. Regulatory effects of electro-acupuncture at Tsusanli on ir-SP content in rats pituitary gland and

peripheral blood and their immunity. World J Gastroenterol.6(4):581-584. Garrett, Tsuruta, Walke, Jackson, dan Sweat. 2003. Managing nausea and vomiting.

Critical Care Nurse. 23, No1 2003 3.

Goodsell. 2003. The mollecular perspective : epidermal growth factor. The Oncologist. 8:496-497.

Guyton dan Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC, pp: 580-583, 719-723.

Iwa, Matsushima, Nakade,Pappas, Fujimiya, dan Takahashi. 2006.

Electroacupuncture at ST-36 accelerates colonic motility and transit in freely moving conscious rats. Am J Physiol Gastrointest LiverPhysiol. 290: G285–G292.

Ma Ling. 2009. Acupuncture as complementary therapy in chemoterapy-induced nausea and vomiting. Baylor Univ Med Center. 22 (2) : 138-141

Malet-Martino dan Martino. 2002. Clinical studies of three oral prodrugs of 5-Fluorouracil (capecitabine, UFT, S-1): a review. The Oncologist. 7: 288-323.

Manzano, Bueno, Rueda, Ramirez-Tortosa, Prieto, dan Lopez-Pedrosa. 2007. Intestinal Toxicity Induced by 5-Fluorouracil in Pigs: A New Preclinical Model. Chemotherapy. 53:344-355.

Morris, William R. 2004. Acupuncture, neurobiology and the nitric oxide connection.

http://pulsediagnosis.com/AcupunctureNeurobiologyandtheNitricOxideCo nnection.htm. (10 januari 2010)

Nafrialdi dan Gan, 2007. Antikanker. Dalam : Gunawan (ed): Farmakologi dan Terapi. Ed:5, Jakarta, Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia p.737, 747.

National Institute of Heallth. 1997.NIH Consensus Statement : Acupuncture. NIH. 15: 5:3-5.

Niscola, Romani, Cupelli, Scaramucci, Dentamaro, Amadori, dan Fabritiis. 2007. Mucositis in patients with hematologic malignancies: an overview. Haematologica. 92:222-231.


(5)

Noguchi. 2007.Mechanism of Reflex Regulation of the Gastroduodenal Function by Acupuncture. eCAM. 5(3)251–256.

Ouyang, Yin, Wang, Pasricha, dan Chen. 2002. Electroacupuncture accelerates gastric emptying in association with changes in vagal activity. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol. 282: G390–G396.

Pei, Xu, Sun, Zhu dan Zhang. 2000. Protective effect of electroacupuncture and moxibustion on gastric mucosal damage and its relation with nitric oxide in rats. World J Gastroenterol. 6(3):424-427.

Phenome.2002.

http://phenome.jax.org/phenome/protodocs/Mogil1/imgs/ZusanliAcupoint. jpg (19 April 2009).

Shi Renhua. 1998. Effects of electroacupuncture and twirling reinforcing-reducing manipulations on volume of microcirculatory blood flow in cerebral pia mater. Journal of Traditional Chinese Medicine. 18(3): 220–224.

Saputra Kosnadi. 2005. Akupuntur Dasar. Surabaya : Airlangga University Press, pp : 10-25.

Shen, Wenger, Glaspy. 2000. Electroacupuncture for control of myeloablative chemotherapy-induced emesis: a randomized controlled trial. JAMA. 2000;284:2755-2761.

Sonis , Elting , Keefe, Peterson, Schubert M, Hauer-Jensen. 2004. Mucositis Study Section of the Multinational Association for Supportive Care in Cancer; International Society for Oral Oncology. Perspectives on cancer therapy-induced mucosal injury: pathogenesis, measurement, epidemiology, and consequencesfor patients. Cancer. 100 Suppl 9:1995-2025.

Tarcin, Gurbuz, Pocan, Keskin, dan Demirturk. 2004. Acustimulation of the

neiguan point during gastroscopy Its effects on nausea and retching. Turk J Gastroenterol. 15 (4): 258-262.

Tatewaki M, Harris M, Uemura K, Ueno T, Hoshino E, Shiotani A,

Pappas TN, and Takahashi T. 2004. ual effects of acupuncture on gastric motility in conscious rats. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 285: R862–R872.


(6)

Rong. 2009. Electroacupuncture Zusanli (ST-36) on release of NO in the Grascile Nucleus and improve on sensory neuropathy in zucker diabetic fatty rats. eCAM. doi:10.1093/ecam/nep103.

Verburg, Renes, Nispen, Ferdinandusse, Jorritsma, Büller, Einerhand, dan Dekker. 2001. Specific Responses in Rat Small Intestinal Epithelial mRNA Expression and Protein Levels During Chemotherapeutic Damage and Regeneration. The Journal of Histochemistry & Cytochemistry. 50(11): 1525–1536.

Wang, Chen, Gao, Luo, dan Liu. 2008. Effects of electroacupuncture on cardiac and gastric activities in acute myocardial ischemia rats. World J

Gastroenterol. 14(42): 6496-6502.

Wang. 2001. Modern Studies on the Mechanisms of Acupuncture Therapy. http://www.congress.mtc.es/comunicaciones/ning_wang_English.pdf (12Februari 2009)

Whittle, Lopez-Belmonte, Moncada. 1990. Regulation of gastric mucosal integrity by endogenous nitric oxide : interaction with prostanoids and sensory neuropeptides in the rat. J.Pharmacol. 99;607-611.

Wyatt Michael D. and Wilson David. 2009. Participation of DNA repair in the response to 5-Fluorouracil. Cell Mol Life Sci. 66 (5) : 788-799 Yang, Yan, Yi, Chang, Lin, dan Li. 2006. Enhanced expression of epidermal

growth factor receptorgene in gastric mucosal cells by the serum derived from rats treated with electroacupuncture at stomach meridian acupoints. World J Gastroenterol. 12(34): 5557-5561.


Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN KUNYI TERHADAP KERUSAKAN HISTOLOGIS MUKOSA GASTER MENCIT (Mus musculus) YANG DIINDUKSI ASPIRIN

1 13 56

PENGARUH PEMBERIAN JUS STROBERI TERHADAP KERUSAKAN HISTOLOGIS HEPATOSIT MENCIT AKIBAT PEMBERIAN ASETAMINOFEN

1 12 57

PENGARUH PEMBERIAN AKAR CEPLUKAN (Physalis angulata L.) TERHADAP KERUSAKAN HEPATOSIT AKIBAT PEMBERIAN PARASETAMOL PADA MENCIT (Mus musculus).

0 0 4

Pengaruh Elektroakupuntur Titik Weishu (BL 21) dan Zusanli (ST 36) terhadap Perbaikan Mukosa Pylorus Tikus Yang Dipapar Bising Intermittent.

0 0 3

PENGARUH PENJARUMAN TITIK ZUSANLI (ST36) TERHADAP PENURUNAN HITUNG LEUKOSIT PADA MENCIT (MUS MUSCULUS) MODEL SEPSIS AKIBAT PAPARAN CECAL INOKULUM.

0 0 11

PENGARUH AKUPUNKTUR TITIK BAIHUI (GV20) DAN ELEKTROAKUPUNKTUR TITIK ZUSANLI (ST36) TERHADAP JUMLAH LEUKOSIT TIKUS PUTIH (Rattus novergicus) MODEL STRES AKIBAT BISING INTERMITEN KRONIK.

1 1 13

PENGARUH ELEKTROAKUPUNTUR TITIK WEISHU (BL 21) DAN ZUSANLI (ST 36) TERHADAP PERBAIKAN MUKOSA PYLORUS TIKUS YANG DIPAPAR BISING INTERMITTENT.

0 1 11

Perbandingan Efektivitas Terapi Injeksi Intralesi 5- Fluorourasil dengan Triamsinolon Asetonida terhadap Perbaikan Klinis Keloid

0 0 26

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK JAHE TERHADAP PERBAIKAN KERUSAKAN MUKOSA ILEUM TIKUS YANG TERPAPAR 5-FLUOROURASIL SKRIPSI

0 0 65

PENANGANAN GASTRITIS MENGGUNAKAN KOMBINASI TERAPI AKUPUNKTUR PADA TITIK ZUSANLI (ST36), NEIGUAN (PC6),NEITING (ST 44) DENGAN HERBAL KUNYIT (CURCUMA DOMESTICA Val.) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 3 83