gaya hidup masyarakat rumah susun

Gaya Hidup Masyarakat Bawah di Hunian Atas
Hunian vertikal merupakan tempat huni yang berblok-blok dengan bangunan induk yang
sama,hunian tersebut kini mulai mengambil hati masyarakat. Sekarang masyarakat dari kalangan bawah
hingga atas mulai menimbang pilihan untuk tinggal dalam hunian vertikal (vertical housing) atau rumah
tapak (landed housing). Hal ini disebabkan karena kebijakan tentang skema Kredit Pemilikan Rumah
Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR FLPP). Kemenpera bakal mencabut bantuan subsidi
untuk rumah tapak. Peraturan ini mulai berlaku Maret 2015. Meskipun demikian, Kemenpera tetap
menyalurkan KPR FLPP untuk rumah susun (rusun). Tujuannya mendorong pembangunan hunian
vertikal untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di Indonesia. Selain itu, pemerintah dan
developer berlomba lomba untuk memberikan hunian vertikal nyaman, murah dan aman dengan fasilitas
yang cukup memadai. Hunian vertikal memiliki beberapa model dapat berupa rumah susun, apartemen,
kondomium, loft house dan sebagainya.
Isu ini juga muncul karena derasnya kaum urbanis yang mencari kerja di kota kota besar. Padahal
tidak setiap kota besar telah siap menerima arus deras itu, maka lahirlah kaum marjinal yang mengisi
sudut kota. Kaum marjinal inilah yang menambah kepadatan penduduk sehingga lahan semakin terbatas.
Hunian vertikal merupakan cara paling efisien untuk mengatasi masalah mobilitas yang tinggi dan
terbatasnya lahan.
Di setiap kawasan dan tingkat masyarakat memiliki gaya hidup yang berbeda beda dan khas.
Masyarakat lapisan bawah tidak langsung menempati dengan mudah rumah hunian bersusun.mereka
harus merubah gaya hidup dari rumah tapak ke rumah vertikal. Masyarakat berpenghasilan rendah ini
biasa hidup secara out-door living. Mereka biasanya mengisi waktu luang dengan mencari hiburan tanpa

biaya . Contohnya saja adalah bergaul dengan tetangga dekat. Selain mendatangkan hiburan, hal ini juga
merupakan alat untuk mempererat tingkat kohesif masyarakat dan memperkuat persahabatan, sehingga
hubungan kemasyarakatan tersebut dirasa mengayomi antar warga di kala mereka membutuhkan bantuan
dan pertolongan. Kehidupan masyarakat kampung (horizontal), khususnya di Jawa, memiliki gaya hidup
mencolok antara lain komunal, guyub dan kampungan, gaya hidup tersebut akan terbawa dalam ke
bangunan hunian vertikal. Pola hidup komunal merupakan pola hidup masyarakat tersebut. Perasaan
kohesif sosial pada pola hidup komunal mengisyaratkan kebutuhan mereka akan ruang horizontal
daripada vertikal. Sebaliknya, lapisan masyarakat menengah ke atas mengalami pola hidup individual.
Mereka biasa hidup secara in-door living. Hal ini disebabkan karena sedikitnya waktu luang di rumah.
Sisa waktu biasa digunakan untuk memikirkan pekerjaan sehari hari dan melakukan permainan/hiburan
secara individual dengan peralatan elektronik. Melalui gadget elektronik jugalah mereka dapat
memperluas relasi. Tidak jarang masyarakat menengah ke atas juga mencari tempat hiburan di luar rumah
seperti ke pusat perbelanjaan dan tempat makan.
Dalam teori ilmu sosial disebutkan bahwa kekuatan eksistensi penduduk lapisan bawah terletak
pada tingkat kohesif masyarakatnya. Pola rancangan rumah susun untuk lapisan masyarakat menengah
umumnya meniru bentuk dan pola yang dikembangkan di negara Barat. Penekanan pola hidup individual
sangat kuat. Akibatnya, tidak terpikirkan pola hidup yang mendorong masyarakat untuk berkumpul,
berinteraksi atau hidup secara guyub pada rumah susun di Indonesia yang diperuntukkan bagi masyarakat
lapisan bawah. Oleh karena itu, perancangan ruang untuk menumbuhkan paguyuban sangat diperlukan
agar tinggal di rumah susun menyenangkan dan saling meringankan. Ruang bersama sangat ideal dipakai

sebagai tempat berkumpul untuk melakukan interaksi sosial dan berbagai aktivitas-aktivitas sosial.

Maka dari itu, masyarakat lapisan bawah tidak begitu saja menerima tawaran peremajaan
perumahan kumuh menjadi rumah susun. Padahal pola yang ditawarkan tidak jauh berbeda dengan pola
yang mereka huni, yaitu tetap komunal dan skala blok rumah relatif kecil.
Dengan demikian, rumah susun harus dirancang secara komunal. Pembangunan hunian vertikal
tanpa mengubah pola hidup komunal tidak berarti kondisi sosial ekonomi mereka mengalami stagnasi,
melainkan perlu diberi pemahaman tentang tata hidup dan pergaulan yang lebih baik, seperti masalah
kebersihan dan pemeliharaan lingkungan serta etika pergaulan untuk privat space dan public space.
Penyesuaian sosial ekonomi, tata pergaulan dan pemeliharaan lingkungan ini akan mempengaruhi
kualitas sumber daya manusia dan persepsi masyarakat pada proses huni yang berkelanjutan.
Melalui gaya hidup tersebut, pemerintah dapat mengurangi kawasan kumuh, karena banyak
kerugian yang ditimbulkan dari gaya hidup yang kumuh tersebut. Contohnya adalah kebakaran pada
perkampungan yang padat, membuang sampah sembarangan di sungai, dan lain lain
Memutuskan tinggal di tempat dengan konsep hunian vertikal harus siap berbagai aspek umum
seperti sosial, pelayanan, kebersihan dan keamanan lingkungan . Kehidupan bermasyarakat yang
terbentuk pada hunian konsep vertikal berkaitan erat dengan living habit/ kebiasaan
penghuninya.Diharapkan dengan adanya hunian vertikal, dapat memperkecil perkembangan
perkampungan kumuh di suatu wilayah dan meningkatkan kualitas lingkungan yang lebih sehat. Selain
itu, seharusnya ini juga merupakan tahap relokasi masyarakat agar lebih terbiasa dengan hidup layak.

Penggunaan tanah untuk perumahan semakin kritis pemerintah memerlukan waktu yang tidak sebentar
untuk dapat mengubah pola pikir masyarakat agar mendapat hunian layak.

Data Diri
Nama
Instansi
Jurusan
TTL
No. HP
Email

: Hasya Aghnia
:Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
: S1 Perencanaan Wilayah dan Kota
: Surabaya, 30 Maret 1996
: 083848480602
: hasyaaghnia@gmail.com