SEJARAH NAHWU Memotret Kodifikasi Nahwu Sibawaih - Test Repository

SEJARAH NAHWU
Memotret Kodifikasi Nahwu Sibawaih

Sri Guno Najiib Chaqoqo, M.A.

SEJARAH NAHWU
Memotret Kodifikasi Nahwu Sibawaih
Sri Guno Najiib Chaqoqo, M.A.
Edior: Muhamad Hasbi, M.A.
Cetakan Pertama: Oktober 2015
16 x 23,5 cm; vi+169 hlm.
Penerbit:
LP2M-Press,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) SALATIGA
Jl. Tentara Pelajar 02, Kode Pos 50721, Salatiga
Email: lp2miainsalatiga@gmail.com
ISBN 978-602-73757-4-1
All Rights reserved. Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa
pun tanpa ijin tertulis dari penerbit.


KATA PENGANTAR

‫بسماهلل الرحمن الرحيم‬
‫ألحمدهلل الذى أنزل القرأن بعربي مبين والصالة والسالم على سيدنا محمد وعلى أله‬
‫وأصحابه اجمعين‬

S

egala puji bagi Allah yang telah mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya, hingga penulis berkesempatan menyelesaikan
tulisan ini. Kasih sayang dan keagungan semoga tetap dilimpahkan
kepada Nabi Muhammad Saw, yang kepadanya diwahyukan al-Qur’an
menjadi pedoman bagi manusia.
Tulisan ini merupakan karya tulis penulis saat menyelesaikan
studi di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis
berharap bisa menyumbangkan pemikiran dalam sejarah peradaban keilmuan Islam dalam bidang sejarah kodifikasi nahwu. Tulisan ini me­
motret sejarah nahwu dalam kaitan dengan masuknya filsafat Yunani ke
wilayah yang menjadi daerah kekuasaan Islam saat itu meliputi Baghdad,
Bashrah, Kufah, Iskandariyah, dan Andalus. Kajian ini dibingkai dalam
masa hidup tokoh nahwu terkenal yaitu Imam Sibawaih. Sidang pembaca akan menemukan berbagai hal yang bisa memperkaya infor masi

mengenai sumbangan dan saling memberikan kontribusi antara perkembangan pemikiran filsafat Yunani dan pemikiran Islam yang ber­
kembang pesat, termasuk pemikiran atas nahwu.
iii

Penulis harus berterimakasih kepada Bapak Menteri Agama RI, yang
telah memfasilitasi studi penulis di SPs UIN Syarif Hidyatullah Jakarta,
juga kepada Prof. Dr. Komarudin Hidayat, M.A., Prof. Dr. Azyumardi
Azra, M.A., Prof. Dr. Suwito, M.A., Dr. Fuad Jabali, M.A., Dr. Yusuf
Rahman, M.A., Dr. Udjang Thalib, M.A..
Tidak lupa kepada Prof. Dr. Muhammad Matsna HS, M.A., yang
telah memberikan masukan bagi kesempurnaan tulisan ini. Juga kepada
Dr. Muhbib Abdul Wahab, yang penulis beberapa kali berdiskusi, telah
memberikan pencerahan dan wawasan bagi penulisan ini. Ayahanda
Nadjmudin dan Ibunda Rumini (Allâhuyarham), yang telah mendidik
penulis dari tidak tahu apa-apa, membesarkan dan semua yang tidak terhitung. Kasih sayang keduanya adalah energi penulis untuk terus meningkatkan pengetahuan. Kakanda K. Hamam Suryadin (alm), Jundan
Umarsyah, Hadi Mushthofa, Sholikhan Abadi, dan semua keluarga, yang
semua turut mendidik dan memberikan dorongan.
Juga kepada Istri tercinta, Ukhti Nurfajariyah, S.Pd., yang harus rela
ditinggalkan semenjak awal menikah untuk menyelesaikan studi penulis.
Jazâkum Allah Khairan Katsîran.

Tidak lupa kepada Pusat Penelitian dan Penerbitan (LP2M) IAIN
Salatiga yang sudi menerbitkan karya penulis ini. Semoga dengan diterbitkannya karya penulis ini akan lebih memperluas jangkauan hasil
studi ini kepada sidang pembaca di manapun berada.
Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan
pembaca pada umumnya, serta menjadi bagian dari kajian ilmiah yang
terus bergulir dan menjadi sumbangan bagi khazanah keilmuan di Indonesia. Amin.
Sri Guno Najib Chaqoqo

iv

Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.

DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi

BAB I

iii

v

Hellenisme dan Nahwu

1

BAB II Filsafat Yunani dan Pemikiran Islam

15
15
19
24
29

BAB III Geneologi Gramatika Bahasa Arab

37
37
41
55

68

A. Pengaruh Filsafat Yunani Dalam Dunia Islam
1. Hellenisasi Ke Wilayah Persia
2. Hellenisasi Pada Masa Kekuasaan Islam
B. Transmisi Intelektual Dalam Islam
A.
B.
C.
D.
E.

Akar Budaya Bahasa Arab
Motivasi Kodifikasi Nahwu
Pengaruh Filsafat Yunani Pada Masa Sibawaih
Pengaruh Filsafat Yunani Pasca­Sibawaih
Perdebatan di Seputar Pengaruh Filsafat Yunani
Terhadap Kodifikasi Nahwu

BAB IV Epistemologi Nahwu Sibawaih

A. Lingkungan Sibawaih
B. Perumusan Nahwu Sibawaih
C. Argumen (ihtijaj) Nahwu Sibawaih

92
103
103
108
116
v

D. Kajian Bahasa Yunani dan Sibawaih
E. Rekonstruksi Gramatika Arab oleh Sibawaih

126
156

BAB V Penutup

160


Daftar Pustaka

163

Tentang Penulis

169

vi

Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.

BAB

I

HELLENISME DAN NAHWU

A


ristoteles (384-322 SM) mengkonsepsikan bahwa dalam setiap kata
terdapat sepuluh hal yang menyertainya berdasar beberapa pertanyaan, yaitu; what, how large, what sort of thing, related to what, where, when,
in what attitude, how circumstanced, how active, what doing, how passive, dan what
suffering1. Delapan hal ini kemudian dirumuskan dalam istilah; substansi,
kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, posisi atau postur, keadaan, aksi,
dan afeksi atau akibat. Kategorisasi ini kamudian dianggap sebagai cikalbakal munculnya kajian mengenai bahasa. Wacana ini kemudian menjadi
lebih konkrit oleh analisa Dyonisios Thrax (130 SM), seorang filosof
dari Aleksandria yang menuangkannya dalam Tecne Grammatike dengan
uraian yang, meskipun singkat dianggap sebagai cikal-bakal kajian bahasa
secara teknis2.
Di wilayah kekuasaan Arab, jauh sebelum de Saussure (1857-1913
3
M) mengemukakan teori linguistik modern, al-Khalil bin Ahmad al1

Aristotle, The Categories on Interpretation,(London: William Heinemann Ltd, 1962),
h. 17-18.
2
Soeparno, Dasar-dasar Linguistik, (Yogyakarta: Mitra Gama Widya, 1993), h.
10.Lihat juga terjemah dalam bahasa Inggrisnya, oleh Thomas Davidson dalam The

Grammar of Dyonisios Thrax, (St. Louis MO, 1874).
3
Nama lengkapnya adalah Mongin- Ferdinand de Saussure, seorang tokoh
linguistic modern kelahiran Jenewa Swiss pada 26 November 1857. Ia adalah pelatak
dasar struktural-isme dan linguistic modern, yang karyanya dibukukan dalam Cours
de Linguistique Général-e.Buku ini ditulis oleh murid-muridnya di Universitas Jenewa.

1

Farahidi (w. 175 H) telah mengungkapkan pemikirannya bahwa bahasa
adalah sebuah system. Hal ini dimaksudkan untuk mengungkap sebuah makna baik yang tampak (eksplisit) maupun yang tersembunyi
(implicit)4. Pemikrian ini kemudian dikembangkan oleh Sibawaih (w. 180
H) yang mencoba menegaskan pemikiran Al-Khalil sebagai gurunya.
Nashr Hamid Abu Zaid menyebut bahwa Sibawaih memakai prosedur
ta’wil untuk menyingkap makna terdalam dari sebuah bahasa dengan
cara memerikan struktur dan mekanisme bahasa untuk sampai pada
makna dan siginifikansinya. Al­Khalil telah memulai kajian fonemis
dan leksikografis dengan kedua karya dalam kamus al-‘Ain5 dan karya
nahwunya dalam kitab al-Jumal-6. Kamus al-‘Ain dinamai demikian konon
karena huruf awal yang dipakai untuk leksikografinya dimulai dengan

huruf ‘ain, sebagai huruf yang dalam pengucapannya (makhraj) muncul
dari pangkal-tenggorokan, dan diakhiri dengan huruf yang pengucapannya di bibir. Sedangkan al-Jumal- adalah kumpulan masalah nahwu yang
terbagi dalam beberapa bab7. Dalam metodologi penyusunan kamus,
Lihat Harimurti Kridal-aksana, Mongin- Ferdinand de Saussure, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), dalam prakatanya. Isi buku ini sebelumnya menjadi pengantar dalam
terjemahan buku de Saussure dalam Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh UGM
Press dengan judul Dasar-Dasar Linguistik Umum.
4
Nahsr Hamid Abu Zaid, Hermeunetika Inklusif, terj. Muhammad Mansur dan
Khoiran Nahdliyin. (Jakarta: ICIP, 2004), h. 269-271.
5
Al-Suyuthi menjelaskan panjang lebar mengenai perdebatan apakah benar kitab
Al-‘Ain adalah karya orisinil dari Al- Khalil ataukah karya orang lain atau karya bersama.
Lihat Abdurrahman Jal-al-udin Al-Suyuti, Al-Muzhir fi ‘ulum al-Lughah wa anwa’iha,
(Kairo: Maktabah dar al-Turats, tt), h. 77. Dalam bahasan ini al-Suyuti tidak sampai
pada kesimpulan tentang siapa sebenarnya pengarangnya, namun dua nama banyak
disebut yaitu Al- Khalil dan al- Layts. Sementara dalam banyak bahasan yang lain di
beberapa kitab, kamus al-‘Ain selal-u dinisbatkan kepada AL- Khalil.
6
Banyak kitab dinamakan Al-jumal di antaranya oleh Al-Jurjaniy (w. 474), al- Zujaji

(w. 339), Abi Abdillah bin Hisyam (w. 570), lihat Mushtafa bin Abdullah al-kostantiy
al­Hanfiy, Kasyfu al- Dzunun, (Beirut: Dar al- Fikr, 1994), vol I. h. 472-474.
7
Pembagian bab dalam kitab ini menggunakan istilah wujuh, jumal dan fasal. Wujuh
lebih banyak membahas tentang I’rab seperti nashab, rafa’, jar dan jazm. Sedangkan
jumal banyak membahas tentang masalah huruf. Dan Fasal- ada dalam bab terakhir
yang membahas dua masalah umum. Dalam muqaddimah atas tahqiq atas kitab ini
Fahruddin Qabawah menjelaskan sekilas (lagi-lagi) tentang apakah kitab ini ditulis oleh
Al- Khal il, atau hanya sebagian saja, atau justru kitab ini merupakan kumpulan dari
beberapa muridnya. Lihat Kitab al- Jumal- Fi al- Nahwi, tanpa data. H. 11.

2

Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.

selain penelusuran ke daerah atau suku Badui langsung, metode ini merumuskan kata-kata yang lazim dipakai dan tidak lazim atau dengan
istilah musta’mal- dan muhmal. Musta’mal secara leksikal berarti terpakai
dan muhmal berarti sebaliknya yaitu tidak terpakai. Konsep ini berangkat
dari keberlakuan sebuah bahasa yang ditemukan yang dikonfirmasikan
langsung kepada suku pedalaman. Konfirmasi dilakukan dengan asumsi
bahwa masyarakat Badui belum tersentuh oleh peradaban sebagai mana
masyarakat kota yang sudah bercampur dengan berbagai bahasa di luar
bahasa Arab yang berlaku. Dalam terminologi linguistik modern saat ini
mungkin inilah penelitian orisinal bahasa Arab8 paling awal sebagaimana
sosiolinguistik meneliti bahasa oleh bangsa atau suku tertentu dengan
memilah kadar validasi dan kepunahan bahasa.
Al-Khalil adalah salah satu guru yang paling berpengaruh dalam
pemikiran nahwu Sibawaih, namun Sibawaih lebih banyak disebut sebagai tokohnya nahwu daripada Al-Khalil sendiri9. Ini dikarenakan
Sibawaih lebih bisa menjelaskan sistematika gramatika Arab dengan lebih
terperinci dalam Al-Kitab-nya10. Al-Khalil telah bisa menjelaskan tentang
I’rab serta mabna’; atau teori penetapan atau perubahan harakat di akhir
sebuah kata, maka Sibawaih bisa menjelaskan lebih jauh yaitu ke wilayah
penjelasan gramatika bahasa Arab secara komprehensif dengan metode
qiyas (analogi)11. Dalam Kitab al-Jumal, Al-Khalil juga baru menjelaskan
tentang macam-macam huruf beserta fungsinya, kajian yang saat ini menjadi pelajaran qawâidul I’rab di pesantren.
Banyak teori yang menjelaskan kenapa Sibawaih bisa menemukan
teorinya sendiri disamping teori yang telah dibangun oleh gurunya. Di
8

Metode ini sering disebut dengan metode istiqra’.
Lihat misalnya Abdullah Jâd al-Karim, al- Dars al-Nahwiy fi al Qarni al-‘Isyrîn,
(Qahirah: Maktabah al- Adab, 2004).
10
Ignaz Goldziher, A Short History of Classical- Arabic Literature, (Germany: Georg
Olms Verlagsbuchhandlung Gildesheim, 1966), h. 63. ia menjelaskan bahwa ada dua
sumbangan Al- Khalil dan Sibawaih, yaitu; penggalian atas puisi-puisi Arab kuno,
dengan memerinci rima dan sajaknya. Dari sini kemudian ditemukan ilmu tentang
puisi atau syair Arab atau lebih dikenal- dengan ilmu al-‘arudh. Yang kedua adalah ke­
berhasilannya mengkompilasikan kosakata bahasa Arab dalam sebuah kamus al-‘ain.
11
Nayf Ma’ruf Mahmud, Khashaish al- Arabiyah wa Tharaiq Tadrisiha, (Beirut: Dar
An Nafais, 1998), cet ke-5. h. 177.
9

Hellenisme dan Nahwu

3

antaranya adalah bahwa Sibawaih, selain berguru langsung kepada AlKhalil, ia juga berguru kepada ulama nahwu di masanya bahkan juga
menelusuri sendiri otentisitas bahasa Arab ke daerah pedalaman sebagaimana Al-Khalil sendiri. Dalam Al-Kitab-nya Sibawaih, memang dalam
banyak hal ia mengutip langsung dari gurunya, Al-Khalil, namun juga
ia mengembangkannya dalam berbagai istilah yang tidak ditemui dalam
teori nahwunya Al-Khalil. Bahkan dalam satu riwayat diceritakan bahwa
Al-Khalil sendiri kadang-kadang juga berguru kepada Sibawaih. Suatu
hal yang lazim dilakukan oleh para ilmuwan waktu itu, yaitu saling mengakui sebagai murid bagi tokoh lainnya.
Nayf Ma’ruf Mahmud membagi periodisasi kodifikasi nahwu men­
jadi empat tahap, yaitu; 1). Masa sebelum Sibawaih, sebagai peletak dasardasar nahwu, 2). Masa Sibawaih dan kawan-kawan semasa di mana
qiyas menjadi argumen nahwu, 3). Masa kodifikasi ilmu I’lal­ oleh Al­
Mubarrad (w. 286 H), Tsa’lab (w. 291 H), Abu ‘Al-i al-Farisiy (w. 377 H).
4). Masa perkembangan, dimulai pada masa Ibnu Jinni (w. 392 H), dan
masa selanjutnya oleh Zamakhsyari (w. 538 H), Ibn Anbariy (w. 577),
Ibn Madla al- Qurthubiy (w. 592 H), hingga masa sekarang12. Sehingga
penulis menyimpulkan bahwa masa itu secara garis besar dibagi menjadi
dua, yaitu masa awal dan perkembangan dengan titik masanya dilekatkan
pada Sibawaih.
Sibawaih mengatakan bahwa tujuan menulis al-Kitab adalah untuk
menghidupkan ilmu al-Khlail dalam bidang nahwu. Ibnu Nadim menceritakan bahwa dalam menyusun al-Kitab ini, Sibawaih melibatkan 42
orang, namun secara umum al-Kitab adalah pengembangan dari dasardasar yang telah diletakkan oleh al-Khalil. 13Dalam beberapa hal Sibawaih
justru berbeda dengan al-Khalil, misalnya ketika ia menerangkan tentang
sebuah bab, ada ungkapan bahwa, “al-Khalil mengira bahwa lafal- ini
begini, padahal harusnya begini…”.14
12

Nayf Ma’ruf Mahmud, Khashaish al- ‘Arabiyyah Wa Tharaiq Tadrisiha..h. 32.
Dijelaskan dalam muqadimah Al- Kitab Sibawaih, h. 25. Tahqiq Abdussal-am
Muhamad Harun.
14
Muqaddimah Abdul Sal-am Muhamad Harun dalam Sibawaih, Al- Kitab. (Kairo:
Maktabah al-Khanji, 1988).H. 72. Tradisi penjelasan atas suatu kitab dalam dunia
13

4

Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.

Keberhasilan keduanya dalam mengkodifikasikan nahwu secara
komprehensif tersebut memang merupakan karya yang sangat monumental dalam keilmuan Islam selanjutnya, sebagaimana telah dibahas
di atas. Kodifikasi nahwu memainkan peran sentral dan berimplikasi
pada tradisi penelitian dan pemikiran yang berkembang pesat pada masa
sesudahnya15. Pemerian kata dalam bahasan nahwu menjadi strukturstruktur sendiri melahirkan pemikiran seperti dalam ilmu tafsir, kalam,
fiqh, filsafat hingga tasawuf16. Pemikiran tafsir diwarnai dengan munculnya tafsir bi al-ra’yi (rasionality) yang mendasarkan penafsirannya pada
makna kata yang dipisah-pisah berdasarkan posisinya (tarkibnya). Penafsiran tidak lagi berdasarkan hadits saja akan tetapi meluas ke wilayah
kajian bahasa yang dalam wilayah tertentu berkembang menjadi wilayah
ta’wil, yang bagi golongan tertentu seperti kaum zhahiriy sangat dijauhi.
Dalam wilayah fiqih muncul pemikiran untuk mengkodifikasikan
ilmu pokok dari fiqih yaitu ushul fiqih yang pertama kali dicetuskan oleh
Muhamad bin Idris Al­Syafi’i. Ushul fiqh menjadi karya yang monu­
mental yang dianggap sebagai dasar bagi seseorang untuk melakukan
ijtihad.
Dari gambaran tersebut maka menjadi wajar jika pengetahuan akan
nahwu memegang peran yang sentral dalam keilmuan Islam. Di sisi lain
dengan ilmu nahwu justru memunculkan efek tersendiri dengan terjauhkannya seseorang dari esensi semula dari untuk mempelajari bahasa
menjadi terjebak pada wilayah tentang bahasa. Mempelajari nahwu seharusnya hanyalah alat bantu untuk mengungkap sebuah makna, atau
alat berkomunikasi, baik receptive maupun productive.
Kodifikasi nahwu, oleh Sibawaih ini sebenarnya bisa ditelusuri
dengan teori pemertahanan bahasa. Pemertahanan bahasa Arab dengan
keilmuan Islam (kitab) sering diwarnai dengan perdebatan dalam bingkai syarah atau
hasyiyah. Sehingga meskipun dalam bentuknya menjelaskan namun secara isi sebenarnya
membantah, adalah hal biasa. Lihat juga kompilasi yang khusus membahas perbedaan
pendapat al-Khalil dengan Sibawaih dalam Fakhr Shâlih Sulaima Qadarah, Masâil alKhilafiyah Bayn al-Khalîl wa Sibawaih, (Yordania: Dâr amal, 1990).
15
Muhbib Abdul Wahab, Epistemologi dan Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, (Jakarta:
Lemlit UIN Jakarta, 2008), h. 7-8
16
Nayf Ma’ruf Mahmud, Khashaish al-‘Arabiyyah Wa Tharaiq Tadrisiha..h.177

Hellenisme dan Nahwu

5

sedemikian militant yang dilakukan oleh para ilmuwan bahasa seperti
al-Khalil tersebut kemudian menegaskan factor pemertahanan bahasa
Arab yang orisinal sebagai bahasa al-Qur’an demi menjaga otentisitas alQuran setelahnya. Dengan demikian tradisi riwayat dan dirayah dalam
keilmuan Arab awal memang memainkan peran penting. Setiap hal
yang baru kemudian dikonfirmasikan kepada otoritas tertentu. Dalam
hal bahasa ini pemilik otoritas tersebut adalah suku Badui pedal-aman.
Bahkan konon al-Khalil pernah tinggal sekitar beberapa tahun untuk
memperdalam bahasa Arab dari suku pedalaman, tepatnya di sebuah
suku yang bernama Hudzail. Dia melibatkan diri secara langsung dalam
kehidupan suku pedalaman tersebut sehingga bisa mendalami bahasanya.
Tradisi ini banyak dilakukan oleh linguist Arab untuk mencari otentisitas
sebuah bahasa.
Selain itu teori validitas dan kepunahan bahasa nampaknya juga
sangat memadai untuk menjelaskan kodifikasi bahasa ini. Teori ini banyak
dipakai oleh pakar linguistik untuk merencanakan bahasa demi kepentingan bahasa nasional dan pengembangan bahasa. Bahasa bisa punah
dan bertahan sangat dimungkinkan dengan berkembangnya budaya seperti berbaurnya sebuah kelompok pemakai bahasa tertentu dengan pemakai bahasa lain sebagaimana pijakan yang digunakan al-Khalil di atas
dalam memilah bahasa terpakai dan yang tak terpakai. Selain itu juga bisa
terjadi karena alih generasi yang secara alami pasti terjadi17. Bahasa pada
generasi satu belum tentu dipakai oleh generasi sesudahnya. Ini terjadi
pada banyak bahasa di Indonesia yang telah punah. Bahkan alih generasi
ini ditengarai sebagai faktor utama pergeseran bahasa.
Indikasi dari validasi ini menemukan relevansinya ketika Sibawaih
berkepentingan untuk memperoleh pengetahuan bahasa setelah ia gagal
menguasainya saat menuntut ilmu kepada seorang pakar hadits berkebangsaan Arab asli18. Dari beberapa kali kegagalannya mengungkapkan kalimat dalam bahasa Arab dari hadits yang dipelajarinya, ia
17

Sumarsono dan Paina Partana, Sosiolinguistik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).

h. 233
18

Pada masa ini (Umayyah) bahasa Arab hanya dikuasai kal-angan bangsawan
istana yang memang berasal dari Arab asli. Orang yang tidak berasal dari bangsa Arab
asli menjadi bangsa nomor dua.

6

Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.

berkeinginan untuk memperdalam ilmu bahasa Arab hingga ia berguru
kepada beberapa pakar waktu itu
Menurut sebagian kalangan, di antaranya adalah Al-bertus Merx
(1889), Rundgren (1976), C. H. MVersteegh 19, yang menjelaskan bahwa
perkembangan bahasa di Bashrah banyak dipengaruhi oleh filsafat
Yunani kuno pada abad 4 SM. Mengutip Lytman, Muhammad Thanthawi
menjelaskan bahwa di Eropa, para pakar berbeda pendapat tentang otentisitas nahwu. Sebagian berpendapat bahwa ilmu nahwu dipengaruhi
oleh filsafat Yunani melalui pemikiran yang telah berkembang di wilayah­
wilayah sekitar Arab. sedangkan yang lain menyatakan bahwa ilmu
nahwu diibaratkan dengan pertumbuhan pohon yang memiliki akar dan
berkembang sesuai dengan masanya. Artinya ilmu nahwu tumbuh secara alami di tanah Arab20.
Orang yang berpendapat bahwa nahwu dipengaruhi oleh filsafat
Yunani juga mendasarkan pada pendapat Plato yang telah memulai mem­
berikan bahasa dalam bentuk yang umum yaitu onoma dan rhema. Onoma
kata pembuka yang dalam bahasa Arab sejenis dengan istilah musnad dan
rhema adalah kata penjelas semacam musnad ilaih. Dalam hal ini ada
perdebatan, benarkah kodifikasi nahwu telah dipengaruhi oleh filsafat
Yunani sebagaimana tulisan awal dalam bab ini. Ini menimbulkan pro
dan kontra di kalangan para pakar. Sebagian melihat indikator istilahistilah yang digunakan dalam nahwu mirip dengan apa yang digunakan
oleh Plato dan Aristotels tersbut dalam hal maknanya21. Sedangkan
sebagian yang lain tidak mengakui adanya pengaruh filsafat ini.
19

Pendapat itu kemudian diamini oleh para penulis sejarah misalnya Philp K. Hitti
dalam History Of The Arab, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi
(Jakarta: Serambi, 2006), h. 302. Juga Soeparno, Dasar- Dasar Linguistik, (Yogyakarta:
Mitra Gama Widya, 1993). h. 12. Syauqi Dhaif tanpa menyebut tokoh-tokohnya juga
mengemukakan bahwa banyak oriental­is yang berpendapat bahwa kodifikasi nahwu
banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Lihat juga Jonathan Owens, The Foundation
Of Grammar; an Introduction of Medieval-Arabic Grammatical- theory,(Amsterdam: John
Benjamins Publishing Company, 1988), h.7
20
Muhammad Al-Thanthawi, Nasy`at Al--Nawiy, (Mesir: Dar Al--Manar,tt), h.10.
21
Soeparno juga cenderung untuk setuju jika nahwu dipengaruhi oleh filsafat
Yunani.Lihat Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik, h.13.namun pendapat ini nampaknya
hanya melihat kemiripan istilah yang dimaksud dengan menyandingkan istilah itu
dengan bahasa Yunani dan bahasa Indonesia.
Hellenisme dan Nahwu

7

Beberapa pakar hanya menyatakan bahwa Bashrah adalah pusat
pemikir (ahl al-ra’y)22, yaitu kelompok yang menerima analogi sebagai
basis pengambilan hukum (istinbath). Seperti yang dilakukan oleh
Muhammad bin Idris Syafi’i (w. 204) yang mengembangkan teori ushul
fiqhnya dalam kitab Al- Risalah .Konon Al­Syafi’I banyak merujuk kepada
teori bahasa yang dikembangkan oleh para pemikir nahwu di Bashrah
ini. Sementara kelompok Kufah banyak disebut sebagai ahli hadits, yang
berseberangan dengan kelompok pertama dalam pengambilan hokum.
Syauqi Dhaif menjelaskan bahwa tokoh-tokoh Bashrah sudah terbiasa
bersinggungan dengan kebudayaan dari luar, sehingga besar kemungkinan pemikiran Sibawaih juga telah dipengaruhi oleh filsafat Aristotels
ini23. Menurut penulis, hal ini hanyalah bersifat dugaan belaka dengan
melacak masuknya ilmu filsafat sebalum kodifikasi nahwu. Ini bisa di­
lihat dari tidak diberikannya data yang memadai tentang wilayah mana
dari nahwu yang dipengaruhi filsafat.
Perlu dicatat memang, bahwa proses hellenisasi di wilayah yang
kemudian dikuasai oleh Islam sudah berlangsung sejak Islam belum
masuk. Bahkan di Persia pernah menjadi pusat pengembangan keilmuan
filsafat setelah di barat sendiri terjadi pelarangan untuk mempelajari
filsafat24. Pusat­pusat studi filsafat telah berdiri di Balakh sebagai ikon
bagi perkembangan filsafat di Persia25. Sementara di Irak juga berdiri di
kota Jundisapur. Indikasi bahwa kemudian ilmu ini tumbuh dan terpelihara
hingga Islam masuk setelah menaklukkan Persia sehingga mempengaruhi pemikiran nahwu sangat diragukan. Kebanyakan yang menyatakan bahwa nahwu telah dipengaruhi oleh filsafat hanya didasarkan
pada proses ini, dalam arti bahwa data akurat yang menyatakannya belum
ditemukan. Bahkan secar khusus, filsafat baru menjadi kajian pada abad
ke-2 Hijriah ketika Al-Kindi (180-260 H) menjadi tokohnya.
22

Seperti De Lacy O’Leary, Arabic Thought And Its Place In History, (London:
Routledge and Kegan Paul, 1963), h. 74.
23
Lihat Syauqi Dhaif, Madaris al- Nahwiyah, h. 21-22.
24
Nurcholish Madjid, Islam; Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000),
cet. Ke-4, h. 220.
25
Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Fal-safi Dalam Islam, (Jakarta: Djambatan, 2003), h.4.

8

Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.

Mengkorelasikan antara teori bahasa dan filsafat memang wilayah
yang saling berdekatan dan saling membutuhkan. Dari sini maka tidak
heran kalau kemunculan teori nahwu juga menjadi ajang perdebatan
tentang keterlibatan ilmu filsafat Yunani tersebut juga berlangsung.
Kemunculan yang alami dan bersifat sosial dari ilmu nahwu dipandang
sebagai hal yang tidak lazim26. Namun apakah setiap ilmu yang lahir pada
masa itu pasti bersumber dari filsafat Yunani? Filsafat membutuhkan
bahasa untuk mengartikulasikan maksud dan makna yang dituju. Sehingga dugaan-dugaan bahwa ilmu bahasa termasuk nahwu sangat dipengaruhi oleh filsafat adalah hal yang wajar.
Peran para ahli nawhu pada masa itu adalah peran seorang peneliti
yang mengamati tentang bahasa sebagai sebuah gejala secara apa adanya
(deskriptif). Artinya bahwa, dari pengamatan tersebut kemudian muncul
semacam kesepakatan-kesepakatan antara peneliti tentang objek yang
diamati hingga menjadi sebuah teori atau hukum tersendiri tentang
bahasa. Dari sinilah kemudian memunculkan perdebatan tentang urgensi
nahwu, karena dengan nahwu justru dimungkinkan menjauhkan orang
dari tujuan awal mempelajari bahasa itu sendiri.
Al-Khalil misalnya, dalam menuangkan teori tentang bahasa yang
ditulis dalam kitab Al-jumal, lebih banyak mengungkapkan fenomena
secara deskriptif. Ketika ia mengamati banyak huruf-huruf yang sama
namun dalam penggunaan yang berbeda, maka ia kemudian mencatatnya
sebagai sebuah gejala baru yang penting untuk dicatat. Apa yang ditulis
ini kemudian menjadi informasi penting bagi pengkaji nahwu sesudahnya
termasuk Sibawaih. Diskusi-diskusi selanjutnya berkembang dan menghasilkan teori-teori turunan sebagaimana kemudian dituangkan dalam
al-Kitab Sibawaih tersebut.
Dalam kitab al-Kitab Sibawaih membahas secara panjang lebar dan
lebih rinci daripada apa yang dibahas oleh al-Khalil dalam kitab al-Jumalsebagai gurunya. Sibawaih mampu menjelaskan fenomena sebuah predikat dalam sebuah kalimat yang bisa muncul dua kali dalam satu kalimat
atau yang lazim disebut sebagai fi’il yang butuh dua maf ’ul. Hal -hal seperti
26

Nashr Hamid Abu Zayd, Hermeunetika Inklusif, h. 273.

Hellenisme dan Nahwu

9

ini tidak dibahas oleh al- Khalil. Sehingga muncul pertanyaan selanjutnya,
darimanakah Sibawaih memperoleh orisinalitas istilah ini? Sementara di
sisi lain Sibawaih disebut-sebut sebagai murid al-Khalil. Perangkat apa
saja yang digunakan oleh Sibawaih untuk menterjemahkan pemikiran
gurunya itu? Dari sini muncul dua implikasi. Pertama, mengenai kemungkinan masuknya istilah­istilah dalam ilmu filsafat. Dan kedua
implikasi dari pembahasan yang rinci ini yang justru akan menjauhkan
sebuah kata atau kalimat dari maknanya. Inilah yang menjadi pijakan
kritik para ulama’ nahwu belakangan seperti Ibnu Madla dalam al-Radd
‘ala al-Nuhah. Dari dua implikasi ini perdebatannya belum pernah tuntas,
karena bantahan­bantahan yang muncul terhadap kodifikasi nahwu itu
sendiri tidak mampu memberikan solusi yang relatif lebih baru. Ibnu
Madla sendiri, misalnya, tidak mampu meruntuhkan teori yang telah
dikembangakn oleh para ulama nahwu awal, dan justru menuai banyak
kritik sesudahnya27.
Bahasa merupakan salah satu unsur (terpenting) dari sebuah kebudayaan. Dalam definisi mengenai kebudayaan, bahasa memainkan
peranan penting dari dinamika yang mengiringi perubahan kebudayaan28,
penulis cenderung mendukung pendapat mengenai alamiahnya kajian
bahasa ketika dikaitkan dengan bahasan mengenai kebudayaan. Sehingga apakah secara langsung filsafat mempengaruhi lahirnya ilmu
bahasa juga sangat diragukan.
Tammam Hasan menjelaskan bahwa teori nahwu pada mulanya
berbasis dari bacaan al-Qur’an yang waktu itu belum berharakat (syakal),
sehingga memunculkan pemikiran agar al-Qur’an bsia dibaca oleh orang
di luar Arab. Dari sini kemudian terrumuskanlah teori perubahan harakat
pada akhir kata atau kalimat. Ia juga meriwayatkan bahwa al-Khalil
dalam mengembangkan teori nahwu awal hanya mengamati bentuk
kata dengan menghitung jumlah huruf dalam sebuah kata menjadi 3, 4
dan 5 huruf dan selebihnya adalah huruf tambahan29. Dari dua contoh
27

Seperti dikutip oleh Nashr Hamid Abu Zaid dalam Hermeunetika Inklusif, h. 275.
Soerjono Soekanto, Sosiologi, Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawal-i Press, 2002), h.171
29
Tamman Hasan, al- Ushul; Dirasah istimulujiyyah lil Fikr al-Lughawi ‘Inda al-Arab,
(Kairo: Al-im Al-kutub, 2000), h. 22.
28

10

Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.

ini tidak nampak pengaruh filsafat secara langsung terhadap kodifikasi
nahwu pada masa itu.
Asyraf Mahir Mahmud menjelaskan pula tentang awal masa
kodifikasi nahwu tentang perdebatan apakah dibenarkan metode qiyas
oleh Sibawaih ini sebagai pijakan dalam berargumentasi nahwu?30 Perdebatan inilah yang melahirkan ilmu ushul tentang nahwu (ushul alNahwiy). Asyraf juga menjelaskan bahwa pada awalnya, kebutuhan akan
nahwu berdasarkan pada bacaan dalam al-Qur’an. Ia tidak menjelaskan
tentang campur tangan para ahli filsafat Yunani dalam kodifikasi nahwu
awal. Yang ada justru kodifikasi nahwu telah mempengaruhi pemikiran
filsafat dikemudian hari dengan lahirnya filosof muslim sebagaimana ter­
sebut sebelumnya.
Untuk itulah dalam tulisan ini penulis akan meneliti kebenaran
pengaruh filsafat dalam kodifikasi nahwu awal dengan mengambil pijakan
dari Kitab Sibawaih yang membahas nahwu. Penulis memilih Kitab
Sibawaih sebagai dasar penulisan karena memandang bahwa Kitab
Sibawaih adalah kitab awal tentang nahwu yang sudah paling lengkap
daripada kitab al-Jumal–nya al-Khalil sebagai gurunya. Sehingga penulis
menganggap bahwa Kitab Sibawaih paling representatif daripada yang
lainnya pada masa awal kodifikasinya.
Buku ini ingin menjawab beberapa pertanyaan terkait sejarah
nahwu, di antaranya adalah mengenai epistemologi pemikiran nahwu
Sibawaih. Penulis ingin mengetahui perjalanan intelektual-Sibawaih,
yaitu bagaimana metodologinya dalam merumuskan nahwu dan bagaimana Sibawaih menelaah gramatika yang telah ditulis oleh guru-gurunya serta sisi mana saja yang kemudian ditambahkan oleh Sibawaih.
Di sinilah pengembangan pemikiran nahwu Siabawaih akan kelihatan
orisinalitasnya.
Dari paparan itu akan didapatkan beberapa manfaat mengenai
perkembangan pemikiran nahwu pada masa awal kodifikasi dan menge­
tahui sejauh mana implikasi pemikiran nahwu terhadap pemikiran lain
dalam keilmuan Islam dan filsafat.
30

Asyraf Mahir mahmud, Mushtal-ahat ilmu ushul al- Nahwiy, (Kairo: Dar Gharib,
2000), h.13

Hellenisme dan Nahwu

11

Kajian secara khusus tentang pengaruh filsafat terhadap kodifikasi
nahwu Sibawaih ini belumlah banyak. Perdebatan mengenai pengaruh
filsafat terhadap nahwu pernah dilakukan oleh antara lain Zamzam
A. Abdillah, Pro-Kontra Pengaruh Filsafat Terhadap Nahwu, dalam jurnal
Adabiyyat, Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, vol 1, no.
2, Maret 2003. Dalam artikel ini ia cenderung mendukung pendapat
bahwa filsafat sangat mempengaruhi kodifikasi nahwu. Muhbib Abdul
Wahab, Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu, dalam Jurnal Afaq Arabiyyah,
FITK UIN Jakarta, Vol. 3, nomor 1, Juni 2008, yang menolak anggapan
terpengaruhnya kodifikasi nahwu awal oleh filsafat Yunani. Ade Kosasih,
Ilmu-Ilmu Bahasa Arab dan Perkembangannya Pada Masa Abasiyah I, Tesis
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997. Ia menyatakan bahwa ilmu nahwu
badalah ilmu yang berkembang karena masuknya pengaruh filsafat.
Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina,
1996) secara sekilas mengatakan bahwa nahwu Bashrah sangat dipengaurhi oleh filsafat.Ia tidak memberikan data yang akurat juga.Syauqi
Dhaif, Madaris al- nahwiyah, (Kairo: Dar al- Ma’arif, 1968), ia juga menyinggung sedikit tentang pegaruh filsafat terhadap nahwu dengan
tidak memberikan rincian buktinya. Soeparno, Dasar-Dasar Linguistik,
(Yogyakarta: Mitra Gama WIdya, 1993), yang memberikan gambaran
akan kesamaan istilah yang ada dalam nahwu dengan kajian Plato.
Tulisan ini akan mengkaji sejarah nahwu hingga munculnya ahli
nahwu di Bashrah menjadi mazhab sendiri terutama pada masa
Sibawaih, dengan menggunakan pendekatan histories dan humanistik.
Dengan demikian, semua pembahasaan mengenai sejarah awal, akan
diakhiri pada masa Sibawaih hidup, yaitu pada tahun 180 H. Pendekatan
histories digunakan untuk mengkaji keseluruhan sejarah yang melingkupi lahirnya kedua tokoh ini sebagai ahli nahwu. Sedangkan pendekatan humanis digunakan untuk mengkaji pribadi tokoh itu sendiri.
Data diperoleh dengan kajian teks sejarah masa itu dan hasil karya ulama
Bashrah31.
31

Cik Hasan Bisri dan Eva Rufaidah (ed), ModelPenelitian Agama dan Dinamika Sosial,
(Jakarta: Rajawal-i, 2002), h.7

12

Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.

Setelah itu kemudian dibandingkan atau dilihat dengan kacamata
linguistik modern, dan dari sini diharapkan bisa diklasifikasikan model
pengembangan nahwu oleh kedua tokoh tersebut.
Dengan perspektif linguistik, selain memperlakukan bahasa secara
apa adanya (deskriptif), juga memperlakukan bahasa sebagai sistem
yang tidak terpisahkan dengan kajian ilmu lain, sesuai dengan gerak laju
zaman.32 Misalnya hubungan perkembangan nahwu dengan perkembangan keilmuan keislaman yang lain, seperti fiqih, tasawuf, teologi dan
lain­lain. Misalnya hubungan nahwu dengan lahirnya kodifikasi ushul
fiqih oleh Syafi’I dan perkembangan ilmu hadits setelahnya.
Untuk mengkaji materi nahwu itu sendiri, penulis akan menggunakan teori preposisi, yaitu teori tentang makna dari suatu kalimat. Ini
penulis gunakan untuk meneliti mengenai penegembangan teori nahwu
oleh Sibawaih.Teori preposisi menegaskan bahwa satu kata tidak bisa
berdiri sendiri.
Untuk menelusuri lebih jauh, maka penulis menggunakan beberapa sumber primer dan sekunder. Adapun sumber primer yang penulis
gunakan yaitu Al-Kitab, karya Sibawaih, tulisan Aristotels dalam Organon,
dan The Grammar of Dyonisios Thrax.
Pemilihan al-Kitab karya Sibawaih karena dalam kitab ini dibahas
penjang lebar tentang nahwu. Penulis akan mengambil pembahasan
tentang idiom-idiom atau istilah yang digunakan oleh Sibawaih dalam
al-Kitab-nya. Hal ini penulis lakukan untuk mencocokkan dengan istilah
yang digunakan dalam teori filsafat (bahasa) Yunani yang berkembang
sebelumnya. Buku al-Inshaf Fi Masail al-Khilaf dipilih sebagai bahan untuk
mengetahui pemikiran-pemikiran nahwu yang berkembang pada masa itu.
Sementara pemilihan buku Organon karya Aristoteles digunakan
sebagai sumber kajian bahasa. Buku yang digunakan di sini adalah buku
yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagaimana kami
Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia RMT Landen ( ed), Pesona Bahasa;
Langkah Awal Memahami Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 2007), cet ke-2, h. 13. Ketika bahasa
dikaitkan dengan perkembangan dan proses perubahan masyarakat maka kajiannya
menjadi meluas pada kajian sosiolinguistik. Lihat Anton M. Moeliono, Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1985), h. 4.
32

Hellenisme dan Nahwu

13

kutip di awal tulisan ini. Demikian pula tulisan Dyonisios Thrax dalam
The Grammar yang juga diambil terjemahan dalam bahasa Inggris.Buku
ini juga sebagai pembanding utama terhadap Sibawaih dalam al-Kitab,
karena sudah lebih teknis dalam menjelaskan tata bahasa Yunani.
Untuk data sekundernya penulis menggunakan buku-buku sejarah
filsafat Yunani pada masa Sibawaih hidup serta biografinya yang me­
liputi kehidupan Sibawaih seperti situasi politik serta pergolakan perkembangan pemikiran keislaman pada waktu itu. Selain itu juga bukubuku tentang perkembangan pemikiran nahwu di Bashrah, Kufah hingga
sesudahnya, seperti Madaris Nahwiyah oleh Syauqi Dhaif, Al-Wasith fi
Tarikh al-nawhi al-‘Arabiy, oleh Abdul karim Muhamad al-As’ad, AlLughah wa Al-Mujtama’, oleh Zaki Huzam al-Din, Jâmi’ al-Durus al‘Arabiyyah, Mushthafa al-Ghal ayini.
Setelah penulis mengumpulkan dan menelaah materi kitab-kitab
tersebut, penulis akan menganalisis data tersebut dengan mengkaji
sejarah tokoh tersebut terutama mengenai pengembaraan intelektualnya hingga bisa merumuskan teori nahwu. Untuk mengkajinya penulis
meng gunakan teori tentang tradisi isnad. Kemudian mengelompokkan pokok-pokok teori nahwu Sibawaih dalam kitabnya dengan cara
mengkaji istilah yang digunakan. Untuk menelaah ini penulis menggunakan teori linguistik terutama dalam kajian morfologi, sintaksis
dan semantics untuk dicari kecenderungan pemikirannya dalam aliran
linguistik serta implikasinya dalam pengembangan ilmu bahasa. Selanjutnya mengidentifikasi hal­hal yang menjadi pemikiran original Sibawaih.
Ini dilakukan dengan cara mengkaji apa yang dikemukakan oleh Sibawaih
dalam kitabnya.
Tidak kalah pentingnya adalah mengkorelasikan pemikiran Sibawaih
dengan perkembangan pemikiran filsafat dalam Islam serta perkembang­
an sosial budaya pada waktu itu.

14

Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.

BAB

II

FILSAFAT YUNANI DAN
PEMIKIRAN ISLAM

ab ini akan memaparkan beberapa hal mengenai pengaruh filsafat
Yunani terhadap pemikiran dunia Islam pada masa awal hingga
masa-masa penaklukan di wilayah luar daerah daratan Arab melalui proses
hellenisasi. Selanjutnya akan dijelaskan pula mengenai tradisi transmisi
intelektual Islam.

B

A. PENGARUH FILSAFAT YUNANI DALAM DUNIA ISLAM
Pembicaraan mengenai filsafat Yunani dalam banyak hal sebenarnya
hanyalah spekulasi saja. Bahkan dengan tegas dinyatakan bahwa sejarah
tentang filsafat Yunani ini tidak lain adalah mitologi. Sebagaimana juga
cerita mengenai sejarah Mesir kuno, Babyolnia, Phoenicia, dan India1.
Ini artinya kebenaran tentang sejarah pemikiran filsafat awal di Yunani
1

M.M. Saarif, ed. A History of Muslim Philosophy, (India: Low Price Publications,
1995), cet. Ke-4. vol.I, h. 75. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sejarah ini sebetulnya sulit
diferivikasi karena hanyalah imajinasi dari para penulis awal mengenai Yunani. Pendapat
ini juga dinyatakan oleh Jerome R. Ravertz yang mengatakan bahwa karya-karya dan
pemikiran mereka sebenarnya tidak terrekam secara tertulis runtut, dan yang ada
adalah cuplikan, dan kutipan singkat yang kemudian dirumuskan oleh para sejarawan
hingga nampak lebih logis sesuai alur berpikirnya. Lihat Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu,
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2007), cet. Ke­3, h.7. Masa ini dalam kategorisasi sejarah
masuk zaman kuno (qadimah). Lihat Syawqy Abu Khalil, Fî Târikh Al-Islamiy, (Beirut:
Dar Al-Fikr, 1991), h.7

15

lebih banyak dibumbui dengan rangkaian cerita tanpa data sejarah yang
akurat.
Dalam beberapa literatur selalu dikatakan bahwa filsafat adalah pe­
mikiran yang lahir pertama kali di Yunani. K Bertens dengan tegas me­
ngatakan bahwa filsafat adalah ciptaan asli (genuine) bangsa Yunani2. Ia
menyatakan bahwa Yunani memiliki ciri khas kehidupan yang bisa dibilang
sebagai faktor lahirnya filsafat. Ciri khas ini terutama ditandai oleh tiga
hal; pertama, berkembangnya mitologi di tengah masyarakat. Mitologi
sendiri sebenarnya hidup di belahan dunia lain, tapi ini dianggap sebagai
cikal bakal pemikiran filsafat selanjutnya. Proses dari mitos hingga
menghasilkan pemikiran ini oleh Stephen Palmquis disebutnya sebagai
demitologisasi;, sebuah proses dari mitos menjadi bukan mitos.3 Mitologi
di Yunani sudah berlangsung sejak abad­abad sebelumnya hingga filsafat
dinyatakan lahir pada abad ke­6 SM. Yang kedua adalah tumbuh suburnya
tradisi sastra. Sastra dalam hal ini meliputi dongeng, perumpamaanperumpamaan dan sebagainya. Dan ketiga adalah pengaruh luar, di mana
ilmu pengetahuan sudah berkembang di Timur Kuno4. Dari ketiganya

2

Hal ini sangat berbeda dengan pembahasan oleh Abu Al-Faraj, yang lebih dikenal
dengan Al­Nadim, yang mengatakan bahwa Yunani Kuno tidak mengenal huruf
dan tulis menulis.Orang Yunani mengenal huruf dan tulis menulis dari orang Syria
yang berbahasa Suryani. Lihat dalam Muhammad bin Ishaq Al-Nadim, Al-Fihrisat,
(Teheran, tt), h. 14. Sementara Taufiq al ­Thawil mengatakan bahwa pengambilan
sumber filsafat Yunani berasal dari Timur, yang waktu itu diwakili oleh Mesir. Mesir
diceritakan sebagai telah memiliki peradaban yang sangat maju dengan ditandai oleh
berkembangnya ilmu kedokteran, teknik, kimia, astronomi. Lihat Taufiq al Thawil, Usus
al Falsafah, (Kairo: dar al Nahdlah, 1979), h. 34-35. Dalam hal ini nampaknya para penulis
sejarah filsafat tidak bisa terlepas dari subyektifitas asal daerah maupun bangsanya. Ia
dengan tegas menyatakan bahwa pemikiran filsafat sesungguhnya berawal dari Mesir
kuno baru kemudian berpindah ke Yunani. Lihat pada buku yang sama halaman 39­
42. Lihat juga Abdurrahman ‘Ali al Hajji, Nadzarat fi dirasati tarikh al Islamiy,(Beirut:
Maktabah al Shahwah, 1979), h.14.
3
Stephen Palmquis, Pohon Filsafat,terj. Muhamad Shodiq,(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), set. Ke-2, h. 37.
4
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h.20­21. Hal ini
masih berkaitan dengan lahirnya peradaban yang tercatat dalam sejarah, yang dimulai
pada masa Mesir Kuno sekitar 6000 tahun yang lalu. Batasan sebelum ini dianggap
sebagai zaman pra-sejarah.

16

Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.

sebenarnya bukanlah hal yang khas dalam kehidupan setiap bangsa5.
Mitos, tradisi sastra dan percampuran budaya adalah hal yang banyak berkembang di belahan dunia manapun.
Perbedaan yang menjadi factor kuatnya tradisi berpikir justru adalah
karena suasana kehidupan masyarakatnya yang bebas tidak tertindas
oleh hegemoni raja yang memerintah. Campur tangan penguasa di
wilayah para filsosof ini diceritakan tidak sampai pada wilayah pemikiran.
Baru di abad kemudian, ketika wilayah ini mulai masuk agama Nasrani6
sebagai agama resmi, campur tangan penguasa sudah memasuki wilayah
pemikiran hingga memasuki masa kemundurannya.
Lebih lanjut Stephen Palmquis merumuskan lahirnya filsafat dengan
ketiga hal di atas sekaligus sebagai lahirnya ilmu. Hal itu digambarkan
dengan pola mitos, sastra, filsafat dan ilmu. Hal ini seiring dengan pola
lahir, muda, dewasa dan tua pada manusia. Sehingga ia menyamakan
bahwa mitologi sebagai proses lahir; kelahiran sebagai proses berpikir
awal. Sedangkan dengan sastra digambarkannya sebagai proses muda,
berfilsafat sebagai proses dewasa dan ilmu sebagai proses tua7.
Al-Syahrastani (w. 469 H/ 1153 M) termasuk sejarawan Islam awal
telah mendeskripsikan pemikiran-pemikiran yang berkembang di Barat
(Yunani) dan pengaruhnya dalam kajian intelektualisme awal. Ia me­
rekam tujuh fiosof Yunani awal, filosof yang sudah membahas akidah
atau teologi, filsafat, matematika dan linguistics di Yunani8. Sedangkan Bertrand Russell membagi periodisasi dari sejarah filsafat Yunani
awal menjadi tiga yaitu, pra-Sokrates, masa Sokrates dan masa setelah
Aristoteles9. Pemikiran genuine awal Pra­Sokrates mengenai filsafat
5

Proses penyebaran kebudayaan selalu terjadi dalam sejarah bangsa-bangsa, yang
sering disebut sebagai difusi kebudayaan. Lihat Harsojo, Pengantar Antropologi, (Bandung:
Binacipta, 1988), cet.ke-7, h. 161.
6
Penyebutan istilah Nasrani sengaja dipakai agar lebih umum, meliputi pemikiran
dan agama itu sendiri.
7
Lebih lanjut kemudian dijelaskan dengan pendekatan psikologi dengan istilahistilah bawah-sadar, sadar, bawah sadar, sadar diri, super sadar. Masing – masing dilekatkan pada lahir, muda, dewasa dan tua. Lihat Stephen Palmquis, Pohon Filsafat, 38.
8
Al Syahrastani, al Milal wa al Nihal,(Baghdad: Maktabah Mutsanna,tt), h.
9
Lihat dalam daftar isinya, Bertrand Russel, History of Western Philosophy, (London:
George Allen and Unwin LTD, 1965), edisi ke -9. Setelah itu berturut-turut adalah
Filsafat Yunani dan Pemikiran Islam

17

muncul pertama kali pada awal abad ke -6 oleh Thales pada tahun sekitar
585 SM. Tahun ini didapatkan ketika ia memprediksikan akan adanya gerhana matahari pada tahun tersebut10. Thales adalah orang yang
pertama kali mencari prinsip dasar dari kehidupan ini, yang kemudian
disimpulkan bahwa prinsip dasar dari kehidupan adalah air11. Semua
berasal dari air dan akan kembali lagi menjadi air. Dari pengembangan
pemikiran ini maka kemudian disimpulkan bahwa corak awal dari filsafat
Yunani adalah filsafat alam (kosmosentris). Nietzsche, sebagaimana di­
kutip oleh Frederick Copleston, memberi alasan kenapa Thales layak diposisikan sebagai fiosof awal, adalah karena dari Dia­lah pencetus pen­
dapat bahwa “semua adalah satu”.12
Dari sini nampak bahwa sumber pemikiran oleh para filosof awal
adalah pengamatannya pada alam hingga muncul berbagai macam pertanyaan dan jawabannya. Lebih khusus lagi adalah bahwa sumber awalnya adalah rasa heran dengan apa yang ada di sekitarnya13; kenapa ada
siang kemudian berganti malam, apa yang membuat dunia ini terang
kemudian gelap, apakah itu langit, kenapa ada awan, guntur, gunung
dan sebagainya. Semua menginspirasi pertanyaan-pertanyaan yang berimplikasi jauh pada kurun sesudahnya. Implikasi tersebut di antaranya adalah bahwa dari pertanyaan itu kemudian memunculkan kajian
tentang teologi. Metode-metode ini pun kelak menghasilkan metode berpikir dengan berbagai variasinya, seperti analisis, analogi, sintesis dan
sebagainya.
Dalam catatan al­Syahrastani, pendapat para filosof banyak dikaji dari
sisi teologi, baik dalam pendapat (premis) umum maupun dalam teknisnya.
masa Katolik; ditandai dengan pendiri awalnya dan masa skolastik, dan masa modern;
ditandai oleh masa renaissan hingga Hume dan dari Rousseau hingga abad ini. Russell
nampak tidak memasukkan masa Islam sebagai bagian dari sejarah filsafat, meskipun
beberapa kali menyinggung Averroes (Ibn Rushd), Ibnu Sina, sebagai tokoh penting.
Peridodisasi model ini kemudian diikuti oleh para penulis yang merujuk kepadanya.
10
Bertrand Russel, History of Western Philosophy, h. 25.
11
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, h.35
12
Frederick Coplestoon, A History of Philosophy, (New York: Doubleday, 1993), h.
76-77.
13
Stephen Kờrner, Fundamental Questions of Philosophy, (Sussex: The Harvester Press.
Ltd, ), h. 7

18

Sri Guno Najib Chaqoqo, M.A.

Ia mencatat ada 16 masalah yang dikemukakan oleh Aristoteles, yang
jika diringkas ada dalam wilayah pembahasan mengenai yang wujud,
tunggal, penyebab kejadian, etika dan psikologi (ilmu jiwa). Pembahasan mengenai aspek teologi ini sejalan dengan pandangan Irfan Abdul
Hamid yang membedakan pembahasan ilmu di Barat dan di Timur.
Menurutnya, pembahasan ilmu di Barat tidak dilandasi dengan bahasan
mengenai nilai-nilai keyajinan tertentu atau pengkaitan dengan hal-hal
yang transenden. Ini berbeda dengan di Timur, dalam hal ini Islam, yang
dalam pembahasannya selalu menggunakan standar nilai agama yang
diyakini14. Hal ini nampaknya mempengaruhi arah pembahasan mengenai filsafat antara di Barat dengan di Timur. Metodologi dan nilai yang
dikembangkan nampaknya akan mengalami perbedaan pula.
1.

Hellenisasi Ke Wilayah Persia

Titik awal dari hellenisasi adalah masuknya kekuasaan Romawi15 ke Mesir
pasca meninggalnya Cleopatra pada masa-masa sekitar abad ke-4 SM
berbarengan dengan ditaklukkannya wilayah ini oleh bangsa Romawi,
terutama masa Iskandar Agung. Mesir jatuh bersama dengan kota lainnya yaitu Syiria (Syam), Persia, Samarkand, Bactria, Punjab dan Anatolia16.
Irfan Abdul Hamid, al-Falsafat fi al-Islam; Dirasah wa al-Naqd, (Baghdad: Dar al
Tarbiyah, tt), h.15.
15
Yunani pada masa ini adalah wilayah yang meliputi Asia kecil (minor), yang
pada masa sekarang kira­kira adalah wilayah Turki hingga ke wilayah Yunani sekarang.
Negara ini bertetangga sangat dekat dengan kekuasaan Mesir Kuno. Lihat W.
Windenband, History of Ancient Philosophy, (New York: Dover Publications, 1956), h.
16. Dalam menjelaskan tersebarnya budaya Yunani, Mehdi Nakosteen menggunakan
tiga istilah, yaitu; ilmu pengetahuan Yunani, Helenisme, dan Helenistik. Lihat Mehdi
Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat, terj. (Surabaya: Risalah Gusti,
2003), cet. Ke-2. h. 18.
16
Bertrand Russell, History Of Western Philosophy,..h. 229. Ia membagi sejarah
Yunani menjadi tiga; pertama, negara Kota di bawah kekuasaan Aleksander dan Philip,
kedua adalah dominasi Macedonia ketika menguasai Mesir pasca kematian Cleopatra,
dan ketiga adalah pada masa Imperium Romawi. Dari ketiganya, yang dimaksud dengan
hellenisasi dimulai pada fase yang kedua ketika memulai perluasan wilayah dengan
menaklukkan negara-negara lain. Selanjutnya, ikon Hellenisasi di timur bukanlah
Persia, akan tetapi Syria dan Aleksandria. Lihat De Lacy O’Leary, Arabic Thought and Its
Place in History, (London: Routledge and Kegan Paul. Ltd, 1963), edisi IV.H.1. (terbit
pertama kali pada 1922).hal ini kemudian diikuti para sejarawan berikutnya.
14

Filsafat Yunani dan Pemikiran Islam

19

Penaklukan dari keempat kota ini hanya Persia saja yang tidak dibarengi
dengan kristenisasi17. Persia masih mempertahankan kepercayaan sebelumnya, penyembah bintang dan benda langit, hingga pada abad-abad
ke­6 mereka baru memeluk Kristen. Penyebaran filsafat ke Timur ini
setelah Stoisme menjadi gerakan.18
Secara umum peradaban di timur (selain Yunani) sudah menampak­
kan kemajuan. Bahkan pada 4000 SM di Mesir telah berkembang tradisi
tulis-menulis, juga di Mesopotamia19.Hal ini ditandai dengan adanya ilmu
yang berkembang di wilayah Mesir seperti adanya bangunan pyramide,
ilmu tentang pengawetan mayat, ilmu ukur (geometri)20, dan astronomi.
Filosof awal, Thales dan Phytagoras, ditengarai pernah besinggungan
dengan ilmu-ilmu ini ketika mengadakan perjalanan ke timur di abad ke-8
SM. Ilmu yang berkembang di timur ini lebih banyak dalam wilayah ilmuilmu yang aplikatif; untuk kepentingan hidup sehari-hari21. Seperti ilmu
ukur yang digunakan untuk pembuatan piramida dan untuk mengukur
kembali tanah yang terhempas serta batas tanah yang hanyut oleh banjir
sungai Nil. Hal ini berbeda dengan pengembangan ilmu di Yunani yang
lebih banyak untuk kepentingan ilmu itu sendiri22.
Dalam perkembangan persebaran ilmu dan filsafat Yunani ke timur,
setidaknya ada dua faktor yang mempengaruhi; pertama, pembangunan
kota Alexandria di Mesir yang sudah menjadi wilayah kekuasaannya
dan menjadi kota metropolitan23. Hal ini menyebabkan arus imigrasi
dari Yunani yang besar. Di Alexandria ini dikembangkan ilmu sains.
Berbeda dengan di Roma, yang sama-sama di bawah kekuasaan Raja
Agustus. Di Roma lebih berkembang ilmu hukum (Jurisprudence). Kedua,
17

Nurcholish Madjid, Islam; Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet.
Ke-4. h. 204.
18
Bryan Magee, The Story Of Philosophy, terj.(Yogyakarta: Kanisius, 2008), h.46.
19
Tulisan waktu itu masih dalam bentuk-bentuk simbol gambar yang disepakati
bersama seperti tulisan China. Lihat Bertrand Russel, History of Western Philosophy, p. 25.
20
Dari segi namanya, geometri berarti pengukuran bumi.
21
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, h.31
22
Umar Farrukh, Tarikh al-Fikri al-‘Arabiy, ( Beirut: Dar al Ilm, 1972), h. 30-31.
23
pendapat ini nampaknya merujuk ke De Lacy O’Leary, lihat dalam Arabic Thought
and Its Pla