Rumah Susun Sebagai Bentuk Budaya Bermukim Masyarakat Modern

Rumah Susun sebagai Bentuk Budaya Bermukim Masyarakat Modern
Samsul Bahri

RUMAH SUSUN SEBAGAI
BENTUK BUDAYA BERMUKIM MASYARAKAT MODERN
Samsul Bahri

Laboratorium Teori dan Kritik Arsitektur
Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK
Makalah ini mencoba menelaah sebuah topic yang akhir-akhir ini mulai disoroti oleh berbagai pihak di
Indonesia, yang pembahasannya mengacu pada tema Arsitektur dan Manusia, yaitu Rumah Susun sebagai salah
satu bentuk budaya bermukin yang diduga adalah “benda baru” produk dari masyarakat Barat. Dala kaitan ini,
kata Budaya dan Modern (Modernisasi) adalah kat akunci yang akan dibahadi lebih jauh. Sudah tentu banyak
sisi dan sudut pandang yang dapat dipergunakan untuk membahas persoalan ini, namun aspek sosical dan
psikologislah yang akan dipilih pada kesempatan ini.
PENDAHULUAN
A. Modernisasi
Modernisasi merupakan topik yang menarik dan
telah menjadi gejala umum di dunia dewasa ini.

Walaupun sebagian orang telah mencba “maju
selangkah” dengan pasca Modemnya, namun
dibelahan dunia lainnya orang masih terpukau oleh
kedatangan fenomena modern, yang tentunya tidak
pernah dibayangkan oleh mereka sebelumnya, dari
ke4hidupan yang tradisional harus diubah dengan hal
yang serba “canggih” yang dihadapi sebagai
kenyataan. Perkembangan yang terjadi disebagian
tempat boleh jadi merupakan lompatan besar atau
hanya sekedar perubahan kecil dan tidak tiba-tiba,
tentunya tidak terlepas dari perkembangan peradaban
manusianya. Sebagaimana para ahli sosiologi
membagi beberapa tahap perkembangan peradaban
manusia di bumi sepanjang sejarahnya. Misalnya
Auguste Comte (1798-1857), seorang sosiolog
Perancis menawarkan konsep 3 tahap perkembangan
peradaban untuk menjelaskan kemajuan evolusioner
umat manusia dari masa primitive sampai ke
peradaban maju pada masa kini1, yaitu
Tahap Teologis, peradaban manusia dimana

semua benda di dunia ini mempunyai jiwa dan
itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada
di atas manusia.
Tahap metafisis, pada tahap ini manusai masih
percayapada kekeuatan alam dan belum
berusaha mencari hubungan sebab akibat yang
ada.
Tahap positif dimana manusia telah sanggup
berpikir secara ilmiah dan mengembangkan
ilmu pengetahuannya.
Upaya pemahaman tehradpa proses perkembangan
peradbaan manusai telah banyak membantu dalam
menelaah keadaan duia secar alebih nayta, termasuk
di dalamnya pemahaman akan telah terjadina
modernisasi dihampiri tiap Negara sekarang ini.
Kiranya modernisasi telah menjadi bagian yang tidak
dapt dihindari sejalan dengan teori perkembangan

peradaban itu sendiri. Secara histories dapat dilihat
bahwa modernisasi

merupakan suatu proses
pertumbuhan yang mencakup suatu transformasi
total kehidupan bersama yang suatu
proses
pertumbuhan yang mencakup suatu transformasi total
kehidupan bersama yang tradisional atau pra-modern
dalam arti teknologi serta organisasi social, kearah
pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri
negara-negara barat yang stabil2. Karakter umum
modernisasi yang menyangkut aspek-aspek sosio
demografis masyarakat digambarkan dengan istilah
gerak social (social mobility). Artiya, suatu proses
unsur-unsur social ekonomi dan psikologis mulai
menunjukkan peluang-peluang kearah pola-pola
barumelalui sosialisasi dan pola-pol aperilaku.
Perwujudannya adalah aspek-aspek kehidupan
modern seperti mekanisme, urbanisasi, hingga
globalisasi dan seterusnya. Perubahan-perubahan
social yang terjadi pada masyarakat dapat diartikan
sebagai perubahan structural yang terarah (directed

change) yang didasarkan pada perencanaan (plannedchanged) atau biasa disebut social-planning.
Perubahan itu juga menyangkut Indonesia yang
mengalami modernisasi melalui perubahan yang
direncanakan, misalnya pada Pembangunan Lima
Tahun (PELITA) yang telah dimulai sejak tahun
1969.3 Modernisasi pada hakikatnya mencakup
bidang-bidang yang sangat banyak, yang mau tidak
mau harus dihadapi masyarakat. Bidang mana yang
akan diutamakan sangat tergantung pada kondisi dan
kebutuhan
suatu negara (masyarakat). Namun
demikian modernisasi ini hampir dipastikan pada
awalnya akan menimbulkan dis-organisasi dalam
masyarakat, apalagi yang menyangkut nilai-nilai atau
norma-norma yang berlaku di masyarakat. Proses
yang terlalu cepat dan tanpa henti hanya akan
menimbulkan disorganisasi yang terus menerus,
karena masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk
mengadakan reorganisasi.
Salah satu bentuk

modernisasi yang akan dibahas di sini adalah Rumah
Susun sebagai suatu budaya bermukin yang bersifat
97

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005

alternatif pada masyarakat di kota-kota besar. Konsep
rumah susun pada awalnya merupakan solusi yang
dibuat berdasarkan tuntutan baru terhadap
kekuarangan rumah bagi tenaga kerja yang terus
meningkat aibat gerakan modernisasi di sekotr
gerakan modernisasi di sektor lapangan kerja.
Tuntutan tersebut semakin terus bertambah sejalan
edngan meningkatnya produktivitas
kerja yang
menjadi ciri-ciri modernisasi, sedangkan keterbatasan
lahan (horizontal) tak dapat diatasi dengan cara
apapun. Dalam keadaan inilah lahir solusi dalam hal
pengadaan perumahan bagi para pekerja melalui
konsep pertumbuhan vertikal. Yang perlu

dipertanyakan adalah : Apakah solusi teknis ini sudah
mempertimbangkan aspek sosial budaya yang ada di
masyarakatnya ? Secara historis kebutuhan akan
rumah untuk tempat tinggal adalah kebutuhan dasar
manusia yang sama tuanya dengan umur manusia itu
sendiri. Sejak dari pertama manusia menyadari akan
kebutuhan tempat bernaung”, hingga pada masa
sekarang ini rumah tetap menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari budaya dan perilaku manusia,
termasuk di zaman modern sekarang ini. Dalam
kaitan ini,
yang mengalami perubahan dan
perkembangan adalah peradaban manusia, termasuk
di dalamnya budaya bermukim.
b. Budaya Bermukim
Dapat dikatakan bahwa persoalan tempat tinggal dan
lingkungannya telah ada sejak manusia mulai merasa
mampu
mengorganisasikan
diri,

berhenti
mengembara dalam perburuan, bercocok tanam,
menjinakkan dan mengembangbiakkan ternak, serta
sedikit menguasai alam sekitarnya. Sejak dari fungsi
rumah sebagai tempat bernaung yang sederhana
hingga kini fungsi rumah lebih dari sekedar simbol
status sosial, pengertian dan konsep budaya
bermukim terus berkembang sejalan dengan
perkembangan peradaban manusia itu sendiri.
Perkembangan itu sendiri akan terus berlanjut sampai
batasnya
dimana
perbadana
itdak
dapat
mengembangkan dirinya melebihi kapasitas alam
yang tak terhingga. Keterkaitan antara perkembangan
budaya bermukim dan peradaban telah ditandai dari
pengamatan historis terhadap hunian Indian yang
sederhana di Tierra del Fuego sampai pada tempat

bernaung orang Eskimo yang relatif lebih maju.
Atau dari Rumah Pohon yang primitif di pedalaman
Irian hingga Rumah Villa yang banyak dijumpai di
tempat-tempat peristirahatan modern (seperti Puncak,
Cianjur-Jawa Barat). Semua akan memperlihatkan
pada kita bahwa tingkat pemikiran manusia, yang
ditandai dengan ilmu pengetahuannya, menunjukkan
pola-pola bermukim tertentu. Budaya bermukim
yang dianut masyarakat di suatu tempat merupakan
bagian dari budaya masyarakat keseluruhan seperti
halnya adat istiadat. Kelompok masyarakat
tradisional memiliki tata cara turun temurun yang
diwarisi sebagai bagian yang tak terlepaskan seperti
halnya sebuah nama yang melekat pada diri
98

seseorang. Lain tempat akan lain pula situasinya,
sehingga pola-pola perilaku masyarakatnya berbedabeda, seperti halnya perbedaan antara rumah Indian
dan rumah Eskimo tadi. Budaya bermukim
masyarakat Indonesia sekarang ini sedang

dihadapkan pada kenyataan baru yang perlu
diperhatikan secara tidak gegabah, karena kesalahan
dalam penerapan akan semakin menambah persoalan
baru. Apakah hal baru yang akan ditemukan
sebelumnya dapat diterima begitu saja dalam tatanan
masyarakat lama ? Rumah susun sebagai sebuah
alternatif pilihan dalam pemenuhan kebutuhan akan
tempat tinggal, yang dapat digolongkan sebagain
produk dari modernisasi, adalah hal baru yang datang
kehadapan masyarakat. Pada kenyataannya tidak
semua masyarakat dapat mengikuti suasana baru
yang datang dari luar tantanan lama yang sudah turun
temurun. Perlu waktu lebih lama lagi manakala suatu
hal baru itu telah menyangkut aspek-aspek kehidupan
sosial dan pola-pola perilaku. Budaya bermukim
pada masyarakat modern tentunya tidak dapat
dilepaskan dari hakikat modernisasi itu sendiri.
Sebagaimana telah banyak disimpulkan dalam setiap
pembicaraan yang menyangkut modernisasi, bahwa
gaya hidup masyarakat yang tergolong lebih maju

dibandingkan dari tatanan tradisional maupun pramodern apalagi yang primitif merupakan gambaran
gaya hidup modern.
PEMBAHASAN
a. Budaya Bermukim Masyarakat Indonesia
Masyarakat Indonesia yang agraris itu
dalam waktu yang telah
berlangsung lama,
(beberapa generasi) telah memiliki budaya bermukim
yang memiliki ciri khas tersendiri. Dan diakui dalam
waktu yang lebih lama konsep yang dikembangkan
secara evaluasi dan adaptasi itu dianggap sebagai
konsep yang cocok dalam tatanan kehidupan
komunitasnya. Konsep permukiman beberapa
masyarakat adat Minangkabau, Bai, Jewa, Dayak,
Toraja dan sebagainya memiliki ciri-ciri tersendiri
yang
masing-masing
ada
kelebihan
dan

kekurangannya sejauh itu dikaitkan dengan budaya
dan kondisi alamnya. Tatanan komunitas yang cocok
dalam masyarakat selalu berusaha dipertahankan
lebih lama sesuai dengan kemampuan dan
perkembangan yang terjadi. Masyarakat pada
dasarnya akan berusaha membentuk keseimbangan
yang dapat mempertahankan konsep-konsep yang
baik serta terus berusaha meningkatkannya menjadi
lebih baik lagi. Jarang sekali masyarakat melakukan
perubahan sporadis terhadap kondisi yang sudah ada,
kecuali revolusi
b. Fungsi dan Kebutuhan Rumah
memang benar adanya apabila Eugene Raskin dalam
bukunya Architecture
and People berpendapat
bahwa dalam melakukan aktivitas hidupnya manusia
memerlukan suatu wadah/ruang4. Dan rumah adalah
salah satu wujud dari ruang (space) yang sangat

Rumah Susun sebagai Bentuk Budaya Bermukim Masyarakat Modern
Samsul Bahri

dibutuhkan oleh manusia, selain kebutuhan sandang
dan pangan, dalam upaya mempertahankan
keberadaan/eksistensi dan kelanjutan hidupnya di
bumi. Selalu berbentuk hubungan yang akrab dan
erat antara aktivitas manusia dengan jenis ruang
penunjang yang dibutuhkan, antara penghuni dan
tempat tinggalnya.
Fungsi rumah tinggal semata dilihat sebagai tempat
tinggal atau tempat berkumpulnya penghuni atau
tempat berlindung dari ancaman fisik dan non fisik
rumah juga mencakup keseluruhan pemenuhan
fungsi lebih rumit dan sangat kompleks sifatnya
seperti falsafah, adat istiadat,religius dan lainnya.
Kesemua fungsi tersebut merupakan cerminan dari
keinginan komunitas
masyarakat dalam ruang
rumahnya masing-masing. Pada dasarnya bukan hal
mudah bagi arsitek, atau pihak lainnya dalam
mendefenisikan pengertian fungsiden kebutuhan
rumah bagi kehidupan manusia. Kebutuhan akan
rumah tinggal tidak dapat diselesaikan dengan cara
memnuhi target kuantitasnya saja (jumlah rumah),
melainkan juga menuntut beberapa hal yang
berhubungan dengan kualitas (mutu). Dalam hal ini
hanya penghuni (calon penghuni) yang lebih
mengerti secara benar dan sempurna semua
kebutuhan yang harus dipenuhi oleh rumah
tinggalnya.
Kebutuhan itu sendiri ternyata ada yang bersifat
terukur (seperti kondisi klimatik) dan yang tidak
terukur (seperti estetik). Yang terukur dapat dipenuhi
dengan memperhatikan standar-standar normatif atau
objektif yang diterima, sedangkan yang tidak terukur
lebih subjektif sifatnya. Dalam hal – hal tertentu
seperti itulah peran arsitek dituntut untuk lebih
kreatif dan imajinatif. Pengertian fungsi dalam
arsitektur sendiri perlu dipahami secara mendalam
dengan mengacu pada bidang-bidang psikologi dan
sosial yang terkait. Mulai dari Freud yang
menekankan aspek biologis, lalu Alder yang lebih
pada aspek-aspek sosial, hingga pada Allport Maslow
yang menekankan multi motivational. Fungsi dalam
hal ini tidak terbatas pada fungsi yang berkaitan
dengan dimensi-dimensi fisik serta hubungan
kedekatan ruang dan waktu semata. Namun lebih
jauh lagi sampai pada psikologi pemakai bangunan,
interaksi sosial, perbedaan budaya bahkan makna dan
simbol bangunan.
Benjamin Hadler dalam bukunya ‘’System Approach
to Atchitecture’’ menjabarkan pengertian fungsi dari
bangunan (baca, rumah tinggal) sebagai berikut :
• Fungsi adalah suatu proses.
Fungsi cenderung dipandang sebagai urutan
kejadian, sehingga fungsi dapat menangani
setiap aspek bangunan dalam batasan yang
dinamis
• Fungsi adalah maksud, melihat sesuatu
dalam batasan fungsi adalah melihatnya
dalam batasan tujuan akhir ke arah mana
fungsi tersebut menuju. Dengan kata lain



setiap fungsi mempunyai tujuan dan maksud
tersendiri.
Fungsi adalah keseluruhan, yang terpadu
secara harmonis dan serasi sesuai dengan
konsep dan sasaran yang hendak dicapai
oleh bangunan (rumah) tersebut



Fungsi adalah tingkah laku, yang diamati
dan dipikirkan bagaimana bangunan itu
bekerja atau bertingkah laku
• Fungsi adalah hubungan, dimana berbagai
komponen bangunan dihubungkan untuk
membentuk satu kesatuan yang dinamakan
rumah.
• Fungsi adalah keharusan, agar dapat
beroperasi secara wajar maka harus
memiliki sifat-sifat, nilai-nilai dan ciri-ciri
tertentu dan harus dihubungkan dengan cara
tertentu.
Lebih jauh lagi Norbeg-Schutz dalam Intention in
Architecture menerangkan bahwa fungsi dari suatu
bangunan dapat dilihat dari 4 (empat) parameter,
yaitu :
• Kontrol fisik. Salah satu tujuan dari kontrol
fisik adalah menciptakan perlindungan dan
kenayamanan penghuni (pemakai) dari
pengaruh lingkungan seperti iklim,
kebisingan, serangga, debu ataupun dari
manusia lainnya. Dengan kata lain
bangunan harus dapat berperan sebagai alat
kontrol fisik bagi kenyaman fisiologi
manusia.
• Kerangka Aktivitas. Sebuah bangunan
harus dapat menampung aktivitas-aktivitas
penghuninya sesuai dengan fungsi dari
bangunan itu sendiri.
• Social Mileu. Sebuah bangunan diharapkan
dapat berpartisipasi terhadap situasi sosial
yang ada, sesuai dengan fungsi sosial pada
bangunan yang dapat mengutarakan
tentang status sistem sosial secara total.
• Simbolisasi Kultural.
Arsitektur dapat
dipandang sebagai objek kultural yang
berkaitan erat dengan ideologi, nilai agama,
nilai
moral,
dan
nilai
ekonomi
penghuni/masyarakat.
Rumah tinggal sebagai sebuah bangunan dengan
segala
fungsi
yang
dimilikinya
dapat
mempertemukan berbagai kebutuhan manusia yang
berbeda-beda, bersifat unik dan memiliki jenjang
ketingkatan dari tingkat rendah hingga tinggi.
Menurut Abraham Maslow5,seorang ahli psikologi,
ada 5 (lima) tingkatan dari kebutuhan manusia yang
dimulai dari kebutuhan tingkat terbawah (lower
needs) hingga pada tingkat kebutuhan teratas (higher
needs). Dimulai dari kebutuhan fisiologis sampai
pada puncaknya adalah kebutuhan untuk perwujudan
diri/self-actualization needs.
Jika kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah belum
terpenuhi secara pantas, maka biasanya akan sukar
99

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005

untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan di atasnya
dengan baik.
Adapun 5 (lima) tingkatan kebutuhan manusia yang
dikembangkan Maslow tersebut adalah6 :
1. Kebutuhan fisiologis
Kebutuhan yang hampir sama pada setiap
makhluk hidup dan merupakan kebutuhan yang
merupakan
kebutuhan
yang
memdasar
(elementr) meliputi : ruang untuk aktivitas,
istirahat,daan kesehatan. Untuk
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan ini minimal harus tersedia
tempat berteduh/shelter sebagai tempat untuk
istirahat dan tidur, sedangkan kebutuhan lainnya
bisa dilakukan di sekitar tenpat tersebut. Yang
perlu diperhatikan adalah perbedaan kultur dan
iklim yang akan menimbulkan perbedaan dalam
merealisasikan pemenuhan kebutuhan tadi.
2. kebutuhan rasa ama. Manusia memilki naluri
untuk mengendalikan hidupnya, termasuk upaya
harus terhindar atayu menghindar dari
marabahaya yang mengancamnya. Untuk itu
manusia merasa harus memiliki kekuatan untuk
dapat menolak mara bahaya tersebut seperti :
tempat menyimpan dan melindungi miliknya
(fungsi rumah), kepercayaan pada kekuatan alam
dan super natural (refigus), termasuk melakukan
upacara-upacara ritual.
3. kebutuhan sosial. Manusia tidak dapat hidup
sendiri melainkan membutuhkan manusia lain
untuk berkomunikasi dan bergabung dengan
sesamanya dalam rangaka eksistensi manusia itu
sendiri. Bangunan merupakan satu tempat untuk
berinteraksi sesama penghuninya, saling
memberi dan meneriam,berkawan,bercinta dan
sebagainya. Rumah merupakan dunia tersendiri
tempat terjadinya kehidupan kelompok manusia
saling bersosialisasi.
4. kebutuhn akan ke-aku-an (ego needs). Setiap
manusia akan membutuhkan perasaan –perasaan
yang positif,seperti terlihat pada rasa ingin
memiliki dihormati, rasa aman, kepercayaan
diri,keterampilan,kemampuan dan kemandirian.
Pada banyak budaya rumah sering dipakai
sebagai pencerminan status sosial. Sebagai
contoh rumah-rumah bangsawan tempo dulu di
Yogya, dibangun ditenagh-tengah halaman yang
luas dab memiliki pelataran yang luas dan
terawat baik,seolah menunjukkan kesan bahwa
pemiliknya adalah orang yang ramah dan agung,
berhati terbuka dan melindungi (mengayomi).
5. Kebutuhan akan perwujudan diri (Selfactualization needs). Setiaporang dilahirkan
dengan
seperangkat
potensi
kemanusian,memiliki kemampuan dan bakat
masing-masing,dan karenanya setiap orang kan
mewujudkan dirinya secara berbeda-beda dan
mempunyai keunikan tersendiri. Tiap generasi
manusia selalu akan merubah apa telah
ada,sekalipun perubahan itu tidak akan lebih
baik dari sebelumnya.Tiap generasi akan selalu
100

ingin
menjadikan
dirinya
mempunyai
kekhaannya,ingin mengekpresikan zamannya
dalam peta sejarah umat manusia. Hal ini diduga
mendasari
dengan
kuat
perkembangan
pengetahuan manusia dalam berbagai hal, tanpa
peduli dengan keterbatasan alamnya. Kebutuhan
perwujudan diri ini menuntut konsekuensi logis
dalam kaiatan kewaspadaaan manusia dalam
upaya memprtahankan keseimbangan alam dan
lingkungan, yang kalau diabaikan justru akan
menjadi bumerang bagi eksistensi manusia
sendiri.
C.
Perkembangan
Kota
dan
Budaya
Masyarakatnya.
Perkembangan kehidupan masyarakat kota-kota
besar sekarang tidak terlepas dari perkembangan
ilmu pengertahuan dan peradaban manusia.
Khidupan masyarakat sudah didominasi oleh asas
ekonomi yang mulai berkembang sejak revolusi
industri melanda dunia di balahan barat (Inggris) dan
terus merambah ke belahan dunia lainnya. Institusiinstitusi yang ada dalam kehidupan masyarakat
mengalami perubahan yang sangat berarti dan
menimbulkan pengaruh yang besar terhadap
kehidupan manusia. Itu artinya berbagai institusi di
masyarakat seperti :politik, pendidikan,agama,,ilmu
pengetahuan,seni (termasuk didalamnya sebagian
arsitektur), keluarga.dan seterusnya telah bergantung
pada mekanisme ketersediaan sumber-sumber
ekonomi.
Kalr Marx, ahli sosiologi, melihat dasar-dasar
ekonomi itu sendiri infrastruktur tempat superstruktur
sosial dan budaya yang lainnya dibangun dan harus
menyesuaikan diri. Artinya kegiatan-kegiatan dalam
tiap institusi non-ekonomi harus bergerak dalam
mekanisme batas-batas yang ditentukan oleh tuntutan
ekonomi. Individu dan faktor-faktor ekonomi dalam
usahanya untuk ‘’hidup sesuai dengan pendapatnya’’.
Juga ditekankan oleh Marx, tuntutan –tuntutan untuk
mencari nafkah agar bisa tepat hidup dapat memakan
waktu dan energi sedemikian besarnya, sehingga
tidak mungkin untuk mengembangkan kemampuan
lainnya. Kenyataan yang terakhir ini kiranya
merupakan fenomena baru di lingkungan masyarakat
pekerja di kota-kota besar yang lingkungannya sudah
dipengaruhi oleh dominasi kepentingan ekonomi.
Kesibukan bekerja sebagai upaya pemenuhan nafkah
untuk hidup
telah menjadikan orang tidak
berkesempatan untuk mengembangkan sisi lain dari
hidupnya. Manusia pekerja menjadi roboat dari
pekerjaanya sendiri, sehingga wajar saja jika polapola perilakunya menjadi ‘’kurang memanusia’.
Pengaruh ekonomi yang telah mendominasi
peradaban manusia, terutama di kota-kota besar,
telah merubah wajah kota menjadi ajang
pertumbuhan kepentingan ekonomi yang ditandai
dengan meningkatnya jenis lapangan kerja dan
pekerjaan itu sendiri. Jumlah
pekerja yang
mendatangi kota tidak terbendung lagi banyaknya hal

Rumah Susun sebagai Bentuk Budaya Bermukim Masyarakat Modern
Samsul Bahri

ini sejalan dengan teori kebutuhan manusia untuk
mendapatkan
kesempatan
lebih
luas
mempertahankan kelangsungan dan eksistensi
hidupnya di dunia. Semua orang tertarik untuk
mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan hidup
layak di kota – kota dan membiarkan mekanisme
ekonomi yang jelas tidak menjanjikan kehidupan lain
selain aspek ekonomi itu sendiri.
d.
Kebutuhan Tempat Tinggal Versus
Keterbatasan Lahan
Salah satu kebutuhan yang tidak terlepas dari
manusia ke manapun manusia adalah kebutuhan akan
tempat tinggal. Semakin banyak jumlah populasi di
kota maka kebutuhan pengadaan tempat tinggal
muncul menjadi problema baru yang harus
dipecahkan. Sementara itu kondisi alam yang relatif
stabil telah menjadi semakin tidak berdaya
menampung setiap perkembangan yang terjadi.
Keterbatasan lahan menjadikan upaya pemenuhan
kebutuhan tempat tinggal tidak dapat terjawab secara
langsung, selagi budaya bermukim masih mewarisi
tradisi lama. Dalam keterbatasan lahan dan
meningkatnya kebutuhan akan tempat tinggal
tersebut, manusia menerapkan solusi perpeahan
masalah dengan cara membangun tempat tinggal
secara vertikal. Banyak cara yang bisa ditempuh
dalam upaya pemenuhan kebutuhan dan fungsi
rumah yang tepat bagi penghuninya. Salah satu
upaya pemenuhan rumah dalam skala besar sesuai
dengan tuntutan perkembangan kota adalah Rumah
Susun. Untuk sementara solusi ini mampu menjawab
persoalan, yaitu persoalan ekonomi.
e. Rumah Susun Sebagai Fenomena Budaya
Bermukim
baik Maslow maupun Benjamin Handier yang
mempertimbangkan sisi fungsi dan kebutuhan
sebagai bagian penting dalam pengadaan rumah
(bangunan), dalam kondisi kota-kota sekarang ini,
tidak lagi sepenuhnya dapat dipertahankan
pandangannya secara utuh. Banyak hal baru yang
harus “diperbaharui” untuk menjadikan budaya
bermukim rumah susun sebagai bagian dari
peradaban manusia. Tinggal di rumah susun tidak
sama dengan tinggal di rumah biasa (rumah
individu),
baik
perilaku
maupun
suasana
lingkungannya berbeda jauh sekali. Perubahanperubahan gaya hidup, kebiasaan, dan adat istiadat
sangat terasa jika seseorang berpindah dari rumah
tunggal ke rumah susun. Tentunya setiap orang akan
memiliki kemampuan yang berbeda dalam
beradaptasi, dan tidak semua orang memiliki
kemampuan melakukannya. Bagi golongan orang
yang sudah erat dan tidak terpisahkan dengan
tradisinya akan sulit melakukan adaptasi yang
diinginkan, akibatnya yang ada hanyalah pemaksaan
saja. Masyarakat pekerja
di kota-kota yang
umumnya adalah pendatang (gejala urbanisasi)
masalah budaya bermukim merupakan salah satu

problema tersendiri di samping persoalan ekonomi
yang menuntut penyelesaian guna mempertahankan
hidup di kota. Kemampuan dan keterampilan untuk
bertahan hidup menjadi seni dan sekaligus senjata
bagi setiap pekerja yang hidup di kota-kota besar
seperti : Jakarta, Surabaya, dan lainnya. Sekalipun
sulit hidup di kota, namun tidak mengurangi minat
masyarakat desa untuk mendatangi kota tersebut.
Akibatnya daya dukung “ruang” kota menjadi
semakin terbatas. Program pengadaan perumahan
bagi pekerja menjadi penting belakangan ini. Selain
dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar manusia,
rumah tinggal dan kedekatan jarak rumah dengan
tempat kerjanya merupakan salah satu persoalan
yang mamu memberikan pengaruh kuat bagi tingkat
produktivitas pekerja itu sendiri. Solusi pendanaan
rumah dengan konsep Rumah Susun menjadi pilihan
yang menarik untuk dikembangkan akhir-akhir ini,
dan apabila mungkin maka akan terus dipertahankan
sebagai konsep yang dapat diterapkan di setiap kota
yang kekurangan lahan untuk perumahan. Tinggal
sekarang bagaimana upaya yang dilakukan untuk
mengatasi persoalan-persoalan budaya yang kelak
akan semakin jelas muncul dalam konsep rumah
susun itu. Tentunya sekarang belum sedemikian jelas
terlihat baik buruknya fenomena baru itu karena
umumnya yang relatif masih baru bagi masyarakat di
beberapa tempat. Di beberapa kasus pembangunan
rumah susun telah dikembangkan konsep budaya
bermukim yang disesuaikan dengan kebudayaan dan
kondisi yang ada. Salah satu diantaranya adalah
rumah susun Dupak di Surabaya, yang dibuat oleh
Johan Silas (Arsitek), yang mengembangkan metode
kampung susun. Artinya gaya hidup kampung yang
telah ada pasa dipertahankan sebagian besar, hanya
saja kalau dulunya kampung-kampung tersebut
berada pada daerah yang horisontal maka di rumah
susun tersebut kampung-kampung disusun secara
vertikal. Konsep ini masih relatif baru dan
berlangsung belum cukup lama sehingga perlu
diperhatikan terus perkembangan yang terjadi untuk
kemudian dapat disimpulkan kelebihan dan
kekurangannya.
KESIMPULAN
Perkembangan masyarakat merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Arsitektur,
namun seringkali tidak dapat terlaksana dengan baik
(sempurna). Pada kenyatannya pendekatan yang
dilakukan selama era arsitektur modern dengan caracara rasional, deterministik, standarisasi dianggap
sering hanya menciptakan suatu huubngan yang
renggang, tidak harmonis antara manusia sebagai
pemakai dan ruang (wadah) tempat kegiatan. Rumah
susun sebagai produk dari modernisasi yang sedang
berkembang sekarang ini belum sepenuhnya dapat
diterima dalam kaitan dengan budaya bermukim
manusia. Seringkali yang terjadi adalah pembangnan
rumah susun yang diibaratkan sebagai suatu
pemerkosaan atas hak-hak pribadi pemakainya.
101

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005

Pemakai dalam keadaan terpaksa tidak mempunyai
alternatif lain selain hanya menerima kenyataan yang
ada. Sama halnya dengan pembangunan perumahan
massal lainnya (real estate oleh Perumnas, BTN, dan
lainnya), rumah susun tidak mampu memberikan
pemecahan pemunuhan kebutuhan manusia secara
utuh. Hal tersebut dapat terjadi karena selama ini
rumah susun dibangun atas dasar pertimbangan
ekonomi dan teknis semata. Kalaupun ada
pertimbangan unsur manusia didalamnya, itu hanya
sebagian kecil yang kalah dominan dibanding unsur
ekonomi dan teknis tadi. Rumah susun baru akan
bermanfaat bila dipandang sebagai suatu usaha
menjawab kebutuhan manusia dari berbagai aspek
kehidupan, tidak hanya dari sisi kuantitasnya saja
tapi juga sisi kualitasnya. Sebagai budaya bermukim,
rumah susun tentunya perlu waktu lama dan
konsisten untuk terus dikembangkan sebagai tradisi
baru dalam kehidupan umat manusia. Terutama di
negara-negara berkembang seperti Indonesia yang
sudah memiliki tradisi lama yang berakar kuat di
kalangan masyarakatnya.
1.

2.
3.
4.

5.

6.

102

Hukum tiga tanpa merupakan usaha Comte
untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat
manusia dari masa primitif sampai keperadapan
Perancis abad ke 19 yang sangat maju”, teori
Sosiologi Klasi dan Modern, (1994), hlm. 84.
Sokanto, Soerjono, 1990. Sosiologi Suatu
Pengantar, hlm. 382-386.
Ibid, hlm. 383.
Eugene Raskin dalam Architecture and People
mengatakan : “……… most of mankind spends
the major part of its time indoors, in
environments of its own creation……… We are
born indoors, live, love, brings up our families,
worship, work, grow old, sincken and indoors”.
Dalam bukunya “Motivation and Personality”
(1954), Abraham Maslow mempelopori suatu
pendekatan kepada manusia yang didasarkan
atas studi dari THE FINEST PSYCOLOGICAL
SPECIMENTS yang memperlihatkan manusia
sebagai mahluk yang lebih cakap/arif (capable),
rational dan percaya diri, dari teori-teori
sebelumnya. Studi ini membawa Maslow untuk
mengembangkan
diri,
dari
teori-teori
sebelumnya. Studi ini membawa Maslow untuk
mengembangkan
teori motivasi (Human
Motivation) yang lebih populer dengan istilah
HIRARCHY OF NEEDS (tingkat kebutuhan
manusia), untuk menjelaskan hbungan antara
kepribadian dan motivasi manusia.
Newmark, Norma L., & Thompson, Patricia, J.,
1977. Self Space & Shelter., hal. 8.

DAFTAR PUSTAKA

1.
2.
3.

Rabinwitz, Harvey, Z (1979),
Evaluasi
Purnahuni, dalam : Synder, James C Pengantar
Arsitektur. Penerbit Airlangga, Jakarta.
____ (1991) Tata Cara Perencanaan Kepadatan
Bangunan Lingkungan Rumah Susun Hunia.
Departemen P. U. Jakarta.
___ (1983). Pedoman Teknik Pembangunan
Perumahan Sederhana Tidak Bertingkat.
Departemen P. U. Direktorat Jendral Cipta
Karya, Jakarta.