Kajian fenomena kemasiran buah apel (Malus sylvestris Mill) kultivar ‘Rome Beauty’
I, PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
I s t i l a h m a s i r s u d a h s a n g a t lama d i p e r g u n a k a n
guna
menyatakan s i f a t o r g a n o l e p t i k u n t u k t e k s t u r yang d i r a s a k a n
o l e h m u l u t s e p e r t i adanya b u t i r a n
"pasirn.
tersebut dikenal
u n t u k buah s a l a k .
telah
digunakan
Tekstur lnasir
Namun
s e b e n a r n y a i s t i l a h m a s i r t e r s e b u t mempunyai c a k u p a n y a n g
luas,
karena dipergunakan o l e h beberapa komoditas l a i n n y a ,
m i s a l buah a p e l , buah sawo, k e n t a n g r e b u s , u b i j a l a r r e b u s ,
s i n g k o n g r e b u s dan bahkan pada
k e a d a a n menyimpang d a r i
makanan l a i n , m i s a l n y a es k r i m , s u s u k e n t a l manis d a n madu.
I s t i l a h masir mempunyai kesepadanan yang cukup banyak
dalam
bahasa-bahasa
daerah
di
Indonesia,
yang
t e r s e b u t d i g u n a k a n t e r g a n t u n g pada komoditasnya.
istilah
Pada u b i
j a l a r a t a u singkong r e b u s s e l a i n d i s e b u t m a s i r juga d i s e b u t
dengan i s t i l a h
"mempur".
Selain
i t u dimasyarakat
istilah
mempur pada u b i j a l a r t e r s e b u t juga d i s e b u t "ngendogtt ( J a w a ) .
Sedangkan masir pada
buah
salak
ada
buahnya t e l a h "kopyoret ( S u n a r j o n o ,
yang menyebut
daging
1 9 8 7 ) , yang d i m a s y a r a k a t
pada umumnya menggunakan i s t i l a h "kopyorW u n t u k buah k e l a p a .
Pada
umbi k e n t a n g r e b u s yang m a s i r d i s e b u t dengan
"berpatiw
(Sunarjono,
1975)
dan
istilah
umenepunglt u n t u k
buah
a p e 1 yang m a s i r ( D a n u s a s t r o , 1 9 7 5 ) .
Tekstur
masir
berkaitan
dengan
s e h i n g g a b e r p e n g a r u h t e r h a d a p mutu.
selera
konsumen,
Pengaruh m a s i r t e r s e b u t
dapat positif dan dapat negatif tergantung pada komoditasnya.
Buah salak, ubi jalar rebus, singkong rebus maupun kentang
rebus yang masir pada umumnya disukai oleh konsumen.
Namun
untuk buah apel yang masir pada umumnya tidak disukai oleh
konsumen. Pada es krim, susu kental manis dan madu dianggap
sudah menyimpang teksturnya atau rusak.
Buah
salak
masir
diasosiasikan buah tua dan
sudah sangat berkurang.
disukai
oleh
konsumen
karena
berkaitan dengan rasa sepet yang
Sedangkan pada umbi:umbian
rebus
yang masir disukai oleh karena tekstur yang tidak keras.
Namun untuk buah apel tekstur masir tidak disukai, sedangkan
yang disukai oleh konsumen adalah buah apel yang mempunyai
tektur renyah, yaitu sifat keras yang mudah pecah, berair dan
segar ( juicy) .
Kemasiran erat kaitannya dengan cara penanganan segar
maupun dengan cara
pengolahan.
Namun ha1 ini tampaknya di
masyarakat belum sepenuhnya disadari sebab ada beberapa ha1
yang dalam penanganan dan pengolahan tidak dipertimbangakan
tingkat kemasiran komoditas tersebut.
Pada ubi-ubian yang
direbus pada umumnya senang yang masir, tetapi untuk ubiubian
yang digoreng atau dimasak
mempertimbangkan tingkat kemasirannya.
lainnya belum
jelas
Untuk kentang telah
diketahui bahwa kentang yang digoreng sebaiknya jenis yang
masir, sedangkan untuk yang dikalengkan digunakan kentang
yang tidak masir atau tingkat kemasiran rendah.
pula
Demikian
pada buah salak maupun apel, tingkat kemasiran sangat
berperan
dalam
pengolahannya.
menentukan
cara
penanganan
maupun
Buah sHlak yang masir harus segera dipasarkan dan tidak
baik untuk dikalengkan.
Sedang pada buah apel yang masir
sudah tidak menguntungkan untuk dipasarkan dan tidak baik
pula untuk diolah menjadi sari buah.
Oleh karena masir pada buah apel sangat menurunkan mutu,
maka kemasiran pada buah apel dapat menjadi pembatas dalam
pengembangan pemasaran.
Buah apel yang masir bila dijual
harganya rendah, sehingga dapat merugikan secara ekonomi.
Buah apel "Rome Beautyw yang merupakan kultivar paling
banyak ditanam di Indonesia, yaitu lebih dari 70 O dari
seluruh jumlah tanaman apel, bila dipetik terlalu tua akan
cepat menjadi masir. Harga buah apel dalam keadaan demikian
dapat turun harganya sampai 25 % dari harga buah yang belum
masir.
Dengan demikian bila petani mempunyai tanaman apel
"Rome Beauty1* umur 8 tahun dengan produktivitas 13.712
kg/ha/th (Wahjudi, 1980) dan harga apel normal Rp. 1.000,-/kg,
maka kerugian akibat pemanenan yang terlalu tua tersebut
mencapai 25 % X Rp.1.000,- X 13.712 = ~p.3.428.000,-/ha/th.
Informasi mengenai kemasiran pada kentang sudah banyak
diketahui, namun
untuk buah-buahan termasuk buah apel
informasi mengenai kemasiran dirasa masih sedikit atau belum
banyak dikaji.
Kemasiran pada kentang telah diketahui
berkaitan dengan kultivar, umur panen, perubahan kimia dan
proses
fisiologis.
Kemasiran pada buah apel juga telah diketahui, yaitu
dipengaruhi oleh kultivar dan umur panen.
Beberapa kulitvar
yang mudah masir adalah nRhode Island Greening", wMcIntosh",
"GoldenN, "MutsuU, "Golden Deliciousm, Idaredw dan "Cox's
Orange Pippins* f Smock, 1977) .
Sedangkan buah apel nRome
Beautyw ternyata lebih cepat masir dari pada "Redspur",
"Miller Spurw, nGolden Deliciousw maupun NYork Imperial"
,
(Watada, Abbott dan Hardenburg, 1980).
Buah apel yang dipetik semakin tua semakin cepat masir
dalam penyimpanan sudah banyak yang melaporkan (Anonymous,
.
1963, Tindale, 1966, Kusumo, 1974 dan Suhardjo, 1985)
Buah
apel "Rome Beautyw umur panen 134 hari menjadi masir setelah
disimpan suhu ruang selama 28 hari.
Sedangkan umur panen 120
hari baru mengalami masir setelah disimpan selama 35 hari
(Suhardjo, 1985).
Mengapa ada kultivar yang lebih mudah
masir dibanding dengan lainnya belum ada
laporan yang
menjelaskannya. Hanya telah dilaporkan bahwa terjadinya masir
karena adanya degradasi pektin tidak mudah
larut menjadi
mudah larut.
Deskripsi secara mendasar dari kemasiran buah apel belum
pernah dilaporkan.
Selain itu belum banyak laporan mengenai
hubungan analitik antara kemasiran dengan sifat mutu buah
apel lainnya.
B. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mendeskripsikan secara mendasar
fenomena kemasiran pada
buah apel secara visual, kimia, fisik dan
mikroskopis.
2. Mempelajari perkembangan pembentukan kemasiran pada buah
apel .
4
3. Mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi dan berperan
dalam kemasiran buah apel.
4. Mempelajari pengaruh kemasiran buah apel terhadap sifat
mutu buah.
C.
KEGUNZIAN XASIL PENELPTIAN
Hasil penelitian yang diperoleh mequnyai kegunaan :
1. Menyediakan data
dasar dan pengenalan lebih mendalam
mengenai fenomena
kemasiran secara umum dan khususnya
yang terjadi pada buah ape1 untuk penelitian aplikasi
lebih lanjut.
2. Menjadi bahan
dalam
pertirnbangan bagi pemuliaan tanaman ape1
mencari dan mengembangkan kultivar yang diinginkan.
3. Memberikan data teknis dalam mengembangkan cara-cara
penanganan segar buah ape1
selama pemasaran dan
penyimpanan.
4. Memberikan data teknis dalam menentukan batas penerimaan
konsumen
praktis.
berdasar
sifat
kemasirannya secara cepat dan
A.
PENGf3RTIAN MASIR
Istilah masir yang berpadanan dengan istilah Bahasa Jawa
"medhialberasal dari kata '#wedhimatau pasir. Istilah %asirW
sudah
masuk
ke dalam
istilah
Bahasa
~ n d o n e s i a , yang
digunakan untuk buah salak, yang berarti mempunyai rasa
seperti berpasir (Purwadarminto, 1976). Masir sebenarnya
menyatakan
tekstur makanan yang dirasakan oleh mulut
khususnya yang berhubungan dengan kesan berbutir-butir
seperti berpasir.
Penyebab terjadinya tekstur masir dapat berbeda
tergantung pada komoditas atau jenis makanannya (Arthey,
1975, Potter, 1980 dan Kramer dan Twigg, 1984 ) . Kemasiran
yang terjadi pada komoditas hasil pertanian yang sudah lama
dan banyak diteliti adalah kemasiran pada umbi kentang
(Barmore, 1937 dan Anonymous, 1973). Sedangkan pada komoditas
buah-buahan, penelitian tentang kemasiran belum sebanyak umbi
kentang, sehingga terbatas sekali informasi mengenai struktur
dan penyebab kemasiran serta mengapa buah ape1 yang berbeda
kultivar berbeda pula kemasirannya.
1. Istilah masir
Istilah masir mungkin sekali telah lama dikenal di
Indonesia. Ochse
(1927) telah
rnendeskripsikan tenbang
kemasiran terhadap buah salak yang dikaitkan dengan sifat-
sifatnya yang disukai oleh konsumen. Istilah masir tersebut
kemudian
ternyata
juga
dipergunakan
untuk
ubi
jalar
(Soemartono, 1984) dan buah apel (Kusumo, 1974).
Istilah Indonesia yang tnenyatakan tekstur yang artinya
sama dengan masir ada beberapa macam, yang berbeda menurut
komoditas atau penulisnya . Buah salak tnasir ternyata juga
daging buahnya disebut
"kopyorW (Sunarjono, 1987).
kemungkinan daging buah salak yang masir
penulisnya
dianggap seperti apa
yang
Ada
tersebut oleh
terjadi pada
kelapa
flkopyorn, yaitu daging buahnya sudah hancur. Sedangkan pada
ubi jalar rebus masir disebut pula dengan istilah naaeatpurt'
(Soemartono, 1984) dan buah ape1 disebut dengan "menepungn
(Danusastro, 1975). Istilah nmenepungw ini adalah merupakan
terjemahan dari "mealyw yang banyak dipergunakan di h e r i k a
Serikat, Australia, Kanada, dan negara lain untuk buah apel
yang mempunyai tekstur masir (Smock, 1977).
Di Amerika Serikat ada istilah lain yang dipergunakan
untuk menyatakan tekstur yang mirip dengan *'mealyn pada buah
apel, yaitu dengan sebutan "flouryw ( ~ i l l i a m s dan Carter,
1977). Dernikian pula istilah "mealy** pada umbi kentang rebus
juga sering disebut dengan istilah
wflourym* d i Amerika
Serikat (Linehan dan Hughes, 1969a).
Pada umbi kentang rebus, di Indonesia pada umumnya
menggunakan .istifah "mempurl@ seperti
pada
ubi
jalar
atau
singkong rebus, yang artinya sama dengan *@mealyw. Namun ada .
pula yang menterjemahkan **mealyMdengan istilah lain, yaitu
dengan istilah "berpati" (Sunarjono, 1975).
Dalam
Bahasa
Inggris
ada
beberapa
istilah
untuk
menyatakan tekstur yang dirasakan oleh mulut seperti adanya
berpasir (masir) pada beberapa makanan. Istilah tersebut
antara
lain adalah
"gritty" untuk buah pear dan es krim
(Abbott, 1972, Brandt, Skinner dan Coleman,
1963,
Potter,
1980, Kramer dan Twigg, 1984 dan Potter, 1980). Sementara itu
Potter (1980) menggunakan istilah "grainyn dan "sandym untuk
es kr im.
Dengan
Indonesia
demikian
untuk
ada beberapa
menyebut
masir,
istilah dalam
yaitu
dengan
Bahasa
istilah
"kopyorn, "mempurW, "menepungqqdan "berpatitl,yang tergantung
pada
komoditas atau penulis yang melapurkannya.
Sedangkan
dalam Bahasa Inggris untuk menyatakan tekstur masir dengan
istilah-istilah nmealytaatau "flourym, "grainyw, Wgrittyn dan
qqsandyw. Istilah masir
antara
ini dalam Bahasa
"sandyqa, "gritty"
dan
Inggris dibedakan
"grainyw, berdasarkan ukuran
partikel yang memberi tekstur masir tersebut (Abbott, 1972
dan Brandt et al., 1963). Ukuran partikel untuk qqsandya*
lebih
besar dari pada "grittyw dan "gritty" lebih besar dari pada
"grainyw.
Arthey (1975) membedakan antara "mealyw dan grittyaqpada
penyebab terjadinya tekstur masir. Bila pada tgmealyqq
tekstur
masir disebabkan oleh terdeteksinya butiran pati oleh mulut,
sedangkan pada
Itgrittyqa oleh adanya benda asing
sel
yang
keras
qapasiraltermasuk
adanya
Pernyataan Arthey
(1975) di atas sesuai dengan apa yang
dinyatakan oleh Jowwett ( 1974) dalam
(stone
seperti
Piggot
cell).
(1984) yang
menyatakan h h w a
"mealyw dan "grittyt* adalah tekstur yang
berhubungan dengan struktur bahan yang menyatakan beda ukuran
dan bentuk partikel.
Sedangkan menurut Kramer dan ~ w i g g
(1984), tekstur Wmealyot adalah sifat organoleptik yang
dirasakan oleh mulut selain penutupan pati, adalah bahan lain
yang bersifat adesif sehingga juga dapat menutupi permukaan
lidah.
Szczesniak (1963) membagi tekstur makanan yang dirasakan
mulut dalam 3 kelas, yaitu sifat mekanik, sifat geometrik dan
sifat lainnya. "Grittyw termasuk dalam sifat geometrik yang
berhubungan
dengan
ukuran,
bentuk
dan
orientasi
dari
partikel. Sedangkan "mealyN termasuk dalam sifat mekanik yang
berhubungan dengan reaksi wakanan dengan tekanan.
2. Deskripsi masir
Deskripsi masir ada beberapa macam tergantung pada
komoditas atau cara pengujian yang dilakukan oleh para
penulis.
Pada
buah
salak,
masir
yang mengandung butiran-butiran
dikupas dagingnya sedikit
digambarkan
seperti
sebagai buah
kristal dan bila
melekat pada bijinya
(sunarjono,
1987). Buah ape1 masir biasanya disertai buah yang
lunak,
kering, seperti berpasir dan sudah tidak segar lagi (Kusumo,
1974). Sedangkan pada ubi jalar masir bila direbus daging
buahnya
kering dan tidak
lembek
(Soemartono,
1984) , sama
dengan apa yang dikatakan oleh Edmond dan Ammerman
terhadap ubi jalar "mealy". Pada umbi
9
(1971)
kentang masir dapat
.
diketahui bila direbus, yaitu akan terjadi pecah-pecah atau
merekah (Sunarjono, 1975) seperti juga apa yang
dikatakan
oleh Linehan dan Hughes (1969a).
Berbeda dengan deskripsi buah apel aasir yang diberikan
oleh orang Indonesia, penulis Barat (Schoorl dan Holt, 1983)
menyatakan bahwa buah
terlebih dahulu hancur
apel masir adalah bila dimakan
di gigi waktu digigit dan tidak ada
pecahan yang bersih dari jaringan. Adapun penulis Barat yang
lain (Anonymous, 1963) menyatakan bahwa buah apel masir
adalah buah apel yang lunak, kering rapuh atau mudah pecah
dan tidak
'*juicym.
Demikian pula pada umbi kentang rebus yang masir ada
beberapa macam untuk mendeskripsikannya. Ridly dan Lindsay
(1984) menyatakan bahwa umbi kentang rebus yang masir adalah
umbi kentang yang kering dan rapuh dan bila dimakan mudah
hancur. Sedangkan Burton (1966) menyatakan bahwa umbi kentang
rebus yang masir adalah umbi kentang yang kering, rapuh dan
mudah dirusak dengan garpu.
3. Penyebab kemasiran
Berdasarkan pengertian masir di muka, maka penyebab
kemasiran pada dasarnya yaitu adanya butiran pada makanan
tersebut yang dirasakan oleh mulut. Namun butiran yang
terdeteksi ada bermacam-macam tergantung pada komoditasnya.
Butiran-butiran penyebab terbentuknya tekstur masir tersebut
antara lain seperti pati, butiran dan butir kristal gula.
Penyebab utama tekatur masir pada umbi kentang rebus
adalah kadar pati, dimana kadar pati makin tinggi kemasiran
akan semakin tinggi (8armore, 1937, Bettleheim dan sterling,
1955a dan
Smith, 1977). Kadar pati yang tinggi akan
menyebabkan sel umbi kentang dalam perebusan akan terpisah
dengan memberikan tekstur masir. Masalah pemisahan sel pada
umbi kentang rebus akan dijelaskan dalam bab histologi masir.
Kemasiran pada umbi kentang
terjadi bila dilakukan
perebusan atau pemasakan. Butiran pati yang menyebabkan
kernasiran tersebut berupa pati yang telah tergelatinasi, yang
menyebabkan sel-sel umbi kentang rebus terpisah (Nonaka,
1980)
membentuk butiran-butiran yang dapat dirasakan oleh
mulut seperti berpasir.
Butiran
Tejadinya tekstur masir pada 'buah salak adalah akibat
adanya
butiran-butiran seperti kristal yang terasa di mulut
(Soenarjono,
Namun
1987).
belum
ada
penelitian
yang
mengidentifikasi butiran tersebut.
Tekstur masir pada buah ape1 juga disebabjcan adanya
seperti butiran yang terasa di mulut (Kusumo, 1974). Walaupun
tidak
disebutkan
apa
butiran
tersebut,
dilaporkan oleh Reeve dan Leinbach (1953),
tetapi
bahwa tekstur
masir tersebut terjadi akibat lemahnya ikatan antar
11
telah
sel yang
disebabkan oleh terjadinya dekomposisi pektin pada dinding
sel dan lamela tengah (Janick, et al., 1981). Ada kemungkinan
akibat ikatan sel yang lemah tersebut menyebabkan jaringan
buah
sewaktu dimakan
kemungkinan pecah-pecah
terasa
lunak dan
yang
kemudian
pembentuk butiran-butiran yang
terasa di mulut seperti berpasir.
Berbeda dengan umbi kentang, buah
apel mengalami
kemasiran setelah dipetik dan disimpan cukup lama. Sentakin
lama penyimpanan tingkat kemasiran semakin tinggi dan semakin
tua umur panen
buah apel semakin cepat menjadi masir
(Tindale, 1966, Finney, 1971, Kusumo, 1974, Gorin
1975, Dhanaraj, Ananthakrishna
et al.,
dan Govindarajan, 1980 dan
Suhardjo, 1985) .
Pada buah salak, kemasiran terjadi bila buah dipetik
sangat
tua
atau sudah lewat matang (Ochse, 1927, Tohir,
1970 dan Sunarjono, 1987). Namun ternyata ada beberapa
kultivar buah salak yang walaupun dipetik sangat tua atau
lewat matang tidak dapat masir, misalnya
salak "Balin dan
salak daging buah merah dari Sumatra Utara (Sunarjono, 1987).
Mengapa ada buah salak yang dapat masir dan tidak dapat masir
belum ada penulis yang melaporkannya.
Rristal gula
~eksturmasir yang disebabkan oleh kristal gula terjadi
misalnya pada es krim. Kristal gula yang terbentuk pada es
krim disebabkan oleh kesalahan dalam pengolahannya. Gula yang
membentuk kristal pada es krim tersebut adalah laktosa dan
terbentuk kristal akibat konsentrasi laktosa yang berlebihan
(Potter, 1980) .
Terjadinya
tekstur masir pada es krim berbeda dengan
buah apel atau umbi kentang. Pada es krigl terbentuknya
tekstur masir karena kesalahan dalam pengolahan, buah apel
setelah pemetikan, buah salak sewaktu di pohon dan umbi
kentang setelah direbus.
8.
HXSTOLOGI AEMASXRAN
Pada dasarnya tekstur masir baik pada buah apel atau
umbi kentang rebus adalah sama, yaitu akibat terjadinya
pemisahan sel pada komoditas tersebut (Reeve dan Leinbach,
1953 dan Burton, 1966). Sedangkan perbedaannya adalah pada
penyebab terjadinya pemisahan sel pada kedua komoditas
tersebut.
Pembahasan mengenai histologi masir hanya dilakukan pada
komoditas buah apel dan umbi kentang, karena hanya kedua
komoditas ini yang sudah banyak dilakukan penelitian. Selain
itu kedua komoditas ini sudah cukup untuk mewakili buahbuahan dan umbi-umbian yang merupakan komoditas hasil
pertanian yang banyak dijumpai adanya tekstur masir.
1. Buah a p e l
Pada proses pematangan buah zat, pektin yang terdapat
pada dinding sel dan lamela tengah yang berfungsi sebagai
perekat
berubah dari tidak larut menjadi mudah
larut
(Kertezs, 1952, Woodmansee, HcClendon dan Somers, 1959,
Pilnik dan Voragen, 1970 dan Duckworth, 1979). Buah apel yang
masih muda ikatan antar sel masih sangat kuat dan kemudian
semakin tua terjadi pemisahan sel semakin banyak,
sehingga
buah apel menjadi masir (Tetley, 1931), seperti terlihat pada
Gambar 1 di bawah ini.
'
Gambar 1. Irisan sel dari daging buah apel : (a) pada saat
masih muda (b) setelah buah menjadi tua (s:
sitoplasma, i: inti sel, v: vakuola, r: ruang antar
sel dan p: granula pati) (Tetley, 1931).
Pemisahan sel pada buah apel yang merupakan dasar
terjadinya buah apel masir yang telah dipelajari oleh Reeve
dan Leinbach (1953), yaitu.dengan cara pemanasan. Pada Gambar
2 terlihat bahwa pada buah apel "Rome Beautyw yang
telah
dikukus menjadi terpisah dibanding yang masih segar terlihat
selnya masih terikat satu sama lain.
14
Gambar 2. Irisan buah apel "Rome Beautyw segar (a) ( X I S O )
(c: cuticule, e: epidermis) dan setelah pengukusan (b) ( X 1 5 0 ) (Reeve dan Leinbach, 1953).
Terpisahnya sel pada buah apel yang dipanaskan tersebut
adalah juga diakibatkan oleh perubahan zat pektin yang tidak
larut menjadi mudah larut pada dinding sel dan lemela tengah.
Pada pemanasan protopektin yang tidak mudah larut akan
mengalami degradasi pada suhu 85O C, sehingga menyebabkan
melemahnya dinding sel dan ikatan antar sel (Nonaka, 1980).
Pemisahan sel dari buah apel dapat pula terjadi pada
penyirnpanan secara beku (sterling, 1968). Pada penyimpanan
beku, bila
pembekuan dilakukan dengan perlahan-lahan, maka
akan terjadi kristal es yang besar yang selain dapat
memisahkan sel juga merusak sel. Kristal es yang besar
tersebut dapat memecahkan dinding sel dan merobek jaringan
buah apel seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar
3. Irisan buah apel "Red ~elicious~
yang dibekukan
pada suhu -17O C dengan larutan gliserol 5 % (a)
dan gliserol 20% (b) dengan pembesaran X 51
(Sterling, 1968).
Pemisahan sel buah apel oleh kristal es tersebut bukan
karena perubahan zat pektin pada dinding sel
tengah yang dari
dan lamela
tidak larut menjadi mudah larut, tetapi
pemisahan secara mekanik. Pemisahan secara mekanik yang lain
juga telah dilaporkan oleh Reeve dan Leinbach (1953)' yaitu
pemisahan sel buah ape1 oleh keluarnya atau lepasnya gas
antar sel selama buah ape1 dikukus. Namun yang mungkin
menjadi pertanyaan adalah apakah kasus pemisahannya sel dalam
penyimpanan beku atau pengukusan tersebut juga
apel masir.
termasuk buah
rr.
Buah
apel
dalam
perkembangannya
menunjukkan bahwa pada buah yang semakin
(intersellular
spaces) juga
selama
di
pohon
tua ruang antar sel
akan semakin meningkat (Bain
dan Robertson, 1951 dalam Leopold dan Kriedermann, 1983)
. Hal
ini berarti gas yang ada pada ruang antar sel pada buah apel
yang semakin tua juga semakin tinggi.
Suhardjo (1985)
Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa buah apel yang semakin tua
dalam penyimpanan akan semakin cepat mengalami kemasiran.
Kecepatan
kemasiran berbeda
(Smock, 1977 dan Watada, et al.,
untuk
setiap
kultivar
1980). Hal ini kemungkinan
salah satu penyebab adalah perbedaan persentase ruang antar
sel pada buah apel tersebut. Hasil pengamatan Reeve (1959)
menunjukkan bahwa buah apel wDeliciousw, "Newtown Pippinw dan
"Winesapw mempunyai ruang antar sel 2 0 - 2 2 % ,
"Rome Beautyw
mempunyai ruang antar sel 23-34% dan "Gravenstein" di atas
25%.
Pada Gambar 4 terlihat ruang antar sel dari buah apel
nDeliciousw yang matang, tetapi tidak masir.
Gambar 4.
Irisan dari kulit sampai daging buah apel
ulDeliciousll
(X 150); c: cuticule, e: epidermis
s: intercellular space (Reeve, 1959).
2. Umbi kentang
Penelitian tentang tekstur
kentang
rebus
masir (mealy) pada umbi
telah lama dilakukan, yaitu sejak tahun 1897
(Anonymous, 1973) dan telah diketahui bahwa ada hubungan yang
sangat erat antara kemasiran umbi kentang rebus dengan kadar
patinya (Caudon dan Bussard, 1897 yang dikutip oleh
1937).
Selanjutnya secara umum telah
Barmore,
disetujui bahwa
kemasiran umbi kentang rebus disebabkan oleh terjadinya
disintegrasi atau pemisahan sel dari umbi, tetapi tidak
terjadi pemecahan sel yang dapat menyebabkan butiran pati
keluar dari sel (Barmore, 1937).
Teori terjadinya umbi kentang rebus yang masir secara
umum dikenal dengan sebutan "swelling theoryN (Nonaka, 1980),
yang menyatakan bahwa pada umbi kentang yang direbus akan
terjadi pembengkakan dan gelatinasi dari granula pati yang
mengakibatkan terjadinya pemisahan sel. Proses membulatnya
sel pada umbi kentang rebus tersebut sangat tergantung pada
kadar patinya, seperti terlihat pada Gambar 5.
Pada Gambar 5a terlihat sel umbi kentang segar yang
dipenuhi oleh granula pati. Kemudian setelah dilakukan
perebusan, maka membulatnya sel maupun terpisahnya sel sangat
dipengaruhi oleh kadar pati. Pada kadar pati 19% tampak sel
masih terikat satu sama lain (Gambar Sb), sedangkan pada
kadar pati antara 19-24% tampak sel telah sedikit membulat
dan sebagian masih terikat (Gambar Sc). Pada kadar pati yang
besarnya
24% ke atas baru tampak sel telah menjadi bulat dan
terpisah (Gambar 5d).
'
P = granula p a t i
(a
Gambar 5 . S e l umbi kentang s e g a r ( a ) , yang t e l a h d i r e b u s
sempurna dengan kadar p a t i 19% ( b ) , kadar p a t i
19-24% (c) dan kadar p a t i 2 4 % ( d ) k u l t i v a r
"Arrant Bunner" (Burton, 1 9 6 6 ) .
Kadar pati pada umbi kentang selain dipengaruhi oleh
tingkat ketuaan juga dipengaruhi oleh kultivar (Reeve, 1954b,
Burton, 1966 dan Smith, 1977). Hal inilah yang menyebabkan
mengapa ada kultivar kentang yang dapat masir dan kultivar
yang tidak masir. Gambar 6 tampak bahwa pada umbi kentang
"Russet
Burbankn yang mempunyai kadar pati 15,929 setelah
direbus
selnya terpisah (Gambar 6a). Sedangkan pada umbi
kentang wgChippewanyang mempunyai kadar pati 7 , 7 5 9
ikatan
selnya masih kuat (Gambar 6b).
kentang yang telah direbus,
Gambar 6. Irisan umbi
kultivar HRusset Burbankw (a) dan kultivar
Ifchippewan(b) (Sterling dan Bettelheim, 1955)
Mudah tidaknya sel terpisah pada umbi kentang rebus
kemungkinan juga disebabkan oleh perbedaan komposisi bahan
tersebut. Menurut Linehan dan Hughes (1969b) ikatan antar sel
(intercellular adhesion) pada umbi kentang dipengaruhi oleh
kadar pati, kadar amilosa (bttelheim dan Sterling, 1955a) ,
uronide dan kalsium (Bettelheim dan Sterling, 1955b) berbeda
untuk setiap ku1ti;ar.
20
Terjadinya tekstur masir pada umbi kentang rebus selain
dipengaruhi oleh kadar pati juga dipengaruhi oleh perubahan
zat pektin {Hughes, Faulks dan Grant, 1975 dan Nonaka, 1980),
yaitu zat pektin pada dinding sel dan lamela tengah yang
tidak larut menjadi mudah larut akibat pemanasan. Pemanasan
yang terlalu lama (Sterling dan Bettelheim,
1955) dan suhu
yang semakin tinggi (Reeve, 1954a) akan menyebabkan semakin
lemahnya
dinding
sel
dan
mengakibatkan
pati
yang
tergelatinasi akan keluar dari sel dan membentuk tekstur yang
atau wgummyw.
C.
FAXTOR-FAXTOR FISIX DAN KIMIA KEMASIRAN
Salah satu ha1 yang penting dalam hubungannya dengan
tekstur adalah struktur fisik (~zczesniak, 1963) yang dalam
makanan ada hubungannya langsung dengan komposisi kimia
maupun dengan
sifat
f isik
(DeMan, 1976)
.
Dengan
demikian
mempelajari aspek kimia selain sifat fisik pada tekstur masir
merupakan salah satu ha1 yang sangat penting.
Penelitian tentang pengaruh sifat kimia
pada tekstur
umbi kentang yang telah dimasak sudah banyak dilakukan
(Barmore, 1937, Reeve, 1954a, 1954b, ~ettelheimdan Sterling,
1955a, 195Sb, Linehan dan Hughes, 1969b, Malone, True dan
Barden, 1977, dan Tanaka, 1980), sedangkan pada buah ape1 ada
beberapa penelitian yang sudah dilakukan (Reeve dan Leinbach,
1953 dan Woodmansee, McClendon dan Somers, 1959). Pada umbi
kentang
sifat kimia yang banyak
21
dibahas adalah pati,
zat
.
pektin dan
protein, sedangkan pada buah apel yang dibahas
adalah zat pektin. OeJIIikian pula sifat fisik sudah banyak
yang dipelajari dari umbi kentang.
1. S i f a t f i s i k
Beberapa sifat f isik pada umbi kentang dalam kaitannya
dengan tingkat kenasirannya telah banyak dilaporkan oleh
beberapa
peneliti,
antara
lain berat
-
jenis
(Sterling dan
Bettelheim, 1955 dan Brown, 1968 dalam Smith, 1977), #tensile
strengthn (Freeman, 1942), porositas yang dinyatakan dengan
"toluen
index
(Freeman,
1942 dan Reeve,
1954),
strengthN, persentase nsloughingw dan persentase
wshear
pemisahan
sel (Sterling dan Bettelheim, 1955).
Berat j e n i s
Berat jenis diukur pada umbi kentang yang masih segar.
Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa
antara berat jenis
ada hubungan yang erat
dengan kemasiran umbi kentang yang telah
dirnasak, yaitu semakin tinggi berat jenis umbi kentang segar
semakin tinggi
pula tingkat kemasiran
umbi kentang yang
telah dimasak dengan koefisien korelasi ( r ) 0,8712
1968 dalam
Smith,
1977)
.
Hal tersebut
disebabkan
(Brown,
karena
semakin tinggi berat jenis juga semakin tinggi pula kadar
patinya (Bettelheim dan Sterling, f95Sa).
Pada buah apel
hubungan antara berat jenis dengan'
tingkat kemasirannya secara tidak langsung sudah diketahui,
yaitu bahwa semakin tua buah apel semakin rendah berat
jenisnya (Kusumo, 1974)
.
Buah ape1 pada umumnya terjadi
kemasiran setelah dilakukan penyimpanan.
terjadi
penguapan
sejumlah
air,
Pada penyimpanan
sehingga
menyebabkan
terjadinya susut bobot.
"Tensile strengthw
"Tensile
strength"
adalah
tekanan
minimum
yang
dibutuhkan untuk mendorong irisan umbi kentang menjadi
hancur .
"Tensile strengthu diukur pada umbi kentang yang segar.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
nyata antara "tensile strengthw tersebut dengan tingkat
kemasiran umbi kentang yang telah dimasak
(~ersonius dan
Sharp, 1938 dan Sterling dan Bettelheim, 1955).
Besarnya
"tensile strengthM tidak bisa menentukan
tingkat kemasiran umbi kentang yang telah dimasak. ~ebagai
misal
umbi
kentang "Smooth Ruralw mempunyai "tensile
strength" 6 , 8 8 kg/cm2 setelah dimasak mempunyai tekstur
masir, dan "Green Mountainftyang lembek setelah dimasak
mempunyai nilai "tensile strength" 6,66 kg/cm2. Namun ' untuk
umbi kentang IgRussetRuralw yang juga lembek setelah dimasak
ternyata mempunyai nilai "tensile strengtho 7 ' 2 8 kg/cm2 , yang
lebih besar dari pada "Smooth Ruraltg (Personius dan Sharp,
1938). Demikian pula hasil pengamatan Sterling dan Bettelheim
(1955), bahwa "tensile strengthw tidak ada hubungan secara
nyata dengan tekstur masir (Tabel 1).
'"Shear strength"
"Shear strengthH
diukur dengan cara membuat irisan umbi
kentang dengan ukuran tertentu diiris dengan alat *"guillotine
typew. Tekanan yang dibutuhkan untuk memecah irisan tersebut
merupakan Ifshear strengthn.
"Shear strengthm diukur pada
umbi
kentang
segar dan
setelah dimasak. Telah dilaporkan bahwa "sheas strengthn juga
tidak ada hubungan yang nyata dengan tingkat kemasiran Umbi
kentang "Russet Burbank" segar
(Tabel 1) mempunyai "shear
strengthw 10.814 g / c ~ 2dan setelah dimasak nilainya menjadi
314 g/cm2 dan
merpunyai tekstur masir.
Pontiacw yang tidak masir
Sedangkan " R e d
(lembek) mempunyai nilai "shear
strengthw segar 9.076 g/cm2 dan setelah dimasak 0.376 g/cm2
(Sterling dan Bettelheim, 1955).
be1 1. Hubungan antara beberapa sifat fisik ("tensileR dan
"shear strengthw, msloughinga, dan sel terpisah
dengan kemasiran umbi kentang masak
Varietas
Russet
bank
"Tensile
stren thw
?
(gfcm 1
Bur- (s) 9 093
(m)
Kennebec
"Shear
qqSlou- sel ter- Tekspisah
tur
stren thn ghingn
4
(g/cm
(a
(skor)
10 814
314
64,24
93,2
194
(s) 7 070
(m)
7 682
379
11,22
82,O
169
Green Mountain
(s) 7 499
(m)
7 765
2 12
61,69
81,2
168
Red Pontiac
(s) 7 727
(m)
9 076
376
25,83
64,8
107
(s) 6 370
(m)
7 389
15,66
55,6
102
Chippewa
342
-
Sumber : Sterling dan Beetelheim (1955)
Keterangan :
s = segar
m = masak
Tekstur : skor 216 = masir
144 = medium
7 2 = lembek
Porositas
Persentase porositas diperoleh dengan cara mengukur
total permukaan area dari pori-pori dan kantong udara
internal. Untuk pengukuran ini lebih mudah didekati dengan
mengukur volume ruang udara internal. Volume ruang udara
internal diukur dengan cara menimbang langsung bahan contoh
sebelum dan setelah pori-pori diisi dengan cairan "inertu.
Perbedaan antara berat sebelum dan sesudah diisi tersebut
25
d i b a g i dengan berat bahan contoh dan d i k a l i k a n 100 a d a l a h
merupakan n i l a i p o r o s i t a s (Freman, 1942).
T i n g k a t kemasiran umbi
k e n t a n g yang t e l a h d i b a k a r ada
hubungannya dengan besarnya porositas.
Pengukuran porositas
d a p a t d i l a k u k a n d e n g a n m e n y a t a k a n sebagai " t o l u e n i n d e x n
(Freeman,
(Reeve,
1942) a t a u
.
1 9 5 4 ~ ) Oleh
d e n g a n m e l i h a t secara m i k r o s k o p i s
Freeman
(1942)
diperoleh
bahwa
umbi
k e n t a n g b a k a r y a n g memhunyai t e k s t u r m a s i r adalah y a n g
mempunyai
"toluen
indexH 3 , 5
-
6 , 3 % dan yang t i d a k m a s i r
0,O-1,5%.
Pada buah ape1 t e l a h d i l a k u k a n pengamatan t e r h a d a p r u a n g
a n t a r sel, namun belum d i k a i t k a n dengan t i n g k a t kemasirannya.
Telah dilaporkan
bahwa semakin t u a
a n t a r sel yang semakin t i n g g i
(Bain
buah mempunyai
d a n Robertson,
dalam Leopold dan Kriedermann, 1 9 8 3 ) . S e l a i n i t u juga
d i k e t a h u i bahwa
berbeda,
ruang
antar
sel
ruang
1951
telah
s e t i a p v a r i e t a s dapat
y a i t u "Rome B e a u t y w 23-24%, @ l G r a v e n s t e i n w2 5 % ,
" D e l i c i o u s M , "Newtown P i p p i n " dan "Winesapw 20-222
(Reeve,
wSloughingu dapat d i a r t i k a n peristiwa pelepasan d a r i
s e b a g i a n j a r i n g a n umbi k e n t a n g y a n g d i r e b u s .
Pengukuran
b e s a r n y a " s l o u g h i n g w d i l a k u k a n dengan c a r a mendidihkan 10 g
i r i s a n k e n t a n g dengan 20 cc aquades selama 30 m e n i t . S e t e l a h
d i n g i n d i t u a n g k a n dalam s a r i n g a n kawat dengan ukuran mesh
0,25
in yang terendam sebagian dalan air.
Setelah itu
diangkat dan direndam sebagian lagi, kemudian diangkat lagi
sampai 10 kafi. Jaringan umbi kentang yang lewat sampai
selanjutnya dikeringkan pada suhu 80°
C yang dinyatakan
sebagai Nsloughingu (Whittenberger dan Nutting, 1953).
Persentase nsloughingtt pada umbi kentang yang telah
dimasak ternyata ada hubungannya dengan tingkat kemasiran.
Semakin besar persen MsloughingM menunjukkan seiaakin tinggi
pupa tingkat kernasirannya (r = 0,62). Umbi kentang "Russet
Burbank" yang masir mempunyai persentase nsloughing* 64,24 %
berat kering dan VhippewaM yang lembek hanya 15,66% berat
kering (Tabel I) (Sterling dan Bettelheim, 1955).
Pemisahan sel
Terjadinya tekstur
masir pada umbi kentang yang telah
dimasak adalah akibat sel yang terpisah. Banyaknya sel
terpisah menentukan tingkat kemasirannya yaitu semakin besar
sel terpisah, maka tingkat kemasirannya juga semakin besar.
Besarnya
sel
mikroskopis.
Burbank"
terpisah
tersebut
dapat
diamati
secara
Telah diperoleh bahwa umbi kentang "Russet
yang
masir
mempunyai
sel
terpisah
93,2%
dan
llChippewauyang lembek hanya mempunyai 5 5 , 6 % , seperti tampak
pada Tabel 1 (Sterling dan Bettelheim, 1955).
Perubahan kekerasan urabi kentang setelah direbus sudah
diketahui , namun
lama
kemasiraannya. Uinbi
tidak
+
dengan
tingkat
kentang yang direbus akan menjadi lunak
dan kelunakannya tersebut erat
patinya (r = 0,70
dikaitkan
0.08).
hubungannya dengan kadar
Sedangkan tingkat kemasiran umbi
kentang rebus telah diketahui bahwa semakin
tinggi kadar
patinya semakin tinggi pula tingkat kemasirannya (Barmore,
1937).
Pada buah apel juga telah diketahui bahwa buah apel
masir mempunyai tekstur yang lunak (Anonymous, 1983, Liu dan
King, 1978 dan Suhardjo, 1985). Liu dan King
mengukur
kekerasan buah apel t*MclntoshMdengan penetrometer
"Effegiu yang menunjukkan bahwa kekerasan 6,3
dinyatakan
dan
3,6
(1978) telah
kg ke atas
tekstur yang keras, 5,9 kg tekstur yang
kg mempunyai tekstur
"renyahU
yang sangat lunak (sangat
masir).
Sedangkan pada buah apel "Rome Beautyn (dengan kulit)
yang kekerasannya juga diukur dengan penetrometer "Effegi"
menunjukkan bahwa tekstur agak masir
{tidak keras, tetapi
tidak lunak) sekitar 6,89 kg. -Buah apel yang sudah masir
mempunyai tingkat kekerasan sekitar 5,28 kg (~uhardjo,1985).
-2. Zat pektin
Pada
buah
apel, terjadinya pemisahan
disebabkan oleh melemahnya
sel
ikatan antar sel
yang
masir
(Reeve dan
Leinbach, 1953). Sedangkan yang menyebabkan melemahnya ikatan
sel
adalah
akibat
terjadinya
perubahan
zat
pektin
(protopektin) yang merupakan bahan pengikat antar sel dari
tidak mudah larut menjadi mudah larut (Tetley, 1931, Kertezs,
1951, Reeve dan Leinbach, 1953, Pilnik dan Voragen, 1970 dan
Janick, et al., 1981).
Pada buah-buahan, perubahan protopektin yang merupakan
zat
pektin yang tidak larut menjadi mudah larut pada proses
pematangan adalah disebabkan oleh kerja enzim. Enzila yang
bekerja pada perubahan zat pektin tersebut adalah enzim
pektinesterase dan enzirn poligafakturonase (Kulp, 1975,
Pilnik dan Rombouts, 1979 dan Duckworth, 1979).
pektinesterase
Enzim
dalam perubahan zat pektin bereaksi sebagai
penghilangan gugus metil dari polimernya (deesterifikasi),
sedangkan enzim poligalakturonase bereaksi sebagai pemutus
rantai poligalakturonase menjadi unit-unit yang
lebih kecil
dan akhirnya menjadi asam galakturonat (Gambar 7).
Pada
umumnya buah-buahan mempunyai enzim pektinesterase, sedangkan
enzim poligalakturonase banyak terdapat hanya pada buahbuahan tertentu saja (Kertezs, 1951) misalnya pada buah
tomat, persik, apokad dan pear (McCready dan Mocomb, 1954 dan
Pilnik
dan
Voragen,
1970).
Sedangkan pada
buah
apel
dilaporkan tidak terjadi aktifitas depolimerisasi z a t pektin
(Pilnik dan Voragen, 1970 dan Hulme dan Rhodes, 1971), yang
berarti bahwa tidak ada aktifitas atau sangat kecil enzim
poligalakturonase pada buah apel.
Gambar 7. Pernecahan molekul pektin oleh enzim
pektinesterase dan poligalakturonase (Pilnik dan Rombouts,
1979).
Enzim pektinesterase pada buah apel sangat kecil sekali
dan bahkan menurut Kulp (1975) ada beberapa penulis yang
melaporkan
bahwa
buah
apel
tidak
mempunyai
enzim
pektinesterase tersebut. Oleh karena sangat kecilnya, maka
Hulme dan Rhodes
(1971) menyatakan bahwa
pektinesterase pada proses pematangan
aktifitas enzim
buah apel tidak cukup
berpengaruh terhadap pelunakan buah.
Dengan demikian yang menjadi pertanyaan kemudian adalah
enzim apa yang berperan dalam pelunakan atau melemahnya
lamela tengah dan dinding sel buah apel selama pematangan,
kalau
bukan
karena
kerja
enzim
pektinesterase
dan
poligalakturonase. Menurut Hulme dan Rhodes (1971), enzim
yang merubah protopektin menjadi zat pektin yang mudah larut
adalah enzim aaprotopektinaseN.
Namun mereka menyatakan bahwa
enzim tersebut masih sedikit yang diketahui, seperti halnya
struktur protopektin (Joslyn, 1962) yang juga belum diketahui
secara
tepat.
Walaupun
beluxt
sepenuhnya diketahui enziianya yang
berperan dalam proses pelunakan buah apel selama pematangan,
tetapi beberapa peneliti (Dick, et al., 1985 dan Lindster, et
al.,
1986)
telah
mencoba
menghambat ker ja enzim
4-
menghambat
pelunakan
dengan
galaktosidase. ~ a s i lpenelitian
mereka menunjukkan bahwa dengan menghambat kerja enzim
galaktosidase dengan menggunakan z a t
fi
-
polifenol (klorogenat,
katecin, quersetin) pelunakan buah apel selama pematangan
dapat dihambat.
Tingkat kemasiran buah apel ada hubungan yang erat
dengan kekerasan atau pelunakan daging buah (Liu dan King,
1978 dan Suhardjo, 1985) , yaitu buah apel yang semakin lunak
mempunyai kemasiran yang semakin
tinggi. Hal ini berarti
bahwa menghambat kerja enzim /3-galaktosidase tersebut di atas
juga kemungkinan berarti dapat wenghambat proses kemasiran.
Keterangan : Mt : Mentah;
M : Matang;
LM : Leuat matang
[
: Pektin t o t a l
[
: Pektin terlarut
Gambar 8 : Perubahan total pektin
dan pektin terlarut
selama pematangan buah apel "Red Delicious1I
(a) dan Stayman (b) (Woodmansee, et al., 1959)
Buah apel yang semakin tua mempunyai kadar pektin yang
semakin kecil (Kertezs, 1951). Pada penyimpanan, buah apel
yang semakin tua akan cepat menjadi masir (Tindale, 1966,
Kusumo, 1974 dan Suhardjo, 1985). Apakah kecepatan kemasiran
buah apel tersebut ada hubungannya dengan besar kecilnya
kadar pektin, ternyata ha1 ini belum ada peneliti yang
mengaitkannya. Demikian pula apakah perbedaan kecepatan
kemasiran pada buah apel yang berbeda
(Smock, 1977) juga
disebabkan oleh kadar pektin yang berbeda, sebab setiap
kultivar
mempunyai
kadar
pektin
yang
berbeda
pula
(Woodmansee, et al., 1959 dan Gormley, 1981). Kadar pektin
buah apel "Red DeliciousM lebih kecil dari pada kadar pektin
buah
apel
"Stayman" (Gambar 8).
Buah
apel nRed ~elicious~
termasuk buah apel yang mudah masir (Smock, 19771, tetapi
belum ada yang melaporkan buah apel "Stayman" termasuk mudah
masir atau tidak.
Sedangkan pada umbi kentang telah dilakukan penelitian
mengenai pengaruh kadar pektin umbi kentang segar terhadap
tekstur masir setelah dimasak (Bettelheim dan Sterling,
1955b) seperti terlihat pada Tabel 2. ~ a s i lpenelitian
tersebut
menunjukkan bahwa kadar zat
pektin berbeda untuk
setiap kultivar dan bila kalsium yang berikatan dengan zat
pektin sebagai dasar, maka total kalsium pada umbi kentang
segar tidak mempengaruhi tekstur
masir pada umbi kentang
yang telah masak.
Walaupun kadar total zat pektin pada umbi kentang =gar
tidak berpengaruh terhadap tekstur masir umbi kentang yang
telah dimasak, tetapi
perubahan zat pektin akibat pemanasan
Tabel 2. Sifat total zat pektin pada umbi kentang
Kadar
Kadar
Kadar
Kadar
Uranida Ca pek- Ca pektat Ca
tinat
Var ietas
Russet
Burbank
Russet
Burbank
Kennebec
segar
267,O
179,l
298,4
6,47
masak
156,6
168,l
268,l
5,42
segar
178,7
197,3
410,7
16,lO
masak
145,l
156,8
251,3
8,46
segar
masak
Green
Mauntain
segar
masak
Cobbler
segar
masak
Triumph
segar
masak
Bliss
Triumph
segar
masak
White Rose
segar
masak
Red Pontiac
segar
masak
segar
masak
Sumber : Bettleheim dan Sterling (1955b)
Organoleptik
194
183
ikut berperan dalam proses pemisahan sel (Linehan dan Hughes,
1969b,
dan
Nonaka,
1980).
Pada
penanasan
75-lloO
C
(Holdsworth, 1979) atau 85O C (Nonaka, 1980) protopektin akan
berubah menjadi mudah larut, sehingga melemahkan ikatan antar
sel dan ikut krperan dalam pemisahan sel umbi kentang yang
masir.
3.
Zat pati
Pengaruh kadar pati pada umbi kentang segar terhadap
kemasiran sudah lama diketahui, yaitu sejak tahun 1897 oleh
Coudon dan Bussard (Barmore, 1937). Sedangkan pada buah apel
pengaruh kadar pati terhadap kemasiran belum ada yang
melaporkan. Namun tidak secara langsung diketahui bahwa kadar
pati yang semakin tinggi pada buah apel dalam penyimpanan
akan semakin lambat menjadi masir, sebab kadar yang semakin
tinggi berarti buah apel semakin muda (Kertezs, 1951). Buah
apel yang dipetik semakin muda akan lebih lambat menjadi
masir dari pada dipetik semakin tua (Tindale, 1986, Kusumo,
1974 dan Suhardjo, 1985).
Hubungan antara kultivar, berat jenis dan kadar pati
pada umbi kentang segar telah banyak dilakukan penelitian
(Bettelheim dan Sterling, 1955a, Nash, 1941 dalam Burton,
1966, Brown, 1968 dalam
Smith, 1977 dan Malone, et al.,
1977). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa ada hubungan
yang sangat erat antara
kultivar, berat jenis dan kadar pati
dengan tingkat kemasiran umbi kentang
3)
yang dimasak (Tabel
.
be1
3.
Koefisien korelasi antara kultivar, berat jenis
kadar pati dan kadar amilosa dengan kemasiran umbi
kentang yang dimasak
Korelasi
Koefisien korelasi (r)
Varietas dan kemasiran
0,4818
Berat jenis dan kemasiran
0,8712
Total pati dan kemasiran
0,7829
Amilosa dan kemasiran
0,7109
Sumber : Brown, 1968 dalam Smith, 1977
Keterangan : Semua korelasi adalah sangat nyata pada
p = 0,Ol
Peranan pati dalam pembentukan tekstur masir pada umbi
kentang yang dimasak telah dijelaskan (Burton, 1966) di muka.
Kadar pati yang semakin tinggi pada umbi kentang segar akan
menyebabkan pemisahan sel semakin besar pada umbi kentang
yang telah dimasak. Sedang pada pemanasan dengan
suhu yang
tinggi (Reeve, 1954a) atau pemanasan. yang lama (sterling dan
~ettelheim, 1955) akan menyebabkan pecahnya sel dan pati yang
tergelatinasi akan keluar dari sel dan
menyebabkan tekstur
umbi kentang yang dimasak menjadi "stickyw atau vlgurnmyw.
Kadar pati pada umbi kentang sefain dipengaruhi oleh
kultivar dan lokasi tempat tanaman kentang tumbuh (Tabel 4),
juga dipengaruhi oleh tingkat ketuaan umbi kentang
(Smith,
1977). Pada umbi kentang yang semakin tua menunjukkan bahwa
kadar pati maupun kadar amilosanya juga semakin meningkat.
Tabel 4. Pengaruh kadar pati, kadar amilosa, dan berat
jenis terhadap organoleptik umbi kentang yang
telah dimasak
Varietas/asal
K-pati K.ami- Berat Organolep( % ) losa
jenis
tik
g/lOo S
(skor]
Russet Burbank/Utah
19,06
3,14
1,0968
194
Russet Burbank/Idaho
17,05
2'39
1,0871
183
Green Mountain/Utah
16,21
4,46
1,0958
168
Cobbler/N. Dakota
13,48
2,09
1,0835
162
Bliss Triumph/Idaho
12,75
1,15
1,0747
115
White Rose/California
12,20
2,62
1,0680
112
Red Pontiac/Wisconsin
7,12
0,36
1,0577
107
-
Sumber : Bettelheim dan Sterling, 1955a
Keterangan : Skor organoleptik 216 = "mealyw, 144 =
medium dan 72 = lembek. (8 penelis dengan 9
kali ulangan)
Pada Tabel 4 dan 5 dapat diperoleh beberapa kadar pati
pada umbi kentang yang dapat memberikan tekstur masir atau
lembek pada umbi kentang yang telah dimasak.
Umbi kentang
yang sama varietasnya, tetapi beda asal, kadar patinya dapat
berbeda pula.
4.
Nisbah pati dan protein ( U ~ S U
#)~
Menurut Barmore (1937), ada 2 (dua) pendapat mengenai
pengaruh nisbah pati/protein terhadap tekstur masir pada umbi
kentang rebus. Pendapat pertama (Caudon dan Bussard, 1897,
Longwortye, 1917 dan Bobb, 1935) menyatakan bahwa nisbah
patilprotein ada hubungannya dengan kemasiran, sedangkan
pendapat kedua (Horcourt, 1907, East, 1908 dan Butler Horison
dan Boll, 1913) menyatakan bahwa nisbah pati/protein tidak
ada hubugannya dengan kemasiran umbi kentang yang telah
dimasak.
Hasil penelitian (Bormore, 1937) menunjukkan bahwa
memang ada hubungan
antara nitrogen dengan tekstur (r =
-
0,104), tetapi nilainya hampir tidak nyata. Sedangkan
0,34
hubungan antara pati nitrogen dengan tekstur menunjukkan
nilai (r = 0,65) yang lebih besar dari pada hubungan antara
pati saja dengan tekstur (r = 0,56). Namun dari hasil analisa
statistik menunjukkan bahwa perbedaan korelasi di atas tidak
berbeda nyata. Hal ini berarti bahwa peranan nitrogen protein
pada umbi kentang masih diragukan terhadap kemasiran umbi
kentang yang telah dimasak.
Hasil penelitian selanjutnya (Nash, 1941 dalam Burton,
1966)
juga menunjukkan bahwa nisbah pati/protein tidak
berpengaruh terhadap kemasiran umbi kentang yang telah
dimasak, seperti terlihat pad Tabel 5. Pada Tabel 5 terlihat
bahwa bukan besarnya nisbah patilprotein yang berpengaruh
terhadap kemasiran, tetapi yang berpengaruh adalah kadar
pati, kultivar dan lokasi dimana umbi kentang tumbuh.
37
Tabel
5.
Hubungan antara kadar pati dari kentang dan tekstur
setelah dimasak
Tompkins
Lokas i
-----------Pati
(O)
----- ------
Pati/
prot
Steuben
Kon- P a t i
sis)
tensi
-------
----P a t i / Konp r o t sistensi
Wayne
Pati
(%I
Pati/
prot
Konsistensi
Green
Muntain
Poineer
Roral
Houma
Sebago
Katadhin
Warba
Cobbler
Pont i a c
Chippewa
Erlaine
14,83
11,7
5
15,60
89,4
3
11,40
114
2
Sumber : Nash, 1941 dalam Burton, 1966
Keterangan : Nilai konsistensi 0 = sangat lembek dan 10 =
sangat "mealyM. Koefisie~korelasi antara pati
dan konsistensi = + 0,66
(sangat nyata pada P
= 0,Ol).
Pemupukan nitrogen pada tanaman kentang (Smith, 1977)
maupun pada tanaman ape1 (Childers, 1975) ada pengaruhnya
terhadap tekstur. Tanaman kentang yang dipupuk dengan
nitrogen terlalu banyak akan menyebabkan kadar pati rendah.
Hal ini juga berarti pemupukan nitrogen yang tinggi dapat
menyebabkan kemasiran umbi kentang yang dimasak renjadi
rendah. Sedangkan pada buah apel yang dipupuk nitrogen tinggi
kekerasan lebih rendah dari pada yang dipupuk nitrogen
rendah.
D. FAKTOR-FAKTOR FISIOLOGIS KEMASIRAN
Hasil-hasil produksi pertanian adalah termasuk benda
hidup baik semasa masih di pohon maupun setelah dipetik.
Hasil produksi
pertanian
tersebut dalam melangsungkan
hidupnya seperti benda hidup yang lain, yaitu memerlukan
enersi guna melakukan kegiatan metabolismenya. Adapun untuk
memenuhi kebutuhan enersinya tersebut dengan melakukan
respirasi (pernafasan), yaitu dengan pembakaran senyawa
makromolekul
(karbohidrat) dengan menggunakan
O2
(oksigen)
dari udara yang menghasilkan enersi, air dan Cog.
Sebagian terbesar enersi yang disimpan
dalam tanaman
adalah dalam bentuk pati. Padahal pati sangat berperan dalam
pembentukan tekstur masir pada u ~ b ikentang yang dimasak.
Dengan demikian secara tidak langsung kegiatan fisiologis
(respirasi) ikut berpengaruh terhadap kemasiran dari umbi
kentang yang dimasak.
Kegiatan respirasi erat hubungannya dengan proses
pematangan buah. Dengan demikian resirasi erat hubungannya
dengan proses terjadinya tekstur masir pada buah apel, sebab
kemasiran pada buah apel erat hubungannya dengan proses
pematangan
buah.
Kegiatan
dipengaruhi oleh suhu,
0 2 , C02
respirasi
dan etilen.
tersebut
sangat
Proses pematangan buah-buahan sangat dipengaruhi oleh
kecepatan respirasinya. Pada buah-buahan klimakterik, pada
proses
pematangan
akan
terjadi
lonjakan
kecepatan
respirasinya, yang sering disebut pula dengan "respirasi
klimakterik" (Hulme dan Rhodes, 1971)
.
Buah mempunyai mutu makan (eating quality) yang optimal
pada saat buah mencapai matang optimal. Bila pada umuranya
buah dianggap matang optimal pada saat mencapai puncak
klimakterik (Pearson, 1969), seperti terlihat pada Gambar 9,
tetapi untuk buah apel mutu makan yang optimal diperoleh
sedikit setelah puncak klimakterik tercapai (Singh, 1980).
Mutu makan optimal pada buah apel ini mempunyai tekstur yang
renyah atau "crispyw (Finney, 1971, Liu dan King, 1978 dan
Dhanaraj, et al., 1980), yaitu sifat keras yang mudah pecah,
berair dan segar (juicy). Bila sudah sangat lunak (masir),
maka buah sudah tidak disukai konsumen bahkan tidak layak
untuk dimakan (Gorin, et al., 1975).
Buah apel masir terjadi setelah puncak klimakterik
tercapai. Dengan demikian semakin cepat mencapai puncak
klimakterik, kemasiran buah
apel
juga
semakin
cepat.
Kecepatan respirasi pada buah dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu tingkat ketuaan buah, kondisi penyimpanan
(suhu, oksigen
dan
.
(Duckworth, 1979)
karbon
dioksida)
dan
gas
etilen
r
Matang
Klimaterik
Kecepatan
respirasi
:
lunak
Waktu penyimpanan
Saat ->
petik
Pematangan
> Lewat
matang
> Asam pektat
Protopektin -> Pektin ( larut)
+ Me OH
(tidak larut)
Gambar 9. Perubahan kecepatan respirasi selama penyimpanan buah-buahan klimakterik bersamaan dengan
perubahan tekstur dan pektin (Pearson, 1969).
Buah ape1 dalam perkembangan di pohon menunjukkan bahwa
pada saat bunga mekar mempunyai kecepatan respirasi tertinggi
yang kemudian menurun sangat tajam. Setelah mencapai titik
minimum, kecepatan respirasi meningkat semakin tua umur buah.
Pada saat setelah respirasi meningkat tersebut buah ape1
dipetik (Pearson, 1953)
.
Respirasi membutuhkan
O2
(oksigen) guna mengoksidasi
substrat yang biasanya berupa gula sederhana. Sebaliknya
adanya
C02
(karbon dioksida) dapat menghambat respirasi,
karena C02 dapat berfungsi sebagai "competitive inhibitoru
dari reaksi etilen (Eskin, Henderson dan Townsend, 1971).
Pengaruh suhu penyimpanan terhada~kecepatan rerpirasi
buah maupun sayuran sudah banyak penulis yang melaporkan
(Hardenburg, 1971, Duckworth, 1979, Ryall dan Pentzer, 1982
dan
Phan, et
A. LATAR BELAKANG
I s t i l a h m a s i r s u d a h s a n g a t lama d i p e r g u n a k a n
guna
menyatakan s i f a t o r g a n o l e p t i k u n t u k t e k s t u r yang d i r a s a k a n
o l e h m u l u t s e p e r t i adanya b u t i r a n
"pasirn.
tersebut dikenal
u n t u k buah s a l a k .
telah
digunakan
Tekstur lnasir
Namun
s e b e n a r n y a i s t i l a h m a s i r t e r s e b u t mempunyai c a k u p a n y a n g
luas,
karena dipergunakan o l e h beberapa komoditas l a i n n y a ,
m i s a l buah a p e l , buah sawo, k e n t a n g r e b u s , u b i j a l a r r e b u s ,
s i n g k o n g r e b u s dan bahkan pada
k e a d a a n menyimpang d a r i
makanan l a i n , m i s a l n y a es k r i m , s u s u k e n t a l manis d a n madu.
I s t i l a h masir mempunyai kesepadanan yang cukup banyak
dalam
bahasa-bahasa
daerah
di
Indonesia,
yang
t e r s e b u t d i g u n a k a n t e r g a n t u n g pada komoditasnya.
istilah
Pada u b i
j a l a r a t a u singkong r e b u s s e l a i n d i s e b u t m a s i r juga d i s e b u t
dengan i s t i l a h
"mempur".
Selain
i t u dimasyarakat
istilah
mempur pada u b i j a l a r t e r s e b u t juga d i s e b u t "ngendogtt ( J a w a ) .
Sedangkan masir pada
buah
salak
ada
buahnya t e l a h "kopyoret ( S u n a r j o n o ,
yang menyebut
daging
1 9 8 7 ) , yang d i m a s y a r a k a t
pada umumnya menggunakan i s t i l a h "kopyorW u n t u k buah k e l a p a .
Pada
umbi k e n t a n g r e b u s yang m a s i r d i s e b u t dengan
"berpatiw
(Sunarjono,
1975)
dan
istilah
umenepunglt u n t u k
buah
a p e 1 yang m a s i r ( D a n u s a s t r o , 1 9 7 5 ) .
Tekstur
masir
berkaitan
dengan
s e h i n g g a b e r p e n g a r u h t e r h a d a p mutu.
selera
konsumen,
Pengaruh m a s i r t e r s e b u t
dapat positif dan dapat negatif tergantung pada komoditasnya.
Buah salak, ubi jalar rebus, singkong rebus maupun kentang
rebus yang masir pada umumnya disukai oleh konsumen.
Namun
untuk buah apel yang masir pada umumnya tidak disukai oleh
konsumen. Pada es krim, susu kental manis dan madu dianggap
sudah menyimpang teksturnya atau rusak.
Buah
salak
masir
diasosiasikan buah tua dan
sudah sangat berkurang.
disukai
oleh
konsumen
karena
berkaitan dengan rasa sepet yang
Sedangkan pada umbi:umbian
rebus
yang masir disukai oleh karena tekstur yang tidak keras.
Namun untuk buah apel tekstur masir tidak disukai, sedangkan
yang disukai oleh konsumen adalah buah apel yang mempunyai
tektur renyah, yaitu sifat keras yang mudah pecah, berair dan
segar ( juicy) .
Kemasiran erat kaitannya dengan cara penanganan segar
maupun dengan cara
pengolahan.
Namun ha1 ini tampaknya di
masyarakat belum sepenuhnya disadari sebab ada beberapa ha1
yang dalam penanganan dan pengolahan tidak dipertimbangakan
tingkat kemasiran komoditas tersebut.
Pada ubi-ubian yang
direbus pada umumnya senang yang masir, tetapi untuk ubiubian
yang digoreng atau dimasak
mempertimbangkan tingkat kemasirannya.
lainnya belum
jelas
Untuk kentang telah
diketahui bahwa kentang yang digoreng sebaiknya jenis yang
masir, sedangkan untuk yang dikalengkan digunakan kentang
yang tidak masir atau tingkat kemasiran rendah.
pula
Demikian
pada buah salak maupun apel, tingkat kemasiran sangat
berperan
dalam
pengolahannya.
menentukan
cara
penanganan
maupun
Buah sHlak yang masir harus segera dipasarkan dan tidak
baik untuk dikalengkan.
Sedang pada buah apel yang masir
sudah tidak menguntungkan untuk dipasarkan dan tidak baik
pula untuk diolah menjadi sari buah.
Oleh karena masir pada buah apel sangat menurunkan mutu,
maka kemasiran pada buah apel dapat menjadi pembatas dalam
pengembangan pemasaran.
Buah apel yang masir bila dijual
harganya rendah, sehingga dapat merugikan secara ekonomi.
Buah apel "Rome Beautyw yang merupakan kultivar paling
banyak ditanam di Indonesia, yaitu lebih dari 70 O dari
seluruh jumlah tanaman apel, bila dipetik terlalu tua akan
cepat menjadi masir. Harga buah apel dalam keadaan demikian
dapat turun harganya sampai 25 % dari harga buah yang belum
masir.
Dengan demikian bila petani mempunyai tanaman apel
"Rome Beauty1* umur 8 tahun dengan produktivitas 13.712
kg/ha/th (Wahjudi, 1980) dan harga apel normal Rp. 1.000,-/kg,
maka kerugian akibat pemanenan yang terlalu tua tersebut
mencapai 25 % X Rp.1.000,- X 13.712 = ~p.3.428.000,-/ha/th.
Informasi mengenai kemasiran pada kentang sudah banyak
diketahui, namun
untuk buah-buahan termasuk buah apel
informasi mengenai kemasiran dirasa masih sedikit atau belum
banyak dikaji.
Kemasiran pada kentang telah diketahui
berkaitan dengan kultivar, umur panen, perubahan kimia dan
proses
fisiologis.
Kemasiran pada buah apel juga telah diketahui, yaitu
dipengaruhi oleh kultivar dan umur panen.
Beberapa kulitvar
yang mudah masir adalah nRhode Island Greening", wMcIntosh",
"GoldenN, "MutsuU, "Golden Deliciousm, Idaredw dan "Cox's
Orange Pippins* f Smock, 1977) .
Sedangkan buah apel nRome
Beautyw ternyata lebih cepat masir dari pada "Redspur",
"Miller Spurw, nGolden Deliciousw maupun NYork Imperial"
,
(Watada, Abbott dan Hardenburg, 1980).
Buah apel yang dipetik semakin tua semakin cepat masir
dalam penyimpanan sudah banyak yang melaporkan (Anonymous,
.
1963, Tindale, 1966, Kusumo, 1974 dan Suhardjo, 1985)
Buah
apel "Rome Beautyw umur panen 134 hari menjadi masir setelah
disimpan suhu ruang selama 28 hari.
Sedangkan umur panen 120
hari baru mengalami masir setelah disimpan selama 35 hari
(Suhardjo, 1985).
Mengapa ada kultivar yang lebih mudah
masir dibanding dengan lainnya belum ada
laporan yang
menjelaskannya. Hanya telah dilaporkan bahwa terjadinya masir
karena adanya degradasi pektin tidak mudah
larut menjadi
mudah larut.
Deskripsi secara mendasar dari kemasiran buah apel belum
pernah dilaporkan.
Selain itu belum banyak laporan mengenai
hubungan analitik antara kemasiran dengan sifat mutu buah
apel lainnya.
B. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mendeskripsikan secara mendasar
fenomena kemasiran pada
buah apel secara visual, kimia, fisik dan
mikroskopis.
2. Mempelajari perkembangan pembentukan kemasiran pada buah
apel .
4
3. Mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi dan berperan
dalam kemasiran buah apel.
4. Mempelajari pengaruh kemasiran buah apel terhadap sifat
mutu buah.
C.
KEGUNZIAN XASIL PENELPTIAN
Hasil penelitian yang diperoleh mequnyai kegunaan :
1. Menyediakan data
dasar dan pengenalan lebih mendalam
mengenai fenomena
kemasiran secara umum dan khususnya
yang terjadi pada buah ape1 untuk penelitian aplikasi
lebih lanjut.
2. Menjadi bahan
dalam
pertirnbangan bagi pemuliaan tanaman ape1
mencari dan mengembangkan kultivar yang diinginkan.
3. Memberikan data teknis dalam mengembangkan cara-cara
penanganan segar buah ape1
selama pemasaran dan
penyimpanan.
4. Memberikan data teknis dalam menentukan batas penerimaan
konsumen
praktis.
berdasar
sifat
kemasirannya secara cepat dan
A.
PENGf3RTIAN MASIR
Istilah masir yang berpadanan dengan istilah Bahasa Jawa
"medhialberasal dari kata '#wedhimatau pasir. Istilah %asirW
sudah
masuk
ke dalam
istilah
Bahasa
~ n d o n e s i a , yang
digunakan untuk buah salak, yang berarti mempunyai rasa
seperti berpasir (Purwadarminto, 1976). Masir sebenarnya
menyatakan
tekstur makanan yang dirasakan oleh mulut
khususnya yang berhubungan dengan kesan berbutir-butir
seperti berpasir.
Penyebab terjadinya tekstur masir dapat berbeda
tergantung pada komoditas atau jenis makanannya (Arthey,
1975, Potter, 1980 dan Kramer dan Twigg, 1984 ) . Kemasiran
yang terjadi pada komoditas hasil pertanian yang sudah lama
dan banyak diteliti adalah kemasiran pada umbi kentang
(Barmore, 1937 dan Anonymous, 1973). Sedangkan pada komoditas
buah-buahan, penelitian tentang kemasiran belum sebanyak umbi
kentang, sehingga terbatas sekali informasi mengenai struktur
dan penyebab kemasiran serta mengapa buah ape1 yang berbeda
kultivar berbeda pula kemasirannya.
1. Istilah masir
Istilah masir mungkin sekali telah lama dikenal di
Indonesia. Ochse
(1927) telah
rnendeskripsikan tenbang
kemasiran terhadap buah salak yang dikaitkan dengan sifat-
sifatnya yang disukai oleh konsumen. Istilah masir tersebut
kemudian
ternyata
juga
dipergunakan
untuk
ubi
jalar
(Soemartono, 1984) dan buah apel (Kusumo, 1974).
Istilah Indonesia yang tnenyatakan tekstur yang artinya
sama dengan masir ada beberapa macam, yang berbeda menurut
komoditas atau penulisnya . Buah salak tnasir ternyata juga
daging buahnya disebut
"kopyorW (Sunarjono, 1987).
kemungkinan daging buah salak yang masir
penulisnya
dianggap seperti apa
yang
Ada
tersebut oleh
terjadi pada
kelapa
flkopyorn, yaitu daging buahnya sudah hancur. Sedangkan pada
ubi jalar rebus masir disebut pula dengan istilah naaeatpurt'
(Soemartono, 1984) dan buah ape1 disebut dengan "menepungn
(Danusastro, 1975). Istilah nmenepungw ini adalah merupakan
terjemahan dari "mealyw yang banyak dipergunakan di h e r i k a
Serikat, Australia, Kanada, dan negara lain untuk buah apel
yang mempunyai tekstur masir (Smock, 1977).
Di Amerika Serikat ada istilah lain yang dipergunakan
untuk menyatakan tekstur yang mirip dengan *'mealyn pada buah
apel, yaitu dengan sebutan "flouryw ( ~ i l l i a m s dan Carter,
1977). Dernikian pula istilah "mealy** pada umbi kentang rebus
juga sering disebut dengan istilah
wflourym* d i Amerika
Serikat (Linehan dan Hughes, 1969a).
Pada umbi kentang rebus, di Indonesia pada umumnya
menggunakan .istifah "mempurl@ seperti
pada
ubi
jalar
atau
singkong rebus, yang artinya sama dengan *@mealyw. Namun ada .
pula yang menterjemahkan **mealyMdengan istilah lain, yaitu
dengan istilah "berpati" (Sunarjono, 1975).
Dalam
Bahasa
Inggris
ada
beberapa
istilah
untuk
menyatakan tekstur yang dirasakan oleh mulut seperti adanya
berpasir (masir) pada beberapa makanan. Istilah tersebut
antara
lain adalah
"gritty" untuk buah pear dan es krim
(Abbott, 1972, Brandt, Skinner dan Coleman,
1963,
Potter,
1980, Kramer dan Twigg, 1984 dan Potter, 1980). Sementara itu
Potter (1980) menggunakan istilah "grainyn dan "sandym untuk
es kr im.
Dengan
Indonesia
demikian
untuk
ada beberapa
menyebut
masir,
istilah dalam
yaitu
dengan
Bahasa
istilah
"kopyorn, "mempurW, "menepungqqdan "berpatitl,yang tergantung
pada
komoditas atau penulis yang melapurkannya.
Sedangkan
dalam Bahasa Inggris untuk menyatakan tekstur masir dengan
istilah-istilah nmealytaatau "flourym, "grainyw, Wgrittyn dan
qqsandyw. Istilah masir
antara
ini dalam Bahasa
"sandyqa, "gritty"
dan
Inggris dibedakan
"grainyw, berdasarkan ukuran
partikel yang memberi tekstur masir tersebut (Abbott, 1972
dan Brandt et al., 1963). Ukuran partikel untuk qqsandya*
lebih
besar dari pada "grittyw dan "gritty" lebih besar dari pada
"grainyw.
Arthey (1975) membedakan antara "mealyw dan grittyaqpada
penyebab terjadinya tekstur masir. Bila pada tgmealyqq
tekstur
masir disebabkan oleh terdeteksinya butiran pati oleh mulut,
sedangkan pada
Itgrittyqa oleh adanya benda asing
sel
yang
keras
qapasiraltermasuk
adanya
Pernyataan Arthey
(1975) di atas sesuai dengan apa yang
dinyatakan oleh Jowwett ( 1974) dalam
(stone
seperti
Piggot
cell).
(1984) yang
menyatakan h h w a
"mealyw dan "grittyt* adalah tekstur yang
berhubungan dengan struktur bahan yang menyatakan beda ukuran
dan bentuk partikel.
Sedangkan menurut Kramer dan ~ w i g g
(1984), tekstur Wmealyot adalah sifat organoleptik yang
dirasakan oleh mulut selain penutupan pati, adalah bahan lain
yang bersifat adesif sehingga juga dapat menutupi permukaan
lidah.
Szczesniak (1963) membagi tekstur makanan yang dirasakan
mulut dalam 3 kelas, yaitu sifat mekanik, sifat geometrik dan
sifat lainnya. "Grittyw termasuk dalam sifat geometrik yang
berhubungan
dengan
ukuran,
bentuk
dan
orientasi
dari
partikel. Sedangkan "mealyN termasuk dalam sifat mekanik yang
berhubungan dengan reaksi wakanan dengan tekanan.
2. Deskripsi masir
Deskripsi masir ada beberapa macam tergantung pada
komoditas atau cara pengujian yang dilakukan oleh para
penulis.
Pada
buah
salak,
masir
yang mengandung butiran-butiran
dikupas dagingnya sedikit
digambarkan
seperti
sebagai buah
kristal dan bila
melekat pada bijinya
(sunarjono,
1987). Buah ape1 masir biasanya disertai buah yang
lunak,
kering, seperti berpasir dan sudah tidak segar lagi (Kusumo,
1974). Sedangkan pada ubi jalar masir bila direbus daging
buahnya
kering dan tidak
lembek
(Soemartono,
1984) , sama
dengan apa yang dikatakan oleh Edmond dan Ammerman
terhadap ubi jalar "mealy". Pada umbi
9
(1971)
kentang masir dapat
.
diketahui bila direbus, yaitu akan terjadi pecah-pecah atau
merekah (Sunarjono, 1975) seperti juga apa yang
dikatakan
oleh Linehan dan Hughes (1969a).
Berbeda dengan deskripsi buah apel aasir yang diberikan
oleh orang Indonesia, penulis Barat (Schoorl dan Holt, 1983)
menyatakan bahwa buah
terlebih dahulu hancur
apel masir adalah bila dimakan
di gigi waktu digigit dan tidak ada
pecahan yang bersih dari jaringan. Adapun penulis Barat yang
lain (Anonymous, 1963) menyatakan bahwa buah apel masir
adalah buah apel yang lunak, kering rapuh atau mudah pecah
dan tidak
'*juicym.
Demikian pula pada umbi kentang rebus yang masir ada
beberapa macam untuk mendeskripsikannya. Ridly dan Lindsay
(1984) menyatakan bahwa umbi kentang rebus yang masir adalah
umbi kentang yang kering dan rapuh dan bila dimakan mudah
hancur. Sedangkan Burton (1966) menyatakan bahwa umbi kentang
rebus yang masir adalah umbi kentang yang kering, rapuh dan
mudah dirusak dengan garpu.
3. Penyebab kemasiran
Berdasarkan pengertian masir di muka, maka penyebab
kemasiran pada dasarnya yaitu adanya butiran pada makanan
tersebut yang dirasakan oleh mulut. Namun butiran yang
terdeteksi ada bermacam-macam tergantung pada komoditasnya.
Butiran-butiran penyebab terbentuknya tekstur masir tersebut
antara lain seperti pati, butiran dan butir kristal gula.
Penyebab utama tekatur masir pada umbi kentang rebus
adalah kadar pati, dimana kadar pati makin tinggi kemasiran
akan semakin tinggi (8armore, 1937, Bettleheim dan sterling,
1955a dan
Smith, 1977). Kadar pati yang tinggi akan
menyebabkan sel umbi kentang dalam perebusan akan terpisah
dengan memberikan tekstur masir. Masalah pemisahan sel pada
umbi kentang rebus akan dijelaskan dalam bab histologi masir.
Kemasiran pada umbi kentang
terjadi bila dilakukan
perebusan atau pemasakan. Butiran pati yang menyebabkan
kernasiran tersebut berupa pati yang telah tergelatinasi, yang
menyebabkan sel-sel umbi kentang rebus terpisah (Nonaka,
1980)
membentuk butiran-butiran yang dapat dirasakan oleh
mulut seperti berpasir.
Butiran
Tejadinya tekstur masir pada 'buah salak adalah akibat
adanya
butiran-butiran seperti kristal yang terasa di mulut
(Soenarjono,
Namun
1987).
belum
ada
penelitian
yang
mengidentifikasi butiran tersebut.
Tekstur masir pada buah ape1 juga disebabjcan adanya
seperti butiran yang terasa di mulut (Kusumo, 1974). Walaupun
tidak
disebutkan
apa
butiran
tersebut,
dilaporkan oleh Reeve dan Leinbach (1953),
tetapi
bahwa tekstur
masir tersebut terjadi akibat lemahnya ikatan antar
11
telah
sel yang
disebabkan oleh terjadinya dekomposisi pektin pada dinding
sel dan lamela tengah (Janick, et al., 1981). Ada kemungkinan
akibat ikatan sel yang lemah tersebut menyebabkan jaringan
buah
sewaktu dimakan
kemungkinan pecah-pecah
terasa
lunak dan
yang
kemudian
pembentuk butiran-butiran yang
terasa di mulut seperti berpasir.
Berbeda dengan umbi kentang, buah
apel mengalami
kemasiran setelah dipetik dan disimpan cukup lama. Sentakin
lama penyimpanan tingkat kemasiran semakin tinggi dan semakin
tua umur panen
buah apel semakin cepat menjadi masir
(Tindale, 1966, Finney, 1971, Kusumo, 1974, Gorin
1975, Dhanaraj, Ananthakrishna
et al.,
dan Govindarajan, 1980 dan
Suhardjo, 1985) .
Pada buah salak, kemasiran terjadi bila buah dipetik
sangat
tua
atau sudah lewat matang (Ochse, 1927, Tohir,
1970 dan Sunarjono, 1987). Namun ternyata ada beberapa
kultivar buah salak yang walaupun dipetik sangat tua atau
lewat matang tidak dapat masir, misalnya
salak "Balin dan
salak daging buah merah dari Sumatra Utara (Sunarjono, 1987).
Mengapa ada buah salak yang dapat masir dan tidak dapat masir
belum ada penulis yang melaporkannya.
Rristal gula
~eksturmasir yang disebabkan oleh kristal gula terjadi
misalnya pada es krim. Kristal gula yang terbentuk pada es
krim disebabkan oleh kesalahan dalam pengolahannya. Gula yang
membentuk kristal pada es krim tersebut adalah laktosa dan
terbentuk kristal akibat konsentrasi laktosa yang berlebihan
(Potter, 1980) .
Terjadinya
tekstur masir pada es krim berbeda dengan
buah apel atau umbi kentang. Pada es krigl terbentuknya
tekstur masir karena kesalahan dalam pengolahan, buah apel
setelah pemetikan, buah salak sewaktu di pohon dan umbi
kentang setelah direbus.
8.
HXSTOLOGI AEMASXRAN
Pada dasarnya tekstur masir baik pada buah apel atau
umbi kentang rebus adalah sama, yaitu akibat terjadinya
pemisahan sel pada komoditas tersebut (Reeve dan Leinbach,
1953 dan Burton, 1966). Sedangkan perbedaannya adalah pada
penyebab terjadinya pemisahan sel pada kedua komoditas
tersebut.
Pembahasan mengenai histologi masir hanya dilakukan pada
komoditas buah apel dan umbi kentang, karena hanya kedua
komoditas ini yang sudah banyak dilakukan penelitian. Selain
itu kedua komoditas ini sudah cukup untuk mewakili buahbuahan dan umbi-umbian yang merupakan komoditas hasil
pertanian yang banyak dijumpai adanya tekstur masir.
1. Buah a p e l
Pada proses pematangan buah zat, pektin yang terdapat
pada dinding sel dan lamela tengah yang berfungsi sebagai
perekat
berubah dari tidak larut menjadi mudah
larut
(Kertezs, 1952, Woodmansee, HcClendon dan Somers, 1959,
Pilnik dan Voragen, 1970 dan Duckworth, 1979). Buah apel yang
masih muda ikatan antar sel masih sangat kuat dan kemudian
semakin tua terjadi pemisahan sel semakin banyak,
sehingga
buah apel menjadi masir (Tetley, 1931), seperti terlihat pada
Gambar 1 di bawah ini.
'
Gambar 1. Irisan sel dari daging buah apel : (a) pada saat
masih muda (b) setelah buah menjadi tua (s:
sitoplasma, i: inti sel, v: vakuola, r: ruang antar
sel dan p: granula pati) (Tetley, 1931).
Pemisahan sel pada buah apel yang merupakan dasar
terjadinya buah apel masir yang telah dipelajari oleh Reeve
dan Leinbach (1953), yaitu.dengan cara pemanasan. Pada Gambar
2 terlihat bahwa pada buah apel "Rome Beautyw yang
telah
dikukus menjadi terpisah dibanding yang masih segar terlihat
selnya masih terikat satu sama lain.
14
Gambar 2. Irisan buah apel "Rome Beautyw segar (a) ( X I S O )
(c: cuticule, e: epidermis) dan setelah pengukusan (b) ( X 1 5 0 ) (Reeve dan Leinbach, 1953).
Terpisahnya sel pada buah apel yang dipanaskan tersebut
adalah juga diakibatkan oleh perubahan zat pektin yang tidak
larut menjadi mudah larut pada dinding sel dan lemela tengah.
Pada pemanasan protopektin yang tidak mudah larut akan
mengalami degradasi pada suhu 85O C, sehingga menyebabkan
melemahnya dinding sel dan ikatan antar sel (Nonaka, 1980).
Pemisahan sel dari buah apel dapat pula terjadi pada
penyirnpanan secara beku (sterling, 1968). Pada penyimpanan
beku, bila
pembekuan dilakukan dengan perlahan-lahan, maka
akan terjadi kristal es yang besar yang selain dapat
memisahkan sel juga merusak sel. Kristal es yang besar
tersebut dapat memecahkan dinding sel dan merobek jaringan
buah apel seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar
3. Irisan buah apel "Red ~elicious~
yang dibekukan
pada suhu -17O C dengan larutan gliserol 5 % (a)
dan gliserol 20% (b) dengan pembesaran X 51
(Sterling, 1968).
Pemisahan sel buah apel oleh kristal es tersebut bukan
karena perubahan zat pektin pada dinding sel
tengah yang dari
dan lamela
tidak larut menjadi mudah larut, tetapi
pemisahan secara mekanik. Pemisahan secara mekanik yang lain
juga telah dilaporkan oleh Reeve dan Leinbach (1953)' yaitu
pemisahan sel buah ape1 oleh keluarnya atau lepasnya gas
antar sel selama buah ape1 dikukus. Namun yang mungkin
menjadi pertanyaan adalah apakah kasus pemisahannya sel dalam
penyimpanan beku atau pengukusan tersebut juga
apel masir.
termasuk buah
rr.
Buah
apel
dalam
perkembangannya
menunjukkan bahwa pada buah yang semakin
(intersellular
spaces) juga
selama
di
pohon
tua ruang antar sel
akan semakin meningkat (Bain
dan Robertson, 1951 dalam Leopold dan Kriedermann, 1983)
. Hal
ini berarti gas yang ada pada ruang antar sel pada buah apel
yang semakin tua juga semakin tinggi.
Suhardjo (1985)
Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa buah apel yang semakin tua
dalam penyimpanan akan semakin cepat mengalami kemasiran.
Kecepatan
kemasiran berbeda
(Smock, 1977 dan Watada, et al.,
untuk
setiap
kultivar
1980). Hal ini kemungkinan
salah satu penyebab adalah perbedaan persentase ruang antar
sel pada buah apel tersebut. Hasil pengamatan Reeve (1959)
menunjukkan bahwa buah apel wDeliciousw, "Newtown Pippinw dan
"Winesapw mempunyai ruang antar sel 2 0 - 2 2 % ,
"Rome Beautyw
mempunyai ruang antar sel 23-34% dan "Gravenstein" di atas
25%.
Pada Gambar 4 terlihat ruang antar sel dari buah apel
nDeliciousw yang matang, tetapi tidak masir.
Gambar 4.
Irisan dari kulit sampai daging buah apel
ulDeliciousll
(X 150); c: cuticule, e: epidermis
s: intercellular space (Reeve, 1959).
2. Umbi kentang
Penelitian tentang tekstur
kentang
rebus
masir (mealy) pada umbi
telah lama dilakukan, yaitu sejak tahun 1897
(Anonymous, 1973) dan telah diketahui bahwa ada hubungan yang
sangat erat antara kemasiran umbi kentang rebus dengan kadar
patinya (Caudon dan Bussard, 1897 yang dikutip oleh
1937).
Selanjutnya secara umum telah
Barmore,
disetujui bahwa
kemasiran umbi kentang rebus disebabkan oleh terjadinya
disintegrasi atau pemisahan sel dari umbi, tetapi tidak
terjadi pemecahan sel yang dapat menyebabkan butiran pati
keluar dari sel (Barmore, 1937).
Teori terjadinya umbi kentang rebus yang masir secara
umum dikenal dengan sebutan "swelling theoryN (Nonaka, 1980),
yang menyatakan bahwa pada umbi kentang yang direbus akan
terjadi pembengkakan dan gelatinasi dari granula pati yang
mengakibatkan terjadinya pemisahan sel. Proses membulatnya
sel pada umbi kentang rebus tersebut sangat tergantung pada
kadar patinya, seperti terlihat pada Gambar 5.
Pada Gambar 5a terlihat sel umbi kentang segar yang
dipenuhi oleh granula pati. Kemudian setelah dilakukan
perebusan, maka membulatnya sel maupun terpisahnya sel sangat
dipengaruhi oleh kadar pati. Pada kadar pati 19% tampak sel
masih terikat satu sama lain (Gambar Sb), sedangkan pada
kadar pati antara 19-24% tampak sel telah sedikit membulat
dan sebagian masih terikat (Gambar Sc). Pada kadar pati yang
besarnya
24% ke atas baru tampak sel telah menjadi bulat dan
terpisah (Gambar 5d).
'
P = granula p a t i
(a
Gambar 5 . S e l umbi kentang s e g a r ( a ) , yang t e l a h d i r e b u s
sempurna dengan kadar p a t i 19% ( b ) , kadar p a t i
19-24% (c) dan kadar p a t i 2 4 % ( d ) k u l t i v a r
"Arrant Bunner" (Burton, 1 9 6 6 ) .
Kadar pati pada umbi kentang selain dipengaruhi oleh
tingkat ketuaan juga dipengaruhi oleh kultivar (Reeve, 1954b,
Burton, 1966 dan Smith, 1977). Hal inilah yang menyebabkan
mengapa ada kultivar kentang yang dapat masir dan kultivar
yang tidak masir. Gambar 6 tampak bahwa pada umbi kentang
"Russet
Burbankn yang mempunyai kadar pati 15,929 setelah
direbus
selnya terpisah (Gambar 6a). Sedangkan pada umbi
kentang wgChippewanyang mempunyai kadar pati 7 , 7 5 9
ikatan
selnya masih kuat (Gambar 6b).
kentang yang telah direbus,
Gambar 6. Irisan umbi
kultivar HRusset Burbankw (a) dan kultivar
Ifchippewan(b) (Sterling dan Bettelheim, 1955)
Mudah tidaknya sel terpisah pada umbi kentang rebus
kemungkinan juga disebabkan oleh perbedaan komposisi bahan
tersebut. Menurut Linehan dan Hughes (1969b) ikatan antar sel
(intercellular adhesion) pada umbi kentang dipengaruhi oleh
kadar pati, kadar amilosa (bttelheim dan Sterling, 1955a) ,
uronide dan kalsium (Bettelheim dan Sterling, 1955b) berbeda
untuk setiap ku1ti;ar.
20
Terjadinya tekstur masir pada umbi kentang rebus selain
dipengaruhi oleh kadar pati juga dipengaruhi oleh perubahan
zat pektin {Hughes, Faulks dan Grant, 1975 dan Nonaka, 1980),
yaitu zat pektin pada dinding sel dan lamela tengah yang
tidak larut menjadi mudah larut akibat pemanasan. Pemanasan
yang terlalu lama (Sterling dan Bettelheim,
1955) dan suhu
yang semakin tinggi (Reeve, 1954a) akan menyebabkan semakin
lemahnya
dinding
sel
dan
mengakibatkan
pati
yang
tergelatinasi akan keluar dari sel dan membentuk tekstur yang
atau wgummyw.
C.
FAXTOR-FAXTOR FISIX DAN KIMIA KEMASIRAN
Salah satu ha1 yang penting dalam hubungannya dengan
tekstur adalah struktur fisik (~zczesniak, 1963) yang dalam
makanan ada hubungannya langsung dengan komposisi kimia
maupun dengan
sifat
f isik
(DeMan, 1976)
.
Dengan
demikian
mempelajari aspek kimia selain sifat fisik pada tekstur masir
merupakan salah satu ha1 yang sangat penting.
Penelitian tentang pengaruh sifat kimia
pada tekstur
umbi kentang yang telah dimasak sudah banyak dilakukan
(Barmore, 1937, Reeve, 1954a, 1954b, ~ettelheimdan Sterling,
1955a, 195Sb, Linehan dan Hughes, 1969b, Malone, True dan
Barden, 1977, dan Tanaka, 1980), sedangkan pada buah ape1 ada
beberapa penelitian yang sudah dilakukan (Reeve dan Leinbach,
1953 dan Woodmansee, McClendon dan Somers, 1959). Pada umbi
kentang
sifat kimia yang banyak
21
dibahas adalah pati,
zat
.
pektin dan
protein, sedangkan pada buah apel yang dibahas
adalah zat pektin. OeJIIikian pula sifat fisik sudah banyak
yang dipelajari dari umbi kentang.
1. S i f a t f i s i k
Beberapa sifat f isik pada umbi kentang dalam kaitannya
dengan tingkat kenasirannya telah banyak dilaporkan oleh
beberapa
peneliti,
antara
lain berat
-
jenis
(Sterling dan
Bettelheim, 1955 dan Brown, 1968 dalam Smith, 1977), #tensile
strengthn (Freeman, 1942), porositas yang dinyatakan dengan
"toluen
index
(Freeman,
1942 dan Reeve,
1954),
strengthN, persentase nsloughingw dan persentase
wshear
pemisahan
sel (Sterling dan Bettelheim, 1955).
Berat j e n i s
Berat jenis diukur pada umbi kentang yang masih segar.
Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa
antara berat jenis
ada hubungan yang erat
dengan kemasiran umbi kentang yang telah
dirnasak, yaitu semakin tinggi berat jenis umbi kentang segar
semakin tinggi
pula tingkat kemasiran
umbi kentang yang
telah dimasak dengan koefisien korelasi ( r ) 0,8712
1968 dalam
Smith,
1977)
.
Hal tersebut
disebabkan
(Brown,
karena
semakin tinggi berat jenis juga semakin tinggi pula kadar
patinya (Bettelheim dan Sterling, f95Sa).
Pada buah apel
hubungan antara berat jenis dengan'
tingkat kemasirannya secara tidak langsung sudah diketahui,
yaitu bahwa semakin tua buah apel semakin rendah berat
jenisnya (Kusumo, 1974)
.
Buah ape1 pada umumnya terjadi
kemasiran setelah dilakukan penyimpanan.
terjadi
penguapan
sejumlah
air,
Pada penyimpanan
sehingga
menyebabkan
terjadinya susut bobot.
"Tensile strengthw
"Tensile
strength"
adalah
tekanan
minimum
yang
dibutuhkan untuk mendorong irisan umbi kentang menjadi
hancur .
"Tensile strengthu diukur pada umbi kentang yang segar.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
nyata antara "tensile strengthw tersebut dengan tingkat
kemasiran umbi kentang yang telah dimasak
(~ersonius dan
Sharp, 1938 dan Sterling dan Bettelheim, 1955).
Besarnya
"tensile strengthM tidak bisa menentukan
tingkat kemasiran umbi kentang yang telah dimasak. ~ebagai
misal
umbi
kentang "Smooth Ruralw mempunyai "tensile
strength" 6 , 8 8 kg/cm2 setelah dimasak mempunyai tekstur
masir, dan "Green Mountainftyang lembek setelah dimasak
mempunyai nilai "tensile strength" 6,66 kg/cm2. Namun ' untuk
umbi kentang IgRussetRuralw yang juga lembek setelah dimasak
ternyata mempunyai nilai "tensile strengtho 7 ' 2 8 kg/cm2 , yang
lebih besar dari pada "Smooth Ruraltg (Personius dan Sharp,
1938). Demikian pula hasil pengamatan Sterling dan Bettelheim
(1955), bahwa "tensile strengthw tidak ada hubungan secara
nyata dengan tekstur masir (Tabel 1).
'"Shear strength"
"Shear strengthH
diukur dengan cara membuat irisan umbi
kentang dengan ukuran tertentu diiris dengan alat *"guillotine
typew. Tekanan yang dibutuhkan untuk memecah irisan tersebut
merupakan Ifshear strengthn.
"Shear strengthm diukur pada
umbi
kentang
segar dan
setelah dimasak. Telah dilaporkan bahwa "sheas strengthn juga
tidak ada hubungan yang nyata dengan tingkat kemasiran Umbi
kentang "Russet Burbank" segar
(Tabel 1) mempunyai "shear
strengthw 10.814 g / c ~ 2dan setelah dimasak nilainya menjadi
314 g/cm2 dan
merpunyai tekstur masir.
Pontiacw yang tidak masir
Sedangkan " R e d
(lembek) mempunyai nilai "shear
strengthw segar 9.076 g/cm2 dan setelah dimasak 0.376 g/cm2
(Sterling dan Bettelheim, 1955).
be1 1. Hubungan antara beberapa sifat fisik ("tensileR dan
"shear strengthw, msloughinga, dan sel terpisah
dengan kemasiran umbi kentang masak
Varietas
Russet
bank
"Tensile
stren thw
?
(gfcm 1
Bur- (s) 9 093
(m)
Kennebec
"Shear
qqSlou- sel ter- Tekspisah
tur
stren thn ghingn
4
(g/cm
(a
(skor)
10 814
314
64,24
93,2
194
(s) 7 070
(m)
7 682
379
11,22
82,O
169
Green Mountain
(s) 7 499
(m)
7 765
2 12
61,69
81,2
168
Red Pontiac
(s) 7 727
(m)
9 076
376
25,83
64,8
107
(s) 6 370
(m)
7 389
15,66
55,6
102
Chippewa
342
-
Sumber : Sterling dan Beetelheim (1955)
Keterangan :
s = segar
m = masak
Tekstur : skor 216 = masir
144 = medium
7 2 = lembek
Porositas
Persentase porositas diperoleh dengan cara mengukur
total permukaan area dari pori-pori dan kantong udara
internal. Untuk pengukuran ini lebih mudah didekati dengan
mengukur volume ruang udara internal. Volume ruang udara
internal diukur dengan cara menimbang langsung bahan contoh
sebelum dan setelah pori-pori diisi dengan cairan "inertu.
Perbedaan antara berat sebelum dan sesudah diisi tersebut
25
d i b a g i dengan berat bahan contoh dan d i k a l i k a n 100 a d a l a h
merupakan n i l a i p o r o s i t a s (Freman, 1942).
T i n g k a t kemasiran umbi
k e n t a n g yang t e l a h d i b a k a r ada
hubungannya dengan besarnya porositas.
Pengukuran porositas
d a p a t d i l a k u k a n d e n g a n m e n y a t a k a n sebagai " t o l u e n i n d e x n
(Freeman,
(Reeve,
1942) a t a u
.
1 9 5 4 ~ ) Oleh
d e n g a n m e l i h a t secara m i k r o s k o p i s
Freeman
(1942)
diperoleh
bahwa
umbi
k e n t a n g b a k a r y a n g memhunyai t e k s t u r m a s i r adalah y a n g
mempunyai
"toluen
indexH 3 , 5
-
6 , 3 % dan yang t i d a k m a s i r
0,O-1,5%.
Pada buah ape1 t e l a h d i l a k u k a n pengamatan t e r h a d a p r u a n g
a n t a r sel, namun belum d i k a i t k a n dengan t i n g k a t kemasirannya.
Telah dilaporkan
bahwa semakin t u a
a n t a r sel yang semakin t i n g g i
(Bain
buah mempunyai
d a n Robertson,
dalam Leopold dan Kriedermann, 1 9 8 3 ) . S e l a i n i t u juga
d i k e t a h u i bahwa
berbeda,
ruang
antar
sel
ruang
1951
telah
s e t i a p v a r i e t a s dapat
y a i t u "Rome B e a u t y w 23-24%, @ l G r a v e n s t e i n w2 5 % ,
" D e l i c i o u s M , "Newtown P i p p i n " dan "Winesapw 20-222
(Reeve,
wSloughingu dapat d i a r t i k a n peristiwa pelepasan d a r i
s e b a g i a n j a r i n g a n umbi k e n t a n g y a n g d i r e b u s .
Pengukuran
b e s a r n y a " s l o u g h i n g w d i l a k u k a n dengan c a r a mendidihkan 10 g
i r i s a n k e n t a n g dengan 20 cc aquades selama 30 m e n i t . S e t e l a h
d i n g i n d i t u a n g k a n dalam s a r i n g a n kawat dengan ukuran mesh
0,25
in yang terendam sebagian dalan air.
Setelah itu
diangkat dan direndam sebagian lagi, kemudian diangkat lagi
sampai 10 kafi. Jaringan umbi kentang yang lewat sampai
selanjutnya dikeringkan pada suhu 80°
C yang dinyatakan
sebagai Nsloughingu (Whittenberger dan Nutting, 1953).
Persentase nsloughingtt pada umbi kentang yang telah
dimasak ternyata ada hubungannya dengan tingkat kemasiran.
Semakin besar persen MsloughingM menunjukkan seiaakin tinggi
pupa tingkat kernasirannya (r = 0,62). Umbi kentang "Russet
Burbank" yang masir mempunyai persentase nsloughing* 64,24 %
berat kering dan VhippewaM yang lembek hanya 15,66% berat
kering (Tabel I) (Sterling dan Bettelheim, 1955).
Pemisahan sel
Terjadinya tekstur
masir pada umbi kentang yang telah
dimasak adalah akibat sel yang terpisah. Banyaknya sel
terpisah menentukan tingkat kemasirannya yaitu semakin besar
sel terpisah, maka tingkat kemasirannya juga semakin besar.
Besarnya
sel
mikroskopis.
Burbank"
terpisah
tersebut
dapat
diamati
secara
Telah diperoleh bahwa umbi kentang "Russet
yang
masir
mempunyai
sel
terpisah
93,2%
dan
llChippewauyang lembek hanya mempunyai 5 5 , 6 % , seperti tampak
pada Tabel 1 (Sterling dan Bettelheim, 1955).
Perubahan kekerasan urabi kentang setelah direbus sudah
diketahui , namun
lama
kemasiraannya. Uinbi
tidak
+
dengan
tingkat
kentang yang direbus akan menjadi lunak
dan kelunakannya tersebut erat
patinya (r = 0,70
dikaitkan
0.08).
hubungannya dengan kadar
Sedangkan tingkat kemasiran umbi
kentang rebus telah diketahui bahwa semakin
tinggi kadar
patinya semakin tinggi pula tingkat kemasirannya (Barmore,
1937).
Pada buah apel juga telah diketahui bahwa buah apel
masir mempunyai tekstur yang lunak (Anonymous, 1983, Liu dan
King, 1978 dan Suhardjo, 1985). Liu dan King
mengukur
kekerasan buah apel t*MclntoshMdengan penetrometer
"Effegiu yang menunjukkan bahwa kekerasan 6,3
dinyatakan
dan
3,6
(1978) telah
kg ke atas
tekstur yang keras, 5,9 kg tekstur yang
kg mempunyai tekstur
"renyahU
yang sangat lunak (sangat
masir).
Sedangkan pada buah apel "Rome Beautyn (dengan kulit)
yang kekerasannya juga diukur dengan penetrometer "Effegi"
menunjukkan bahwa tekstur agak masir
{tidak keras, tetapi
tidak lunak) sekitar 6,89 kg. -Buah apel yang sudah masir
mempunyai tingkat kekerasan sekitar 5,28 kg (~uhardjo,1985).
-2. Zat pektin
Pada
buah
apel, terjadinya pemisahan
disebabkan oleh melemahnya
sel
ikatan antar sel
yang
masir
(Reeve dan
Leinbach, 1953). Sedangkan yang menyebabkan melemahnya ikatan
sel
adalah
akibat
terjadinya
perubahan
zat
pektin
(protopektin) yang merupakan bahan pengikat antar sel dari
tidak mudah larut menjadi mudah larut (Tetley, 1931, Kertezs,
1951, Reeve dan Leinbach, 1953, Pilnik dan Voragen, 1970 dan
Janick, et al., 1981).
Pada buah-buahan, perubahan protopektin yang merupakan
zat
pektin yang tidak larut menjadi mudah larut pada proses
pematangan adalah disebabkan oleh kerja enzim. Enzila yang
bekerja pada perubahan zat pektin tersebut adalah enzim
pektinesterase dan enzirn poligafakturonase (Kulp, 1975,
Pilnik dan Rombouts, 1979 dan Duckworth, 1979).
pektinesterase
Enzim
dalam perubahan zat pektin bereaksi sebagai
penghilangan gugus metil dari polimernya (deesterifikasi),
sedangkan enzim poligalakturonase bereaksi sebagai pemutus
rantai poligalakturonase menjadi unit-unit yang
lebih kecil
dan akhirnya menjadi asam galakturonat (Gambar 7).
Pada
umumnya buah-buahan mempunyai enzim pektinesterase, sedangkan
enzim poligalakturonase banyak terdapat hanya pada buahbuahan tertentu saja (Kertezs, 1951) misalnya pada buah
tomat, persik, apokad dan pear (McCready dan Mocomb, 1954 dan
Pilnik
dan
Voragen,
1970).
Sedangkan pada
buah
apel
dilaporkan tidak terjadi aktifitas depolimerisasi z a t pektin
(Pilnik dan Voragen, 1970 dan Hulme dan Rhodes, 1971), yang
berarti bahwa tidak ada aktifitas atau sangat kecil enzim
poligalakturonase pada buah apel.
Gambar 7. Pernecahan molekul pektin oleh enzim
pektinesterase dan poligalakturonase (Pilnik dan Rombouts,
1979).
Enzim pektinesterase pada buah apel sangat kecil sekali
dan bahkan menurut Kulp (1975) ada beberapa penulis yang
melaporkan
bahwa
buah
apel
tidak
mempunyai
enzim
pektinesterase tersebut. Oleh karena sangat kecilnya, maka
Hulme dan Rhodes
(1971) menyatakan bahwa
pektinesterase pada proses pematangan
aktifitas enzim
buah apel tidak cukup
berpengaruh terhadap pelunakan buah.
Dengan demikian yang menjadi pertanyaan kemudian adalah
enzim apa yang berperan dalam pelunakan atau melemahnya
lamela tengah dan dinding sel buah apel selama pematangan,
kalau
bukan
karena
kerja
enzim
pektinesterase
dan
poligalakturonase. Menurut Hulme dan Rhodes (1971), enzim
yang merubah protopektin menjadi zat pektin yang mudah larut
adalah enzim aaprotopektinaseN.
Namun mereka menyatakan bahwa
enzim tersebut masih sedikit yang diketahui, seperti halnya
struktur protopektin (Joslyn, 1962) yang juga belum diketahui
secara
tepat.
Walaupun
beluxt
sepenuhnya diketahui enziianya yang
berperan dalam proses pelunakan buah apel selama pematangan,
tetapi beberapa peneliti (Dick, et al., 1985 dan Lindster, et
al.,
1986)
telah
mencoba
menghambat ker ja enzim
4-
menghambat
pelunakan
dengan
galaktosidase. ~ a s i lpenelitian
mereka menunjukkan bahwa dengan menghambat kerja enzim
galaktosidase dengan menggunakan z a t
fi
-
polifenol (klorogenat,
katecin, quersetin) pelunakan buah apel selama pematangan
dapat dihambat.
Tingkat kemasiran buah apel ada hubungan yang erat
dengan kekerasan atau pelunakan daging buah (Liu dan King,
1978 dan Suhardjo, 1985) , yaitu buah apel yang semakin lunak
mempunyai kemasiran yang semakin
tinggi. Hal ini berarti
bahwa menghambat kerja enzim /3-galaktosidase tersebut di atas
juga kemungkinan berarti dapat wenghambat proses kemasiran.
Keterangan : Mt : Mentah;
M : Matang;
LM : Leuat matang
[
: Pektin t o t a l
[
: Pektin terlarut
Gambar 8 : Perubahan total pektin
dan pektin terlarut
selama pematangan buah apel "Red Delicious1I
(a) dan Stayman (b) (Woodmansee, et al., 1959)
Buah apel yang semakin tua mempunyai kadar pektin yang
semakin kecil (Kertezs, 1951). Pada penyimpanan, buah apel
yang semakin tua akan cepat menjadi masir (Tindale, 1966,
Kusumo, 1974 dan Suhardjo, 1985). Apakah kecepatan kemasiran
buah apel tersebut ada hubungannya dengan besar kecilnya
kadar pektin, ternyata ha1 ini belum ada peneliti yang
mengaitkannya. Demikian pula apakah perbedaan kecepatan
kemasiran pada buah apel yang berbeda
(Smock, 1977) juga
disebabkan oleh kadar pektin yang berbeda, sebab setiap
kultivar
mempunyai
kadar
pektin
yang
berbeda
pula
(Woodmansee, et al., 1959 dan Gormley, 1981). Kadar pektin
buah apel "Red DeliciousM lebih kecil dari pada kadar pektin
buah
apel
"Stayman" (Gambar 8).
Buah
apel nRed ~elicious~
termasuk buah apel yang mudah masir (Smock, 19771, tetapi
belum ada yang melaporkan buah apel "Stayman" termasuk mudah
masir atau tidak.
Sedangkan pada umbi kentang telah dilakukan penelitian
mengenai pengaruh kadar pektin umbi kentang segar terhadap
tekstur masir setelah dimasak (Bettelheim dan Sterling,
1955b) seperti terlihat pada Tabel 2. ~ a s i lpenelitian
tersebut
menunjukkan bahwa kadar zat
pektin berbeda untuk
setiap kultivar dan bila kalsium yang berikatan dengan zat
pektin sebagai dasar, maka total kalsium pada umbi kentang
segar tidak mempengaruhi tekstur
masir pada umbi kentang
yang telah masak.
Walaupun kadar total zat pektin pada umbi kentang =gar
tidak berpengaruh terhadap tekstur masir umbi kentang yang
telah dimasak, tetapi
perubahan zat pektin akibat pemanasan
Tabel 2. Sifat total zat pektin pada umbi kentang
Kadar
Kadar
Kadar
Kadar
Uranida Ca pek- Ca pektat Ca
tinat
Var ietas
Russet
Burbank
Russet
Burbank
Kennebec
segar
267,O
179,l
298,4
6,47
masak
156,6
168,l
268,l
5,42
segar
178,7
197,3
410,7
16,lO
masak
145,l
156,8
251,3
8,46
segar
masak
Green
Mauntain
segar
masak
Cobbler
segar
masak
Triumph
segar
masak
Bliss
Triumph
segar
masak
White Rose
segar
masak
Red Pontiac
segar
masak
segar
masak
Sumber : Bettleheim dan Sterling (1955b)
Organoleptik
194
183
ikut berperan dalam proses pemisahan sel (Linehan dan Hughes,
1969b,
dan
Nonaka,
1980).
Pada
penanasan
75-lloO
C
(Holdsworth, 1979) atau 85O C (Nonaka, 1980) protopektin akan
berubah menjadi mudah larut, sehingga melemahkan ikatan antar
sel dan ikut krperan dalam pemisahan sel umbi kentang yang
masir.
3.
Zat pati
Pengaruh kadar pati pada umbi kentang segar terhadap
kemasiran sudah lama diketahui, yaitu sejak tahun 1897 oleh
Coudon dan Bussard (Barmore, 1937). Sedangkan pada buah apel
pengaruh kadar pati terhadap kemasiran belum ada yang
melaporkan. Namun tidak secara langsung diketahui bahwa kadar
pati yang semakin tinggi pada buah apel dalam penyimpanan
akan semakin lambat menjadi masir, sebab kadar yang semakin
tinggi berarti buah apel semakin muda (Kertezs, 1951). Buah
apel yang dipetik semakin muda akan lebih lambat menjadi
masir dari pada dipetik semakin tua (Tindale, 1986, Kusumo,
1974 dan Suhardjo, 1985).
Hubungan antara kultivar, berat jenis dan kadar pati
pada umbi kentang segar telah banyak dilakukan penelitian
(Bettelheim dan Sterling, 1955a, Nash, 1941 dalam Burton,
1966, Brown, 1968 dalam
Smith, 1977 dan Malone, et al.,
1977). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa ada hubungan
yang sangat erat antara
kultivar, berat jenis dan kadar pati
dengan tingkat kemasiran umbi kentang
3)
yang dimasak (Tabel
.
be1
3.
Koefisien korelasi antara kultivar, berat jenis
kadar pati dan kadar amilosa dengan kemasiran umbi
kentang yang dimasak
Korelasi
Koefisien korelasi (r)
Varietas dan kemasiran
0,4818
Berat jenis dan kemasiran
0,8712
Total pati dan kemasiran
0,7829
Amilosa dan kemasiran
0,7109
Sumber : Brown, 1968 dalam Smith, 1977
Keterangan : Semua korelasi adalah sangat nyata pada
p = 0,Ol
Peranan pati dalam pembentukan tekstur masir pada umbi
kentang yang dimasak telah dijelaskan (Burton, 1966) di muka.
Kadar pati yang semakin tinggi pada umbi kentang segar akan
menyebabkan pemisahan sel semakin besar pada umbi kentang
yang telah dimasak. Sedang pada pemanasan dengan
suhu yang
tinggi (Reeve, 1954a) atau pemanasan. yang lama (sterling dan
~ettelheim, 1955) akan menyebabkan pecahnya sel dan pati yang
tergelatinasi akan keluar dari sel dan
menyebabkan tekstur
umbi kentang yang dimasak menjadi "stickyw atau vlgurnmyw.
Kadar pati pada umbi kentang sefain dipengaruhi oleh
kultivar dan lokasi tempat tanaman kentang tumbuh (Tabel 4),
juga dipengaruhi oleh tingkat ketuaan umbi kentang
(Smith,
1977). Pada umbi kentang yang semakin tua menunjukkan bahwa
kadar pati maupun kadar amilosanya juga semakin meningkat.
Tabel 4. Pengaruh kadar pati, kadar amilosa, dan berat
jenis terhadap organoleptik umbi kentang yang
telah dimasak
Varietas/asal
K-pati K.ami- Berat Organolep( % ) losa
jenis
tik
g/lOo S
(skor]
Russet Burbank/Utah
19,06
3,14
1,0968
194
Russet Burbank/Idaho
17,05
2'39
1,0871
183
Green Mountain/Utah
16,21
4,46
1,0958
168
Cobbler/N. Dakota
13,48
2,09
1,0835
162
Bliss Triumph/Idaho
12,75
1,15
1,0747
115
White Rose/California
12,20
2,62
1,0680
112
Red Pontiac/Wisconsin
7,12
0,36
1,0577
107
-
Sumber : Bettelheim dan Sterling, 1955a
Keterangan : Skor organoleptik 216 = "mealyw, 144 =
medium dan 72 = lembek. (8 penelis dengan 9
kali ulangan)
Pada Tabel 4 dan 5 dapat diperoleh beberapa kadar pati
pada umbi kentang yang dapat memberikan tekstur masir atau
lembek pada umbi kentang yang telah dimasak.
Umbi kentang
yang sama varietasnya, tetapi beda asal, kadar patinya dapat
berbeda pula.
4.
Nisbah pati dan protein ( U ~ S U
#)~
Menurut Barmore (1937), ada 2 (dua) pendapat mengenai
pengaruh nisbah pati/protein terhadap tekstur masir pada umbi
kentang rebus. Pendapat pertama (Caudon dan Bussard, 1897,
Longwortye, 1917 dan Bobb, 1935) menyatakan bahwa nisbah
patilprotein ada hubungannya dengan kemasiran, sedangkan
pendapat kedua (Horcourt, 1907, East, 1908 dan Butler Horison
dan Boll, 1913) menyatakan bahwa nisbah pati/protein tidak
ada hubugannya dengan kemasiran umbi kentang yang telah
dimasak.
Hasil penelitian (Bormore, 1937) menunjukkan bahwa
memang ada hubungan
antara nitrogen dengan tekstur (r =
-
0,104), tetapi nilainya hampir tidak nyata. Sedangkan
0,34
hubungan antara pati nitrogen dengan tekstur menunjukkan
nilai (r = 0,65) yang lebih besar dari pada hubungan antara
pati saja dengan tekstur (r = 0,56). Namun dari hasil analisa
statistik menunjukkan bahwa perbedaan korelasi di atas tidak
berbeda nyata. Hal ini berarti bahwa peranan nitrogen protein
pada umbi kentang masih diragukan terhadap kemasiran umbi
kentang yang telah dimasak.
Hasil penelitian selanjutnya (Nash, 1941 dalam Burton,
1966)
juga menunjukkan bahwa nisbah pati/protein tidak
berpengaruh terhadap kemasiran umbi kentang yang telah
dimasak, seperti terlihat pad Tabel 5. Pada Tabel 5 terlihat
bahwa bukan besarnya nisbah patilprotein yang berpengaruh
terhadap kemasiran, tetapi yang berpengaruh adalah kadar
pati, kultivar dan lokasi dimana umbi kentang tumbuh.
37
Tabel
5.
Hubungan antara kadar pati dari kentang dan tekstur
setelah dimasak
Tompkins
Lokas i
-----------Pati
(O)
----- ------
Pati/
prot
Steuben
Kon- P a t i
sis)
tensi
-------
----P a t i / Konp r o t sistensi
Wayne
Pati
(%I
Pati/
prot
Konsistensi
Green
Muntain
Poineer
Roral
Houma
Sebago
Katadhin
Warba
Cobbler
Pont i a c
Chippewa
Erlaine
14,83
11,7
5
15,60
89,4
3
11,40
114
2
Sumber : Nash, 1941 dalam Burton, 1966
Keterangan : Nilai konsistensi 0 = sangat lembek dan 10 =
sangat "mealyM. Koefisie~korelasi antara pati
dan konsistensi = + 0,66
(sangat nyata pada P
= 0,Ol).
Pemupukan nitrogen pada tanaman kentang (Smith, 1977)
maupun pada tanaman ape1 (Childers, 1975) ada pengaruhnya
terhadap tekstur. Tanaman kentang yang dipupuk dengan
nitrogen terlalu banyak akan menyebabkan kadar pati rendah.
Hal ini juga berarti pemupukan nitrogen yang tinggi dapat
menyebabkan kemasiran umbi kentang yang dimasak renjadi
rendah. Sedangkan pada buah apel yang dipupuk nitrogen tinggi
kekerasan lebih rendah dari pada yang dipupuk nitrogen
rendah.
D. FAKTOR-FAKTOR FISIOLOGIS KEMASIRAN
Hasil-hasil produksi pertanian adalah termasuk benda
hidup baik semasa masih di pohon maupun setelah dipetik.
Hasil produksi
pertanian
tersebut dalam melangsungkan
hidupnya seperti benda hidup yang lain, yaitu memerlukan
enersi guna melakukan kegiatan metabolismenya. Adapun untuk
memenuhi kebutuhan enersinya tersebut dengan melakukan
respirasi (pernafasan), yaitu dengan pembakaran senyawa
makromolekul
(karbohidrat) dengan menggunakan
O2
(oksigen)
dari udara yang menghasilkan enersi, air dan Cog.
Sebagian terbesar enersi yang disimpan
dalam tanaman
adalah dalam bentuk pati. Padahal pati sangat berperan dalam
pembentukan tekstur masir pada u ~ b ikentang yang dimasak.
Dengan demikian secara tidak langsung kegiatan fisiologis
(respirasi) ikut berpengaruh terhadap kemasiran dari umbi
kentang yang dimasak.
Kegiatan respirasi erat hubungannya dengan proses
pematangan buah. Dengan demikian resirasi erat hubungannya
dengan proses terjadinya tekstur masir pada buah apel, sebab
kemasiran pada buah apel erat hubungannya dengan proses
pematangan
buah.
Kegiatan
dipengaruhi oleh suhu,
0 2 , C02
respirasi
dan etilen.
tersebut
sangat
Proses pematangan buah-buahan sangat dipengaruhi oleh
kecepatan respirasinya. Pada buah-buahan klimakterik, pada
proses
pematangan
akan
terjadi
lonjakan
kecepatan
respirasinya, yang sering disebut pula dengan "respirasi
klimakterik" (Hulme dan Rhodes, 1971)
.
Buah mempunyai mutu makan (eating quality) yang optimal
pada saat buah mencapai matang optimal. Bila pada umuranya
buah dianggap matang optimal pada saat mencapai puncak
klimakterik (Pearson, 1969), seperti terlihat pada Gambar 9,
tetapi untuk buah apel mutu makan yang optimal diperoleh
sedikit setelah puncak klimakterik tercapai (Singh, 1980).
Mutu makan optimal pada buah apel ini mempunyai tekstur yang
renyah atau "crispyw (Finney, 1971, Liu dan King, 1978 dan
Dhanaraj, et al., 1980), yaitu sifat keras yang mudah pecah,
berair dan segar (juicy). Bila sudah sangat lunak (masir),
maka buah sudah tidak disukai konsumen bahkan tidak layak
untuk dimakan (Gorin, et al., 1975).
Buah apel masir terjadi setelah puncak klimakterik
tercapai. Dengan demikian semakin cepat mencapai puncak
klimakterik, kemasiran buah
apel
juga
semakin
cepat.
Kecepatan respirasi pada buah dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu tingkat ketuaan buah, kondisi penyimpanan
(suhu, oksigen
dan
.
(Duckworth, 1979)
karbon
dioksida)
dan
gas
etilen
r
Matang
Klimaterik
Kecepatan
respirasi
:
lunak
Waktu penyimpanan
Saat ->
petik
Pematangan
> Lewat
matang
> Asam pektat
Protopektin -> Pektin ( larut)
+ Me OH
(tidak larut)
Gambar 9. Perubahan kecepatan respirasi selama penyimpanan buah-buahan klimakterik bersamaan dengan
perubahan tekstur dan pektin (Pearson, 1969).
Buah ape1 dalam perkembangan di pohon menunjukkan bahwa
pada saat bunga mekar mempunyai kecepatan respirasi tertinggi
yang kemudian menurun sangat tajam. Setelah mencapai titik
minimum, kecepatan respirasi meningkat semakin tua umur buah.
Pada saat setelah respirasi meningkat tersebut buah ape1
dipetik (Pearson, 1953)
.
Respirasi membutuhkan
O2
(oksigen) guna mengoksidasi
substrat yang biasanya berupa gula sederhana. Sebaliknya
adanya
C02
(karbon dioksida) dapat menghambat respirasi,
karena C02 dapat berfungsi sebagai "competitive inhibitoru
dari reaksi etilen (Eskin, Henderson dan Townsend, 1971).
Pengaruh suhu penyimpanan terhada~kecepatan rerpirasi
buah maupun sayuran sudah banyak penulis yang melaporkan
(Hardenburg, 1971, Duckworth, 1979, Ryall dan Pentzer, 1982
dan
Phan, et