Memlintir Ibnu Taimiyah Sebelum memlintir Al­Qur’an, kelompok FLA Paramadina itu juga memlintir

Memlintir Ibnu Taimiyah Sebelum memlintir Al­Qur’an, kelompok FLA Paramadina itu juga memlintir

Ibnu Taimiyah sebagaimana tertera dalam kutipan di atas. Untuk membuktikan apakah Ibnu Taimiyah seperti yang diklaim secara plintiran oleh Tim FLA Paramadina itu atau tidak, maka berikut ini kami kutip penjelasan Imam Ibnu Taimiyah.

Masalah agama yang satu (Islam) dan berbeda­bedanya syir’ah, minhaj, dan mansak bagi setiap umat ini dijelaskan secara deteil oleh Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya As­Shofadiyah. (As­Shofadiyah, Ibnu Taimiyyah 661­728H, , 2 juz, 1406 cetakan 2, Muhaqqiq Dr Muhammad Rasyad Salim, juz 2, halaman 307 ­313). Penjelasannya sebagai berikut:

Allah Ta’ala berfirman: “Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah

mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan­keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang­orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak­Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki­Nya kepada jalan yang lurus. (QS Al­Baqarah: 213).

Ibnu Abbas berkata, Antara Adam dan Nuh adalah 10 kurun, semuanya di atas Islam. Firman­Nya kaanan naasu ummatan wahidah (“Manusia itu adalah umat yang satu) artinya di atas kebenaran yaitu agama Islam. Lalu mereka berselisih seperti disebutkan hal itu dalam Surat Yunus 2 , inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama) dan itu yang betul.

Dikatakan, mereka adalah satu umat di atas kebatilan, itu termasuk (pendapat) yang batil. Karena agama Allah Ta’ala yang diridhoi bagi diriNya adalah agama yang satu di masa awalin dan akhirin, yaitu peribadahan kepada Allah saja, tidak ada sekutu baginya. Dan itulah agama Islam. Sedang bermacam­macamnya syari’at itu seperti bermacam­macamnya syari’at yang satu untuk sesuatu yang satu. Nabi Muhammad saw adalah penutup nabi­nabi dan seutama­utamanya para utusan, tidak ada nabi sesudahnya. Dan beliau diutus dengan agama Islam, masih Islam agamanya, sedangkan beliau diperintahkan pertama dengan menghadap kiblat ke Shokhroh Baitul Makdis, kemudian diperintah yang kedua kalinya dengan (kiblat baru, pen) menghadap Ka’bah, sedangkan agamanya itu satu walaupun bermacam­macam syari’atnya. Maka demikian pula firman Allah Ta’ala:

“…maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang

2 “Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa

yang mereka perselisihkan itu.” (QS Yunus: 19).

telah datang kepadamu. Untuk tiap­tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS Al­Maaidah: 48). 3

Apa yang telah Allah jadikan bagi setiap kitab berupa syir’ah, minhaj, dan mansak (syari’at, jalan, dan tatacara ibadah) tidaklah mencegah bahwa agama itu satu. Orang­ orang yang dulu berpegang dengan Taurat dan Injil sebelum dinasakh (dihapus) dan diganti, maka mereka itu berada di atas agama Islam, walaupun syari’at untuk mereka itu hanya khusus bagi mereka. Demikian pula orang­orang yang berpegang pada Injil sebelum dinasakh (dihapus) dan diganti, maka di atas agama Islam, walaupun Al­Masih telah menghapus sebagian apa yang ada di Taurat dan menghalalkan untuk mereka sebagian yang (tadinya) haram atas mereka. Demikian pula Muhammad saw diutus dengan agama Islam walaupun Allah menghapus apa yang Dia hapuskan seperti kiblat (semula kiblatnya Baitul Maqdis di Palestina kemudian Allah hapus dan diganti dengan berkiblat ke Ka’bah di Masjidil Haram Makkah, pen). Dan siapa yang tidak mengikuti Muhammad maka dia tidak jadi Muslim tetapi kafir, dan tidaklah bermanfaat baginya setelah sampai padanya da’wah Muhammad (lalu masih) memegangi apa yang menyelisihi hal yang diperintahkan Muhammad saw, karena yang demikian itu tidak diterima (keberagamaannya oleh Allah swt).

Oleh karerna itu ketika Allah Ta’ala menurunkan ayat, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali­kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang­orang yang rugi. (QS Ali Imran 85), lalu orang­orang Yahudi dan Nasrani berkata, kami orang­orang Muslim (yang menyerahkan diri); maka Allah Ta’ala berfirman, “…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS Ali Imran: 97), maka mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, kami tidak berhaji. Lalu Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS Ali Imran: 97).

Dan telah diriwayatkan oleh At­Tirmidzi dan lainnya dari Nabi saw bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa memiliki bekal atau unta/ kendaraan yang menyampaikannya ke Baitullah dan dia tidak berhajji maka hendaklah ia mati kalau mau sebagai Yahudi dan kalau mau sebagai Nasrani.” (HR At­Tirmidzi dan lainnya).

Allah Ta’ala berfirman: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang­ orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Ali Imran: 18).

Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang­orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat­ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab­Nya. (QS Ali Imran: 19).

Kemudian jika mereka mendebat kamu (Muhammad, tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang­ orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang­orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang­orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat­ayat Allah). Dan Allah Maha

Melihat akan hamba­hamba­Nya. (QS Ali Imran: 20). 4

3 Ibnu Taimiyyah 661­728H, As­Shofadiyah, 2 juz , 1406H cetakan 2, Muhaqqiq Dr Muhammad Rasyad Salim, juz 2, halaman 307­308.

4 Ibid, halaman 308­309.

Maka Allah Swt telah mengabarkan bahwa agama di sisinya itu adalah al­Islam awal dan akhir, dan dia itu agama yang satu. Kemudian Dia menjelaskan bahwa Ahli Kitab sesungguhnya mereka berselisih hanyalah setelah ilmu datang kepada mereka lalu kedengkian ada di antara mereka dari sebagian atas sebagian mereka, bukan karena mencari kebenaran. Dan ini seperti Firman Allah Ta’ala:

“Dan tidaklah berpecah belah orang­orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS Al­Bayyinah:

4). Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada­Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS Al­Bayyinah: 5).

Dan Allah berfirman dalam ayat­ayat yang lain: Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil Al Kitab (Taurat),

kekuasaan dan kenabian dan Kami berikan kepada mereka rezki­rezki yang baik dan Kami lebihkan mereka atas bangsa­bangsa (pada masanya). (QS Al­Jaatsiyah/ 45: 16).

Dan Kami berikan kepada mereka keterangan­keterangan yang nyata tentang urusan (agama); maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu berselisih padanya. (QS 45: 17).

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang­ orang yang tidak mengetahui. (QS 45: 18).

Sesungguhnya mereka sekali­kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang­orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang­orang yang bertakwa. (QS Al­Jaatsiyah/ 45: 19).

Perbedaan mutlak yang dicela Allah Ta’ala dalam Al­Qur’an adalah kalau setiap golongan menciptakan perkataan baru yang di dalamnya tercampur haq dan batil, maka setiap golongan/ kelompok saling berbeda dengan kelompok lain dan saling bermusuhan, dan masing­masing menyelisihi agama Islam yang Allah utus para utusan dengannya. Seperti Yahudi dan Nasrani saling berbeda mengenai Al­Masih dan lainnya. Dan para pengikut hawa nafsu dari umat ini berbeda pula (dengan kemurnian agama Islam, pen).

Maka sesungguhnya Islam adalah tengah­tengah di dalam (kalangan) agama­ agama. Antara “ujung­ujung yang saling tarik menarik” dan “sunnah dalam Islam” seperti Islam dalam agama­agama. Maka orang­orang Muslim dalam hal (sikapnya tentang) sifat Allah Ta’ala adalah tengah­tengah antara Yahudi dan Nasrani. Yahudi menyerupakan Pencipta dengan makhluk, maka mereka (Yahudi) menyifati Maha Pencipta dengan sifat­ sifat tertentu pada makhluk yaitu sifat kurang (tak sempurna). Mereka berkata, sesungguhnya Allah itu fakir, dan sesungguhnya Allah itu bakhil, dan Allah itu lelah ketika menciptakan alam maka Dia beristirahat. Dan (lain lagi) Nasrani, mereka menyerupakan makhluk dengan Khaliq, maka mereka menyifati makhluk dengan sifat­ sifat tertentu pada Khaliq. Mereka mengatakan, dia (Isa bin Maryam, pen) adalah Allah. Sedangkan orang­orang Muslim menyifati Khaliq dengan sifat­sifat yang sempurna dan mensucikannya dari sifat­sifat kurang. Dan Muslimin mensucikanNya dari adanya tandingan bagiNya dalam hal sifat­sifat kesempurnaan, maka Dia terbebas dari sifat­sifat kurang secara mutlak. Dan makhluk­makhluk pun dibersihkan dari sifat­sifat kesempurnaan yang menyamai­Nya.

Demikian pula dalam hal nabi­nabi, kaum Muslimin bersikap tengah­tengah. Orang Yahudi sebagaimana Allah firmankan mengenai mereka:

“Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh; maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?” (QS AlBaqarah: 87).

Demikian pula mereka (Yahudi) membunuh nabi­nabi dan membunuh orang yang memerintahkan keadilan di antara manusia.

Dan orang­orang nasrani bersikap ghuluw (ekstrim), maka mereka menyekutukan Allah dengan mereka dan orang­orang selain mereka. Allah berfirman mengenai mereka:

Mereka menjadikan orang­orang alimnya, dan rahib­rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS At­ Taubah: 31).

Orang­orang Muslim beriman kepada mereka (para nabi) secara keseluruhan dan tidak membeda­bedakan antara salah satu dari mereka, karena mengimani seluruh nabi­ nabi itu adalah fardhu lagi wajib, dan barangsiapa kafir/ mengingkari satu nabi (saja) dari mereka (para nabi itu) maka sungguh dia telah kafir kepada mereka (para nabi) secara keseluruhan. Dan barangsiapa mencaci seorang nabi dari para nabi maka dia telah kafir, wajib dibunuh dengan kesepakatan para ulama, dan mengenai diminta tobatnya ada perbedaan pendapat (di kalangan ulama).

Firman Allah Ta’ala: Katakanlah (hai orang­orang mu'min): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang

diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya`qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi­nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda­bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada­Nya". (QS Al­Baqarah: 136).

Dan Firman Allah Ta’ala: “…akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari

kemudian, malaikat­malaikat, kitab­kitab, nabi­nabi …” (QS Al­Baqarah: 177). Dan FirmanNya:

Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang­orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat­ malaikat­Nya, kitab­kitab­Nya dan rasul­rasul­Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda­bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul rasul­Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami ta`at". (Mereka berdo`a): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". (QS Al­Baqarah: 285).

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang­ orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang­ orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan

Inti dari uraian Imam Ibnu Taimiyah itu adalah kalimat beliau: “Dan siapa yang tidak mengikuti Muhammad maka dia tidak jadi Muslim tetapi

kafir, dan tidaklah bermanfaat baginya setelah sampai padanya da’wah Muhammad (lalu masih) memegangi apa yang menyelisihi hal yang diperintahkan Muhammad saw, karena yang demikian itu tidak diterima (keberagamaannya oleh Allah swt).”

Maka pengutipan tim penulis FLA dari Paramadina terhadap pernyataan Imam Ibnu Taimiyah tanpa merujuk sumbernya dengan kalimat:

“Mengenai Taurat dan Injil, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagian besar ajaran kitab­kitab suci tersebut tetap benar,…” (FLA, halaman 55, dalam sub judul Menegaskan Kesinambungan dan Kesamaan Agama­agama) itu jelas­jelas satu pengelabuhan, entah itu dengan cara memotong­motong sebagian dari kalimat­kalimat Imam Ibnu Taimiyah hingga konteksnya jadi lain, atau dengan cara lainnya. Yang jelas, Imam Ibnu Taimiyah justru mengkafirkan siapa saja yang tidak masuk Islam setelah sampai kepada mereka da’wah Nabi Muhammad saw. Dan itu satu bukti nyata, bahwa faham pluralisme agama (menyamakan semua agama) sama sekali tidak bisa dikait­ kaitkan dengan Imam Ibnu Taimiyah. Adapun orang­orang yang melandasi propagandanya tentang pluralisme agama dengan mengutip­ngutip pernyataan Ibnu Taimiyah itu boleh dipertanyakan keilmiyahan mereka secara metodologis, dan bahkan kejujurannya dalam pembahasan secara akademis.

Pengutipan secara panjang dari pendapat Ibnu Taimiyah yang saya lakukan ini memang dari segi metodologi yang biasa dipakai dipandang kurang kena. Tetapi saya mohon maaf, hal ini saya lakukan karena untuk mencari kejelasan, seperti apa pendapat Ibnu Taimiyah dalam hal Islam dan agama­agama terutama Yahudi dan Nasrani. Sehingga terjawablah secara tuntas apabila dengan mengutip secara runtut walaupun panjang dari uraian Ibnu Taimiyah yang sebenarnya, bukan hanya dicomot­comot secara semaunya model para penulis FLA, untuk kepentingan yang bertentangan dengan Ibnu Taimiyah itu sendiri.

Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengemukakan: Islam sesungguhnya hanyalah penyembahan kepada Allah satu­satunya, tidak ada

sekutu bagi­Nya. Dan sesungguhnya Dia disembah hanya dengan apa yang Dia perintahkan. Maka setiap yang Dia perintahkan, yaitu ketika sesuatu itu diperintahkanNya maka termasuk bagian dari agama Islam, dan ketika (perintah itu tadi) telah Dia larang maka tidak termasuk lagi dari bagian agama Islam. Seperti dahulu shokhroh (batu di Baitul Maqdis sebagai kiblat) pertama dulunya adalah termasuk dari bagian agama Islam, kemudian Dia larang (berkiblat lagi) terhadapnya maka tidak tersisa lagi bagiannya dari Islam. Oleh karena itu yang berpegang pada Hari Sabat (hari upacara Yahudi) dan lainnya dari syari’at­syari’at yang telah dinasakh (dihapus) maka bukan termasuk agama Islam, lalu bagaimana lagi dengan yang telah diganti. Allah Ta’ala sama sekali tidak rela terhadap agama selain Islam, dan tidak satupun dari para rasulNya, lebih­lebih Nabi Muhammad penutup para nabi, beliau tidak rela terhadap seorangpun kecuali dengan agama Islam, tidak terhadap orang­orang musyrikin dan tidak pula terhadap orang­orang yang telah diberi al­kitab (Ahli Kitab). 6

5 Ibnu Taimiyyah 661­728H, As­Shofadiyah, 2 juz , 1406H cetakan 2, Muhaqqiq Dr Muhammad Rasyad Salim, juz 2, halaman 310­ 312.

6 Ibnu Taimiyah, As­Shofadiyah, juz 2, halaman 314­315