Institutional development of the function recovery of tarakan protection forest as the ecosystem buffer of small islands

PENGEMBANGAN INSTITUSI PEMULIHAN FUNGSI HUTAN
LINDUNG PULAU TARAKAN SEBAGAI PENYANGGA
EKOSISTEM PULAU KECIL

ADI SUTRISNO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

i

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Institusi Pemulihan
Fungsi Hutan Lindung Pulau Tarakan sebagai Penyangga Ekosistem Pulau Kecil adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.


Bogor, Maret 2011

Adi Sutrisno
P062070061

ii

ABSTRACT
ADI SUTRISNO. Institutional Development of the Function Recovery of Tarakan
Protection Forest as the Ecosystem Buffer of Small Islands. Supervised by Hariadi
Kartodihardjo, Dudung Darusman and Bramasto Nugroho.
The Background that prompted this research was the damages of Tarakan Protection
Forest (in Indonesian, Hutan Lindung Pulau Tarakan or HLPT), which is a common
pool resource of state property. The main purpose of this research was to formulate
recovery-functioned institutional development of HLPT as a buffering ecosystem for
small islands. The main objectives were achieved through the following sub-objectives:
(1) to understand the capacity organization and to find priority areas in improving
management organization capacity, (2) to find the main cause for the failure of intergovernment agency coordination in the management of HLPT, (3) to find causes of
disharmony the users community behavior with the purposes of HLPT management
based on the perceptions and motivations, (4) to find the well-defined spatial

boundaries, stakeholders, authority (rights and responsibilities) and incentive structure
on function recovery of HLPT. The analysis was conducted using organizational
capacity analysis technique, inter-government agency coordination analysis, qualitative
analysis of content, descriptive analysis of perception and motivation, land cover
analysis, stakeholder analysis, taxonomic and componential analysis and analysis of
payments for environmental services, while the synthesis was carried out using the
technique of discovering cultural themes. Based on the study conducted, the results
were as follows: (1) The capacity of Technical Implementation Unit of Protection
Forest Management as a site organizer was low (nil-moderate), suggesting low ability
of the unit to achieve the objectives of HLPT management; (2) The coordination
capacity of inter-government agency within the management of HLPT was considerably
low since of the ambiguous regarding jurisdiction, lack of information and consultation.
On the other hand, coordination tended to use the vertical coordination mechanism
which was characterized by the coordination undertaken by the highest leadership levels
of government organizations (ministers, governors, regents/mayors, district secretary).
The consequences are coordination status failure among government agencies in the
management of HLPT due to the inabililty to eliminite redundancies, incoherencies and
untackled urgent issues. This suggest minimum coodination to field-spatial based
programs and coordination system among government agencies that hasn’t embodied
yet; (3) The low level of users’ community perception of functional and optional

benefits, low levels of economic and environment motivation, and the high social
motivation of the users’ community in utilization Protection Forest Resource of Tarakan
Island had become the primary causes of disharmony among behavior of users’
community and the management objectives of HLPT. This refers to perception and
motivation that didn’t support the main purpose of HLPT management; (4) In general,
HLPT ecosystem consists of forest and non-forest ecosystems, which, if the HLPT
function recovery efforts were to be done, would involve 13 key stakeholders.
Furthermore, it was identified that the water users community were the beneficiaries
who had the willingness to pay Rp 300 m-3 which is a potential source of funding of
forest and land rehabilitation.
Key Word: Institution, Organization, Coordination, Perception, and Motivation

iii

RINGKASAN
ADI SUTRISNO. Pengembangan Institusi Pemulihan Fungsi Hutan Lindung
Pulau Tarakan sebagai Penyangga Ekosistem Pulau Kecil. Dibimbing oleh Hariadi
Kartodihardjo, Bramasto Nugroho dan Dudung Darusman.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kerusakan sumberdaya Hutan Lindung Pulau
Tarakan (HLPT) yang merupakan sumberdaya bersama milik negara yang berada pada

sebuah pulau kecil dan memiliki fungsi penting sebagai sistem penyangga kehidupan.
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk merumuskan pengembangan institusi
pemulihan fungsi HLPT sebagai penyangga ekosistem pulau kecil. Tujuan utama
dicapai melalui tujuan antara sebagai berikut: (1) mengetahui kapasitas organisasi dan
menemukan wilayah prioritas perbaikan kapasitas organisasi pengelola HLPT; (2)
menemukan penyebab kegagalan koordinasi antar lembaga pemerintah dalam
pengelolaan HLPT; (3) menemukan penyebab ketidakselarasan perilaku masyarakat
pemanfaat dengan tujuan pengelolaan sumberdaya HLPT berdasarkan persepsi dan
motivasinya; dan (4) menemukan kejelasan batas spasial pemulihan fungsi HLPT,
stakeholders pemulihan fungsi HLPT, otoritas (hak dan kewajiban) stakeholders
pemulihan fungsi HLPT dan kepastian struktur insentif pemulihan fungsi HLPT.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teknik
observasi berpartisipasi, wawancara terstruktur, wawancara mendalam dan studi
dokumentasi. Data yang digunakan terdiri atas data primer dan sekunder, dengan
sumber data responden, informan kunci dan dokumen. Teknik pengambilan sampel
yang diterapkan dalam penelitian terdiri atas teknik pengambilan sampel secara sengaja
(purposive sampling), pengambilan sampel bola salju (snowball sampling) dan
pengambilan sampel quota (quota sampling).
Sedangkan variabel yang ditelaah
meliputi: kapasitas organisasi pengelola, koordinasi antar lembaga pemerintah, persepsi

dan motivasi masyarakat pemanfaat, substansi peraturan perundangan tentang
koordinasi, tutupan lahan, stakeholders, kepentingan dan pengaruh stakeholders, hak
dan kewajiban stakeholders, transaksi jasa lingkungan, keinginan membayar dan bentuk
insentif.
Metode analisis kapasitas organisasi digunakan untuk menganalisis data yang
berkenaan dengan kapasitas organisasi pengelola HLPT. Guna menemukan penyebab
kegagalan koordinasi antar organisasi pemerintah dalam pengelolaan HLPT digunakan
teknik analisis koordinasi antar lembaga (sektor), sedangkan untuk menemukan sumber
penyebab kegagalan koordinasi berdasarkan peraturan perundangan digunakan teknik
analisis isi kualitatif. Teknik deskriptif persepsi dan motivasi digunakan untuk
menemukan penyebab ketidakselarasan perilaku masyarakat pemanfaat sumberdaya
HLPT dengan tujuan pengelolaan HLPT. Analisis tutupan lahan digunakan untuk
mengetahui kelas tutupan pada HLPT. Analisis stakeholders digunakan untuk
mengidentifikasi stakeholders pemulihan fungsi HLPT, stakeholders berdasarkan
tingkat kepentingan dan pengaruhnya dalam pemulihan fungsi HLPT, sedangkan untuk
mengetahui hak dan kewajiban stakeholders dalam pemulihan fungsi HLPT digunakan
teknik analisis taksonomik dan komponensial. selanjutnya analisis pembayaran jasa
lingkungan digunakan untuk mengetahui struktur insentif pemulihan fungsi HLPT.
iv


Akhirnya, sintesis dilakukan menggunakan teknik analisis tema (discovering cultural
themes).
Berdasarkan kajian yang dilakukan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1) Kapasitas UPT-KPHL Model Tarakan sebagai organisasi pengelola HLPT tingkat
tapak adalah rendah (nil-moderate) dengan kelemahan-kelemahan organisasi sebagai
berikut: (1) kerjasama dengan organisasi pemerintah dan non pemerintah; (2)
perencanaan strategis bidang keuangan dan diversifikasi sumber pendanaan
organisasi; (3) pendelegasian wewenang pengambilan keputusan; (4) kepatuhan
terhadap kebijakan dan prosedur (standar operasional); (5) proses rekruitmen,
orientasi dan pengembangan staf, supervisi dan evaluasi; dan (6) penilaian
pencapaian misi organisasi dan penilaian dampak serta relevansi program. Hal ini
berarti UPT-KPHL Model Tarakan memiliki kemampuan yang rendah untuk
mencapai tujuan pengelolaan HLPT.
2) Kapasitas koordinasi antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan HLPT rendah
yang disebabkan oleh permasalahan ambigu kewenangan, kekurangan informasi dan
kurang dalam hal konsultasi. Di sisi lain, kebijakan koordinasi cenderung
menggunakan pendekatan mekanisme koordinasi vertikal yang dicirikan oleh
pengkoordinasian yang dilakukan oleh level pimpinan organisasi pemerintah
(menteri, gubenur, bupati/walikota, sekretaris daerah). Akibatnya status koordinasi
antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan HLPT gagal karena belum dapat

ditiadakannya pemborosan, inkonsistensi dan tidak tertanganinya isu penting. Hal
ini bermakna tidak adanya koordinasi kebijakan program berbasis spasial lapangan
dan belum dilembagakannya sistem koordinasi antar lembaga pemerintah.
3) Rendahnya tingkat persepsi masyarakat pemanfaat terhadap manfaat fungsional dan
pilihan HLPT, rendahnya tingkat motivasi lingkungan dan tingginya tingkat motivasi
sosial masyarakat pemanfaat dalam pemanfaatan HLPT merupakan faktor
pendorong/stimulus ketidakselarasan perilaku masyarakat pemanfaat dengan tujuan
pengelolaan HLPT. Hal ini berarti persepsi dan motivasi tidak mendukung tujuan
pengelolaan HLPT.
4) Ekosistem HLPT sebagian besar telah berubah menjadi areal dengan tutupan lahan
non hutan, yang dalam upaya pemulihannya dapat melibatkan 13 stakeholders kunci.
Dimana, hak stakeholders subjek mengarah pada hak untuk memanfaatkan/
menggunakan dan memperoleh izin pemanfaatan sumberdaya HLPT dengan
kewajiban berpartisipasi dan berkontribusi terhadap pendanaan dalam pemulihan
fungsi HLPT. Hak stakeholders pemain dan penghubung mengarah pada hak untuk
mengelola, mengawasi, memfasilitasi dan menilai program pemulihan fungsi HLPT
dengan kewajiban mewujudkan program pemulihan fungsi HLPT. Selanjutnya,
teridentifikasi bahwa masyarakat pengguna air bersih merupakan penerima manfaat
yang memiliki kesediaan membayar dengan nilai Rp 300 m-3 yang merupakan
potensi sumber pendanaan rehabilitasi hutan dan lahan, sedangkan UPT-KPHL

Model Tarakan sebagai penyedia jasa layanan lingkungan dan masyarakat pengguna
lahan sebagai pihak yang dapat berperan menggunakan lahan yang dikuasainya
untuk kepentingan konservasi sumber air.
5) Kontribusi hasil penelitian terhadap teori pengelolaan sumberdaya hutan milik
Negara (common pool resources) adalah sebagai berikut: pada kondisi kapasitas
v

organisasi pengelola rendah, kapasitas koordinasi antar lembaga pemerintah yang
terlibat dalam pengelolaan
rendah, kebijakan koordinasi menekankan pada
pendekatan mekanisme koordinasi vertikal dan persepsi serta motivasi masyarakat
pemanfaat mendorong perilaku masyarakat tidak selaras dengan tujuan pengelolaan
HLPT berakibat pada perubahan tutupan lahan hutan, stakeholders yang terlibat,
hak-kewajiban stakeholders dan insentif dalam pemulihan fungsi sumberdaya hutan
milik negara tersebut. Ambigu kewenangan, kekurangan informasi dan kurangnya
konsultasi teridentifikasi menyebabkan rendahnya kapasitas koordinasi antar
lembaga pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya bersama milik negara. Di sisi
lain, dalam pengelolaan sumberdaya bersama milik negara hanya dengan
menggunakan pendekatan mekanisme koordinasi vertikal yang mengandalkan
pengkoordinasian oleh pimpinan organisasi pemerintah. Akibatnya, terjadi kegagalan

koordinasi antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya bersama milik
pemerintah yang dibuktikan oleh tidak dapat diminimalisirnya pemborosan,
inkoherensi dan tidak tertanganinya isu-isu. Hal ini bermakna pengelolaan
sumberdaya bersama milik negara yang penggunanya tidak dapat dipisah-pisahkan
satu dengan lainnya diperlukan koordinasi pada level program berbasis spasial
lapangan dan tidak cukup hanya dengan menerapkan pendekatan mekanisme
koordinasi vertikal.

vi

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam
bentuk apapun tanpa izin IPB

vii


PENGEMBANGAN INSTITUSI PEMULIHAN FUNGSI HUTAN
LINDUNG PULAU TARAKAN SEBAGAI PENYANGGA
EKOSISTEM PULAU KECIL

ADI SUTRISNO

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Progran Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
viii

Judul Disertasi : Pengembangan Institusi Pemulihan Fungsi Hutan Lindung Pulau
Tarakan sebagai Penyangga Ekosistem Pulau Kecil
Nama

: Adi Sutrisno
NRP
: P062070061

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo,
MS
Ketua

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA
Anggota

Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Agr

Tanggal Ujian: 06 Juni 2011

Tanggal Lulus:
ix

Penguji pada Ujian tertutup

: Dr. Ir. Didik Suharjito (Staf Pengajar Bagian
Kebijakan Kehutanan IPB)
Dr. Ir. Iin Ichwandi (Staf Pengajar Bagian
Kebijakan Kehutanan IPB)

Penguji pada Ujian Terbuka

: Dr. Hendrayanto (Staf Pengajar Bagian Hidrologi
Hutan dan Daerah Aliran Sungai IPB)
Dr. Yunus Abbas, M.Si (Ketua Bappeda Kota
Tarakan Provinsi Kalimantan Timur

x

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan berkat rahmat
dan karunia-Nya disertasi yang berjudul “Pengembangan Institusi Pemulihan Fungsi
Hutan Lindung Pulau Tarakan Sebagai Penyangga Ekosistem Pulau Kecil” ini dapat
diselesaikan.
Selesainya penulisan disertasi ini tidak terlepas dari bimbingan komisi
pembimbing, yang telah memberikan pemahaman dan pengarahan kepada penulis
tentang bagaimana seharusnya mengkaji permasalahan yang terkait dengan institusi
pengelolaan sumberdaya alam. Disamping itu, peran yang cukup besar juga diberikan
oleh pihak pengelola program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan,
khususnya dalam mengarahkan dan membimbing penulis dalam proses studi.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS
selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS serta Bapak
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA selaku anggota komisi pembimbing. Selain itu
penulis juga mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada seluruh pihak
pengelola program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut
Pertanian Bogor.
Disertasi ini masih belum sempurna. Oleh karenanya kritik dan saran
membangun sangat penulis harapkan, guna perbaikan disertasi ini.

Bogor, maret 2011

Adi Sutrisno

xi

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Berau Kalimantan Timur pada tanggal 18 Juni
1964 sebagai anak sulung dari pasangan Saderi bin Amir (Alm) dan Satiyem binti Sadir
(Alm). Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian
Universitas Mulawarman. Pada Tahun 2001 penulis diterima di Program Studi Ilmu
Kehutanan Program Pascasarjana Universitas Mulawarman dan menamatkannya pada
tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2007 melalui Beasiswa Program Pascasarjana
dari Diretorat Pendidikan Tinggi. Penulis telah berkeluarga pada tahun 1992 dengan
Siti Julaiha dan telah dikaruniai tiga anak, Nindya Adiasti (19 tahun), Windya
Anjastantri (15 tahun) dan Trisna Erhandi (9 tahun).
Penulis pernah bekerja pada PT. Tanjung Buyu Perkasa, PT. Cita Laras, CV.
Mardawa, CV. Agroteknik Konsultama dan CV. Agrotrimitra Konsultama. Sejak
tahun 2000 hingga saat ini penulis berkerja di Universitas Borneo Tarakan, sebuah
Universitas swasta di wilayah Utara Kalimantan Timur yang saat ini oleh pemerintah
diubah statusnya menjadi Perguruan Tinggi Pemerintah (PTP).
Karya ilmiah berjudul “Analisis Persepsi dan Motivasi Masyarakat Pemanfaat
Sumberdaya Hutan Lindung Pulau Tarakan” akan diterbitkan pada Jurnal Sorot pada
tahun 2011. Sedangkan, karya ilmiah berjudul “Analisis Stakeholders dan Pembayaran
Jasa Lingkungan dalam Pemulihan Fungsi Hutan Lindung Pulau Tarakan” akan
diterbitkan pada Jurnal Sosio Ekonomika pada tahun ini.

xii

 



…………………………………………………………………….




………………………………………………………………….




……………………………………………………………….
.

 ...……………………………………………..............
1.1 Latar Belakang ……………………………………………................
1.2 Kerangka Pemikiran............................................................................
1.4 Tujuan Penelitian…. ..........................................................................
1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................
1.6 Kebaruan (Novelty)…………………………………………………..

1
1
4
7
9
10
10

  ..………………………………………..............
2.1 Hutan Lindung……………………………………………... .............
2.1.1 Konsep hutan lindung di Indonesia ..…………….…………....
2.1.2 Fungsi dan nilai guna sumberdaya hutan lindung.....................
2.1.3 Pengelolaan hutan lindung di Indonesia....................................
2.1.4 Hasil penelitian tentang hutan lindung di Indonesia...………..

11
11
11
12
15
17

2.2 Sumberdaya Hutan Lindung sebagai Sumberdaya Bersama Milik
Negara… …………………………………………………………………

19

2.3 Institusi, Hak Pemilikan, Batas Kewenangan dan Aturan
Keterwakilan ………………...………................................................
2.4 Organisasi dan Kapasitas Organisasi..……………………………….
2.5 Koordinasi Antar Organisasi/Lembaga………………………………
2.6 Persepsi dan Perilaku Individu…………………………………….....
2.7 Motivasi dan Perilaku Individu….......................................................
2,8 Prinsip Disain Institusi dan Prinsip Disain Rezim Hak Pemilikan…..
2.9 Pembayaran Jasa Lingkungan………………………………………..
2.10 Kinerja Institusi dan Kinerja Rezim Hak Pemilikan….……………...
2.11 Pengembangan Institusi……………………………………………...
2.12 Bentuk-Bentuk Institusi: Kasus Institusi Pengelolaan Hutan……….

22
27
31
36
37
38
40
42
43
44

1.3 Perumusan Masalah……………………………………………………….

.



(xv)
(xviii)
(xix)

    

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian………………………………………...
3.2 Pendekatan Studi……………………………………………………..
3.3 Metode pengumpulan data……………………………………………
3.4 Data/Informasi Penelitian, Jenis Data dan Sumber Data…………….
3.5 Teknik penentuan responden dan informan kunci……………
3.6 Analisis Data…………………………………………………………
3.6.1 Analisis kapasitas organisasi pengelola HLPT ……………...
3.6.2 Analisis koordinasi antar lembaga…….……………………..
3.6.3 Analisis deskriptif persepsi dan motivasi masyarakat
Pemanfaat…………………………………………………….
3.6.4 Analisis isi kualitatif……….…………………………………
3.6.5 Analisis tutupan lahan………………………………………..


53

53
54
54
56
57
58
58
60
61
65
65

3.6.6
3.3.7
3.3.8
3.3.9

)V

V

Analisis  !"#$%&'#(……………….……………………….
Analisis taksonomik dan analisis komponensial…………….
Analisis pembayaran jasa lingkungan……………………......
Sintesis……………………………………………………….

KARAKTERISTIK SUMBERDAYA HLPT DAN KARAKTERISTIK
MASYARAKAT PEMANFAAT SUMBERDAYA HLPT………………….
4.1 Karakteristik Sumberdaya HLPT………………………………………….
4.2 Karakteristik Kelompok Pemanfaat Sumberdaya HLPT………………….
4.3 Pemanfaatan Sumberdaya HLPT…………………………………………..

66
68
69
71
74
74
81
83

88
88
90
95

HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………….
5.1 Kapasitas Organisasi Pengelola HLPT ……………………………..
5.2 Koordinasi Antar Lembaga Pemerintah dalam Pengelolaan HLPT…
5.3 Kebijakan Koordinasi dalam Pengelolaan Hutan……………………
5.4 Persepsi dan Motivasi Masyarakat Pemanfaat Terhadap Sumberdaya
HLPT…………………………………………………………………
5.5 Tutupan Lahan, Minat * !"#$%&'#(, Distribusi Otoritas dan Struktur
Insentif dalam Pemulihan Fungsi HLPT……………………………..
5.6 Pengembangan Institusi Pemulihan Fungsi HLPT…………………..

104
117

KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………………….
6.1 Kesimpulan………………………………………………………………….
6.2 Saran………………………………………………………………………...

127
127
129

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………….
LAMPIRAN…………………………………………………………………………….

131
141

VI

xiv

99

+,-.,/ .,012
Nomor
1
2
3
4
5

6
7

8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

22
23
24

Perincian nilai ekonomi total sumberdaya hutan………………
Tipologi barang dan jasa……………………………………….
Tipe rezim hak pemilikan dengan pemilik, hak pemilik dan
kewajiban pemilik………………………………………………
Hak-hak yang terikat berdasarkan posisi kelompok masyarakat
…………………………………………………………………..
Alat penilai kapasitas organisasi berdasarkan perspektif
kapasitas utama, deskripsi kapasitas dan wilayah kapasitas inti
yang dinilai……………………………………………………...
Skala kapasitas koordinasi……………………………………………

Kumpulan faktor kritis untuk kesuksesan pengaturan
sumberdaya milik bersama (345546 7448 9:;4?:@48A:9; dalam pemulihan fungsi HLPT…………………...
Keinginan untuk membayar…………………………………….
Estimasi biaya konservasi HLPT berdasarkan kegiatan yang
dilaksanakan…………………………………………………….
Data/informasi, jenis data, sumber data, teknik penentuan
sampel, jumlah sampel, metode analisis dan sumber acuan
metode analisis berdasarkan tujuan penelitian…………………
Rataan temperatur, kelembaban, curah hujan dan hari hujan…..
Jenis pohon, jumlah pohon, kerapatan seluruh jenis, kerapatan
suatu jenis dan kerapatan relatif suatu jenis pada HLPT……..
Kondisi vegetasi pada kawasan HLPT berdasarkan koordinat
dan lokasi pengamatan………………………………………….

xv

Halaman
13
20
24
26

31
35

40
59
59
60
60
62
63
63
64
64
64
67
70
71

73
75
76
77

25
26
27
28
29
30

31
32
33

34

35
36

37
38
39

40
41

42
43
44
45
46

Sifat kimia tanah HLPT…………………………………………
Status kesuburan dan tekstur tanah HLPT...................................
Debit air pada beberapa sungai di sekitar HLPT……………….
Rata-rata lebar sungai, kedalaman sungai dan kecepatan aliran
air pada beberapa sungai di sekitar HLPT………………………
Distribusi frekuensi kelompok masyarakat pemanfaat
berdasarkan jumlah anggota rumah tangga……………………..
Distribusi frekuensi kelompok masyarakat pemanfaat
sumberdaya HLPT (responden) berdasarkan pendidikan, asal
daerah, pekerjaan dan pendapatan rumah tangga……………….
Jumlah tenaga kerja PDAM Kota Tarakan berdasarkan status
pepegawaian pada tahun 2007 - 2009…………………………...
Penggunaan lahan di dalam kawasan HLPT oleh kelompok
masyarakat pemanfaat………………………………………….
Distribusi frekuensi kelompok masyarakat pemanfaat
(responden) berdasarkan perijinan pemilikan lahan/tanah dan
cara memperoleh lahan/tanah…………………………………...
Kapasitas terpasang instalasi air, jumlah produksi air, jumlah
distribusi air dan jumlah pelanggan PDAM Kota Tarakan tahun
2007 – 2009……………………………………………………..
Skala kapasitas organisasi dan wilayah prioritas perbaikan
kapasitas organisasi……………………………………………..
Status koordinasi antar lembaga pemerintah yang terlibat dalam
pengelolaan HLPT, permasalahan dan kegagalan koordinasi
berdasarkan skala kapasitas koordinasi Metcalfe (1997) ………
Distribusi masyarakat pemanfaat sumberdaya HLPT
berdasarkan tingkat persepsinya terhadap manfaat HLPT …….
Distribusi persentase masyarakat pemanfaat sumberdaya HLPT
menurut persepsinya terhadap manfaat HLPT…………………
Distribusi frekuensi masyarakat pemanfaat berdasarkan tingkat
motivasi ekonomi, sosial dan lingkungan dalam pemanfaatan
sumberdaya HLPT……………………………………………...
Distribusi persentase menurut motivasi ekonomi masyarakat
pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT……………
Distribusi persentase responden menurut motivasi ekonomi
masyarakat pemanfaat bermata pencaharian sebagai petani
dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT………………………..
Distribusi persentase menurut motivasi lingkungan masyarakat
pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT
Distribusi persentase menurut motivasi sosial masyarakat
pemanfaat dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT………..
Luas tutupan lahan pada kawasan HLPT berdasarkan kelas
penutupan lahan………………………………………………..
Tingkat kepentingan dan pengaruh BCDEFGHIJFKB pemulihan

78
79
80
81
81

82
83
84

85

86
88

91
99
100

101
102

102
103
104
106

ekosistem DTA Danau Toba………………………………………….

110

Distribusi responden berdasarkan kesediaan untuk membayar
dan nilai kesediaan membayar per m3 air yang digunakan……

113

xvi

47

48

49

Total nilai kesediaan membayar dihitung atas dasar nilai
minimum, rata-rata dan maksimum kesediaan membayar dan
jumlah distribusi air tahun 2007 – 2009……………………….
Estimasi biaya rehabilitasi hutan dan lahan per hektar
berdasarkan standar biaya teknis rehabilitasi hutan dan
lahan Kota Tarakan……………………………………………..
Hak dan kewajiban LMNOPQRSTPUL dalam pemulihan fungsi HLPT…

xvii

114

116
120

VWXYWZ [W\]WZ
Nomor
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Kerangka pemikiran penelitian…………………………….....
Perumusan masalah penelitian………………………………..
Aspek-aspek kunci kapasitas organisasi………………………
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi………………….
Struktur Hirarki State Forest Enterprise Jerman……………...
Struktur Organisasi Forest Management Units (FMU)……….
Tempat penelitian……………………………………………..
Diagram matriks ^_`abcdefbg^ berdasarkan kepentingan dan
pengaruh……………………………………………………….
Tahapan analisis data dengan teknik analisis taksonomik dan
komponensial………………………………………………….
Diagram tahapan analisis pengembangan institusi pemulihan
fungsi HLPT…………………………………………………...
Tutupan lahan di Hutan Lindung Pulau Tarakan……………...
Matriks kepentingan dan pengaruh ^_`abcdefbg^ pemulihan
fungsi HLPT…………………………………………………...
Alternatif pengembangan institusi pemulihan fungsi Hutan Lindung
Pulau Tarakan……………………………………………………….

xviii

Halaman
6
9
30
36
45
47
53
68
69
72
105
109
126

hijkil minopliq
Nomor
1

2

3
4

5
6
7

8

Halaman
Hasil analisis skala kapasitas organisasi, kekuatan dan wilayah
prioritas perbaikan lembaga pengelola HLPT (Dishutamben)
…………………………………………………………………..
Hasil analisis skala kapasitas organisasi, kekuatan dan wilayah
prioritas perbaikan lembaga pengelola HLPT (UPT-KPHL
Model Tarakan)………………………………………………….

Hasil analisis koordinasi antar lembaga pemerintah
berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci……..
Hasil analisis rstuvwxyzv{r, minat, kepentingan dan
pengaruhnya dalam pemulihan fungsi HLPT………………
Hasil analisis distribusi otoritas (hak dan kewajiban)
rstuvwxyzv{r dalam pemulihan fungsi HLPT…...………….
Hasil wawancara tentang keinginan membayar masyarakat
pengguna air.……………………………………………….
Tabel jumlah anggota keluarga, status pernikahan,
pendidikan, asal daerah masyarakat (responden) pemanfaat
sumberdaya HLPT…………………………………………
Pekerjaan dan pendapatan masyarakat pemanfaat
sumberdaya HLPT..………………………………………..

xix

141

143
145
155

157
158

167
173

|} P~€‚ƒ„ƒ

…†… ‡ˆ‰ˆŠ ‹ŒˆŽˆ
Hutan Lindung Pulau Tarakan (HLPT) ditunjuk berdasarkan Keputusan
Menteri Pertanian Nomor: 175/Kpts/Um/3/1979, tanggal 13 Maret 1979 dengan
luas 2.400 ha atau kurang lebih 10% dari luas Pulau Tarakan (Sutrisno 2003).
Kemudian pada tanggal 22 April 2003 HLPT ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 143/Kpts-II/2003, juga dengan luasan
2.400 ha (BPKH Wilayah IV Samarinda 2009).
Hutan Lindung Pulau Tarakan berada pada sebuah pulau kecil karena
menurut BPS Kota Tarakan (2007) Pulau Tarakan hanya memiliki luas daratan
250,08 km2 dan luas perairan/laut seluas 406,53 km2. Menurut Pasal 1 Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama
dengan 2.000 km2. Batasan dan karakteristik pulau-pulau kecil menurut
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000 tentang
Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis
Masyarakat, adalah sebagai berikut: 1) pulau yang ukuran luasnya kurang atau
sama dengan 10.000 km2, dengan jumlah penduduknya kurang atau sama dengan
200.000 orang; 2) secara ekologis terpisah dari pulau induknya (‘’“”•’”– “—•’”–),
memiliki batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga
bersifat insular; 3) mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman
yang tipikal dan bernilai tinggi; 4) daerah tangkapan air (˜’™˜š‘›”™ ’œ›’) relatif
kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut;
dan 5) dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat
khas dibandingkan dengan pulau induknya.
Memperhatikan karakteristik pulau kecil tersebut, maka keberadaan HLPT
adalah sangat penting. Keberadaan HLPT menjadi semakin penting karena HLPT
merupakan daerah hulu dari 73 sungai yang ada di Kota Tarakan. Sebagaimana
dikemukakan oleh Bappeda Kota Tarakan (2004) berdasarkan penelusuran
(™œ’˜“”) pada peta topografi, terdapat sekitar 73 buah sungai di wilayah Pulau

2

Tarakan. Sungai-sungai tersebut membentang dari wilayah perbukitan di tengahtengah Pulau Tarakan dan kemudian bermuara di pantai.
Kawasan HLPT juga memiliki fungsi penting jika ditinjau dari aspek sosial
ekonomi, karena masyarakat di sekitar HLPT menjadikan HLPT sebagai tempat
untuk melakukan aktivitas pertanian, peternakan bahkan pemukiman.

Hutan

Lindung Pulau Tarakan juga dimanfaatkan sebagai tempat melakukan aktivitas
olah raga, tempat bagi aktivitas pencinta alam serta sebagai objek bagi aktivitas
pendidikan dan penelitian oleh kelompok masyarakat tertentu.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
HLPT merupakan kawasan hutan yang pengelolaannya diatur berdasarkan
peraturan perundangan. Pengelolaan hutan di Indonesia termasuk hutan lindung
meliputi kegiatan: (1) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; (2)
pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; (3) rehabilitasi dan reklamasi
hutan; dan (4) perlindungan hutan dan konservasi alam.
Pada tahun 1998 sesuai dengan semangat desentralisasi, Daerah Tingkat II
diberi kewenangan dalam sebagian urusan pemerintah di bidang kehutanan, hal
ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun
1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di Bidang Kehutanan
Kepada Daerah (sudah tidak berlaku). Berdasarkan peraturan pemerintah ini,
urusan pengelolaan yang dapat dilaksanakan pemerintah daerah meliputi kegiatan
pemancangan batas, pemeliharaan batas, mempertahankan luas dan fungsi,
pengendalian kebakaran, reboisasi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis pada
kawasan hutan lindung, dan pemanfaatan jasa lingkungan.

Pada tahun 2007

peraturan pemerintah tersebut diganti dengan Peraturan Pemerintah Indonesia
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah,

Pemerintahan

Kabupaten/Kota.

Daerah

Provinsi,

dan

Pemerintahan

Daerah

Berdasarkan aturan ini, sebagian urusan pemerintah bidang

kehutanan yang terkait dengan pengelolaan hutan lindung diserahkan kepada
Kabupaten/Kota.
Namun, di kawasan HLPT dijumpai fakta-fakta sebagai berikut: (1) pada
kawasan HLPT tercatat tinggal 1.347,74 ha lahan berhutan, sedangkan sisanya
seluas 1.014,29 ha berupa semak belukar dan 17,38 ha berupa lahan terbuka

3

(Sutrisno 2003). Kawasan HLPT dimanfaatkan oleh masyarakat dengan berbagai
bentuk pemanfaatan mengakibatkan perubahan fisik hutan lindung (seluas 2.400
ha) menjadi lahan terbuka (non hutan) ± 1.316 ha (Dishutbun Kota Tarakan
2008); (2) berdasarkan observasi, sebagian areal HLPT telah dikonversi ke
berbagai peruntukan seperti pertanian (khususnya tanaman sayuran) dan kebun
(Dishutbun Kota Tarakan 2008); (3) kawasan HLPT menjadi pemukiman untuk
dua kelompok masyarakat, masing-masing sebanyak 40 KK dan 80 KK. Bahkan
sebagian areal pemukiman tersebut sudah terlanjur memiliki sertifikat (Dishutbun
Kota Tarakan 2008); (4) pada kawasan HLPT terdapat infrastruktur jalan yang
dibangun oleh Pemerintah Kota Tarakan; dan (5) Pada kawasan HLPT terdapat
bangunan embung dan instalasi air minum milik Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM), yang menurut Kepala Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi Kota
Tarakan pemanfaatan atas sumberdaya air di kawasan HLPT belum dilengkapi
dengan perizinan.
Kerusakan HLPT berakibat pada terjadinya penurunan fungsi HLPT
diantaranya (Irawan 2002 žŸ Ÿ¡ Sutrisno 2003): (1) meningkatnya erosi yang
dicirikan oleh Tingkat Bahaya Erosi (TBE) berat dan sangat berat telah terjadi di
masing-masing Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berada di kawasan HLPT; dan
(2) perbedaan fluktuasi debit air minimum dan maksimum cukup besar, yang
mengindikasikan sedikitnya air yang terserap sehingga debit air setelah beberapa
hari tidak turun hujan rendah dan menjadi tinggi ketika turun hujan. Hal sesuai
dengan yang dinyatakan oleh Bratawinata (1997) hutan yang rusak lebih-lebih
yang kondisinya gundul (tidak bervegetasi), menyebabkan air hujan berinfiltrasi
sedikit sekali dan air hujan jatuh langsung kepermukaan tanah. Sehingga pada
musim hujan masalah banjir, erosi dan sedimentasi ke tempat yang lebih rendah
meningkat. Menurut Dudley dan Stolton (2003) hutan pada Daerah Aliran Sungai
(DAS) umumnya menghasilkan air dengan kualitas tinggi, dari alternatif
penggunaan lainnya. Hutan alam punya hubungan yang rumit dengan aliran air
dan beberapa dapat menambah tingkat aliran air.
Fakta-fakta yang terjadi di dalam kawasan HLPT tersebut merupakan
indikasi ketidakberhasilan pengelolaan HLPT yang dilaksanakan oleh lembaga
pemerintah yang diberi kuasa oleh negara. Satu diantara beberapa penyebab

4

ketidakberhasilan tersebut diduga adalah aspek institusi. Pembuktian atas dugaan
ini dapat dilakukan melalui sebuah penelitian, oleh karenanya penelitian tentang
hal tersebut patut dilakukan.

¢£¤ ¥¦§¨©ª«¨ P¦¬­«­§¨©
Hutan Lindung Pulau Tarakan merupakan sumberdaya bersama (®¯°°¯±

²¯¯³ ´µ¶¯·´®µ¶) yang berada pada sebuah pulau kecil dan memiliki fungsi penting
sebagai sistem penyangga kehidupan. Pengelolaan terhadap sumberdaya HLPT
didasarkan pada peraturan perundangan. Peraturan perundangan yang terkait
dengan pengelolaan sumberdaya HLPT antara lain, adalah: (1) Undang-Undang
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan, serta Pemanfaatan Hutan; (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan; (4) Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan; dan (5)
Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Keberhasilan pengelolaan sumberdaya HLPT tidak hanya tergantung pada
tersedianya peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan sumberdaya
HLPT, tetapi terdapat aspek lain yang sangat menentukan tingkat efektivitas dan
efisiensi

pelaksanaan

peraturan

perundangan,

yaitu

institusi.

Menurut

Kartodihardjo (2008) institusi dicirikan oleh: (1) hak pemilikan (²´¯²µ´¸¹ ´º»¼¸¶);
(2) batas yurisdiksi (½·´º¶¾º®¸º¯±¿³ À¯·±¾¿´¹); dan (3) aturan representasi (´·³µ ¯f
representation).
Sumberdaya HLPT adalah sumberdaya milik negara, dimana menurut
Schlager dan Ostrom (1992) dan Hanna et al. (1995) hak pemilikan (property
rights) sumberdaya eksis dibawah pemilikan negara (state property), bilamana
jaminan klaim berada pada pemerintah. Menurut Ellsworth (2004) hak pemilikan
negara adalah bentuk pengelolaan sumberdaya alam dimana pemiliknya adalah
lembaga publik atau organisasi pemerintah yang diberi kuasa oleh negara. Hak
pemilikan negara memiliki karakteristik dan pengaturannya dilaksanakan

5

pemerintah, yang mana pengaturan oleh pemerintah harus menjamin masyarakat
untuk memperoleh hak untuk memanfaatkan secara berkeadilan.
Sumberdaya HLPT memiliki karakteristik dapat dimanfaatkan secara
bersama, sehingga dengan demikian persoalan batas kewenangan menjadi penting
dalam merefleksikan keinginan pengguna sumberdaya HLPT. Menurut Schmid
(1988) dalam Suhaeri (2005) batas kewenangan diartikan sebagai batas wilayah
kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang terhadap sumberdaya alam.
Aturan representasi merupakan perangkat aturan yang menentukan
mekanisme pengambilan keputusan organisasi (Kartodihardjo 2008). Hal ini
berarti bahwa dalam pengelolaan sumberdaya HLPT keputusan apa yang diambil
dan apa akibatnya terhadap kinerja yang ingin dicapai ditentukan oleh kaidahkaidah aturan representasi ini.
Institusi merupakan sekumpulan aturan formal dan informal yang mengatur
perilaku individu (North 1990). Menurut Agrawal (2001) salah satu faktor kritis
penentu kesuksesan tata kelola sumberdaya milik bersama adalah saling hubungan
antara karakteristik sistem sumberdaya dan karakteristik kelompok. Konsep yang
dikemukakan oleh North (1990) dan Agrawal (2001) tersebut menjelaskan bahwa
aturan formal dan informal mengarahkan perilaku individu/organisasi dalam
hubungannya

dengan

sumberdaya,

dimana

perilaku

individu/organisasi

merupakan faktor kunci yang menentukan keberhasilan pengelolaan sumberdaya,
tak terkecuali dalam pengelolaan sumberdaya HLPT. Hal ini berarti bahwa
perilaku organisasi pengelola dan perilaku individu/kelompok masyarakat
pemanfaat/pengguna sumberdaya HLPT berperan dalam keberhasilan pengelolaan
sumberdaya HLPT.
Terkait dengan dengan sumberdaya bersama (common pool resources)
Ostrom (1990) mengemukakan bahwa dalam institusi sumberdaya bersama
terdapat prinsip disain untuk merancang agar institusi dapat berlangsung secara
berkelanjutan. Menurut Hanna et al. (1995) penelitian mengenai hak pemilikan
dan sumberdaya lingkungan haruslah memperhatikan komponen kritis pada
struktur rezim hak pemilikan dan fungsinya. Komponen tersebut tercakup dalam
prinsip disain yang mendasari rezim hak pemilikan.

6

Menurut Pratiwi (2008) berdasarkan fungsi dan tujuannya, institusi sangat
diperlukan oleh masyarakat. Namun ketika institusi tidak berjalan atau kinerjanya
dipertanyakan, maka diperlukan suatu langkah perbaikan.

Beberapa literatur

menyebutkan ada tiga solusi untuk memperbaiki kinerja institusi, yaitu melalui:
pengembangan

institusi

(institutional

development),

penguatan

institusi

(institutional strengthening) atau perubahan institusi (institutional change).
Memperhatikan penjelasan Pratiwi (2008), maka satu diantara beberapa upaya
untuk memperbaiki kinerja institusi adalah dengan pengembangan institusi.
Menurut Nasution (1999) yang dikutip Karyana (2007) pengembangan
kelembagaan (institusi) merupakan suatu proses menuju kearah perbaikan aturan
hubungan antar individu dalam masyarakat, sehingga menjadi kelembagaan yang
dikehendaki.
Berdasarkan uraian di atas, maka pengembangan institusi dalam penelitian
ini dimaksudkan untuk memperbaiki institusi (dalam arti aturan dan organisasi)
yang mengarahkan prilaku individu atau organisasi untuk memulihkan fungsi
HLPT. Secara ringkas kerangka pemikiran penelitian ini disajikan dalam bentuk
Gambar 1.
Sumberdaya HLPT:
1) Sumberdaya bersama
2) Berada pada pulau kecil
3) Sistem penyangga kehidupan

Peraturan
perundangan

Keberhasilan pengelolaan sumberdaya
HLPT ditentukan oleh institusi

Hak pemilikan

Prinsip disain rezim
hak pemilikan

Perilaku individu/
masyarakat

Batas kewenangan
Umpan
balik

Aturan keterwakilan

Perilaku organisasi
pemerintah

Pengembangan institusi pemulihan fungsi HLPT
sebagai sistem penyangga ekosistem pulau kecil

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

Umpan
balik

7

ÁÂÃ PÄÅÆÇÆÈÉÊ ËÉÈÉÌÉÍ
Berdasarkan latar belakang dan kerangka pemikiran yang disampaikan
sebelumnya, dapat diketahui bahwa fakta di lapangan menunjukan sumberdaya
HLPT sebagai sumberdaya bersama milik pemerintah yang berada pada sebuah
pulau kecil yang memiliki fungsi penting sebagai penyangga ekosistem telah
mengalami kerusakan. Hal ini merupakan indikasi rendahnya kinerja pengelolaan
sumberdaya HLPT. Jika perilaku organisasi pengelola sumberdaya HLPT
berperan dalam keberhasilan pengelolaan sumberdaya HLPT, maka kerusakan
sumberdaya HLPT menunjukan bahwa pengelolaan sumberdaya HLPT yang
dilakukan oleh lembaga pengelola dengan tujuan untuk melestarikan fungsi HLPT
tidak berhasil, hal ini merupakan indikasi adanya permasalahan dalam kapasitas
organisasi/lembaga pemerintah pengelola HLPT.

Menurut The Society of

Obstetricians and Gynaecologists of Canada yang dikutip Bateson et al. (2008)
kapasitas sebagai kemampuan sebuah entitas (seseorang, organisasi, atau sebuah
sistem) melakukan fungsi sesuai yang direncanakan secara efektif, efisien, dan
berkelanjutan untuk mencapai sasaran hasil yang telah direncanakan.
Fakta penguasaan tanah/lahan di dalam kawasan HLPT yang dilengkapi
dengan bukti kepemilikan berupa sertifikat maupun bukti-bukti lain yang
dikeluarkan pemerintah merupakan satu indikasi adanya permasalahan koordinasi
antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya HLPT. Menurut
Uphoff (1986a) kinerja suatu institusi dapat diukur bagaimana institusi dapat
menyelesaikan tugas pokoknya, antara lain adalah koordinasi.
Permasalahan lain yang mempengaruhi kerusakan sumberdaya HLPT
diduga adalah perilaku individu/kelompok masyarakat pemanfaat sumberdaya
HLPT yang tidak selaras dengan tujuan pengelolaan HLPT. Perilaku masyarakat
pemanfaat sumberdaya HLPT dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap manfaat
sumberdaya HLPT dan motivasi mereka dalam pemanfaatan sumberdaya HLPT.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Gibsons et al. (1996) faktor individual seperti
persepsi mempengaruhi perilaku. Motivasi berkaitan dengan perilaku dan kinerja,
motivasi merupakan konsep yang digunakan untuk menggambarkan dorongandorongan yang timbul pada atau di dalam diri seseorang individu yang
menggerakan dan mengarahkan perilaku.

8

Mengacu pada pendapat Nort (1990) dan Agrawal (2001) permasalahan
yang juga harus diperhatikan dan sangat krusial adalah berkenaan dengan aturan
formal (kebijakan) yang mengatur saling hubungan antar kelompok dalam
hubungannya dengan sumberdaya HLPT dan saling hubungan antara kelompok
dengan sumberdaya hutan, karena aturan formal menentukan perilaku kelompok.
Oleh karenanya untuk mengembangkan institusi, permasalahan yang terkait
dengan aturan formal juga patut untuk diketahui, khususnya aturan formal yang
mengatur tentang koordinasi antar lembaga pemerintah.
Pengembangan institusi dalam rangka memperbaiki kinerja institusi
pengelolaan HLPT tidak hanya ditentukan oleh bagaimana dapat mengatasi
permasalahan terkait dengan kapasitas lembaga pemerintah pengelola HLPT,
koordinasi antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan HLPT dan perilaku
individu/kelompok masyarakat pemanfaat sumberdaya HLPT, tetapi juga
ditentukan oleh komponen kritis rezim hak pemilikan yang tercakup dalam prinsip
disain rezim hak pemilikan. Mengutip pendapat beberapa ahli, menurut Hanna et
al. (1995) hal yang fundamental pada disain hak pemilikan (property rights
design) adalah mendefinisikan kepentingan (interests) individu-individu atau
kelompok dalam hubungannya dengan sumberdaya. Syarat disain selanjutnya
adalah kepastian struktur insentif (incentive structure). Kemudian, untuk
menjamin rezim hak pemilikan memiliki batas yang terdefinisikan secara jelas
adalah keharmonisan spasial (spatial congruence). Selain itu, disain juga harus
menyangkut distribusi otoritas.
Secara ringkas uraian rumusan masalah penelitian ini disajikan pada
Gambar 2 dan berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian
(research

questions),

sebagai

berikut:

(1)

bagaimanakah

kapasitas

organisasi/lembaga pengelola HLPT?; (2) apakah penyebab kegagalan koordinasi
antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan HLPT?; (3) apakah penyebab
ketidakselarasan perilaku masyarakat pemanfaat sumberdaya HLPT dengan tujuan
pengelolaan HLPT ditinjau dari persepsi dan motivasinya?; dan (4) bagaimanakah
kondisi tutupan lahan (spasial), tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholders,
hak dan kewajiban stakeholders dan struktur insentif dalam pemulihan fungsi
HLPT?

9

Sumberdaya Hutan Lindung Pulau Tarakan:
sumberdaya bersama, milik negara, berada
pada pulau kecil, sebagai sistem penyangga
kehidupan

Kerusakan
Sumberdaya HLPT
Permasalahan dalam
peraturan perundangan
tentang koordinasi antar
lembaga pemerintah

Permasalahan
Kapasitas
organisasi
pemerintah

Umpan
balik

Rendahnya kinerja
pengelolaan HLPT

Permasalahan
ketidakselarasan perilaku
individu/kelompok
masyarakat pemanfaat

Prinsip disain:
1) Kepentingan kelompok
(stakeholders)
2) Keharmonisan spasial
(ruang)
3) Struktur insentif
4) Distibusi otoritas

Permasalahan
koordinasi antar
lembaga
pemerintah

Pengembangan institusi pemulihan fungsi HLPT
sebagai sistem penyangga ekosistem pulau kecil

Umpan
balik

Gambar 2 Perumusan masalah penelitian.

ÎÏÐ ÑÒjuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk merumuskan institusi pemulihan
fungsi HLPT sebagai sistem penyangga ekosistem pulau kecil. Tujuan utama
tersebut dicapai melalui tujuan antara sebagai berikut:
1) Mengetahui kapasitas organisasi dan menemukan wilayah prioritas perbaikan
kapasitas organisasi pengelola HLPT.
2) Menemukan penyebab kegagalan koordinasi antar lembaga pemerintah dalam
pengelolaan HLPT.
3) Menemukan penyebab ketidakselarasan perilaku masyarakat pemanfaat
dengan tujuan pengelolaan sumberdaya HLPT berdasarkan persepsi dan
motivasinya.
4) Menemukan kejelasan batas spasial pemulihan fungsi HLPT, stakeholders
pemulihan fungsi HLPT, otoritas (h