Kajian Organ Mandibular Dan Pemanfaatannya Sebagai Stimulan Molting Kepiting Bakau Scylla Olivacea
KAJIAN ORGAN MANDIBULAR DAN PEMANFAATANNYA
SEBAGAI STIMULAN MOLTING KEPITING BAKAU
Scylla olivacea
AKBAR MARZUKI TAHYA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kajian Organ
Mandibular dan Pemanfaatannya sebagai Stimulan Molting Kepiting Bakau Scylla
olivacea adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari disertasi saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2016
Akbar Marzuki Tahya
NIM C161120031
RINGKASAN
AKBAR MARZUKI TAHYA. Kajian Organ Mandibular dan Pemanfaatannya
sebagai Stimulan Molting Kepiting Bakau Scylla olivacea. Dibimbing oleh
MUHAMMAD ZAIRIN JR, ARIEF BOEDIONO, I MADE ARTIKA dan
MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI.
Organ Mandibular (OM) pada krustasea memiliki peranan penting dalam
proses fisiologi, salah satunya adalah molting. Tujuan penelitian ini adalah
mengidentifikasi OM dari kepiting bakau, mempelajari perkembangan
fisiologinya, membuktikan keberadaan enzim melalui pendekatan RNA,
membuktikan peranan OM, dan mengklarifikasi dosis terbaik dalam menstimulasi
molting. Terdapat empat tahapan penelitian yang didesain untuk mengkaji OM
dan peranannya dalam molting kepiting bakau jenis Scylla olivacea.
Pertama, untuk mengidentifikasi OM kepiting bakau dan mempelajari
struktur morfologinya. Identifikasi dilakukan melalui pembedahan terhadap
kepiting bakau sehat, koleksi organ, pengukuran, dokumentasi dan bantuan
korespondensi peneliti yang kompeten dalam organ mandibular. Struktur
morfologi organ diamati melalui Scanning Electron Microscope (SEM)
menggunakan prosedur preparasi spesimen padat. Penelitian tahap pertama
berhasil menemukan OM pada kepiting bakau, yakni berbentuk bulat lonjong,
berwarna kuning pucat, berpasangan, diameter berkisar 1-3 mm. Pengamatan
dengan SEM memperlihatkan struktur organ yang halus dengan selubung jaringan
pengikat. Ukuran OM pada kepiting jantan lebih besar dibandingkan kepiting
betina, demikian pula kepiting dalam fase premolt memiliki OM yang lebih besar
dibandingkan intermolt. Keberhasilan tahap pertama menjadi acuan awal untuk
menggunakan kepiting jantan fase premolt sebagai donor OM.
Kedua, menentukan keterkaitan bobot OM dengan bobot tubuh (BT), dan
bobot organ Y (OY), pada kepiting jantan dan betina yang berada dalam fase
intermolt dan premolt. Kepiting uji yang digunakan memiliki kisaran BT 120-130
g/individu, sebanyak 200 individu. Koleksi organ dilakukan dengan cara kepiting
dianastesi pada air bersuhu dingin. Pembedahan dilakukan dengan hati-hati agar
organ tetap berada pada posisi semula, selanjutnya organ dipisahkan dan
dilakukan penimbangan. Hasil perhitungan indeks organ disajikan dalam
persamaan regresi linier sederhana untuk menentukan keterkaitan hubungan bobot
OM, dengan BT, dan OY. Hasil penelitian tahap kedua menunjukkan bobot OM
pada kepiting jantan dan betina mengalami peningkatan sejalan dengan
peningkatan BT dan OY, di mana dalam fase premolt lebih besar dibandingkan
intermolt. Hasil penelitian juga menunjukkan bobot OM pada kepiting jantan
lebih berat dibandingkan kepiting betina.
Ketiga, menentukan keberadaan Farnesoate Acid Methyl Transferase
(FAMeT) dalam OM kepiting bakau. Total RNA diperoleh menggunakan kit
RNeasy mini (Qiagen), ethanol 70%, dan air bebas RNase. Amplifikasi RNA
penyandi FAMeT menggunakan SuperScript III OneStep RT-PCR with Platinum
Taq Polimerase (Invitrogen) untuk sintesis cDNA. Primer yang digunakan adalah
FAMeTQ1
5′-GGCACGGACGAGAACAA-3′
dan
FAMeTQ2
5′GCGACGCTGAAGGAGAT-3′. Sementara primer yang digunakan untuk
mendeteksi β-aktin adalah β-aktinF 5′ GAGCGAGAAATCGTTCGTGAC-3′ dan
β-aktinR 5′-GGAAGGAAGGCTGGAAGAGAG-3′. Pada penelitian ini
penemuan amplikon gen β-aktin kepiting bakau yakni 202 bp, menunjukkan
keberhasilan ekstraksi RNA dari OM. Ekspresi mRNA penyandi FAMeT dari OM
mengindikasikan peranan enzim tersebut sebagai konverter asam farnesoat (AF)
menjadi metil farnesoat (MF). Hasil pengukuran konsentrasi total RNA penyandi
FAMeT yang mengalami peningkatan dari intermolt ke premolt mengindikasikan
peningkatan MF dalam OM kepiting bakau; sehingga pada penelitian tahap ketiga
dijadikan acuan pemilihan kepiting donor dari fase premolt.
Keempat, membuktikan peranan ekstrak OM terhadap molting,
pertumbuhan, keserentakan molting, dan kelangsungan hidup. Ekstrak OM
diperoleh dari kepiting bakau jenis S. olivacea jantan yang berada pada fase
premolt dengan kondisi tubuh yang sehat. Kepiting uji disuntik dosis tunggal
ekuivalen melalui membran pada pangkal kaki renang, menggunakan syringe 1
ml dengan jarum suntik 27 gauge. Penyuntikan dosis 0.016 mg/g BT berhasil
membuktikan peranan ekstrak OM dalam meningkatkan persentase molting, masa
laten, keserentakan molting, dan meningkatkan kelangsungan hidup. Respons
pertumbuhan mutlak kepiting bakau tidak menunjukkan perbedaan antara kontrol
dan perlakuan injeksi. Klarifikasi dosis ekuivalen terbaik dilakukan dengan
mengamati kemajuan molting, meliputi masa laten retraksi, retraksi epipodit,
histologi, dan kuantifikasi ekdisteroid dalam hemolimfa. Hasil klarifikasi
mendukung perlakuan penyuntikan dosis 0.016 mg/g BT sebagai dosis terbaik.
Hasil-hasil yang diperoleh dalam kajian ini menyarankan untuk menggunakan
dosis ekuivalen 0.016 mg/g BT sebagai dosis optimal dalam budidaya kepiting
lunak.
Kata kunci: kelangsungan hidup, molting, organ mandibular, Scylla olivacea,
tumbuh.
SUMMARY
AKBAR MARZUKI TAHYA. Mandibular Organ Study and Its Utilization as
Molting Stimulant of Mud Crab Scylla olivacea. Supervised by MUHAMMAD
ZAIRIN JR, ARIEF BOEDIONO, I MADE ARTIKA and MUHAMMAD AGUS
SUPRAYUDI.
Mandibular Organ (MO) of crustaceans is an organ that has an important
role in physiological processes, one of which is molting. The purpose of this study
was to identify MO of mud crab, studying the development of physiology,
proving the existence of the enzyme via RNA approach, proving the role of MO,
and clarify the optimum dose in stimulating molting. There were four stages of
studies designed to assess the MO and its role in molting of mud crab Scylla
olivacea.
The first, to identify MO of mud crab and studying their morphological
structure. Identification was done through surgery on healthy mud crabs, organ
collection, measurement, documentation and correspondence with competent
researchers in the MO. Morphology of MO was observed through a Scanning
Electron Microscope (SEM) using a solid specimen preparation procedures. The
research has found MO on mud crab, which was oval-shaped, pale yellow, in pairs,
diameters ranging from 1-3 mm. Observation by SEM showed that subtle organ
structure with a sheath of connective tissue. Size of MO on male crabs larger than
the female crabs, as well as the crabs in premolt phase have greater MO than
intermolt phase. The success of the first phase of the research to be a reference
for further.
The second, to determine the correlation of MO weight with body weight
(BW), and weight of Y organ (YO), on the male and female crabs which were in
premolt and intermolt phases. Crab samples used have a BW range of 120-130
g/crab, total 200 crabs. Organ collection was done by crab anaesthetized at cold
water. Surgery was done carefully so that the organ remains in its position, then
the organs were separated, and then weighed. Organ index calculation results were
analyzed by simple linear regression to determine the inter-relationship of MO
weights, BW, and YO weights. The results showed that the weight of the MO in
the male and female crabs in line with the increase of BW and YO, wherein
premolt greater than intermolt. The results also showed the weight of MO in male
crabs were heavier than female.
The third, to determine the presence of Farnesoate Acid Methyl Transferase
(FAMeT) in MO of mud crab. Total RNA was obtained using RNeasy mini kit
(Qiagen), 70% ethanol, and RNase-free water. RNA encoding FAMeT
amplification used superscript III OneStep RT-PCR with Platinum Taq
Polymerase (Invitrogen) for RNA synthesis. Primers used were 5'GGCACGGACGAGAACAA FAMeTQ1-3' and 5'-GCGACGCTGAAGGAGAT
FAMeTQ2-3'. While primers used for the detection of β-actin were β-actinF 5'GAGCGAGAAATCGTTCGTGAC-3'
and
5'-β-actinR
GGAAGGAAGGCTGGAAGAGAG-3'. The results found that β-actin gene
amplicons sized 202 bp, showing the success of the extraction of RNA from MO.
The expression of RNA encoding FAMeT of MO indicates the role of this
enzyme as a converter of farnesoate acid (FA) into methyl farnesoate (MF). The
RNA encoding FAMeT concentration were increased from intermolt to premolt
indicate an increased of MF in MO. So the third phase of the research suggested
crab in premolt phase as organ donor.
The fourth, the role of the MO extract proved to molting, growth,
simultaneity of molting and survival. The MO extract obtained from premolt
phase of males mud crab S. olivacea with a healthy condition. Crabs were injected
with a single equivalent dose through the membrane at the base of the swimming
leg, using a 1 ml syringe with a 27-gauge hypodermic needle. Treatment of dose
0.016 mg/g BW managed to prove the role of MO in increasing the percentage of
molting, latency period, molting simultaneity, and improved survival. While the
response of the absolute growth of mud crabs showed no difference between the
control and treatment of injection. Clarification of optimum equivalent dose done
by observing the progress of molting, covering a latency period of retraction,
epipodite retraction, histology, and quantification of ecdysteroid in hemolimph.
Results of clarification confirmed that the dose of 0.016 mg/g BW as the optimum
dose. The results obtained in this study suggests to use a 0.016 mg/g BW as the
optimal dose in soft shell crab cultivation.
Keywords: growth, mandibular organ, molting, Scylla olivacea, survival rate
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN ORGAN MANDIBULAR DAN PEMANFAATANNYA
SEBAGAI STIMULAN MOLTING KEPITING BAKAU
Scylla olivacea
AKBAR MARZUKI TAHYA
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji pada Ujian Tertutup:
1. Prof Dr Ir Yushinta Fujaya, MSi
Penemu ekstrak bayam (vitomolt) untuk stimulan molting
kepiting, dan Dosen BDP FIKP Universitas Hasanuddin
Makassar
2. Dr Alimuddin, SPi MSc
Dosen Ilmu Akuakultur IPB Bogor.
Penguji pada Promosi Doktor:
1. Prof Dr Ir Yushinta Fujaya, MSi
Penemu ekstrak bayam (vitomolt) untuk stimulan molting
kepiting, dan Dosen BDP FIKP Universitas Hasanuddin
Makassar
2. Dr Alimuddin, SPi MSc
Dosen Ilmu Akuakultur IPB Bogor.
Judul Disertasi : Kajian Organ Mandibular dan Pemanfaatannya sebagai Stimulan
Molting Kepiting Bakau Scylla olivacea
Nama
: Akbar Marzuki Tahya
NIM
: C161120031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Muhammad Zairin Jr, MSc
Ketua
Prof Drh Arief Boediono, PhD PAVet(K)
Anggota
Dr Ir I Made Artika, MAppSc
Anggota
Dr Ir Muhammad Agus Suprayudi, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Akuakultur
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Widanarni, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian Tertutup : 25 Oktober 2016
Tanggal Promosi Doktor : 24 November 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Alhamdulillah Syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
anugerah-Nya sehingga penyusunan disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian ini
dipilih oleh karena dorongan motivasi yang kuat untuk berinovasi bagi bangsa,
melalui bidang fisiologi krustasea.
Terima kasih dan penghargaan penulis haturkan kepada Bapak Prof Dr Ir
Muhammad Zairin Jr, MSc., Bapak Prof Drh Arief Boediono, PhD PAVet (K).,
Bapak Dr Ir I Made Artika, MAppSc., dan Bapak Dr Ir Muhammad Agus
Suprayudi, MSi., selaku pembimbing yang telah mengarahkan dan mempertajam
ide penelitian. Terima kasih kepada Ibu Prof Dr Ir Yushinta Fujaya, MSi., dan
Bapak Dr Alimuddin, SPi MSc., selaku penguji yang telah memberikan masukan
berharga dalam penulisan disertasi ini. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada staf dan laboran di Biofarmaka IPB, Laboratorium Layanan
Terpadu FKH IPB, Laboratorium Embriologi FKH IPB, dan Instalasi Tambak
Pendidikan Universitas Hasanuddin dan ADY Crab di Kabupaten Barru Sulawesi
Selatan yang telah memfasilitasi penelitian. Terima kasih kepada Universitas
Hasanuddin Makassar yang telah memberikan rekomendasi lanjut studi, dan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang telah memberikan
bantuan dana melalui beasiswa unggulan calon dosen Tahun 2012-2015. Terima
kasih pula kepada teman-teman seperjuangan Ilmu Akuakultur angkatan 2012,
dan teman-teman Icarus.st yang telah banyak berbagi selama penulis menjadi
pembelajar di IPB. Ungkapan terima kasih dan penuh apresiasi kepada orang tua
penulis Bapak Marzuki Tahya dan Mama Nurbani, beserta keluarga besar di
Labuan Bajo NTT. Demikian pula rasa terima kasih kepada mertua Bapak Yusuf
Dg Ngempo dan Mama Hj Tahira Dg Tanang, beserta keluarga di Sulawesi
Selatan. Rasa syukur dan kebahagian ini tidak lepas dari pengorbanan Istri Sunarti
Dg Jinne MSi., dan Putra kami Imalabbiri Al Rashid Tahya Dg Tona, yang telah
ikhlas menemani penulis dalam menuntut ilmu di Bogor. Semoga apa yang
dikerjakan dapat bernilai ibadah dan mendapat pahala berlimpah dari Nya.
Semoga teknologi inovatif dapat terus lahir dan berkembang untuk
kemajuan bangsa. Amin.
Bogor, Desember 2016
Akbar Marzuki Tahya
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR SINGKATAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
Kebaharuan Penelitian
1
1
3
5
5
5
2 STRUKTUR MORFOLOGI ORGAN MANDIBULAR KEPITING BAKAU
Scylla olivacea
6
Abstrak
6
Pendahuluan
6
Metode Penelitian
7
Hasil
9
Pembahasan
10
Simpulan
12
3 HUBUNGAN ANTARA BOBOT ORGAN MANDIBULAR DENGAN
BOBOT TUBUH, BOBOT ORGAN Y, JENIS KELAMIN, FASE
INTERMOLT DAN FASE PREMOLT KEPITING BAKAU Scylla olivacea
Abstrak
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil
Pembahasan
Simpulan
13
13
13
15
18
22
25
4 EKSPRESI mRNA PENYANDI FAMeT DALAM ORGAN MANDIBULAR
KEPITING BAKAU Scylla olivacea PADA FASE INTERMOLT DAN FASE
PREMOLT
26
Abstrak
26
Pendahuluan
26
Metode Penelitian
27
Hasil
29
Pembahasan
30
Simpulan
33
5 RESPONS KEPITING BAKAU Scylla olivacea DALAM PEMELIHARAAN
IN VIVO TERHADAP PENYUNTIKAN BERBAGAI DOSIS EKSTRAK
ORGAN MANDIBULAR
34
Abstrak
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil
Pembahasan
Simpulan
34
34
36
41
48
55
6 PEMBAHASAN UMUM
56
7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
62
62
62
DAFTAR PUSTAKA
63
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
Perbandingan organ mandibular kepiting bakau jantan dan betina
Bobot tubuh, organ mandibular, organ Y, dan indeks organ
Pertumbuhan mutlak kepiting bakau sesaat setelah molting dan tanpa
molting
Kelangsungan hidup kepiting bakau setelah penyuntikan ekstrak organ
mandibular
Perbandingan ekdisteroid dalam hemolimfa kepiting bakau jantan dan
betina dari fase intermolt dan premolt
Kandungan ekdisteroid dalam hemolimfa kepiting bakau uji
9
22
43
45
48
48
DAFTAR GAMBAR
1 Skema konseptual penelitian
2 Diagram prosedur koleksi organ mandibular untuk pengukuran
diameter dan preparasi spesimen padat
3 Gambaran makroskopis organ mandibular
4 Scanning electron microscope organ mandibular pada tendon
mandibular kitin, dan jaringan pengikat membungkus organ
mandibular tendon kitin.
5 Histologi yang menunjukkan sel organ mandibular dikelilingi
hemolymph channel pada fase intermolt dan premolt
6 Diagram prosedur koleksi organ mandibular dan organ Y kepiting
bakau
7 Organ Y kepiting bakau melekat pada branchial chamber
8 Hubungan antara bobot organ mandibular dengan bobot tubuh
kepiting jantan
9 Hubungan antara bobot organ mandibular dengan bobot tubuh
kepiting betina
10 Hubungan antara bobot organ mandibular dengan bobot organ Y
kepiting jantan
11 Hubungan antara bobot organ mandibular dengan bobot organ Y
kepiting betina
12 Amplifikasi PCR β-aktin mRNA dari organ mandibular kepiting
bakau S. olivacea.
13 Amplifikasi PCR mRNA penyandi FAMeT dari kepiting bakau S.
olivacea fase intermolt
14 Amplifikasi PCR mRNA penyandi FAMeT dari kepiting bakau S.
olivacea fase premolt
15 Penyuntikan pada pangkal kaki renang kepiting
16 Penempatan dan pengontrolan, dan kepiting molting.
17 Pengamatan kemajuan molting melalui kaki renang, dan epipodit.
18 Masa laten dan persentase molting kepiting bakau setelah penyuntikan
ekstrak organ mandibular
19 Keserentakan molting, dan komposisi perlakuan dominan 0.016 mg/g
BT pada kisaran 26-35 hari.
4
8
8
10
10
16
17
18
19
20
21
29
30
30
37
37
40
41
42
20 Masa laten melalui retraksi kaki renang kepiting
45
21 Histologi kaki renang kepiting bakau uji, menggunakan pembesaran
10x.
47
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Regresi linier BT dan bobot OM kepiting jantan fase intermolt
Regresi linier BT dan bobot OM kepiting jantan fase premolt
Regresi linier BT dan bobot OM kepiting betina fase intermolt
Regresi linier BT dan bobot OM kepiting betina fase premolt
Regresi linier bobot OM dan bobot OY kepiting jantan fase intermolt
Regresi linier bobot OM dan bobot OY kepiting jantan fase premolt
Regresi linier bobot OM dan bobot OY kepiting betina fase intermolt
Regresi linier bobot OM dan bobot OY kepiting betina fase premolt
Konsentrasi dan tingkat kemurnian RNA hasil ekstraksi
Konsentrasi produk PCR RNA FAMeT fase intermolt dan premolt
Analisis ragam data respons molting kepiting bakau
Analisis ragam data pertumbuhan kepiting bakau postmolt
Analisis ragam data pertumbuhan kepiting bakau tanpa molting
Analisis ragam data kelangsungan hidup kepiting bakau
Analsis ragam data retraksi kaki renang kepiting bakau
Analisis ragam data ekdisteroid
DAFTAR SINGKATAN
AF
BT
CA
FAMeT
HC
JH
LK
MC
MF
MIH
MO-IH
OM
OX
OY
SEM
20-HE
XO-SG
Asam Farnesoat
Bobot Tubuh
Corpora Allata
Farnesoate Acid Methyl Transferase
Hemolymph Channel
Juvenile Hormone
Lebar Karapaks
Mandibular Cell
Metil Farnesoat
Molting Inhibiting Hormone
Mandibular Organ-Inhibiting Hormone
Organ Mandibular
Organ X
Organ Y
Scanning Electron Microscope
20-Hidroksiekdison
X Organ-Sinus Gland
69
69
70
70
71
71
72
72
73
73
73
74
74
74
75
75
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kepiting merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai
komersial penting. Krustasea tersebut memiliki prospek pengembangan karna
sebarannya hampir terdapat di sepanjang pantai nusantara, selain itu kegemaran
masyarakat dunia untuk mengkonsumsi semakin meningkat yakni mencapai 1,4
juta ton (FAO 2008), menuntut inovasi dalam teknologi produksi. Sejauh ini
kepiting masih banyak dipasarkan dalam bentuk kepiting hasil penggemukan atau
secara langsung dari hasil tangkapan nelayan yang dijual di pasar-pasar tradisional,
sementara diversifikasi produk olahan untuk ekspor masih sangat minim. Di sisi
lain, suplai kepiting Indonesia dihadapkan pada kendala ketersediaan yang masih
fluktuatif karena mengandalkan hasil tangkapan nelayan di alam.
Budidaya kepiting cangkang lunak menjadi salah satu solusi untuk
mengembangkan produk hasil perikanan. Prospek pengembangan kepiting
cangkang lunak sangat menjanjikan, karena memiliki nilai jual yang lebih tinggi
dibandingkan kepiting bercangkang keras. Selain itu, kegiatan budidaya kepiting
lunak diharapkan terciptanya multiplier effect tumbuhnya panti pembenihan dan
pembesaran kepiting yang berkelanjutan. Sehingga integrasi sistem budidaya
kepiting dapat menjadi penyokong kegiatan budidaya yang baru bagi perikanan di
Indonesia. Namun kegiatan budidaya kepiting lunak memiliki beberapa kendala,
misalnya lama masa pemeliharaan dan kurangnya persentase molting yang
serentak masih menjadi permasalahan dalam produksi kepiting cangkang lunak
(Fujaya et al. 2011)
Ekdisis dikenal dengan ganti kulit atau molting, merupakan fenomena
biologi yang menjadikan krustasea berganti cangkang. Cangkang lama akan
digantikan oleh cangkang baru dengan ukuran yang lebih besar. Fenomena
molting tersebut berlangsung karena beberapa faktor, diantaranya kebutuhan
untuk bertumbuh, regenerasi, reproduksi dan stres.
Berkembangnya pengetahuan mengenai molting, mengakibatkan teknologi
stimulasi semakin maju. Dalam budidaya kepiting, fenomena molting
dimanfaatkan untuk menghasilkan kepiting cangkang lunak. Induksi autotomi
seperti kaki jalan merupakan salah satu pendekatan untuk menginduksi kepiting
dan kerabatnya melakukan pergantian cangkang. Penghilangan kaki jalan berhasil
menginduksi kepiting untuk melakukan pergantian cangkang (Chang dan Mykles
2011; Karim 2007). Pada red king crab (Paralithodes camtschaticus)
penghilangan duri dapat mempersingkat masa intermolt sehingga premolt mejadi
lebih awal (Dvoretsky dan Dvoretsky 2012). Demikian juga dengan ablasi
sepasang tangkai mata pada Oziotelphusa senex senex (Sainath dan Reddy 2010).
Belakangan pendekatan tersebut dinilai tidak ramah terhadap organisme (animal
welfare) dan memiliki kecenderungan mortalitas yang tinggi. Selain itu induksi
autotomi kaki jalan mengakibatkan bentuk dan ukuran kaki jalan setelah molting
mengalami perkembangan yang tidak proporsional.
Pendekatan lain melalui manipulasi lingkungan, seperti pengaruh perubahan
warna cahaya hijau ke kuning secara periodik memberikan pengaruh terhadap
metil farnesoat (MF) dan frekuensi molting yang tinggi (Guo 2012), dan
2
perubahan pencahayaan secara periodik dari 6000 lux menjadi 60 lux berpengaruh
terhadap rendahnya MF pada Litopenaeus vannamei (Guo 2013). Temperatur
(Chen et al. 1995), pH (Chen dan Chen 2003) juga berkontribusi terhadap molting.
Beberapa tahun terakhir, pemahaman mengenai pengaturan hormon
terhadap molting dan aplikasi dalam kegiatan akuakultur banyak mengalami
kemajuan. Seperti aplikasi penyuntikan ekstrak organ (Yudin et al. 1980), dan
fitoekdisteroid (Fujaya et al. 2011; Aslamyah dan Fujaya 2010) yang berhasil
menginduksi molting lebih cepat.
Berdasarkan karakteristik yang dimilikinya, MF diusulkan sebagai hormon
asli yang berasal dari krustasea (Nagaraju 2007). Selama ini MF dikenal berperan
dalam mengatur reproduksi krustasea betina (Hinsch 1980; Jo et al. 1999;
Nagaraju et al. 2003; Mak et al. 2005) dan Jantan (Sagi et al. 1994; Reddy et al.
2004), sekresinya dihambat oleh mandibular organ-inhibiting hormone (MO-IH)
dan memiliki binding protein yang spesifik (Nagaraju 2007). Kajian
seskuiterpenoid MF terhadap molting kepiting masih sangat terbatas, sementara
peranannya dalam menstimulasi ekdisteroidogenesis pada Cancer magister telah
diamati secara in vitro oleh (Tamone dan Chang 1993). Hasil tersebut
memperkuat asumsi bahwa MF yang disekresikan oleh organ mandibular (OM)
berperan terhadap molting.
Le Roux (1968) adalah yang pertama kali mengemukakan tentang OM pada
krustasea. Awalnya faktor kedekatan secara anatomis dan kemiripan histologi
antara OM dan organ Y (OY) menyulitkan identifikasi, namun saat ini kedua
organ tersebut sudah dapat dibedakan dengan baik, di mana OM mensintesis dan
mensekresi metil MF sedangkan OY menghasilkan ekdisteroid (Nagaraju et al.
2004). Secara histologi kedua organ tersebut berkorelasi dengan siklus molting
pada krustasea (Aoto et al. 1974).
Meningkatnya kesadaran masyarakat dunia terhadap hak hidup layak bagi
hewan merupakan salah satu alasan dilakukannya terobosan-terobosan dalam
pengembangan budidaya yang baik. Kegiatan budidaya yang bertanggung jawab
perlu memperhatikan kelayakan kultivan dalam media pemeliharaan, sehingga
proses produksi diupayakan untuk meminimalisir pemaksaan terhadap kultivan.
Pemaksaan molting yang dilakukan melalui induksi autotomi dinilai tidak layak
untuk diaplikasikan, oleh karena proses produksi tersebut telah merampas
kelayakan hidup bagi organisme.
Kajian OM menjadi salah satu penelitian yang dapat memberikan kontribusi
pengetahuan bagi masyarakat budidaya dan pengembangan teknologi inovatif
bangsa. Keberhasilan stimulasi dengan menggunakan hormon eksogen dan
ekstrak tanaman pada kepiting dan krustasea lainnya menginspirasi pencarian
potensi-potensi alami lainnya yang dapat dimanfaatkan sebagai stimulan.
Penelitian ini merupakan kegiatan awal dalam mengkaji potensi OM untuk
dimanfaatkan sebagai stimulan molting bagi kepiting bakau. Dalam rangka
mengkaji OM, beberapa pengetahuan mendasar dibutuhkan agar pengetahuan
yang diperoleh lebih menyeluruh. Oleh karena itu, kajian OM pada kepiting bakau
dan pemanfaatannya sebagai stimulan molting perlu untuk dilakukan.
3
Rumusan Masalah
Budidaya kepiting bakau di Indonesia dapat dilakukan terhadap empat
spesies, yakni: Scylla serrata, S. tranquebarica, S. paramamosain, dan S.
olivacea., yang dikenal hidup berasosiasi dengan hutan mangrove. Kepiting bakau
tersebut memiliki nilai ekonomis penting bagi perikanan, sehingga pengembangan
komoditi ini perlu dilakukan. Salah satu pengembangan budidaya yang prospek
untuk dikerjakan adalah produksi kepiting cangkang lunak, dengan memanfaatkan
fenomena molting. Dalam kajian ini dikembangkan stimulan molting melalui
pendekatan fisiologi, yakni memanfaatkan OM (Sesuai skema konseptual pada
Gambar 1).
Proses molting pada krustasea, termasuk kepiting diatur oleh hormon steroid
yang dikenal dengan ekdisteroid (Chang 1993) dan Seskuiterpenoid MF (Reddy et
al. 2004; Laufer et al.1998). Ekdisteroid diketahui sebagai hormon molting yang
disintesis dan disekresikan dari OY. Sintesis dan sekresi ekdisteroid dikontrol
secara negatif oleh molting inhibiting hormone (MIH) sehingga dikatakan sebagai
koordinator molting dan reproduksi pada krustasea (Nagaraju 2011). Sementara
MF atau asam farnesoat (AF) disintesis dalam OM dan dilepaskan ke hemolimfa
menuju jaringan target, proses tersebut dikontrol secara negatif oleh MO-IH
(Nagaraju 2011; Reddy et al. 2004).
Selama ini MF dikenal sebagai hormon reproduksi pada krustasea, namun
belakangan diketahui berperan dalam ekdisteroidogenesis. MF yang dilepaskan ke
OY akan menstimulasi ekdisteroidogenesis yang berguna untuk reproduksi dan
molting. Produksi ekdisteroid pada OY akan meningkat pada fase premolt,
demikian pula MF yang dihasilkan oleh OM. Beberapa peneliti telah berhasil
mengkaji MF dan OM pada spesies-spesies krustasea seperti O. senex senex
(Reddy et al. 2004; Nagaraju et al. 2004), C. magister (Tamone dan Chang 1993),
Libinia emarginata (Laufer et al. 2002), Homarus americanus (Li et al. 2010),
Procambarus clarkii (Kwok et al. 2005).
Potensi pengembangan budidaya kepiting di Indonesia sangat terbuka,
namun kajian terhadap fisologi spesies tersebut masih sangat terbatas. Tahya
(2011) melakukan induksi molting rajungan dan berhasil diaplikasikan dalam
skala kecil dengan menggunakan fitoekdisteroid. Hasil penelitian tersebut menjadi
salah satu acuan untuk pengembangan teknologi molting bagi kepiting dan
kerabatnya. Saat ini produksi kepiting lunak belum banyak diminati, perihal
tersebut tentunya beralasan karena suplai bahan baku yang masih sangat terbatas
dan fluktuatif bergantung hasil tangkapan nelayan. Minimnya kajian fisiologi dari
spesies tersebut merupakan salah satu faktor yang membatasi pengembangan
budidaya.
Pendekatan fisiologi hormonal merupakan salah satu terobosan yang dapat
dilakukan dalam akuakultur. Beberapa pendekatan teknologi stimulan molting
pada kepiting bakau telah banyak dilakukan, namun seiring dengan kemajuannya
teknologi tersebut dianggap tidak ramah terhadap organisme. Oleh karenanya
kajian OM menjadi salah satu terobosan untuk menciptakan pemecahan atas
masalah minimnya pengetahuan.
Pengetahuan terhadap OM kepiting bakau masih sangat terbatas, namun
keberhasilan pada beberapa spesies krustasea telah dapat dijadikan acuan dalam
mengidentifikasinya. Serangkaian upaya identifikasi terhadap OM dilakukan, dan
4
korespondensi dengan beberapa peneliti juga dibutuhkan untuk meyakinkan
peneliti dalam mendefinisikan OM pada kepiting bakau. Penelitian tahap 1
dilakukan sebagai acuan awal dalam mengkaji organ tersebut.
Dalam rangka menemukan kepiting donor, maka penelitian tahap 2
dilakukan sehingga rekomendasi sumber donor terbaik berdasarkan bobot tubuh
(BT), dan aspek korelatif lainnya dapat diperoleh. Hasil yang diperoleh pada
penelitian tahap ini digunakan dalam penentuan sumber ekstrak OM sebagai
stimulan.
Kesuksesan tahapan penelitian sebelumnya divalidasi dengan melakukan
pembuktian terhadap potensi keberadaan MF dalam ekstrak OM. Pendekatan yang
dilakukan dalam tahapan ini adalah mengamati keberadaan FAMeT dan
menentukan ekspresi mRNA dalam OM kepiting bakau sebelum aplikasi terhadap
kepiting bakau.
Tahap akhir dari penelitian ini adalah aplikasi ekstrak OM yang diperoleh
berdasarkan rekomendasi dari tahap-tahap dalam penelitian sebelumnya. Aplikasi
ekstrak OM dilakukan sebagai tahapan pembuktian peranan OM terhadap fisiologi
molting kepiting bakau. Dalam tahapan ini, upaya penentuan dosis dilakukan
berdasarkan rata-rata bobot OM dari banyak sampel yang homogen. Serangkaian
peubah digunakan untuk mengklarifikasi perkembangan molting, sehingga
penentuan dosis terbaik dalam menstimulasi molting pada kepiting bakau jenis
Scylla olivacea dapat dilakukan.
Gambar 1 Skema konseptual penelitian
5
Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi dan mempelajari struktur morfologi OM kepiting bakau.
2. Mempelajari hubungan bobot OM, dengan BT, bobot OY, pada kepiting
jantan dan betina dalam fase molting berbeda.
3. Membuktikan keberadaan enzim FAMeT melalui ekspresi mRNA dalam
OM kepiting bakau.
4. Membuktikan peranan OM terhadap molting, pertumbuhan, dan
kelangsungan hidup kepiting bakau.
Kegunaan Penelitian
1. Menemukan teknologi inovatif dalam budidaya kepiting dan kerabatnya.
2. Mengetahui potensi OM dalam menstimulasi molting pada kepiting dan
kerabatnya.
3. Menambah ilmu dan pengetahuan dalam bidang fisiologi kepiting dan
kerabatnya.
Kebaharuan Penelitian
1. Untuk pertama kali struktur morfologi OM kepiting bakau didefinisikan.
2. Ditemukan hubungan positif antara bobot OM dengan BT, bobot OY, pada
kepiting bakau jantan dan betina dalam fase molting.
3. Ditemukan kemajuan proses molting melalui ekspresi mRNA FAMeT
dalam OM kepiting bakau.
4. Ditemukan teknologi inovatif ekstrak OM sebagai stimulan molting.
5. Ditemukan peranan MF like substance secara fisiologis mempengaruhi
molting.
6
2 STRUKTUR MORFOLOGI ORGAN MANDIBULAR
KEPITING BAKAU Scylla olivacea
Abstrak
Desain morfologi OM, letak, dan tempatnya menempel menjadi kajian yang
menarik untuk dipelajari. Beberapa peneliti telah mencoba menggambarkan OM
dari spesies-spesies krustasea yang beragam, namun pada kepiting bakau kajian
ini belum pernah dilakukan sehingga pengetahuan mengenai OM sangat terbatas.
Penelitian struktur morfologi OM pada kepiting bakau Scylla olivacea merupakan
terobosan awal untuk mempelajari organ tersebut. Penelitian ini bertujuan
mengidentifikasi dan mempelajari struktur morfologi OM kepiting bakau,
sehingga berguna bagi penelitian selanjutnya. Hasil penelitian tahap ini
menemukan OM pada S. olivacea yang berpasangan, berdiameter 1.43 sampai
2.68 mm, berbentuk bulat lonjong, berwarna kuning pucat. Letak OM berada pada
ujung tendon mandibular di belakang mandibula. Letak, bentuk dan warna OM
antara kepiting jantan dan betina, demikian pula antara fase intermolt dan premolt
adalah sama. Berdasarkan pengamatan ukuran, kepiting bakau jantan memiliki
diameter yang lebih besar dibandingkan pada betina, demikian pula antara fase
molting di mana diameter organ ditemukan lebih besar pada fase premolt jika
dibandingkan intermolt. Struktur permukaan OM kepiting bakau adalah halus dan
bergelombang, serta memiliki jaringan pengikat yang kuat.
Kata kunci: kepiting, letak, morfologi, organ mandibular, tendon.
Pendahuluan
Perbedaan bentuk suatu organ, warna, dan letaknya menarik minat para
peneliti untuk mencari tahu lebih rinci mengenai peranan suatu organ. Beragam
bentuk organ, warna, dan letaknya menempel menjadi ciri khas, sehingga dapat
berperan sesuai fungsinya. Eksplorasi terhadap OM sedikit demi sedikit mulai
terungkap dan memberi pemahaman baru mengenai fungsi dan kandungan organ
tersebut. Gambaran OM oleh Le Roux (1968) menjadi pembuka tahap identifikasi,
sehingga dapat dirinci secara baik. Pada krustasea OM merupakan organ
berpasangan, tidak memiliki pembuluh (ductless), berasal dari ektodermal, dan
terletak pada pangkal tendon mandibular (Nagaraju et al. 2004). Pada kepiting
Callinectes sapidus memiliki warna kuning pucat (Yudin et al. 1980). OM
krustasea dianggap sepadan dengan corpora allata (CA) pada serangga (Le Roux
1968; Yudin et al. 1980), demikian pula produk seskuisterpenoid yang dihasilkan
menggunakan jalur biosintetik farnesil difosfat/isopentenoid (Tobe dan Bendena
1999). Pada krustasea produk akhir dari jalur tersebut menghasilkan MF, yang
pada CA merupakan prekursor langsung juvenile hormone III (JH III) (Schooley
dan Baker 1985).
Beberapa laporan menunjukkan adanya potensi peranan OM terkait
reproduksi. Stimulasi menggunakan OM eksogen mengakibatkan pertambahan
ukuran gonad pada L. emarginata (Hinsch 1980). Demikian pula stimulasi
pematangan gonad pada O. senex senex berhasil dilakukan dengan menggunakan
7
MF eksogen (Reddy dan Ramamurthi 1998). Sementara ketika mendekati molting
ditemukan peningkatan bobot OM pada kepiting O. senex senex (Nagaraju et al.
2004). Pada lobster air tawar capit merah Cherax quadricarinatus pemberian MF
mengakibatkan percepatan molting (Abdu et al. 2001).
Beberapa peneliti telah melaporkan ukuran OM pada krustasea lainnya dan
menemukan bahwa ukuran organ pada jantan lebih besar dibandingkan betina
(Sagi et al. 1991; Nagaraju et al. 2004). Alasan perbedaan ukuran OM pada jantan
dan betina secara spesifik belum diketahui, namun ukuran yang lebih besar pada
jantan kemungkinan terkait dengan tingkah laku spesifik (Nagaraju et al. 2004).
Identifikasi dan definisi OM belum pernah dilakukan pada kepiting bakau di
Indonesia. Belum adanya kajian OM mengakibatkan pengetahuan mengenai
peranan organ tersebut sangat minim, sehingga peluang pemanfaatannya sangat
rendah. Sementara pengetahuan tersebut sangat dibutuhkan untuk pengembangan
invensi teknologi inovatif dalam budidaya kepiting bakau yang lebih ramah
terhadap hewan dan lingkungan.
Kajian OM pada kepiting bakau perlu mendapat perhatian, oleh karena
peluang pengembangannya sangat potensial sebagai salah satu teknologi inovatif
dalam budidaya kepiting. Tahapan penelitian struktur morfologi OM pada
kepiting bakau merupakan salah satu pengetahuan mendasar yang wajib
diperlukan dalam rangka pengembangan paket teknologi budidaya kepiting
cangkang lunak. Pengetahuan tersebut memfasilitasi pendefinisian OM sehingga
peneliti dapat mengidentifikasi dengan baik. Penelitian tahap ini bertujuan untuk:
1). Mengidentifikasi OM kepiting bakau; dan 2). Mempelajari struktur morfologi
OM kepiting bakau. Penelitian tahap 1 dijadikan acuan bagi penelitian-penelitian
selanjutnya.
Metode Penelitian
Hewan Uji
Hewan uji adalah kepiting bakau jenis S. olivacea yang diperoleh dari hasil
tangkapan di perairan Kabupaten Wajo, dan telah disortir di Unit Budidaya
Kepiting, Tambak Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Barru, Provinsi
Sulawesi Selatan. Untuk menyeragamkan kepiting uji, maka dipilih kepiting
dengan ukuran sekitar 100 gram yang berada dalam fase intermolt dan premolt.
Identifikasi Organ Mandibular
Kepiting ditenangkan menggunakan es batu dan ditimbang untuk
mengetahui bobot tubuhnya (BT). Pembedahan dilakukan terhadap kepiting
dengan mengangkat bagian dorsal karapaks untuk memudahkan identifikasi organ
bagian dalam. Identifikasi OM dilakukan dengan mengamati lokasi tempatnya
berada, warna dan bentuk organ. Hasil identifikasi dicatat, didokumentasikan
untuk dibandingkan dengan referensi pada krustasea lainnya, dan korespondensi
dengan peneliti krustasea yang kompeten dalam OM.
8
Koleksi Organ Mandibular
Dilakukan dengan menyisihkan OM dari organ lainnya. Dari pengukuran
diperoleh data diameter organ berdasarkan jenis kelamin, dan fase molting.
Sementara untuk keperluan pengamatan morfologi dilanjutkan dengan preparasi
spesimen. Prosedur koleksi diilustrasikan dalam bentuk diagram pada Gambar 2.
Gambar 2 Diagram prosedur koleksi organ mandibular untuk pengukuran
diameter dan preparasi spesimen padat.
Morfologi Organ Mandibular
Pengamatan morfologi OM kepiting bakau dilakukan di Pusat Penelitian
Biologi, Bidang Zoologi-LIPI Cibinong, dengan menggunakan fasilitas Scanning
Electron Microscope (SEM). Prosedur preparasi spesimen padat mengikuti
Goldstein et al. (1992), dengan sedikit penyesuaian. Preparasi OM diproses pada
suhu 4°C yang meliputi: 1). Proses pembersihan, dilakukan dengan merendam
sampel dalam bufer caccodylate selama 2 jam, kemudian agitasi dalam ultrasonic
cleaner selama 5 menit; 2). Prefiksasi, dengan memasukkan sampel ke dalam
larutan glutaraldehida 2.5 % selama 2 kali 24 jam; 3). Fiksasi, dengan
menggunakan tannic acid 2 % selama 6 jam, kemudian mencuci kembali dengan
bufer caccodilate selama 15 menit sebanyak 4 kali, dan dengan akuades 15 menit
sebanyak 1 kali; 4). Dehidrasi, dilakukan dalam suhu ruang menggunakan alkohol
bertingkat yakni 50 % selama 5 menit dan sebanyak 4 kali, 70 % selama 20 menit,
85 % selama 20 menit, 95 % selama 20 menit, masing-masing 1 kali; dan 5).
Pengeringan organ, dilakukan dengan merendam OM dalam tertiary butanol
selama 10 menit sebanyak 2 kali, kemudian dibekukan dalam freezer hingga beku,
dan di freeze-dry hingga kering. Sebelum diamati di bawah mikroskop,
dibutuhkan proses coating dengan menempelkan spesimen OM kering di atas stub
kemudian dilapisi Au dalam ion coater.
Gambar 3 Gambaran makroskopis organ mandibular (→)
9
Hasil
Kepiting bakau jenis S. olivacea memiliki OM berpasangan, terletak pada
ujung tangkai yang berasal dari posterior atau karapaks dorsal bagian dalam
menuju bagian anterior. Organ tersebut melekat di dasar tendon yang berada dekat
dengan mandibula. Perlekatan organ sangat baik dan kuat oleh karena adanya
jaringan ikat atau semacam lapisan penghubung halus yang mengelilingi.
Sementara tendon yang terhubung dengan karapaks dorsal diperantarai oleh otot
aduktor dengan kemampuan elastisitas yang baik, sehingga tendon tidak terlepas
dan OM tetap berada pada posisinya. Posisi organ kiri dan kanan saling
bersebelahan dengan tidak memiliki perbedaan dalam letak penempelan.
Morfologi OM kepiting bakau berhasil dilakukan dengan mengamati bentuk,
warna dan ukuran. Pada kepiting bakau jenis S. olivacea OM terlihat padat,
memiliki bentuk bulat lonjong, berwarna kuning pucat, dan memiliki ukuran
diameter berkisar antara 1-3 mm. Hasil pengamatan terhadap OM kepiting bakau
jantan dan betina per-fase disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Perbandingan organ mandibular kepiting bakau jantan dan betina
Intermolt
Premolt
Diameter
♂
1.84±0.57
2.68±0.43
(mm)
♀
1.43±0.37
2.35±0.50
Bentuk
Bulat lonjong
Bulat lonjong
Warna
Kuning pucat
Kuning pucat
Nilai yang ditampilkan adalah rata-rata±SD, n=40.
Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 1) menunjukkan bahwa secara umum
diameter OM kepiting bakau jantan lebih panjang dibandingkan betina. Demikian
pula antara fase molting menunjukkan pada saat premolt memiliki ukuran lebih
panjang dibandingkan intermolt. Pengamatan terhadap bentuk dan warna OM
kepiting bakau tidak ditemukan perbedaan, baik dari kedua jenis kelamin maupun
fase molting.
Berdasarkan hasil pengamatan morfologi struktur OM menunjukkan
morfologi OM yang masih melekat pada tendon berbahan kitin keras. Permukaan
OM kepiting bakau tidak rata, namun menunjukkan tekstur tampak halus. Tekstur
halus bergelombang yang dimiliki oleh OM tersebut rupanya terlindungi oleh
keberadaan jaringan pengikat seperti yang tampak pada Gambar 4. Jaringan
pengikat membungkus OM sehingga membentuk lapisan luar menutupi seluruh
permukaan organ bersamaan dengan tendon. Jaringan pengikat dengan permukaan
yang terlihat rumit membentuk suatu kesatuan yang kokoh, sehingga tendon keras
berbahan kitin menjadi satu dengan organ yang lunak.
Hasil histologi OM menampilkan sel-sel yang dilingkupi oleh keberadaan
hemolymph channel (HC). Tampilan histologi yang dihasilkan tidak menunjukkan
perbedaan antara fase intermolt dan premolt, sebagaimana Gambar 5.
10
Gambar 4 Scanning Electron Microscope Organ mandibular (OM) pada tendon
mandibular (T) kitin (Gambar A), dan Jaringan pengikat (IK)
membungkus OM pada tendon (T) kitin (Gambar B).
Gambar 5 Histologi yang menunjukkan sel Organ Mandibular (MC) dikelilingi
hemolymph channel (HC) pada fase intermolt (Gambar A) dan
premolt (Gambar B).
Pembahasan
Keberhasilan identifikasi OM pada kepiting bakau S. olivacea, memberikan
peluang pengembangan pengetahuan dan aplikasi ekstrak OM. Kajian OM
sebenarnya telah dimulai sejak lama, berawal dari deskripsi yang dilaporkan oleh
Le Roux (1968) dan berlanjut hingga saat ini. Kemajuan teknologi dalam
pengamatan tentunya berkontribusi sangat besar bagi pengungkapan dugaandugaan dalam ilmu pengetahuan. Jika dahulu peneliti masih kesulitan dalam
membedakan antara OM dan OY, saat ini telah dapat dilakukan dengan
mengamati bentuk maupun produk sekresi yang dihasilkannya.
Berdasarkan hasil penelitian ini, OM kepiting bakau jenis S. olivacea
memiliki kesamaan dengan hasil pengamatan oleh Yudin et al. (1980) pada
kepiting C. sapidus yakni berbentuk bulat lonjong, berwarna kuning pucat, dan
terletak pada ujung tendon bagian anterior. Sementara hasil pengamatan terhadap
udang air tawar Palaemon paucidens oleh Aoto et al. (1974) mendeskripsikannya
sebagai organ yang memiliki bentuk segitiga, berwarna agak putih, dan hampir
11
tidak dapat dibedakan dengan jaringan yang berada disekitarnya. Pada udang
dalam famili Pandalidae dan genus Pandalus memiliki letak organ yang sesuai
dengan udang Palaemon, yakni berasal dari epidermis menjorok ke arah dalam
pada bagian sendi mandibular dan segmen maksila (Aoto et al. 1974).
Bentuk OM kepiting bakau terlihat bulat dan padat dengan diameter ratarata berkisar antara 1.43±0.37 sampai 2.68±0.43 mm. Pada udang Palaemon
berukuran 0.8 sampai 1.0 mm (Aoto et al. 1974). Perbedaan diameter organ antara
jantan dan betina diduga terkait erat dengan kandungan MF yang dimilikinya.
Pada kepiting bakau jantan ditemukan OM yang lebih besar dibandingkan pada
betina. Perbedaan ini juga telah dilaporkan oleh Sagi et al. (1991) pada udang
Macrobrachium rosenbergii. Aktivitas fisiologi spesifik yang terjadi akibat
perbedaan ukuran tersebut belum dikaji secara khusus, namun Nagaraju et al.
(2004) menduga adanya perilaku spesifik berbeda sesuai perbedaan ukuran yang
ada.
Perbedaan diameter OM juga diamati pada tiap fase molting. Kepiting
bakau yang berada dalam fase premolt menunjukkan diameter yang lebih besar
dibandingkan intermolt. Perubahan ukuran diameter diduga terkait erat dengan
peningkatan kandungan MF dari OM yang telah mempersiapkan pergantian
cangkang. Sebagaimana peningkatan yang terjadi pada bobot OM (Nagaraju et al.
2004), perubahan ukuran diameter OM mengindikasikan pergerakan fase yang
lebih dekat ke arah pergantian cangkang. Kemajuan molting tersebut
mengisyaratkan adanya peranan MF yang terlibat dalam molting. Oleh karenanya
penelitian terkait stimulasi (Hinsch 1980; Reddy dan Ramamurthi 1998; Abdu et
al. 2001) mempertegas peranan MF sebagai kandungan OM yang terlibat aktif
dalam kemajuan molting krustasea, termasuk kepiting bakau. Pengamatan bentuk
dan warna dari 40 OM, tidak menunjukkan perbedaan antara kepiting bakau jenis
S. olivacea baik pada jantan maupun betina dalam fase yang berbeda.
Pengamatan morfologi organ dengan menggunakan SEM pada pembesaran
50x berhasil menampilkan bentuk OM kepiting bakau. Gambar yang ditampilkan
menunjukkan organ berada tepat di ujung sebuah tangkai, yang berhasil
diklarifikasi menggunakan deskripsi acuan bahwa tangkai tersebut merupakan
tendon mandibular (Nagaraju et al. 2004). Sementara pembesaran 1500x berhasil
menampilkan struktur permukaan OM. OM kepiting bakau memiliki permukaan
yang terlihat halus dan bergelombang. Berbeda dengan permukaan jaringan ikat
yang tampak lebih rumit, dan terlilit menutupi organ dan tendon.
Pengamatan jaringan pengikat berhasil dilakukan pada pembesaran 50x.
Dengan membalik spesimen organ yang berada pada tendon, jaringan ikat yang
terbuka terlihat jelas menyelimuti sebuah tangkai tendon. Sementara pembesaran
1500x berhasil mengamati struktur pemukaan jaringan pengikat yang terlihat lebih
rumit jika dibandingkan permukaan OM. Keberadaan jaringan pengikat pada
tendon mandibular tampak memperkuat posisi OM yang berada pada ujung
tendon. Jaringan pengikat yang sama pernah dilaporkan pada kepiting air tawar
jenis Parathelpusa sp., dengan keberadaannya menyelimuti organ dan tendon
sehingga semakin memperkokoh posisi OM (Sarika et al. 2014). Sementara,
pengamatan pada udang palaemonidae menemukan adanya beberapa otot-otot
yang berada di sekitar OM (Aoto et al. 1974).
Histologi terhadap OM kepiting bakau S. olivacea tidak menunjukkan
adanya perbedaan antara fase intermolt dan premolt. Namun, hasil pengamatan
12
menemukan peningkatan kepadatan sel OM (MC) dalam fase menjelang molting.
Peningkatan kepadatan sel dalam OM mengakibatkan ruangan HC semakin
menyempit sehingga pada fase premolt akan terlihat sel-sel yang mengisi ruangan
kosong dalam OM kepiting bakau tersebut.
Simpulan
Kepiting bakau S. olivacea memiliki OM berpasangan, berukuran kecil,
berbentuk bulat lonjong dengan warna kuning pucat. Letak OM berada pada ujung
tendon mandibular yang diperkuat oleh adanya jaringan ikat menyelimuti organ
dan tendon. Tidak adanya perbedaan letak, bentuk, dan warna OM antara kepiting
jantan dan betina, baik dalam fase intermolt maupun premolt. Diameter organ
lebih besar pada jantan dibandingkan betina, demikian pula fase premolt lebih
besar dibandingkan intermolt. Hasil pengamatan struktur OM pada kepiting bakau
memiliki permukaan halus dan bergelombang dengan jaringan pengikat yang kuat
menutupi keseluruhan OM bersamaan dengan tendon kitin yang keras.
13
3 HUBUNGAN ANTARA BOBOT ORGAN MANDIBULAR
DENGAN BOBOT TUBUH, BOBOT ORGAN Y, JENIS
KELAMIN, FASE INTERMOLT DAN FASE PREMOLT
KEPITING BAKAU Scylla olivacea
Abstrak
Siklus molting pada kepiting dan kerabatnya dapat terinisiasi oleh berbagai
faktor. Molting merupakan siklus perkembangan sehingga dikenal beberapa fase
yakni intermolt, premolt, ekdisis atau molting, dan postmolt. Dalam
perkembangannya, fase molting banyak melibatkan proses fisiologis yang
kompleks dan silih berganti. Salah satu zat yang memiliki peranan cukup besar
dalam pengaturan tersebut adalah hormon. Hormon yang telah dikenal luas dan
memiliki peranan sebagai hormon molting adalah ekdisteroid, sementara MF
masih sedikit dikaji. Perbedaan bobot tubuh (BT), jenis kelamin diduga dapat
mempengaruhi proses fisiologi sehingga berdampak pada fluktuasi hormon yang
terlibat dalam proses molting. Data hubungan BT, bobot OM, dan bobot OY pada
kepiting bakau jantan dan betina dalam fase molting berbeda belum dipelajari.
Sementara OM memiliki kandungan MF, dan OY mengandung ekdisteroid,
sehingga pertambahan bobot organ-organ tersebut dapat dijadikan representasi
peningkatan kandungannya. Hasil penelitian menunjukkan bobot OM mengalami
pertambahan ukuran seiring pertambahan BT, sementara bobot OM bertindak
sebagai determinan bagi bobot OY. Pertambahan bobot OM dan OY
menunjukkan peningkatan ukuran sejalan dengan kemajuan molting, sehingga
pada fase premolt ukuran kedua organ tersebut mengalami peningkatan yang
cukup pesat. Jika dibandingkan antara kedua jenis kelamin kepiting tersebut,
maka bobot OM dan OY lebih besar pada kepiting jantan dibandingkan kepiting
betina.
Kata kunci: bobot tubuh, intermolt, kepiting, mandibular, organ Y, premolt.
Pendahuluan
Antara OM dan OY pada beberapa spesies krustasea memiliki kesamaan
dalam ukurannya (Yudin et al. 1980), namun pada kepiting bakau belum diketahui.
Demikian pula faktor penting lainnya seperti pertambahan BT, jenis kelamin, dan
fase molting, belum ada laporan terkait hubungannya dengan OM. Sementara itu,
perkembangan siklus molting pada kepiting dan kerabatnya dapat diindikasikan
oleh perubahan-perubahan fisik. Misalnya pada perubahan morfologi dan
perubahan jaringan integumen yang dapat diamati sebagai indikator
perkembangan molting (Skinner 1985). Sehingga molting sebagai proses
perkembangan di dalamnya dikenal beberapa fase meliputi intermolt, premolt,
ekdisis atau molting, dan postmolt.
Dalam perkembangannya fase molting banyak melibatkan proses fisiologis
yang kompleks dan silih berganti. Salah satu zat yang memiliki peranan cukup
besar dalam pengaturan tersebut adalah hormon. Hormon merupakan suatu zat
yang disintesis dalam suatu organ untuk bekerja pada sel yang sama tempatnya
14
disintesis (autokrin) atau ditransportasikan oleh sistem sirkulasi untuk bekerja
pada sel-sel lain (parakrin). Hormon pada kepiting memiliki fluktuasi pada
masing-masing perkembangan fase molting, hal tersebut terkait dengan waktu
sintesis dan ekskresi oleh organ penghasil atau stimulasi on dan off terhadap
molting (Skinner 1985).
Organ-organ yang berperan dalam fisiologi banyak memiliki kemampuan
untuk mensintesis hormon. Misalnya OY yang menghasilkan hormon molting
(Skinner 1985; Nagaraju et al. 2004). Hormon yang telah dikenal l
SEBAGAI STIMULAN MOLTING KEPITING BAKAU
Scylla olivacea
AKBAR MARZUKI TAHYA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kajian Organ
Mandibular dan Pemanfaatannya sebagai Stimulan Molting Kepiting Bakau Scylla
olivacea adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari disertasi saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2016
Akbar Marzuki Tahya
NIM C161120031
RINGKASAN
AKBAR MARZUKI TAHYA. Kajian Organ Mandibular dan Pemanfaatannya
sebagai Stimulan Molting Kepiting Bakau Scylla olivacea. Dibimbing oleh
MUHAMMAD ZAIRIN JR, ARIEF BOEDIONO, I MADE ARTIKA dan
MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI.
Organ Mandibular (OM) pada krustasea memiliki peranan penting dalam
proses fisiologi, salah satunya adalah molting. Tujuan penelitian ini adalah
mengidentifikasi OM dari kepiting bakau, mempelajari perkembangan
fisiologinya, membuktikan keberadaan enzim melalui pendekatan RNA,
membuktikan peranan OM, dan mengklarifikasi dosis terbaik dalam menstimulasi
molting. Terdapat empat tahapan penelitian yang didesain untuk mengkaji OM
dan peranannya dalam molting kepiting bakau jenis Scylla olivacea.
Pertama, untuk mengidentifikasi OM kepiting bakau dan mempelajari
struktur morfologinya. Identifikasi dilakukan melalui pembedahan terhadap
kepiting bakau sehat, koleksi organ, pengukuran, dokumentasi dan bantuan
korespondensi peneliti yang kompeten dalam organ mandibular. Struktur
morfologi organ diamati melalui Scanning Electron Microscope (SEM)
menggunakan prosedur preparasi spesimen padat. Penelitian tahap pertama
berhasil menemukan OM pada kepiting bakau, yakni berbentuk bulat lonjong,
berwarna kuning pucat, berpasangan, diameter berkisar 1-3 mm. Pengamatan
dengan SEM memperlihatkan struktur organ yang halus dengan selubung jaringan
pengikat. Ukuran OM pada kepiting jantan lebih besar dibandingkan kepiting
betina, demikian pula kepiting dalam fase premolt memiliki OM yang lebih besar
dibandingkan intermolt. Keberhasilan tahap pertama menjadi acuan awal untuk
menggunakan kepiting jantan fase premolt sebagai donor OM.
Kedua, menentukan keterkaitan bobot OM dengan bobot tubuh (BT), dan
bobot organ Y (OY), pada kepiting jantan dan betina yang berada dalam fase
intermolt dan premolt. Kepiting uji yang digunakan memiliki kisaran BT 120-130
g/individu, sebanyak 200 individu. Koleksi organ dilakukan dengan cara kepiting
dianastesi pada air bersuhu dingin. Pembedahan dilakukan dengan hati-hati agar
organ tetap berada pada posisi semula, selanjutnya organ dipisahkan dan
dilakukan penimbangan. Hasil perhitungan indeks organ disajikan dalam
persamaan regresi linier sederhana untuk menentukan keterkaitan hubungan bobot
OM, dengan BT, dan OY. Hasil penelitian tahap kedua menunjukkan bobot OM
pada kepiting jantan dan betina mengalami peningkatan sejalan dengan
peningkatan BT dan OY, di mana dalam fase premolt lebih besar dibandingkan
intermolt. Hasil penelitian juga menunjukkan bobot OM pada kepiting jantan
lebih berat dibandingkan kepiting betina.
Ketiga, menentukan keberadaan Farnesoate Acid Methyl Transferase
(FAMeT) dalam OM kepiting bakau. Total RNA diperoleh menggunakan kit
RNeasy mini (Qiagen), ethanol 70%, dan air bebas RNase. Amplifikasi RNA
penyandi FAMeT menggunakan SuperScript III OneStep RT-PCR with Platinum
Taq Polimerase (Invitrogen) untuk sintesis cDNA. Primer yang digunakan adalah
FAMeTQ1
5′-GGCACGGACGAGAACAA-3′
dan
FAMeTQ2
5′GCGACGCTGAAGGAGAT-3′. Sementara primer yang digunakan untuk
mendeteksi β-aktin adalah β-aktinF 5′ GAGCGAGAAATCGTTCGTGAC-3′ dan
β-aktinR 5′-GGAAGGAAGGCTGGAAGAGAG-3′. Pada penelitian ini
penemuan amplikon gen β-aktin kepiting bakau yakni 202 bp, menunjukkan
keberhasilan ekstraksi RNA dari OM. Ekspresi mRNA penyandi FAMeT dari OM
mengindikasikan peranan enzim tersebut sebagai konverter asam farnesoat (AF)
menjadi metil farnesoat (MF). Hasil pengukuran konsentrasi total RNA penyandi
FAMeT yang mengalami peningkatan dari intermolt ke premolt mengindikasikan
peningkatan MF dalam OM kepiting bakau; sehingga pada penelitian tahap ketiga
dijadikan acuan pemilihan kepiting donor dari fase premolt.
Keempat, membuktikan peranan ekstrak OM terhadap molting,
pertumbuhan, keserentakan molting, dan kelangsungan hidup. Ekstrak OM
diperoleh dari kepiting bakau jenis S. olivacea jantan yang berada pada fase
premolt dengan kondisi tubuh yang sehat. Kepiting uji disuntik dosis tunggal
ekuivalen melalui membran pada pangkal kaki renang, menggunakan syringe 1
ml dengan jarum suntik 27 gauge. Penyuntikan dosis 0.016 mg/g BT berhasil
membuktikan peranan ekstrak OM dalam meningkatkan persentase molting, masa
laten, keserentakan molting, dan meningkatkan kelangsungan hidup. Respons
pertumbuhan mutlak kepiting bakau tidak menunjukkan perbedaan antara kontrol
dan perlakuan injeksi. Klarifikasi dosis ekuivalen terbaik dilakukan dengan
mengamati kemajuan molting, meliputi masa laten retraksi, retraksi epipodit,
histologi, dan kuantifikasi ekdisteroid dalam hemolimfa. Hasil klarifikasi
mendukung perlakuan penyuntikan dosis 0.016 mg/g BT sebagai dosis terbaik.
Hasil-hasil yang diperoleh dalam kajian ini menyarankan untuk menggunakan
dosis ekuivalen 0.016 mg/g BT sebagai dosis optimal dalam budidaya kepiting
lunak.
Kata kunci: kelangsungan hidup, molting, organ mandibular, Scylla olivacea,
tumbuh.
SUMMARY
AKBAR MARZUKI TAHYA. Mandibular Organ Study and Its Utilization as
Molting Stimulant of Mud Crab Scylla olivacea. Supervised by MUHAMMAD
ZAIRIN JR, ARIEF BOEDIONO, I MADE ARTIKA and MUHAMMAD AGUS
SUPRAYUDI.
Mandibular Organ (MO) of crustaceans is an organ that has an important
role in physiological processes, one of which is molting. The purpose of this study
was to identify MO of mud crab, studying the development of physiology,
proving the existence of the enzyme via RNA approach, proving the role of MO,
and clarify the optimum dose in stimulating molting. There were four stages of
studies designed to assess the MO and its role in molting of mud crab Scylla
olivacea.
The first, to identify MO of mud crab and studying their morphological
structure. Identification was done through surgery on healthy mud crabs, organ
collection, measurement, documentation and correspondence with competent
researchers in the MO. Morphology of MO was observed through a Scanning
Electron Microscope (SEM) using a solid specimen preparation procedures. The
research has found MO on mud crab, which was oval-shaped, pale yellow, in pairs,
diameters ranging from 1-3 mm. Observation by SEM showed that subtle organ
structure with a sheath of connective tissue. Size of MO on male crabs larger than
the female crabs, as well as the crabs in premolt phase have greater MO than
intermolt phase. The success of the first phase of the research to be a reference
for further.
The second, to determine the correlation of MO weight with body weight
(BW), and weight of Y organ (YO), on the male and female crabs which were in
premolt and intermolt phases. Crab samples used have a BW range of 120-130
g/crab, total 200 crabs. Organ collection was done by crab anaesthetized at cold
water. Surgery was done carefully so that the organ remains in its position, then
the organs were separated, and then weighed. Organ index calculation results were
analyzed by simple linear regression to determine the inter-relationship of MO
weights, BW, and YO weights. The results showed that the weight of the MO in
the male and female crabs in line with the increase of BW and YO, wherein
premolt greater than intermolt. The results also showed the weight of MO in male
crabs were heavier than female.
The third, to determine the presence of Farnesoate Acid Methyl Transferase
(FAMeT) in MO of mud crab. Total RNA was obtained using RNeasy mini kit
(Qiagen), 70% ethanol, and RNase-free water. RNA encoding FAMeT
amplification used superscript III OneStep RT-PCR with Platinum Taq
Polymerase (Invitrogen) for RNA synthesis. Primers used were 5'GGCACGGACGAGAACAA FAMeTQ1-3' and 5'-GCGACGCTGAAGGAGAT
FAMeTQ2-3'. While primers used for the detection of β-actin were β-actinF 5'GAGCGAGAAATCGTTCGTGAC-3'
and
5'-β-actinR
GGAAGGAAGGCTGGAAGAGAG-3'. The results found that β-actin gene
amplicons sized 202 bp, showing the success of the extraction of RNA from MO.
The expression of RNA encoding FAMeT of MO indicates the role of this
enzyme as a converter of farnesoate acid (FA) into methyl farnesoate (MF). The
RNA encoding FAMeT concentration were increased from intermolt to premolt
indicate an increased of MF in MO. So the third phase of the research suggested
crab in premolt phase as organ donor.
The fourth, the role of the MO extract proved to molting, growth,
simultaneity of molting and survival. The MO extract obtained from premolt
phase of males mud crab S. olivacea with a healthy condition. Crabs were injected
with a single equivalent dose through the membrane at the base of the swimming
leg, using a 1 ml syringe with a 27-gauge hypodermic needle. Treatment of dose
0.016 mg/g BW managed to prove the role of MO in increasing the percentage of
molting, latency period, molting simultaneity, and improved survival. While the
response of the absolute growth of mud crabs showed no difference between the
control and treatment of injection. Clarification of optimum equivalent dose done
by observing the progress of molting, covering a latency period of retraction,
epipodite retraction, histology, and quantification of ecdysteroid in hemolimph.
Results of clarification confirmed that the dose of 0.016 mg/g BW as the optimum
dose. The results obtained in this study suggests to use a 0.016 mg/g BW as the
optimal dose in soft shell crab cultivation.
Keywords: growth, mandibular organ, molting, Scylla olivacea, survival rate
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN ORGAN MANDIBULAR DAN PEMANFAATANNYA
SEBAGAI STIMULAN MOLTING KEPITING BAKAU
Scylla olivacea
AKBAR MARZUKI TAHYA
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji pada Ujian Tertutup:
1. Prof Dr Ir Yushinta Fujaya, MSi
Penemu ekstrak bayam (vitomolt) untuk stimulan molting
kepiting, dan Dosen BDP FIKP Universitas Hasanuddin
Makassar
2. Dr Alimuddin, SPi MSc
Dosen Ilmu Akuakultur IPB Bogor.
Penguji pada Promosi Doktor:
1. Prof Dr Ir Yushinta Fujaya, MSi
Penemu ekstrak bayam (vitomolt) untuk stimulan molting
kepiting, dan Dosen BDP FIKP Universitas Hasanuddin
Makassar
2. Dr Alimuddin, SPi MSc
Dosen Ilmu Akuakultur IPB Bogor.
Judul Disertasi : Kajian Organ Mandibular dan Pemanfaatannya sebagai Stimulan
Molting Kepiting Bakau Scylla olivacea
Nama
: Akbar Marzuki Tahya
NIM
: C161120031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Muhammad Zairin Jr, MSc
Ketua
Prof Drh Arief Boediono, PhD PAVet(K)
Anggota
Dr Ir I Made Artika, MAppSc
Anggota
Dr Ir Muhammad Agus Suprayudi, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Akuakultur
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Widanarni, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian Tertutup : 25 Oktober 2016
Tanggal Promosi Doktor : 24 November 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Alhamdulillah Syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
anugerah-Nya sehingga penyusunan disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian ini
dipilih oleh karena dorongan motivasi yang kuat untuk berinovasi bagi bangsa,
melalui bidang fisiologi krustasea.
Terima kasih dan penghargaan penulis haturkan kepada Bapak Prof Dr Ir
Muhammad Zairin Jr, MSc., Bapak Prof Drh Arief Boediono, PhD PAVet (K).,
Bapak Dr Ir I Made Artika, MAppSc., dan Bapak Dr Ir Muhammad Agus
Suprayudi, MSi., selaku pembimbing yang telah mengarahkan dan mempertajam
ide penelitian. Terima kasih kepada Ibu Prof Dr Ir Yushinta Fujaya, MSi., dan
Bapak Dr Alimuddin, SPi MSc., selaku penguji yang telah memberikan masukan
berharga dalam penulisan disertasi ini. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada staf dan laboran di Biofarmaka IPB, Laboratorium Layanan
Terpadu FKH IPB, Laboratorium Embriologi FKH IPB, dan Instalasi Tambak
Pendidikan Universitas Hasanuddin dan ADY Crab di Kabupaten Barru Sulawesi
Selatan yang telah memfasilitasi penelitian. Terima kasih kepada Universitas
Hasanuddin Makassar yang telah memberikan rekomendasi lanjut studi, dan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang telah memberikan
bantuan dana melalui beasiswa unggulan calon dosen Tahun 2012-2015. Terima
kasih pula kepada teman-teman seperjuangan Ilmu Akuakultur angkatan 2012,
dan teman-teman Icarus.st yang telah banyak berbagi selama penulis menjadi
pembelajar di IPB. Ungkapan terima kasih dan penuh apresiasi kepada orang tua
penulis Bapak Marzuki Tahya dan Mama Nurbani, beserta keluarga besar di
Labuan Bajo NTT. Demikian pula rasa terima kasih kepada mertua Bapak Yusuf
Dg Ngempo dan Mama Hj Tahira Dg Tanang, beserta keluarga di Sulawesi
Selatan. Rasa syukur dan kebahagian ini tidak lepas dari pengorbanan Istri Sunarti
Dg Jinne MSi., dan Putra kami Imalabbiri Al Rashid Tahya Dg Tona, yang telah
ikhlas menemani penulis dalam menuntut ilmu di Bogor. Semoga apa yang
dikerjakan dapat bernilai ibadah dan mendapat pahala berlimpah dari Nya.
Semoga teknologi inovatif dapat terus lahir dan berkembang untuk
kemajuan bangsa. Amin.
Bogor, Desember 2016
Akbar Marzuki Tahya
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR SINGKATAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
Kebaharuan Penelitian
1
1
3
5
5
5
2 STRUKTUR MORFOLOGI ORGAN MANDIBULAR KEPITING BAKAU
Scylla olivacea
6
Abstrak
6
Pendahuluan
6
Metode Penelitian
7
Hasil
9
Pembahasan
10
Simpulan
12
3 HUBUNGAN ANTARA BOBOT ORGAN MANDIBULAR DENGAN
BOBOT TUBUH, BOBOT ORGAN Y, JENIS KELAMIN, FASE
INTERMOLT DAN FASE PREMOLT KEPITING BAKAU Scylla olivacea
Abstrak
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil
Pembahasan
Simpulan
13
13
13
15
18
22
25
4 EKSPRESI mRNA PENYANDI FAMeT DALAM ORGAN MANDIBULAR
KEPITING BAKAU Scylla olivacea PADA FASE INTERMOLT DAN FASE
PREMOLT
26
Abstrak
26
Pendahuluan
26
Metode Penelitian
27
Hasil
29
Pembahasan
30
Simpulan
33
5 RESPONS KEPITING BAKAU Scylla olivacea DALAM PEMELIHARAAN
IN VIVO TERHADAP PENYUNTIKAN BERBAGAI DOSIS EKSTRAK
ORGAN MANDIBULAR
34
Abstrak
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil
Pembahasan
Simpulan
34
34
36
41
48
55
6 PEMBAHASAN UMUM
56
7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
62
62
62
DAFTAR PUSTAKA
63
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
Perbandingan organ mandibular kepiting bakau jantan dan betina
Bobot tubuh, organ mandibular, organ Y, dan indeks organ
Pertumbuhan mutlak kepiting bakau sesaat setelah molting dan tanpa
molting
Kelangsungan hidup kepiting bakau setelah penyuntikan ekstrak organ
mandibular
Perbandingan ekdisteroid dalam hemolimfa kepiting bakau jantan dan
betina dari fase intermolt dan premolt
Kandungan ekdisteroid dalam hemolimfa kepiting bakau uji
9
22
43
45
48
48
DAFTAR GAMBAR
1 Skema konseptual penelitian
2 Diagram prosedur koleksi organ mandibular untuk pengukuran
diameter dan preparasi spesimen padat
3 Gambaran makroskopis organ mandibular
4 Scanning electron microscope organ mandibular pada tendon
mandibular kitin, dan jaringan pengikat membungkus organ
mandibular tendon kitin.
5 Histologi yang menunjukkan sel organ mandibular dikelilingi
hemolymph channel pada fase intermolt dan premolt
6 Diagram prosedur koleksi organ mandibular dan organ Y kepiting
bakau
7 Organ Y kepiting bakau melekat pada branchial chamber
8 Hubungan antara bobot organ mandibular dengan bobot tubuh
kepiting jantan
9 Hubungan antara bobot organ mandibular dengan bobot tubuh
kepiting betina
10 Hubungan antara bobot organ mandibular dengan bobot organ Y
kepiting jantan
11 Hubungan antara bobot organ mandibular dengan bobot organ Y
kepiting betina
12 Amplifikasi PCR β-aktin mRNA dari organ mandibular kepiting
bakau S. olivacea.
13 Amplifikasi PCR mRNA penyandi FAMeT dari kepiting bakau S.
olivacea fase intermolt
14 Amplifikasi PCR mRNA penyandi FAMeT dari kepiting bakau S.
olivacea fase premolt
15 Penyuntikan pada pangkal kaki renang kepiting
16 Penempatan dan pengontrolan, dan kepiting molting.
17 Pengamatan kemajuan molting melalui kaki renang, dan epipodit.
18 Masa laten dan persentase molting kepiting bakau setelah penyuntikan
ekstrak organ mandibular
19 Keserentakan molting, dan komposisi perlakuan dominan 0.016 mg/g
BT pada kisaran 26-35 hari.
4
8
8
10
10
16
17
18
19
20
21
29
30
30
37
37
40
41
42
20 Masa laten melalui retraksi kaki renang kepiting
45
21 Histologi kaki renang kepiting bakau uji, menggunakan pembesaran
10x.
47
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Regresi linier BT dan bobot OM kepiting jantan fase intermolt
Regresi linier BT dan bobot OM kepiting jantan fase premolt
Regresi linier BT dan bobot OM kepiting betina fase intermolt
Regresi linier BT dan bobot OM kepiting betina fase premolt
Regresi linier bobot OM dan bobot OY kepiting jantan fase intermolt
Regresi linier bobot OM dan bobot OY kepiting jantan fase premolt
Regresi linier bobot OM dan bobot OY kepiting betina fase intermolt
Regresi linier bobot OM dan bobot OY kepiting betina fase premolt
Konsentrasi dan tingkat kemurnian RNA hasil ekstraksi
Konsentrasi produk PCR RNA FAMeT fase intermolt dan premolt
Analisis ragam data respons molting kepiting bakau
Analisis ragam data pertumbuhan kepiting bakau postmolt
Analisis ragam data pertumbuhan kepiting bakau tanpa molting
Analisis ragam data kelangsungan hidup kepiting bakau
Analsis ragam data retraksi kaki renang kepiting bakau
Analisis ragam data ekdisteroid
DAFTAR SINGKATAN
AF
BT
CA
FAMeT
HC
JH
LK
MC
MF
MIH
MO-IH
OM
OX
OY
SEM
20-HE
XO-SG
Asam Farnesoat
Bobot Tubuh
Corpora Allata
Farnesoate Acid Methyl Transferase
Hemolymph Channel
Juvenile Hormone
Lebar Karapaks
Mandibular Cell
Metil Farnesoat
Molting Inhibiting Hormone
Mandibular Organ-Inhibiting Hormone
Organ Mandibular
Organ X
Organ Y
Scanning Electron Microscope
20-Hidroksiekdison
X Organ-Sinus Gland
69
69
70
70
71
71
72
72
73
73
73
74
74
74
75
75
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kepiting merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai
komersial penting. Krustasea tersebut memiliki prospek pengembangan karna
sebarannya hampir terdapat di sepanjang pantai nusantara, selain itu kegemaran
masyarakat dunia untuk mengkonsumsi semakin meningkat yakni mencapai 1,4
juta ton (FAO 2008), menuntut inovasi dalam teknologi produksi. Sejauh ini
kepiting masih banyak dipasarkan dalam bentuk kepiting hasil penggemukan atau
secara langsung dari hasil tangkapan nelayan yang dijual di pasar-pasar tradisional,
sementara diversifikasi produk olahan untuk ekspor masih sangat minim. Di sisi
lain, suplai kepiting Indonesia dihadapkan pada kendala ketersediaan yang masih
fluktuatif karena mengandalkan hasil tangkapan nelayan di alam.
Budidaya kepiting cangkang lunak menjadi salah satu solusi untuk
mengembangkan produk hasil perikanan. Prospek pengembangan kepiting
cangkang lunak sangat menjanjikan, karena memiliki nilai jual yang lebih tinggi
dibandingkan kepiting bercangkang keras. Selain itu, kegiatan budidaya kepiting
lunak diharapkan terciptanya multiplier effect tumbuhnya panti pembenihan dan
pembesaran kepiting yang berkelanjutan. Sehingga integrasi sistem budidaya
kepiting dapat menjadi penyokong kegiatan budidaya yang baru bagi perikanan di
Indonesia. Namun kegiatan budidaya kepiting lunak memiliki beberapa kendala,
misalnya lama masa pemeliharaan dan kurangnya persentase molting yang
serentak masih menjadi permasalahan dalam produksi kepiting cangkang lunak
(Fujaya et al. 2011)
Ekdisis dikenal dengan ganti kulit atau molting, merupakan fenomena
biologi yang menjadikan krustasea berganti cangkang. Cangkang lama akan
digantikan oleh cangkang baru dengan ukuran yang lebih besar. Fenomena
molting tersebut berlangsung karena beberapa faktor, diantaranya kebutuhan
untuk bertumbuh, regenerasi, reproduksi dan stres.
Berkembangnya pengetahuan mengenai molting, mengakibatkan teknologi
stimulasi semakin maju. Dalam budidaya kepiting, fenomena molting
dimanfaatkan untuk menghasilkan kepiting cangkang lunak. Induksi autotomi
seperti kaki jalan merupakan salah satu pendekatan untuk menginduksi kepiting
dan kerabatnya melakukan pergantian cangkang. Penghilangan kaki jalan berhasil
menginduksi kepiting untuk melakukan pergantian cangkang (Chang dan Mykles
2011; Karim 2007). Pada red king crab (Paralithodes camtschaticus)
penghilangan duri dapat mempersingkat masa intermolt sehingga premolt mejadi
lebih awal (Dvoretsky dan Dvoretsky 2012). Demikian juga dengan ablasi
sepasang tangkai mata pada Oziotelphusa senex senex (Sainath dan Reddy 2010).
Belakangan pendekatan tersebut dinilai tidak ramah terhadap organisme (animal
welfare) dan memiliki kecenderungan mortalitas yang tinggi. Selain itu induksi
autotomi kaki jalan mengakibatkan bentuk dan ukuran kaki jalan setelah molting
mengalami perkembangan yang tidak proporsional.
Pendekatan lain melalui manipulasi lingkungan, seperti pengaruh perubahan
warna cahaya hijau ke kuning secara periodik memberikan pengaruh terhadap
metil farnesoat (MF) dan frekuensi molting yang tinggi (Guo 2012), dan
2
perubahan pencahayaan secara periodik dari 6000 lux menjadi 60 lux berpengaruh
terhadap rendahnya MF pada Litopenaeus vannamei (Guo 2013). Temperatur
(Chen et al. 1995), pH (Chen dan Chen 2003) juga berkontribusi terhadap molting.
Beberapa tahun terakhir, pemahaman mengenai pengaturan hormon
terhadap molting dan aplikasi dalam kegiatan akuakultur banyak mengalami
kemajuan. Seperti aplikasi penyuntikan ekstrak organ (Yudin et al. 1980), dan
fitoekdisteroid (Fujaya et al. 2011; Aslamyah dan Fujaya 2010) yang berhasil
menginduksi molting lebih cepat.
Berdasarkan karakteristik yang dimilikinya, MF diusulkan sebagai hormon
asli yang berasal dari krustasea (Nagaraju 2007). Selama ini MF dikenal berperan
dalam mengatur reproduksi krustasea betina (Hinsch 1980; Jo et al. 1999;
Nagaraju et al. 2003; Mak et al. 2005) dan Jantan (Sagi et al. 1994; Reddy et al.
2004), sekresinya dihambat oleh mandibular organ-inhibiting hormone (MO-IH)
dan memiliki binding protein yang spesifik (Nagaraju 2007). Kajian
seskuiterpenoid MF terhadap molting kepiting masih sangat terbatas, sementara
peranannya dalam menstimulasi ekdisteroidogenesis pada Cancer magister telah
diamati secara in vitro oleh (Tamone dan Chang 1993). Hasil tersebut
memperkuat asumsi bahwa MF yang disekresikan oleh organ mandibular (OM)
berperan terhadap molting.
Le Roux (1968) adalah yang pertama kali mengemukakan tentang OM pada
krustasea. Awalnya faktor kedekatan secara anatomis dan kemiripan histologi
antara OM dan organ Y (OY) menyulitkan identifikasi, namun saat ini kedua
organ tersebut sudah dapat dibedakan dengan baik, di mana OM mensintesis dan
mensekresi metil MF sedangkan OY menghasilkan ekdisteroid (Nagaraju et al.
2004). Secara histologi kedua organ tersebut berkorelasi dengan siklus molting
pada krustasea (Aoto et al. 1974).
Meningkatnya kesadaran masyarakat dunia terhadap hak hidup layak bagi
hewan merupakan salah satu alasan dilakukannya terobosan-terobosan dalam
pengembangan budidaya yang baik. Kegiatan budidaya yang bertanggung jawab
perlu memperhatikan kelayakan kultivan dalam media pemeliharaan, sehingga
proses produksi diupayakan untuk meminimalisir pemaksaan terhadap kultivan.
Pemaksaan molting yang dilakukan melalui induksi autotomi dinilai tidak layak
untuk diaplikasikan, oleh karena proses produksi tersebut telah merampas
kelayakan hidup bagi organisme.
Kajian OM menjadi salah satu penelitian yang dapat memberikan kontribusi
pengetahuan bagi masyarakat budidaya dan pengembangan teknologi inovatif
bangsa. Keberhasilan stimulasi dengan menggunakan hormon eksogen dan
ekstrak tanaman pada kepiting dan krustasea lainnya menginspirasi pencarian
potensi-potensi alami lainnya yang dapat dimanfaatkan sebagai stimulan.
Penelitian ini merupakan kegiatan awal dalam mengkaji potensi OM untuk
dimanfaatkan sebagai stimulan molting bagi kepiting bakau. Dalam rangka
mengkaji OM, beberapa pengetahuan mendasar dibutuhkan agar pengetahuan
yang diperoleh lebih menyeluruh. Oleh karena itu, kajian OM pada kepiting bakau
dan pemanfaatannya sebagai stimulan molting perlu untuk dilakukan.
3
Rumusan Masalah
Budidaya kepiting bakau di Indonesia dapat dilakukan terhadap empat
spesies, yakni: Scylla serrata, S. tranquebarica, S. paramamosain, dan S.
olivacea., yang dikenal hidup berasosiasi dengan hutan mangrove. Kepiting bakau
tersebut memiliki nilai ekonomis penting bagi perikanan, sehingga pengembangan
komoditi ini perlu dilakukan. Salah satu pengembangan budidaya yang prospek
untuk dikerjakan adalah produksi kepiting cangkang lunak, dengan memanfaatkan
fenomena molting. Dalam kajian ini dikembangkan stimulan molting melalui
pendekatan fisiologi, yakni memanfaatkan OM (Sesuai skema konseptual pada
Gambar 1).
Proses molting pada krustasea, termasuk kepiting diatur oleh hormon steroid
yang dikenal dengan ekdisteroid (Chang 1993) dan Seskuiterpenoid MF (Reddy et
al. 2004; Laufer et al.1998). Ekdisteroid diketahui sebagai hormon molting yang
disintesis dan disekresikan dari OY. Sintesis dan sekresi ekdisteroid dikontrol
secara negatif oleh molting inhibiting hormone (MIH) sehingga dikatakan sebagai
koordinator molting dan reproduksi pada krustasea (Nagaraju 2011). Sementara
MF atau asam farnesoat (AF) disintesis dalam OM dan dilepaskan ke hemolimfa
menuju jaringan target, proses tersebut dikontrol secara negatif oleh MO-IH
(Nagaraju 2011; Reddy et al. 2004).
Selama ini MF dikenal sebagai hormon reproduksi pada krustasea, namun
belakangan diketahui berperan dalam ekdisteroidogenesis. MF yang dilepaskan ke
OY akan menstimulasi ekdisteroidogenesis yang berguna untuk reproduksi dan
molting. Produksi ekdisteroid pada OY akan meningkat pada fase premolt,
demikian pula MF yang dihasilkan oleh OM. Beberapa peneliti telah berhasil
mengkaji MF dan OM pada spesies-spesies krustasea seperti O. senex senex
(Reddy et al. 2004; Nagaraju et al. 2004), C. magister (Tamone dan Chang 1993),
Libinia emarginata (Laufer et al. 2002), Homarus americanus (Li et al. 2010),
Procambarus clarkii (Kwok et al. 2005).
Potensi pengembangan budidaya kepiting di Indonesia sangat terbuka,
namun kajian terhadap fisologi spesies tersebut masih sangat terbatas. Tahya
(2011) melakukan induksi molting rajungan dan berhasil diaplikasikan dalam
skala kecil dengan menggunakan fitoekdisteroid. Hasil penelitian tersebut menjadi
salah satu acuan untuk pengembangan teknologi molting bagi kepiting dan
kerabatnya. Saat ini produksi kepiting lunak belum banyak diminati, perihal
tersebut tentunya beralasan karena suplai bahan baku yang masih sangat terbatas
dan fluktuatif bergantung hasil tangkapan nelayan. Minimnya kajian fisiologi dari
spesies tersebut merupakan salah satu faktor yang membatasi pengembangan
budidaya.
Pendekatan fisiologi hormonal merupakan salah satu terobosan yang dapat
dilakukan dalam akuakultur. Beberapa pendekatan teknologi stimulan molting
pada kepiting bakau telah banyak dilakukan, namun seiring dengan kemajuannya
teknologi tersebut dianggap tidak ramah terhadap organisme. Oleh karenanya
kajian OM menjadi salah satu terobosan untuk menciptakan pemecahan atas
masalah minimnya pengetahuan.
Pengetahuan terhadap OM kepiting bakau masih sangat terbatas, namun
keberhasilan pada beberapa spesies krustasea telah dapat dijadikan acuan dalam
mengidentifikasinya. Serangkaian upaya identifikasi terhadap OM dilakukan, dan
4
korespondensi dengan beberapa peneliti juga dibutuhkan untuk meyakinkan
peneliti dalam mendefinisikan OM pada kepiting bakau. Penelitian tahap 1
dilakukan sebagai acuan awal dalam mengkaji organ tersebut.
Dalam rangka menemukan kepiting donor, maka penelitian tahap 2
dilakukan sehingga rekomendasi sumber donor terbaik berdasarkan bobot tubuh
(BT), dan aspek korelatif lainnya dapat diperoleh. Hasil yang diperoleh pada
penelitian tahap ini digunakan dalam penentuan sumber ekstrak OM sebagai
stimulan.
Kesuksesan tahapan penelitian sebelumnya divalidasi dengan melakukan
pembuktian terhadap potensi keberadaan MF dalam ekstrak OM. Pendekatan yang
dilakukan dalam tahapan ini adalah mengamati keberadaan FAMeT dan
menentukan ekspresi mRNA dalam OM kepiting bakau sebelum aplikasi terhadap
kepiting bakau.
Tahap akhir dari penelitian ini adalah aplikasi ekstrak OM yang diperoleh
berdasarkan rekomendasi dari tahap-tahap dalam penelitian sebelumnya. Aplikasi
ekstrak OM dilakukan sebagai tahapan pembuktian peranan OM terhadap fisiologi
molting kepiting bakau. Dalam tahapan ini, upaya penentuan dosis dilakukan
berdasarkan rata-rata bobot OM dari banyak sampel yang homogen. Serangkaian
peubah digunakan untuk mengklarifikasi perkembangan molting, sehingga
penentuan dosis terbaik dalam menstimulasi molting pada kepiting bakau jenis
Scylla olivacea dapat dilakukan.
Gambar 1 Skema konseptual penelitian
5
Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi dan mempelajari struktur morfologi OM kepiting bakau.
2. Mempelajari hubungan bobot OM, dengan BT, bobot OY, pada kepiting
jantan dan betina dalam fase molting berbeda.
3. Membuktikan keberadaan enzim FAMeT melalui ekspresi mRNA dalam
OM kepiting bakau.
4. Membuktikan peranan OM terhadap molting, pertumbuhan, dan
kelangsungan hidup kepiting bakau.
Kegunaan Penelitian
1. Menemukan teknologi inovatif dalam budidaya kepiting dan kerabatnya.
2. Mengetahui potensi OM dalam menstimulasi molting pada kepiting dan
kerabatnya.
3. Menambah ilmu dan pengetahuan dalam bidang fisiologi kepiting dan
kerabatnya.
Kebaharuan Penelitian
1. Untuk pertama kali struktur morfologi OM kepiting bakau didefinisikan.
2. Ditemukan hubungan positif antara bobot OM dengan BT, bobot OY, pada
kepiting bakau jantan dan betina dalam fase molting.
3. Ditemukan kemajuan proses molting melalui ekspresi mRNA FAMeT
dalam OM kepiting bakau.
4. Ditemukan teknologi inovatif ekstrak OM sebagai stimulan molting.
5. Ditemukan peranan MF like substance secara fisiologis mempengaruhi
molting.
6
2 STRUKTUR MORFOLOGI ORGAN MANDIBULAR
KEPITING BAKAU Scylla olivacea
Abstrak
Desain morfologi OM, letak, dan tempatnya menempel menjadi kajian yang
menarik untuk dipelajari. Beberapa peneliti telah mencoba menggambarkan OM
dari spesies-spesies krustasea yang beragam, namun pada kepiting bakau kajian
ini belum pernah dilakukan sehingga pengetahuan mengenai OM sangat terbatas.
Penelitian struktur morfologi OM pada kepiting bakau Scylla olivacea merupakan
terobosan awal untuk mempelajari organ tersebut. Penelitian ini bertujuan
mengidentifikasi dan mempelajari struktur morfologi OM kepiting bakau,
sehingga berguna bagi penelitian selanjutnya. Hasil penelitian tahap ini
menemukan OM pada S. olivacea yang berpasangan, berdiameter 1.43 sampai
2.68 mm, berbentuk bulat lonjong, berwarna kuning pucat. Letak OM berada pada
ujung tendon mandibular di belakang mandibula. Letak, bentuk dan warna OM
antara kepiting jantan dan betina, demikian pula antara fase intermolt dan premolt
adalah sama. Berdasarkan pengamatan ukuran, kepiting bakau jantan memiliki
diameter yang lebih besar dibandingkan pada betina, demikian pula antara fase
molting di mana diameter organ ditemukan lebih besar pada fase premolt jika
dibandingkan intermolt. Struktur permukaan OM kepiting bakau adalah halus dan
bergelombang, serta memiliki jaringan pengikat yang kuat.
Kata kunci: kepiting, letak, morfologi, organ mandibular, tendon.
Pendahuluan
Perbedaan bentuk suatu organ, warna, dan letaknya menarik minat para
peneliti untuk mencari tahu lebih rinci mengenai peranan suatu organ. Beragam
bentuk organ, warna, dan letaknya menempel menjadi ciri khas, sehingga dapat
berperan sesuai fungsinya. Eksplorasi terhadap OM sedikit demi sedikit mulai
terungkap dan memberi pemahaman baru mengenai fungsi dan kandungan organ
tersebut. Gambaran OM oleh Le Roux (1968) menjadi pembuka tahap identifikasi,
sehingga dapat dirinci secara baik. Pada krustasea OM merupakan organ
berpasangan, tidak memiliki pembuluh (ductless), berasal dari ektodermal, dan
terletak pada pangkal tendon mandibular (Nagaraju et al. 2004). Pada kepiting
Callinectes sapidus memiliki warna kuning pucat (Yudin et al. 1980). OM
krustasea dianggap sepadan dengan corpora allata (CA) pada serangga (Le Roux
1968; Yudin et al. 1980), demikian pula produk seskuisterpenoid yang dihasilkan
menggunakan jalur biosintetik farnesil difosfat/isopentenoid (Tobe dan Bendena
1999). Pada krustasea produk akhir dari jalur tersebut menghasilkan MF, yang
pada CA merupakan prekursor langsung juvenile hormone III (JH III) (Schooley
dan Baker 1985).
Beberapa laporan menunjukkan adanya potensi peranan OM terkait
reproduksi. Stimulasi menggunakan OM eksogen mengakibatkan pertambahan
ukuran gonad pada L. emarginata (Hinsch 1980). Demikian pula stimulasi
pematangan gonad pada O. senex senex berhasil dilakukan dengan menggunakan
7
MF eksogen (Reddy dan Ramamurthi 1998). Sementara ketika mendekati molting
ditemukan peningkatan bobot OM pada kepiting O. senex senex (Nagaraju et al.
2004). Pada lobster air tawar capit merah Cherax quadricarinatus pemberian MF
mengakibatkan percepatan molting (Abdu et al. 2001).
Beberapa peneliti telah melaporkan ukuran OM pada krustasea lainnya dan
menemukan bahwa ukuran organ pada jantan lebih besar dibandingkan betina
(Sagi et al. 1991; Nagaraju et al. 2004). Alasan perbedaan ukuran OM pada jantan
dan betina secara spesifik belum diketahui, namun ukuran yang lebih besar pada
jantan kemungkinan terkait dengan tingkah laku spesifik (Nagaraju et al. 2004).
Identifikasi dan definisi OM belum pernah dilakukan pada kepiting bakau di
Indonesia. Belum adanya kajian OM mengakibatkan pengetahuan mengenai
peranan organ tersebut sangat minim, sehingga peluang pemanfaatannya sangat
rendah. Sementara pengetahuan tersebut sangat dibutuhkan untuk pengembangan
invensi teknologi inovatif dalam budidaya kepiting bakau yang lebih ramah
terhadap hewan dan lingkungan.
Kajian OM pada kepiting bakau perlu mendapat perhatian, oleh karena
peluang pengembangannya sangat potensial sebagai salah satu teknologi inovatif
dalam budidaya kepiting. Tahapan penelitian struktur morfologi OM pada
kepiting bakau merupakan salah satu pengetahuan mendasar yang wajib
diperlukan dalam rangka pengembangan paket teknologi budidaya kepiting
cangkang lunak. Pengetahuan tersebut memfasilitasi pendefinisian OM sehingga
peneliti dapat mengidentifikasi dengan baik. Penelitian tahap ini bertujuan untuk:
1). Mengidentifikasi OM kepiting bakau; dan 2). Mempelajari struktur morfologi
OM kepiting bakau. Penelitian tahap 1 dijadikan acuan bagi penelitian-penelitian
selanjutnya.
Metode Penelitian
Hewan Uji
Hewan uji adalah kepiting bakau jenis S. olivacea yang diperoleh dari hasil
tangkapan di perairan Kabupaten Wajo, dan telah disortir di Unit Budidaya
Kepiting, Tambak Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Barru, Provinsi
Sulawesi Selatan. Untuk menyeragamkan kepiting uji, maka dipilih kepiting
dengan ukuran sekitar 100 gram yang berada dalam fase intermolt dan premolt.
Identifikasi Organ Mandibular
Kepiting ditenangkan menggunakan es batu dan ditimbang untuk
mengetahui bobot tubuhnya (BT). Pembedahan dilakukan terhadap kepiting
dengan mengangkat bagian dorsal karapaks untuk memudahkan identifikasi organ
bagian dalam. Identifikasi OM dilakukan dengan mengamati lokasi tempatnya
berada, warna dan bentuk organ. Hasil identifikasi dicatat, didokumentasikan
untuk dibandingkan dengan referensi pada krustasea lainnya, dan korespondensi
dengan peneliti krustasea yang kompeten dalam OM.
8
Koleksi Organ Mandibular
Dilakukan dengan menyisihkan OM dari organ lainnya. Dari pengukuran
diperoleh data diameter organ berdasarkan jenis kelamin, dan fase molting.
Sementara untuk keperluan pengamatan morfologi dilanjutkan dengan preparasi
spesimen. Prosedur koleksi diilustrasikan dalam bentuk diagram pada Gambar 2.
Gambar 2 Diagram prosedur koleksi organ mandibular untuk pengukuran
diameter dan preparasi spesimen padat.
Morfologi Organ Mandibular
Pengamatan morfologi OM kepiting bakau dilakukan di Pusat Penelitian
Biologi, Bidang Zoologi-LIPI Cibinong, dengan menggunakan fasilitas Scanning
Electron Microscope (SEM). Prosedur preparasi spesimen padat mengikuti
Goldstein et al. (1992), dengan sedikit penyesuaian. Preparasi OM diproses pada
suhu 4°C yang meliputi: 1). Proses pembersihan, dilakukan dengan merendam
sampel dalam bufer caccodylate selama 2 jam, kemudian agitasi dalam ultrasonic
cleaner selama 5 menit; 2). Prefiksasi, dengan memasukkan sampel ke dalam
larutan glutaraldehida 2.5 % selama 2 kali 24 jam; 3). Fiksasi, dengan
menggunakan tannic acid 2 % selama 6 jam, kemudian mencuci kembali dengan
bufer caccodilate selama 15 menit sebanyak 4 kali, dan dengan akuades 15 menit
sebanyak 1 kali; 4). Dehidrasi, dilakukan dalam suhu ruang menggunakan alkohol
bertingkat yakni 50 % selama 5 menit dan sebanyak 4 kali, 70 % selama 20 menit,
85 % selama 20 menit, 95 % selama 20 menit, masing-masing 1 kali; dan 5).
Pengeringan organ, dilakukan dengan merendam OM dalam tertiary butanol
selama 10 menit sebanyak 2 kali, kemudian dibekukan dalam freezer hingga beku,
dan di freeze-dry hingga kering. Sebelum diamati di bawah mikroskop,
dibutuhkan proses coating dengan menempelkan spesimen OM kering di atas stub
kemudian dilapisi Au dalam ion coater.
Gambar 3 Gambaran makroskopis organ mandibular (→)
9
Hasil
Kepiting bakau jenis S. olivacea memiliki OM berpasangan, terletak pada
ujung tangkai yang berasal dari posterior atau karapaks dorsal bagian dalam
menuju bagian anterior. Organ tersebut melekat di dasar tendon yang berada dekat
dengan mandibula. Perlekatan organ sangat baik dan kuat oleh karena adanya
jaringan ikat atau semacam lapisan penghubung halus yang mengelilingi.
Sementara tendon yang terhubung dengan karapaks dorsal diperantarai oleh otot
aduktor dengan kemampuan elastisitas yang baik, sehingga tendon tidak terlepas
dan OM tetap berada pada posisinya. Posisi organ kiri dan kanan saling
bersebelahan dengan tidak memiliki perbedaan dalam letak penempelan.
Morfologi OM kepiting bakau berhasil dilakukan dengan mengamati bentuk,
warna dan ukuran. Pada kepiting bakau jenis S. olivacea OM terlihat padat,
memiliki bentuk bulat lonjong, berwarna kuning pucat, dan memiliki ukuran
diameter berkisar antara 1-3 mm. Hasil pengamatan terhadap OM kepiting bakau
jantan dan betina per-fase disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Perbandingan organ mandibular kepiting bakau jantan dan betina
Intermolt
Premolt
Diameter
♂
1.84±0.57
2.68±0.43
(mm)
♀
1.43±0.37
2.35±0.50
Bentuk
Bulat lonjong
Bulat lonjong
Warna
Kuning pucat
Kuning pucat
Nilai yang ditampilkan adalah rata-rata±SD, n=40.
Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 1) menunjukkan bahwa secara umum
diameter OM kepiting bakau jantan lebih panjang dibandingkan betina. Demikian
pula antara fase molting menunjukkan pada saat premolt memiliki ukuran lebih
panjang dibandingkan intermolt. Pengamatan terhadap bentuk dan warna OM
kepiting bakau tidak ditemukan perbedaan, baik dari kedua jenis kelamin maupun
fase molting.
Berdasarkan hasil pengamatan morfologi struktur OM menunjukkan
morfologi OM yang masih melekat pada tendon berbahan kitin keras. Permukaan
OM kepiting bakau tidak rata, namun menunjukkan tekstur tampak halus. Tekstur
halus bergelombang yang dimiliki oleh OM tersebut rupanya terlindungi oleh
keberadaan jaringan pengikat seperti yang tampak pada Gambar 4. Jaringan
pengikat membungkus OM sehingga membentuk lapisan luar menutupi seluruh
permukaan organ bersamaan dengan tendon. Jaringan pengikat dengan permukaan
yang terlihat rumit membentuk suatu kesatuan yang kokoh, sehingga tendon keras
berbahan kitin menjadi satu dengan organ yang lunak.
Hasil histologi OM menampilkan sel-sel yang dilingkupi oleh keberadaan
hemolymph channel (HC). Tampilan histologi yang dihasilkan tidak menunjukkan
perbedaan antara fase intermolt dan premolt, sebagaimana Gambar 5.
10
Gambar 4 Scanning Electron Microscope Organ mandibular (OM) pada tendon
mandibular (T) kitin (Gambar A), dan Jaringan pengikat (IK)
membungkus OM pada tendon (T) kitin (Gambar B).
Gambar 5 Histologi yang menunjukkan sel Organ Mandibular (MC) dikelilingi
hemolymph channel (HC) pada fase intermolt (Gambar A) dan
premolt (Gambar B).
Pembahasan
Keberhasilan identifikasi OM pada kepiting bakau S. olivacea, memberikan
peluang pengembangan pengetahuan dan aplikasi ekstrak OM. Kajian OM
sebenarnya telah dimulai sejak lama, berawal dari deskripsi yang dilaporkan oleh
Le Roux (1968) dan berlanjut hingga saat ini. Kemajuan teknologi dalam
pengamatan tentunya berkontribusi sangat besar bagi pengungkapan dugaandugaan dalam ilmu pengetahuan. Jika dahulu peneliti masih kesulitan dalam
membedakan antara OM dan OY, saat ini telah dapat dilakukan dengan
mengamati bentuk maupun produk sekresi yang dihasilkannya.
Berdasarkan hasil penelitian ini, OM kepiting bakau jenis S. olivacea
memiliki kesamaan dengan hasil pengamatan oleh Yudin et al. (1980) pada
kepiting C. sapidus yakni berbentuk bulat lonjong, berwarna kuning pucat, dan
terletak pada ujung tendon bagian anterior. Sementara hasil pengamatan terhadap
udang air tawar Palaemon paucidens oleh Aoto et al. (1974) mendeskripsikannya
sebagai organ yang memiliki bentuk segitiga, berwarna agak putih, dan hampir
11
tidak dapat dibedakan dengan jaringan yang berada disekitarnya. Pada udang
dalam famili Pandalidae dan genus Pandalus memiliki letak organ yang sesuai
dengan udang Palaemon, yakni berasal dari epidermis menjorok ke arah dalam
pada bagian sendi mandibular dan segmen maksila (Aoto et al. 1974).
Bentuk OM kepiting bakau terlihat bulat dan padat dengan diameter ratarata berkisar antara 1.43±0.37 sampai 2.68±0.43 mm. Pada udang Palaemon
berukuran 0.8 sampai 1.0 mm (Aoto et al. 1974). Perbedaan diameter organ antara
jantan dan betina diduga terkait erat dengan kandungan MF yang dimilikinya.
Pada kepiting bakau jantan ditemukan OM yang lebih besar dibandingkan pada
betina. Perbedaan ini juga telah dilaporkan oleh Sagi et al. (1991) pada udang
Macrobrachium rosenbergii. Aktivitas fisiologi spesifik yang terjadi akibat
perbedaan ukuran tersebut belum dikaji secara khusus, namun Nagaraju et al.
(2004) menduga adanya perilaku spesifik berbeda sesuai perbedaan ukuran yang
ada.
Perbedaan diameter OM juga diamati pada tiap fase molting. Kepiting
bakau yang berada dalam fase premolt menunjukkan diameter yang lebih besar
dibandingkan intermolt. Perubahan ukuran diameter diduga terkait erat dengan
peningkatan kandungan MF dari OM yang telah mempersiapkan pergantian
cangkang. Sebagaimana peningkatan yang terjadi pada bobot OM (Nagaraju et al.
2004), perubahan ukuran diameter OM mengindikasikan pergerakan fase yang
lebih dekat ke arah pergantian cangkang. Kemajuan molting tersebut
mengisyaratkan adanya peranan MF yang terlibat dalam molting. Oleh karenanya
penelitian terkait stimulasi (Hinsch 1980; Reddy dan Ramamurthi 1998; Abdu et
al. 2001) mempertegas peranan MF sebagai kandungan OM yang terlibat aktif
dalam kemajuan molting krustasea, termasuk kepiting bakau. Pengamatan bentuk
dan warna dari 40 OM, tidak menunjukkan perbedaan antara kepiting bakau jenis
S. olivacea baik pada jantan maupun betina dalam fase yang berbeda.
Pengamatan morfologi organ dengan menggunakan SEM pada pembesaran
50x berhasil menampilkan bentuk OM kepiting bakau. Gambar yang ditampilkan
menunjukkan organ berada tepat di ujung sebuah tangkai, yang berhasil
diklarifikasi menggunakan deskripsi acuan bahwa tangkai tersebut merupakan
tendon mandibular (Nagaraju et al. 2004). Sementara pembesaran 1500x berhasil
menampilkan struktur permukaan OM. OM kepiting bakau memiliki permukaan
yang terlihat halus dan bergelombang. Berbeda dengan permukaan jaringan ikat
yang tampak lebih rumit, dan terlilit menutupi organ dan tendon.
Pengamatan jaringan pengikat berhasil dilakukan pada pembesaran 50x.
Dengan membalik spesimen organ yang berada pada tendon, jaringan ikat yang
terbuka terlihat jelas menyelimuti sebuah tangkai tendon. Sementara pembesaran
1500x berhasil mengamati struktur pemukaan jaringan pengikat yang terlihat lebih
rumit jika dibandingkan permukaan OM. Keberadaan jaringan pengikat pada
tendon mandibular tampak memperkuat posisi OM yang berada pada ujung
tendon. Jaringan pengikat yang sama pernah dilaporkan pada kepiting air tawar
jenis Parathelpusa sp., dengan keberadaannya menyelimuti organ dan tendon
sehingga semakin memperkokoh posisi OM (Sarika et al. 2014). Sementara,
pengamatan pada udang palaemonidae menemukan adanya beberapa otot-otot
yang berada di sekitar OM (Aoto et al. 1974).
Histologi terhadap OM kepiting bakau S. olivacea tidak menunjukkan
adanya perbedaan antara fase intermolt dan premolt. Namun, hasil pengamatan
12
menemukan peningkatan kepadatan sel OM (MC) dalam fase menjelang molting.
Peningkatan kepadatan sel dalam OM mengakibatkan ruangan HC semakin
menyempit sehingga pada fase premolt akan terlihat sel-sel yang mengisi ruangan
kosong dalam OM kepiting bakau tersebut.
Simpulan
Kepiting bakau S. olivacea memiliki OM berpasangan, berukuran kecil,
berbentuk bulat lonjong dengan warna kuning pucat. Letak OM berada pada ujung
tendon mandibular yang diperkuat oleh adanya jaringan ikat menyelimuti organ
dan tendon. Tidak adanya perbedaan letak, bentuk, dan warna OM antara kepiting
jantan dan betina, baik dalam fase intermolt maupun premolt. Diameter organ
lebih besar pada jantan dibandingkan betina, demikian pula fase premolt lebih
besar dibandingkan intermolt. Hasil pengamatan struktur OM pada kepiting bakau
memiliki permukaan halus dan bergelombang dengan jaringan pengikat yang kuat
menutupi keseluruhan OM bersamaan dengan tendon kitin yang keras.
13
3 HUBUNGAN ANTARA BOBOT ORGAN MANDIBULAR
DENGAN BOBOT TUBUH, BOBOT ORGAN Y, JENIS
KELAMIN, FASE INTERMOLT DAN FASE PREMOLT
KEPITING BAKAU Scylla olivacea
Abstrak
Siklus molting pada kepiting dan kerabatnya dapat terinisiasi oleh berbagai
faktor. Molting merupakan siklus perkembangan sehingga dikenal beberapa fase
yakni intermolt, premolt, ekdisis atau molting, dan postmolt. Dalam
perkembangannya, fase molting banyak melibatkan proses fisiologis yang
kompleks dan silih berganti. Salah satu zat yang memiliki peranan cukup besar
dalam pengaturan tersebut adalah hormon. Hormon yang telah dikenal luas dan
memiliki peranan sebagai hormon molting adalah ekdisteroid, sementara MF
masih sedikit dikaji. Perbedaan bobot tubuh (BT), jenis kelamin diduga dapat
mempengaruhi proses fisiologi sehingga berdampak pada fluktuasi hormon yang
terlibat dalam proses molting. Data hubungan BT, bobot OM, dan bobot OY pada
kepiting bakau jantan dan betina dalam fase molting berbeda belum dipelajari.
Sementara OM memiliki kandungan MF, dan OY mengandung ekdisteroid,
sehingga pertambahan bobot organ-organ tersebut dapat dijadikan representasi
peningkatan kandungannya. Hasil penelitian menunjukkan bobot OM mengalami
pertambahan ukuran seiring pertambahan BT, sementara bobot OM bertindak
sebagai determinan bagi bobot OY. Pertambahan bobot OM dan OY
menunjukkan peningkatan ukuran sejalan dengan kemajuan molting, sehingga
pada fase premolt ukuran kedua organ tersebut mengalami peningkatan yang
cukup pesat. Jika dibandingkan antara kedua jenis kelamin kepiting tersebut,
maka bobot OM dan OY lebih besar pada kepiting jantan dibandingkan kepiting
betina.
Kata kunci: bobot tubuh, intermolt, kepiting, mandibular, organ Y, premolt.
Pendahuluan
Antara OM dan OY pada beberapa spesies krustasea memiliki kesamaan
dalam ukurannya (Yudin et al. 1980), namun pada kepiting bakau belum diketahui.
Demikian pula faktor penting lainnya seperti pertambahan BT, jenis kelamin, dan
fase molting, belum ada laporan terkait hubungannya dengan OM. Sementara itu,
perkembangan siklus molting pada kepiting dan kerabatnya dapat diindikasikan
oleh perubahan-perubahan fisik. Misalnya pada perubahan morfologi dan
perubahan jaringan integumen yang dapat diamati sebagai indikator
perkembangan molting (Skinner 1985). Sehingga molting sebagai proses
perkembangan di dalamnya dikenal beberapa fase meliputi intermolt, premolt,
ekdisis atau molting, dan postmolt.
Dalam perkembangannya fase molting banyak melibatkan proses fisiologis
yang kompleks dan silih berganti. Salah satu zat yang memiliki peranan cukup
besar dalam pengaturan tersebut adalah hormon. Hormon merupakan suatu zat
yang disintesis dalam suatu organ untuk bekerja pada sel yang sama tempatnya
14
disintesis (autokrin) atau ditransportasikan oleh sistem sirkulasi untuk bekerja
pada sel-sel lain (parakrin). Hormon pada kepiting memiliki fluktuasi pada
masing-masing perkembangan fase molting, hal tersebut terkait dengan waktu
sintesis dan ekskresi oleh organ penghasil atau stimulasi on dan off terhadap
molting (Skinner 1985).
Organ-organ yang berperan dalam fisiologi banyak memiliki kemampuan
untuk mensintesis hormon. Misalnya OY yang menghasilkan hormon molting
(Skinner 1985; Nagaraju et al. 2004). Hormon yang telah dikenal l