PEMBAHASAN UMUM Kokultur rizobakteri secara in vitro pada planlet pisang untuk meningkatkan mutu planlet dan pengendaliaan penyakit layu fusarium

133 jumlah yang tidak bisa ditolerir oleh eksplan dan bersifat meracuni Vickery dan Vickery 1981. Aktivitas pencoklatan pada jaringan pisang terbukti tinggi, berbeda antar kultivar, dan menurun seiring dengan kedewasaan tunas dan berulangnya subkultur Kasutjianingati 2004. Induksi tunas aksilar diperlukan untuk mempersiapkan atau menghantarkan eksplan memasuki tahap perbanyakan multiplikasi tunas. Pada pisang Rajabulu tunas aksilar perlu diinduksi dengan penambahan TDZ di awal kultur. Hal ini disebabkan adanya kekuatan dominansi tunas apikal eksplan pisang Rajabulu yang diduga tinggi rasio auksinsitokinin endogen tinggi, sehingga kemampuan multiplikasi menjadi rendah. TDZ merupakan turunan fenilurea yang mempunyai kemampuan mendorong aktivitas proliferasi tunas yang sangat tinggi pada konsentrasi rendah 0.002 – 2.0 mgliter Lee 2005. Merujuk pada teori yang ada Salisbury dan Ross 1995, diduga TDZ mampu memberikan signal hormonal yang cocok pada protein penerima konfigurasinya diduga berubah saat mengikat TDZ, menyebabkan perubahan metabolik lain yang mengarah pada sel-sel eksplan pisang Rajabulu yang sebelumnya sudah terdiferensiasi menjadi kembali ke kondisi meristematik, yang selanjutnya mempercepat munculnya tunas lateral. Respon pertumbuhan tunas lateral eksplan pisang terhadap perlakuan komposisi sitokinin-auksin bergantung pada karakter eksplan. Perbedaan respon multiplikasi antara pisang Tanduk dan pisang Rajabulu sangat dipengaruhi oleh ketahanan eksplan terhadap luasnya pelukaan, seringnya eksplan mengalami luka dan perbedaan kepekaan rasio sitokinin endogen sel sasaran terhadap komposisi ZPT media. Hal tersebut berhubungan dengan pendapat Barker dan Steward 1962 dan Zaffari et al. 2000, bahwa pembentukan primordia tunas lateral eksplan pisang secara in vitro terjadi di dekat meristem apikal dan perkembangan tunas lateral tersebut terjadi setelah penurunan rasio auksinsitokinin di bagian basal eksplan karena aktivitas IAA oksidase. BAP dalam medium proliferasi berkorelasi dengan sitokinin endogen eksplan dalam pembentukan tunas lateral. Hal ini biasanya terjadi 30 hari setelah tanam. Percobaan Zaffari et al. 2000, mendapatkan hal tersebut terjadi setelah 60-75 hari dari kultur eksplan pisang 134 Grade Naine AAA. Menurut Barker dan Steward 1962 pembentukan primordia tunas lateral dan perkembangannya terjadi hanya selama kultur berada di medium proliferasi yang mengandung sitokinin. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam multiplikasi bukan bagaimana menghasilkan tunas yang berjumlah banyak namun bagaimana menghasilkan tunas yang bermutu vigor dan viabel dalam jumlah yang cukup. Mempertahankan mutu tunas pada media perbanyakan multiplikasi tidak perlu lagi digunakan sitokinin dengan aktivitas proliferasi tinggi TDZ cukup digunakan sitokinin BA pada konsentrasi 1-2 mgl dan IAA 0.25-0.5 mgl. Hasil percobaan Nielsen et al. 1995 menunjukkan bahwa sitokinin tipe adenine sudah cukup mampu meningkatkan multiplikasi tunas pada kultur tanaman Miscanthus sp. Menurut Mante dan Tepper 1983 dan Pierik 1987 subkultur berulang pada media yang sama dengan sitokinin tinggi akan meningkatkan multiplikasi tetapi menurunkan mutu tunas berukuran kecil, vitrous, roset. Kondisi tersebut harus dihindarkan karena multiplikasi tinggi menyebabkan variasi somaklonal off type; secara visual morfologi tunas adventif dan tunas aksilar yang dihasilkan sukar dibedakan. Media perbanyakan untuk eksplan pisang Rajabulu dan pisang Tanduk hasil percobaan dapat digunakan media MS + BA 1 mgl + IAA 0.25 mgl M2 dan media MS + BA 2 mgl + IAA 0.5 mgl M3. Kedua pisang mempunyai karakter berbeda tetapi mempunyai permasalahan sama yaitu planlet yang dihasilkan kurang viabel 3 cm untuk aklimatisasi. Tunas dikatakan viabel untuk aklimatisasi, apabila secara morfologi mempunyai organ yang lengkap akar, batang dan daun sempurna dan ukuran tunas termasuk dalam kategori tunas besar 3 cm. Karakter tunas pisang Tanduk yang sangat responsif terhadap sitokinin, multiplikasi tunas banyak menghasilkan planlet berukuran kecil 2 cm. Sebaliknya kemampuan multiplikasi pisang Rajabulu rendah, planlet yang dihasilkan berukuran sedang 2- 3 cm. Usaha mendapat planlet viabel 3 cm atau agar peluang hidup planlet saat aklimatisasi menjadi tinggi maka tunas hasil multiplikasi perlu fase pertumbuhan ke arah pembesaran tunas atau morfogenesis menjadi planlet 135 kategori besar 3 cm. Agar rasio auksinsitokinin mendukung pembesaran tunas, maka tunas pisang Tanduk setelah bermultiplikasi, perlu pembesaran tunas morfogenesis dengan disubkultur ke media M0 berturut-turut dua kali M2M0 atau M3M0, dan M0M0. Tunas pisang Rajabulu hasil multiplikasi, tunas pada media berZPT M2 atau M3 langsung disubkultur ke media M0 M2M0 atau M3M0. Penambahan GA3 pada media M4, M5, dan M6 untuk keperluan memperbaiki morfologi pertumbuhan planlet pisang Rajabulu dan pisang Tanduk dengan konsentrasi 3 mgl menunjukkan pertumbuhan tunas tidak sempurna pelepah memanjang, daun kecil, dan bentuk tidak normal. Hal tersebut diperkirakan karena tinginya konsentrasi GA, sehingga perlu dikaji ulang dengan menurunkan konsentrasi GA3 kelipatan 0.5 mgl. Kokultur In Vitro Eksplan Pisang dengan Rizobakteri Kokultur in vitro merupakan usaha peningkatan mutu planlet melalui modifikasi teknik perbanyakan kultur jaringan standar berdasar informasi Bab 3 dan 4 dipadukan dengan teknik bakterisasi bertujuan selain meningkatkan mutu fisiologis juga untuk melengkapi tuntutan mutu saniter. Respon kokultur in vitro rizobakteri-eksplan terhadap pertumbuhan eksplan ditentukan oleh perubahan lingkungan di sekelilingnya. Selama ini belum pernah dilaporankan hasil percobaan atau SOP standar operasional prosedur baku yang berhubungan dengan kokultur rizobakteri-eksplan pisang secara in vitro. Kokultur rizobakteri- eksplan pisang secara in vitro pada penelitian ini merupakan modifikasi dari metode kultur jaringan standar. Kebaruan dan keaslian hasil penelitian pada bab ini ditunjukkan dengan informasi proses keberhasilan asosiasi antara rizobakteri-eksplan pisang Tanduk dan pisang Rajabulu. Penelusuran keberhasilan asosiasi diukur dengan mengamati respon peluang hidup eksplan ; keparahan pencoklatan eksplan; keberadaan rizobakteri pada reisolasi akar; kemampuan rizobakteri meningkatkan multiplikasi tunas berdasar stadia eksplan, dimulai dari stadia eksplan mulai mengalami multiplikasi. Asosiasi kokultur rizobakteri dengan eksplan pada stadia multiplikasi pada semua perlakuan bakterisasi menunjukkan tidak ada eksplan yang mampu 136 bertahan hidup Gambar 5.3 dan 5.4. Eksplan stadia multiplikasi diperoleh dengan mengikuti prosedur standar, yaitu dengan cara memotongmengurangi bagian batang atas bahan eksplan, mengupas jaringan permukaan eksplan yang berwarna hitam akibat pencoklatan dari pertumbuhan sebelumnya, sehingga jaringan eksplan berupa potongan sebagian bonggol yang bermata tunas. Bakterisasi yang dilakukan pada eksplan stadia multiplikasi ternyata kurang tepat karena pada jaringan eksplan pisang yang muda mudah terjadi pencoklatan bila mendapat perlakuan pelukaan atau karena bakteri. Pelukaan fisik eksplan ataupun keberadaan bakteri mampu menginduksi fenol Salisbury dan Ross 1995. Luasnya area pelukaan pada permukaan eksplan stadia multiplikasi Gambar 5.3B merespon jaringan tanaman mengeluarkan senyawa fenol yang menyebabkan pencoklatan Gambar 5.3C. Pencoklatan eksplan yang semakin parah akan bersifat meracuni tanaman. Selanjutnya jaringan eksplan yang mati merupakan daerah yang sangat disukai bakteri saprofitik Gambar 5.3D, sehingga dalam waktu 3 HSA seluruh permukaan eksplan tertutup koloni rizobakteri. Eksplan tidak mampu mengimbangi cepatnya kolonisasi pertumbuhan rizobakteri, dan tidak mampu mengelola metabolisme pertumbuhan, sehingga hari-hari berikutnya mengalami pembusukan Gambar 5.3D dan 5.3E. Sesuai dengan pendapat Goto 1990 dan Soesanto 2008 yang menyatakan bahwa proliferasi bakteri bergantung pada ketersediaan nutrisi dan bakteri cenderung akan memanfaatkan nutrisi dengan maksimal untuk pertumbuhannya. Makin kaya kandungan nutrisi pada media kokultur yang ditambah TSB Gambar 5.3E populasi bakteri makin padat dan eksplan semakin cepat membusuk. Eksplan dengan perlakuan tanpa rizobakteri 100 hidup dengan kenampakan sehat dan 3 minggu setelah tanam sudah bermultiplikasi terbentuk tunas baru Gambar 5.2. Ternyata prosedur kokultur selanjutnya dengan mengurangi pelukaan hanya pada bagian bonggolnya yang dibersihkan dan tunasnya dibiarkan Gambar 5.4B juga tidak berhasil dengan permasalahan yang sama; eksplan tidak mampu bertahan terhadap kondisi cekaman akibat pelukaan dan rizobakteri Gambar 5.4F dan 5.4G. Pelukaan fisik prosedur persiapan eksplan pisang pada stadia multiplikasi menyebabkan pencoklatan dan proliferasi rizobakteri yang menutupi 137 daerah luka merupakan faktor pembatas keberhasilan kokultur rizobakteri-eksplan secara in vitro. Planlet pisang adalah miniatur tanaman hasil perbanyakan kultur jaringan yang sudah mempunyai organ lengkap akar, bonggol, batang semu dan daun dengan diferensiasi jaringan yang lebih dewasa. Kokultur rizobakteri pada eksplan stadia planlet mampu memberi informasi yang akurat adanya keterkaitan antara kelengkapan organ tanaman dengan sifat kolonisasi rizobakteri. Kedewasaan jaringan eksplan menunjang pertumbuhan dan metabolisme, sehingga planlet mampu bertahan dengan perubahan kondisi lingkungannya. Perakaran planlet diduga mampu mampu menyediakan zona kolonisasi rizobakteri, mengeluarkan eksudatsekresi yang dapat dimanfaatkan rizobakteri sebagai nutrisi berdasar Tabel 5.1. Pada 21 HSA peluang hidup eksplan pisang Rajabulu yang di kokultur dengan B. substilis SB3 secara in vitro 72.9 lebih tinggi dibandingkan dengan P. fluorescens ES32 43.8 dan eksplan perlakuan tanpa rizobakteri semua hidup 100 Tabel 5.2. Pada media+TSB atau tanpa TSB eksplan tanpa bakteri menunjukkan peluang hidup eksplan 100 hidup Tabel 5.3 dan 5.6. Jelas sekali bahwa keberhasilan kokultur pisang selain bergantung pada jenis eksplan, stadia eksplan, juga ditentukan oleh karakter proliferasi rizobakteri, penambahan nutrisi bakteri atau tidak TSB dan cara aplikasi celup atau tusuk Tabel 5.3 - 5.8. Proliferasi bakteri bergantung pada ketersediaan nutrisi dan cenderung akan memanfaatkan nutrisi dengan maksimal untuk pertumbuhannya Goto 1990. Kokultur eksplan pisang Rajabulu stadia planlet yang dibakterisasi dengan B. substilis SB3 pada media dengan penambahan TSB atau tanpa TSB, sampai 21 HSA peluang hidup berada pada selang kategori sedang sampai tinggi 50-100 dengan keparahan pencoklatan kategori ringan sampai sedang 3.3-16.7, secara statistik tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa rizobakteri dan lebih baik bila dibandingkan dengan eksplan yang di bakterisasi dengan P. fluorescens ES32. Proliferasi B. substilis SB3 diduga langsung berada dalam jaringan tanaman, tidak berkolonisasi di bagian luarsekitar eksplan, sehingga 138 keberadaannya tidak mengganggu penyerapan hara dan ZPT pada media, proses metabolisme eksplan berjalan lancar. Eksplan pisang Rajabulu yang di kokultur dengan P. fluorescens ES32 pada media+TSB tinggi 20-30 TSB sampai 21 HSA, secara statistik menunjukkan peluang hidup kategori rendah sampai gagal tumbuh 16.7 – 0, dengan pencoklatan kategori sangat parah bila dibandingkan dengan perlakuan media+TSB 10 rendah peluang hidup kategori sedang. Konsentrasi TSB tinggi menurunkan peluang hidup eksplan sampai gagal tumbuh. P. fluorescens ES32 lebih bersifat mengkolonisasi permukaan eksplan dan media. Penambahan nutrisi TSB meningkatkan kolonisasi rizobakteri di media dan di sekitar tanaman. Keberadaan rizobakteri diduga merangsang pencoklatan jaringan luka eksplan dan menghambat metabolisme pertumbuhan eksplan. Bakterisasi B. substilis SB3 dengan cara dicelup pada kokultur eksplan pisang Rajabulu memberi peluang hidup lebih baik dibandingkan dengan cara ditusuk. Kolonisasi B. substilis SB3 langsung berada dalam jaringan tanaman. Tanpa mengalami pelukaan eksplan, diduga bakteri masuk melalui akar dan lubang alami. Kondisi tanpa pelukaan mendukung metabolisme pertumbuhan, penyerapan hara dan ZPT berjalan normal. Bakterisasi dengan cara tusuk dilakukan dengan menusuk pangkal batang, merangsang terjadi mekanisme penyembuhan luka. Bagian tanaman yang luka mengeluarkan sekresi dan lisat yang merangsang proliferasi bakteri saprofit, koloni menghambat hara dan ZPT dari media, merangsang pencoklatan browning. Polifenol berlebihan pada jaringan luka dapat bersifat meracuni eksplan. Pada 21 HSA kokultur planlet pisang Tanduk dengan kedua jenis rizobakteri baik cara dicelup maupun ditusuk, berpeluang hidup rendah dan mengalami pencoklatan berat Tabel 5.6 dan 5.7. Rendahnya peluang hidup diduga karena eksplan pisang Tanduk, vigor planletnya lebih kecil dan batang lebih kurus dibanding eksplan pisang Rajabulu sehingga kurang mampu bertahan dengan kondisi sterilisasi pelukaan fisik dan terhadap kehadiran rizobakteri. 139 Multiplikasi Eksplan Pisang Rajabulu pada Kokultur In Vitro Pada kokultur eksplan pisang Rajabulu yang berhasil hidup setelah 21 HSA diamati kemampuan rizobakteri sebagai PGPR terhadap multiplikasi tunas. Kokultur rizobakteri-planlet pisang Rajabulu Tabel 5.9 menunjukkan bahwa rizobakteri mampu memacu multiplikasi tunas dan meningkatkan jumlah akar. Rizobakteri endofit P. fluorescens ES32 dan B. substilis SB3 yang digunakan dalam percobaan ini sebelumnya sudah dibuktikan mempunyai kemampuan sebagai agens pengendali hayatiPGPR Eliza. 2004. Kokultur kedua rizobakteri tersebut pada media MSO mampu merangsang multiplikasi tunas P. fluorescens ES32 sebesar 0.6 tunaseksplan dan B. substilis SB3 sebesar 2.2 tunaseksplan bila dibandingkan dengan kultur di media MSO tanpa rizobakteri 0 tunaseksplan. Hal tersebut di atas sesuai dengan pendapat Wei et al 1991, menyatakan bahwa rizobakteri mampu mensintesis hormon tumbuh bila ada kontak langsung dengan tanaman. Menurut Thakuria et al. 2004; Joo et al. 2004 dan Timmusk 2003 isolat Bacillus spp mampu mensintesis IAA, giberellin dan sitokinin. Sedangkan isolat P. fluorescens menurut Thakuria et al. 2004; Ping dan Boland 2004; Salamone et al. 2004 juga mampu menghasilkan IAA, giberellin dan sitokinin. Kokultur pada media MS+ZPT M3 menghasilkan jumlah tunas lebih rendah bila dibandingkan dengan kultur pada media yang sama tanpa rizobakteri. Berarti keberadaan rizobakteri menghambat pengaruh ZPT. Kokultur pada media M3+TSB 10, 20, 30 menghasilkan tunas sangat rendah sampai tunas tidak terbentuk apabila dibandingkan dengan perlakuan tanpa rizobakteri. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan ditambah nutrisi bakteri TSB kolonisasi rizobakteri makin meluas dan metabolisme tunas terganggu, berakibat multiplikasi gagal. Rizobakteri yang digunakan spesifik bakteri perakaran, karenanya dalam percobaan menunjukkan perlakuan kokultur rizobakteri terhadap pertumbuhan dan perkembangan akar planlet, berkemampuan meningkatkan jumlah akareksplan lebih banyak 2-3 kali lebih banyak dibanding perlakuan tanpa rizobakteri. 140 Berdasar hasil percobaan ini meskipun rizobakteri terbukti mampu merangsang multiplikasi tunas, tetapi perbanyakan tunas dengan teknik kokultur kurang efisien dan tidak dapat menyamai perbanyakan teknik standar kultur jaringan. Jumlah tunas hasil kokultur rizobakteri-eksplan pada media M3 MS+BA 2 mgl + IAA 0.5 mgl mempunyai nilai lebih rendah 2.3-2.6 tunaseksplan dibanding multiplikasi eksplan pada media yang sama tanpa rizobakteri 4 tunaseksplan. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa kokultur kurang efisien dan sangat riskan apabila ditujukan untuk perbanyakan karena saat dilakukan subkultur peluang hidup eksplan menjadi sangat rendah. Subkultur mengembalikan tunas pada kondisi fisiologi eksplan yang rentan. Pelukaan eksplan saat proses pemisahan tunas-tunas, mengembalikan eksplan ke kondisi meristematik, pertumbuhan bakteri kembali susah dikontrol sehingga peluang hidup eksplan kembali sangat rendah. Solusi terbaik dan tidak beresiko adalah perbanyakan propagul pisang dilakukan dahulu melalui teknik kultur jaringan standar. Setelah planlet mencapai jumlah yang diinginkan, dilakukan bakterisasi terhadap planlet masih dalam kondisi in vitro menjelang aklimatisasi, untuk menjamin bahwa mikroorganisme yang masuk adalah jenis rizobakteri yang dimaksud. Respon Pertumbuhan Bibit terhadap Bakterisasi In Vitro Stadia paling awal yang aman bagi asosiasi rizobakteri adalah stadia planlet sempurna sudah berakar, mempunyai batang daun sempurna, tinggi 3 cm siap aklimatisasi 1-2 minggu sebelum aklimatisasi dengan cara aplikasi rizobakteri dituang suspensi bakteri 10 9 cfuml atau saat aklimatisasi dengan direndam suspense rizobakteri 10 9 cfuml. Hasil inkorporasi rizobakteri yang diaplikasikan pada planlet 1-2 minggu sebelum aklimatisasi terbukti mampu mendukung pertumbuhan sampai stadia bibit terhadap dua kultivar pisang Rajabulu Tabel 6.1 dan pisang Tanduk Tabel 6.2. Kontak langsung rizobakteri dengan tanaman bisa terjadi lebih awal in vitro diduga mampu memberi kesempatan rizobakteri berkolonisasi, menguasai area perakaran dan berhasil memberikan stimulus yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan awal bibit. Menurut Wei et al. 1991 dan Thakuria et al. 141 2004 P. fluorescens ES32 dan B. substilis SB3 mampu mensintesis hormon tumbuh. Pada stadia bibit diduga, kondisi pertumbuhan tanaman masih berada pada stadia kurva pertumbuhan awal yang cenderung masih lambat, rizobakteri mampu mempengaruhi metabolisme pertumbuhan, sehingga meningkatkan tinggi tanaman, diameter daun, lebar dan panjang daun. Menurut Timmusk 2003, Pal et al. 2004 dan Ahmad et al. 2005 P. fluorescens ES32 dan B. substilis SB3 mempunyai kemampuan melarutkan fosfat, memfiksasi nitrogen, memproduksi auksin dan sitokinin yang bermanfaat bagi tanaman. Respon pertumbuhan tersebut tidak nampak pada stadia tanaman muda di rumah kaca Tabel 6.3; Tabel 6.4 dan Gambar 6.1 - 6.5. Hal tersebut diduga karena pada bibit umur 2 bulan ritme pertumbuhannya sudah mulai memasuki kurva pertumbuhan cepat, metabolisme laju pertumbuhan tanaman sudah dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor yang komplek. Pada stadia ini, bibit sudah aktif berfotosintesa dan interaksi dengan kerja enzim juga makin rumit. Kokultur rizobakteri pada stadia planlet siap aklimatisasi 1-2 MSbA merupakan stadia dini dari bibit tanaman pisang berasosiasi dengan rizobakteri. Pengkolonian akar oleh rizobakteri PGPR seawal mungkin diharapkan mampu mencegah pengkolonisasian akar oleh mikroba patogen. Inkorporasi Rizobakteri-tanaman Pisang Sejak In Vitro Mampu Menekan Keparahan Layu Fusarium Fusarium oxysporum Schlecht f.sp cubense Pada pisang Rajabulu, asosiasi dua jenis rizobakteri B.subtilis SB3 dan P. fluorecens ES32 menekan gejala Foc lebih baik daripada bakterisasi dengan rizobakteri tunggal atau tanpa rizobakteri Tabel 7.1 - 7.5; Gambar 7.6 dan 7.7. Sedangkan pada pisang Tanduk asosiasi dengan rizobakteri secara tunggal B. subtilis SB3 atau P. fluorecens ES32 lebih baik daripada asosiasi dua jenis rizobakteri Tabel 7.6 – 7.10; Gambar 7.8. Mekanisme penekanan tingkat keparahan penyakit layu Fusarium oleh agen pengendali hayati tersebut diduga terjadi secara langsung melalui kompetisi persaingan nutrisi atau kemampuan agen memproduksi metabolit sekunder seperti siderofor, sianida, enzim ekstraseluler, senyawa antibiotik atau secara tidak langsung dengan menginduksi resistensi tanaman terhadap infeksi patogen Alstrom dan Burn 1989; Timmusk 142 2003; Cho et al. 2003; Zhang 2004; Saravanan et al. 2004; Tsuge et al. 2005; Mizumoto dan Shoda 2007. Perbedaan respon asosiasi rizobakteri di antara dua kultivar pisang yang diuji terhadap penekanan gejala Foc, terletak pada kemampuan sinergisme antara pertumbuhan dan perkembangan rizobakteri untuk mengkolonisasi daerah perakaran tanaman lebih awal. Penekanan gejala Foc ditentukan pula oleh kemampuan rizobakteri untuk tumbuh lebih cepat dalam mencapai kapadatan yang tinggi di daerah akar dibanding pertumbuhan dan kolonisasi Foc. Setiap agen pengendali tersebut diduga mempunyai mekanisme yang berbeda dalam memanfaatkan nutrisi, eksudat akar dan substrat selulosa di akar atau di dekatnya yang bergantung pada karakter kultivar pisang tersebut. Perbedaan kolonisasi rizobakteri dapat disebabkan pengaruh kesesuaian interaksi antara rizobakteri dengan inangnya tanaman pisang. Rizobakteri yang kompatibel dengan inangnya akan tumbuh dengan cepat. Kolonisasi rizobakteri diduga juga berhubungan dengan spesifikasi morfologi akar inang, komposisi nutrisi dari eksudat akar dan ukuran ruang interselular Sekar dan Kandavel 2010. Kepadatan populasi rizobakteri yang tinggi dapat berfungsi sebagai pesaing nutrisi, mengendalikan persaingan karbon dalam menghambat perkecambahan spora Foc, dalam kondisi stres Fe bakteri akan mensintesis siderofor yang mempunyai daya ikat tinggi ion Fe 3+ , juga perannya terhadap unsur mikro yang lain Cu, Mn, dan Zn, serta kemampuan mensintesis enzim ekstraseluler dan senyawa antibiotik sehingga mampu menekan Foc.

IX. KESIMPULAN UMUM DAN SARAN

Dari hasil penelitian kultur jaringan dan kokultur pisang Tanduk dan pisang Rajabulu dapat disimpulkan secara umum sebagai berikut: 1. Penambahan TDZ 0.09 mgl pada media induksi mampu menumbuhkan tunas lateral 1 bulan lebih awal untuk pisang Rajabulu dan 3 bulan lebih awal untuk pisang Tanduk dibandingkan tanpa TDZ. 2. Media multiplikasi untuk mendapatkan tunas yang vigor dan viabel dari media dengan komposisi sitokinin dan auxin pada media M2 BA 1 mgl dan IAA 0.25 mgl dan M3 BA 2 mgl dan IAA 0.5 mgl dilanjutkan subkultur sekali ke M0 untuk pisang Rajabulu sedangkan untuk pisang Tanduk harus disubkultur dua kali ke M0. 3. Kokultur rizobakteri-eksplan secara in vitro pada stadia planlet lebih baik daripada stadia multiplikasi semua eksplan gagal tumbuh. Persentase keberhasilan kokultur menggunakan B. subtilis SB3 50-100 lebih baik daripada P. fluorescens ES32 0-66 serta mampu meningkatkan multiplikasi tunas pada media M0, walaupun regeneran pada subkultur berikutnya sangat rendah 25 sehingga tidak menguntungkan. 4. Secara komersial kokultur rizobakteri-planlet dapat dilakukan 1-2 minggu sebelum aklimatisasi dan memberikan hasil lebih baik daripada secara in vivo 0 MSbA terhadap variable pertumbuhan bibit. 5. Asosiasi rizobakteri pada pisang Rajabulu dan pisang Tanduk sejak in vitro 1-2 MSbA mampu menekan Disease Severity akibat cendawan Fusarium oxysporum f.sp cubense dilihat dari keparahan bonggol Rhizome Discoloration dan gejala layu daun Leaf Symptom. Asosiasi pada pisang Rajabulu dicapai pada perlakuan rizobakteri campuran B.subtilis SB3 dan P. fluorecens ES32 dan pada pisang Tanduk pada perlakuan rizobakteri secara tunggal B. subtilis SB3 atau P. fluorecens ES32. 6. Pisang Tanduk mempunyai karakter lebih tahan kategori keparahan sangat ringan terhadap serangan Foc dibandingkan pisang Rajabulu kategori keparahan berat berdasarkan perlakuan tanpa rizobakteri. 144 Saran. Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut: • Dalam melakukan perbanyakan kultur jaringan pisang, hendaknya komposisi media kultur jaringan disesuaikan dengan karakter bahan eksplan kultivar, jenis eksplan dan stadia kultur induksi, multiplikasi dan morfogenesis tunas. • Teknik aplikasi kokultur secara in vitro perlu dicobakan pada kultivar pisang lainnya dengan modifikasi perlakuan-perlakuan yang disesuaikan dengan karakter dari kultivar pisang tersebut. DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 1997. Plant Pathology. San Diego; 4 th Ed. Academic Press. Inc. New York, USA Ahmad F, Ahmad I, Khan MS. 2005. Indole acetic acid production by the indigenous isolate of Azotobacter and fluorescent pseudomonad in the presence and absence of tryptophan. Turk. J. Biol. 29:29-34 Alstrom S, Burns RG. 1989. Cyanide production by rhizobacteria as a possible mechanism of plant growth inhibition. Biol. Fertil Soils 7: 232-238 Alstrom S. 1987. Factor associated with detrimental effects of rhizobacteria on plant growth. Plant and Soil. 102:3-9. Arinaitwe G, Rubaihayo PR, Magambo MJS. 2000. Proliferation rate effects of cytokinins on banana Musa spp. cultivars. Sci. Hort. 86: 13-21. Baker KF, Cook RJ. 1974. Biological control of plant pathogens.: W.H Freeman and company. San Fransisco 433p Bakker PAHM, Peer R, Schipper B. 1990. Specificity of Siderophores and Siderophore Receptors and Biocontrol by Pseudomonas spp. 131-142. In D. Hornby edt. Biological Control of Soil-Borne Plant Pathogens. CAB International. England. Banerje N, Vuylsteke D, De Langhe E. 1986. Meristem tip culture of Musa: Histological studies of shoot but proliferation. In Withers LA, Anderson PS. eds. Plant tissue culture and its agricultural aplication. Butterworths, London. 139p Barka EA, Gognies S, Nowak J, Audran JC, Belarbi A. 2002. Inhibitory effect of endophyte bacteria on Botrytis cinerea and its influence to promote the grapevine growth. Biol. Contrl. 24:135-142. Barker WG, Steward FC. 1962. Growth and development of the banana plant. The growing regions of the vegetative shoot. Ann. Bot. 26: 386-411. Bhojwani SS, Razdan MK. 1983. Plant Tissue Culture: Theory and Practise. Elsivier Science Publishing Company, Inc., Amsterdam. 334p. [BPS]. Biro Pusat Statistik. 2000. Statistik Indonesia. Jakarta. [BPS]. Biro Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia. Jakarta. [BPS]. Biro Pusat Statistik. 2008. Statistik Indonesia. Jakarta. [BPS]. Biro Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia. Jakarta. [BPS]. Biro Pusat Statistik. 2010. Statistik Indonesia. Jakarta. Cachinero JM, Hervas A, Jimenez-Diaz RM, Tena M. 2002. Plant defence reactions againts Fusarium wilt in chickpea induced by incopatible race 0 of Fusarium oxysporum f.sp ciceris and non-host isolates of oxysporum. Plant. Pathol. 51:765-776. 146 Campbell CL, Madden JW. 1990. Introduction to Plant Diseases Epidemiology. New York: JW Sons Campbell R. 1985. Plant Microbiology. Department of Botany, University of Bristol. London. Cho SJ, Lee SK, Byeong JC, Kim YH. 2003. Detection and characterization of the Gloeosporium gloeosporioides growth inhibitory compound iturin A from Bacillus subtilis strain KSO3. FEMS Microb. Letter. 223: 47-51 Cordiero M. 1994. Scale for Rating The Internal Corm Symptoms Caused by Fusarium wilt.in: Dr Jones, editor. The Improvement and Testing of Musa: A Global Partnership. Proceeding of the Global Conference of International Musa Testing Program held at FHIA, Honduras. INIBAB.p 284 Damasco DP, Barba RC. 1985. In vitro culture of Saba banana Musa balbisiana cv Saba BBB. Di dalam:Biotechnology in International Agricultural Research. Proceeding of the Inter-Center Seminar on International Agricultural Research Center IARCs and Biotechnology; Manila, Philippines 23-27 April 1984. Manila, Philippines. hlm 41-44. [Deptan] Departemen Pertanian RI. 2007. Pusat Data dan Informasi Pertanian. Jakarta. [Ditlinhorti] Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura. 2005. Luas serangan organisme penganggu utama tanaman pisang. hhtpwww.deptan.go.idditlinhorti Duitman EH, Hamoen LW, Rembold M, Venema G, Seitz H, Saenger W, Bernhard F, Reinhardt R, Schmidt M, Ullrich C, Stein T, Leenders F, Vater J. 1999. The mycosubtilin synthetase of Bacillus subtilis ATCC6633: A multifunctional hybryd between a peptide synthetase, an amino transferase, and a fatty acid synthase. PNAS. Vol. 96 23: 13294– 13299 Egamberdieva D. 2008. Plant Growth Promoting of Rhizobacteria isolat from Wheat and Pea Grown in Loamy Sand Soil. Uzbekistan. Turk. J. Biol. 32: 9-12. Eliza. 2004. Pengendalian layu Fusarium pada pisang dengan bakteri perakaran graminae [Thesis] Institut Pertanian Bogor. Epp D. 1987. Somaclonal variation in banana: a case study with Fusarium wilt. Di dalam: Persley GJ, De Lange EA ed. Banana and Plantain Breeding Strategis. Canbera: ACIAR Publ, 140-150. Ernawati A, Purwito A, Suketi K. 1994. Studi Perbanyakan Cepat Pisang Rajabulu, Pisang Ambon Kuning dan Pisang Barangan dengan Teknik Kultur Jaringan laporan penelitian. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Ernawati A, Rubyanto, Gunawan LW, Purwito A, Sukma D. 2000. The Micropropagation of Banana. Bul. Agron. 26 3 8-14 147 Frommel MI, Nowak J, Lazarovita. 1991. Growth Enhancement and Developmental Modifications of in Vitro Grown Potato Solanum tuberosum ssp. Tuberosum as Affected by a Nonfluorescent Pseudomonas sp. Plant. Physiol. 96:928-936 Frommel MI, Nowak J, Lazarovita. 1993. Treatment of potato tubers with a growth promoting Pseudomonas sp: Plant growth responses and bacterium distribution in the rhizosphere. Plant and Soil 150:51-60 Gamborg OL, Shyluk JP. 1981. Nutrition media and characteritics of plant cell and tissue culture. dalam Thorpe edit. Plant Tissue Culture Methods and Aplication for Agriculture. Academic Press. New York. George EF, Sherrington PD. 1988. Plant Propagation by Tissue Culture. Exegetic Ltd. Eversley. England. 709p Glick BR, Patten CL, Holguin G, Panrose DM. 1999. Biochemical and genetic Mechanisms used by plant growth promoting bacteria. Imperial College Pr London Goto M. 1990. Fundamental of bacterial plant pathology. Yokendo Ltd. Tokyo. Gowen S. 1995. Bananas and Plantains. Chapman Hall. London. Gubbuk H, Pekmezci M. 2004. In Vitro Propagation of Some New Banana Types Musa spp.. Turk. J. Agric. 28 :2004: 355-361 . Gunawan LW. 1988. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Bioteknologi. IPB. Bogor. Haas D dan Défago G. 2005. Biological control of soil-borne pathogens by fluorescent pseudomonads. Nat. Rev. Microbiol. Switzerland . Hallman J, Quadt-Hallman A, Mahafee WF, Kloepper JW. 1997. Bacterial endophytes in agricultural crops. Can. J. Microbiol. 43: 895-914 Haq I, Dahot MU. 2007. Micro-propagation efficiency in banana Musa sp. under different immersion systems. Pak. J. Biol. Sci. 105:726-733. Hartman HT, Kester DE. 1983. Plant Propagation, Principles and Practices. 4 th ed. Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. 727 p. Hasan A, Pantastico EB. 1990. Banana. Fruit development, postharvest physyology, handling marketing in ASEAN. Asean Food Handling Bureau. Kuala Lumpur, Malaysia. Hemming BC. 1990. Bacteria as antagonis in biological control of plant pathogen. In Baker RR, Dunn PE. Edit. New direction in biological control Alternatives for suppressing agricultural pest and diseases. Alan R. Liss, Inc. NewYork. Hirimburegama K, Gamage N. 1997. Cultivar specificity with to in vitro micropropagation of Musa spp banana and plantain. J. Hort. Sci. 722: 205-211. Huang JS. 2001. Plant Pathogenesis and Resistance. Biochemistry and Physiology of Plant-Microba Interactions. Kluwer Academic Publishers.