Perdebatan dalam Rancangan Undang-Undang Terorisme dan Penyelesaiannya

2.7. Perdebatan dalam Rancangan Undang-Undang Terorisme dan Penyelesaiannya

Perdebatan hangat utama mengenai RUU Terorisme di Indonesia saat ini yaitu mengenai pellibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penindakan terorisme. Hal ini mencuat berkaitan dengan arahan presiden Joko Widodo pada 29 Mei 2017, yang menyatakan bahwa perlunya pelibatan TNI secara langsung dalam penindakan terorisme. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto kemudian menegaskan bahwa pelibatan militer dalam revisi UU pemberantasan tindak pidana terorisme itu dilakukan secara langsung dan bukan di bawah kendali operasi (BKO) polisi.

Hal ini dalam perspektif sistem birokrasi, akan menyebabkan dual legitimacy antara dua institusi negara. Artinya kedua institusi akan memperoleh legitimasi yang sama untuk menidak terorisme, yang berkemungkinan memiliki perbedaan perspektif sehingga cenderung menimbulkan konflik. Sebelumnya pelibatan TNI sudah diatur secara tegas dalam pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU No 34/2004 tentang TNI. Berikut bunyi pasal 7 ayat (2) dan (3) tersebut: Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: (b) Operasi militer selain perang, yaitu untuk: (3) mengatasi aksi terorisme; ayat (3) Ketentuan sebagaimana Hal ini dalam perspektif sistem birokrasi, akan menyebabkan dual legitimacy antara dua institusi negara. Artinya kedua institusi akan memperoleh legitimasi yang sama untuk menidak terorisme, yang berkemungkinan memiliki perbedaan perspektif sehingga cenderung menimbulkan konflik. Sebelumnya pelibatan TNI sudah diatur secara tegas dalam pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU No 34/2004 tentang TNI. Berikut bunyi pasal 7 ayat (2) dan (3) tersebut: Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: (b) Operasi militer selain perang, yaitu untuk: (3) mengatasi aksi terorisme; ayat (3) Ketentuan sebagaimana

Kemudian TNI dalam RUU Terorisme juga disebutkan berperan sebagai berikut, dalam pasal 43B: (1)

Kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme.

(2) Peran Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Isu lain dengan pelibatan TNI ini juga merupakan isu Hak Asasi Manusia, keterlibatan TNI dinilai cenderung terdapat pelanggaran HAM yang memang dalam konteks tertentu diperkenankan. Oleh karena itu, pada

9 Juni 2017, 100+ tokoh-tokoh masyarakat menolak keterlibatan TNI dalam penindakan terorisme, dengan argument sebagai berikut: Pengaturan pelibatan militer dalam revisi UU pemberantasan tindak pidana terorisme tanpa melalui keputusan politik negara akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan kewenangan antar aktor pertahanan dan keamanan, mengancam kehidupan demokrasi dan HAM, melanggar prinsip supremasi sipil dan dapat menarik militer kembali dalam ranah penegakan hukum sehingga dapat merusak mekanisme criminal justice system. Hal itu tentunya juga akan berlawanan dengan arus reformasi yang sudah menghasilkan capaian positif yaitu meletakkan militer sebagai alat pertahanan negara demi terciptanya tentara yang profesional.

Kami menilai, permasalahan lain terkait pengaturan keterlibatan TNI dalam mengatasi terorisme adalah minimnya mekanisme hukum yang akuntabel untuk menguji (hebeas corpus) terhadap setiap upaya paksa (penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dll) yang dilakukan Kami menilai, permasalahan lain terkait pengaturan keterlibatan TNI dalam mengatasi terorisme adalah minimnya mekanisme hukum yang akuntabel untuk menguji (hebeas corpus) terhadap setiap upaya paksa (penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dll) yang dilakukan

Pendekatan criminal justice system model yang selama ini telah digunakan dalam penanganan terorisme di Indonesia sejatinya sudah tepat dan benar, meski memiliki beberapa catatan terkait hak asasi manusia. Hal inilah justru yang seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah dan juga anggota Pansus, memastikan agar prinsip-prinsip HAM dijamin dan diperkuat dalam penegakan hukum mengatasi terorisme.

Kami meminta kepada pemerintah dan DPR agar revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tetap berada dalam kerangka sistem negara demokrasi, penghormatan pada negara hukum dan HAM serta menggunakan mekanisme criminal justice sistem model. Oleh karena itu, jika pemerintah dan DPR tetap bersikukuh untuk mengatur pelibatan militer dalam revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme maka keenam syarat ini harus terpenuhi semuanya yakni :

1. Pelibatan militer itu harus atas dasar kebijakan dan keputusan politik negara.

2. Pelibatan itu atas permintaan dari kepolisan atau pemerintah daerah atau pemerintah pusat.

3. Pelibatan itu dilakukan pada saat ancaman terorisme mengancam keamanan dan ketertiban yang tidak dapat ditangani lagi oleh kepolisian (pilihan terakhir/last resort).

4. Prajurit yang dilibatkan dibawah kendali operasi (BKO) kepolisian (sifatnya perbantuan).

5. Pelibatan militer bersifat proporsional dan dalam jangka waktu tertentu (sementara).

6. Prajurit yang dilibatkan tunduk pada sistem peradilan umum.

Meski demikian, kami memandang yang ideal dan penting dilakukan pemerintah dan DPR adalah segera membentuk UU Perbantuan Militer sehingga dapat menjadi payung hukum dan aturan main yang lebih jelas dan komprehensif dalam rangka perbantuan militer kepada pemerintah maupun kepolisian dalam menjaga keamanan, dan bukan malah mengaturnya secara parsial dan kurang tepat di dalam revisi UU pemberantasan tindak pidana terorisme.

Penyelesaian secara hukum berdasarkan sistem peradilan Indonesia, jika RUU Terorisme tetap memasukkan pelibatan TNI dalam menangani atau menindak terorisme, maka akan terdapat upaya hukum dari salah satu institusi ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini dilakuka jika salah satu institusi yang terlibat dalam pasal yang dipermasalahkan keberatann dengan keberadaan institusi lain. Misal Polri melaporkan pasal 43B untuk dilakukan Judicial Review melalui kuasa hukum Polri, jika Polri merasa keberatan dan dirugikan dengan adanya suatu komponen dalam pasal 43B. kewenangan MK ini didasarkan pada ketentuan pasal 1 angka 3 huruf a jo. Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), salah satu kewenangan MK adalah menguji undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Polri sebagai institusi negara memiliki hak untuk mengajukan Judicial Review jika dirasa tidak sesuai dengan peran Polri atau UUD 1945. Hal ini diatur dalam Pasal 51 ayat 1, UU MK dengan tata cara dan proses yang ditetapkan oleh MK.