Sudut Pandang Point of View

disampaikan oleh pengarang secara tersirat, akan dibutuhkan ketelitian dalam menelaah karya sastra agar dapat memahami pesan moral yang ingin disampaikan oleh pengarang tersebut. Amanat itu biasanya memberikan manfaat dalam kehidupan sehari-hari. Sesuai dengan sifat karya sastra, selain dapat menyenangkan, juga dapat memberi manfaat.

2.1.2 Unsur Ekstinsik Novel

Unsur ekstrinsik sebuah karya sastra dari luarnya menyangkut aspek sosiologi, psikologi, dan lain-lain. Tidak ada sebuah karya sastra yang tumbuh otonom berdiri sendiri, tetapi selalu pasti berhubungan secara ekstrinsik dengan luar sastra, dengan sejumlah faktor kemasyarakatan seperti tradisi sastra, kebudayaan lingkungan, pembaca sastra, serta kejiwaan mereka. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa unsur ekstrinsik ialah unsur yang membentuk karya sastra dari luar sastra itu sendiri dan untuk melakukan pendekatan terhadap unsur ekstrinsik, diperlukan bantuan ilmu-ilmu kerabat seperti sosiologi, psikologi, filsafat, dan lain-lain. Tidaklah jelas pengertiannya apabila dikatakan bahwa sastra mencerminkan atau mengekspresikan kehidupan. Akan tetapi, jelaslah lebih keliru bila dianggap sebagai mengekspresikan kehidupan selengkap-lengkapnya dan pemahaman itu memberi kemungkinan bagi usaha mengungkapkan apa yang menjadi bahan karya sastra tersebut. Dengan kata lain, usaha itu merupakan cara untuk mencoba menghubungkan karya sastra dengan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Melalui cara itu, karya sastra dijelaskan maknanya, amanatnya, sikap pengarangnya, atau nilai estetiknya secara keseluruhan. Caranya sendiri dapat berupa penjelasan mengenai fakta historis, sosiologis, psikilogis atau filosofis, ✁ sebagaimana yang menjadi isi yang terkandung dalam karya yang diteliti Damono, 1978: 10—11.

2.2 Hakikat Intertekstual

Pengertian, paham, atau prinsip intertekstualitas berasal dari Perancis dan bersumber pada aliran dalam strukturalisme Perancis yang dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Perancis, Jaques Derrida dan dikembangkan oleh Julia Kristeva Jabrohim, 2012: 172. Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis tekstus, bahasa latin berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi Ratna, 2013: 172. Penelitian dilakukan dengan cara mencari hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hypogram. Interteks dapat dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel dengan film. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi. Ratna, 2013: 172—173. Kajian intertekstual berawal dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi yang ada di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus adalah berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumnya. Ketika seorang pengarang ✂✂ menulis teks kesastraan, di masyarakat tempat pengarang itu tinggal, pasti sudah ada tradisi, konvensi, folklore, folktales, atau bahkan teks-teks tertentu yang mungkin juga berupa teks kesastraan yang kemudian dijadikan semacam pijakan dalam penulisannya. Berbagai hal yang dijadikan dasar “pijakan” tersebut dapat dikenali atau ditemukan dalam teks yang bersangkutan Nurgiyantoro, 2013: 77. Setiap teks sastra dibaca dan harus dengan latar belakang teks-teks lain. Tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka. Tidak dalam arti bahwa teks baru hanya meneladan teks lain atau mematuhi kerangka yang telah diberikan lebih dulu, tetapi dalam arti bahwa penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah ada memainkan peranan yang penting. Pemberontakan atau penyimpangan mengandaikan adanya sesuatu yang dapat diberontaki ataupun dan pemakaian teks baru memerlukan latar pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinya Jabrohim, 2013: 172. Teks-teks kesastraan yang dijadikan dasar penulisan bagi teks-teks yang ditulis kemudian disebut dengan hipogram. Wujud hipogram dapat berupa konvensi, suatu yang telah berekstensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi dan amanat teks-teks sebelumnya Nurgiyantoro, 2013: 78. Karya yang diciptakan berdasarkan hipogram itu disebut sebagai karya transformasi karena mentransformasikan teks-teks yang menjadi hipogramnya. Karya sastra yang menjadi hipogram diserap dan ditranformasikan dalam teks sastra sesudahnya yang menunjukkan adanya persamaan. Dengan menjajarkan sebuah teks yang menjadi hipogramnya, makna teks tersebut menjadi jelas, baik teks itu mengikuti maupun menentang hipogramnya. Begitu juga situasi yang