Pemanfaatan bone marrow mesenchymal stem cell untuk terapi model epilepsi

PEMANFAATAN BONE MARROW MESENCHYMAL STEM
CELL UNTUK TERAPI MODEL EPILEPSI PADA TIKUS

YETTY RAMLI
B361070041

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pemanfaatan Bone
Marrow Mesenchymal Stem Cell Untuk Terapi Model Epilepsi Pada Tikus, adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir
disertasi ini.


Bogor, Juli 2012

Yetty Ramli
B 361070041

ABSTRACT

YETTY RAMLI. Utilization of Bone Marrow Mesenchymal Stem Cells for
Therapeutic Model of Epilepsy. Under the directions of SRI ESTUNINGSIH,
ARIEF BOEDIONO, and NURHADI IBRAHIM.

Epilepsy is a chronic neurologic disease, caused by abnormal electrical
activity in the brain. Uncontrolled medication using the currently available
antiepileptic drugs may result in low quality of life. Bone marrow mesenchymal stem
cell (bMSCs), one source of stem cell that is multipotent, can be given as an
alternative treatment for intractable epilepsy. This research was aimed to (1) analyze
the effect of chemical substance that can damaged the brain, to make a suitable
animal model for epilepsy, (2) study of the culture bMSCs, and induced to become
neurons in vitro neuron progenitor cells, before it can be transplanted to the animal

model, (3) observe the effect of different dosages of bMSCs, and comparing the 2
routes of administration, through an intravenous line or a direct intracerebral
approach.
This study used 46 Spraque Dawley rats, aged 2 months which were divided
to 7 groups consisted 6 rats each (1) negative control group, were given only 1ml
NaCl 0.9% intravenous, (2) development of animal group model, 3 rats were given
lidocaine 90mg/kg, 3 rats injected with bicuculine 8mg/kg, 1 rat was sacrificed each
at the point of 24 hours, 3 days and 7 days after treatment, (3) positive epilepsy
group, injected with bicuculine 8mg/kg intraperitoneally, and 3 rats were sacrificed
each after 3 weeks and 6 weeks, (4-7) epilepsy group, after injected with bicuculine
8mg/kg intraperitoneally, at day-7 received bMSCs injection, each using 3x2x105 cell
intravenous, 1x5x106 cell intravenous, neuron progenitor at 1x2x106 cell intravenous
and neuron progenitor at 1x2x105 cell intracerebral. The result of this study showed
that bicuculine injection, as a GABA-antagonist, was better when applied to create an
epilepsy animal model. The most severe irreversible damaged occurred after the 7th
day of treatment. The amount of cells of bMSCs culture at the 4th and 5th passages
was sufficient to be transplanted, and the induction of neuron progenitor with basic
fibroblast growth factor and epidermal growth factor was seen by noticing the change
of the fibroblasts to neurons. The activity of bMSCs to regenerated neurons could be
seen that injection of bMSCs 3x2x105 results the highest number of survived

neurons. There was no systemic effect of bMSCs. From this study concluded that
bMSCs improved regenerate the damage of hippocampal area caused by seizure in
epilepsy model animals. A low dose, intravenous administration, given repeatedly
every 2 weeks gives a better respon compared to a bolus with high dose intravenous
and , intracerebrally. bMSCs treatment was better than progenitor neuron treatment.
Keywords: epilepsy, bone marrow mesenchymal stem cell, progenitor neuron,
transplantation, intravenous, and intracerebral

RINGKASAN
YETTY RAMLI. Bone marrow mesenchymal stem cell untuk terapi model
epilepsi. Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH, ARIEF BUDIONO, NURHADI
IBRAHIM
Epilepsi adalah gangguan neurologi kronis yang disebabkan oleh cetusan
listrik abnormal berlebihan pada otak. Serangan kejang yang intractable (tidak
terkontrol dengan obat anti epilepsi), mengakibatkan kualitas hidup penyandang
epilepsi jadi rendah, karena keterbatasan dibidang pendidikan, olah raga,
pekerjaan dan kesulitan mendapatkan pasangan hidup ditambah akibat adanya
stigma di masyarakat bahwa epilepsi adalah penyakit menular, keturunan, dan
penyakit jiwa. Pengendalian dan pengontrolon serangan kejang dengan pemberian
obat anti epilepsi yang benar dan teratur disertai efek samping minimal

merupakan pilihan pengobatan yang ideal. Epilepsi lobus temporal merupakan
salah satu dari jenis epilepsi yang resisten terhadap pengobatan. Intervensi
pembedahan merupakan pilihan pengobatan saat ini untuk mengatasi serangan
kejang berulang. Namun, tidak semua penderita epilepsi yang resisten dengan
pengobatan (intractable) dapat dilakukan operasi dan membaik setelah
pengobatan. Kondisi ini telah menimbulkan permasalahan cukup besar bagi
ekonomi dan kualitas hidup mereka, dengan alasan ini memicu untuk mencari
alternatif terapi dalam pengobatan epilepsi. Stem cell merupakan sel yang
mempunyai kemampuan mengembangbiakkan dirinya sendiri dan berdiferensiasi
multilinear, telah banyak digunakan oleh peneliti di berbagai negara untuk
pengobatan dan mempunyai efek farmakologi yang luas, antara lain pada penyakit
degeneratif, genetik, antikanker, antiradang, dan penyakit imunologis. Bone
marrow mesenchymal stem cell (bMSCs) salah satu dari sumber stem cell yang
bersifat multipoten dapat diberikan sebagai alternatif terapi pada epilepsi
intractable. Epilepsi termasuk gangguan dengan berbagai penyebab etiologi dan
patofisiologi maka perlu dilakukan kajian ilmiah pemanfaatan bMSCs sebagai
terapi pada epilepsi intractable ditinjau dari kemampuannya meregenerasi neuron
pada hipokampus. Penggunaan stem cell saat ini masih dalam tahap penelitian,
perlu diteliti efek samping jangka panjang, sebelum dipakai luas di masyarakat.
Penggunaan langsung pada pasien karena terkait etik harus dikaji terlebih dahulu

kepada hewan model. Penelitian ini bertujuan (1) melihat pengaruh zat kimiawi
yang dapat merusak otak untuk pembuatan hewan model epilepsi, (2) mempelajari
kultur bMSCs tanpa diferensiasi menjadi neuron dan yang diinduksi menjadi
progenitor neuron in vitro sebelum ditransplantasikan kepada hewan model
epilepsi, (3) melihat pengaruh pemberian bMSCs dengan dosis berbeda melalui
pendekatan terapi pemberian sistemik intravena dibandingkan dengan pemberian
langsung intraserebral.
Tahapan penelitian yang dilakukan, ialah sebagai berikut. (1) Pembuatan
hewan model epilepsi dengan induksi zat kimiawi yang paling berat menimbulkan
kerusakan pada hipokampus otak tikus dengan lidocaine (anestesi lokal pada dosis
tinggi bersifat neurotoksik) yaitu dosis 90 mg/kgbb intraperitoneal dibandingkan
zat antagonis GABA bicuculine dosis 8 mg/kgbb intraperitoneal. (2) Aspirasi
bone marrow dari tulang tibia dan femur tikus, dan dikultur menjadi bone marrow
mesenchymal stem cel(bMSCs)l sampai jumlah sel sudah mencukupi untuk

ditranplantasikan kepada hewan model epilepsi. Mesenchymal diinduksi menjadi
neuron progenitor dengan menambahkan basic fibroblast growth factor dan
epidermal growth factor. (3) Penentuan aktivitas bMSCs dalam meregenerasi
neuron di hipokampus. Penelitian in vivo kelompok pembentukan hewan model
menggunakan 9 ekor tikus galur Spraque Dawley umur 2 bulan yang dibagi

menjadi 3 kelompok perlakuan masing-masing 3 ekor tikus yaitu (1) diinjeksi
lidocaine dosis 90mg/kgbb intraperitoneal; (2) diinjeksi bicuculine dosis 8
mg/kgbb intraperitoneal; (3) 3 ekor lagi tanpa perlakuan dilanjutkan masingmasing 1 ekor dikorbankan pada 24 jam, hari ketiga, dan hari ketujuh setelah
perlakuan. Penelitian lanjutan in vitro melihat pengaruh toksik bicuculine pada
kultur jaringan otak dari 1 ekor tikus yang dikorbankan. Penelitian untuk melihat
pengaruh stem cell dalam meregenerasi hipokampus mempergunakan 6 kelompok
tikus masing-masing 6 ekor tikus yaitu (K1) kelompok kontrol negatif tikus sehat,
masing-masing hanya diberi 1 ml NaCl 0,9% intravena; (K2) kelompok kontrol
positif epilepsi diinjeksi bicuculine dosis 8 mg/kgbb intraperitoneal; (M1-M4)
kelompok terapi stem cell setelah diinjeksi bicuculine dosis 8 mg/kgbb
intraperitoneal pada hari ketujuh disuntik bMSCs dengan masing-masing dosis
3x2x105 sel intravena, dosis 1x5x106 sel intravena, neuron progenitor dosis
1x2x106 sel intravena dan neuron progenitor 1x2x105 sel intraserebral. Pada
minggu ketiga dan keenam setelah perlakuan dari masing-masing kelompok
dikorbankan tiga ekor. Otak dan organ jantung, paru-paru, hati, ginjal, limpa
dikoleksi dibuat preparat histopatologi untuk melihat perubahan patologis,
selanjutnya dilakukan penghitungan jumlah neuron yang hidup dan mati di
hipokampus. Bobot badan ditimbang sebelum dan sesudah perlakuan .
Hasil penelitian in vitro dan in vivo memperlihatkan bicuculine sebagai
antagonis GABA lebih baik dipakai untuk pembentukan hewan model epilepsi.

Kerusakan bersifat irreversibel paling berat setelah 7 hari perlakuan. Kultur
bMSCs pada pasase ke-4 sampai ke-5 jumlah sel sudah memadai untuk
ditransplantasi, induksi neuron progenitor dengan basic fibroblast growth factor
dan epidermal growth factor terlihat perubahan dari sel berbentuk fibroblas
menjadi neuron. Pengaruh bMSCs pada tikus secara klinis tidak memperlihatkan
kesakitan. Pemberian bMSCs intraserebral tikus terlihat kurang aktif selama 3 hari
dan setelah itu membaik seperti sebelum perlakuan. Aktivitas bMSCs terhadap
regenerasi neuron memperlihatkan bahwa pemberian bMSCs 3x2x105 intravena
didapatkan jumlah neuron yang hidup paling tinggi . Pengaruh bMSCs sistemik
terhadap organ lain tidak memperlihatkan perubahan secara makroskopis dan
mikroskopis walaupun bMSCs ditemukan pada organ ginjal, paru dan limpa.
Kesimpulan dari penelitian ialah bahwa bMSCs, dapat meregenerasi
kerusakan pada daerah hipokampus akibat kejang pada hewan model epilepsi.
Pemberian intravena, dosis rendah berulang setiap 2 minggu memberikan
perbaikan yang lebih baik dari pada pemberian dosis tinggi sekaligus dan
pemberian intraserebral, sedangkan pemberian bMSCs lebih baik dari pada
pemberian neuron progenitor .

Kata kunci: Epilepsi, bone marrow mesenchymal stem cell, neuron progenitor,
transplantasi intravena dan intraserebral.


© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi
IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruhnya dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Pemanfaatan bone marrow mesenchymal stem cell
untuk terapi model epilepsi pada tikus

YETTY RAMLI
B 361070041


Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Biomedis Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Penguji pada Ujian
Tertutup

:

Prof .drh. Fedik Ratam, PhD,
drh. Dewi Ratih, PhD, APVet

Penguji pada Ujian
Terbuka


:

Prof. dr. Teguh AS Ranakusuma, SpS K
Prof. drh. Bambang Pontjo, PhD, APVet

PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena
atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian dalam rangka
penyelesaian studi program Doktor (S-3). Disertasi ini ditulis untuk memenuhi
salah satu persyaratan bagi penulis dalam memperoleh gelar doktor pada Program
Studi Ilmu Biomedis Hewan, Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Disertasi ini
berjudul “Pemanfaatan bone marrow mesenchymal stem cell untuk terapi model
epilepsi pada tikus”. Penelitian ini penulis selesaikan atas berbagai sumbangan

pemikiran dan masukan dari komisi pembimbing serta bantuan pihak lain. Untuk
itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. drh. Sri Estuningsih MSi,
APVet. sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. drh. Arief Budiono, PhD. dan dr.
Nurhadi Ibrahim PhD. sebagai anggota komisi pembimbing atas segala kesabaran
dan bimbingan, kritik, saran, masukan, motivasi serta dorongan yang sangat besar

arti dan peranannya dalam terselesaikannya disertasi ini; serta terima kasih kepada
penguji luar komisi pada ujian tertutup: Prof. drh. Fedik Ratam, PhD, dan drh.
Dewi Ratih, PhD. APvet, penguji ujian terbuka Prof. dr. Teguh Ranakusuma SpS.
K dan Prof.drh. Bambang Pontjo P, MS. PhD. APvet atas segala saran, wawasan,
dan masukan untuk penyempurnaan penulisan disertasi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Direktur RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta, atas izin pendidikan yang diberikan kepada penulis untuk
mengikuti program Doktor di Institut Pertanian Bogor. Terima kasih dan
penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis selama mengikuti
pendidikan.
Selanjutnya ucapan terima kasih ditujukan kepada suami tercinta Ir.
Taslim Husni, MSi dan ananda Yahyasalam Taslim, Imamurahman Taslim yang
telah memberi dorongan, semangat, dan bantuan yang tidak tenilai dengan penuh
pengertian, kesabaran sehingga penulis selalu semangat dalam penyelesaian
disertasi ini; Orang tua dan mertua, kakak-kakak terutama kakak ipar Dr. drh.
Yulia Yelita yang selalu mendorong saya untuk menyelesaikan pendidikan S3 di
IPB dan adik-adik serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa, semangat,

dan kasih sayangnya selama penulis menempuh pendidikan S 3 di Institut
Pertanian Bogor.
Disertasi ini tidak akan terwujud dan dapat diselesaikan dengan baik tanpa
bantuan staf Laboratorium stem cell Institut Tropical Disease Unair: Prof. drh.
Fedik Ratam, PhD, dr Purwati SpPD, Dr Herri SPOT, mas Anas, mbak Helen,
mas Erik, Handoko, mbak Indah dan staf Patologi FKH IPB: drh. Ekowati H,
MS,PhD, APvet , drh. Dewi Ratih,PhD, APvet, drh. Hernomoadi MVS, APvet,
Dr. drh. Eva Harlina,Msi, APvet, Dr.drh. Wiwin Winarsih, Msi, APvet, Prof. drh.
Bambang Pontjo,PhD. APvet, drh. Mawar Subangkit, drh. Vetnizah Juniantito,
PhD, Apvet, pak Kasnadi, pak Endang, pak Soleh, Kiki, drh. Ibnu,Msi, staf
pengajar anatomi drh. Nurhidayat, MS, PhD dan drh. Supratikno, Msi, staf
pengajar fisiologi drh. Huda Shalahudin Darusman , Msi, dr. Kiking, dr.
Anastasia, dr. Indah SpS, Dr.drh.I Wayan Batan,MS dan teman-teman senasib
sewaktu penulis menempuh pendidikan. Dr.drh. Ngurah Sudisma, drh. Boky
Jeane Tuasikal ,MSi atas dukungan dan dorongan penulis untuk tetap bersemangat
menyelesaikan pendidikan ini serta

berbagai pihak yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu. Semoga Allah yang maha luas kasih sayangNya membalas
semua kebaikan dengan keberkahan, keselamatan, pahala, dan kebaikan berlipat
ganda. Semoga hasil penelitian ini bisa berguna bagi yang memerlukan.

Bogor, Juli 2012
Yetty Ramli

RIWAYAT HIDUP

Yetty Ramli, dilahirkan di Padang pada tanggal 31 Januari 1964 sebagai anak
kedua dari empat bersaudara, dari pasangan Ramli Sidin dan Husnidar. Menikah
dengan Ir. Taslim Husni, Msi dan dikarunia 2 orang anak Yahyasalam Taslim dan
Imamurahman Taslim. Pendidikan SD Adabiah Padang lulus tahun 1976, SMP
Adabiah Padang lulus tahun 1979, SMA Negeri 2 Padang lulus tahun 1983.
Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran UNAND, Padang, lulus
sarjana kedokteran tahun 1989 dan lulus profesi dokter spesialis Neurologi FK UI
tahun 2001. Sejak tahun 2001 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai Staf
Pengajar pada Fakultas Kedokteran Universita Indonesia, Program Studi Ilmu
Penyakit Syaraf. Pada akhir tahun 2007, penulis terdaftar sebagai mahasiswa
program doktor (S-3) pada Program Studi Ilmu Biomedis Hewan, Sekolah
Pascasarjana IPB, Bogor .

Jakarta, Juli 2012

Yetty Ramli

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR SINGKATAN .............................................................................

Xv

DAFTAR TABEL

...................................................................................

X vi

DAFTAR GAMBAR

.................................................................................

X vii

DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................

X viii

PENDAHULUAN

...................................................................................

1

Latar Belakang

.....................................................................................

1

Perumusan Masalah .................................................................................

3

Tujuan Penelitian

..................................................................................

4

......................................................................................

5

Hipotesis

Manfaat Penelitian

...............................................................................

5

Alur Penelitian ........................................................................................

6

TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
Epilepsi

7

...........................................................................................

7

Definisi Epilepsi ...........................................................................

7

Klasifikasi Kejang ..........................................................................

7

Neurofisiologi Epilepsi ........................................................................

8

Elektrofisiologi Seluler ..................................................................

8

Kanal ion

9

..............................................................................

Konduktansi Voltage-Dependent Membrane....................................

9

Konduktansi Hiperpolarisasi ...........................................................

9

Transmisi Sinaptik Inhibitorik .............................................................

10

xiii

Transmisi Sinaptik Eksitatorik .............................................................

11

Cetusan listrik Neuron Abnormal ........................................................

12

Paroxysmal Depolarization Shift ........................................................

13

Mekanisme Sinkronisasi

....................................................................

13

Mekanisme Glial Dalam Modulasi Epileptogenesis ...........................

14

Epilepsi Lobus temporal

..........................................................................

15

Anatomi .................................................................................................

15

Etiologi .................................................................................................

15

Gambaran klinis ...................................................................................

19

Pemeriksaan Penunjang ......................................................................

19

Diagnosis ............................................................................................

20

Intervensi Pengobatan ..........................................................................

21

Stem cell untuk terapi epilepsi ....................................................................

23

Potensi stem cell

.................................................................................

23

Sumber stem cell ...................................................................................

24

Proses perbaikan jaringan epileptik yang rusak.....................................

24

Manfaat penggunaan stem cell ............................................................

26

HEWAN MODEL UNTUK EPILEPSI .......................................................
Abstrak

28

...........................................................................................

28

Pendahuluan .........................................................................................

29

Bahan dan Metode ................................................................................

30

Hasil dan pembahasan

32

Kesimpulan

.........................................................................

...........................................................................................

39

Isolasi dan Identifikasi Bone Marrow Mesenchymal Stem Cell ...................

41

Abstrak

.............................................................................................

Pendahuluan

......................................................................................

Bahan dan Metode

...............................................................................

Hasil dan pembahasan

...........................................................................

41
42
43
45

xiv

Kesimpulan ..............................................................................................

48

Transplantasi Bone Marrow Mesenchymal Stem cell untuk model epilepsi ...

49

Abstrak.....................................................................................................

49

Pendahuluan ............................................................................................

50

Bahan dan Metode .................................................................................

52

Hasil dan Pembahasan ...........................................................................

54

Kesimpulan .............................................................................................

59

Pembahasan Umum.........................................................................................

60

Simpulan dan saran..........................................................................................

64

Daftar Pustaka

..........................................................................................

65

.................................................................................................

73

Lampiran

DAFTAR SINGKATAN
AMPA

: α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole propionic acid

APC

: Antigen Presenting Cell

ATL

: Anterior Temporal Lobectomy

bFGF

: Basic Fibroblast Growth Factor

bMSCs

: Bone Marrow Stem Cells

BNF

: Buffered Neutral Formalin

βME

: β-mercaptoethanol

Ca1, Ca3

: Corpus Annom 1,

EGF

: Epidermal Growth Factor

EPSP

: Eksitatori Potensial Pos Sinaptik

GABA

: Gamma Aminobutyric Acid

GD

: Girus Dentatus

IFN-

: Interferon-

ILAE

: International League Against Epilepsy

IPSP

: Inhibitori Pos Sinap Potensial

LTLE

: Lateral Temporal Lobe Epilepsy

MTLE-HS

: Mesial Temporal Lobe Epilepsy-Hipocampus Sclerosis

MRI

: Magnetic Resonance Imaging

MRS

: Magnetic Resonance Spectroscopy

NMDA

: N-methyl-D-aspartate

OAE

: Obat Anti Epilepsi

PNCs

: Progenitor Neural Stem Cell

PDS

: Paroksismal Depolarisasi Shift

PLD

: Post Lesion Delay

FDG-PET

: Positron Emission Tomography with F-Fluorodeoxyglucose

SAH

: Selective Amygdalaohippocampectomy

SCNT

: Somatic Cell Nuclear Transfer

TNF-α

: Tumour necrosis Factor

DAFTAR TABEL

Halaman

1

Peran kanal dan reseptor dalam cetusan listrik normal dan epileptik ..........

12

2

Sindroma MTLE-HS ...................................................................................

21

3

Jenis pengobatan epilpesi dan tingkat keberhasilan pengobatan .................

22

4

Rata-rata jumlah kematian neuron pada hipokampus setelah injeksi

36

lidocaine dan bicuculine dibandingkan kontrol negatif .............................
5

Rata-rata jumlah kematian neuron pada hipokampus setelah injeksi

38

bicuculine pada pengamatan minggu ketiga dan keenam dibandingkan
tikus normal ................................................................................................
6

Rata-rata jumlah neuron normal di hipokampus tikus.................................

55

DAFTAR GAMBAR
Halaman

1.

Alur Penelitian....................................................................................

6

2

Daerah hipokampus yang terlibat pada epilepsi lobus temporal.......

17

3

Hipokampus sklerosis ......................................................................

18

4

Hipokampus sklerosis pada epilepsi lobus temporal .......................

18

5

Peningkatan GABAdari stem cell embrionik.......................................

27

5

Fotografi daerah kortek hipokampus dan meningen tujuh hari setelah

33

injeksi lidocaine dan bicuculine.
6

Rata-rata jumlah kematian neuron hari ketujuh di hipokampus........

34

7

Perubahan hipokampus pada hari kedua dan hari ketujuh setelah

35

injeksi lidocaine..................................................................................
8

Rata-rata jumlah kematian neuron hari ketujuh di hipokampus........

36

9

Hipokampus hari ketujuh pasca injeksi lidocaine dan bicuculine ......

37

10

Kultur bone marrow mesenchymal stem cell.............................

45

11

Identifikasi mesenchymal stem cell.....................................................

46

12

Differensiasi bMSCS menjadi PNCs...................................................

47

13

Mesenchymal stem cell sebelum dilabel PKH2

48

14

Mesenchymal stem cell sesudah dilabel PKH2 in vitro dan di otak

48

tikus dilihat dengan mikroskop flourescent
15

Transplantasi bMSCs dan progenitor neuron sel setelah dikultur

53

melalui vena ekor dan intra serebral
16

Rerata jumlah neuron normal pengamatan 3 minggu di hipokampus

54

17

Rerata jumlah neuron normal pengamatan 6 minggu di hipokampus

55

18

Pemberian stem cell sistemik positif Neu N pada hipokampus

56

19

Pemberian stem cell sistemik positif Neu N pada ginjal dan limpa

57

20

Pemberian stem cell sistemik positif Neu N dan negatif pada paru-

58

paru dengan pemeriksaan imunohistokimia

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1

Hasil analisis statistik degenerasi neuron di hipokampus pada pemberian
zat kemikal dibandingkan dengan kontrol negatif….………………

73

1.1 Analisis ragam (ANOVA) pengaruh pemberian lidocaine dan bicuculine di 73
hipokampus pada hari ke-7 setelah injeksi..............................................
1.2 Analisis statistik degenerasi neuron pada hipokampus Ca1 setelah injeksi

73

bicuculine pada pengamatan minggu ke-3 dibandingkan tikus normal…
1.3 Analisis statistik degenerasi neuron pada hipokampus Ca1 setelah injeksi

73

bicuculine pada pengamatan minggu ke-6 dibandingkan tikus normal…
1.4 Analisis statistik degenerasi neuron pada hipokampus Ca3 setelah injeksi

74

bicuculine pada pengamatan minggu ke-3 dibandingkan tikus normal…
1.5 Analisis statistik degenerasi neuron pada hipokampus Ca3 setelah injeksi

74

bicuculine pada pengamatan minggu ke-6 dibandingkan tikus normal…
1.6 Analisis statistik degenerasi neuron pada hipokampus GD setelah injeksi

75

bicuculine pada pengamatan minggu ke-3 dibandingkan tikus normal…
1.7 Analisis statistik degenerasi neuron pada hipokampus GD setelah injeksi

75

bicuculine pada pengamatan minggu ke-6 dibandingkan tikus normal…
Hasil analisis statistik pengaruh pemberian MSCs terhadap neuron yang
75
normal pada hipokampus dibandingkan dengan kontrol positif dan negatif
2.1 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal 76

2

di hipokampus Ca1 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu
ke-3 pasca perlakuan ..............................................................................…
2.2 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal 76
di hipokampus Ca1 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu
ke-6 pasca perlakuan ................................................................................
2.3 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal 76
di hipokampus Ca3 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu
ke-3 pasca perlakuan ....................................................................................

xix

Halaman
2.4 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal 77
di hipokampus Ca3 setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu
ke-6 pasca perlakuan ..................................................................................
2.5 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal 77
di hipokampus GD setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke3 pasca perlakuan ..............................................................................…
2.6 Analisis statistik pengaruh pemberian bMSCs terhadap neuron yang normal 77
di hipokampus GD setelah injeksi bicuculine pada pengamatan minggu ke6 pasca perlakuan

.......................................................................................

3

Kultur primer bone marrow

.......................................................................

78

4

Identifikasi PNCs dengan marker nestin dan β aktin .................................

78

5

Pelabelan stem cell dengan PKH2

79

6

Proses pembuatan sedian histopatologi .....................................................

79

7

Proses pewarnaan hematosylin-Eosin (HE) .................................................

80

8

Proses pewarnaan Neu N secara imunohistokimia

.....................................

81

9

Keterangan kelaikan etik hewan model..........................................................

82

...........................................................

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Epilepsi merupakan gangguan neurologis kronik ditemukan pada 50 juta
penduduk dunia, dan 85% hidup di negara berkembang. Diperkirakan setiap tahun
ditemukan kasus baru sebanyak 2,4 juta orang. Rata-rata prevalensi epilepsi aktif 8,2
per 1000 penduduk dan 50% dari kasus ini terjadi pada masa anak-anak dan remaja
(WHO 2004 dan WHO 2009). Angka kejadian epilepsi di Indonesia saat ini belum
ada data yang pasti, dengan jumlah total penduduk Indonesia 222 juta (BPS 2011)
diperkirakan jumlah penyandang epilepsi yang membutuhkan pengobatan sebanyak
1,8 juta orang.
Epilepsi memberikan pengaruh cukup besar terhadap kualitas hidup
penyandang. Penyandang epilepsi harus minum obat secara teratur dalam jangka
waktu panjang,

membebani ekonomi keluarga dan adanya stigma dimasyarakat

bahwa epilepsi penyakit menular, kutukan, disertai adanya pembatasan untuk
mendapatkan pendidikan, olah raga dan pekerjaan. Penyandang epilepsi yang belum
terkontrol serangannya, sering kesulitan mendapat pasangan hidup (Mac et al. 2007).
Dari hasil survey di komunitas 40% mengatakan penyandang epilepsi tidak layak
untuk mendapatkan pendidikan atau pekerjaan dan 11% dari masyarakat menolak
anaknya berteman dengan anak yang menderita epilepsi ( Shidaran 2002).
Pemberian obat secara benar dan teratur pada penyandang epilepsi, 70 sampai
80% dari penyandang dapat hidup normal dan sembuh dengan pengobatan anti
epilepsi. Setelah 2 sampai 5 tahun keberhasilan pengobatan dan obat dihentikan lebih
kurang 70% dari penyandang epilepsi anak-anak dan 60% penyandang epilepsi
dewasa sembuh total tanpa kambuh lagi ( WHO 2009).

Sekitar 20-30%

dari

penyandang epilepsi tidak memberikan respon dengan obat epilepsi (epilepsi
intractable). Hasil penelitian pada populasi di Negara Eropa 1 dari 8 orang
penyandang epilepsi tidak terkontrol dengan pengobatan yang memadai (Picot et al.
2008). Lebih kurang 10-50% dari penyandang intractabel ini dapat membaik dengan
operasi (Shidaran 2002).

2

Di negara berkembang

60 sampai 90% dari penyandang epilepsi tidak

mendapatkan pengobatan yang maksimal dan menimbulkan konsekuensi gangguan
kognitif, psikologi dan sosial (WHO 2004 dan WHO 2009).
Epilepsi menurut ILAE 2008 dibagi atas jenis serangan, lokasi, dan gejala.
Salah satu dari klasifikasi epilepsi berdasarkan lokasi yaitu epilepsi lobus temporal.
Sebanyak 35% dari penyandang epilepsi lobus temporal menjadi epilepsi kronis dan
resisten terhadap pengobatan dengan obat anti epilepsi. Kebanyakan dari penyandang
mengalami gangguan fungsi kognitif, gangguan belajar, gangguan memori dan
depresi (Sridharan 2002). Defisit tersebut terjadi akibat sklerosis pada hipokampus.
Pada epilepsi lobus temporal dengan sklerosis temporal, alternatif pembedahan
merupakan salah satu cara untuk mengatasi serangan kejang. Namun demikian tidak
semua penyandang intractable dapat ditanggulangi dengan tindakan pembedahan dan
masih menyisakan gangguan memori dalam berbagai derajat. Adanya keterbatasan
untuk pengobatan epilepsi yang tidak membaik dengan obat anti epilepsi,
penggunaan tranplantasi stem cell dapat dipertimbangkan untuk mengaktivasi
neurogenesis endogen menggantikan neuron yang mengalami degenerasi (Schuele
dan Luders 2008) atau untuk memodulasi hipereksitasi melalui induksi interneuron
inhibisi GABA (γ-aminobutyric acid) , dan sebagai faktor neuroprotektif (Raedt dan
Boon 2005, Shetty dan Hattiangady 2007, Farin et al. 2009).
Pengetahuan tentang tidak adanya regenerasi dari jaringan otak telah dibantah
dengan ditemukannya terapi sel. Salah satu terapi sel adalah dengan menggunakan
stem cell. Meskipun masih dalam tahap penelitian, stem cell

dapat mengatasi

kerusakan otak akibat penyakit degeneratif pada hewan model dan manusia seperti
penyakit parkinson, stroke, trauma medula spinalis, dan Alzheimer (Barker et al.
2003). Saat ini sudah banyak negara di dunia yang memanfaatkan stem cell sebagai
salah satu metode pengobatan untuk penyakit-penyakit yang tidak dapat diobati
dengan pengobatan kenvensional.
Sumber stem cell dapat diambil dari stem cell embrio dan stem cell somatis
(dewasa) yang dijumpai pada berbagai jaringan tubuh. Masih ada kontroversi yang
terkait etik penggunaan stem cell yang berasal dari embrio dan kemungkinan

3

terbentuknya teratoma setelah ditranplantasi. Penggunaan stem cell dewasa atau stem
cell induksi pluripoten saat ini banyak dikembangkan dalam berbagai penelitian
pengobatan penyakit degeneratif, kanker, kelainan genetik (Raedt dan Boon 2005).
Bone marrow stroma stem cell (bMSCs) merupakan stem cell dewasa,
ditemukan pada

stromal sumsum tulang mempunyai kemampuan untuk

berdiferensiasi kedalam berbagai sel spesifik seperti: otot, kulit, hati, paru-paru, ginjal
dan neuron ketika ditranplantasikan kepada hewan dan manusia walaupun sampai
saat ini belum jelas fraksi yang mana dari bMSCs yang lebih cendrung untuk
berdiferensiasi menjadi tipe sel yang berbeda dari asalnya dalam tubuh, atau
mengalami penyatuan (assimilasi dari sel yang ditransplantasi atau menjadi
progenitor dan hidup menjadi neuron dan membentuk heterokaryon) dan atau proses
transdiferensiasi (konversi langsung begitu ditransplantasikan menjadi neuron)
(Pluchino et al. 2005). Perlu adanya kajian ilmiah untuk mempelajari kemampuan
diferensiasi dan homing bMSCs setelah ditransplantasikan ke tikus secara intravena
dan intraserebral.
Perumusan Masalah
Epilepsi merupakan gangguan neurologis kronis di otak yang dapat
menurunkan kualitas hidup penyandangnya apabila serangan kejang tidak terkontrol
dengan baik. Pengobatan rutin jangka panjang dan adanya stigma di masyarakat
epilepsi merupakan penyakit akibat gangguan jiwa, keturunan, menular ditambah
dengan adanya pembatasan dalam bidang pendidikan, olah raga dan pekerjaan serta
kesulitan untuk mendapatkan pasangan hidup menimbulkan permasalahan yang besar
bagi penyandang epilepsi.
Epilepsi intractable adalah epilepsi yang sulit dikontrol bangkitan kejang
dengan pengobatan anti epilepsi. Kelainan patologi di otak tergantung dari etiologi
dan patofisiologi penyebab kejang. Epilepsi dengan kejang umum faktor genetik yang
paling sering mendasari etiologinya akibat gangguan mutasi ion channel atau
gangguan migrasi neuronal. Bentuk epilepsi ini membutuhkan pengobatan dengan

4

target yang luas di sistim saraf. Epilepsi parsial paling sering terjadi setelah cidera
fokal di otak. Epilepsi parsial sering melibatkan lobus temporal dan hipokampus
(Naegele et al. 2010). Pengobatan dengan obat anti epilepsi sering gagal mengontrol
kejang dan hanya dalam jumlah sedikit dari penyandang epilepsi ini dapat dilakukan
intervensi bedah untuk membuang fokus kejang. Disamping membutuhkan biaya
yang tinggi, dengan fokus kejang dikedua lokasi hipokampus tindakan operasi tidak
mungkin dilakukan karena akan menggangu kemampuan memori dan tidak semua
serangan dapat dikontrol dengan operasi, sehingga terapi alternatif dengan
menggunakan stem cell dapat dipakai untuk memperbaiki sel-sel neuron yang
mengalami degenerasi .
Penggunaan stem cell untuk diaplikasikan kepada manusia sampai saat ini
masih diteliti keberhasilan dan efek samping jangka panjang. Para peneliti masih
mencari metode pemberian yang terbaik dengan hasil yang maksimal. Pemberian
embrionik stem cell melalui intraserebral yang dilakukan Li et al. 2007 membuktikan
keberhasilan stem cell dalam mencegah terjadinya kindling (adanya fokus kejang
kecil-kecil yang timbul akibat serangan kejang berulang) epileptogenesis pada tikus.
Aktivitas kejang ditekan hampir sempurna selama 4 hari pada tikus model kindling
setelah transplantasi sel penghasil adenosine ke dalam ventrikel (Huber et al. 2001).
Efek proteksi ini secara bermakna menghilang setelah 3 minggu. Penelitian Chu et al.
2004 menunjukan transplantasi neural stem cell manusia intravena kepada tikus
setelah diinduksi kejang status epileptikus dengan pilocarpine terjadi penurunan
kejang spontan berulang dari 28 sampai 35 hari setelah status epileptikus.
Penelitian ini akan mencoba menyelesaikan masalah tersebut dengan
pembuatan hewan model epilepsi dan stem cell dari kultur bone marrow (bMSCs)
dan progenitor neural cell yang ditransplantasikan melalui pendekatan pemberian
intravena dibandingkan dengan pemberian intraserebral yang lebih invasif.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan terapi alternatif
pengganti operasi pada epilepsi intractable.

5

Secara rinci tujuan khusus adalah:
1. Untuk membandingkan pemberian zat kimiawi lidocaine dengan bicuculine dalam
menginduksi kejang dan menimbulkan kerusakan hipokampus hewan model
epilepsi.
2. Untuk membandingkan pengaruh pemberian intravena dengan intraserebral
bMSCs dan progenitor neural cell.
3. Untuk mendapatkan terapi stem cell yang terbaik dan tidak menimbulkan
penolakan pada resipien dalam mengatasi kerusakan otak dengan menggunakan
stem cell dari bMSCs allogenik yang diberikan intravena dosis berulang
dibandingkan dengan pemberian satu kali dosis tinggi.
4. Untuk membandingkan proses perbaikan hipokampus dengan pemberian bMSCs
yang tidak diferensiasi dan progenitor neural stem cell dalam mengatasi kerusakan
di hipokampus.

Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Bone marrow mesenchymal stem cell dapat memperbaiki kerusakan hipokampus
akibat induksi kejang dengan zat kimiawi.
2. Pemberian bMSCs melalui intravena hasilnya tidak berbeda dengan pemberian
intraserebral dalam mengatasi kerusakan di hipokampus.
3. Tranplantasi bMSCs dosis rendah berulang hasilnya lebih baik dalam mengatasi
kerusakan hipokampus dibandingkan pemberian satu kali dosis tinggi.
4. Bone marrow mesenchymal stem cell yang tidak berdiferensiasi dalam mengatasi
kerusakan

di hipokampus tidak berbeda hasilnya dibandingkan progenitor

neural stem cell.
Manfaat Penelitian
Hasil akhir penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengatasi
penyakit epilepsi terutama epilepsi
kualitas hidup penyandang.

intractable, sehingga dapat meningkatkan

Alur penelitian
Penelitian ini dibagi 3 tahap seperti yang tercantum pada Gambar 1

Aklimasi hewan model tikus Spraque
Dawlley usia 2 bulan, berat badan 200-400 gr

In Vivo :Hewan model epilepsi injeksi intraperitoneal bicuculine 8mg/kgbb,
lidocaine 90mg/kgbb Dikorbankan 24 jam, hari ke-3 & ke-7 pasca injeksi

Pengamatan klinis kejang,
Histopatologi daerah hipokampus
(pewarnaan HE)

Induksi bMSCs menjadi PNCs
Identifikasi PNCs nestin, β aktin

Aspirasi bone marrow tikus
Kultur bMSCs, identifikasi marker MSCs
CD44,CD45,CD105

Tikus sehat
(K1)

Injeksi intravena
bMSCs 3x2x105
(M1)

In Vitro : Kultur jaringan otak tikus
diberi Bicuculine 10 µgr

Injeksi intravena
bMSCs 1x5x106
(M2)

Injeksi
intraserebral
PNCs 1x2x105
(M4)

Injeksi
intravena
PNCs 1x2x105
(M3)

Tikus model
epilepsi (K2)

Histopatologi daerah hipokampus (pewarnaan HE)
Pemeriksaan imunohistokimia Neu N

Gambar 1 Alur penelitian

6

TINJAUAN PUSTAKA

Epilepsi termasuk gangguan neurologis kronis yang cukup serius dengan
jumlah penydanang di seluruh dunia mencapai hampir 50 juta penduduk (Sander,
2003). Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa 70% sampai 80% dari penderita
epilepsi sembuh dengan pengobatan dan sisanya masih menderita kejang dan resisten
terhadap pengobatan yang ada saat ini (Kwan dan Sander, 2004). Faktor resiko yang
paling sering menjadi penyebab epilepsi adalah penyakit pembuluh darah otak, tumor
otak, cedera kepala, kelainan perkembangan kortikal, kelainan genetik, dan infeksi
otak (Hesdorffer 2008).
Definisi Epilepsi
Epilepsi didefinisikan (ILAE 2005) sebagai suatu keadaan di mana terjadi
lebih dua kali bangkitan epileptik, dengan interval lebih dari 24 jam tanpa
diprovokasi yang menyebabkan terjadinya perubahan di otak dan meningkatkan
kecenderungan terjadinya serangan selanjutnya dan berhubungan dengan gangguan
neurobiologi, kognitif, psikologis dan konsekuensi sosial ( Fisher RS et al. 2005).
Klasifikasi Kejang
Berdasarkan sumber aktivitas listrik dan penyebarannya, kejang epilepsi
terdiri dari kejang parsial dan kejang umum. Kejang parsial adalah kejang yang
prosesnya diawali oleh aktivitas listrik abnormal di suatu area fokal otak sehingga
manifestasi klinisnya berupa gangguan fungsi otak sesuai fungsi area otak tersebut.
Aktivitas listrik fokal tersebut dapat menyebar ke area otak lainnya secara sinaptik
dan nonsinaptik, meluas ke area kortikal lainnya atau subkortikal melalui komisura
sehingga pada akhirnya dapat menimbulkan kejang umum. Aktivitas listrik yang
menimbulkan kejang umum primer berasal dari kedua hemisfer dan melibatkan
thalamus secara resiprokal (Najm et al. 2006).

8

NEUROFISIOLOGI EPILEPSI
Epilepsi adalah kelainan yang ditdanai dengan kejang berulang yang
disebabkan aktivitas listrik otak abnormal. Ketidakseimbangan antara aktivitas
eksitasi dan inhibisi merupakan konsep dasar aktivitas listrik abnormal pada kejang.
Aktivitas listrik tersebut merupakan hasil proses biokimiawi pada tingkat sel dalam
jaringan neuron yang luas dan melibatkan struktur kortikal dan subkortikal. Keluaran
proses tersebut dapat direkam pada elektroensefalografi. Komponen yang penting
dalam proses tersebut adalah hipereksibilitas dan hipersinkronisitas (Rho dan
Stafstrom 2006).

Elektrofisiologi Selular
Hipokampus
Hipokampus merupakan area otak yang paling banyak diteliti dalam studi
elektrofisiologi terkait epilepsi. Hipokampus terdiri dari girus dentatus, hipokampus
proper (Ammon’s horn dengan subarea Ca1, Ca2, dan Ca3), subikulum, dan korteks
entorinal. Keempat area ini saling berhubungan melalui koneksi eksitatorik
anterograde unidireksional yang besar. Namun demikian, terdapat beberapa proyeksi
retrograde, yaitu dari korteks entorinal ke ammon’s horn dan dari Ca3 ke girus
dentatus. Sirkuit trisinaptik yang dominan adalah sirkuit yang bermula dari neuron
lapis kedua pada kortek entorinal dan aksonnya bersinaps dengan girus dentatus
melalui jalur perforantes yang bersinaps dengan sel granul dan interneuron (Jones
2006).
Sel granul, yang merupakan neuron utama girus dentatus, mengirimkan
aksonnya untuk bersinaps di hilus dan ammon’s horn area Ca3. Sel pyramidal Ca3
mengirimkan aksonnya ke sel pyramidal Ca3 lainnya (melalui kolateral lokal), ke
ammon’s horn area Ca1 (melalui kolateral Schaffer), dan ke hipokampus
kontralateral. Sel pyramidal Ca1 mengirimkan aksonnya ke kompleks subikular dan
diteruskan ke korteks entorinal, struktur kortikal serta subkortikal lainnya (Najm et
al. 2006; Rho dan Stafstrom 2006).

9

Kanal Ion
Ada dua tipe kanal ion yang berkaitan dengan proses eksitasi dan inhibisi,
yaitu voltage-gated ion channels dan ligdan-gated ion channels. Kanal ion tipe
pertama adalah (1) kanal Na dan Ca aktivasi voltasenya akan mendepolarisasi
membran sel ke arah ambang batas potensial; dan (2) kanal K yang berfungsi untuk
mengimbangi eksitasi neuron. Kanal ion tersebut diaktivasi melalui perubahan
potensial membran dan kemudian merubah konformasi kanal ion sehingga dapat
dilewati oleh substratnya. Ligdan-gated receptors, seperti reseptor glutamate dan
GABA, merupakan tipe kanal ion kedua, yang aktivasinya dimediasi melalui
pengikatan ligan sehingga terjadi perubahan konformasi. Perubahan konformasi ion
tersebut mengubah permeabilitas kanal terhadap substratnya. Aliran ion tersebut
dapat menghasilkan depolarisasi atau hiperpolarisasi (Rho danStafstrom 2006).

Konduktansi Voltage-Dependent Membrane
Kanal ion Na terdiri dari tiga subunit polipeptida, yaitu subunit alfa dan dua
subunit beta yang mempengaruhi kemampuan kinetik subunit alfa. Influx Na
menyebabkan depolarisasi awal dan influx Na selanjutnya yang persisten menambah
depolarisasi. Selain itu, neuron juga memiliki kanal ion Ca. Daerah hipokampus, sel
pyramidal di Ca3 merupakan neuron dengan aliran Ca yang paling signifikan.
Aktivasi kanal ion Ca menyebabkan depolarisasi yang pada akhirnya mempengaruhi
pelepasan neurotransmiter, ekspresi gen, dan pola aktivitas listrik neuron. Struktur
molekul kanal ion Ca serupa dengan kanal ion Na. Kanal ion Ca merupakan
kompleks hetero-oligomerik yang terdiri dari subunit alfa sebagai penyusun pori, dan
subunit yang lebih kecil (α2, β, ɣ , ) yang memodulasi kemampuan kinetik kanal

(Jones 2006).

Konduktansi yang Menyebabkan Hiperpolarisasi
Kanal ion K mampu mengimbangi aktivitas depolarisasi dengan
menyebabkan hiperpolarisasi. Kanal ion K terdiri dari empat subunit α di membran
sel dan empat subunit β sebagai regulator. Pada neuron hipokampus, konduktansi K

10

merupakan determinan mayor potensial istirahat membran (Rho dan Stafstrom,
2006).

Transmisi Sinaptik Inhibitorik
Inhibisi sinaptik di hipokampus dimediasi melalui dua sirkuit. Sirkuit
pertama adalah umpan balik atau inhibisi berulang ketika neuron eksitatorik bersinaps
dengan neuron interneuron inhibitorik yang kemudian memproyeksikan kembali
sinyal inhibitorik ke neuron eksitatorik. Sirkuit kedua adalah inhibisi anterograde
yang terjadi ketika akson diproyeksikan pada area sinaps dan secara langsung
mengaktifkan interneuron inhibitorik yang kemudian menginhibisi neuron eksitatorik.
Neurotransmiter yang memediasi proses ini adalah GABA.
GABA adalah asam amino netral yang disintesis dari asam glutamate oleh
enzim asam glutamate dekarboksilase. GABA berikatan dengan dua tipe reseptor,
yaitu reseptor GABAa dan GABAb yang ditemukan pada hamper neuron kortikal.
Reseptor GABAa merupakan makromolekul yang terdiri dari pori ion dan situs ikatan
untuk agonisnya dan berbagai substrat alosterik, misalnya benzodiazepine dan
barbiturate yang secara berbeda mempengaruhi kinetik reseptor. Reseptor ini
merupakan kompleks heteropentamerik yang terdiri dari polipeptida (subunit α, β, ɣ ,
, , π, ρ) yang menyusun kanal ion. Kanal tersebut permeable terhadap ion klorida

dan bikarbonat. Aktivasi reseptor GABAa menyebabkan influx Cl- sehingga terjadi
hiperpolarisasi ( Rho dan Stafstrom 2006 ).
.Selain itu, terdapat pula reseptor GABAb yang merupakan reseptor
metabotropik yang terletak di membrane pascasinaps dan terminal presinaps.
Mekanisme kerja reseptor GABAb dimediasi melalui GTP-binding protein yang
mengontrol konduktansi Ca dan K. Reseptor GABAa menggenerasi potensial
pascasinaps inhibitorik yang cepat dan berkonduktansi tinggi, sedangkan reseptor
GABAb memediasi potensial pascasinaps inhibitorik yang lambat, berdurasi lebih
lama, dan dengan konduktansi rendah. Aktivasi reseptor GABAb memblok pelepasan
vesikel neurotransmiter GABA di akson terminal yang seharusnya berikatan dengan

11

reseptor GABAa di membrane pascasinaps sehingga menyebabkan disinhibisi
( Sharma et al. 2007)

Transmisi Sinaptik Eksitatorik
Glutamat merupakan neurotransmiter eksitatorik utama. Jalur yang
dimediasi glutamate tersebar di berbagai area otak dan berperan dalam perkembangan
otak yang normal dan plastisitas sinaps. Reseptor glutamate ionotropik terdiri dari
reseptor NMDA(N-methyl-D-aspartate) dan non-NMDA. Reseptor NMDA terdiri
dari situs ikatan glutamate dan modulator lainnya (glisin, poliamin, MK-801, dan
lain-lain). Reseptor NMDA juga mendemonstrasikan blokade yang difasilitasi voltase
oleh ion Mg. Ketika membrane terdepolarisasi dan blokade Mg terhadap reseptor
NMDA tersupresi, aktivasi reseptor NMDA menyebabkan influx Ca dan Na. Influx
Ca esensial dalam kaskade aktivasi berbagai enzim kinase yang pada akhirnya
mengamplifikasi transduksi sinyal dan regulasi transkripsi. Aktivasi reseptor NMDA
menggenerasi potensial pascasinaps yang lambat dan berdurasi lama. Fenomena
sinaptik tersebut berkontribusi pada cetusan epileptiform, dan blokade reseptor
NMDA berperan dalam atenuasi aktivitas

epileptiform

pada berbagai model

(Sharma et al. 2007).
Reseptor non-NMDA terdiri dari reseptor AMPA (α-amino-3-hydroxy-5methyl-4-isoxazole propionic acid) dan kainat. Reseptor AMPA berperan dalam
generasi potensial pascasinaps yang cepat dan berdurasi pendek. Depolarisasi yang
disebabkan aktivasi AMPA mempengaruhi aktivasi reseptor NMDA secara efektif.
Reseptor metabotropik glutamate merepresentasikan family reseptor yang dimediasi
protein G yang mengaktivasi berbagai jalur transduksi, yaitu hidrolisis fosfoinositol
dan aktivasi adenilat siklase serta fosfolipase C-D. Reseptor tersebut merupakan
modulator penting kanal ion K dan Ca, aliran kation nonselektif, reseptor yang
dimediasi ligan (reseptor GABA dan glutamate), dan regulasi pelepasan glutamat
(Najm et al. 2006, Sharma et al. 2007).

12

Cetusan Listrik Neuron yang Abnormal
Pada situasi normal, potensial aksi yang digenerasi oleh suatu neuron akan
menyebar ke neuron di dekatnya melalui mekanisme sinaptik atau efatik (potensial
elektrik) termasuk ke neuron yang bersifat eksitatorik dan inhibitorik. Keseimbangan
antara proses eksitasi dan inhibisi merupakan kunci