Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi Tailing Pasir Timah Pulau Bangka secara Hidrotermal

SINTESIS MAGNETIT DARI FILTRAT HASIL DESTRUKSI
TAILING PASIR TIMAH PULAU BANGKA
SECARA HIDROTERMAL

DWI WAHYUDI

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sintesis Magnetit dari Filtrat
Hasil Destruksi Tailing Pasir Timah Pulau Bangka secara Hidrotermal adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013
Dwi Wahyudi
NIM G44080114

ABSTRAK
DWI WAHYUDI. Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi Tailing Pasir
Timah Pulau Bangka secara Hidrotermal. Dibimbing oleh DEDEN SAPRUDIN
dan RUDI HERYANTO.
Kandungan besi dalam filtrat hasil destruksi tailing pasir timah (FDTPT)
Pulau Bangka berpotensi sebagai bahan baku sintesis magnetit. Keasaman yang
sangat rendah dan keberadaan unsur Ti dalam FDTPT kemungkinan dapat
mengganggu proses sintesis. Penelitian diawali dengan mengamati pengaruh Ti
pada sintesis magnetit dan penentuan kandungan Fe dan Ti dalam FDTPT.
Selanjutnya terhadap FDTPT dilakukan penambahan NaOH dan urea untuk
meningkatkan pH FDTPT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nisbah mol
Ti/Fe di bawah 0.125 tidak mengganggu sintesis magnetit, sehingga FDTPT yang
memiliki nisbah mol Ti/Fe 0.121 dapat digunakan sebagai bahan baku sintesis

magnetit. Penambahan NaOH pada FDTPT tidak menghasilkan magnetit.
Penggantian NaOH dengan urea menghasilkan magnetit dengan ukuran kristal
rerata 64.5 nm berdasarkan persamaan Scherrer.
Kata kunci: hidrotermal, magnetit, pasir timah, tailing

ABSTRACT
DWI WAHYUDI. Synthesis of Magnetite from Destructed Filtrate of Tin Sand
Tailings of Bangka Island by Hydrothermal Method. Supervised by DEDEN
SAPRUDIN and RUDI HERYANTO.
The iron content in the filtrate of tin tailings sand destruction (FTTSD) of
Bangka Island is potential as raw material for synthesis of magnetite. Very low
acidity and the presence of Ti in FTTSD may interfere the synthesis process. The
study began by examine the effect of Ti in the magnetite synthesis and determined
the Fe and Ti contents in the FTTSD. NaOH and urea were added to FTTSD to
raise the pH for syntesis. The results showed that the mole ratio of Ti/Fe of less
than 0.125 did not interfere the magnetite synthesis, therefore the mole ratio of
Ti/Fe 0.121 could be used as raw material for the synthesis. The addition of
NaOH in FTTSD did not produce magnetite. Replacement of NaOH with urea
produced magnetite crystals with an average size of 64.5 nm according to Scherrer
equation.

Key words: hydrothermal, magnetite, tailing, tin ore

SINTESIS MAGNETIT DARI FILTRAT HASIL DESTRUKSI
TAILING PASIR TIMAH PULAU BANGKA
SECARA HIDROTERMAL

DWI WAHYUDI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013


Judul Skripsi : Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi Tailing Pasir Timah
Pulau Bangka secara Hidrotermal
Nama
: Dwi Wahyudi
NIM
: G44080114

Disetujui oleh

Dr Deden Saprudin, MSi
Pembimbing I

Rudi Heryanto, SSi MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS
Ketua Departemen


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi Tailing Pasir Timah
Pulau Bangka secara Hidrotermal”. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian
yang dilaksanakan pada bulan Mei 2012 hingga Januari 2013 di Laboratorium
Kimia Analitik, Departemen Kimia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih atas semua bimbingan, dukungan, dan
kerjasama yang telah diberikan oleh Bapak Dr Deden Saprudin, MSi selaku
pembimbing I dan Bapak Rudi Heryanto, SSi MSi selaku pembimbing II. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Suherman, Ibu
Nunung beserta staf laboratorium analitik. Ungkapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada ayah, ibu, Heru Purwadi, serta Ragil Pratiwi atas segala doa,
dukungan dan kasih sayangnya.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Bogor, Juni 2013


Dwi Wahyudi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

METODE

Alat dan Bahan
Prosedur Penelitian

2
2
2

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Fe dan Ti dalam Filtrat Hasil Destruksi Tailing Pasir Timah Pulau
Bangka
Pengaruh Perbandingan Mol Fe dan Ti pada Sintesis Magnetit
Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi Tanpa Penambahan NaOH
Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi dengan Penambahan NaOH
dan Urea
Karakterisasi Hasil
Kadar Amonium Filtrat Hasil Sintesis Hidrotermal

4

7

9
11

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

12
12
12

DAFTAR PUSTAKA

12

LAMPIRAN

14

RIWAYAT HIDUP


24

4
4
6

vii

DAFTAR TABEL
1 Variasi penambahan TiCl4
2 Massa magnetit yang terbentuk pada berbagai variasi perbandingan mol
Ti/Fe
3 Massa magnetit larutan A dan F
4 Nilai pH larutan A dan F sebelum dan setelah sintesis hidrotermal
5 Nilai pH larutan G dan H sebelum dan setelah sintesis hidrotermal
6 Massa endapan dari larutan G dan H setelah hidrotermal
7 Puncak 2θ magnetit standar, endapan G2 dan endapan H2
8 Massa amonium larutan G2 dan H2


3
5
6
7
8
8
10
11

DAFTAR GAMBAR
1 Reaksi pembentukan kompleks antara TiCl4 dengan sitrat
2 Larutan sebelum sintesis (A1) dan (F1) dan setelah sintesis (A2) dan
(F2)
3 Larutan sebelum sintesis (G1) dan (H1), dan setelah sintesis (G2) dan
(H2)
4 Endapan G2 dan H2 tanpa ada magnet dan endapan G2 dan H2
dengan adanya magnet
5 Spektrum FTIR endapan G2 dan H2
6 Difraktogram magnetit standar, endapan G2, dan endapan H2


5
6
8
9
9
10

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Hasil analisis pasir timah Pulau Bangka oleh Pusat Survey Geologi
Diagram alir penelitian
Pembuatan larutan standar dan pereaksi pada penentuan amonium
Pengukuran kadar Fe dalam filtrat hasil destruksi
Sertifikat analisis pengukuran kadar Ti dalam filtrat hasil destruksi
Perhitungan jumlah mmol urea yang harus ditambahkan ke dalam
Larutan H
Perhitungan bobot magnetit teoritis
Pengukuran kadar Fe setelah sintesis hidrotermal
Basis data puncak 2θ nomor arsip 19-0629 pada JCPDS
Penentuan ukuran kristal
Penentuan bobot amonium dalam filtrat

14
15
16
16
17
17
18
18
20
20
21

PENDAHULUAN

Tailing adalah salah satu jenis limbah yang dihasilkan oleh kegiatan
pertambangan. Limbah tailing merupakan sisa pengolahan bijih batuan yang
mengandung mineral, setelah diambil mineralnya. Tailing dapat berupa padatan
semacam pasir yang sangat halus atau slurry, yaitu tailing padat yang bercampur
dengan air membentuk lapisan tipis. Tailing umumnya masih mengandung
mineral-mineral berharga karena proses pengolahan bijih tidak pernah mencapai
perolehan (recovery) 100% (Purwantari 2007). Oleh karena itu, tailing harus
dimanfaatkan dengan baik agar limbah tailing dapat dikurangi.
Berdasarkan analisis oleh Pusat Survey Geologi 2011, tailing pasir timah
mengandung logam Fe dan Ti sebagai komponen mayor, sedangkan komponen
minornya adalah unsur tanah jarang (Lampiran 1). Pengolahan tailing perlu
diawali dengan proses destruksi, yaitu suatu perlakuan untuk melarutkan atau
mengubah sampel menjadi bentuk materi yang dapat diukur sehingga kandungan
yang terdapat di dalamnya dapat dianalisis. Pratiwi (2012) telah melakukan
destruksi tailing dengan menggunakan basa dan dilanjutkan dengan ekstraksi
hidrometalurgi menggunakan HCl yang dapat melarutkan tailing dengan cukup
baik karena hampir semua tailing dapat terlarutkan sehingga kandungan unsur di
dalamnya tidak terlalu banyak berkurang. Kandungan Fe dalam filtrat hasil
destruksi berpotensi untuk dijadikan bahan dasar sintesis magnetit.
Magnetit (Fe3O4) adalah suatu mineral magnetik yang memiliki respon kuat
terhadap medan magnet luar. Magnetit sangat berguna untuk kepentingan riset
dan dalam dunia industri yang berbasis kemagnetan, misalnya dalam hal rekayasa
elektronika, pembuatan magnet permanen, industri baja, sampai untuk pembuatan
film tipis (Sunaryo dan Sugihartono 2010). Selain itu, nanomagnetit telah banyak
digunakan dalam dunia kedokteran dan media penyimpanan magnetik. Magnetit
juga memiliki aplikasi pada bidang industri seperti keramik, katalis, dan diagnosis
medis (Wang et al. 2000).
Sintesis magnetit telah dilakukan oleh Cheng et. al. (2010) dengan bahan
dasar FeCl3·6H2O, urea, natrium sitrat, dan poliakrilamida secara hidrotermal.
Magnetit yang dihasilkan berbentuk bulat dan terdispersi dalam air. Fauziah
(2012) telah melakukan sintesis magnetit dengan modifikasi metode Cheng et. al.
(2010), yaitu melakukan sintesis magnetit dengan bahan dasar FeCl3·6H2O, urea,
dan natrium sitrat tanpa menggunakan poliakrilamida secara hidrotermal. Sintesis
tersebut menghasilkan magnetit berbentuk bulat dengan ukuran nanometer dan
tidak terdispersi dalam air karena terjadi aglomerasi. Metode hidrotermal
memiliki kelebihan dibandingkan dengan metode lainnya, yaitu kemurnian dan
homogenitas kristal yang dihasilkan tinggi, derajat kristalinitas tinggi, energi yang
dibutuhkan rendah, serta ramah lingkungan (Kristiyanti 2011).
Filtrat hasil destruksi tailing pasir timah akan digunakan sebagai sumber
FeCl3 untuk sintesis magnetit dengan metode Fauziah (2012). Adanya Ti dalam
filtrat kemungkinan dapat mengganggu proses pembentukan magnetit, oleh
karena itu perlu diketahui pengaruh Ti dalam sintesis magnetit. Selain itu,
keasaman filtrat yang sangat tinggi dapat mengganggu proses pembentukan
magnetit, oleh karena itu diperlukan pengaturan pH untuk sintesis magnetit. Dari

hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah dari tailing pasir
timah Pulau Bangka karena dapat diperoleh magnetit berukuran nanometer yang
memiliki banyak kegunaan.

METODE
Metode penelitian mengikuti diagram alir pada Lampiran 2 yang meliputi
pengukuran kadar Fe dan Ti dalam filtrat hasil destruksi tailing, pengaruh
perbandingan mol Fe dan Ti pada sintesis magnetit, sintesis magnetit dari filtrat
hasil destruksi tailing, karakterisasi padatan yang diperoleh menggunakan XRD
dan FTIR, serta pengukuran kadar amonium filtrat hasil sintesis.

Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah oven (Memmert), desikator, neraca analitik
(BSA224-Sartorius), alat-alat gelas, alat hidrotermal, pH meter (TOA HM-20S),
spektrofotometer (Genesys 10W), spektrofotometri serapan atom (Shimadzu AA7000), FTIR (Bruker), difraktometer sinar-X (Shimadzu XRD 7000). Bahanbahan yang digunakan adalah filtrat hasil destruksi tailing, FeCl3·6H2O (Nacalai
Tesque), akuades, NaOH (Merck), natrium sitrat (Merck), urea (Merck), TiCl4
(Merck), kalium-natrium tartrat (Merck), NaOCl 12 %, dan fenol (Merck).

Prosedur Penelitian
Penentuan Kadar Fe dan Ti dalam Filtrat Destruksi Tailing
Analisis kadar Fe dilakukan di Laboratorium Bersama Departemen Kimia
IPB. Larutan standar dibuat dengan konsentrasi 0.5, 1.0, 2.0, 4.0, dan 8.0 ppm
untuk pembuatan kurva standar. Sampel diencerkan hingga 1250 kali kemudian
diukur serapannya menggunakan spektrofotometri serapan atom pada panjang
gelombang 248.33 nm dengan gas pembakar udara-asetilena. Sedangkan analisis
Ti dilakukan di Laboratorium Pengujian Tekmira menggunakan spektrofotometri
serapan atom pada panjang gelombang 364.27 nm dengan gas pembakar
dinitrogen oksida-asetilena.
Pengaruh Perbandingan Mol Fe dan Ti pada Sintesis Magnetit
FeCl3·6H2O sebanyak 2 mmol, natrium sitrat sebanyak 4 mmol, dan urea
sebanyak 6 mmol dilarutkan dalam 30 ml akuades. Kemudian ke dalam larutan
tersebut ditambahkan TiCl4 dengan variasi seperti pada Tabel 1. Setelah itu
larutan ditambahkan akuades hingga 40 ml, dimasukkan ke dalam wadah
hidrotermal, kemudian dimasukkan ke dalam oven bersuhu 200˚C selama 12 jam.
Setelah itu, alat hidrotermal didinginkan hingga suhu ruang. Endapan yang
terbentuk dipisahkan dengan cara sentrifugasi kemudian dicuci dengan air dan
etanol. Endapan dikeringkan pada suhu 70 ˚C selama satu malam.

3

Tabel 1 Variasi penambahan TiCl4
Larutan
mmol Ti
Perbandingan mol Ti/Fe
A
0.00
0.000
B
0.05
0.025
0.125
C
0.25
D
0.50
0.250
E
1.00
0.500

Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi Asam Tanpa Penambahan
NaOH
Sebanyak 40 ml filtrat hasil destruksi asam dengan kadar Fe yang telah
diketahui ditambahkan natrium sitrat dan urea dengan perbandingan Fe: natrium
sitrat: urea sebesar 1:2:3 mmol (larutan F). Larutan tersebut dimasukkan ke
dalam wadah hidrotermal. Wadah tersebut dimasukkan ke dalam oven pada suhu
200˚C selama 12 jam. Setelah itu, wadah didinginkan pada suhu ruang, endapan
hitam yang terbentuk dipisahkan dengan cara sentrifugasi kemudian dicuci
dengan air dan etanol. Endapan dikeringkan dengan oven pada suhu 70˚C selama
satu malam. Diagram alir sintesis magnetit dari filtrat hasil destruksi asam tanpa
penambahan basa diperlihatkan pada Lampiran 2.
Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi Asam dengan Penambahan
NaOH
Sebanyak 40 ml filtrat hasil destruksi asam dengan kadar Fe yang telah
diketahui ditambahkan natrium sitrat dan urea dengan perbandingan Fe: natrium
sitrat: urea sebesar 1:2:3 mmol, ditambahkan NaOH 30% hingga pH 3 (larutan G).
Larutan tersebut dimasukkan ke dalam wadah hidrotermal. Wadah tersebut
dimasukkan ke dalam oven pada suhu 200˚C selama 12 jam. Setelah itu, wadah
didinginkan pada suhu ruang, endapan hitam yang terbentuk dipisahkan dengan
cara sentrifugasi kemudian dicuci dengan air dan etanol. Kemudian dikeringkan
dengan oven pada suhu 70˚C selama satu malam. Diagram alir sintesis magnetit
dari filtrat hasil destruksi asam dengan penambahan basa NaOH diperlihatkan
pada Lampiran 2.
Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi Asam dengan Penambahan
Urea
Sebanyak 40 ml filtrat hasil destruksi asam dengan kadar Fe yang telah
diketahui ditambahkan natrium sitrat dan urea dengan perbandingan Fe: natrium
sitrat: urea sebesar 1:2:3 mmol, ditambahkan urea sebanyak jumlah mmol NaOH
yang digunakan pada larutan G lalu diaduk hingga urea larut (larutan H). Larutan
tersebut dimasukkan ke dalam wadah hidrotermal. Wadah tersebut dimasukkan ke
dalam oven pada suhu 200˚C selama 12 jam. Setelah itu, wadah didinginkan pada
suhu ruang, endapan hitam yang terbentuk dipisahkan dengan cara sentrifugasi
kemudian dicuci dengan air dan etanol. Kemudian dikeringkan dengan oven pada

suhu 70˚C selama satu malam. Diagram alir sintesis magnetit dari filtrat hasil
destruksi asam dengan penambahan basa urea diperlihatkan pada Lampiran 2.
Penentuan Amonium pada Larutan Hasil Sintesis Magnetit
Sebanyak 1 ml larutan hasil sintesis dimasukkan ke dalam tabung reaksi
kemudian ditambahkan berturut-turut larutan sangga tartrat dan Na-fenat masingmasing sebanyak 2 ml, dikocok dan dibiarkan 10 menit. Larutan ditambahkan 2
ml NaOCl 5 %, dikocok dan diukur dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 630 nm setelah 10 menit sejak pemberian pereaksi ini. Pembuatan
pereaksi diperlihatkan pada Lampiran 3.
Karakterisasi Hasil Sintesis Magnetit
Kristal magnetit hasil sintesis dari filtrat destruksi dikarakterisasi
menggunakan XRD dan FTIR.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Fe dan Ti dalam Filtrat Hasil Destruksi Tailing Pasir Timah
Pulau Bangka
Pratiwi (2012) melakukan destruksi tailing pasir timah Pulau Bangka
menggunakan NaOH dan dilanjutkan dengan ekstraksi hidrometalurgi
menggunakan HCl. Ekstraksi menggunakan HCl tersebut menghasilkan filtrat dan
padatan. Filtrat hasil destruksi inilah yang akan digunakan untuk sintesis magnetit.
Pengukuran kadar Fe dan Ti sebagai komponen mayor dalam filtrat hasil
destruksi perlu dilakukan untuk mengetahui konsentratsi Fe awal yang terkandung
dalam filtrat destruksi. Hasil pengukuran kadar Fe dan Ti dalam filtrat destruksi
berturut-turut 1850 ppm (Lampiran 4) dan 206 ppm (Lampiran 5). Konsentrasi Fe
dalam filtrat setara dengan 0.033 M, sedangkan konsentrasi Ti setara dengan
0.004 M. Perbandingan mol Ti/Fe dalam filtrat destruksi sebesar 0.121.

Pengaruh Perbandingan Mol Fe dan Ti pada Sintesis Magnetit
Kehadiran Ti dalam sintesis magnetit mempengaruhi hasil sintesis. Pada
kandungan Ti yang rendah (≤ 0.25 mmol) sintesis magnetit masih berlangsung
dengan baik. Sintesis magnetit dengan kandungan Ti ≥ 0.50 mmol tidak dapat
ditentukan massa magnetitnya karena tidak menghasilkan endapan melainkan
suatu koloid berwarna hitam (Tabel 2). Perbandingan jumlah mol Ti dan Fe dalam
40 ml filtrat hasil destruksi yang digunakan untuk sintesis adalah 0.121 sehingga
magnetit masih dapat terbentuk jika sintesis dilakukan dari filtrat hasil destruksi.

5

Tabel 2 Massa magnetit yang terbentuk pada berbagai variasi perbandingan mol
Ti/Fe
Kandungan Ti (mmol)
Perbandingan mol Ti/Fe
Massa magnetit (g)
0.00
0.000
0.1092
0.05
0.025
0.1073
0.25
0.125
0.1018
0.50
0.250
t.da
1.00
0.500
t.d
a

t.d: tidak dapat ditentukan.

Campuran Fe3+, natrium sitrat, dan urea tanpa penambahan TiCl4 berwarna
kuning, sedangkan campuran yang ditambahkan TiCl4 berwarna jingga. Semakin
banyak Ti yang ditambahkan ke dalam campuran warna jingga yang dihasilkan
semakin pekat. Penambahan TiCl4 ke dalam campuran yang mengandung Fe3+,
natrium sitrat, dan urea menurut Panagiotidis (2005), Ti4+ dapat membentuk
senyawa kompleks dengan sitrat (Gambar 1). Kompleks antara Ti4+ dengan sitrat
tersebut memberikan warna jingga kemerahan pada larutan (Kakihana 2010).

Gambar 1 Reaksi pembentukan kompleks antara TiCl4 dengan sitrat
Pada pembentuk magnetit dengan sumber besi dari Fe3+ diperlukan
pereduksi untuk mengubah sebagian biloks Fe3+ menjadi Fe2+ sehingga diperoleh
perbandingan Fe3+ dengan Fe2+ sebesar 2:1. Pereduksi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sitrat. Terbentuknya senyawa kompleks antara Ti4+ dengan
sitrat dapat mempengaruhi sintesis magnetit. Potensial reduksi (Eº) Fe3+ | Fe2+ =
0.771 V sedangkan Eº Ti4+ | Ti3+ = -0.055 V. Nilai Eº Fe3+ | Fe2+ lebih besar dari
nilai Eº Ti4+ | Ti3+ artinya Fe3+ lebih mudah direduksi dibandingkan dengan Ti4+
sehingga kehadiran Ti4+ dalam campuran tidak dapat mengoksidasi kembali Fe2+.
Jika kandungan Ti dalam campuran cukup banyak dapat menyebabkan adanya
persaingan pembentukan kompleks Fe-sitrat dan Ti-sitrat. Terbentuknya kompleks
antara Ti dengan sitrat tersebut mengakibatkan sitrat yang tersedia untuk
mengkelat Fe3+ menjadi berkurang sehingga proses reduksi Fe3+ menjadi Fe2+
lebih sedikit. Selain itu, Ti4+ yang bersifat oksidator dapat menghambat proses
reduksi dari Fe3+ menjadi Fe2+. Hal tersebut mengakibatkan Fe2+ yang dibutuhkan
untuk pembentukan Fe3O4 menjadi lebih sedikit sehingga endapan Fe3O4 tidak
terbentuk.

6

Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi
Tanpa Penambahan NaOH
Sintesis magnetit dilakukan dengan cara menambahkan 2.6 mmol natrium
sitrat dan 3.9 mmol urea ke dalam 40 ml filtrat hasil destruksi asam yang
mengandung 1.3 mmol Fe. Di samping itu larutan standar (larutan A) dibuat untuk
perbandingan. Larutan standar dibuat dengan metode Fauziah (2012). Gambar 2
memperlihatkan hasil sintesis dari kedua larutan.
Gambar 2 menunjukkan bahwa baik larutan standar maupun larutan dari
filtrat hasil destruksi sebelum dilakukan sintesis dengan hidrotermal memiliki
warna kuning. Warna tersebut dihasilkan dari adanya Fe3+ dalam larutan. Setelah
dilakukan sintesis hidrotermal terjadi perbedaan terhadap hasil yang diperoleh.
Hasil sintesis dari larutan standar diperoleh larutan yang tidak berwarna dan
terdapat endapan berwarna hitam yang tertarik magnet. Endapan tersebut
merupakan magnetit Fe3O4. Tabel 3 memperlihatkan massa magnetit yang
terbentuk. Reaksi pembentukan magnetit menurut Cheng et al. (2009)
diperlihatkan pada persamaan reaksi 1 sampai 6.
CO(NH2)2 + H2O→ 2NH3 + CO2
NH3 + H2O → NH4+ + OHFe3+ + 3OH- → Fe(OH)3
Fe(III)-(sitrat2)3- + e- → Fe(II)-sitrat- + sitrat3- (sebagian)
Fe2+ + 2OH- → Fe(OH)2
2Fe(OH)3 + Fe(OH)2 → Fe3O4 + 4H2O

F1

A1

F2

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

A2

Gambar 2 Larutan sintesis (A1) dan (F1) dan setelah sintesis (A2) dan (F2)
Tabel 3 Massa magnetit larutan A dan F
Larutan
Massa magnetit (g)
Aa
0.1092
F
0.0000
a

A: 2mmol FeCl3·6H2O + 4 mmol Na-sitrat + 6 mmol urea dalam 40 ml akuades, F: 40 ml
filtrat hasil destruksi + 2.6 mmol Na-sitrat + 3.9 mmol urea.

FeCl3 dalam filtrat hasil destruksi dan FeCl3·6H2O menyediakan besi dalam
bentuk Fe3+, sedangkan magnetit tersusun atas Fe3+ dan Fe2+. Oleh karena itu
ditambahkan sitrat sebagai pereduksi untuk membentuk Fe2+. Sitrat berperan
penting dalam pembentukkan kristal Fe3O4. Tanpa adanya sitrat, hanya akan
dihasilkan α-Fe2O3 (Cheng et al. 2010). Sitrat mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+
diawali dengan mengionnya natrium sitrat menjadi ion sitrat. Kemudian, ion sitrat
dan Fe3+ membentuk kompleks Fe(III)-sitrat. Adanya ion H+ dalam larutan
mengakibatkan terjadinya reduksi Fe3+ menjadi Fe2+, sedangkan sitrat teroksidasi
(Gutteridge 1991). Pada saat pemanasan, urea terdekomposisi menjadi NH3

7

(reaksi 1) yang membuat suasana basa dalam sistem reaksi. Suasana basa ini
memicu pembentukkan Fe(OH)3 dan Fe(OH)2 yang akan berubah menjadi Fe3O4
setelah proses dehidrasi (Cheng et al. 2010) (reaksi 6).
Hasil sintesis larutan F diperoleh larutan yang berwarna jingga dan tidak
diperoleh endapan. Warna tersebut dihasilkan dari warna hematit (α-Fe2O3) yang
masih dalam bentuk koloid. Nilai pH larutan yang asam karena mengandung HCl
berpengaruh terhadap sintesis (Tabel 4). Mohapatra dan Anand (2010)
melaporkan bahwa pada sintesis oksida besi secara hidrotermal yang berlangsung
pada pH 0.8-2.6 hanya menghasilkan α-Fe2O3 yang berwarna jingga kemerahan
dalam larutan. Jumlah urea yang ditambahkan ke dalam larutan F terlalu sedikit
untuk menetralkan keasaman dari HCl, sehingga kondisi basa yang dibutuhkan
untuk proses pembentukan magnetit tidak tercapai.
Tabel 4 Nilai pH larutan A dan F sebelum dan setelah sintesis hidrotermal
larutan pH sebelum hidrotermal pH setelah hidrotermal
A
3.48
10.54
F
-2.89
2.07

Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi
dengan Penambahan NaOH dan Urea
Sintesis magnetit dilakukan dari filtrat hasil destruksi asam dengan
penambahan basa dilakukan dengan dua variasi. Sintesis pertama dilakukan
dengan menambahkan NaOH ke dalam larutan F. Sintesis lainnya dilakukan
dengan menambahkan urea ke dalam larutan F. Nilai pH filtrat diatur hingga nilai
pH larutan mendekati nilai pH larutan standar (larutan A). Basa NaOH (basa kuat)
digunakan untuk menetralkan keasaman HCl yang termasuk asam kuat sebelum
sintesis hidrotermal. Basa urea digunakan untuk menciptakan suasana basa saat
sintesis. Saat proses sintesis berlangsung urea akan terdekomposisi menjadi
amonia dan CO2. Amonia tersebut akan menaikkan nilai pH menjadi lebih tinggi.
Jumlah NaOH yang digunakan untuk menaikkan pH filtrat hingga
mendekati pH larutan standar sebelum hidrotermal, yaitu 61.5 mmol (Lampiran
6). Jumlah urea yang ditambahkan ke dalam larutan dari filtrat ditentukan
berdasarkan jumlah mol NaOH yang digunakan untuk menaikkan pH hingga
mendekati larutan standar. Oleh karena itu, urea yang ditambahkan ke dalam
Larutan H adalah 61.5 mmol. Tabel 5 memperlihatkan pH larutan sebelum dan
setelah sintesis hidrotermal. Pada larutan G pH larutan dinaikkan terlebih dahulu
menggunakan NaOH sehingga pada saat sintesis amonia dalam jumlah sedikit
sudah dapat menaikkan pH hingga kondisi basa. Sedangkan pada larutan H pH
dinaikkan selama proses hidrotermal. Amonia yang terbentuk lebih banyak
sehingga akan menaikkan nlai pH larutan. Setelah proses hidrotermal, nilai pH
larutan G dan H hampir mendekati nilai pH larutan standar, yaitu masing-masing
9.79 dan 9.16.

8

Tabel 5 Nilai pH larutan G dan H sebelum dan setelah sintesis hidrotermal
larutan pH sebelum hidrotermal pH setelah hidrotermal
Ga
3.44
9.79
H
-2.32
9.16
a

G: 40 ml filtrat hasil destruksi + 2.6 mmol Na-sitrat + 3.9 mmol urea + 61.5 mmol NaOH; H: 40
ml filtrat hasil destruksi + 2.6 mmol Na-sitrat + 65.4 mmol urea.

Larutan G dan H sebelum dan setelah sintesis hidrotermal diperlihatkan
pada Gambar 3. Sebelum sintesis hidrotermal, warna G1 dan H1 berbeda. G1
berwarna jingga. Warna jingga ini merupakan warna dari koloid hasil hidrolisis Fe
dari reaksi Fe3+ dalam larutan dengan OH- dari NaOH yang ditambahkan.

G2
H2
H1
G1
Gambar 3 Larutan sebelum sintesis (G1) dan (H1), dan setelah sintesis (G2) dan
(H2)
Larutan G dan H menghasilkan endapan setelah proses hidrotermal. Bobot
endapan yang diperoleh diperlihatkan pada Tabel 6. Bobot endapan yang
diperoleh dari larutan G sebanyak 0.1297 g sedangkan dari larutan H sebanyak
0.2352 g. Endapan dari Larutan G dan H lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah magnetit yang seharusnya diperoleh secara teoritis, yaitu 0.1021 g
(Lampiran 7) jika semua Fe yang ada dalam filtrat berubah menjadi magnetit.
Endapan yang melebihi bobot teori ini dikarenakan di dalam filtrat terdapat
berbagai macam logam yang membentuk oksida dan mengendap ataupun
teradsorpsi oleh magnetit. Selain itu, pada larutan H penambahan urea yang lebih
banyak mengakibatkan penambahan jumlah karbon yang dapat teradsorpsi
sehingga hasil endapan yang diperoleh lebih banyak. Amonium yang teradsorpsi
juga dapat menambah massa endapan yang diperoleh.
Tabel 6 Massa endapan dari larutan G dan H setelah hidrotermal
Larutan
Massa magnetit (g)
G
0.1297
H
0.2352
Persentase jumlah Fe yang mengendap diukur dengan cara mengukur kadar
Fe dalam larutan G dan H setelah sintesis hidrotermal (Lampiran 8). Persentase Fe
yang mengendap dari larutan G, yaitu 99.98 % sedangkan untuk larutan H sebesar
99.99 %. Hampir seluruh Fe dari larutan G dan H mengendap atau membentuk
oksida, namun fase oksida Fe yang terbentuk belum dapat dipastikan membentuk
magnetit.
Magnetit merupakan suatu mineral ferimagnetik. Sifat ferimagnetik tersebut
dihasilkan dari adanya ion Fe2+ dan Fe3+ (Paul 2010). Oleh karena itu, magnetit
memberikan respon terhadap magnet sehingga akan tertarik oleh magnet jika ada

9

magnet di dekatnya. Endapan G2 tidak tertarik magnet saat ada magnet
didekatnya, sedangkan endapan H2 tertarik magnet saat ada magnet di dekatnya
(Gambar 4). Endapan G2 bukan magnetit, kemungkinan oksida besi lainnya.
Liang et.al. (2006) telah melakukan sintesis berbagai oksida besi. Adanya NaOH
dapat membentuk oksida besi selain magnetit, yaitu Fe2O3. Endapan H2 tertarik
oleh magnet di dekatnya sehingga kemungkinan endapan tersebut merupakan
magnetit.
G2

G2

Magnet

Endapan tidak tertarik magnet

H2

H2

Magnet

Endapan tertarik magnet

Gambar 4 Endapan G2 dan H2 tanpa ada magnet dan endapan G2 dan H2 dengan
adanya magnet

Karakterisasi Hasil
Analisis dengan FTIR dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi yang
terdapat pada endapan hasil sintesis hidrotermal. Gambar 5 menunjukkan
spektrum FTIR dari endapan G2 dan H2 tidak terlalu berbeda. Pita lebar pada
bilangan gelombang 400-800 cm-1 merupakan vibrasi dari ikatan Fe-O. Pada
bilangan gelombang 1400 cm-1 dan 1630 cm-1 merupakan vibrasi dari C-O. Pada
bilangan 3100 cm-1 sampai 3600 cm-1 terjadi tumpang tindih dari vibrasi O-H dan
N-H.

Gambar 5 Spektrum FTIR endapan G2 dan H2
Adanya serapan dari ikatan Fe-O menunjukkan terbentuknya oksida besi,
namun fase dari oksida besi tersebut belum dapat diketahui. Vibrasi ikatan C-O

10

yang terdeteksi dapat berasal dari karbonat yang teradsorpsi. Menurut Roonasi
(2007), karbonat dapat teradsorpsi pada magnetit. Vibrasi O-H dapat berasal dari
Fe(OH)3.Vibrasi N-H dapat berasal dari amonium yang teradsorpsi pada magnetit.
Analisis dengan XRD dilakukan untuk mengetahui fase yang terbentuk.
Identifikasi dilakukan dengan membandingkan puncak-puncak 2θ yang khas dari
endapan yang dihasilkan dengan puncak 2θ standar. Hasil difraktogram (Gambar
6) menunjukkan bahwa nilai 2θ endapan dari filtrat dengan penambahan urea
setelah hidrotermal (H2) memiliki kemiripan dengan data standar dari Joint
Committee on Powder Diffraction Standards (JCPDS) dengan nomor arsip 190629 (Lampiran 9) yang merupakan magnetit. Sedangkan pada endapan filtrat
dengan penambahan NaOH setelah hidrotermal (G2) tidak terlihat adanya puncak
dari magnetit. Perbandingan beberapa nilai 2θ tertinggi sampel dan standar
diperlihatkan pada Tabel 7.

Gambar 6 Difraktogram magnetit standar, endapan G2, dan endapan H2
Tabel 7 Puncak 2θ magnetit (JCPDS 19-0629), endapan G2, dan endapan H2
Magnetit
Endapan
Endapan
JCPDS 19-0629 filtrat + NaOH (G2)
filtrat + urea (H2)
30.0950
30.0339
35.4220
35.4104
37.0520
36.9277
43.0520
43.0438
53.3910
53.4593
56.9420
56.9281
62.5150
62.5114
Berdasarkan data XRD sintesis magnetit dari filtrat hasil destruksi tailing
dengan penambahan basa urea menghasilkan magnetit. Walau demikian,
kemurnian dari magnetit tersebut belum dapat dipastikan karena adanya
kemungkinan logam-logam dalam filtrat asam hasil destruksi tailing dapat
tersisipkan atau teradsorpsi dalam magnetit tersebut. Sebaliknya sintesis magnetit

11

dari filtrat hasil destruksi tailing dengan penambahan basa NaOH tidak
menghasilkan magnetit. NaOH yang ditambahkan ke dalam filtrat sebelum
sintesis menyebabkan Fe3+ dalam filtrat berubah menjadi Fe(OH)3 sehingga
menghambat proses reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ sehingga magnetit sukar terbentuk.
Ukuran kristal dapat diukur dari hasil data XRD dengan menggunakan
persamaan Scherrer (Zakaria et.al. 2009). Ukuran kristal magnetit endapan H,
yaitu 64.4624 nm (Lampiran 10). Sintesis magnetit dalam larutan berair dapat
menghasilkan kristal dengan ukuran kurang dari 1 µm (Cornell & Schwertmann
2003). Ukuran kristal yang kecil ini sangat baik sehingga magnetit yang terbentuk
dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang. Nanomagnetit ini banyak
dimanfaatkan karena karakterisitk magnetiknya, stabilitas kimianya,
biokompatibilitas, dan tidak terlalu beracun (Cheng et al. 2010).

Kadar Amonium Filtrat Hasil Sintesis Hidrotermal
Pengukuran kadar amonium dalam filtrat hasil sintesis hidrotermal
dilakukan untuk mengetahui jumlah urea yang terdekomposisi menjadi amonia.
Amonia dalam air akan berbentuk amonium. Penentuan kadar amonium pada
larutan dilakukan dengan metode kolorimetri melalui penambahan larutan natrium
fenat, K-Na tartrat, dan NaClO (Pradana 2013). Pengukuran dilakukan
menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 630 nm
(Lampiran 11).
Massa amonium yang dihasilkan dari dekomposisi urea pada filtrat G2 dan
H2 diperlihatkan pada Tabel 8. Filtrat G2 menghasilkan amonium sebesar 0.1074
g sedangkan filtrat H2 menghasilkan amonium sebesar 0.9139 g. Massa amonium
pada filtrat H2 lebih besar karena jumlah urea yang ditambahkan sebelum sintesis
lebih banyak dari filtrat G2. Sedangkan persentase amonium yang terbentuk dari
hasil dekomposisi urea dari filtrat G2 dan H2, yaitu 75.32 % untuk filtrat G2 dan
38.78 % untuk filtrat H2 (Lampiran 11). Persentase yang tidak terlalu tinggi ini
disebabkan karena ada kemungkinan amonium dalam larutan menguap sehingga
saat pengukuran tidak semua amonium terukur. Selain itu, struktur magnetit yang
berpori dapat mengadsorpsi amonium yang terbentuk sehingga mengurangi
persentase amonium yang terukur pada filtrat H2.
Tabel 8 Massa amonium larutan G2 dan H2
Filtrat
Massa amonium (g)
G2
0.1074
H2
0.9139

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Magnetit berhasil disintesis dari filtrat destruksi tailing pasir timah Pulau
Bangka dengan metode hidrotermal dengan penambahan urea dan natrium sitrat.
Sintesis magnetit dengan adanya Ti4+ dalam larutan masih dapat dilakukan jika
perbandingan mol Ti/Fe kurang dari 0.125. Keasaman yang tinggi berpengaruh
terhadap sintesis magnetit sehingga perlu dilakukan penurunan keasaman.
Penambahan NaOH untuk mengurangi keasaman filtrat tidak dapat digunakan
karena mengganggu sintesis magnetit. Penambahan urea dapat menggantikan
peran NaOH dalam upaya mengurangi keasaman filtrat tanpa mengganggu proses
sintesis magnetit.

Saran
Analisis morfologi dan kandungan unsur dalam kristal magnetit
menggunakan SEM-EDX perlu dilakukan. Selain itu, kandungan unsur dalam
larutan setelah sintesis hidrotermal perlu dianalisis untuk mengetahui apakah
unsur lain terendapkan bersama dengan magnetit atau masih dalam larutan.
Karakteristik magnetik dari magnetit yang terbentuk perlu dianalisis untuk
mengetahui sifat magnetik dari magnetit yang terbentuk. Sintesis dengan variasi
penambahan natrium sitrat perlu dilakukan lebih lanjut untuk menetralisir
pengaruh oksidasi Ti4+ dalam filtrat hasil destruksi.

DAFTAR PUSTAKA
Cheng C, Wen Y, Xu X, Gu H. 2009. Tunable synthesis of carboxylfunctionalized magnetite nanocrystal clusters with uniform size. J Mater
Chem. 19: 8782-8788.doi:10.1039/b910832g.
Cheng W, Tang K, Qi Y, Sheng J, Liu Z. 2010. One-step synthesis of
superparamagnetic monodisperse porous Fe3O4 hollow and core-shell
spheres. J Mater Chem. 20:1799-1805.doi:10.1039/b919164j.
Cornell RM, Schwertmann U. 2003. The Iron Oxides. Weinheim (DE): WileyVch.
Fauziah H. 2012. Nanomagnetit sebagai peningkat sensitivitas elektrode pasta
karbon untuk analisis iodida secara voltammetri siklik [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Gutteridge JMC. 1991. Hydroxyl radical formation from the auto-reduction of a
ferric citrate complex. Free Radical Biology and Medicine. 11 (4):401-406.
Kakihana M, Kobayashi M, Tomita K, Petrykin V. 2010. Application of watersoluble titanium complexes as precursors for synthesis of titanium-

13

containing oxides via aqueous solution processes. Bull. Chem. Soc. Jpn.
83(11):1285–1308.doi:10.1246/bcsj.20100103.
Kristiyanti PLP. 2011. Pengaruh pH pada sintesis titanium dioksida (TiO2) dengan
metode hidrotermal [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Liang X, Wang X, Zhuang J, Chen Y, Wang D, Li Y. 2006. Synthesis of nearly
monodisperse iron oxide and oxyhydroxide nanocrystals. Adv. Funct.
Mater.16:1805-1813.doi:10.1002/adfm.200500884.
Mohaptara M, Anand S. 2010. Synthesis and applications of nano-structured iron
oxides/hydroxides a review. International Journal of Engineering, Science
and Technology. 2(8): 127-146.
Panagiotidis P, Kefalas E, Salifoglou A. 2005. Structural speciation attempts in
the binary Ti(IV)-citrate system in aqueous media. Agroalimentary
Processes and Technologies. 11(1):65-68.
Paul MC. 2010. Molecular beam epitaxy and properties of magnetite thin films on
semiconducting substrates [disertasi]. Wurzburg (DE): Universitas Julius
Maximilians.
Pradana VM. 2013. Keragaan nitrogen-amonium dalam magnetit sintetik (Fe3O4)
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Pratiwi F. 2012. Pengembangan metode destruksi unsur tanah jarang dari tailing
pasir timah Pulau Bangka [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Purwantari ND. 2007. Reklamasi area tailing di pertambangan dengan tanaman
pakan ternak; mungkinkah? Wartazoa. 17(3):101-108.
Roonasi P. 2007. Adsorption and surface reaction properties of synthesized
magnetite nano-particles [tesis]. Luleå (SE): Luleå University of
Technology.
Sunaryo, Sugihartono I. 2010. Pemisahan senyawa titanomagnetite Fe3xTixO4(o