Masalah Menggunakan Dalil Dalam hal penggunaan dalil, Ulil yang berfaham pluralis (semua agama sama) itu

Masalah Menggunakan Dalil Dalam hal penggunaan dalil, Ulil yang berfaham pluralis (semua agama sama) itu

mengingkari fahamnya sendiri. Ketika dia pakai dalil “Faman sya’a falyu’min, waman sya’a falyakfur. (Maka siapa ingin jadi mukmin, dia mukmin; dan siapa yang mau jadi kafir, dia kafir)”; maka pada dasarnya Ulil sedang melepas faham pluralisme agamanya. Terminoligi “iman” dan “kafir” itu bukan terminologi faham pluralisme. Jadi sebelum mencomot dalil, dia sudah terkena diskualifikasi, maka tidak boleh mencomot dalil itu. Apalagi kemudian untuk menghantam hadits, “siapa yang keluar dari Islam maka bunuhlah”. Ulil tidak menilai hadits itu dha’if (lemah), namun dibentrokkan dengan ayat, tanpa melihat ayat­ayat lain, hadits­hadits lain serta peristiwa yang dialami Nabi saw dan para sahabatnya. Padahal Abu Bakar justru memerangi orang­orang murtad, terkenal namanya adalah perang Riddah, dengan mengerahkan 10.000 tentara Islam bahkan panglimanya pun dipilih yang Pedang Allah, Khalid bin Walid. Apakah Abu Bakar dan 10.000 tentara Islam yang menyerbu orang­orang murtad itu menyelisihi Al­Qur’an? Jelas tidak.

Yang dilakukan Ulil dalam mencomot dalil adalah menyembunyikan kebenaran, yaitu menafikan dalil­dalil lainnya. Seolah dia kampanyekan bahwa Islam mempersilakan orang kafir agar “lenggang kangkung” (berjalan sesukanya) di muka bumi ini dengan menikmati hak yang sama dengan orang mukmin. Ulil telah menyembunyikan ayat:

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata­ mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS Al­Anfaal: 39).

“Sesungguhnya orang­orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS An­ Nisaa’: 101).

“Hai orang­orang yang beriman, perangilah orang­orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang­orang yang bertakwa.” (QS At­Taubah: 123).

Bagaimana sikap Nabi Muhammad saw dan sahabat­sahabatnya terhadap orang­ orang kafir digambarkan dalam Al­Qur’an:

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang­orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang­orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan­Nya, tanda­tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat­sifat mereka dalam Taurat dan sifat­sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam­penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang­orang kafir (dengan kekuatan orang­orang mu'min). Allah menjanjikan kepada orang­orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al­Fat­h: 29).

Nabi Ibrahim pun telah mencontohi ketegasan sikapnya terhadap orang­orang kafir sebagaimana ditegaskan dalam Al­Qur’an:

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang­ orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang­ orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah,