Potensi serbuk cangkang rajungan untuk pengendalian nematode puru akar Meloidogyne spp. pada tanaman tomat

POTENSI SERBUK CANGKANG RAJUNGAN UNTUK
PENGENDALIAN NEMATODA PURU AKAR
Meloidogyne spp. PADA TANAMAN TOMAT

APRILYANI
A44102023

PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

ABSTRAK
APRILYANI. Potensi Serbuk Cangkang Rajungan untuk Pengendalian Nematoda
Puru Akar Meloidogyne spp. pada Tanaman Tomat. Dibimbing oleh ABDUL
MUIN ADNAN.
Penelitian dilakukan di laboratorium dari Mei sampai September 2006.
Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap dengan dua faktor, yaitu faktor
tanah dan faktor serbuk cangkang rajungan (SCR). Percobaan terdiri atas enam

kombinasi perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan terdiri atas tanah yang
disterilkan dan tidak disterilkan yang ditaburi SCR dengan dosis 1,25 g/pot dan
2,5 g/pot dan tanpa SCR (kontrol). Sebelumnya tanah telah diinfestasi dengan
100 larva instar 2 (L2) Meloidogyne spp. Setelah diinkubasi selama satu minggu,
tanah ditanami bibit tomat yang berumur 4 minggu setelah semai (MSS),
kemudian tanaman dipelihara selama 6 minggu. Peubah yang diamati ialah bobot
kering tajuk, bobot kering akar, jumlah puru/tanaman, jumlah paket telur/tanaman,
jumlah L2 yang terekstrak, dan populasi mikroorganisme tanah (cendawan dan
bakteri).
Pemberian SCR baik pada tanah yang disterilkan maupun pada tanah yang
tidak disterilkan mampu menurunkan jumlah puru dan paket telur, sedangkan
persentase nematoda bertelur tidak secara nyata dipengaruhi oleh penambahan
SCR. Berdasarkan kepadatan akhir L2, perlakuan SCR 1,25 g/pot dan 2,5 g/pot
memiliki keefektifan yang cukup, dengan tingkat efikasi masing-masing 61,7%
dan 54,4%, tetapi hal ini hanya terjadi pada tanah yang disterilkan. Berdasarkan
jumlah puru, SCR memiliki keefektifan yang cukup hanya pada dosis 2,5 g/pot
yaitu sebesar 46,7% - 52,6% pada tanah yang disterilkan. Pemberian SCR tidak
mempengaruhi populasi mikroorganisme tanah baik pada tanah yang disterilkan
maupun pada tanah tidak disterilkan.


POTENSI SERBUK CANGKANG RAJUNGAN UNTUK
PENGENDALIAN NEMATODA PURU AKAR
Meloidogyne spp. PADA TANAMAN TOMAT

APRILYANI
A44102023

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada
Fakultas Pertanian

PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

Judul Penelitian


: Potensi Serbuk Cangkang Rajungan untuk Pengendalian
Nematoda Puru Akar Meloidogyne spp. pada Tanaman
Tomat

Nama

: Aprilyani

NRP

: A44102023

Menyetujui,
Pembimbing

Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, MS.
NIP 131 871 922

Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian


Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, Magr.Sc
NIP. 131 124 019

Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Bogor, Jawa Barat pada tanggal 21 April 1984
sebagai anak ketujuh dari sepuluh bersaudara, dari keluarga Bapak Sutan Busman
dan Ibu Cinenah.
Pada tahun 2002 penulis menyelesaikan studinya di SMU Negeri 1 Bogor
dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi
Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui
jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).
Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjabat sebagai Bendahara
Umum Lingkar Studi Muslim Hama dan Penyakit Tumbuhan (LSM HPT) pada
tahun 2003. Pada tahun 2004/2005 penulis pernah menjadi asisten mata kuliah
Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman serta Virologi Tumbuhan Dasar dan pada
tahun 2005/2006 penulis menjadi asisten untuk mata kuliah Nematologi
Tumbuhan.


PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala
atas Ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul Potensi
Serbuk Cangkang Rajungan untuk Pengendalian Nematoda Puru Akar
Meloidogyne spp. pada Tanaman Tomat. Sholawat serta Salam semoga selalu
tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para sahabat, keluarga dan
pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulisan tugas akhir berupa skripsi merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sajana Pertanian pada Program Studi Hama dan Penyakit
Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nematologi Tumbuhan,
Departemen Proteksi Tanaman dari bulan Mei 2006 sampai bulan September
2006.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Abdul Muin Adnan MS
selaku dosen pembimbing skripsi dan juga sebagai dosen pembimbing akademik
yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian sebaik-baiknya, kepada Ir. Djoko Prijono
MAgrSc. selaku dosen penguji tamu atas saran dalam perbaikan penulisan skripsi
ini, kepada Dr. Ir. Yayi Munara Kusumah atas bantuannya dalam pengolahan data

penelitian, kepada Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin atas bantuannya dalam
mendokumentasikan foto, Dr Ir. Supramana atas saran-saran selama penelitian ini
berlangsung, dan Dr. Ir. Widodo dan Dr. Ir. Suryo Wiyono yang telah
mengijinkan penulis menggunakan Laboratorium Mikologi Tumbuhan untuk
pembuatan media.
Penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Gatut Heru
Bromo yang banyak membantu selama penelitian berlangsung, Sdr. Dadang yang
membantu selama pembuatan media, Sdr. Saefudin yang membantu dalam
penyediaan media tanah, Sdr. Karto dan Sdri. Dewi yang membantu dalam
pencarian pustaka dan pinjaman akhir pekan, juga kepada Sdri. Ita yang selalu
bersedia untuk meminjamkan alat-alat yang dibutuhkan.
Tak lupa penulis ucapkan banyak terima kasih terutama kepada kedua
orang tua (Bapa dan Mak Enoh), kakak-kakakku ( Uni, Aa, Mas Tamim), dan
adik-adikku (Yadi, Eneng, Embi) yang telah banyak berkorban kepada sahabatsahabatku yang selalu setia (Marni, Maya, Mia, Ela, Nisa, Sinta, Dede, Dewi,
Meidy dan Lenni), juga kepada teman-teman seperjuanganku di Laboratorium
Nematologi Tumbuhan (Erika, Iwa, Edu, Dhona, dan Ires), dan tak lupa kepada
teman-teman HPT’39 yang telah memberikan bantuannya yang tak bisa penulis
sebutkan satu per satu juga kepada adik-adik kelasku, terima kasih banyak.

Bogor, 16 Mei 2007


Aprilyani

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.......................................................................................

viii

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................

ix

DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................

xi

PENDAHULUAN
Latar Belakang ................................................................................


1

Tujuan Penelitian ............................................................................

3

Manfaat Penelitian ..........................................................................

3

TINJAUAN PUSTAKA
Meloidogyne spp. ...............................................................................

4

Klasifikasi ...........................................................................
Sebaran dan Arti Penting NPA ...........................................
Gejala ..................................................................................

4

4
5

Kitin ................................................................................................

5

Sumber Kitin .......................................................................
Potensi Kitin sebagai Agens Pengendali.............................

5
6

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat ..........................................................................

7

Bahan dan Alat................................................................................


7

Metode Penelitian
Penyiapan Bahan Percobaan ...............................................

7

Penyiapan Serbuk Cangkang Rajungan .................
Penyiapan Inokulum Nematoda ............................
Penyiapan Tanaman ...............................................
Penyiapan Tanah .....................................................

7
7
8
8

Uji Keefektifan Meloidogyne spp. Terhadap SCR..........................

8


Pengamatan ....................................................................................

9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Tanaman ..............................................................

11

Pengaruh Serbuk Cangkang Rajungan terhadap
Perkembangan NPA ..........................................................

11

KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................

18

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................

19

LAMPIRAN ..............................................................................................

21

DAFTAR TABEL
Halaman
1.
2.
3.
4.

5.
6.

Perkembangan Meloidogyne spp. dengan perlakuan serbuk
cangkang rajungan ...........................................................................

12

Tingkat efikasi SCR terhadap Meloidogyne spp. pada tanaman
tomat dengan media tanah disterilkan dan tidak disterilkan ..........

13

Biomasa tanaman tomat dalam perlakuan serbuk cangkang rajungan
pada tanah disterilkan dan tidak disterilkan ....................................

14

Kepadatan mikroorganisme tanah dalam perlakuan SCR pada
tanaman tomat yang ditanam pada tanah disterilkan dan tidak
disterilkan .......................................................................................

14

Jenis cendawan yang ditemukan pada tanah percobaan dengan
menggunakan media agar martin ....................................................

16

Keragaman bakteri yang ditemukan pada media King’s B dan NA

16

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Koloni cendawan pada media agar martin dan koloni bakteri
pada media King’s B dan pada media nutrient agar ........................

27

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.

Hasil analisis ragam jumlah puru per tanaman ..................................

21

2.

Hasil analisis ragam jumlah paket telur per tanaman .........................

22

3.

Hasil analisis ragam persentase bertelur
Meloidogyne spp. yang terekstrak per tanaman .................................

23

Hasil analisis ragam populasi akhir larva
instar 2 Meloidogyne spp. ................................................................

24

Hasil analisis ragam populasi akhir larva
instar 2 Meloidogyne spp. .................................................................

25

6. Hasil analisis ragam bobot total tanaman ..........................................

26

4.

5.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tomat merupakan sayuran yang memiliki kandungan gizi yang tinggi
sehingga banyak diminati baik dalam bentuk buah segar maupun produk
olahannya.

Di Indonesia, tomat diproduksi di hampir seluruh provinsi.

Berdasarkan data produksi tomat menurut provinsi tahun 2000-2004, produsen
tomat terbesar di Indonesia ialah Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Jawa Timur
dengan produksi total pada tahun 2004 berturut-turut 240.605, 89.670, dan
54.819 ton (Deptan 2005).
Seperti tanaman budi daya lainnya, tomat merupakan tanaman yang
tergolong rentan terhadap berbagai jenis hama dan patogen. Ada sekitar 60 jenis
patogen yang menyerang tomat, 15 jenis di antaranya dikategorikan sebagai
patogen penting di daerah tropika (Siemonsa & Piluek 1994). Patogen-patogen
tersebut berasal dari golongan cendawan, bakteri, virus, dan nematoda. Nematoda
yang sering menimbulkan kerugian secara ekonomi adalah Meloidogyne spp.,
yang menyerang perakaran dengan gejala puru yang khas, sehingga nematoda
tersebut sering disebut sebagai nematoda puru akar (NPA).
Terdapat empat spesies NPA yang sebaran dan perannya penting dalam
dunia pertanian, yaitu M. incognita, M. arenaria, M. javanica, dan M. hapla. Di
antara empat spesies tersebut, M. incognita merupakan patogen penting pada
berbagai jenis tanaman di daerah tropika dan subtropika (Luc et al. 1995).
Patogen ini sangat merugikan karena dapat menyebabkan kehilangan hasil yang
cukup besar. Kerugian yang disebabkan oleh M. incognita pada tomat di Jawa
Barat berkisar antara 20% dan 40%, bahkan bila nematoda dengan kepadatan
populasi yang tinggi menyerang tanaman yang masih muda, dapat terjadi
kematian tanaman (Hutagalung & Wisnuwardhana 1976 dalam Semangun 2001).
Upaya pengendalian nematoda umumnya dengan menggunakan nematisida,
baik nematisida fumigan maupun nematisida non fumigan.

Walaupun

memberikan hasil yang nyata dalam mengendalikan nematoda, namun
penggunaan nematisida memiliki andil dalam pencemaran lingkungan, dan residu
pada produk pertanian (Hague & Gowen 1987). Oleh sebab itu, berbagai upaya

dilakukan untuk mencari pengendalian alternatif yang tidak menimbulkan hal-hal
tersebut.
Pengendalian alternatif yang umum dilakukan adalah dengan cara kultur
teknis, diantaranya dengan penambahan bahan organik, solarisasi tanah, rotasi
tanaman, penggunaan mulsa, penggenangan tanah, dan lain-lain (Brown & Kerry
1987). Penambahan bahan organik ke dalam tanah dapat mengurangi kepadatan
nematoda, memperbaiki struktur tanah, dan meningkatkan kapasitas mengikat air.
Di antara bahan organik tersebut, kitin termasuk yang sering digunakan dalam
pengendalian penyakit (Luc et al.1995).
Kitin merupakan komponen penyusun eksoskeleton artropoda, moluska,
nematoda, protozoa, dan Crustaceae seperti udang, rajungan, dan kepiting.
Penyusun kitin adalah N-asetil glukosamina, dan dapat terdeasetilasi menjadi
kitosan (Smither & Kopperl 2001). Sumber kitin utama yang digunakan dalam
pertanian adalah limbah industri makanan laut komersial (Kokalis–Burelle 2001).
Udang dan rajungan merupakan komoditas perikanan yang limbahnya sangat
potensial untuk dimanfaatkan, salah satunya diolah untuk diambil kitinnya.
Kitin dapat diproses lebih lanjut menjadi kitosan yang juga dapat
dimanfaatkan dalam pengendalian penyakit. Kitosan adalah senyawa turunan
kitin yang telah mengalami deasetilasi, yaitu penghilangan gugus asetat pada
kitin. Menurut Benhamou et al. (1994), perlakuan kitosan pada tanaman tomat
mampu meginduksi ketahanan tanaman tomat tersebut terhadap Fusarium
oxysporum f.sp. radicis lycopersici.
Rajungan (Portunus sp.) adalah salah satu anggota Crustaceae yang
cangkangnya mengandung kitin. Penggunaan tepung cangkang rajungan sebagai
sumber kitin pernah diuji untuk mengendalikan Plasmodiophora brassicae
(Hidayah 2004). Penambahan tepung cangkang rajungan ke dalam tanah dapat
merangsang perkembangan mikroorganisme yang diharapkan mampu berperan
dalam mengendalikan patogen yang berada di dalam tanah. Penambahan kitin ke
dalam tanah efektif dalam pengendalian nematoda dan cendawan patogen
tanaman. Tepung kitin dapat diaplikasikan secara langsung ke dalam tanah,
sebagai pelapis benih (seed coating) atau diaplikasikan ke daun dalam bentuk
suspensi koloidal kitin. Penambahan kitin ke dalam tanah dapat menyebabkan

peningkatan populasi mikrob kitinolitik dan penurunan cendawan tular tanah
karena kondisi lingkungan menjadi sesuai bagi perkembangan mikrob antagonis
yang dapat memarasit patogen baik secara langsung maupun dengan
mengeluarkan metabolit tertentu seperti toksin atau enzim yang dapat mematikan
atau menghambat perkembangan patogen (Kokalis–Burelle 2001). Mengingat
potensi yang dimilikinya, perlu dilakukan penelitian keefektifan penambahan
serbuk cangkang rajungan untuk mengendalikan patogen tanah lainnya seperti
Meloidogyne spp. yang menyebabkan puru pada berbagai tanaman termasuk
tomat.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui keefektifan serbuk cangkang rajungan
dalam mengendalikan nematoda puru akar. Selain itu dilakukan juga pengamatan
terhadap jumlah dan keragaman jenis mikroorganisme dalam tanah yang
digunakan sebagai media tumbuh tanaman tomat.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai potensi serbuk
cangkang rajungan dalam pengendalian nematoda puru akar pada tomat.

TINJAUAN PUSTAKA
Meloidogyne spp.
Klasifikasi
Meloidogyne spp. termasuk ke dalam filum Nematoda, ordo Tylenchida,
famili Heteroderidae, genus Meloidogyne (Agrios 1997). Berdasarkan gejala yang
ditimbulkannya, Meloidogyne dikenal sebagai nematoda puru akar (NPA).
Meloidogyne memiliki lebih dari 50 spesies, empat di antaranya merupakan
spesies berbahaya yaitu M. incognita, M. javanica, M. arenaria, dan M. hapla
(Luc et al. 1990).
Sebaran dan Arti Penting NPA
NPA tersebar luas di seluruh dunia terutama di daerah tropika dan
subtropika dan ditemukan di rumah kaca di mana saja pada tanaman yang
dibudidayakan menggunakan tanah tidak disterilkan (Agrios 1997).
Di antara spesies-spesies NPA, M. incognita merupakan spesies yang paling
dominan. Dari 1000 sampel lebih yang dikumpulkan dari 75 negara, ± 53%
diidentifikasi sebagai M. incognita, ± 30% M. javanica, ± 8% M. arenaria, ± 8%
M. hapla, ± 2% M. exigua dan spesies lainnya (Jhonson & Fassuliotis 1984 dalam
Luc et al.1995).
Daerah sebaran utama M. incognita ialah Afrika, Australia, Amerika
Tengah, Amerika Selatan, India, dan Amerika Serikat bagian selatan. Spesies ini
juga ditemukan di beberapa negara lain seperti Belgia, Belanda, Bulgaria, Inggris,
Perancis, Hungaria, Indonesia, Israel, Italia, Jepang, Polandia, Spanyol, Swedia,
dan Turki (Decker 1988).
M. incognita selain tersebar luas di seluruh belahan dunia, juga merupakan
spesies yang paling berbahaya di antara spesies NPA lainnya (Decker 1988).
Spesies ini merupakan salah satu patogen penting pada berbagai jenis tanaman di
daerah tropika dan subtropika (Luc et al. 1990).

Patogen ini menyebabkan

banyak kerugian bagi petani karena dapat menyebabkan kehilangan hasil yang
cukup besar. Kerugian yang disebabkan oleh M. incognita pada tomat di Jawa
Barat

berkisar antara 20% dan 40%, bahkan bila nematoda dengan kepadatan populasi
yang tinggi menyerang tanaman yang masih muda, dapat menyebabkan kematian
(Hutagalung & Wisnuwardhana 1976 dalam Semangun 2001).
NPA memiliki kisaran inang yang luas, lebih dari 2000 spesies tumbuhan,
termasuk tanaman yang dibudidayakan dan menurunkan produktivitas sayuran
dunia hingga 5%. Kerugian pada lahan secara individual umumnya lebih besar
dari 5% (Agrios 1997).
Gejala
NPA menyerang pada bagian tanaman yang ada di bawah permukaan tanah
terutama akar, umbi, dan polong. Gejala pada bagian tanaman tersebut dikenal
dengan sebutan puru. Gejala pada bagian di atas permukaan tanah tampak seperti
malnutrisi dan kekurangan air. Pada akar serangan nematoda ini menyebabkan
berkurangnya volume dan efisiensi fungsi sistem perakaran. Akar yang terserang
berat lebih pendek daripada akar yang sehat dengan sedikit akar lateral dan
rambut akar. Gangguan pada sistem perakaran ini menyebabkan berkurangnya
penyerapan air dan nutrisi dari dalam tanah. Hal ini menyebabkan pertumbuhan
tanaman terhambat (kerdil), daun layu pada siang hari, menguning, gugur dan
akhirnya mengurangi jumlah bunga dan buah. Secara umum, keberadaan NPA
pada tanaman tidak mematikan tanaman, tetapi dapat mengundang patogen
sekunder lain seperti cendawan dan bakteri untuk menyerang yang dapat
mematikan tanaman. Ukuran puru bergantung pada tipe akar tempat masuknya
nematoda pada akar, inang dan spesies NPA. Puru yang disebabkan oleh M.
hapla lebih besar dibandingkan dengan puru yang disebabkan oleh M. incognita
dan M. javanica (Singh & Sitaramaiah 1994).
Kitin
Sumber Kitin
Kitin adalah selulosa alami yang banyak terdapat pada hewan khususnya
pada kulit udang, kepiting, rajungan (Crustacea), juga pada dinding sel bakteri dan
fungi (Suptijah 2006). Selain itu kitin juga terdapat pada moluska, telur nematoda,
protozoa, dan dinding hifa cendawan. Penyusun kitin adalah N-asetil
glukosamina, dan dapat terdeasetilasi menjadi kitosan (Smither & Kopperl 2001).

Sumber kitin yang utama yang digunakan dalam pertanian adalah dari limbah
industri makanan laut komersial (Kokalis – Burelle 2001).
Potensi Kitin sebagai Agens Pengendali
Penambahan kitin ke dalam tanah efektif dalam pengendalian nematoda dan
cendawan patogen tanaman. Tepung kitin dapat diaplikasikan secara langsung ke
dalam tanah, sebagai pelapis benih (seed coating) atau diaplikasikan ke daun
dalam bentuk suspensi koloidal kitin. Penambahan kitin ke dalam tanah dapat
menyebabkan peningkatan populasi mikrob kitinolitik dan penurunan cendawan
tular tanah karena kondisi lingkungan menjadi sesuai bagi perkembangan mikrob
antagonis yang dapat memarasit patogen baik secara langsung maupun dengan
mengeluarkan metabolit tertentu seperti toksin atau enzim yang dapat mematikan
atau menghambat perkembangan patogen (Kokalis – Burelle 2001).
Secara umum penambahan tepung kulit rajungan ke dalam tanah dapat
meningkatkan populasi mikroorganisme di dalam tanah baik bakteri, aktinomiset,
maupun cendawan. Penekanan pada tanaman yang diberi perlakuan tepung kulit
rajungan dapat terjadi secara biologi yang berkaitan dengan terjadinya
peningkatan populasi mikroorganisme tanah, terjadinya perubahan pada sifat
kimia tanah, serta sebagai penginduksi terjadinya resistensi pada tanaman
(Hidayah 2004).
Benhamou et al. (1994) menyebutkan bahwa kitosan yang merupakan
turunan dari kitin yang mengalami deasetilasi dan diaplikasikan sebagai perlakuan
benih (seed treatment) atau ditambahkan ke tanah dapat menyebabkan terjadinya
induksi resistensi sistemik tanaman tomat terhadap Fusarium oxysporum f.sp.
radicis-lycopersici. Hirano (1997) mengemukakan bahwa pada tanaman, kitin
dan kitosan serta turunannya dapat berperan sebagai elicitor yang akan
menginduksi barbagai senyawa pertahanan tanaman terhadap patogen–patogen
seperti fitoaleksin, inhibitor protein, dan lignin. Kitosan sebagai substrat tumbuh
bagi mikrob antagonis juga dapat menginduksi katahanan inangnya apabila
ditambahkan langsung ke tanah (Singh et al. 1994).
Tian et al. (2000) mengemukakan bahwa pemberian kitin dapat
meningkatkan aktivitas mikroorganisme kitinolitik penghasil kitinase yang

berperan penting dalam pengendalian nematoda parasit tumbuhan dan akan
menjadi lebih efektif apabila disertai juga dengan penambahan bakteri kitinolitik.
Selanjutnya dikemukakan bahwa lima spesies bakteri kitinolitik yang selalu
berasosiasi

dengan

penekanan

jumlah

nematoda

Heterodera

glycines.

Penambahan kitin saja (0,4%-0,6% [w/w]) tanpa isolat bakteri memiliki pengaruh
yang beragam terhadap reproduksi nematoda. Hal ini berkaitan dengan jumlah
dan jenis mikroorganisme yang ada di dalam tanah yang menyebabkan perbedaan
laju degradasi kitin sehingga dosis amonia yang pada tingkat tertentu bersifat
nematisida menjadi berbeda.

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan dari Mei 2006 sampai September 2006 di
Laboratorium Nematologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB).
Bahan dan Alat
Cangkang rajungan yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari
daerah Pelabuhan Ratu, Sukabumi

Nematoda yang digunakan adalah

Meloidogyne spp., yang didominasi oleh M. incognita, berasal dari perakaran
tanaman gulma kalengsi (Synedrella sp.) dari Kebun Percobaan IPB Pasir
Sarongge, Kecamatan Pacet, Cianjur. Tanaman tomat yang digunakan sebagai
tanaman uji adalah kultivar Ratna yang benihnya diperoleh dari kios pertanian
Dramaga Tani, Bogor. Alat yang digunakan adalah seperangkat peralatan
laboratorium nematologi yaitu alat-alat untuk ekstraksi nematoda. Selain itu juga
digunakan alat-alat untuk isolasi cendawan dan bakteri seperti cawan, pengocok
(shaker), dan tabung erlenmeyer.
Metode Penelitian
Penyiapan Bahan Percobaan
Penyiapan serbuk cangkang rajungan. Cangkang rajungan yang telah
dipisahkan dari dagingnya dicuci bersih kemudian dijemur di bawah sinar
matahari. Setelah kering cangkang rajungan tersebut digerus dengan mortar
hingga halus, kemudian diayak dengan menggunakan pengayak 200 mesh,
selanjutnya disebut serbuk cangkang rajungan (SCR).
Penyiapan inokulum nematoda. Larva-2 (L2) Meloidogyne spp. hasil
ekstraksi dari perakaran kalengsi dengan metode corong Baermann dalam ruang
pengabut dibiakkan pada tanaman tomat ’Ratna’. Bibit berumur 4 minggu setelah
semai ditanam dalam polybag berisi 3,5 liter tanah yang telah disterilkan. Tiap
polybag ditanami satu bibit tomat. Pada 3 minggu setelah tanam, suspensi L2
Meloidogyne spp. disiramkan di sekitar perakaran tanaman tomat biakan.

Tanaman biakan nematoda ini dipelihara di halaman Laboratorium Nematologi
Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman. Pemeliharaan dilakukan dengan cara
penyiraman, penyiangan gulma, pemupukan, dan pengendalian hama dan penyakit
pada bagian tajuk hingga tanaman berumur 6 minggu setelah inokulasi. L2
Meloidogyne spp. sebagai inokulum diperoleh dengan cara mengekstraknya dari
perakaran tomat menggunakan corong Baermann dalam ruang pengabut. L2 hasil
ekstraksi ini digunakan dalam pengujian.
Penyiapan tanaman. Benih tomat ’Ratna’ disemai dalam baki berukuran
15 cm x 20 cm berisi tanah yang telah disterilkan dalam autoklaf. Empat minggu
setelah semai, bibit tomat dipindahkan ke dalam polybag dan siap digunakan
dalam percobaan.
Penyiapan tanah. Tanah yang digunakan sebagai media tanam adalah
tanah podsolik asal Cikabayan, Dramaga yang telah dicampur dengan pupuk
kandang dengan perbandingan 2:1 berdasarkan volume. Tanah tersebut kemudian
dibagi menjadi dua, satu bagian

disterilkan dan satu bagian yang lain tidak

disterilkan. Sterilisasi tanah dilakukan dalam otoklav pada suhu 1210C dan
tekanan 1,5 atm selama 6 jam. Setelah itu, tanah tersebut dimasukkan ke dalam
polibag berukuran 0,25 liter. Tiap poybag diisi 250 g tanah.
Uji Keefektifan SCR terhadap Meloidogyne spp.
Pengujian dilakukan dalam polybag berisi 250 g tanah dalam dua kondisi,
yaitu tanah disterilkan dan tanah tidak disterilkan. Tanah dalam tiap polybag
diinfestasi dengan 100 L2 Meloidogyne spp. Dua jam kemudian setiap polybag
ditaburi 1,25 g/pot; 2,5 g/pot SCR dan tanpa SCR (sebagai kontrol), kemudian
diinkubasi selama satu minggu. Selama masa inkubasi, tanah dipertahankan tetap
basah dengan penyiraman, setiap polybag disiram dengan 200 ml air setiap hari.
Setelah masa inkubasi, tiap polybag ditanami bibit tomat berumur 4 minggu
setelah semai yang telah disiapkan. Tiap perlakuan diulang empat kali dan tiap
ulangan terdiri dari tiga unit tanaman. Pemeliharaan tanaman meliputi
penyiraman, penyiangan gulma dan pengendalian hama dengan menggunakan
Microthiol 720 F (bahan aktif belerang) untuk mengendalikan tungau dan Decis
2,5 EC (bahan aktif deltametrin) untuk mengendalikan Bemicia tabaci, Liriomyza
sp., dan trips.

Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap dengan dua faktor, yaitu
faktor tanah dan faktor SCR. Faktor tanah terdiri atas dua taraf, yaitu tanah
disterilkan (S) dan tanah tidak disterilkan (TS). Faktor SCR terdiri atas tiga taraf
dosis yaitu kontrol (0); 1,25 g/pot (1); 2,5 g/pot (2). Percobaan mencakup enam
kombinasi perlakuan, yaitu S0, S1, S2, TS0, TS1, dan TS2 Setiap perlakuan
diulang empat kali, tiap ulangan terdiri atas tiga unit tanaman. Analisis data
dilakukan dengan sidik ragam dan diuji lanjut dengan menggunakan Duncan
Multiple Range Test pada taraf nyata 5% dengan program SAS for Windows versi
6.12.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada 10 minggu setelah tanam terhadap jumlah puru
dan paket telur per tanaman, jumlah L2/ polybag dari dalam tanah, bobot tajuk
dan akar tanaman, dan kepadatan cendawan dan bakteri dalam tanah.
Bobot tajuk dan akar tanaman ditentukan berdasarkan bobot segar dan bobot
kering udara dalam suhu kamar selama satu minggu. Puru dan paket telur dihitung
dari akar yang telah diketahui bobot segarnya dan diwarnai dengan asam fukhsin.
Kerapatan nematoda dalam tanah dihitung setelah L2 diekstraksi dari tanah
tiap polybag. Ekstraksi nematoda dilakukan dengan menggunakan metode
kombinasi penyaringan, sentrifusi dan flotasi. Tanah (± 200 ml) ditambah air
hingga mencapai volume 800 ml, kemudian diaduk selama 20 detik. Tanah
tersebut dibiarkan mengendap selama 1 menit, kemudian disaring dengan
menggunakan penyaring 50 dan 400 mesh dengan posisi saringan miring 300.
Nematoda yang tertahan pada saringan dimasukkan ke dalam tabung sentrifusi
dengan cara penyemprotan menggunakan hand sprayer, kemudian disentrifusi
dengan kecepatan 160 rpm selama 5 menit. Supernatan di dalam tabung dibuang
dan endapan yang terdiri dari tanah dan nematoda disuspensikan dalam larutan
gula 50%, lalu diaduk hingga partikel tanah dan nematoda tercampur rata dalam
larutan gula. Suspensi tersebut disentrifusi lagi dengan kecepatan 170 rpm selama
1 menit. Supernatan dalam tabung sentrifusi disaring dengan menggunakan
penyaring 500 mesh, dan dibilas dengan aquades. L2 Meloidogyne spp. yang
tersaring kemudian dipindahkan ke dalam botol film, diamati dan dihitung
jumlahnya (Hutagalung 1988). Penghitungan nematoda dilakukan terhadap contoh

suspensi sebanyak 1 ml, tiap perlakuan diamati tiga kali ulangan. Pengamatan
dilakukan dengan bantuan mikroskop stereo dengan perbesaran 40x. Kepadatan
dan tingkat mortalitas L2 pada tiap perlakuan merupakan rataan dari tiga kali
pengamatan.
Pengamatan mikroorganisme dari tanah bertujuan mengetahui jenis dan
jumlah mikroorganisme dari setiap perlakuan. Sebanyak 5 g tanah dari setiap
perlakuan dimasukkan ke dalam 45 ml air steril (pengenceran 10-1) kemudian
dikocok dengan pengocok pada 105 rpm selama 10 menit. Suspensi diencerkan
hingga 10-6. Pada enceran 10-3, 10-5, dan 10-6 masing-masing diambil 0,01 ml lalu
disebar rata pada cawan yang telah berisi media agar martin (pengenceran 10-3),
King’s B (pengenceran 10-5), dan nutrient agar (pengenceran 10-6) kemudian
diinkubasikan. Pengamatan dan penghitungan koloni cendawan pada media agar
martin dilakukan setelah 7 hari inkubasi. Pengamatan cendawan dilakukan
berdasarkan karakter dan warna koloni serta karakter hifa dan spora. Identifikasi
mengacu pada Barnett and Hunter (1998). Bakteri diamati pada media King’s B
dan nutrient agar setelah 4 hari inkubasi. Pengamatan koloni bakteri meliputi
bentuk, tepian, elevasi, dan warna. Jumlah koloni total dihitung dengan
menggunakan rumus dalam Hadioetomo (1993) yaitu
Jumlah koloni tunggal / faktor pengenceran
Volume yang disebar (ml)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Tanaman
Tanaman tomat yang digunakan dalam percobaan pertumbuhan awalnya
cukup baik, namun sejak 3 minggu setelah tanam (MST) mulai mengalami
gangguan pertumbuhan oleh beberapa jenis hama, yaitu Liriomyza sp., trips, B.
tabaci, dan tungau merah. Ketiga jenis hama yang disebut terakhir menyebabkan
gangguan pada pertumbuhan tanaman. Selain itu, B. tabaci juga dapat menjadi
vektor virus sehingga tanaman percobaan menunjukkan gejala serangan virus,
yaitu tanaman menjadi kerdil, daunnya mengeriting, kemudian mengering.
Tanaman tomat uji yang ditanam pada kondisi tanah tidak disterilkan (TS)
pertumbuhannya mengalami hambatan dibandingkan dengan tanaman yang
ditanam pada tanah disterilkan (S). Terhambatnya pertumbuhan tanaman pada
kondisi TS tersebut disebabkan oleh serangan Liriomyza sp., trips, B. tabaci, dan
tungau. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa makin dekat tanaman percobaan
dengan tanaman bukan percobaan yang terserang hama tersebut makin merana
pertumbuhan tomat percobaan.
Usaha pengendalian hama-hama tersebut telah dilakukan dengan cara
menyemprotkan Mikrothiol 720 F (bahan aktif belerang) untuk mengendalikan
tungau, dan Decis 2,5 EC (bahan aktif deltametrin) untuk mengendalikan trips dan
B. tabaci, namun hasilnya kurang efektif, sehingga pertumbuhan tanaman tidak
optimal.

Pengaruh Serbuk Cangkang Rajungan terhadap Perkembangan NPA
Di antara peubah yang diamati, hanya jumlah puru dan jumlah paket telur
per tanaman yang secara nyata dipengaruhi oleh perlakuan serbuk cangkang
rajungan (SCR), sedangkan persentase nematoda yang bertelur tidak (Tabel 1).
Jumlah puru pada kontrol di tanah disterilkan dan kontrol di tanah tidak
disterilkan tidak menunjukkan perbedaan nyata. Jumlah puru dan jumlah paket
telur per tanaman pada perlakuan SCR 1,25 g/pot dan 2,5 g/pot, baik pada tanah
disterilkan maupun pada tanah tidak disterilkan masing-masing lebih rendah
dibandingkan dengan kontrol masing-masing.

Tabel 1 Perkembangan Meloidogyne spp. dengan perlakuan serbuk
rajungan a)
Perlakuan
Jumlah
Jumlah
Nematoda Kepadatan
b)
akhir L2
puru
paket telur
bertelur
(%)c)
310,4 a
82,9 a
8,2 a
9,8 a
S0
119,0 a
65,8 a
5,5 ab
8,2 b
S1
141,5 a
70,0 a
3,5 b
5,2 b
S2
67,8 b
56,4 a
7,6 a
13,0 a
TS0
107,4 b
68,3 a
4,8 ab
7,0 b
TS1
66,6 b
71,1 a
4,2 b
6,2 b
TS2

cangkang
Frd)

3,1 a
1,2 a
1,4 a
0,7 b
1,1 b
0,6 b

a)

Semua indikator perkembangan nematoda dihitung per pot tanaman
S = tanah disterilkan; S0 = tanpa SCR; S1 = penambahan SCR 1,25 g/pot ; S2 = penambahan
SCR 2,5 g/pot; TS = tanah tidak disterilkan;TS0 = tanpa SCR; TS1 = penambahan SCR 1,25
g/pot ; TS2 = penambahan SCR 2,5 g/pot
c)
Jumlah paket telur dibagi jumlah puru x 100%
d)
kepadatan akhir /kepadatan awal L2
Angka sekolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada
taraf nyata 5%
b)

Jumlah puru dan paket telur per tanaman pada perlakuan dosis SCR yang
berbeda (1,25 dan 2,5 g/pot), baik pada tanah disterilkan maupun pada tanah tidak
disterilkan, tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan SCR
dalam dosis 1,25 g/pot dan 2,5 g/pot dapat menekan serangan Meloidogyne spp.
dengan tingkat penekanan yang relatif sama walaupun pada dosis 2,5 g/pot
memiliki penekanan yang relatif lebih kuat dalam menurunkan jumlah puru dan
paket telur. Penekanan tersebut terjadi baik pada tanah disterilkan maupun pada
tanah tidak disterilkan. Peningkatan kemampuan SCR dalam menekan jumlah
puru dan peket telur seiring dengan peningkatan dosis yang diberikan, hal ini
kemungkinan disebabkan oleh semakin aktifnya mikroorganisme yang bersifat
kitinolitik dalam menekan nematoda. Aktifnya mikroorganisme tersebut sangat
dipengaruhi oleh banyak tidaknya nutrisi (SCR) yang diberikan.
Meloidogyne spp. yang berhasil menginfeksi akar tomat (berdasar jumlah
puru) tidak mengalami hambatan dalam perkembangan selanjutnya. Hal ini
terbukti dari persentase nematoda bertelur, yang tidak berbeda nyata antar
perlakuan dan kontrolnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa SCR hanya
berpengaruh terhadap L2 Meloidogyne spp. sewaktu berada di luar akar.
Mekanisme yang kemungkian terjadi ialah terjadinya pendegradasian dinding
tubuh nematoda yang mengandung kitin oleh mikroorganisme yang bersifat
kitinolitik. Mikroorganisme tersebut terinduksi dengan penambahan SCR. L2

yang berhasil lolos dari pengaruh SCR dan berhasil menginfeksi akar, tetap
tumbuh dan berkembang secara normal sampai mencapai fase bertelur.
Berbeda dengan jumlah puru dan paket telur yang mengindikasikan
keberadaan nematoda dalam tanaman, jumlah L2 yang terekstrak lebih banyak
ditemukan pada tanah steril dibandingkan pada tanah tidak steril. Hal tersebut
kemungkinan adanya predator dari Meloidogyne spp. yaitu tungau dan juga
Collembola. Selain itu pensterilan tanah membunuh beberapa mikroorganisme
tertentu yang bersifat parasit maupun predator bagi nematoda. Menurut Curl &
Truelove (1986), protozoa, nematoda, cendawan berspora, merupakan predator
bagi nematoda parasit tumbuhan. Sedikit pengetahuan tentang potensinya sebagai
agen pengendali hayati atau aktivitasnya di dalam rizosfer.
Sebenarnya SCR memiliki potensi yang cukup dalam mengendalikan
Meloidogyne spp. Tingkat efikasi relatif terhadap kontrol berdasarkan kepadatan
akhir L2, menunjukkan bahwa perlakuan SCR 1,25 g/pot dan 2,5 g/pot memiliki
keefektifan yang cukup, yaitu berturut-turut 61,7% dan 54,4%, walaupun dalam
penelitian ini hanya terjadi pada tanah disterilkan. Berdasarkan jumlah puru, SCR
memiliki keefektifan yang cukup. Pada tanah disterilkan dalam dosis 2,5 g/pot
tingkat efikasi SCR 46,7% dan pada tanah tidak disterilkan pada dosis 1,25 dan
2,5 g/pot keefektifannya berturut-turut 46,2% dan 52,6% (Tabel 2).
Tabel 2 Tingkat efikasi SCR terhadap Meloidogyne spp. pada tanaman tomat
dengan media tanah disterilkan dan tidak disterilkan
Tingkat efikasi (%)
Perlakuan
Berdasarkan jumlah puru
Berdasarkan kepadatan akhir L2
S0
61,7
16,3
S1
54,4
46,7
S2
TS0
-58,6
46,2
TS1
1,6
52,6
TS2
Perkembangan nematoda dalam penelitian ini diduga tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor perlakuan SCR. Vigor tanaman mungkin juga memiliki
kontribusi, walaupun infeksi nematoda sendiri juga memiliki kontribusi dalam
performa vigor tanaman. Pertumbuhan tanaman yang diekspresikan baik oleh
bobot akar, bobot tajuk maupun bobot total tanaman (Tabel 3), semuanya hanya

dipengaruhi oleh kondisi tanah, disterilkan atau tidak disterilkan. Bobot tanaman
pada tanah disterilkan baik pada kontrol maupun pada perlakuan SCR nyata lebih
tinggi dibandingkan dengan pada tanah tidak disterilkan.

Perbedaan bobot

tanaman ini diduga sangat erat kaitannya dengan hampir semua performa
indikator perkembangan Meloidogyne spp. yang diamati, kecuali persentase
nematoda yang bertelur (Tabel 1). Empat jenis hama, yaitu Liriomyza sp., trips,
B. tabaci, dan tungau merah yang menyerang tanaman percobaan jelas memiliki
kontribusi dalam rendahnya vigor tanaman dan secara tidak langsung juga
mempengaruhi perkembangan Meloidogyne spp. karena ketersediaan nutrisi bagi
nematoda tersebut menjadi kurang optimum.
Selain itu, rendahnya vigor tanaman baik pada tanah yang disterilkan
maupun pada tanah yang tidak disterilkan yang diberi penambahan SCR,
kemungkinan disebabkan oleh adanya fitotoksisitas SCR terhadap tanaman. SCR
termasuk bahan organik yang dalam tanah mengalami degradasi oleh
mikroorganisme tanah. Menurut Curl & Truelove (1986), pendegradasian secara
mikrobiologi terhadap bahan-bahan organik yang ditambahkan dalam tanah
melepaskan amonium-nitrogen, selanjutnya menghasilkan akumulasi nitrat
melalui nitrifikasi dan dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, atau
akumulasi NH3 dan nitrit dapat menjadi toksik bagi tanaman.
Tabel 3 Biomasa tanaman tomat dalam perlakuan serbuk cangkang rajungan pada
tanah disterilkan dan tidak disterilkana)
Perlakuan
Bobot tajuk
Bobot akar
Bobot total
tanaman
1,154 a
0,102 a
1,053 a
S0
1,088 a
0,122 a
0,966 a
S1
0,894 a
0,083 a
0,811 a
S2
0,413 b
0,033 b
0,380 b
TS0
0,298 b
0,029 b
0,269 b
TS1
0,241 b
0,012 b
0,230 b
TS2
a)

Bobot tanaman kering udara dalam satuan gram (g)
Angka sekolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda berdasarkan uji Duncan pada taraf
nyata 5%

Faktor lainnya yang diduga juga memiliki kontribusi dalam performa
indikator perkembangan Meloidogyne spp. adalah mikroorganisme tanah,
terutama bakteri dan cendawan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan
SCR berpengaruh terhadap kepadatan komunitas cendawan dan bakteri (Tabel 4).
Tabel 4 Kepadatan mikroorganisme tanah dalam perlakuan SCR pada tanaman
tomat yang ditanam pada tanah disterilkan dan tidak disterilkan
Kepadatan mikroorganisme tanah (103 cfu/g)
Perlakuan
Bakteri
Cendawan
King’s B
NA
22,44
1.968,02
0,08
S0
13.615,4
1.377,30
0,12
S1
2 x 106
50.006,91
0,06
S2
5.610,9
743,07
1,34
TS0
5.875,3
466,7
38,9
TS1
24,6
6
1,13
TS2
Kepadatan cendawan pada tanah tidak disterilkan lebih tinggi dibanding
pada tanah disterilkan, sedangkan kepadatan bakteri pada tanah disterilkan
umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan pada tanah tidak disterilkan
(Tabel 4). Kepadatan bakteri dengan penambahan SCR dalam dosis 2,5 g/pot
pada tanah yang disterilkan paling tinggi di antara semua perlakuan. Namun
sebaliknya pada tanah tidak disterilkan, pemberian SCR justru menurunkan
kepadatan bakteri. Makin tinggi dosis SCR makin rendah kepadatan bakteri.
Ketidakmampuan SCR dalam meningkatkan mikroorganisme pada tanah
yang tidak disterilkan kemungkinan sangat dipengaruhi oleh kondisi tanaman
yang mungkin berpengaruh terhadap mikroorganisme tanah. Pada tanah yang
tidak

disterilkan,

kondisi

tanaman

kurang

optimum

pertumbuhannya

dibandingkan dengan tanaman pada tanah yang disterilkan. Hal ini membuat tanah
menjadi tidak gembur sehingga mikroorganisme yang berada di sana menjadi
terbatas. Sehingga yang dapat tumbuh lebih banyak pada tanah yang tidak
disterilkan adalah cendawan terutama yang bersifat saprofit.
Perkembangan Meloidogyne spp. tampaknya berkaitan dengan kepadatan
komunitas cendawan, tidak dengan keragaman cendawan. Baik pada tanah
disterilkan maupun pada tanah tidak disterilkan, perlakuan SCR 1,25 g/pot
meningkatkan kepadatan cendawan, yang juga disertai oleh menurunnya jumlah

puru dan faktor reproduksi Meloidogyne spp. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pemberian SCR dapat meningkatkan kepadatan cendawan yang mungkin
memiliki kontribusi dalam penekanan nematoda walaupun hanya terjadi pada
perlakuan SCR pada dosis 1,25 g/pot, tidak pada dosis 2,5 g/pot. Perlakuan SCR
tampaknya berpengaruh terhadap keragaman cendawan yang berhasil diisolasi
dengan menggunakan media agar martin (Tabel 5). Isolat A memiliki ciri-ciri
sebagai berikut yaitu konidia bersel 3, lonjong dan hialin, hifa tidak bersekat
sedangkan penampakan makroskopis pada media agar martin yaitu miselium
berwarna putih dengan pusat koloni kuning. Lama kelamaan miselium mulai
berwarna kuning kecoklatan, diameter bertambah besar. Isolat B memiliki ciri-ciri
konidia bersel 4, agak kecoklatan, dan hifanya bersekat.
Tabel 5

Jenis cendawan yang ditemukan pada tanah percobaan dengan
menggunakan media agar martin
Perlakuan
Jenis cendawan yang ditemukan
Aspergillus spp. dan Fusarium spp.
S0
Aspergillus spp., Fusarium spp. dan Penicillium spp.
S1
S2
Cendawan A
TS0
Aspergillus spp. dan Dactylium spp.
TS1
Aspergillus spp., Fusarium spp., Dactylium spp. dan cendawan B.
TS2
Cendawan A dan Fusarium spp.
Keragaman bakteri baik pada tanah disterilkan maupun pada tanah tidak

disterilkan tampaknya tidak dipengaruhi oleh perlakuan SCR (Tabel 6). Koloni
bakteri yang ditemukan baik pada media King’s B dan media NA terbagi menjadi
8 kelompok berdasarkan morfologi dan warna koloninya. Bakteri dengan ciri
bentuk rizoid, tepian seperti wol, elevasi cembung, warna putih dimasukkan
dalam kelompok B1; bentuk bundar, tepian licin, elevasi timbul, warna putih
dimasukkan dalam kelompok B2; bentuk bundar, tepian licin, elevasi timbul,
warna merah dimasukkan dalam kelompok B3; bentuk bundar, tepian licin,
elevasi timbul, warna kuning dimasukkan dalam kelompok B4; bentuk keriput,
tepian berombak, elevasi berbukit-bukit, warna krem dimasukkan dalam
kelompok B5; bentuk berbenang-benang, tepian tak beraturan, elevasi berbukitbukit, warna putih bentuk keriput, tepian berombak, elevasi berbukit-bukit, warna
krem dimasukkan dalam kelompok B6; bentuk tidak beraturan dan menyebar,

tepian licin, elevasi datar, warna krem bersifat flouresens dimasukkan dalam
kelompok B7; bentuk dosisentris, tepian berombak, elevasi datar, warna krem
dimasukkan dalam kelompok B8.
Tabel 6 Keragaman bakteri yang ditemukan pada media King’s B dan NA
Perlakuan
S0
S1
S2
TS0
TS1
TS2

Macam bakteri yang ditemukan
Media King’s B
Media NA
Total (macam)
5
6
6
6
5
7
6
4
7
7
6
7
6
6
7
6
5
7

Menurut Kokalis–Burelle (2001), penambahan kitin ke dalam tanah dapat
menyebabkan peningkatan populasi mikroorganisme kitinolitik dan penurunan
cendawan

patogen

tular

tanah.

Dalam

kondisi

seperti

ini

umumnya

mikroorganisme antagonis lebih berkembang sehingga dapat menekan patogen
baik secara langsung melalui parasitisme maupun secara tidak langsung melalui
produk metabolitnya seperti toksin atau enzim yang dapat mematikan atau
menghambat perkembangan patogen tanaman termasuk nematoda. Walaupun
dalam penelitian ini, jumlah mikroorganisme tanah pada tanah yang diberi
penambahan SCR tidak berbeda nyata dengan tanah yang tidak diberi
penambahan SCR (kontrol), namun mikroorganisme tersebut mampu menurunkan
jumlah puru dan jumlah paket telur pada 2 kondisi tanah (disterilkan dan tidak
disterilkan). Penurunan terhadap jumlah puru dan paket telur NPA menunjukkan
bahwa pemberian SCR mampu menginduksi mikroorganisme yang bersifat
kitinolitik sehingga mampu mengendalikan nematoda tersebut.
Tian et al. (2000) mengemukakan bahwa pemberian kitin dapat
meningkatkan aktivitas mikroorganisme kitinolitik penghasil kitinase yang
berperan penting dalam pengendalian nematoda parasit tumbuhan dan akan
menjadi lebih efektif apabila disertai juga dengan penambahan bakteri kitinolitik.
Selanjutnya dikemukakan bahwa lima spesies bakteri kitinolitik yang selalu
berasosiasi

dengan

penekanan

jumlah

nematoda

Heterodera

glycines.

Penambahan kitin saja (0,4%-0,6% [w/w]) tanpa isolat bakteri memiliki pengaruh

yang beragam terhadap reproduksi nematoda. Hal ini berkaitan dengan jumlah dan
jenis mikroorganisme yang ada di dalam tanah yang menyebabkan perbedaan laju
degradasi kitin sehingga dosis amonia yang pada tingkat tertentu bersifat
nematisida menjadi berbeda. Penekanan terhadap patogen pada tanaman yang
diberi perlakuan tepung cangkang rajungan juga dapat terjadi karena adanya
perubahan sifat kimia tanah seperti meningkatnya pH karena bertambahnya
CaCO3 yang berasal dari cangkang rajungan (Agrios 1997).

KESIMPULAN DAN SARAN
Serbuk cangkang rajungan memiliki potensi dalam pengendalian nematoda
puru akar pada tanaman tomat. Tingkat efikasi berdasarkan kepadatan populasi
akhir L2 Meloidogyne spp., penambahan SCR dengan dosis 1,25 g/pot – 2,5 g/pot
cukup efektif dengan tingkat efikasi 54%-62 %, walaupun penekanannya terjadi
hanya pada tanah disterilkan. Berdasarkan jumlah puru, hanya dosis 2,5 g/pot
perlakuan SCR memiliki tingkat efikasi yang cukup tinggi yaitu 46,7% pada
tanah yang disterilkan sedangkan pada tanah yang tidak disterilkan SCR dalam
dosis 1,25 g/pot dan 2,5 g/pot memiliki tingkat efikasi yang cukup tinggi yaitu
beturut-turut sebesar 46,2% dan 52,6%.
Mengingat potensi yang dimilikinya, serbuk cangkang rajungan perlu diteliti
lebih lanjut dengan teknik-teknik pengujian yang lebih baik dan teliti. Selain itu
perlu dilakukannya pengujian sampai tomat mencapai fase generatif.

DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Ed ke-4. San Diego: Academic Press.
Barnett HL, Hunter BB. 1998. Illustrated Genera of Imferfect Fungi. Ed ke-4.
St. Paul (Minnesota): APS Press.
Benhamou N. 2001. Chitosan, disease suppression and SAR. Phytopathology
91:S168.
Brown RH, Kerry BR, editor. 1987. Principles and Practice of Nematodes
Control in Crops. Academic Press.
Curl EA & Truelove B. 1986. The Rhizosphere. Berlin: Springer-Verlag.
Decker H. 1988. Plant Nematodes and Their Control (Phytonematology). New
Delhi: Pauls Press.
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2005. Produksi Tomat menurut Propinsi
Tahun 2000-2004http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/horti/2005/produksi
tomat1.htm. [10 Juni 2005].
Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek; Teknik dan Prosedur
Dasar Laboratorium. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hague NGM, Gowen SR. 1987. Chemical control of nematodes. Di dalam:
Brown RH, Kerry BR, editor. Principles and Practice of Nematodes
Control in Crops. Academic Press. hlm 131-178.
Hidayah N. 2004. Penggunaan tepung kulit rajungan sebagai sumber kitin
dan ekstrak kompos untuk penegendalian penyakit akar gada. Sekolah
Pascasarjana IPB Bogor. [tesis]
Hirano S. 1989. Production and application of chitin and chitosan in Japan.
Dalam: Sanford P, Anthosen P, Skjak-Braek G. editor. Chitin and
Chitosan; Chemistry, Biochemisty, Physical Properties and Application.
New York: Elsevier Science Publishing Co, Inc.
Hutagalung L, Wisnuwardhana W. 1976. Sinergisme nematoda bengkak akar
Meloidogyne spp. dan Pseudomonas solanacearum pada tanaman tomat. Di
dalam Kongres Nasional IV PRI Bandung.
Hutagalung SG. 1988. Teknik Ekstraksi dan Membuat Preparat Nematoda
Parasit Tumbuhan. Jakarta: Rajawali Press.
Johnson JT, Fassuliotis G. 1984. Nematode parasites of vegetable crops. Di
dalam: Nickle WR, editor. Plant and Insect Nematodes. Marcel Decker inc.,
New York and Basel: hlm 323-372.
Kokallis-Burelle N. 2001. Chitin amendments for suppression of plant parasitic
nematodes and fungal pathogens. Phytopathology 91:S168.
Kokallis-Burelle N, Martinez-Ochoa N, Rodriguez- Kabana R, dan Kloepper JW.
2002. Development of multi-component transplant mixes for suppression
of Meloidogyne incognita on tomato (Lycopersicon esculentum). Journal
of Nematology 34(4): 362-369.

Luc M, Sikora RA, Bridge J. 1990. Plant Parasitic Nematodes in Subtropical
and Tropical Agriculture. Wallingford: CAB International.
Semangun H. 2001.
University Press.

Ilmu Penyakit Tumbuhan.

Yogyakarta:Gadjah Mada

Siemonsa JS, Piluek K, editor. 1994. Plant Resources of South-East Asia
Vegetables. Bogor: Prosea Foundation.
Singh RS, Sitaramaiah K. 1994. Plant Pathogens: The Plant Parasitic
Nematodes. New York: International Science Publisher.
Singh PP, Shin YC, Park CS, Chung YR. 1999. Biological control of fusarium
wilt of cucumber by chytinolytic bacteria. Phytopathology 89:92-99.
Smither-Kopperl Ml. 2001. Chitin as biomass, its origin and role in nutrient
cycling. Phytopathology 91: S167.
Suptijah P. 2006. Deskripsi dan karakteristik fungsional chitin-chitosan. Di
dalam: Seminar Nasional Chitin-Chitosan 2006.; Prospek Produksi dan
Aplikasi Chitin-Chitosan sebagai Bahan Alami dalam Membangun
Kesehatan Masyarakat dan Menjamin Keamanan Produk. Bogor; 16 Maret
2006.
Tian H, Riggs RD, Crippen DL. 2000. Control of soybean cyst nematode by
chytinolytic bacteria with chitin substrate. J Nematol 32(4):370-376.

LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil analisis ragam jumlah puru per tanaman
Dependent Var i abl e: pur u
Sour ce

DF

Sum of
Squar es

Mean Squar e

F Val ue

Pr > F

Model
Er r or

5
18

160. 0545875
125. 9733750

32. 0109175
6. 9985208

4. 57

0. 0072

Cor r ect ed
Tot al

23

286. 0279625

Sour ce

t anah
dos i s
t anah* dosi s

R- Squar e

Coef f Var

Root MSE

pur u Mean

0. 559577

32. 20784

2. 645472

8. 213750

DF

Sum of
Squar es

Mean Squar e

F Val ue

Pr > F

1
2
2

6. 2118375
134. 3430250
19. 4997250

32. 0109175
6. 9985208
9. 7498625

0. 89
9. 60
1. 39

0. 3586
0. 0015
0. 273

The ANOVA Pr ocedur e
Dunc an' s Mul t i pl e Range Test f or pur u

Al pha
0. 05
Er r or Degr ees of Fr eedom
18
Er r or Mean Squar e
6. 998521
Number of Means
Cr i t i c al Range

2
2. 269

Means wi t h t he same l et t er ar e not s i gni f i c ant l y di f f er ent .

Duncan Gr oupi ng

Mean

N

t anah

A
A
A

8. 723

12

ts

7. 705

12

s

The A