KontroversiI Di Seputar Otentisitas Nahwu

KONTROVERSI DI SEPUTAR OTENTISITAS NAHWU
Oleh Muhbib Abdul Wahab

‫ملخص البحث‬
:‫ ومن بي ها جدال يدور حول أصالة ال حو‬،‫يعتر ال حو ص اعة أو علما حافا بااختافات‬
‫ وخاصة بام طق اأرسطي؟ وي ذا امضمار‬،‫أص اعة العرب و أم ص اعة متأثرة بالفلسفة اليونانية‬
)‫ فأوها يرى أن ال حو ص اعة أصيلة جاء بـها العرب واستخرجوا بـها من ديوانـهم (الشعر‬.‫ثاثة أقوال‬
،‫ وإما ي متأثرة بام طق اأرسطي‬،‫ والثاي يقول إن ال حو ليس ص اعة عربية حتة‬.‫والقرآن الكرم‬
‫ وأما القول الثالث فيحاول أن جعل ال حو ص اعة نشأت وتطورت أصا‬.‫وفضا عن مقواتـ العشر‬
‫ م تأثرت إثر احتكاك العرب‬،‫من صميم الفكر اللغوي ع د العرب م طقهم الطبيعي ا الفلسفي‬
‫ فالرأي اأخر و‬. ‫بالفلسفة اهلي ية (اليونانية) بام طق اأرسطي ي بعض م ا ج ا ي جو ر‬
‫ اللهم إا أن الدراسة ال حوية ي امستقبل حاجة ماسة إى توظيف ال حو ا ت ظر ال حو‬،‫اأرجح‬
‫ ما مكن الطاب من استخدام ي‬،‫وجعل حوا تعليميا سياقيا أكثر من حو نظري علمي فلسفي‬
.‫تطوير مهاراتـهم اللغوية‬
Kata Kunci: Kontroversi, Otentisitas Nahwu, Logika Natural, Logika Formal,
Metode dan substansi nahwu.
Pendahuluan
Secara historis, nahwu merupakan ilmu bahasa Arab yang pertama kali
menarik perhatian para ulama untuk mengkaji dan mengkodofikasikannya. Perhatian
yang intens terhadap kodifikasi nahwu disebabkan oleh semakin meluasnya wilayah
kekuasaan Islam. Pemeluk Islam semakin plural; Islam tidak hanya dianut oleh

orang-orang Arab, tetapi juga dianut oleh orang-orang ‘ajam (non-Arab). Hal ini,
menurut Tammâm Hassân (1918-sekarang), mengimplikasikan terjadinya banyak
fenomena lahn (kesalahan berbahasa, incorrection) yang dikhawatirkan dapat
merusak pembacaan dan pemahaman mereka terhadap bahasa Al-Qur‘an.1


Penulis adalah Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) dan dosen Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan (FITK) dan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
1
Tammâm Hassân (selanjutanya disebut: Tammâm) menjelaskan setidak-tidaknya ada tiga
faktor yang menyebabkan munculnya nahwu, yaitu: agama, nasionalisme (Arab), dan politik. Faktor
agama terlihat dari semangat umat Islam untuk senantiasa menjaga kemurnian (orisinalitas dan
otentisitas) Al-Qur‘an dari berbagai kemungkinan penyimpangan dan manipulasi, dan sekaligus dari
kesalahan yang dilakukan oleh para muallaf nonArab. Nahwu disusun dengan tujuan melayani
kepentingan umat Islam untuk memahami dan memaknai Al-Qur‘an. Faktor nasionalisme Arab
tercermin dari kegigihan umat Islam dan bangsa Arab untuk memajukan kebudayaan mereka dan
sekaligus menunjukkan identitasnya sebagai peradaban baru di tengah pergumulannya dengan
peradaban Sasanid dan Persia di sebelah Timur, peradaban Yunani, Yahudi, dan Romawi di Utara
(Syâm) dan Barat (Mesir), dan peradaban India yang pengaruhnya sampai di Persia. Demikian pula


1

Dengan demikian, kodifikasi dan formulasi nahwu merupakan respons
terhadap banyaknya kelasahan berbahasa Arab yang dilakukan oleh kalangan nonArab di satu pihak, dan sebagai manifestasi teologis terhadap keperluan memelihara
orisinalitas dan otentisitas Al-Qur‘an yang saat itu belum bertitik, bertanda baca, dan
berharakat. Sejarah mencatat bahwa fenomena lahn mulai banyak bermunculan pada
pertengahan abad pertama hijriyyah. Fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan
non-Arab, tetapi di kalangan anak-anak orang Arab itu sendiri.2
Dalam perkembangannya, kajian nahwu ternyata cukup dinamis dan
berkembang pesat, sehingga melahirkan tidak hanya nuhât atau nahwiyyîn (para ahli
nahwu) dari kawasan yang mulanya bukan termasuk ―geolinguistik‖ Arab, tetapi
juga memunculkan banyak aliran seperti: Bashrah, Kûfah, Baghdâd, Andalusia,
Mesir, dan Syâm.3 Dinamika pemikiran linguistik ini, tentu saja, tidak dapat
dipisahkan dari al-Qur‘an sebagai poros studi Islam dan bahasa Arab. Dalam konteks
ini, Ramadhân ‗Abd al-Tawwâb (1930-2001) menyatakan bahwa ―Kalau saja tidak

faktor politik terlihat adanya fanatisme terhadap asal-asul kewilayahan, di samping juga adanya
stratifikasi sosial politik antara etnis Arab dan kaum mawâlî (etnis nonArab, warga kelas dua). Dalam
konteks ini, kodifikasi nahwu pada mulanya merupakan sebuah upaya pembelajaran bahasa bagi
nonArab untuk dapat memahami bahasa Arab sebagai bahasa politik pada masa itu, dan sekaligus

untuk kepentingan atau tujuan memahami sumber-sumber ajaran Islam. Lihat Tammâm Hassân, alUshûl: Dirâsah Epistîmulûjiyyah li al-Fikr al-Lughawî ‘inda al-‘Arab (al-Nahwu – Fiqh al-Lughah –
al-Balâghah), (Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2000), Edisi Revisi, h. 23-28.
2
Pada masa itu tampillah Abu al-Aswad al-Du‘alî (w. 69 H) merespon fenomena lahn, terutama
dalam pembacaan ayat-ayat Al-Qur‘an dengan membuat titik sebagai tanda baca: dhammah (the point
vowel for u), fathah (the vowel point for a), kasrah (the point vowel for i) yang diletakkan pada akhir
setiap kata dalam Al-Qur‘an. Akan tetapi, usaha ini belum banyak menyelesaikan persoalan karena
pada saat itu Al-Qur‘an belum beritik dan berharakat seperti yang ada sekarang ini. Namun demikian,
usaha ini dinilai sebagai cikal bakal lahirnya ilmu nahwu. Lihat Muhammad ‗Abd al-Lathîf, ―Da‘awât
al-Tajdîd wa al-Taisîr fi al-Lughah al-‗Arabiyyah‖, diakses dari www.islamonline.com, 23 Mei 2006.
Di antara ayat Al-Qur‘an yang pernah dibaca secara salah adalah ‫سوله‬
ُ ‫كين َوَر‬
ٌ ‫أ ََ َن اهَ بَ ِر‬
ُ ‫يء من‬
َ ‫الم ْش ِر‬
(QS. al-Taubah [9]: 3). Kata ‫سوله‬
ُ ‫ َوَر‬dibaca kasrah –paralel dengan kata sebelumnya, ‫كين‬
ُ
َ ‫—الم ْش ِر‬
padahal seharusnya dibaca dhammah. Setelah mendapat laporan dari seorang Arab Badui mengenao

lahn dalam pembacaan ayat tersebut, khalifah ‗Umar lalu memerintahkan agar periwayatan
pembacaan Al-Qur‘an itu hanya dibolehkan bagi orang yang menguasai bahasa saja. Menurut riwayat,
sejak masih hidup, Nabi Muhammad Saw. pernah memberikan nasehat kepada para shahabatnya:
‫( أرشدوا أخاكم فقد ض َل‬Berilah petunjuk/pengetahuan kepada saudaramu karena dia telah melakukan
kesalahan). Lihat Sa‘îd al-Afghânî, Min Târîkh al-Nahwi, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), Cet. II, h. 9-10;
dan
Hâzim Sulaimân al-Hullî, ―Taisîr al-Nahwi ila ‗Ashr Ibn Madhâ‘‖, diakses dari
http://www.arabization.org.ma/downloads/ majalla/41.doc, 20 April 2007.
3
Mengenai aliran, karakteristik berikut tokoh-tokohnya, lihat Syauqî Dhaif, al-Madâris alNahwiyyah, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1976), Cet. III; dan Thalâl ‗Alâmah, Tathawwur al-Nahwi al‘Arabî fi Madrasatay al-Bashrah wa al-Kûfah, (Beirût: Dâr al-Fikr al-Lubnânî, 1993): dan ‗Azîzah
Fawwâl Babtî, Min Târîkh al-‘Arabiyyah, (Tripoli-Lebanon: Dâr al-Insyâ‘, 1983).

2

ada Al-Qur‘an niscaya bahasa Arab tidak akan eksis dalam bentuknya seperti
sekarang ini )‫العربية‬

‫(لوا القرآن لما كانت‬.‖

Al-Qur’an sebagai Poros Kajian Nahwu

Al-Qur‘an merupakan acuan nilai, sumber inspirasi dan motivasi berbagai studi
ilmu-ilmu keislaman dan bahasa Arab. Mempelajari nahwu bukan sedekar untuk bisa
membaca al-Qur‘an, tetapi juga memahami, menafsirkan ayat-ayat al-Qur‘an, dan
mengambil kesimpulan hukum-hukum agama yang terkandung di dalamnya. Semua
studi yang terkait dengan al-Qur‘an, seperti tafsir, fiqh, ushûl fiqh, ‘ulûm al-Qur’ân,
tasawuf,

dan

sebagainya

pada

dasarnya

didedikasikan

untuk

memahami,


menafsirkan, menghayati, dan meningkatkan kualitas pengamalan ajaran Islam
dalam kehidupan sehari-hari‖.4 Karena itu, posisi nahwu dalam bingkai ilmu-ilmu
keislaman adalah ilmu alat (’ilm al-âlah) atau ilmu bantu yang, antara lain, menjadi
salah satu syarat yang harus dikuasai oleh mufassir (penafsir al-Qur‘an).
Kajian dan penelitian tentang nahwu tidak hanya mengantarkan kita kepada
perkenalan dengan berbagai madzhab (aliran) nahwu, sebagaimana madzhab fiqh,
tetapi juga memperlihatkan kepada kita betapa nahwu menjadi ―lapangan terbuka‖
bagi penambangan dan pengembangan pemikiran linguistik (al-fikr al-lughawî) di
satu segi, dan di segi yang lain, warisan pemikiran nahwu dari thabaqah (generasi,
angkatan) pertama pada akhir abad pertama Hijriyyah hingga generasi ketujuh pada
abad ketiga hijriyyah, menurut Tammâm, ternyata memperlihatkan sebuah jaringan
keilmuan (scientific networking) yang takterpisahkan satu sama lain dan saling
melengkapi, meskipun di antara para tokoh nahwu terjadi perbedaan pendapat dan
―baku kritik‖.5 Hal ini menunjukkan bahwa nahwu memiliki daya tarik tinggi
Ramadhân ‗Abd al-Tawwâb, Fushûl fi Fiqh al-‘Arabiyyah, (Kairo: Maktabah al-Khânijî,
1987), Cet. III, h. 108-9.
5
Menurut Tammâm, para nuhât memiliki ―nasab keilmuan‖ yang jelas, sehingga membentuk
semacam ―pohon keilmuan‖ yang bercabang dan berdahan lebat. Hal ini kemudian mengundang para

ulama untuk menulis sejarah, aliran pemikiran, dan karakateristiknya. Misalnya saja, Akhbâr alNahwiyyîn al-Bashriyyîn karya al-Sîrâfî (w. 368 H); Marâtib al-Nahwiyyîn karya Abu al-Thayyib alLughawî (w. 351 H); Thabaqât al-Nahwiyyîn wa al-Lughawiyyîn karya al-Zubaidî (316-379 H); dan
Bughyat al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyîn wa al-Nuhât karya al-Suyûthî (w. 911 H).
―Pohon tokoh‖ nahwu itu diilustrasikan Tammâm berpangkal dari ‗Alî ibn Abî Thâlib (w. 40
H), dilanjutkan oleh Abu al-Aswad al-Du‘alî, Yahya ibn Ya‘mur (w. 129 H), lalu Abû ‗Amr ibn al‗Alâ‘ (w. 154 H) dan Ibn Abî Ishâq (w. 117 H), lalu ‗Îsa ibn ‗Umar (w. 149 H) yang memiliki banyak
murid seperti al-Khalîl ibn Ahmad, Sîbawaih, al-Ru‘âsî (187 H), dan Abû Zaid al-Anshârî (w. 215 H).
Selain itu, Sîbawaih juga berguru kepada al-Khalîl, Yûnus ibn Habîb al-Bashrî (w. 186 H), dan al4

3

sehingga menyedot banyak perhatian, tidak hanya dari kalangan bangsa Arab, tetapi
juga non-Arab.
Menarik dicatat bahwa sejarah perkembangan ilmu-ilmu bahasa Arab
membuktikan bahwa perhatian penelitian bahasa pada mulanya lebih banyak
difokuskan pada upaya pemahaman kalam (fahm al-kalâm) daripada memproduksi
wacana pemikiran (intâj al-kalâm). Hal ini, menurut Tammâm, dibuktikan oleh
terlambatnya kemunculan ilmu balâghah daripada ilmu nahwu. Demikian

pula

kajian morfologi, tatakata (‘ilm al-sharf) dan sintaksis, tatakalimat (‘ilm al-nahwi)

dalam linguistik modern, menurut Tammâm, jauh lebih dini dikembangkan daripada
kajian semantik (‗ilm al-dalâlah).6 Dengan kalimat lain, kajian nahwu idealnya tidak
berhenti pada tataran analisis struktur teks, melainkan juga dapat dijadikan sebagai
media untuk memahami dan mengembangkan makna teks dalam bentuk pemikiran
yang lebih aplikatif dan kontekstual.
Sementara itu, al-Qur‘an merupakan teks berbahasa yang paling otentik dan
otoritatif, sehingga pergumulan dengan teks al-Qur‘an dipastikan memberikan
pelajaran berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu-ilmu bahasa Arab. Oleh karena itu,
menjadi relevan ditegaskan, sebelum mengkaji sisi kontroversi nahwu, bahwa nahwu
lahir dari ―rahim teks‖ al-Qur‘an, dan didedikasikan untuk menjaga dan melestarikan
kemurnian, otentisitas dan orisinalitas al-Qur‘an.

Nahwu Tidak Murni Karya Ulama Arab?
Selain masalah definisi, otentisitas nahwu juga ―digugat‖ oleh sebagian
kalangan, antara lain orientalis Jerman, Adalbertus Merx (1889), Rundgren (1976),
Versteegh (1993), dan beberapa penulis Arab yang mendasarkan pendapatnya pada
sinyalemen ‗Abu ‗Alî al-Fârisî (w. 377 H) terhadap al-Rummânî (296-384 H) yang

Akhfasy al-Akbar (w. 177 H). Demikian pula, al-Kisâ‘î (w. 189 H) salah seorang murid al-Akhfasy
al-Awsath (w. 221 H) juga berguru kepada al-Khalîl, al-Ru‘âsî, dan Yûnus ibn Habîb al-Bashrî.

Silsilah dan nasab keilmuan ini berlanjut hingga Ibn Mâlik (600-672 H) dan Ibn Hisyâm al-Anshârî
(708-761 H). Jaringan keilmuan itu dapat terbentuk, antara lain, karena tradisi keilmuan melalui
periwayatan (al-‘ilm bi al-riwâyah), sebagaimana dalam ilmu hadits, sangat kuat. Jaringan tokoh
nahwu lebih rinci, lihat Tammâm Hassân, al-Lughah Baina al-Mi’yâriyyah wa al-Washfiyyah,
(Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2001), h. 164-166; dan Muhammad al-Thanthâwî, Nays’at al-Nahwi wa
Târîkh Asyhar al-Nuhât, (Mekkah: Maktabah Ihyâ‘ al-Turâts al-Islâmî, 2002), Cet. I, h. 60+passim.
6
Tammâm, Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab, Jilid II, (Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2006), Cet. I,
h. 210.

4

dinilainya agak berlebihan dalam memasukkan unsur filsafat dalam kajian nahwu.
Ada yang berpendapat bahwa beberapa aspek nahwu Arab merupakan hasil adopsi
atau adaptasi dari gramatika Yunani. Lebih dari itu, dapat dinyatakan pula bahwa
logika Aristoteles cukup mewarnai berbagai terma dan kategorisasi dalam kaidah
nahwu.
Kontroversi di seputar kemunculan dan perkembangan nahwu cukup menarik,
dan menyedot banyak perhatian. Namun demikian, yang menjadi substansi
permasalahan utamanya adalah mengapa dan bagaimana nahwu itu muncul dan

berkembang? Apa landasan atau dalil-dalil (adillah) epistemologi yang mendasari
perumusan dan pembakuan kaidah-kaidah nahwu itu merupakan hasil temua asli para
linguis Arab karena logika naturalnya ataukah sekedar meniru dalil-dalil
epistemologi dan logika (filsafat) yang telah ada sebelumnya (filsafat Yunani)?
Dalam konteks itu, ‗Abduh al-Râjihî (1937-sekarang) berpendapat bahwa
secara historis nahwu tumbuh dan berkembang dalam suasana intelektual umum
(munâkh aqlî ‘âmm) atau sesuai dengan logika natural (al-manthiq al-thabî’î)
sebagai acuan dasar-dasar metodologisnya. Qirâ’ât (ragam bacaan) al-Qur‘an
merupakan naql (penukilan) murni yang disandarkan pada riwayat; dalam hal ini
naql menjadi acuan bagi dasar-dasar nahwu. Pada saat yang sama, ushûl al-fiqh dan
ilmu kalam tumbuh dalam situasi pemikiran rasional, bahkan filosofis. Corak
rasional ini juga turut mewarnai penafsiran terhadap fenomena linguistik
(penggunaan bahasa Arab). Dengan kata lain, metode nahwu pada awal
pertumbuhannya bukan murni naql dan juga bukan murni ‗aql (rasional).7 Metode
nahwu merupakan perpaduan antara naql, seperti tercermin dalam prinsip al-simâ
atau al-samâ (periwayatan dari sumber terpercaya, penyaksian dan pengamatan
langsung terhadap praktik berbahasa Arab) dan penggunaan nalar (‘aql), seperti
terlihat pada prinsip atau dalil al-qiyâs (analogi) dan penjelasan-penjelasan dalam
bentuk i’lâl, ta’lîl, dan taqdîr (perkiraan) yang bernuansa spekulatif atau filosofis.


‗Abduh al-Râjihî, al-Nahwu al-‘Arabî wa al-Dars al-Hadîts: Bahts fi al-Manhaj, (Beirut: Dâr
al-Nahdhah al-‗Arabiyyah, 1986), h. 19-20.
7

5

Pada masa kodifikasi (tadwîn)8, nahwu dinilai belum memberikan batasanbatasan yang jelas mengenai tingkatan analisisnya. Tingkatan analisis (mustawayât
al-tahlîl) ini pada masa Sîbawaih masih bercampur baur dengan studi fonologi
(ashwât), morfologi (sharaf), dan nahwu itu sendiri.9 Dengan kata lain, lingkup
kajian nahwu pada masa itu belum dibatasi dan dirumuskan secara distingtif.
Masalah keterpengaruhan nahwu dengan filsafat Yunani merupakan persoalan
yang cukup substansial karena menyangkut metode penelitian dan substansi nahwu
itu sendiri. Jika nahwu dinilai banyak dipengaruhi oleh filsafat, maka dengan
sendirinya metode maupun substansi nahwu itu menjadi tidak otentik dan orisinal
atau tidak tipikal bahasa Arab. Selain itu, perlu ditegaskan bahwa logika Aristoteles
itu lebih memperhatikan aspek formal (al-janib al-syaklî/al-shûrî) daripada aspek
substansial (al-janib al-jauharî). Sementara itu, penelitian bahasa itu harus
difokuskan pada aspek substansial (materi) daripada aspek formal. Jika benar bahwa
logika Aristoteles berpengaruh signifikan terhadap nahwu, maka penelitian nahwu
menjadi semakin jauh dari realitas bahasa yang sebenarnya.10
Perlu ditegaskan bahwa pada masa perkembangan awalnya, nahwu tidak
pernah bersentuhan langsung dengan filsafat Yunani. Sejarah membuktikan bahwa
pada masa kodifikasi itu, pengaruh logika Aristoteles sama sekali tidak ditemukan di
8

Dalam sejarahnya, nahwu mengalami empat tahapan atau masa penting, yaitu: (a) masa
pembuatan dan pembentukan (thawr al-wadh’i wa al-takwîn), (b) masa pertumbuhan dan
perkembangan (thawr al-nusyû’ wa al-numuww, (c) masa kematangan dan kesempurnaan (thawr alnudhûj wa al-kamâl, dan (d) masa pentarjihan dan penyederhanaan dalam penulisan. Pembabakan
masa perkembangan nahwu oleh al-Thanthâwi tersebut, sayangnya, tidak dibarengi dengan penentuan
rentang waktu yang jelas. Tahapan pertama dimulai dari masa Abu al-Aswad al-Dualî hingga masa
Khalîl ibn Ahmad (w. 175 H). Masa ini sepenuhnya menjadi ―hegemoni‖ madzhab Bashrah. Pada
masa ini istilah nahwu digunakan untuk menunjukkan sharaf dan nahwu.
Masa kedua dimulai dari masa al-Khalîl hingga masa awal al-Mâzinî (w. 249 H., Bashri) dan
Ibn al-Sikkît (w. 244 H., Kufi). Sharaf belum terpisah dari nahwu. Pada masa ini terjadi kodifikasi
atau penyusunan buku-buku nahwu. Di antaranya yang terbesar adalah al-Kitâb karya Sîbawaih.
Masa ini ditandai juga oleh maraknya perdebatan (munâzharah) atau adu argumentasi nahwu aliran
Bashrah dan Kûfah, utamanya antara Sîbawaih dan al-Kisâ‘î (w. 189). Sedangkan periode ketiga
dimulai dari masa al-Mâzinî hingga al-Mubarrid atau al-Mubarrad (w. 285 H., Bashrî) dan Tsa‘lab
(w. 291 H., Kûfî). Pada masa ini sharaf telah berdiri sendiri sebagai ilmu, terpisah dari nahwu. Karyakarya nahwu berikut syarah atau ringkasannya bermunculan, puncaknya adalah al-Kâmil fi al-Lughah
wa al-Adab karya al-Mubarrid. Perdebatan tentang nahwu juga masih marak. Adapun periode
keempat terjadi pada masa munculnya aliran baru, Baghdâdiyyah. Disebut tarjîh karena pada masa ini
ahli nahwu cenderung melakukan perbandingan antara dua alirannya sebelumnya dan kemudian
memilih yang terkuat argumentasinya. Lihat Muhammad al-Thanthâwî, Nasy’at al-Nahwi …, h. 31-42
dan 162-166.
9
‗Abduh al-Râjihî, al-Nahwu …, h. 52.
10
‗Abduh al-Râjihî, al-Nahwu …, h. 61.

6

lingkungan sosio-intelektual bangsa Arab. Walaupun sampai sejauh ini belum dapat
dipastikan kapan karya Aristoteles di bidang logika itu dipelajari oleh kalangan
terpelajar atau ulama Arab, namun diyakini bahwa bangsa Arab berhubungan dengan
logika Aristoteles melalui dua jalur: jalur ahli nahwu Suryani dan jalur penerjemahan
karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.11 Perkenalan atau –lebih tepat—
dialog kebudayaan (al-tabâdul wa al-hiwâr al-tsâqafî) antara bangsa Arab dan
filsafat Yunani adalah sebuah keniscayaan yang secara sosio-historis berimplikasi
pada adanya ―keterpengaruhan‖ pemikiran Arab terhadap pemikiran Yunani. Akan
tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah apakah ketika nahwu mulai dirumuskan pada
awal abad kedua Hijriyyah pengaruh filsafat Yunani itu sudah sampai di dunia Arab
ataukan belum?
Istilah nahwu sendiri sudah muncul sejak masa awal Islam, tepatnya pernah
disebut-sebut sebagai ilmu oleh ‗Alî ibn Abî Thâlib (w. 40 H), meskipun dapat
dipastikan bahwa pada saat itu, konstruksi ilmu nahwu belum seperti yang
dirumuskan oleh Sîbawaih. Menurut sebuah riwayat, ‗Alî pernah menyatakan: ‫العلوم‬

.‫ والنجوم لمعرفة اأزمان‬،‫ والنحو للسان‬،‫ والطب لأبدان‬،‫ الفقه لأديان‬:‫( أربعة‬Ilmu itu ada empat:
fiqh untuk memahami agama-agama, kedokteran untuk menjaga kesehatan badan,
nahwu untuk menjaga ketepatan pembicaraan, dan astronomi untuk mengetahui
zaman).12 Pernyataan ‗Alî tersebut setidak-tidaknya mengisyaratkan bahwa pada
masa itu kesadaran dan kebutuhan untuk menjaga kefasihan bahasa Arab dari
berbagai kesalahan (lahn) sudah muncul, setidaknya istilah nahwu sebagai ilmu
untuk menjaga kefasihan pembicaraan sudah mulai dicetuskan.
Terhadap kontroversi tersebut, Tammâm Hassân (1918-sekarang) berpendapat
bahwa hal tersebut merupakan pendapat sebagian orientalis Barat yang bertendensi
untuk ―menggugurkan‖ otentisitas nahwu sebagai produk keilmuan bangsa Arab
yang genuine. Sejarah membuktikan bahwa nahwu pada masa awal pertumbuhannya
(mulai masa ‗Alî ibn Abî Thâlib) hingga masa Sîbawaih (w. 180) sama sekali tidak
terbukti adanya pengaruh Yunani. Pengaruh pemikiran Yunani pada masa itu hanya
‗Abduh al-Râjihî, al-Nahwu …, h. 62.
Fakhr al-Dîn Qabâwah, al-Tahlîl al-Nahwî: Ushûluhu wa Adillatuhu, (Kairo: al-Syarikah alMishriyyah al-‗Âlamiyyah li al-Nasyr, 2002), Cet. I,
11
12

7

tampak dalam perdebatan teologis di lingkungan istana ‗Umawi antara Yahya alDimasyqî (81-187 H), teolog Nashrani, dan para fuqahâ‘ Islam. Dalam perdebatan
itu, mereka memang kemudian memerlukan semacam ―ilmu bantu‖ berupa logika
Aristoteles. Sejauh itu, tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa seseorang yang
mengodifikasi nahwu menggunakan logika Aristoteles, di samping mereka juga tidak
memahami bahasa Yunani.
Selain itu, konstruksi/struktur bahasa Arab itu berbeda sama sekali dengan
bahasa Yunani. Dalam bahasa Yunani, misalnya, tidak dijumpai i’râb, kebebasan
dalam penyusunan struktur urutan kata, dan kata-kata Yunani tidak mengikuti wazan
(formula, moda) sharaf tertentu, selain juga tidak dijumpai dua kategori jumlah
ismiyyah (kalimat nominal) dan jumlah fi’liyyah (kalimat verbal) sebagaimana dalam
bahasa Arab.13
Menarik dicatat bahwa sejak awal kelahirannya, budaya Arab berpijak pada
teks-teks, terutama al-Qur‘an dan syair Arab, sehingga ―magnet‖ studi al-Qur‘an ini
cenderung tidak serta-merta menerima pengaruh pemikiran filsafat (Yunani) yang
cenderung menuntut penggunaan penalaran logis. Nahwu, menurut Tammâm,
memang sejalan dengan logika natural (natural logic, al-manthiq al-thabî’î). Logika
natural tidak identik dengan logika formal (formal logic, al-manthiq al-shûrî)
Aristoteles, karena logika ini merupakan pemberian Allah Swt. kepada umat manusia
dan berlaku bagi siapapun yang mendayagunakan akalnya secara benar. 14 Selain itu,
para ulama salaf, termasuk ulama nahwu, pada masa itu berpegang teguh kepada teks
(al-Qur‘an) dalam merumuskan kaidah hukum maupun kaidah nahwu, bukan kepada
logika. Mereka, menurut Tammâm, berpedoman kepada kaidah: "‫"ا اجتهاد مع النص‬
(Tidak ada ruang untuk berijtihad selama masih ada teks). Kaidah ini tidak hanya
berlaku dalam pengambilan kesimpulan hukum fiqh, tetapi juga diterapkan dalam
perumusan kaidah nahwu.15

Pemicu Kontroversi

Tammâm, Maqâlât…, Jilid II, h. 119.
Tammâm, al-Ushûl …, h. 49.
15
Tammâm, al-Ushûl …, h. 45.

13
14

8

Adalah orientalis Jerman, Adalbertus Merx (1889), orang pertama yang
menyatakan bahwa nahwu yang dikembangkan oleh bangsa Arab dipengaruhi oleh
logika formal (al-manthiq al-shûrî) Aristoteles setelah sebelumnya berkembang di
Suriah. Pengaruh tersebut terutama terlihat pada sejumlah terminalogi (istilah-istilah)
nahwu dan sistem pembagian kata.16 Pandangan orientalis ini kemudian direspon
oleh sebagian penulis Arab sendiri, baik yang pro maupun yang kontra.
Kajian Merx menyimpulkan bahwa inti keterpengaruhan nahwu oleh filsafat
Yunani itu dapat dilihat dari dua segi: metodologi (manâhij) dan terminologi
(mushthalahât). Menurut Merx, ada beberapa teori nahwu yang memiliki akar
Aristotelian, antara lain: (a) pembagian jenis kata (ism, fi’l, dan harf) yang dinilai
meniru konsep Yunani: anoma, rhema, dan sundesmos; (b) konsep i’râb, yang oleh
Merx, dihubungkan dengan kata-kata Yunani hellenizein, hellenismos atau
declension; (c) konsep dasar tentang gender (al-jins) yang membedakan antara jenis
laki-laki (mudzakkar) dan perempuan (muannats) berasal dari konsep genos; (d)
konsep zharf (kata keterangan, baik waktu maupun tempat) berasal dari konsep
Aristoteles tentang ruang dan waktu; (e) istilah hâl, dikaitkan dengan dua istilah
Yunani, yaitu: hexis dan diathesis; dan (f) konsep al-khabar (prediket) terpengaruh
oleh konsep kategoroumenon.17
Pendapat Merx tersebut tidak terlalu sulit untuk disanggah, baik secara historis
maupun substantif. Secara historis, nahwu sudah mulai terkodifikasi pada masa alKhalîl (w. 175 H) dan Sîbawaih (w. 180 H), sementara pada saat itu karya-karya
filsafat Yunani, terutama logika Aristoteles, belum diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab. Pembagian kata dalam nahwu, sebagaimana dikemukakan oleh Merx, juga
tidak benar karena gramatika Yunani itu membagi kata menjadi delapan macam,
bukan tiga.18 Merx dalam hal ini cenderung menyampuradukkan antara nahwu pada
Lihat C.H.M. Versteegh, Arabic Grammar and Qur’anic Exegesis in Early Islam, (Leiden:
E.J. Brill, 1993), h. 22-27; dan Muhammad Khair al-Halwânî, ―Baina Manthiq Aristhû wa al-Nahwi
al-‗Arabî fi Taqsîm al-Kalâm‖, dalam Majallah al-Mawrid, Edisi I, 1980.
17
C.H.M. Versteegh, Arabic Grammar…, h. 22-23; dan Zamzam A. Abdillah, ―Pro-Kontra
Pengaruh Filsafat terhadap Nahwu‖, dalam Jurnal Adabiyyat, Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga,
Vol. 1, No. 2, Maret 2003, h. 8.
18
Kedelapan klasifikasi dimaksud adalah: (1) kata benda (noun), (2) verba (verb), (3) partisipel
(ism fâ’il, participle), (4) artikel (fiqrah, article), (5) kata ganti (dhamîr, pronoun), (6) kata depan
(harf jarr, preposition), (7) kata keterangan (zharf, adverb), dan (8) konjungsi (conjunction, harf
‘athf). Sebelum Aristoteles, Plato mengklasifikasikan kata menjadi dua: kata benda dan kata kerja,
16

9

masa al-Khalîl dan Sîbawaih dengan nahwu pada masa Ibn Jinnî dan sesudahnya
yang sudah mulai terlihat jelas pengaruh fiqh dan logika dalam karyanya, alKhashâish.19 Penyampuradukan tersebut tentu tidak proporsional dan cenderung
mengada-ada. Karena itu, penilaian keterpengaruhan nahwu terhadap logika
Aristoteles tidak bisa digeneralisasi. Kalaupun ada kesamaan antara nahwu dan
gramatika Yunani, terutama dari segi substansi, maka hal itu dapat dianggap wajar
dan manusiawi, karena logika bahasa seperti adanya: subyek, prediket, obyek, dan
sebagainya merupakan logika berpikir dalam berbahasa yang berlaku secara
universal.
Senada dengan Merx, Rundgren juga berkesimpulan bahwa dalam konsep
nahwu terdapat kemiripan dengan beberapa terminologi Yunani seperti: sharf dengan
klisis (flection), i’râb dengan hellenismos (declension), musnad ilaih dengan
hupokeimenon (subject), dan khabar dengan kategoroumenon (predicate).20 Pendapat
Rundgren ini tampaknya hanya bersifat asumtif karena tidak dijelaskan atau
dibuktikan lebih jauh keterkaitan istilah nahwu dengan terminologi gramatika
Yunani tersebut. Demikian pula, Rundgren juga tidak memberikan bukti dari mana
istilah-istilah itu diambil, berikut bagaimana proses terjadinya pengambilan istilahistilah itu. Dengan kata lain, asumsi-asumsi Rundgren tidak berdasar sama sekali;
argumentasinya sangat lemah. Kelemahan argumentasinya juga terletak pada
ketidakjelasan waktu dan kronologi ―pengadaptasian‖ istilah nahwu dari gramatika
Yunani ke dalam bahasa Arab. Karena itu, pendapatnya tidak bisa diterima.
Meskipun

demikian,

Versteegh

mengajukan

teori

lain

mengenai

keterpengaruhan nahwu terhadap filsafat Yunani. Menurutnya, pengaruh filsafat
terhadap nahwu dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Pengaruh langsung
terjadi pada masa penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab
pada abad ketiga dan keempat Hijriyyah; sedangkan pengaruh tidak langsung terjadi

berdasarkan kategorisasinya mengenai segala sesuatu yang ada ke dalam zat/esensi (dzawât = asmâ’)
dan aksiden (ahdâts = af’âl). Bahkan kaum Sofistik (al-sufsathâiyyûn) telah membagi kata menjadi
empat, yaitu: (a) kata benda (termasuk sifat), (b) kata kerja/verba, (c) partikel (al-adât), dan (d)
konjungsi (‗adât al-‘athf). Lihat ‗Abdullah al-‗Uyaidî, ―al-Fikr al-Lughawî ‗inda al-Yûnân wa alIghrîq‖, diakses dari http://www.onaizah.net/majlis/t, 28 Juli 2007.
19
Lihat Versteegh Kees, Greek Elements in Arabic Linguistics Thinking, (Leiden: E.J. Brill,
1977).
20
Versteegh, Arabic Grammar…, h. 24.

10

ketika kontak peradaban Arab dengan peradaban Hellenistik (Yunani) di wilayah
emperium Bizantium (Romawi) yang dikuasai pemerintahan Islam seperti Suriah
(Syâm) dan Turki. Versteegh kemudian memberikan beberapa bukti keterpengaruhan
tersebut dengan menampilkan beberapa istilah nahwu yang ada kemiripannya dengan
terminologi Yunani berikut.21
No.

Istilah Yunani
stoicheion
hellenismos
klisis
orthe (ptosis)
metabasis
kinesis
pathe
logos/lexis
autoteleia
lekton

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Istilah Inggris
particle
declension
inflection
nominative
transitivity
vowel
sound changes
sentence/utterances
meaningfulness
meaning

Istilah Arab

‫الحرف‬
‫اإعراب‬
‫الصرف‬
‫الرفع‬
‫المتعدي‬
‫الحركة‬
‫العلل‬
‫القول‬/‫الكام‬
‫الفائدة‬
‫المعنى‬

Pendapat ketiga orientalis tersebut didukung oleh sebagai pakar bahasa Arab
seperti ‗Abd al-Rahmân al-Hâj Shâlih dan Ibrâhîm Salâmah Madkûr. Al-Hâj Shâlih
misalnya berpendapat bahwa definisi al-harf yang dikemukakan oleh Sîbawaih
merupakan peniruan pengertian sundesmos (al-ribâth). Menurut Aristoteles,
sundesmos adalah suatu kata yang tidak memiliki makna apa-apa, lalu Sîbawaih
mendefinisikan al-harf sebagai kata yang juga tidak menunjukkan pengertian
apapun, kecuali jika disandingkan dengan kata lain, seperti kata benda.22 Jika
ditelusuri lebih jauh, maka para penulis Arab yang berpedapat bahwa nahwu itu
dipengaruhi oleh filsafat Yunani itu mendapat justifikasi dari pernyataan kritis Abû
‗Alî al-Fârisî23 (w. 377 H) terhadap al-Rummânî (w. 384 H) yang dinilai berlebihan
Versteegh, Arabic Grammar…, h. 25-26; dan Zamzam A. Abdillah, ―Pro-Kontra Pengaruh
Filsafat …‖, h. 10.
22
Zamzam A. Abdillah, ―Pro-Kontra Pengaruh Filsafat …‖, h. 11.
23
Abû ‗Alî al-Fârisî (288-377 H) tidak hanya terkenal sebagai ahli nahwu, tetapi juga ahli
qirâat. Kontribusinya di bidang nahwu, antara lain, adalah penemuannya mengenai istilah isytiqâq
akbar (derivasi terbesar), yakni tiga huruf sebagai akar kata yang memiliki enam turunan (derivasi)
sebagai hasil pembolakbalikan dan kesemuanya memiliki kedekatan makna, seperti: ‫ك م‬/ – /‫ك ل م‬/
21

/‫ل م ك‬/ – /‫ل ك م‬/ – /‫م ك ل‬/ – /‫م ل ك‬/ -/‫ل‬. Namun ide ini seringkali dinisbahkan kepada muridnya,

Ibn Jinnî. Bahkan menurut Syauqî Dhaif, sebagian besar pemikirannya dalam al-Khashâish
didasarkan pada pemikiran al-Fârisî. Di antara karyanya adalah al-Hujjah fi al-Qirâ’ât al-Sab’ yang

11

dalam memasukkan unsur-unsur filsafat dalam kajian nahwu sebagai berikut: ―Jika
nahwu seperti yang dikembangkan al-Rummânî, maka ia tidak terkait sama sekali
dengan nahwu yang kami pahami; begitu pula nahwu yang kami kembangkan tidak
terkait sama sekali dengan nahwu yang ia kembangkan.”24
Pengaruh logika atau filasafat Yunani terlihat, terutama, pada nazhariyyat al‘âmil (teori âmil, faktor atau peubah) yang implikasinya terlihat pada persoalan i’râb
mahallî dan taqdîrî. Dengan teori ini, perubahan bunyi akhir suatu kata dalam
kalimat mengalami ―rasionalisasi‖: mengapa dibaca rafa’ (nominatif), nashab
(akusatif), jarr (genitif)? Ketika dirasionalisasikan, persoalan yang kemudian muncul
bukan lagi persoalan linguistik semata, tetapi berubah menjadi persoalan filosofis:
akar persoalan yang menuntut argumentasi logis atau apa di balik yang tampak di
permukaan.
Pendapat keterpengaruhan nahwu terhadap filsafat Yunani tersebut dibantah
Ibrâhîm al-Sâmarrâî25 (1923-2001). Seperti dikutip Hilâl, al-Sâmarrâî mengritik
Salâmah Madzkûr sebagai telah melakukan kesalahan dalam menentukan kronologi
waktu. Menurutnya, tidak mungkin al-Khalîl terpengaruh oleh Ishâq ibn Hunain
(215-298 H) yang menguasai bahasa Yunani dan sekaligus sebagai penerjemah,
karena keduanya tidak hidup dalam satu masa. Khalîl meninggal pada 175 atau 180
merupakan syarah terhadap Qirâ’ât al-Sab’ karya gurunya, Abû Bakar ibn Mujâhid (w. 324 H); al‘Awâmil fi al-Nahwi dan al-Îdhâh. Karya yang terakhir ini banyak memberi inspirasi kepada Ibn Jinnî
dalam bukunya, al-Luma’ fi al-Lughah al-‘Arabiyyah. Lihat Syauqî Dhaif, al-Madâris ..., h. 257-9;
dan ‗Abd al-Fattâh Ismâ‘îl Syalabî, Abû ‘Alî al-Fârisî: Hayâtuhu wa Makânatuhu Baina Aimmah alTafsîr al-‘Arabiyyah wa Âtsâruhu fi al-Qirâ’ât wa al-Nahwi, (Jeddah: Dâr al-Mathbû‘ât al-Hadîtsah,
Cet. III, 1989).
24
Ahmad Amîn, Dhuha al-Islâm, Juz II, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1974),
Cet. VIII, 293-4.
25
Ibrâhîm al-Sâmarrâî (1923-2003) adalah doktor Fiqh al-Lughah dari Universitas Sorbone
Perancis. Ia termasuk pakar linguistik dan sastra Arab asal Irak yang cukup produktif, baik dalam
menulis maupun mentahqîq. Di antara yang ditahqiq bersama koleganya, Mahdî al-Makhzûmî, adalah
Kitâb al-‘Ain karya al-Khalîl. Sedangkan di antara karyanya adalah Min Asâlîb al-Qur’ân, al-Fi’l
Zamâhuhu wa Abniyatuhu. Menurutnya, bahasa Arab itu progresif, bukan regresif. Senada dengan
Tammâm, nahwu juga mengalami perkembangan, bukan statis, layaknya bahasa yang hidup (allughah al-hayyah) pada umumnya. Ia juga mengritik penggunaan i‘râb taqdîri, ta‘lîl dan ta’wîl
warisan ulama nahwu masa lampau sebagai tidak realistis dan sulit dimengerti. Ia menyerukan
peninjauan kembali dan menganalisis materi nahwu dengan menggunakan dua metode sekaligus, yaitu
metode deskriptif dan metode historis-komparatif. Penolakannya tersebut karena pemunculan
ketiganya cenderung dibuat-buat, bukan berdasarkan fenomena dan realitas bahasa Arab. Dengan
kedua metode itu pula, ia menolak pendapat ulama terdahulu yang menyatakan bahwa nahwu disusun
karena adanya lahn (kesalahan pelafalan kata-kata dalam bahasa Arab). Padahal, menurutnya, nahwu
itu muncul karena adanya kajian terhadap Al-Qur‘an. Lihat Ahmad Alwânah, Ibrâhîm al-Sâmirrâî:
‘Allamah al-‘Arabiyyah al-Kabîr wa al-Bâhits al-Hujjah, (Damaskus: Dâr al-Qalam, cet. I, 2001).

12

H, sedangkan oleh Ishâq ibn Hunain baru lahir kurang lebih pada 215 H. Selain itu,
bahasa Arab dan bahasa Yunani memiliki karakteristik dan gramatika yang
berbeda.26 Dari segi simbol-simbol bunyi/huruf saja, bentuk tulisan bahasa Yunani
dan cara menuliskannya berbeda sama sekali dari tulisan bahasa Arab. Bahasa
Yunani ditulis dari arah kiri ke kanan dengan aksara Latin, sedangkan Arab dari
kanan ke kiri dengan huruf-huruf Arab.
Oleh karena itu, Mahdî al-Makhzûmî (w. 1993), penahqîq Kitab al-‘Ain karya
al-Khalîl, misalnya berpendapat bahwa tidak seharusnya nahwu ―tunduk‖ atau
mengikuti pola berpikir filosofis, karena nahwu merupakan studi deskriptif aplikatif.
Nahwu terus berkembang karena bahasa Arab selalu mengalami perkembangan.
Nahwu berjalan mengikuti perkembangan dan karakteristik bahasa Arab itu sendiri.
Tugas ahli nahwu adalah mengamati, menguji, dan merumuskan kaidah-kaidah
sesuai dengan karakter dan penggunaan bahasa Arab itu oleh para penuturnya
sendiri.27

Menyikapi Kontroversi
Dalam menyikapi persoalan kontroversial tersebut, Tammâm cenderung
menegaskan bahwa logika natural (al-manthiq al-thabî’î) yang dimiliki oleh bangsa
Arab memungkinkannya untuk berpikir secara alami sehingga, menurut Tammâm,
mampu: (a) membedakan antara yang konkret dan abstrak (al-tafrîq baina al-hissi
wa al-mujarrad); (b) memahami relasi graduatif (al-‘alâqât al-tadrîjiyyah), seperti:
besar—lebih besar, kecil—lebih kecil, milimeter—sentimeter—meter—kilometer,
dan sebagainya; (c) memahami relasi genealogis, sehingga dapat membedakan
antara: ‫ابن‬-‫أم‬-‫( ;أب‬d) memahami relasi paradoksal, seperti: timur-barat, di bawah-di
atas, besar-kecil, dan sebagainya; dan (e) memahami relasi kategoris, seperti: hewan,
tumbuh-tumbuhan, benda, benda cair, benda padat, dan sebagainya. Demikian pula,
melalui logika natural, menurut Tammâm, seseorang dapat mengerti relasi di antara
pernyataan, sehingga dapat mengetahui hubungan antara sinonim, antonim, referensi,
‗Abad al-Ghaffâr Hâmid Hilâl, ‘Ilm al-Lughah baina al-Qadîm wa al-Hadîts, (Kairo:
Mathba‘ah al-Jablâwî, 1986), Cet. I, h. 327-8.
27
Mahdî al-Makhzûmî, Fi al-Nahwî al-‘Arabî Naqd wa Tawjîh, (Beirût: Dâr al-Râid al-‗Arabî,
1986), Cet. II, h. 19.
26

13

konsekuensi logis, kesimpulan, dan sebagainya. Dengan logika natural pula, bangsa
Arab melalui samâ’ (instrumen penyimakan, periwayatan, dan pengamatan langsung
dari fushahâ’ al-Arab) dalam menetapkan dalil dalam merumuskan kaidah nahwu.28
Hingga akhir abad ketiga Hijriyyah, nahwu sama sekali tidak terpengaruh
filsafat Yunani. Kebudayaan Islam mengalami perkembangan yang signifikan setelah
al-Ma‘mûn (786-833 M) menjadi khalifah ‗Abbâsiyyah. Menurut Tammâm,
kebudayaan Yunani pada masa al-Ma‘mûn cukup memberikan warna terhadap
kebudayaan Islam. al-Ma‘mûn yang Mu‘tazili memiliki kecintaan yang mendalam
terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan. Karena itu, ia menaruh perhatian besar
terhadap gerakan penerjemahan karya-karya filsafat dari bahasa Yunani ke dalam
bahasa Arab. Implikasi dari gerakan ini adalah terjadinya transformasi kebudayaan
Islam dari karakternya yang hanya berbasis dalil kitab suci (naqlî) menjadi berbasis
wahyu dan akal. Sebagian besar ahli nahwu yang beraliran Mu‘tazilah kemudian
cenderung menggunakan penalaran logis dalam membahas nahwu, mulai al-Farrâ‘
hingga Abû ‗Alî al-Fârisî dan Ibn Jinnî pada akhir abad keempat Hijriyyah. Hal ini,
antara lain, terlihat dari intensitas penyelenggaraan debat (munâzharah) antara ahli
logika dan ahli bahasa seperti debat antara al-Sîrâfî (280-368 H) yang Mu‘tazili dan
Mattâ ibn Yûnus al-Qinnâ‘î yang terjadi di majlis Menteri Abu al-Fadhl ibn Ja‘far
ibn al-Furât pada 320 H.29
Tammâm cenderung berpendapat obyektif mengenai keterpengaruhan nahwu.
Menurutnya, pengaruh logika Aristoteles terhadap nahwu dapat dilihat dari dua segi.
Pertama, segi kategori-kategori (maqûlât) dan aplikasinya dalam pemikiran nahwu.
Kedua, analogi-analogi (aqyisah) dan argumentasi-argumentasi (ta’lîlât) dalam
berbagai persoalan nahwu. Pada saat yang sama, Tammâm menegaskan bahwa
dalam kajiannya, Aristoteles mencampuradukkan antara nahwu dan logika.
Kesepuluh kategori logika yang dibuat Aristoteles, yaitu: substansi, kuantitas,
kualitas, kala (waktu), ruang (tempat), idhâfah, dan seterusnya turut mewarnai kajian
bahasa, khususnya nahwu.30

Tammâm, al-Ushûl …, h. 47-48.
Tammâm, al-Ushûl …, h. 52; dan ‗Abd al-Mun‘im Fâiz, al-Sîrâfî al-Nahwî fi Dhaw Syarhihi
li Kitâb Sîbawaih, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1982), Cet. I, h. 31.
30
Tammâm, Manâhij al-Bahts fi al-Lughah, (Casablanca: Dâr al-Tsaqâfah, 1979), h. 25-26.
28

29

14

Akibat dari keterpengaruhan tersebut, para ahli nahwu melihat bahasa seperti
melihat sesuatu (asyyâ’) dan benda yang dapat diindera. Mereka memahami kata
sebagai substansi dan materi. Substansi kata itu tidak berubah kecuali dengan i’lâl
(diversi) dan ibdâl (penggantian). Karena itu, asal atau substansi kata ‫ نَهى‬- ‫ال‬
َ َ‫ق‬
َ
adalah ‫ قَ َو َل‬dan ‫نَ َهي‬. Demikian pula, kata ‫ قاَض‬asalnya adalah ‫ قاضي‬dan seterusnya.
َ
ُ
Selain itu, mereka juga mengkaji substansi kalimat (jawhar al-jumlah). Mereka
kemudian memunculkan ide tentang perkiraan (taqdîr) apa yang tidak tampak pada
substansi, sehingga fâ’il pada kalimat berikut: ‫ذهب‬
‫ محمد‬adalah dhamîr mustatir
َ
(kata ganti tersirat) yang diperkirakan berupa ‫هو‬.31 Pemikiran-pemikiran filosofis
seperti inilah, termasuk pemikiran mengenai teori ‘âmil (word governing another,
factor), yang kemudian memperoleh kritik yang cukup telak dari Ibn Madhâ‘.
Bahkan melalui kritiknya itu, ia menyatakan: ―Tujuan saya dalam buku ini adalah
menghapuskan apa yang tidak diperlukan oleh ahli nahwu; dan saya tegaskan bahwa
mereka itu telah berkonsesus (ijmâ’) dalam kesalahan.‖32 Namun demikian, menurut
Tammâm, kritik Ibn Madhâ‘ (w. 592 H) terhadap nahwu itu juga dilakukan dengan
menggunakan logika, meskipun ia telah menganggap rusak penggunaan logika dalam
pemikiran nahwu. Yang dipertanyakan dan sekaligus dikritik dari pemikiran Ibn
Madhâ‘ adalah anggapannya yang tidak berdasar bahwa ‘âmil nahwî itu adalah
pembicara atau pengguna bahasa itu sendiri (mutakallim).
Karena itu, menurut Tammâm, meskipun telah menafikan (menghilangkan)
suatu ‘âmil, ia justeru membuat ‘âmil lain, yaitu mutakallim, yang tidak dapat
dibenarkan oleh kajian linguistik modern, karena mutakallim itu tidak marafa’kan
dan menashabkan dengan sendirinya, melainkan karena adanya kaidah yang
mengharuskan seperti itu.33 Kritik Tammâm terhadap tokoh pengritik nahwu
tersebut, Ibn Madhâ‘, penting dikemukakan di sini karena nahwu memang
merupakan ―lahan subur‖ bagi munculnya perbedaan pendapat, dan ketika mengritik,

31
32

I, h. 58.
33

Tammâm, Manâhij al-Bahts …, h. 26-27.
Ibn Madhâ‘, al-Radd ‘ala al-Nuhât, Tahqîq Syauqî Dhaif, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1947), Cet.
Tammâm, Manâhij al-Bahts …, h. 31.

15

Tammâm tidak sekedar menyatakan ketidaksetujuannya dengan pendapat tokoh
sebelumnya, melainkan memberi argumentasi akademik dan solusi alternatif.
Di samping itu, Tammâm secara proporsional juga menunjukkan aspek-aspek
pemikiran filosofis yang mempengaruhi nahwu. Aspek-aspek dimaksud meliputi: (a)
pemberian batasan atau definisi; dalam hal ini para ahli nahwu berusaha memberikan
batasan konsepsional berdasarkan definisi kualitatif dengan jenis (al-jins) dan
pemisahan (al-fashl); (b) pendasaran pada klasifikasi rasional dalam penyajian
masalah-masalah nahwu; (c) penggunaan istilah-istilah logika dalam pembahasan
nahwu, seperti: setiap jenis

dapat dibagi menjadi beberapa macam atau setiap

macam dapat dibagi menjadi persona-persona; yang dibagi (al-maqsûm) merupakan
fakta terhadap macam-macam dan persona-persona, dan jika tidak merupakan fakta,
maka hal itu bukan merupakan bagian darinya; (d) komentar para komentator
terhadap ungkapan redaksi dalam karya-karya nahwu yang berisi pembahasan
mengenai analogi-analogi logika (al-aqyisah al-manthiqiyyah).34

Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kontroversi di
seputar nahwu terjadi karena sejarah pertumbuhan dan perkembangan nahwu kurang
dikritisi dan dilacak hingga masa-masa paling paling awal. Dari awal kelahirannya
hingga akhir abad ketiga Hijriyyah, nahwu sama sekali tidak terpengaruh oleh
filsafat dan logika Yunani. Nahwu merupakan produk pemikiran linguistik Arab
murni, sebagai bentuk respon terhadap pentingnya pelesatarian dan pengawalan alQur‘an. Pada saat yang sama, al-Qur‘an dan syair-syair dari masa Jahiliyyah hingga
abad kedua merupakan sumber inspirasi dan acuan norma dalam pembakuan dan
pembukuan karya di bidang nahwu, dan ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya.
Dalam perkembangannya setelah abad keempat Hijriyyah, kajian dan
pemikiran nahwu berada dalam nuansa Hellenisme atau pengaruh filsafat Yunani,
baik langsung maupun tidak langsung. Namun penting ditegaskan bahwa
keterpengaruhan nahwu terhadap filsafat Yunani, terutama logika Aristoteles, bukan
terletak pada substansi dasarnya, melainkan pada sebagian metode dalam penjelasan

34

Tammâm, al-Ushûl …, h. 53.

16

persoalan-persoalan nahwu seperti ta’lîl dan taqdîr. Substansi dasar nahwu tetap
merupakan salîqah (instinc; talenta, daya linguistik alami) bangsa Arab referensinya
yang didasarkan pada al-Qur‘an, hadis, dan perkataan bangsa Arab sendiri, baik
berupa puisi (syi’r) maupun prosa (natsr). Jadi, kontroversi tersebut harus disikapi
secara proposional dan direspon dengan semangat akademik yang tinggi, sehingga
kita dapat memahami duduk persoalannya dengan baik. Yang diperlukan bagi kita
adalah bagaimana nahwu dipelajari dan diaplikasikan secara fungsional dalam
berbahasa Arab, sehingga kita dapat memetik buahnya dalam mengakses dan
memahami literatur-literatur berbahasa Arab dalam berbagai bidang dengan baik.
Semoga!
Daftar Pustaka
‗Abd al-Lathîf, Muhammad, ―Da‘awât al-Tajdîd wa al-Taisîr fi al-Lughah al‗Arabiyyah‖, diakses dari www.islamonline.com, 23 Mei 2006.
‗Abd al-Tawwâb, Ramadhân, Fushûl fi Fiqh al-‘Arabiyyah, Kairo: Maktabah alKhânijî, Cet. III, 1987.
‗Alâmah, Thalâl, Tathawwur al-Nahwi al-‘Arabî fi Madrasatay al-Bashrah wa alKûfah, Beirût: Dâr al-Fikr al-Lubnânî, 1993.
Abdillah, Zamzam A., ―Pro-Kontra Pengaruh Filsafat terhadap Nahwu‖, dalam
Jurnal Adabiyyat, Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, Vol. 1, No. 2, Maret
2003.
Alwânah, Ahmad, Ibrâhîm al-Sâmarrâî: ‘Allamah al-‘Arabiyyah al-Kabîr wa alBâhits al-Hujjah, Damaskus: Dâr al-Qalam, cet. I, 2001.
Amîn, Ahmad, Dhuha al-Islâm, Juz II, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah,
Cet. III, 1974.
Babtî, ‗Azîzah Fawwâl, Min Târîkh al-‘Arabiyyah, Tripoli-Lebanon: Dâr al-Insyâ‘,
1983.
Dhaif, Syauqî, al-Madâris al-Nahwiyyah, Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, Cet. III, 1976.
Fâiz, ‗Abd al-Mun‘im, al-Sîrâfî al-Nahwî fi Dhaw Syarhihi li Kitâb Sîbawaih,
Damaskus: Dâr al-Fikr, Cet. I, 1982.
al-Halwânî, Muhammad Khair, ―Baina Manthiq Aristhû wa al-Nahwi al-‗Arabî fi
Taqsîm al-Kalâm‖, dalam Majallah al-Mawrid, Edisi I, 1980.
Hassân, Tammâm, al-Lughah Baina al-Mi’yâriyyah wa al-Washfiyyah, Kairo: ‗Âlam
al-Kutub, 2001.
Hassân, Tammâm, al-Ushûl: Dirâsah Epistîmulûjiyyah li al-Fikr al-Lughawî ‘inda
al-‘Arab (al-Nahwu – Fiqh al-Lughah – al-Balâghah), Kairo: ‗Âlam al-Kutub,
2000, Edisi Revisi.
Hassân, Tammâm, Manâhij al-Bahts fi al-Lughah, Casablanca: Dâr al-Tsaqâfah,
1979.
Hassân, Tammâm, Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab, Jilid II, Kairo: ‗Âlam alKutub, Cet. I, 2006.
Hilâl, ‗Abad al-Ghaffâr Hâmid, ‘Ilm al-Lughah baina al-Qadîm wa al-Hadîts, Kairo:
Mathba‘ah al-Jablâwî, Cet. I, 1986.

17

al-Hullî, Hâzim Sulaimân, ―Taisîr al-Nahwi ila ‗Ashr Ibn Madhâ‘‖, diakses dari
http://www.arabization.org.ma/downloads/ majalla/41.doc, 20 April 2007.
Ibn Madhâ‘ al-Qurthubî, al-Radd ‘ala al-Nuhât, Tahqîq Syauqî Dhaif, Kairo: Dâr alMa‘ârif, Cet. I, 1947.
Kees, Versteegh, Greek Elements in Arabic Linguistics Thinking, Leiden: E.J. Brill,
1977.
al-Makhzûmî, Mahdî, Fi al-Nahwî al-‘Arabî Naqd wa Tawjîh, Beirût: Dâr al-Râid al‗Arabî, Cet. II, 1986.
Qabâwah, Fakhr al-Dîn, al-Tahlîl al-Nahwî: Ushûluhu wa Adillatuhu, Kairo: alSyarikah al-Mishriyyah al-‗Âlamiyyah li al-Nasyr, Cet. I, 2002.
al-Râjihî, ‗Abduh, al-Nahwu al-‘Arabî wa al-Dars al-Hadîts: Bahts fi al-Manhaj,
Beirut: Dâr al-Nahdhah al-‗Arabiyyah, 1986.
Sa‘îd al-Afghânî, Min Târîkh al-Nahwi, Beirut: Dâr al-Fikr, Cet. II, 1978.
Syalabî, ‗Abd al-Fattâh Ismâ‘îl, Abû ‘Alî al-Fârisî: Hayâtuhu wa Makânatuhu Baina
Aimmah al-Tafsîr al-‘Arabiyyah wa Âtsâruhu fi al-Qirâ’ât wa al-Nahwi,
Jeddah: Dâr al-Mathbû‘ât al-Hadîtsah, Cet. III, 1989.
al-Thanthâwî, Muhammad, Nasy’at al-Nahwi wa Târîkh Asyhar al-Nuhât, Tahqîq
‗Abd al-Rahmân ibn Muhammad ibn Ismâ‘îl, Mekkah: Maktabah Ihyâ‘ alTurâts al-Islâmî, Cet. I, 2002.
al-‗Uyaidî, ‗Abdullah, ―al-Fikr al-Lughawî ‗inda al-Yûnân wa al-Ighrîq‖, diakses
dari http://www.onaizah.net/majlis/t, 28 Juli 2007.
Versteegh, C.H.M., Arabic Grammar and Qur’anic Exegesis in Early Islam, Leiden:
E.J. Brill, 1993.

18