MAKALAH Ujian Akhir Semester. pdf

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebagai bagian dari haluan dasar negara untuk bertindak, hukum menjadi bagian penting dalam suatu sistem pemerintahan. Melalui hukum, setiap warga negara, institusi, aparatur dan bagian dari negara lainnya, mampu bertindak sesuai dengan batas-batas yang ditetapkan secara legal dan formal. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan hukum utama negara Republik Indonesia. Dalam perjalanannya, hingga saat ini UUD 1945 telah melewati empat kali amandemen. Hal ini terkait dengan relevansi UUD dengan keadaan negara yang semakin kompleks dan mungkin tidak mampu dijawab dengan UUD sebelumnya, sehingga perlu dilakukan amandemen. Namun begitu, empat kali amandemen, bersifat addendum, mengartikan bahwa nilai dasar yang terdapat pada pasal-pasal yang akan di amandemen tidak berubah, hanya dibutuhkan penambahan.

Sebagai produk hukum yang mengatur negara Indonesia, proses pembentukan hukum tidak terlepas dari permasalahan politik. Hal ini juga berkaitan dengan sistem pemerintahan Indonesia yang pada masa Reformasi menetapkan sistem presiensialisme. Setiap negara tentunya membutuhkan sistem pemerintahan untuk menjaga kestabilan negaranya dalam menghadapi berbagai permasalahan. Sistem pemerintahan adanya suatu struktur pemerintahan yang bertitik tolak dari adanya hubungan organ-organ negara yang berada dalam tingkat pusat, khususnya antara eksekutif dan legislatif (E. Utrecht, 1950: 27), seperti halnya Indonesia. Masa reformasi telah menjadi awal tombak Indonesia mengalami proses demokratisasi, sehingga jalannya pemerintahan harus secara demokratis.

Linz menyatakan bahwa praktik presidensialisme memiliki dua masalah pokok, yaitu dual democratic legitimacy karena presiden dan lembaga legislatif dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan, sehingga keduanya

dan rigidity of presidensialism¸dimana presiden dan lembaga legislatif merupakan kedua

memiliki

legitimasi

demokrasi demokrasi

Politik hukum merupakan bagian dari kajian ilmu hukum yang menggabungkan studi ilmu politik dan ilmu hukum. Mahfud MD, beranggapan bahwa politik hukum masuk dalam disiplin ilmu hukum, bahwa politik hukum diartikan sebagai legal policy (kebijakan hukum) yang akan atau telah dilaksanakan oleh pemerintah. Politik hukum ini mencakup pembuatan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan, dan pelaksanaan ketentuan hukum yang sudah ada, termasuk penegakan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum(Mahfud MD, 1998: 8).

Oleh karenanya, sebagai bagian dari ilmu politik, pembentukan hukum berkaitan dalam sistem pemerintahan yang menggunakan trias politika. Dimana pembentukan hukum menjadi kewenangan legislatif, dan tentunya memiliki pembagian kekuasaan dengan eksekutif dan yudikatif sebagai bagian dari sistem. Abdul Hakim (1988) lebih mengedepankan kajian politik hukum pada pembangunan hukum, yaitu tentang perlunya mengikutsertakan peran kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat dalam hal bagaimana hukum itu dibentuk, dikonseptualisasikan, diterapkan dan dilembagakan dalam suatu proses politik yang sesuai dengan citacita awal suatu negara ( Abdul Hakim Garuda Nusantara, 1988: 27).

Politik Hukum sebagai kajian Hukum Tata Negara dari beberapa pakar, menurut pandangan Theo Huijber, yaitu penyelenggara negara dan Politik Hukum sebagai kajian Hukum Tata Negara dari beberapa pakar, menurut pandangan Theo Huijber, yaitu penyelenggara negara dan

Permasalahan produk hukum yang saat ini hangat dibahas adalah Rancangan Undang-Undang terorisme untuk merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak terorisme. Sebagai bagian dari produk hukum tentu trias politika, eksekutif, legislatif dan yudikatif memiliki peran sebagaimana porsinya masing-masing. UU ini juga diharapkan untuk mampu menjawab permasalahan yang ditimbulkan oleh pengaruh terorisme global yang kompleks dan menggunakan sarana teknologi informasi sebagai manuver menyebarkan pemahaman terorisme.

1.2. Permasalahan

Dalam upaya menangani tindakan terorisme di Indonesia, pemerintah mengeluarkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT). Terorisme yang bersifat internasional merupakan kejahatan yang terorganisasi, sehingga pemerintah Indonesia meningkatkan kewaspadaan dalam memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saat ini ancaman terorisme semakin kompleks dan transnasional, artinya permasalahan terorisme di negara lain mampu mempengaruhi secara langsung permasalahan Dalam upaya menangani tindakan terorisme di Indonesia, pemerintah mengeluarkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT). Terorisme yang bersifat internasional merupakan kejahatan yang terorganisasi, sehingga pemerintah Indonesia meningkatkan kewaspadaan dalam memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saat ini ancaman terorisme semakin kompleks dan transnasional, artinya permasalahan terorisme di negara lain mampu mempengaruhi secara langsung permasalahan

Menyadari hal tersebut, Indonesia melakukan revisi terhadap Undang-Undang terorisme Nomor 15 tahun 2003 tersebut. Namun terdapat pro kontra dalam revisi undang-undang ini, yaitu mengenai pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam melakukan penindakan terorisme. Pelibatan TNI dinilai akan merusak sistem penegakkan hukum dan mengancam hak asasi manusia, sebagaiman petisi yang dikeluarkan oleh lebih dari 100 tokoh masyarakat pada 9 Juni 2017 dalam rangka menolak pelibatan militer secara langsung. Keadaan ini tentu merupakan salah satu bagian dari kajian politik hukum. Terutama terdapat arahan presiden pada tanggal 29 Mei 2017 yang mengatakan bahwa perlunya pelibatan TNI dalam revisi UU tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.

Pelibatan yang dimaksud dipertegas oleh menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto, yang menyatakan bahwa pelibatan militer dalam revisi UU pemberantasan tindak pidana terorisme itu dilakukan secara langsung dan bukan di bawah kendali operasi (BKO) polisi. Permasalahan yang kemudian muncul dengan kebijakan ini adalah adanya dual legitimacy antara dua institusi untuk melakukan penindakan terorisme, yaitu TNI dan Polri. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa dual legitimacy dalam tingkat trias politika juga terjadi antara eksekutif dan legislatif dalam pembentukan undang-undang.

Oleh karena itu, makalah ini akan membahas sejarah politik hukum di Indonesia hingga politik hukum masa reformasi dan menjelaskan batas- batas kekuasaan organ terhadap produk hukum. Untuk mendapatkan penjelasan yang lebih konkrit, maka penulis menggunakan contoh produk hukum RUU Terorisme yang akan dijabarkan mulai dari proses politik hukum pembentukan, hingga bagaimana penyelesaian permasalahan produk hukum jika terdapat resistensi dari suatu pihak atas ketidaksetujuan terhadap putusan hukum oleh Mahkamah Konstitusi.

1.3. Pertanyaan Penulisan

Pertanyaan penulisan yang diangkat dalam makalah ini untuk menjawab latar belakang dan permasalahan makalah di atas adalah:

1. Bagaimana pengertian politik hukum dalam konteks historis Indonesia dan kaitannya dengan penyelenggaraan negara?

2. Bagaimana peraturan perundangan di Indonesia dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 dalam mengatur formulasi hukum dan hubungannya dengan penyelenggaraan negara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, beserta implementasinya dalam kasus Revisi Undang-Undang Terorisme Nomor 15 Tahun 2003?

3. Bagaimana Politik Hukum Indonesia dihubungkan dengan situasi global permasalahan terorisme, hingga mencapai kondisi tatanan equilibrium?

1.4. Kerangka Teoritis

1.4.1. Politik Hukum

Politik hukum adalah suatu kebijakan dibidang hukum yang ditempuh oleh negara melalui lembaganya yang diarahkan pada bidang perencanaan hukum, pembentukan hukum-hukum dan pelaksanaan hukum serta penegakannya (prof. Dr. Iza fadri). Kebijakan adalah rangkaian konsep dan azas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan dan cara bertindak. Pemerintahan dalam arti luas sebagai segala aktivitas badan-badan publik yang meliputi kegiatan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam usaha mencapai tujuan negara. Pemerintahan dalam arti sempit adalah segala kegiatan badan-badan publik yang hanya meliputi kekuasaan eksekutif.

Pembentukan kebijakan merupakan tindakan pemilihan berbagai alternatif yang dilakukan secara terus menerus dan tidak pernah selesai di dalamnya termasuk pembuatan keputusan. Dalam hal ini Profesor Iza Fadri mendefinisikan bahwa politik hukum adalah suatu kebijakan di bidang hukum yg ditempuh oleh negara melalui lembaganya (aspek struktur Pembentukan kebijakan merupakan tindakan pemilihan berbagai alternatif yang dilakukan secara terus menerus dan tidak pernah selesai di dalamnya termasuk pembuatan keputusan. Dalam hal ini Profesor Iza Fadri mendefinisikan bahwa politik hukum adalah suatu kebijakan di bidang hukum yg ditempuh oleh negara melalui lembaganya (aspek struktur

Padmo Wahjono (2010) berpandangan, politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk. Dengan demikian, Pengertian Politik Hukum menurut Padmo Wahjono berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa yangakan datang (ius

Rahardjo, Satjipto Rahardjo memberikan Definisi politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.Pengertian politik hukum juga dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara, dalam sebuah makalahnya “Makalah Politik Hukum Nasional “. Dalam tulisannya memberikan gambaran mengenai Pengertian Politik Hukum nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintah negara tertentu. (Abdul Hakim, 1988: 15).

Pengertian Politik Hukum menurut Teuku Mohammad Radhie ialah sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. Sedangkan Soedarto menjelaskan bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dan yang digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai tujuan yang menjadi cita-cita (Soedarto, dalam Mahfud MD. 2010: 14). Tujuan politik hukum yaitu untuk meneliti perubahan-perubahan hukum mana yang perlu dilakukan agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang baru di dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sunaryati Hartono, Politik hukum ini tidak terlepas dari realita sosial dan tradisional yang ada di negara. Di lain pihak, sebagai Pengertian Politik Hukum menurut Teuku Mohammad Radhie ialah sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. Sedangkan Soedarto menjelaskan bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dan yang digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai tujuan yang menjadi cita-cita (Soedarto, dalam Mahfud MD. 2010: 14). Tujuan politik hukum yaitu untuk meneliti perubahan-perubahan hukum mana yang perlu dilakukan agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang baru di dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sunaryati Hartono, Politik hukum ini tidak terlepas dari realita sosial dan tradisional yang ada di negara. Di lain pihak, sebagai

Politik hukum yang diadakan oleh pemerintah Indonesia bekaitan erat dengan wawasan nasional di bidang hukum, yaitu bagaimana cara pandang bangsa Indonesia mengenai kebijaksanaan politik yang harus ditempuh di dalam rangka pembinaan hukum di Indonesia. Adapun mengenai arah kebijaksanaan politik di bidang hukum ini ditetapkan di dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara). Politik hukum memerlukan sebuah mekanisme yang melibatkan banyak faktor. Kita mengenal mekanisme ini sebagai sebuah proses politik hukum. Dari pengertian ini, politik hukum mempunyai dua ruang lingkup yang saling terkait, yaitu dimensi filosofis-teoritis dan dimensi normatif-operasional. Sebagai dimensi filosofis-teoritis, politik hukum merupakan parameter nilai bagi implementasi pembangunan dan pembinaan hukum di lapangan. Sebagai dimensi normatif operasional, politik hukum lebih terfokus pada pencerminan kehendak penguasa terhadap tatanan masyarakat yang diinginkan (F. Sugeng Istanto, 2010: 6).

Adapun tujuan politik hukum nasional adalah untuk mewujudkan cita- cita ideal Negara Republik Indonesia. Tujuan politik hukum nasional dapat kita lihat dari dua aspek yang saling berkaitan, kedua aspek tersebut yaitu :

1. Tujuan politik hukum nasional merupakan suatu alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum nasional yang dikehendaki;

2. Tujuan politik hukum nasional ialah dengan sistem hukum nasional itu akan mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang lebih besar. Manfaat politik hukum yaitu untuk mengetahui bagaimana proses- proses yang tercakup dalam enam wilayah kajian politik hukum yang dapat menghasilkan sebuah kebijakan dalam bidang hukum (legal policy) yang sesuai dengan kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat. Enam wilayah kajian politik hukum itu tentu saja bersifat integral satu sama lainnya.

1.4.2. UU Nomor 12 Tahun 2011

UU 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan (UUP3). Secara umum isi UUP3 dapat dikatakan merupakan keharusan (obligatere) sehingga seluruh ketentuan dalam UUP3 harus dilaksanakan. Jika UUP3 tidak dilaksanakan maka undang-undang ini dapat dikatakan tidak berwibawa. Dalam Pasal 5 UUP3 disebutkan bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: 

kejelasan tujuan; 

kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; 

kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; 

dapat dilaksanakan; 

kedayagunaan dan kehasilgunaan; 

kejelasan rumusan; dan 

keterbukaan. Kemudian dalam Pasal 6 ayat (1) UUP3 disebutkan bahwa materi

muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas: 

bhinneka tunggal ika; 

keadilan; 

kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

 ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau 

keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat (2) dinyatakan bahwa selain

mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan

Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Kedua Pasal tersebut berisi asas-asas formal dan material yang harus dilaksanakan dalam pembentukan setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebagaimana telah disampaikan isi UUP3 secara umum dapat dikatakan merupakan keharusan sehingga dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia asas-asas tersebut harus ditaati tanpa pengecualian apapun. Sebagai sebuah undang-undang yang menjadi peraturan dalam rangka pembentukan peraturan perundang- undangan UUP3 dapat dikatakan sudah baik. Jika saja setiap orang yang terlibat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mau mempelajari dan melaksanakan UUP3 maka tidak akan mengalami banyak kesulitan lagi terlebih dengan keberadaan lampiran yang sangat mendetail.

1.4.3. Trias Politika: Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif

Era demokrasi, sistem politik yang sejalan dengan nilai demokratisasi adalah pembagian kekuasaan, yang dikemukakan oleh Montesquieu. Dalam doktrin ini, menurut Montesquieu bahwa dalam sistem pemerintahan negara, ketiga jenis kekuasaan harus terpisah, baik mengenai fungsi (tugas) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang melaksanakan 1. Kekuasaan Legislatif, dilakasanakan oleh suatu badan perwakilan rakyat (Parlemen) 2. Kekuasaaan Eksekutif, dilaksanakan oleh pemerintah (presiden atau raja dengan bantuan Menteri-menteri atau Kabinet) 3. Kekuasaan Yudikatif, dilaksanakan oleh badan peradilan ( Mahkamah Agung dan pengadilan bawahannya)

Di Indonesia sendiri konsep pembagian kekuasaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Montesqiueu sebenarnya telah diserap kedalam sistem konstitusional negara Indonesia. Walaupun ketiga undang-undang dasar kita tidak secara eksplisit mengatakan bahwa doktrin trias politica dianut tetapi karena ketiga undang-undang dasar menyelami jiwa dan demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia Di Indonesia sendiri konsep pembagian kekuasaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Montesqiueu sebenarnya telah diserap kedalam sistem konstitusional negara Indonesia. Walaupun ketiga undang-undang dasar kita tidak secara eksplisit mengatakan bahwa doktrin trias politica dianut tetapi karena ketiga undang-undang dasar menyelami jiwa dan demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia

Menurut Arbisanit, terdapat empat faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan fungsi legislatif baik di tingkat naosional maupun tingkat lokal atau daerah. Pertama, integritas dan kemampuan atau keterampilan anggota badan legislatif. Kedua, pola hubungan anggota badan legislatif dengan anggota masyarakat yang mereka wakili tercermin dalam sistem perwakilan yang berlaku. Ketiga, struktur organisasi badan legislatif merupakan kerangka formal bagi kegiatan anggota dalam bertindak sebagai wakil rakyat. Keempat, hubungan yang tercermin dalam pengaruh timbal balik antara badan legislatif dengan eksekutif dan lembaga-lembaga lainnya sebagai unit-unit di tingkat daerah, serta hubungan badan tersebut dengan lembaga-lembaga yang sama di tingkat yang lebih tinggi hierarkinya.

Hubungan Eksekutif dan Legislatif terletak pada hubungan kerja dengan sistem kemitraan. Hubungan kerja tersebut antara lain adalah mengenai proses pembuatan undang-undang antara presiden dan DPR. Dalam prosesi pembuatan undang-undang maka, eksekutif dan legislatif bersama-sama untuk membahas undang-undang tersebut. Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama.

Legislatif memiliki fungsi pengawasan terhadap eksekutif, kongkretnya eksekutif dapat terawasi kinerjanya melalui alat kelengkapan dewan. Dalam DPR terdapat badan anggaran, badan legislasi, badan musyawarah, komisi, fraksi itu semua adalah sebuah wadah untuk para anggota DPR untuk mengontrol para eksekutif. Contohnya soal RUU APBN itu diajukan oleh eksekutif dan harus di setujui oleh legislatif. Pastinya dalam pembahasan RUU APBN ini tentu kementrian-kementrian terkait komisi yang bersangkutan memiliki keterkaitan dan itu pasti. Karena biasanya ketika sudah masuk badan anggaran bila terjadi kesalahan dalam pengajuannya prosesinya untuk pengesahan APBN akan terhambat.

1.4.4. Peran Mahkamah Konstitusi sebagai yudikatif dalam politik hukum.

Fungsi dan peran utama MK adalah adalah menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir pembentukan MK dalam sistem ketatanegaraannya tidak semua negara menyebut lembaga baru itu dengan istilah MK. Prancis misalnya menyebut dengan Dewan Konstitusi (Counseil Constitutionnel),

Arbitrase Konstitusional (Constitusional Arbitrage) karena lembaga ini dianggap bukan pengadilan dalam arti yang lazim karena itu, para anggotanya juga tidak disebut hakim. Persamaan dari ke-78 negara itu adalah pada MK yang dilembagakan tersendiri di luar MA. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi. Bahkan, ini juga terjadi di negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah menjadi negara demokrasi. MK dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya.

Belgia

menyebutnya

Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review yang menjadi kewenangan MK. Judicial review merupakan hak uji (toetsingrechts) baik materiil maupun formil yang diberikan kepada hakim atau lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk- produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif legislatif maupun yudikatif di hadapan peraturan perundangan yang lebih tinggi derajat dan hierarkinya. Pengujian biasanya dilakukan terhadap norma hukum secara a posteriori, kalau dilakukan secara a priori disebut judicial preview sebagaimana misalnya dipraktekkan oleh Counseil Constitusional (Dewan Konstitusi) di Prancis. Judicial review bekerja atas dasar adanya peraturan perundang- Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review yang menjadi kewenangan MK. Judicial review merupakan hak uji (toetsingrechts) baik materiil maupun formil yang diberikan kepada hakim atau lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk- produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif legislatif maupun yudikatif di hadapan peraturan perundangan yang lebih tinggi derajat dan hierarkinya. Pengujian biasanya dilakukan terhadap norma hukum secara a posteriori, kalau dilakukan secara a priori disebut judicial preview sebagaimana misalnya dipraktekkan oleh Counseil Constitusional (Dewan Konstitusi) di Prancis. Judicial review bekerja atas dasar adanya peraturan perundang-

Fungsi lanjutan selain judicial review, yaitu (1) memutus sengketa antarlembaga negara, (2) memutus pembubaran partai politik, dan (3) memutus sengketa hasil pemilu. Fungsi lanjutan semacam itu memungkinkan tersedianya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan (antar lembaga negara) yang tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan biasa, seperti sengketa hasil pemilu, dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perkara semacam itu erat dengan hak dan kebebasan para warga negara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik dikaitkan dengan kewenangan MK. Fungsi dan peran MK di Indonesia telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa MK mempunyai empat kewenangan konstitusional (conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitusional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan MK adalah:

a. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945.

b. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

c. Memutus pembubaran partai politik.

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Akibat dimasukkannya TAP MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan, maka muncul persoalan dalam hal pengujian norma diantara peraturan perundang-undangan lainnya. Bagaimana jika TAP MPR bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945? Dan bagaimana pula jika terdapat UU yang bertentangan dengan TAP MPR? Jika merunut kepada sistem kekuasaan kehakiman Indonesia dewasa ini, uji materi dibebankan kepada Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi kewenangan Mahkamah Konsitusi sebatas uji materi UU terhadap UUD. Tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tata cara pengujian TAP MPR terhadap UUD atapun UU terhadap TAP MPR. Mahkamah Konstitusi tidak boleh serta merta melakukan pengujian terhadap TAP MPR, kecuali Mahkamah Konstitusi melakukan upaya hokum progresif seperti yang dilakukan selama ini. Oleh sebab itu, pengujian terhadap TAP MPR terhadap UUD maupun UU terhadap TAP MPR sebagai konsekuensi hierarki perundang-undangan yang diatur dalam 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak memiliki landasan mekanisme atau ketentuan pengujian. Mahkamah Konstitusi tidak serta merta dapat menguji TAP MPR, kecuali TAP MPR yang berdasarkan ketentuan Pasal 4 TAP MPR Nomor I/MPR/2003, yang dipersamakan dengan produk Undang- undang.

II. PEMBAHASAN

2.1. Konteks Historis Politik Hukum di Indonesia

Keruntuhan rezim Orde Baru membawa perubahan signifikan pada sistem pemerintahan Indonesia. Terutama pembagian kekuasaan antar lembaga dan pengembalian fungsi lembaga sebagaimana idealnya negara dengan sistem demokrasi. Lembaga-lembaga tersebut diantaranya eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun pembagian kekuasaan pada sistem Orde Baru yang otoriter, menempatkan posisi eksekutif sangat kuat sehingga tidak mampu mengimbangi keberadaan fungsi lembaga lain terutama legislatif.

Sementara itu, distribusi kekuasaan yang merata antar lembaga akan memberikan implikasi terhadap bekerjanya sistem politik yang demokratis (Valina Singka Subekti, 2007: 61). Oleh karena itu perubahan yang sangat mendasar dalam konstitusi Indonesia pasca Orde Baru terletak pada pembag ian kekuasaan yang tidak lagi “executive heavy”. Hal ini ter- implementasi dalam kekuasaan DPR yang memiliki hak untuk mengajukan pembentukan Undang-Undang dan mengesahkan Undang-Undang yang diajukan oleh eksekutif atau Presiden. Sementara presiden berhak mengajukan rancangan Undang-Undang yang akan dibahas oleh DPR untuk menjalankan fungsi legislasi (Pasal 5 ayat 1). Berkaitan dengan fungsionalisasi lembaga legislatif atau DPR ini, perubahan pada saat itu menuntut pada tiga hal utama, diantaranya (Valina Singka Subekti, 2007: 63):

1. Penguatan fungsi legislasi DPR sebagai lembaga negara yang memiliki kekuasaan membentuk Undang-Undang;

2. Proses dan mekanisme yang mengatur hubungan antara Presiden dan DPR dalam pembuatan Undang-Undang;

3. Menegaskan fungsi pengawasan DPR yang dalam UUD 1945 sebelum perubahan terdapat pada bagian penjelasan.

Urgensi penetapan batas kekuasaan antar lembaga ini dikarenakan sistem demokrasi menuntut terdapatnya check and balances dalam lembaga pemerintahan. Artinya, kekuasaan eksekutif tidak berarti mutlak sehingga tidak dapat dikritisi oleh lembaga lain seperti DPR dan MPR pada legislatif dan Mahkamah Konstitusi (MK) pada konteks yudikatif. Oleh karenanya dengan terdapat check and balances, maka antar lembaga melakukan kontrol yang bersifat mutual, apakah lembaga tersebut menjalankan fungsi yang benar atau ideal sesuai dengan konstitusi dan menghindari terjadinya tumpang tindih kekuasaan atau fungsi yang dijalankan masing-masing lembaga(Benny K. Harman, ___: 54). Keberadaan DPR yang lemah pada masa Orde Baru mengakibatkan tidak mampunya DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat untuk menuntut kesalahan atau pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh eksekutif atau Presiden. Kekuasaan Presiden pada saat itu berkuasa atas pengubahan konstitusi y ang mampu melakukan “Adjustment” terhadap kepentingan Presiden untuk membentuk kebijakan atau Undang-Undang.

MPR pada saat itu sebagai lembaga tertinggi secara konstitusi melakukan perubahan karena menyadari kebutuhan untuk terdapatnya keseimbangan kekuasaan antar lembaga agar tidak terdapat disfungsi dari salah satu lembaga. Tuntutan ini juga merupakan bentuk implementasi kedaulatan rakyat yang mampu disalurkan melalui DPR sebagai lembaga yang me-representasikan masyarakat dalam pemerintahan. Sebelumnya DPR hanya dijadikan tempat untuk legalisasi eksekutif yang cenderung subjektif terhadap kepentingan Presiden secara pribadi, sehingga terdapat

sebutan pada saat itu bahwa DPR sebagai lembaga “tukang cap” untuk Presiden. Hal ini yang kemudian dengan dorongan kondisi politik pada saat itu perlu diubah agar fungsi menjalankan roda pemerintahan tidak terpaku pada Presiden saja.

Menurut Vedi R. Hadiz (2004b: 619) beberapa hal yang mengalami perubahan dan muncul pasca sistem pemerintahan yang sentralistik dan Menurut Vedi R. Hadiz (2004b: 619) beberapa hal yang mengalami perubahan dan muncul pasca sistem pemerintahan yang sentralistik dan

1. Desentralisasi kekuasaan dari Presiden kepada partai politik dan parlemen.

2. Pertumbuhan partai politik merupakan bentuk ekspresi pergeseran aliansi kepentingan yang awalnya dikuasai oleh sebagian predator kepentingan di Orde Baru.

3. Desentralisasi dari Jakarta ke daerah lainnya diikuti dengan pemerintahan lokal yang penting diperhitungkan seperti Bupati, Walikota, cabang partai politik dan parlemen yang terdapat di tingkat lokal.

4. Kemunculan desentralisasi, tumpang tindih kekuasaan, dan penyebaran jaringan patronasi, terbangun akibat basis kompetisi untuk akses dan kontrol terhadap institusi dan sumber daya nasional maupun lokal.

5. Kemunculan pemecah masalah politik (political fixers), pengusaha dan aparat yang sebelumnya berada dalam level yang rendah pada Orde Baru memainkan peran penting masa reformasi.

6. Kemunculan dari pemberontak dan preman yang terorganisasi dalam partai milisi atau partai paramiliter menjadi ancaman keamanan.

Sebelum empat kali melewati revisi, Undang-Undang Dasar 1945 dinilai begitu excecutive heavy atau peran eksekutif begitu besar sedangkan harus adanya check and balances dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu masa reformasi, DPR bersama MPR dan lembaga legislatif lainnya mengajukan untuk amandemen UUD 1945. Amandemen ini diperuntukkan agar kekuasaan kembali ditangan rakyat dan terjaganya sistem check and balances. Tiga isu utama dalam proses amandemen tersebut yaitu mengembalikan kewenangan DPR, memberdayakan MPR dan membatasi kekuasaan presiden. Sedangkan masalah utama dengan besarnya masalah yang dihadapi dipusatkan menjadi dua masalah yaitu pembatasan Sebelum empat kali melewati revisi, Undang-Undang Dasar 1945 dinilai begitu excecutive heavy atau peran eksekutif begitu besar sedangkan harus adanya check and balances dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu masa reformasi, DPR bersama MPR dan lembaga legislatif lainnya mengajukan untuk amandemen UUD 1945. Amandemen ini diperuntukkan agar kekuasaan kembali ditangan rakyat dan terjaganya sistem check and balances. Tiga isu utama dalam proses amandemen tersebut yaitu mengembalikan kewenangan DPR, memberdayakan MPR dan membatasi kekuasaan presiden. Sedangkan masalah utama dengan besarnya masalah yang dihadapi dipusatkan menjadi dua masalah yaitu pembatasan

Pada masa inilah akhirnya diputuskan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih melalui pemilihan langsung atau pemilu. Setiap faksi partai politik memberikan sarannya dan disusun berdasarkan skala prioritas untuk dirumuskan ke dalam UUD 1945. Amandemen juga didukung oleh faksi Golkar dan PDIP untuk tidak mengubah pembukaan UUD 1945 karena bersifat fundamental. Namun begitu, PDIP tidak mempermasalahkan perubahan lain di batang tubuh yang bersifat ideologis. Selain itu juga terdapat perubahaan dalam hak pembuatan dan pengajuan Undang- Undang yang beralih kekuasaan kepada DPR, karena sebelumnya hak tersebut dikuasai oleh eksekutif atau presiden. Menururt Hamdan Zoelva, karena luasnya perdebatan awal ketika memulai perubahan ini, untuk menghindari diorientasi dalam perubahan-perubahan yang akan dilakukan, seluruh faksi di MPR pada saat itu menyepakati lima prinsip, yaitu: tidak mengubah pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mepertegas sistem pemerintahan presidensial, penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan ke dalam pasal-pasal, dan perubahan dilakukan dengan cara adendum.

Disamping penguatan peran DPR dalam membentuk undang- undang, serta pertimbangan DPR dalam pembentukan kementerian negara, dibicarakan pula perlunya pertimbangan DPR dalam pelaksanaan hak prerogatif Presiden. Hal yang menarik dalam pembahasan proses perubahan UUD 1945 ini adalah masih terdapatnya pendapat utusan golongan yang kemudian hak nya di DPR dihapuskan. Pendapat dari utusan golongan ini menandakan bahwa demokrasi Indonesia berjalan dengan baik pasca reformasi dan mampu menampung persepsi-persepsi masing-masing faksi, bukan hanya partai politik, tetapi juga golongan yang Disamping penguatan peran DPR dalam membentuk undang- undang, serta pertimbangan DPR dalam pembentukan kementerian negara, dibicarakan pula perlunya pertimbangan DPR dalam pelaksanaan hak prerogatif Presiden. Hal yang menarik dalam pembahasan proses perubahan UUD 1945 ini adalah masih terdapatnya pendapat utusan golongan yang kemudian hak nya di DPR dihapuskan. Pendapat dari utusan golongan ini menandakan bahwa demokrasi Indonesia berjalan dengan baik pasca reformasi dan mampu menampung persepsi-persepsi masing-masing faksi, bukan hanya partai politik, tetapi juga golongan yang

Pada rapat tersebut kemudian juga dibahas kedudukan DPD yang akan dilembagakan, posisi tidak setuju hanya oleh PDIP namun faksi lain mendukung dengan alasan utusan daerah adalah pihak yang “diutus”. Kemudian perdebatan ini masih dilanjutkan dengan usulan pembentukan dewan utusan daerah (DUD). Selain itu utusan golongan menganggap bahwa perlunya utusan daerah untuk dipilih langsung, agar memperkuat posisi utusan tersebut. Kemudian pembahasan mengenai DPD kembali dilanjutkan dengan putusan DPD sebagai suatu lembaga yang dengan keanggotaannya terbatas, sehingga menjadi titik tolak bagi PDIP, Faksi Polri dan Faksi TNI untuk menyetujui pembentukan DPD sebagai sebuah lembaga. Namun kesepakatan kewenangan DPD belum terwujud mencapai kesepakatan. Menyikapi hal ini faksi terbagi menjadi tiga golongan yaitu reformis progresif (Golkar), reformis moderat (PPP, PKB, REFORMASI, KKI, PDU, PDKB, TNI/POLRI, UG), dan konservatif (PDIP, TNI, POLRI)

Selain itu juga diperdebatkan permasalahan kewenangan presiden untuk mengangkat anggota MPR yang pada dasarnya tidak sesuai dengan asas demokrasi. Para faksi menilai bahwa dengan pengangkatan anggota MPR oleh presiden maka penunjukkan bisa bersifat politis yang memperkuat posisi eksekutif. Oleh karena itu perlunya pengaturan keanggotan MPR ini yang bagi beberapa pihak berpendapat perlunya dipilih melalui pemilu. Hal ini juga berdampak pada utusan golongan dan utusan daerah yang dipertimbangkan perlu untuk dipilih langsung melalui pemilu. Secara tegas Valina Singka Subekti berpendapat agar tidak ada lagi anggota MPR yang ditunjuk dan sebaiknya dipilih langsung melalui pemilu.

Juga kewenangan MPR tidak lagi mengangkat Presiden dan Wakil Presiden tetapi hanya melantik dan menyumpah presiden dan wakil presiden.

2.2. Hirarki Prundangan-Undangan dan Peran Trias Politika dalam Rancangan Undang-Undang

Dalam sistem negara yang menganut trias politika sebagai bentuk adanya pada masing-masing institusi (eksekutif, yudikatif dan yudikatif) terdapat pembagian kekuasaan yang mengatur masing-masing menjalankan perannya. Didalam Pasal 7 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, menegaskan bahwa hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: (a). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c). Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang; (d). Peraturan Pemerintah; (e). Peraturan Presiden; (f).

Peraturan Daerah Provensi; dan (g). Peraturan daerah Kabupaten/Kota. Kekuasaan presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan di Indonesia, diatur dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat (1). Kekuasaan pemerintah ditetapkan oleh hukum dan peraturan yang dilaksanakan oleh organ legislatif. Badan legislatif juga merupakan organ yag mengawasi jalannya pemerintahan. Selain itu juga terdapat badan yudikatif yang menetapkan norma —norma hukum sesuai dengan sistem peradilan dan mengesahkan produk hukum yang diajukan baik oleh eksekutif dengan persetujuan legislatif maupun legislatif yang memiliki kekuasaan otonom membentuk undang-undang.

Berikutnya Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 perihal materi muatan Peraturan Presiden menyatakan bahwa: “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, menteri untuk melaksankan Peraturan Pemerintah. Pasal 7 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011. 9 penyelenggaraan kekuasaan pemerintah”, penjelasan Pasal 13 UU

No. 12 Tahun 2011 tersebut dijelaskan bahwa: “Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan peraturan lebih lanjut perintah Undang- Undang atau Peraturan Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya”.

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas yang menyatakan ”Peraturan Presiden dapat dibentuk untuk menyelenggarakan peraturan lebih lanjut perintah Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya”, maka dalam arti lain, Presiden dapat membuat Peraturan Presiden yang bertentangan dengan Undang- Undang atau tidak sesuai pembentukan dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Padahal di dalam negara demokratis dan negara hukum, jelas tidak menghendaki adanya ketentuan yang bersifat mandiri, yang ditetapkan tanpa dasar perintah dari peraturan yang lebih tinggi, hal ini juga dapat menyebabkan kekuasan yang tidak terbatas dari pemegang kekuasan (Presiden). Oleh karena itu pada kenyataanya masih saja ada Peraturan Presiden yang dibuat tanpa didasari oleh peraturan yang lebih tinggi atau tidak didasari oleh asasasas pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun tentunya dalam negara dengan sistem presidensial dimana kepala negara dan kepala pemerintahan merupakan presiden, pemilihan umum dan langsung oleh rakyat merupakan cara terbaik untuk memperkokoh legitimasi presiden. Dalam sistem pemerintahan presidensial terdapat beberapa prinsip penting yang bersifat universal, yaitu (Jimly Assiddiqie, 2007: 311): (1). Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang eksekutif dan legislatif. (2). Presiden merupakan eksekutif tunggal, kekuasaan Presiden tidak terbagi dan yang ada hanya Presiden dan Wakil Presiden. (3). Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya kepala negara adalah sekaligus kepala pemerintahan. (4). Presiden mengangkat para Menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan yang bertanggung jawab kepadanya. (5). Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian sebaliknya.

(6). Presiden tidak dapat membubarkan ataupun memaksa parlemen. (7). Jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen, maka dalam sistem presidensil berlaku prinsip supremasi konstitusi. (8). Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat. (9). Kekuasaan tersebut tidak terpusat seperti pada sistem parlementer yang terpusat pada parlemen.

Selain itu, implikasi dengan adanya TAP MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan, memunculkan persoalan dalam hal pengujian norma diantara peraturan perundang-undangan lainnya. Lebih tepatnya, bagaimana jika perundang-undangan yang dibentuk melalui TAP MPR bertentangan dengan UUD 1945 yang menjadi landasan utama. Kemudian bagaimana jika UU dibawah hirarki TAP MPR bertentangan normanya satu sama lain. Merujuk pada sistem kehakimana Indonesia, Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari yudikatif merupakan institusi yang dirujuk sebagai tempat uji materi perundang-undangan. Akan tetapi kewenangan Mahkamah Konsitusi sebatas uji materi UU terhadap UUD. Tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tata cara pengujian TAP MPR terhadap UUD atapun UU terhadap TAP MPR.

Mahkamah Konstitusi tidak boleh serta merta melakukan pengujian terhadap TAP MPR, kecuali Mahkamah Konstitusi melakukan upaya hukum progresif seperti yang dilakukan selama ini. Oleh sebab itu, pengujian terhadap TAP MPR terhadap UUD maupun UU terhadap TAP MPR sebagai konsekuensi hierarki perundang-undangan yang diatur dalam 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak memiliki landasan mekanisme atau ketentuan pengujian. Mahkamah Konstitusi tidak serta merta dapat menguji TAP MPR, kecuali TAP MPR yang berdasarkan ketentuan Pasal 4 TAP MPR Nomor I/MPR/2003, yang dipersamakan dengan produk Undang- undang.

2.3. Politik Hukum dan Situasi Global.

Globalisasi dan liberalisasi ekonomi kini benar-benar tidak bisa lagi kita bendung. Liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian, baik di dalam negeri maupun di tingkat dunia internasional (Prof Iza Fadri, 2013). Ramalan bahwa dunia ini merupakan satu perkampungan telah terbukti, karena kini batas negara hanyalah menjadi batas administrasi politik saja. Dalam dunia perdagangan sudah tidak ada lagi batas-batas wilayah negara. Kondisi yang merupakan keniscayaan adalah semakin terintegrasinya berbagai aspek perekonomian suatu negara dengan perekonomian dunia mengakibatkan terjadinya peningkatan arus perdagangan barang maupun uang serta modal antar negara.

Meningkatnya mobilitas arus modal, terutama yang mengalir ke negara – negara berkembang, merupakan dampak langsung dari integrasi keuangan yang semakin tinggi di negara berkembang. Pada sektor perdagangan, globalisasi ekonomi telah mengarah pada terciptanya suatu kecenderungan perdagangan bebas yang disebut sebagai liberalisasi perdagangan dunia. Kecenderungan ini telah diwujudkan dalam kerangka hukum GATT/WTO sebagai suatu manifestasi dari keinginan global untuk terciptanya liberalisasi perdagangan dunia. (hal. 20)

Sejak awal Orde Baru para pengamat mulai melihat sebuah gejala baru, yakni terjadinya pergeseran dalam sistem ekonomi, dari corak sosialis yang etatis ke arah ekonomi kapitalis. Gejala ini kini telah muncul dalam kenyataan yang faktual yaitu dengan diberlakukannya liberalisasi perdagangan Indonesia. Keberlakuan liberalisasi perdagangan dunia di Indonesia adalah suatu konsekuensi logis dari kecenderungan global yang menifestasinya dituangkan ke dalam kerangka GATT/WTO sebagai instrumen hukum perdagangan internasional.

Prof Dr Iza Fadri dalam penelitiannya dan ditulis dalam buku

dengan judul “Politik Hukum Pidana Ekonomi Indonesia : Kebijakan

dalam Era Liberalisasi Perdangan Dunia”. Buku ini merupakan adaptasi

dari naskah disertasi penulis yang disusun untuk promosi doktor di Universitas Indonesia pada tanggal 26 Juli 2013. Judul asli dalam disertasi adalah “Politik Hukum Pidana Ekonomi Indonesia : Kajian tentang Pengaruh Timbal Balik Hukum Pidana dan Politik Perekonomian Indonesia dalam Era Liberalisasi Perdagangan Dunia”. Sebentar lagi Indonesia akan masuk dalam kancah persaingan perdagangan dunia. Berdasarkan kesepakatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN terakhir di Phnom Penh, pada bulan Desember 2015, Asean Free Trade Area (AFTA) akan mulai diberlakukan. Hanya akan ada satu pasar dan basis produksi dengan lima elemen utama yaitu aliran bebas barang, bebas jasa, bebas investasi, aliran modal dan aliran bebas tenaga kerja terampil. Keaktualan peristiwa yang akan terjadi dalam konteks era liberalisasi perdagangan dunia, menjadikan buku ini aktual dalam kondisi saat ini.

Globalisasi hukum akan menyebabkan peraturan-peraturan negara- negara berkembang mengenai investasi,perdagangan, jasa-jasa dan bidang-bidang ekonomi lainnya mendekati negara-negara maju. Namun tidak ada jaminan peraturan-peraturan tersebut memberikan hasil yang sama disemua tempat. Hal mana dikarenakan perbedaan sistim politik, ekonomi dan budaya. Apa yang disebut hukum itu tergantung kepada persepsi masyarakatnya. Friedman, mengatakan bahwa tegaknya peraturan-peraturan hukum tergantung kepada budaya hukum masyarakat. budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota- anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan.

Pengaruh hukum internasional terhadap perkembangan hukum nasional (sistem hukum dan hukum positif) di Indonesia karena pertama, masalah tersebut masih selalu dikaitkan dengan p rinsip “state sovereignty” dan kepentingan perlindungan hukum suatu (bangsa) Negara di dalam memasuki terutama abad globalisasi saat ini. Globalisasi sering diartikan secara kurang tepat "dunia tanpa batas"; sedangkan justru dalam abad 21 globalisasi masalah batas wilayah Negara dan yurisdiksi Negara Pengaruh hukum internasional terhadap perkembangan hukum nasional (sistem hukum dan hukum positif) di Indonesia karena pertama, masalah tersebut masih selalu dikaitkan dengan p rinsip “state sovereignty” dan kepentingan perlindungan hukum suatu (bangsa) Negara di dalam memasuki terutama abad globalisasi saat ini. Globalisasi sering diartikan secara kurang tepat "dunia tanpa batas"; sedangkan justru dalam abad 21 globalisasi masalah batas wilayah Negara dan yurisdiksi Negara

2.4. Terorisme dan Hukum Terorisme Indonesia di Tengah Situasi Global.

Perubahan situasi global turut mempengaruhi kondisi hukum yang terdapat dalam skala nasional. Hal ini disebabkan anaman yang berada dalam tingkat global mampu mengganggu ketentraman nasional dan harus mampu dijawab dengan hukum yang terdapat pada negara tersebut. Begitu juga dengan hukum di Indonesia mengenai terorisme. Di penghujung tahun 2016, masyarakat Indonesia terhentak dengan kembali munculnya tindakan-tindakan kelompok radikal yang mengancam Indonesia. Tindakan radikal yang dilakukan oleh mantan narapida teroris ini bukan hanya membuktikan bahwa moralitas radikal masih terdapat pada diri mantan narapidana tetapi bukti bahwa lembaga permasyarakan gagal dalam membina narapidana-nya. Kegagalan ini disebabkan oleh banyak faktor, kemungkinan salah satunya merupakan penyebaran paham radikal melalui teknologi informasi yang pesat sehingga bisa disebarkan hingga ke dalam lapas.