77
mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
”.
3
Q.S Al-Ahzab: 50 Syaltut menambahkan, dari berbagai latar belakang pensya
ri‟atan suatu perbuatan menurutnya dapat diketahui dengan didasarkan pada tolok
ukur baik atau buruknya. Baik dan buruk tersebut bukan dilihat dari gambaran atau kenampakan lahiriah sosok luar itu sendiri, melainkan yaitu
diukur dari makna yang terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu memisahkan anak yatim dalam hal makan dan minumnya belum tentu dianggap baik
sebelum syari‟at mengharuskannya demikian misalnya: wali anak yatim rakus atau curang, maka demikian halnya dalam mencampur hartanya.
Sebagai tolok ukur kebaikan dalam hal ini adalah terjaganya diri dan harta anak yatim berdasarkan ketentuan.
4
Yang menjadi landasan sebuah syari‟at, menurut Syaltut adalah apabila perbuatan itu mengandung maslahat maka perbuatan itu dianggap
baik dan dianjurkan untuk dikerjakan. Namun apabila perbuatan itu mengandung kerusakan, maka perbuatan itu dianggap buruk dan harus
dihindarkan.
5
B. Kriteria Tasyri’
iyyah
dan
Ghairu
Tasyri’iyyah
Melihat dari uraian Syaltut dalam mengklasifikasikan sunnah nabi dalam golongan
tasyri‟iyyah dan
ghairu
tasyri‟iyyah, maka secara garis besar dapat diketahui kriteria-kriterianya sebaga berikut. Adapun kriteria
sunnah tasyri‟iyyah meliputi:
3
Departemen Agama Republik Indonesia. Al Qur‟an dan Terjemahnya..., h. 567
4
Mahmud Syaltut, Tafsir Al- Qur‟an..., h. 985
5
Ibid.,
78
1. Segala sesuatu yang datangnya dari Rasulullah baik berupa ucapan,
perbuatan maupun ketetapannya dalam bentuk penyampaian risalah dan penjelasan terhadap Al-
Qur‟an. Seperti halnya menjelaskan ayat-ayat dalam Al-
Qur‟an yang sifatnya masih samar atau belum jelas, membatasi yang masih bersifat umum atau bermakna ambigu, memberi
qayid
yang masih bersifat mutlak, menjelaskan bentuk ibadah, halal dan haram,
akidah serta akhlak. Ucapan dan perbuatan Nabi dalam kapasitasnya sebagai seorang Rasul, merupakan sunnah berdaya hukum yang wajib
diikuti. Sebagai salah satu bukti bahwa seseorang benar-benar mentaati
dan mengikuti Rasulullah SAW, maka semua yang datang darinya yang terkait berbagai masalah agama adalah mutlak untuk diikuti, sedangkan
yang bukan dari Rasul meskipun itu terkait masalah agama maka tidak bisa dibenarkan dan harus ditolak. Sunnah nabi yang seperti ini
mengandung unsur syari‟at tasyri‟iyyah yang berlaku bagi semua umat
muslim hingga hari kiamat. Pelaksanaannya tidak tergantung pada izin atau persetujuan siapapun. Jadi seluruh umat Islam diwajibkan untuk
mentaati baik perintah ataupun larangan yang terkandung di dalamnya. 2.
Hal-hal yang datangnya dari Rasulullah, baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapannya yang pada saat itu Rasul berposisi sebagai Imam
atau sebagai kepala pemerintahan umum bagi segenap umat Islam. Menyangkut hal ini misalnya seperti sunnah nabi yang membicarakan
tentang pengiriman pasukan perang untuk
jihad,
pembagian harta rampasan perang, penetapan pemungutan pajak untuk negara, membuat
79
perjanjian, pengangkatan wali atau pembesar suatu negara, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan fungsi rasul sebagai seorang pemimpin yang
bertanggungjawab untuk mengurus kepentingan masyarakat. Namun sunnah
tasyri‟iyyah yang demikian ini tidak berlaku secara umum bagi semua umat Islam, sebab pelaksaannya tergantung pada izin dan
persetujuan dari imam atau pemimpin dari masing-masing wilayah yang dikuasainya.
3. Segala hal yang datangnya dari Rasulullah dalam kedudukannya sebagai
hakim peradilan. Pada batas lingkungan ini rasul berhak memberikan keputusan suatu perkara sengketa yang terjadi di kalangan umat Islam
berdasarkan bukti-bukti yang ada. Namun sunnah
tasy
ri‟iyyah yang demikian ini kedudukan hukumnya sama sebagaimana saat nabi berposisi
sebagai imam kepala pemerintahan, yaitu tidak dapat diberlakukan sebagai syari‟at umum. Sehingga pelaksaannya pun juga terikat dengan
keputusan hakim. Di samping memiliki beberapa kriteria di atas, sunnah nabi yang
bermuatan unsur syari‟at menurut Syaltut mencangkup tiga bidang yaitu
sunnah nabi yang dari segi kandungannya berkaitan dengan persoalan akidah, akhlak dan budi pekerti, serta sunnah yang bermuatan tentang hukum
„
amaliah
sehari-hari. Yang disebutkan terakhir ini, hukum-hukum yang diperoleh dari sunnah dalam bentuk yang demikian disebut sebagai “
Fiqih Sunnah
”, sedangkan hadis-hadisnya dikenal dengan “
Hadis Ahkam
”. Lain halnya dengan sunnah
tasyri‟iyyah, sunnah-sunnah nabi yang tidak memiliki
80
daya hukum dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penetapan hukum syari‟at, atau yang oleh Syaltut disebut dengan sunnah
ghairu tasyri
‟iyyah juga dapat dikelompokkan berdasarkan kriterianya, yaitu menyangkut
beberapa aspek sebagai berikut: 1.
Sunnah nabi yang di dalamnya bermuatan tentang perbuatan rasul sebagai kepentingan kehidupan manusia biasa, misalnya makan, minum, tidur,
berjalan, berkunjung, tawar menawar dalam jual beli dan lain sebagainya. Perbuatan nabi semacam ini menurut Syaltut tidak termasuk dalam syara‟
yang ada kaitannya dengan perintah ataupun larangan. Di samping itu juga tidak terdapat indikasi ibadah di dalamnya. Sehingga menurutnya
perbuatan Rasulullah tentang itu tidak dapat dijadikan sebagai sumber atau dasar untuk menghukumi perbuatan umat Islam.
2. Sunnah nabi yang bermuatan tentang penelitian, pengalaman dan atau adat
kebiasaan suatu golongan. Dalam hal ini menurut Syaltut bisa berupa pengalaman penelitian urusan pertanian, medis, perindustrian, dan
kebiasaan berpakaian. 3.
Sunnah nabi yang berhubungan dengan permasalahan pimpinan untuk menangani keadaan tertentu. Misalnya dalam hal ini adalah mengatur
strategi peperangan, mengerahkan pasukan dalam pertempuran, dan memusatkan tentara pertempuran pada wilayah-wilayah tertentu. Tindakan
nabi yang demikian ini menurut Syaltut juga tidak dapat dianggap sebagai syari‟at yang mengikat umat Islam.
81
Dalam uraiannya, Syaltut turut mencantumkan beberapa contoh riwayat dari hadis yang kemudian menjelaskan permasalahan seputar unsur
tasyri‟iyyah yang terkandung di dalamnya. Beberapa riwayat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Riwayat hadis yang menyatakan bahwa,”rasulullah bersabda,”
barangsiapa menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya
”. Dalam menyikapi hadis ini, menurut Syaltut mayoritas ulama
berpendapat bahwa hadis ini disampaikan oleh rasul dalam posisinya sebagai
tabligh ar-risalah
dan fatwa rasul. Maka dari itu hadis tersebut dianggap memuat
unsur syari‟at secara umum. Sehingga berarti setiap orang berhak mengolah lahan kosong dan kemudian memilikinnya secara
penuh, baik dengan atau tanpa izin dari Imam.
6
Kemudian Syaltut menambahkan pula pendapat dari Imam Abu Hanifah yang berbeda dengan kesepakatan ulama di atas. Menurutnya
hadis tersebut merupakan sabda rasul dalam posisinya sebagai Imam dan kepala pemerintahan. Oleh sebab itu tidak dapat dianggap sebagai
syari‟at yang berlaku secara umum. Oleh sebab itu menurutnya tidak sembarang orang diperbolehkan untuk menghidupkan tanah mati kecuali
dengan izin imam.
7
2. Telah sah riwayat yang menyatakan bahwa rasulullah bersabda kepada
Hindun bin „Uqbah istri Abu Sofyan. Kemudian ketika rasul hendak
6
Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah ..., h. 513
7
Ibid .,
82
menyampaikan bahwa Abu Sofyan adalah orang yang sangat kikir, tidak memberi istri dan anak-anaknya uang belanja yang cukup. Sehingga
rasulullah besabda,”
Ambilah olehmu untuk perbelanjaanmu dan untuk
anakmu barang seperlunya menurut kebiasaan.” Dalam menanggapi riwayat di atas, menurut Syaltut dikalangan
ulama juga terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan tersebut dalam hal menentukan apakah sabda rasul saat itu merupakan fungsinya sebagai
utusan Allah yang menyampaikan pesan-Nya dan fatwa. Jika demikian maka itu berarti setiap orang berhak untuk mengambil haknya yang ada
pada orang lain meskipun itu tanpa sepengetahuan dari orang tersebut. Atau bisa jadi sabda tersebut disampaikan ketika rasulullah saat itu
bertindak sebagai
qadhi
yang memutuskan hukum. Jika demikian adanya maka berarti setiap orang tidak berhak mengambil secara paksa haknya
yang ada pada orang lain, kecuali melalui putusan hakim.
8
3. Telah sah suatu riwayat yang menyatakan bahwa rasulullah pernah
bersabda,”
Barang siapa yang membunuh musuh, maka ia berhak memiliki pakaian dan alat senjatanya.
” Dalam menanggapi riwayat ini pun menurut Syaltut para ulama
berbeda pendapat tentang alasan yang mendasari rasul bersabda demikian. Terdapat ulama yang menyatakan bahwa rasulullah mengucapkan sabda
tersebut dalam fungsinya sebagai rasul yang membawa pesan Allah SWT. Sehingga hal itu nanti akan berimbas pada pemahaman bahwa setiap
8
Ibid .,
83
pasukan atau prajurit perang yang menewaskan musuhnya maka mereka berhak mengambil pakaian dan alat senjatanya, baik itu melalui keputusan
dari imam ataukah tidak. Di samping itu, sebagian ulama lain berpendapat bahwa sabda tersebut diucapkan rasul dalam fungsinya sebagai imam.
Jika demikian maka prajurit perang yang menewaskan musuhnya tidak berhak memiliki pakaian dan alat senjata yang dimiliki oleh lawannya.
9
Selanjutnya Syaltut mencantumkan komentar Al-Kamal terkait dengan hadis tersebut. Menurut Al-Kamal, tidak ada perbedaan pendapat
di kalangan ulama tentang sah atau tidaknya riwayat tersebut dari rasulullah. Justru yang menjadi permasalahan adalah apakah hukum yang
terkandung dalam sunnah tersebut bersifat umum yaitu untuk sepanjang waktu dan berbagai keadaan ataukah hanya sebatas dorongan Nabi untuk
mengobarkan semangat perjuangan dalam pertempuran, maka itu berarti sabda nabi memiliki makna yang khusus pada situasi dan kondisi saat itu.
Syaltut menambahkan bahwa Imam Syafi‟i menghukumi sunnah tersebut sebagai sunnah
tasyri‟iyyah umum karena tugas pokok rasulullah adalah untuk menerapkan syara‟. Permasalahan ini dikupas
pula dalam kitab Fathul Qadir juz IV tentang bab
tanfil
rampasan. Selain itu juga pernah dibahas oleh Imam Ghurafi dalam kitabnya Al-Furuq juz I
dan juga Ibnu Qayyim dalam kitab Zadul Ma‟ad juz II pada pembahasan tentang perang Hunain. Selain merek masih banyak lagi ulama fiqih
khususnya yang sering berbeda pendapat dalam meninjau tindakan-
9
Ibid ., h. 514
84
tindakan rasulullah yang kemudian dihubungkan dengan fungsi rasul saat itu. Dari hal itu kemudian Syaltut menyimpulkan bahwa sebenarnya
sebagaian besar para fuqaha sepakat mengenai pernyataan dasar bahwa terdapat dua arah kandungan sunnah nabi, yaitu sunnah
tasyri‟iyyah dan sunnah
ghairu
tasyri‟iyyah. Dan mereka pun mengakui adanya pemilahan tersebut.
10
C. Implikasi Teori