74
BAB V ANALISIS POLA PEMIKIRAN MAHMUD SYALTUT
TERKAIT KLASIFIKASI SUNNAH
TASYRI
’
IYYAH
DAN
GHAIRU TASYRI
’
IYYAH
A. Asumsi Dasar
Sebagai seorang tokoh ulama sekaligus pemikir Islam, dalam mengemukakan suatu pendapat atau mencetuskan suatu gagasan pemikiran
maka mereka harus memiliki suatu asumsi sebagai pijakan dasar dan menguatkan gagasan yang dikemukakannya tersebut. Begitu juga dengan
gagasan Syaltut dalam mengklasifikasikan sunnah nabi menjadi dua golongan yaitu sunnah
tasyri‟iyyah dan
ghairu
tasyri‟iyyah. Dalam hal ini, rupanya Syaltut dalam mengemukakan pendapat tersebut dalam karya pokoknya yang
membahas tentang permasalahan ini, ia secara tersurat tidak menyertakan alasan atau asumsi yang menjadi dasar gagasan tersebut dalam bab yang
sama. Namun alasan itu masih dapat ditelusuri melalui keterangan- keterangannya pada halaman lain dan bahkan dari karyanya yang lain, salah
satunya yaitu dalam karya tafsirnya. Berkaitan dengan persoalan yang dibahas dalam penelitian ini, asumsi
dasar yang digunakan Syaltut dalam mengklasifikasikan sunnah nabi salah satunya yaitu dapat ditelusuri melalui hadis yang ia cantumkan dalam karya
tafsirnya saat menafsirkan surat Al-Anfal. Hadis yang dimaksud adalah, “antum a‟lamu bi umuri dunyakum” kalian lebih mengetahui tentang urusan
75
dunia kalian yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim.
1
Hadis ini ia pergunakan untuk mendukung penjelasan dan penafsirannya tentang adanya
beberapa perkara keduniaan yang menurutnya memang sengaja tidak dirinci dan tidak pula diatur dalam tasyri‟ ilahi. Allah membiarkan hal itu dibahas
oleh manusia sendiri dengan akal yang telah dianugerahkan oleh-Nya, hingga mereka mencapai hasilnya baik itu salah maupun benar.
2
Jadi setiap manusia memiliki kesempatan yang luas untuk mengeksplor kemampuan akalnya
untuk mengadakan penelitian terkait cara-cara bercocok tanam, perindustrian, medis atau pengobatan, taktik peperangan dan hal-hal lain yang Allah sendiri
mewakilkan kesemuanya itu kepada pertimbangan akal manusia dalam mengetahui dan mengambil manfaat darinya.
Di samping hadis yang telah disebutkan oleh Syaltut, adanya perbedaan pendapat di sekitar sunnah nabi untuk dijadikan sebagai suatu
undang- undang umum atau syari‟at dengan yang tidak, itu juga
dimungkinkan karena adanya
ikhtilaf
pendapat dalam memandang perbuatan Rasulullah dan hubungannya dengan umat. Salah satunya yaitu tentang
adanya perbuatan
khususiyah
nabi, seperti halnya sholat
dhuha
dan tahajud wajib bagi Rasulullah, boleh beristri lebih dari empat serta menikah tanpa
1
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ini merupakan kasus penyerbukan kurma. Hadis ini diriwayatkan dalam tiga versi dengan periwayat yang berbeda, yaitu berasal dari Thalhah
r.a, dari Rafi‟ bin Khudaij r.a, dan terakhir adalah berasal dari Aisyah dan Anas r.a. Ketiga versi ini diriwayatkan dalam shahih muslim. Salah satu riwayat tersebut adalah: “Dari Aisyah dan Anas
r.a mengatakan bahwa nabi pernah berjalan melewati suatu kelompok orang yang sedang menyerbuki kurma. Kemudian beliau bersabda,” Seandainya kalian tidak melakukannya, tentu
buahnya akan baik.” Aisyah dan Nas mengatakan bahwa kurma itu kemudian berbuah jelek. Kemudian Rasulullah melewati mereka lagi dan bertanya,” Apa yang terjadi pada kurmakalian?”
Mereka menjawab,” Engkau katakan begini dan begini.” Beliaupun bersabda,”Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian.” Lihat: Al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh Al-Nawawi Juz XV
Beirut: Dar Al-Fikr, t.t, h. 116
2
Mahmud Syaltut, Tafsir Al- Qur‟an..., h. 982
76
mahar. Sylatut berkomentar bahwa terkait perbuatan yang demikian ini tidak ada keterangan yang menjelaskan bahwa umat Islam dibenarkan untuk
mengikuti perbuatan Rasulullah yang demikian tersebut. Hal ini mengartikan bahwa perbuatan-perbuatan nabi tersebut
bukan merupakan syari‟at untuk ditetapkan kepada para umatnya. Kekhususan Rasulullah tersebut dapat
ditinjau dari firman-Nya sebagai berikut:
Artinya: “
Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang
kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan demikian pula anak-anak perempuan dari
saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak
perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi
mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami
wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang
77
mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
”.
3
Q.S Al-Ahzab: 50 Syaltut menambahkan, dari berbagai latar belakang pensya
ri‟atan suatu perbuatan menurutnya dapat diketahui dengan didasarkan pada tolok
ukur baik atau buruknya. Baik dan buruk tersebut bukan dilihat dari gambaran atau kenampakan lahiriah sosok luar itu sendiri, melainkan yaitu
diukur dari makna yang terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu memisahkan anak yatim dalam hal makan dan minumnya belum tentu dianggap baik
sebelum syari‟at mengharuskannya demikian misalnya: wali anak yatim rakus atau curang, maka demikian halnya dalam mencampur hartanya.
Sebagai tolok ukur kebaikan dalam hal ini adalah terjaganya diri dan harta anak yatim berdasarkan ketentuan.
4
Yang menjadi landasan sebuah syari‟at, menurut Syaltut adalah apabila perbuatan itu mengandung maslahat maka perbuatan itu dianggap
baik dan dianjurkan untuk dikerjakan. Namun apabila perbuatan itu mengandung kerusakan, maka perbuatan itu dianggap buruk dan harus
dihindarkan.
5
B. Kriteria Tasyri’