BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Hukum Jaminan Atas Tanah
Berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960, maka terjadi pembaharuan sekaligus perubahan mengenai hukum tanah di
Indonesia. Hukum tanah tidak lagi tersusundidasarkan pada hukum adat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 UUPA, berbunyi :
”Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
hukum nasional dan negara, yang berdasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia, serta dengan peraturan-peraturan yang
tercantum dan undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang
berdasar pada hukum agama”. Sehingga telah terjadi penyederhanaan hukumkesatuan
hukum unifikasi mengenai tanah sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa Indonesia dan juga kepastian hukum oleh karena UUPA telah
meletakkan landasan adanya pengakuan hak atas tanah serta hubungan antara orang dengan hak-hak atas tanah yang bersumber
pada hukum adat. UUPA dalam meletakkan dasar-dasar mengenai
hukum tanah di Indonesia menganut prinsip nasionalitas dan prinsip unifikasi hukum sebagai tujuan pokok.
Prinsip nasionalitas menghendaki agar semua peraturan mengenai tanah harus mengacu pada pemanfaatan fungsi tanah
semaksimal mungkin sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan bangsa, prinsip nasionalitas ini diwujudkan melalui ketentuan bahwa
hanya warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia saja yang dapat memiliki hak atas tanah. Sedangkan prinsip unifikasi hukum
menghendaki agar semua peraturan mengenai tanah harus mengacu pada UUPA karena UUPA telah meletakkan dasar-dasar mengenai
hukum tanah di Indonesia. Salah satu wujud dari upaya pemerintah menuju terwujudnya
unifikasi hukum dan nasionalitas mengenai hukum tanah sebagaimana tujuan dari UUPA adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah UUHT dengan berlakunya UUHT ini, maka
telah terjadi unifikasi hukum mengenai pembebanan atas tanah, dimana sebelum berlakunya UUHT telah lama dikenal dan dipakai
dalam praktek perjanjian pertanggungan atas tanah yaitu hipotik sebagaimana diatur di dalam Buku II KUHPerdata, dan credietverband
sebagaimana diatur di dalam Staatsblaad 1908 Nomor 542 jo Staatsblaad 1937 Nomor 190 yang berdasarkan Pasal 57 UUPA
dinyatakan berlaku sementara waktu sampai dengan terbentuknya UUHT.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dasar hukum berlakunya UUHT adalah Pasal 51 UUPA adapun ketentuan Pasal 25,
33 dan 39 yang ditunjuk oleh Pasal 51 UUPA tersebut mengatur tentang dapat dibebaninya hak milik, hak guna usaha dan hak guna
bangunan dengan hak tanggungan. Awalnya lembaga jaminan atas tanah adalah hipotik dan
credietverband. Lembaga jaminan hipotik diatur dalam Buku II Burgerlijk Wetboek atau disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Tepatnya diatur dalam Pasal 1161-1232 KUHPerdata. sedang credietverband diatur dalam Staatblaad Tahun 1908 Nomor
712 yang diubah dengan Stb 1937-190. tetapi sejak berlakunya Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria. Pembentuk undang-undang No 5 Tahun 1960 sesuai dalam Pasal 51 UU No 5 Tahun 1960 menjadikan untuk membuat
perangkat aturan tentang hak tanggungan yang baru terealisasi diundangkan pada tanggal 9 April 1996, lahirlah Undang-Undang No 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda- Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah yang untuk selanjutnya disebut
Hak Tanggungan. Sejak UUHT dinyatakan berlaku, maka lembaga
jaminan hipotik dan credietverband sepanjang menyangkut tanah, berakhir masa tugas serta peranannya.
37
Lembaga-lembaga Jaminan Khusus Kredit Perbankan yang mengatur pengikatan jaminan antara debitur dengan kreditur diatur
oleh undang-undang. Macam-macam jaminan itu adalah :
38
1. Hipotik, yang dapat dibebankan atas benda-benda tak bergerak 2. Credietverband, yang dapat dibebankan atas benda-benda tak
bergerak tetapi dalam hal ini hanya kreditor-kreditor tertentu saja yang dapat membebani credietverband atas benda tak bergerak
milik si berutang 3. Hak Gadai, hak yang dapat dibebankan atas benda-benda bergerak
termasuk dalam hal ini adalah fidusia. Fidusia timbul berdasarkan kebutuhan yang disebabkan oleh perkembangan hukum
4. Borrgtocht, dimana seseorang pihak ketiga menyatakan kesediaanya untuk menanggung utang debitor bila pihak yang
disebut terakhir tidak dapat melunasi kewajibannya. Jaminan untuk perjanjian kredit yang dibuat oleh bank
mensyaratkan adanya penyerahan barang milik debitor kepada kreditor. Hal ini sesuai dengan Pasal 1131 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa :
37
Maria S.W Sumardjono, Kredit Perbankan Permasalahannya Dalam Kaitannya Dengan Berlakunya Undang- Undang Hak Tanggungan, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No 7 Vol 4, hal 85
38
Eugenia Liliawati Muljono, Eksekusi Grosse Akta Hipotek Oleh Bank, Jakarta; PT.Rineka Cipta, 1996, hal 12
“Segala kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di
kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”
Ini berarti semua kekayaan seseorang dijadikan jaminan untuk semua kewajiban-kewajibannya yaitu semua utangnya. Jika
seseorang mempunyai utang maka jaminannya adalah semua kekayaannya. Kekayaan tersebut dapat disita atau dilelang serta hasil
pelelangan tersebut dapat diambil suatu jumlah untuk membayar utangnya kepada kreditor.
B. Tinjauan Umum Mengenai Hipotik