PENDAHULUAN Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Komunikasi Interpersonal Pada Mahasiswa Yang Berasal Dari Provinsi X.

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Yogyakarta memang pantas mendapat sebutan kota pelajar karena banyaknya pelajar dari seluruh penjuru Indonesia yang merantau ke kota tersebut untuk menuntut ilmu. Merantau merupakan perwujudan dari keinginan setiap individu yang baru menyelesaikan pendidikan di bangku SMA untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik. Keinginan untuk mendapatkan pendidikan di universitas terbaik biasanya tidak didapatkan di daerah asal atau kota sendiri. Hal itu mengakibatkan sebagian orang harus merantau untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dan berkualitas (Irene, 2013).

Menurut Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Propinsi Daerah lstimewa Yogyakarta, sampai dengan tahun ajaran 2015/2016, di Yogyakarta tercatat 144 perguruan tinggi, baik perguruan tinggi negeri, perguruan tinggi kedinasan dan perguruan tinggi swasta, dengan 78 fakultas dan 391 program studi. Rinciannya adalah 5 perguruan tinggi negeri, 7 perguruan tinggi kedinasan, dan 132 perguruan tinggi swasta (Admin, 2015). Tentu saja hal ini selaras dengan banyaknya macam variasi pada setiap individu yang berkumpul di kota Yogyakarta. Dijelaskan lebih lanjut, terdapat 30 asrama mahasiswa daerah dan 15 asrama kabupaten/kota yang terdaftar oleh Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Propinsi Daerah lstimewa Yogyakarta. Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Daerah Istimewa Yogyakarta, Kadarmanta Baskara Aji mengatakan bahwa konflik sosial yang acapkali muncul di kalangan pendatang


(2)

karena sifat eksklusifitas tersebut. Yang dimaksud sifat eksklusifitas adalah mahasiswa pendatang di Yogyakarta lebih senang tinggal di asrama daerah masing-masing daripada di rumah-rumah warga, sehingga pemerintah meminta agar mahasiswa dari luar DIY yang kuliah di DIY tidak tinggal semua di asrama daerah masing-masing. Mereka diminta untuk tinggal di rumah-rumah penduduk agar bisa berbaur dengan masyarakat sekitar (Rudiana, 2013).

Keeksklusifitasan asrama mahasiswa dapat menciptakan jarak antara mahasiswa dengan masyarakat asli daerah. Sebaliknya, apabila mereka mau tinggal di rumah-rumah penduduk hal ini bisa meminimalisir kerawanan konflik sosial atau perkelahian dan sebagainya, karena bisa saling menerima diantara mahasiswa dan masyarakat asli daerah (Ridarineni, 2013).

Salah satu fenomena masalah mahasiswa perantau dengan masyarakat asli daerah adalah kasus dari FS mahasiswi yang berasal dari provinsi X. Kasus ini bermula setelah F S mengantri membeli bensin di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Lempuyangan. Saat itu, ia yang mengunakan sepeda motor Honda Scoopy, hendak membeli Pertamax, menyelonong memotong antrian sehingga ditegur anggota TNI yang berjaga. Ia marah namun tetap tidak boleh memotong antrian. Kecewa dengan kejadian itu, sekeluar dari SPBU, FS menumpahkan kekesalannya di akun situs pertemanan Path. Salah satu ungkapan kekesalannya: "Jogja miskin, tolol, miskin dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta, Bandung, jangan mau tinggal di jogja”, dinilai menjelekkan dan menghina warga Yogyakarta. Status itu kemudian disebar di media jejaring sosial dan mendapat reaksi negatif berupa cercaan dari masyarakat. Pada tanggal 29


(3)

agustus 2014, elemen masyarakat Yogyakarta melaporkan FS ke Polda DI Yogyakarta. Mereka, di antaranya, Granat DIY, Komunitas RO Yogyakarta, Foklar DIY-Jateng, Gerakan Cinta Indonesia, Pramuka DIY, dan berbagai kelompok masyarakat lain (Hidayat & Waskita, 2014).

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan subjek berinisial AS yang merupakan seorang mahasiswi semester 3 di salah satu perguruan tinggi negeri di Jogjakarta, subjek mengatakan bahwa pada awal kuliah dan tinggal di Jogjakarta ia mengalami homesick yang luar biasa. Selain faktor makanan yang berbeda dengan kampung halamannya, faktor budaya juga sangat berpengaruh yang salah satunya adalah cara berkomunikasi dan bahasa. AS menjelaskan logat dan bahasa dari daerah asalnya yang terkenal keras memang dianggap biasa ketika diterapkan di daerah asalnya di provinsi X. Namun di Yogyakarta semakin halus dan pelan cara berkomunikasi dengan orang lain dianggap lebih sopaan dan menghormati. Subjek juga mengutarakan bahwa ia mengalami kurang percaya diri dalam bergaul dan bersosialisasi di kampus, hal ini dikarenakan sering teman-teman mahasiswa yang berasal dari daerah lain kurang mengerti atau bingung dengan apa yang disampaikan oleh subjek. Oleh karena itu, subjek memutuskan untuk tinggal diasrama agar lebih nyaman karena banyak teman sedaerah dan agar dapat “dibantu” oleh senior dalam berkomunikasi.

Subjek lain DAT yang merupakan mahasiswa semester 9 di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta, mengatakan bahwa komunikasi merupakan faktor paling penting ketika subjek kuliah di Yogyakarta. Subyek mengaku sering terlibat perkelahian dengan sesama mahasiswa ataupun dengan


(4)

masyarakat umum yang disebabkan oleh kesalahpahaman. Rata-rata mereka tersinggung dengan ucapan bahasa atau gaya bahasa subjek DAT. Namun ketika subjek ditegur karena gaya bahasanya, subjek merasa tidak bersalah karena itu adalah hal yang wajar, apalagi diucapkan oleh seorang laki-laki. Menurut subjek, orang yang tersinggung dengan gaya bahasa subjek adalah orang yang belum mengenal subjek, karena menurut subjek orang yang sudah mengenal subjek dengan baik, akan memahami gaya komunikasi subjek.

Fenomena diatas, dapat diambil garis besar bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kehidupan manusia tidak akan terlepas dari kebutuhan untuk bergaul dengan sesamanya. Kebutuhan ini merupakan salah satu kebutuhan mendasar bagi manusia. Karena adanya kebutuhan inilah manusia akan melakukan interaksi dengan sesamanya untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi antar manusia tersebut dapat dilakukan melalui komunikasi. Masmuh (2008) berpendapat bahwa komunikasi menyelimuti segala yang kita lakukan. Komunikasi adalah alat yang dipakai manusia untuk melangsungkan interaksi sosial, baik secara individu dengan individu, individu dengan kelompok ataupun kelompok dengan kelompok.

Komunikasi merupakan suatu proses dua arah yang menghasilkan pertukaran informasi dan pengertian antara masing-masing individu yang terlibat. Komunikasi merupakan dasar dari seluruh interaksi antar manusia. Komunikasi merupakan kebutuhan hakiki dalam kehidupan manusia untuk saling tukar menukar informasi. Karena tanpa komunikasi, interaksi antar manusia, baik secara perorangan, kelompok maupun organisasi tidak mungkin terjadi


(5)

(Rundengan,2013). Manusia memerlukan kehidupan sosial, kehidupan bermasyarakat. Menurut Larlen (dalam Asminto, 2013) melalui komunikasi manusia dapat mengekspresikan perasaan, isi hatinya, dan segala masalah kehidupannya kepada orang lain secara lebih bebas dengan bahasa sebagai medium penyampaiannya. Berkomunikasi dengan orang lain merupakan bagian dari kehidupan manusia dan mempunyai arti penting untuk memenuhi kebutuhan sosial karena manusia adalah makhluk sosial. Sebagian besar interaksi manusia berlangsung dalam situasi komunikasi interpersonal (komunikasi antar pribadi).

Komunikasi interpersonal dilakukan oleh dua orang atau lebih yang akan melakukan interaksi yang saling berbalasan dan saling mempengaruhi. Orang yang melakukan komunikasi akan menyampaikan pesan yang berdasarkan pada aturan dan harapan penyampaian pesan itu sendiri sehingga mereka akan melakukan proses komunikasi, agar mencapai tujuan dan nantinya menghasilkan suatu output tertentu. Hal inilah yang dinamakan komunikasi interpersonal sebagai suatu sistem. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Panuju (2001) komunikasi merupakan sistem aliran yang menghubungkan dan kinerja antar bagian dalam organisasi sehingga menghasilkan suatu sinergi. Sebagai suatu sistem, unsur-unsur yang ada dalam komunkasi interpersonal saling terkait satu sama lain. Ketiadaan satu unsur akan mengganggu unsur yang lainnya. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang lebih mengenai unsur-unsur dari sistem komunikasi interpersonal itu sendiri yaitu unsur input (Persepsi Interpersonal, konsep diri, antraksi interpersonal dan hubungan interpersonal) dan output. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan olah Rahmat (2007) bahwa dalam sistem


(6)

komunikasi interpersonal ada hal-hal penting, yaitu persepsi interpersonal, konsep diri, atraksi interpersonal dan hubungan interpersonal.

Komunikasi interpersonal ini sangatlah penting bagi mahasiswa pendatang dari daerah lain ke daerah perantauan untuk menyesuaikan diri sehingga dapat menjalin komunikasi yang baik dengan mahasiswa ataupun masyarakat lokal. Kelebihan mahasiswa pendatang adalah dapat belajar hidup mandiri dan bersosialisasi dengan teman baru serta lingkungan barunya dibandingkan dengan mahasiswa yang tinggal di kota bersama orang tuanya. Mahasiswa pendatang memiliki konsep diri dan budaya yang berbeda dari daerah perantauan dimana mereka akan tinggal. Gunarsa (dalam Adawiyah, 2012) menjelaskan bahwa konsep diri adalah penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri secara keseluruhan, baik fisik, psikis, sosial maupun moral. Penilaian terhadap diri sendiri tersebut sangat dipengaruhi oleh peniliaian lingkungan terhadap dirinya. Lingkungan tersebut adalah keluarga, sekolah, kampus dan lingkungan pergaulan diluar rumah, sehingga, apabila mahasiswa tidak dapat menyelaraskan antara konsep diri dengan kualitas komunikasi interpersonal maka akan timbul konflik-konflik sosial. Hal ini juga dikuatkan oleh penelitian dari Yohana (2014), dalam jurnalnya menjelaskan bahwa terdapat hubungan positif antara konsep diri dengan komunikasi interpersonal. Yohana menambahkan pengaruh konsep diri terhadap komunikasi interpersonal hanya sebesar 22,36%.

Hasil penelitian Yohana (2014) mengungkapkan bahwa terdapat pengaruh konsep diri terhadap komunikasi interpersonal. Oleh karena itu mahasiswa yang merupakan agen perubahan, dimana menjadi penghubung antara masyarakat


(7)

dengan pemerintah diharapkan memiliki konsep diri yang positif serta kualitas komunikasi interpersonal yang bagus. Dengan organisasi dan akademik mahasiswa dibentuk agar memiliki konsep diri yang positif. Hal ini sesuai dengan teori dari Rakhmat (2009), konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi interpersonal, karena setiap orang bertingkah laku sedapat mungkin sesuai dengan konsep dirinya. Komunikasi interpersonal banyak bergantung pada kualitas konsep diri yang negatif atau positif. Konsep diri positif akan melahirkan pola perilaku komunikasi yang positif, yaitu melakukan persepsi yang lebih cermat, dan mengungkapkan petunjuk-petunjuk yang membuat orang lain menafsirkan dengan cermat. Namun kenyataanya di dalam kehidupan sehari-hari masih banyak mahasiswa yang memiliki konsep diri yang negatif, seperti mudah menyerah, acuh dan lain sebagainya. Sehingga mempengaruhi sikap dan perilaku mahasiswa tersebut terhadap perilaku dengan lingkungan sekitarnya misal komunikasi yang kurang baik dengan dosen, teman mahasiswa ataupun masyarakat sekitar.

Fenomena dari FS, AS dan DAT diatas menjelaskan bahwa mahasiswa pendatang dalam melakukan komunikasi interpersonal dengan lingkungan baru sering kali masih membawa nilai-nilai kehidupan dan konsep diri dari daerah asalnya. Kenyataannya, banyak konsep diri tersebut bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan dimana mereka tinggal sekarang, sehingga menimbulkan perbedaan persepsi dalam melakukan komunikasi interpersonal dengan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, tercipta kualitas komunikasi interpersonal yang kurang baik antara mahasiswa perantau dengan masyarakat, seperti subjek


(8)

AS yang merasa kurang percaya diri ketika berkomunikasi dengan orang yogyakarta yang pelan dan halus dalam berbicara, serta merasa kurang percaya dengan kemampuan lawan bicara. Selain itu subjek DAT yang mudah tersinggung karena tidak mampu memahami dan merespon dengan baik apa yang disampaikan orang lain.

Kenyataan yang terjadi tersebut membuat mahasiswa perantau lebih senang berkumpul dengan mereka mahasiswa yang satu daerah, hal itu mungkin disebabkan banyak kesamaan diantara mereka sehingga membuat mereka merasa nyaman. Namun, hal tersebut membuat mahasiswa perantau kurang bisa membuka diri dengan lawan bicara, sehingga tidak bisa percaya dengan lawan bicara. Selain itu mahasiswa perantau tersebut tidak memiliki sifat yang jujur dan menjadi diri sendiri apa adanya, serta tidak mampu berempati dengan keadaan orang lain. Dan jugan tidak mampu memahami dan merespon dengan baik apa yang disampaikan orang lain.

Seharusnya, komunikasi interpersonal akan berhasil atau tercapai tujuannya apabila mahasiswa perantau mau membaur dengan masyarakat lokal atau dengan mahasiswa dari daerah lain. Komunikasi interpersonal yang berhasil atau tercapai tujuannya dapat terlihat melalui indikator perilaku seperti mampu membuka diri, memiliki sifat jujur dan menjadi diri sendiri apa adanya, bisa percaya dengan lawan bicara, mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain dan mampu memahami dan merespon dengan baik apa yang disampaikan orang lain. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Alfikalia & Maharani (2009) bahwa mahasiswa yang memiliki keterampilan dalam komunikasi interpersonal dapat


(9)

menyampaikan ide-ide salam pikirannya agar bisa dimengerti orang lain, menghadapi sanggahan pihak lain terhadap apa yang ia sampaikan, hingga menghadapi kritik pihak lain terhadap apa yang disampaikannya.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah “apakah terdapat hubungan antara konsep diri dengan komunikasi interpersonal?”. Sehingga peneliti tertarik untuk meneliti “Hubungan antara konsep diri dengan komunikasi interpersonal pada mahasiswa yang berasal dari provinsi X”.

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Hubungan antara konsep diri dengan komunikasi interpersonal 2. Sumbangan efektif konsep diri terhadap komunikasi interpersonal 3. Tingkat komunikasi interpersonal

4. Tingkat konsep diri

C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Secara Praktis

a. Bagi bidang ilmu psikologi, dapat menjadi bahan referensi dalam pengembangan hubungan sosial lebih lanjut khususnya dalam kerangka pendekatan psikologis (aspek komunikasi interpersonal).


(10)

b. Bagi peneliti lain, dapat digunakan sebagai wacana dan bahan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian mengenai hubungan antara konsep diri dengan komunikasi interpersonal. c. Bagi subjek penelitian, diharapkan dapat memberi sumbangan informasi

yang akurat serta dapat menjadi pertimbangan bagi mahasiswa dalam bersikap berkaitan dengan variabel-variabel yang diteliti.

d. Bagi pengelola asrama, diharapkan memiliki peran yang sangat penting bagi mahasiswa penghuni asrama seperti membimbing dalam pembentukan komunikasi interpersonal yang baik, baik dalam bentuk pembinaan atau pun kegiatan lapangan yang berhubungan dengan lingkungan masyarakat.


(1)

(Rundengan,2013). Manusia memerlukan kehidupan sosial, kehidupan bermasyarakat. Menurut Larlen (dalam Asminto, 2013) melalui komunikasi manusia dapat mengekspresikan perasaan, isi hatinya, dan segala masalah kehidupannya kepada orang lain secara lebih bebas dengan bahasa sebagai medium penyampaiannya. Berkomunikasi dengan orang lain merupakan bagian dari kehidupan manusia dan mempunyai arti penting untuk memenuhi kebutuhan sosial karena manusia adalah makhluk sosial. Sebagian besar interaksi manusia berlangsung dalam situasi komunikasi interpersonal (komunikasi antar pribadi).

Komunikasi interpersonal dilakukan oleh dua orang atau lebih yang akan melakukan interaksi yang saling berbalasan dan saling mempengaruhi. Orang yang melakukan komunikasi akan menyampaikan pesan yang berdasarkan pada aturan dan harapan penyampaian pesan itu sendiri sehingga mereka akan melakukan proses komunikasi, agar mencapai tujuan dan nantinya menghasilkan suatu output tertentu. Hal inilah yang dinamakan komunikasi interpersonal sebagai suatu sistem. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Panuju (2001) komunikasi merupakan sistem aliran yang menghubungkan dan kinerja antar bagian dalam organisasi sehingga menghasilkan suatu sinergi. Sebagai suatu sistem, unsur-unsur yang ada dalam komunkasi interpersonal saling terkait satu sama lain. Ketiadaan satu unsur akan mengganggu unsur yang lainnya. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang lebih mengenai unsur-unsur dari sistem komunikasi interpersonal itu sendiri yaitu unsur input (Persepsi Interpersonal, konsep diri, antraksi interpersonal dan hubungan interpersonal) dan output. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan olah Rahmat (2007) bahwa dalam sistem


(2)

komunikasi interpersonal ada hal-hal penting, yaitu persepsi interpersonal, konsep diri, atraksi interpersonal dan hubungan interpersonal.

Komunikasi interpersonal ini sangatlah penting bagi mahasiswa pendatang dari daerah lain ke daerah perantauan untuk menyesuaikan diri sehingga dapat menjalin komunikasi yang baik dengan mahasiswa ataupun masyarakat lokal. Kelebihan mahasiswa pendatang adalah dapat belajar hidup mandiri dan bersosialisasi dengan teman baru serta lingkungan barunya dibandingkan dengan mahasiswa yang tinggal di kota bersama orang tuanya. Mahasiswa pendatang memiliki konsep diri dan budaya yang berbeda dari daerah perantauan dimana mereka akan tinggal. Gunarsa (dalam Adawiyah, 2012) menjelaskan bahwa konsep diri adalah penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri secara keseluruhan, baik fisik, psikis, sosial maupun moral. Penilaian terhadap diri sendiri tersebut sangat dipengaruhi oleh peniliaian lingkungan terhadap dirinya. Lingkungan tersebut adalah keluarga, sekolah, kampus dan lingkungan pergaulan diluar rumah, sehingga, apabila mahasiswa tidak dapat menyelaraskan antara konsep diri dengan kualitas komunikasi interpersonal maka akan timbul konflik-konflik sosial. Hal ini juga dikuatkan oleh penelitian dari Yohana (2014), dalam jurnalnya menjelaskan bahwa terdapat hubungan positif antara konsep diri dengan komunikasi interpersonal. Yohana menambahkan pengaruh konsep diri terhadap komunikasi interpersonal hanya sebesar 22,36%.

Hasil penelitian Yohana (2014) mengungkapkan bahwa terdapat pengaruh

konsep diri terhadap komunikasi interpersonal. Oleh karena itu mahasiswa yang merupakan agen perubahan, dimana menjadi penghubung antara masyarakat


(3)

dengan pemerintah diharapkan memiliki konsep diri yang positif serta kualitas komunikasi interpersonal yang bagus. Dengan organisasi dan akademik mahasiswa dibentuk agar memiliki konsep diri yang positif. Hal ini sesuai dengan

teori dari Rakhmat (2009), konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan

dalam komunikasi interpersonal, karena setiap orang bertingkah laku sedapat mungkin sesuai dengan konsep dirinya. Komunikasi interpersonal banyak bergantung pada kualitas konsep diri yang negatif atau positif. Konsep diri positif akan melahirkan pola perilaku komunikasi yang positif, yaitu melakukan persepsi yang lebih cermat, dan mengungkapkan petunjuk-petunjuk yang membuat orang lain menafsirkan dengan cermat. Namun kenyataanya di dalam kehidupan sehari-hari masih banyak mahasiswa yang memiliki konsep diri yang negatif, seperti mudah menyerah, acuh dan lain sebagainya. Sehingga mempengaruhi sikap dan perilaku mahasiswa tersebut terhadap perilaku dengan lingkungan sekitarnya misal komunikasi yang kurang baik dengan dosen, teman mahasiswa ataupun masyarakat sekitar.

Fenomena dari FS, AS dan DAT diatas menjelaskan bahwa mahasiswa pendatang dalam melakukan komunikasi interpersonal dengan lingkungan baru sering kali masih membawa nilai-nilai kehidupan dan konsep diri dari daerah asalnya. Kenyataannya, banyak konsep diri tersebut bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan dimana mereka tinggal sekarang, sehingga menimbulkan perbedaan persepsi dalam melakukan komunikasi interpersonal dengan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, tercipta kualitas komunikasi interpersonal yang kurang baik antara mahasiswa perantau dengan masyarakat, seperti subjek


(4)

AS yang merasa kurang percaya diri ketika berkomunikasi dengan orang yogyakarta yang pelan dan halus dalam berbicara, serta merasa kurang percaya dengan kemampuan lawan bicara. Selain itu subjek DAT yang mudah tersinggung

karena tidak mampu memahami dan merespon dengan baik apa yang disampaikan

orang lain.

Kenyataan yang terjadi tersebut membuat mahasiswa perantau lebih senang berkumpul dengan mereka mahasiswa yang satu daerah, hal itu mungkin disebabkan banyak kesamaan diantara mereka sehingga membuat mereka merasa nyaman. Namun, hal tersebut membuat mahasiswa perantau kurang bisa membuka diri dengan lawan bicara, sehingga tidak bisa percaya dengan lawan bicara. Selain itu mahasiswa perantau tersebut tidak memiliki sifat yang jujur dan menjadi diri sendiri apa adanya, serta tidak mampu berempati dengan keadaan orang lain. Dan jugan tidak mampu memahami dan merespon dengan baik apa yang disampaikan orang lain.

Seharusnya, komunikasi interpersonal akan berhasil atau tercapai tujuannya apabila mahasiswa perantau mau membaur dengan masyarakat lokal atau dengan mahasiswa dari daerah lain. Komunikasi interpersonal yang berhasil atau tercapai tujuannya dapat terlihat melalui indikator perilaku seperti mampu membuka diri, memiliki sifat jujur dan menjadi diri sendiri apa adanya, bisa percaya dengan lawan bicara, mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain dan mampu memahami dan merespon dengan baik apa yang disampaikan orang lain. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Alfikalia & Maharani (2009) bahwa mahasiswa yang memiliki keterampilan dalam komunikasi interpersonal dapat


(5)

menyampaikan ide-ide salam pikirannya agar bisa dimengerti orang lain, menghadapi sanggahan pihak lain terhadap apa yang ia sampaikan, hingga menghadapi kritik pihak lain terhadap apa yang disampaikannya.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah “apakah terdapat hubungan antara konsep diri dengan

komunikasi interpersonal?”. Sehingga peneliti tertarik untuk meneliti “Hubungan

antara konsep diri dengan komunikasi interpersonal pada mahasiswa yang berasal

dari provinsi X”.

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Hubungan antara konsep diri dengan komunikasi interpersonal 2. Sumbangan efektif konsep diri terhadap komunikasi interpersonal 3. Tingkat komunikasi interpersonal

4. Tingkat konsep diri

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Secara Praktis

a. Bagi bidang ilmu psikologi, dapat menjadi bahan referensi dalam pengembangan hubungan sosial lebih lanjut khususnya dalam kerangka pendekatan psikologis (aspek komunikasi interpersonal).


(6)

b. Bagi peneliti lain, dapat digunakan sebagai wacana dan bahan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian mengenai hubungan antara konsep diri dengan komunikasi interpersonal. c. Bagi subjek penelitian, diharapkan dapat memberi sumbangan informasi

yang akurat serta dapat menjadi pertimbangan bagi mahasiswa dalam bersikap berkaitan dengan variabel-variabel yang diteliti.

d. Bagi pengelola asrama, diharapkan memiliki peran yang sangat penting bagi mahasiswa penghuni asrama seperti membimbing dalam pembentukan komunikasi interpersonal yang baik, baik dalam bentuk pembinaan atau pun kegiatan lapangan yang berhubungan dengan lingkungan masyarakat.