Pengayaan Unsur Tanah Jarang Secara Destruksi dan Pengendapan dari Pasir Monasit Bangka

i

PENGAYAAN UNSUR TANAH JARANG SECARA
DESTRUKSI DAN PENGENDAPAN DARI PASIR MONASIT
BANGKA

ANNA ROHANI ROIDA MANURUNG

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

iv

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengayaan Unsur
Tanah Jarang Secara Destruksi dan Pengendapan dari Pasir Monasit Bangka
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2013

Anna Rohani Roida Manurung
NIM G44080092

iv

ABSTRAK
ANNA ROHANI ROIDA MANURUNG. Pengayaan Unsur Tanah Jarang Secara
Destruksi dan Pengendapan dari Pasir Monasit Bangka. Dibimbing oleh KOMAR
SUTRIAH dan MUHAMMAD FARID.
Unsur tanah jarang (UTJ) merupakan unsur lantanida yang banyak dimanfaatkan
untuk peralatan elektronik berteknologi tinggi. Dalam penelitian ini, pengayaan UTJ dari
mineral bumi dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu destruksi, ekstraksi menggunakan

microwave oven, dan pengendapan. Pada tahap destruksi kering dan basah dengan
bantuan NaOH, masing-masing menghasilkan jumlah UTJ sebesar 25.56% dan 44.30%.
Tahap ekstraksi menggunakan microwave oven dengan pelarut HCl 37% berhasil
melarutkan UTJ pada daya high selama 30 menit. Kadar total UTJ yang terdapat pada
fase cair hasil ekstraksi destruksi basah dan kering masing-masing sebesar 35.72% dan
29.97%. Endapan UTJ mulai terbentuk ketika pH pengendapan lebih dari 7 menggunakan
NH4OH 2 N. Jumlah total UTJ yang terendapkan pada fase umpan destruksi basah dan
kering pada pH 10 masing-masing sebesar 2.76% dan 1.18%. Endapan pada pH 10
memberikan jumlah total UTJ terbesar dan fase umpan destruksi kering menghasilkan
endapan yang efektif dalam pengayaan UTJ dengan berkurangnya unsur pengotor, seperti
Si, P, dan tidak terdapat unsur Th, serta mengandung unsur U dengan jumlah yang
sedikit, yaitu 12 ppm. Hal ini sesuai dengan nilai persen perolehan unsur non-UTJ dan
radioaktif yang lebih kecil dibandingkan fase umpan dari destruksi basah, akan tetapi
mengandung unsur U dalam jumlah sedikit sebesar 0.00006 g dan tanpa unsur Th.
Kata kunci: destruksi, ekstraksi, pengendapan, unsur tanah jarang

ABSTRACT
ANNA ROHANI ROIDA MANURUNG. Enrichment of Rare Earth Elements by
Destruction and Precipitation of Bangka Monazite Sand. Supervised by KOMAR
SUTRIAH and MUHAMMAD FARID.

Rare earth elements (REEs) are lanthanide elements widely used in high-tech
electronic equipment. In this study, REEs from earth minerals were enriched through
several stages, namely destruction, extraction by microwave oven, and precipitation. The
dry and wet destruction phases by using NaOH produced a total of 25.56% and 44.30%
REEs, respectively. At the extraction by microwaves stage with HCl 37% as solvent,
REEs were successfully dissolved in 30 minutes at high energy. Total amount of REEs
which contained in the liquid phase from wet and dry destruction were 35.72% and
29.97%, respectively. Precipitation of REEs started when the pH value was higher than 7,
reached by using NH4OH 2 N. Total precipitated REEs in wet and dry feed destruction at
pH 10 was 2.76% and 1.18%, respectively. Precipitation at pH 10 gave the highest total
REEs. Dry feed destruction produced precipitate that effectively enrich REEs by
decreasing impurity elements, such as Si and P, and there was no Th element found. It is
also contained low U element which was only 12 ppm. This is consistent with the value
of percent recovery and the non-radioactive REEs which was smaller than the wet feed
destruction, but contains elements of U in the amount of not less than 0.00006 g and
without Th element.
Keywords: destruction, extraction, precipitation, rare earth elements

5


PENGAYAAN UNSUR TANAH JARANG SECARA
DESTRUKSI DAN PENGENDAPAN DARI PASIR MONASIT
BANGKA

ANNA ROHANI ROIDA MANURUNG

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

6


Judul Skripsi : Pengayaan Unsur Tanah Jarang Secara Destruksi dan Pengendapan
dari Pasir Monasit Bangka
Nama
: Anna Rohani Roida Manurung
NIM
: G440080092

Disetujui oleh

Dr Komar Sutriah, MS
Pembimbing I

Drs Muhammad Farid, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS
Ketua Departemen Kimia


Tanggal lulus:

7

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya ilmiah yang berjudul “Pengayaan Unsur Tanah Jarang Secara Destruksi dan
Pengendapan dari Pasir Monasit Bangka”. Karya ilmiah ini disusun berdasarkan
penelitian yang dilaksanakan pada bulan Mei hingga Desember 2012 di
Laboratorium Terpadu, Laboratorium Kimia Fisik, serta Laboratorium Kimia
Anorganik, Departemen Kimia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih atas semua bimbingan, dukungan,
kerjasama, dan dana yang telah diberikan oleh Bapak Dr Komar Sutriah, MS
selaku pembimbing I dan Bapak Drs Muhammad Farid, MSi selaku pembimbing
II. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada orang tua tercinta, kak
Nelly, adik tercinta Primanto dan Wira yang telah membantu saya dalam doa
maupun dana. Penulis juga sangat berterima kasih kepada Annisa Amelia,
Rafael Gunawan Silaban yang selalu menemani dan memberi semangat selama
penelitian, Arfin, Dumas Flish Tang, Rofiqoh, Resvina, Ryna, teman-teman

komisi Diaspora PMK IPB, Pak Sawal, Pak Caca, Pak Mulyadi, Pak Mail, teh
Nurul, Pak Sabur, Indah, Baim, analis Laboratorium Terpadu IPB, dan temanteman Kimia 45 (kimceu).
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Bogor, Februari 2013

Anna Rohani Roida Manurung

2

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
METODE
Bahan dan Alat
Prosedur Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Destruksi Monasit
Ekstraksi Unsur Tanah Jarang Dengan HCl 37% Menggunakan

Microwave
Pengendapan Unsur Tanah Jarang
Persen Keberhasilan Perolehan UTJ Melalui Proses Destruksi, Ekstraksi,
dan Pengendapan
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

vii
vii
vii
1
2
2
3
5
5
10

14
17
19
19
20
20
23

3

DAFTAR TABEL
1
2

Bentuk unsur dominan setelah perlakuan
Probabilitas keberadaan unsur

6
13


DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Cawan krus besi
Kurva termogram hasil peleburan monasit 1:6

Jumlah unsur tanah jarang sebelum perlakuan (A) dan sesudah destruksi
kering dengan NaOH (B)
Jumlah unsur non-UTJ dan radioaktif sebelum perlakuan (A) dan sesudah
destruksi kering dengan NaOH (B)
Jumlah UTJ, non-UTJ, dan unsur radioaktif sebelum perlakuan (A) dan
sesudah destruksi dengan NaOH (B)
Perangkat alat destruksi basah monasit
Pemanasan secara konvensional (a) dan gelombang mikro (b)
Kelarutan UTJ pada filtrat hasil ekstraksi dengan HCl 37% menggunakan
microwave oven terhadap contoh fase padat destruksi basah (a) dan
destruksi kering (b)
Perbandingan jumlah kadar UTJ yang terlarut menggunakan microwave
oven terhadap contoh fase padat destruksi basah dan kering pada daya high
Jumlah kelarutan unsur radioaktif dan non-UTJ
Jumlah UTJ yang mengendap dengan penambahan NH4OH pada contoh
fase cair destruksi kering (a) dan basah (b)
Endapan pH 10 dari contoh fase cair destruksi kering
Endapan pH 7 dan pH 10 dari contoh fase cair destruksi basah
Jumlah UTJ, non-UTJ dan unsur radioaktif yang mengendap pada pH 10
terhadap fase umpan destruksi basah dan kering
Persen perolehan UTJ terhadap contoh fase padat destruksi kering dan
basah
Jumlah UTJ sebelum perlakuan (A), setelah perlakuan destruksi (B),
ekstraksi microwave (C), dan pengendapan (D) terhadap contoh fase
padat destruksi kering (a) dan basah (b)

5
7
7
8
9
10
11
12
12
13
15
15
16
16
17
18

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Bagan alir penelitian
Sifat-sifat unsur tanah jarang
Hasil analisis komposisi contoh sebelum perlakuan menggunakan XRF
Hasil analisis komposisi contoh dengan perlakuan destruksi kering dan
basah menggunakan XRF

24
26
27
28

4

5

Hasil analisis perbandingan kandungan unsur non-UTJ, radioaktif, dan
UTJ hasil destruksi kering dan basah menggunakan XRF
6 Hasil analisis kelarutan unsur non-UTJ, radioaktif, dan UTJ terhadap
contoh fase padat destruksi basah menggunakan ICP-OES
7 Hasil analisis kelarutan unsur non-UTJ, radioaktif, dan UTJ terhadap
contoh fase padat destruksi kering menggunakan ICP-OES
8 Hasil analisis proses pengendapan unsur non-UTJ, radioaktif, dan UTJ
pada pH 4, 7, dan 10 dari contoh fase cair destruksi kering menggunakan
XRF
9 Hasil analisis proses pengendapan unsur non-UTJ, radioaktif, dan UTJ
pada pH 4, 7, dan 10 dari fase cair destruksi basah menggunakan XRF
10 Kandungan bobot dan persen perolehan kembali (recovery) unsur
non-UTJ, radioaktif, dan UTJ pada proses destruksi, ekstraksi, dan
pengendapan
11 Diagram alir pengayaan unsur Ce dalam contoh dari keseluruhan proses
12 Diagram alir pengayaan UTJ dalam skala industri

29
30
32
34
35
36
38
39

1

PENDAHULUAN
Unsur tanah jarang (UTJ) merujuk pada kelompok unsur pada golongan
lantanida, dengan nomor atom 57 sampai 71, serta skandium (Sc), itrium (Y), dan
torium (Th) dan merupakan unsur yang sangat langka atau keterdapatannya sangat
sedikit. Sumber utama UTJ dapat diperoleh dari mineral monasit, senotim, dan
basnasit (Kanazawa dan Kamitani 2006). Mineral monasit ((Ln,Th)PO4)
merupakan senyawa fosfat logam tanah jarang yang mengandung 50–70% oksida
unsur tanah jarang serta sumber penting torium, lantanum, dan serium
(Suprapto 2009). Monasit merupakan salah satu mineral ikutan pada proses
penambangan timah. Di alam, monasit terdapat dalam campuran dengan mineral
lain, seperti cassiterite (SnO2), zirkon (ZrSiO4), ilmenite (FeTiO3), rutile (TiO2),
magnetit, dan garnet. Pemisahan monasit dari mineral lainnya dapat dilakukan
berdasarkan perbedaan berat jenis atau sifat magnet (Spedding dan Daane 1961).
Monasit memiliki kemagnetan yang sangat kecil, sehingga hanya tertarik oleh
magnet yang sangat kuat, sedangkan bijih-bijih lainnya dipisahkan dengan magnet
yang lebih lemah dan sisanya tidak bersifat magnet (non magnet). Konsentrat
monasit dapat diperoleh hingga 60% monasit. Mineral yang mengandung UTJ
banyak ditemukan pada hasil samping penambangan timah, seperti di pulau
Bangka, Belitung, Singkep, Riau, dan Kalimantan (Wasito dan Biyanto 2009).
Kegunaan penting dari UTJ pada bidang industri, peralatan, maupun
teknologi canggih mengakibatkan usaha untuk memurnikannya terus meningkat.
Peralatan seperti superkonduktor, baterai isi ulang, transistor, katalis cracking,
magnet permanen, radar, serat optik, dan layar komputer (LCD) menggunakan
UTJ sebagai bagian dari komponennya (Barret dan Dhesi 2001). Logam-logam
UTJ yang berasal dari mineral bumi perlu melalui beberapa proses sebelum dapat
digunakan dalam keadaan murni dan bebas dari unsur radioaktif uranium, torium,
serta unsur pengotor lainnya, seperti PO4, TiO2, dan lain sebagainya.
Tahapan proses yang biasa dilakukan untuk memperoleh UTJ adalah
penghancuran, penggerusan, pemisahan dengan magnet, destruksi, pemisahan,
dan pemurnian dari mineral campurannya (Cotton 2006). Tahap destruksi
berperan penting untuk memisahkan UTJ secara sempurna dari matrik dalam
campuran, sehingga dapat diproses lebih lanjut (Gupta dan Krishnamurthy 2004).
Destruksi merupakan cara untuk membuat contoh menjadi bentuk yang larut atau
mengubah sampel menjadi bentuk materi yang dapat diukur, sehingga analat yang
terdapat didalamnya dapat dianalisis, serta dapat dilakukan secara terbuka ataupun
secara tertutup. Destruksi terbuka dilakukan di dalam gelas piala atau biasa
disebut destruksi basah, sedangkan destruksi tertutup atau destruksi kering
dilakukan di dalam suatu wadah yang tahan terhadap pemanasan (Harvey 2000).
Destruksi mineral yang mengandung UTJ pernah dilaporkan oleh beberapa
peneliti. Berdasarkan penelitian Mulyani (2007), destruksi dengan menggunakan
bom teflon pada berbagai sampel tanah memberikan hasil analisis yang lebih
tinggi dibandingkan dengan destruksi secara konvensional (destruksi terbuka).
Akan tetapi, berdasarkan penelitian Khaldun (2009), destruksi unsur tanah jarang
menggunakan bom teflon tidak memberikan hasil yang optimal karena masih
terdapat 60% unsur tanah jarang tidak terdestruksi secara sempurna. Proses
destruksi unsur tanah jarang yang kurang sempurna memberikan hasil analisis

2

unsur yang tidak optimal dan akan mempengaruhi perolehan unsur tanah jarang
dalam tahap selanjutnya (Senovita 2008). Metode destruksi terbuka memiliki
kelebihan dibandingkan dengan menggunakan bom teflon, karena dapat
digunakan pada skala laboratorium bahkan industri. Selain itu, titik leleh teflon
hanya 324 °C, sehingga tidak dapat menganalisis unsur dalam tanah yang harus
terlebih dahulu diubah menjadi bentuk oksidanya dengan dilebur pada suhu
800 °C (Mulyani 2007).
Tahapan selanjutnya merupakan pemisahan UTJ dari hasil destruksi leburan
basa, yaitu ekstraksi dengan bantuan gelombang mikro. Ekstraksi berbantuan
gelombang menggunakan pelarut asam pernah dilaporkan oleh beberapa peneliti.
Menurut Pratiwi (2012), pelarut asam mineral yang dapat melarutkan unsur tanah
jarang dalam jumlah besar, yaitu HCl 37% dengan residu asam yang dihasilkan
sebanyak 0.0141 g dan total kadar unsur tanah jarang sebesar 0.6322%
dibandingkan pelarut HNO3 65%, H2SO4 98%, akuaregia, dan larutan piranha
dengan masing-masing residu sebesar 0.5069 g, 0.1093 g, 0.0846 g, dan 0.2692 g.
Ekstraksi berbantuan gelombang dapat dilakukan dengan menggunakan
microwave. Menurut Lu et al. (2003), kondisi optimal proses ekstraksi, yaitu
energi 60% selama 30 menit dengan alat berkekuatan 630 watt. Serta menurut
Ichsan (2012), destruksi microwave lebih efektif untuk destruksi lantanum sebesar
26.24% dibandingkan destruksi menggunakan oven sebesar 18.21%.
Pemisahan atau pengayaan UTJ dari uranium dan torium dapat dilakukan
dengan berbagai cara, yaitu ekstraksi, resin penukar ion, dan pengendapan
(Susilaningtyas et al. 2000). Pengayaan UTJ dengan cara pengendapan juga
pernah diteliti. Berdasarkan hasil penelitian Arief et al. (2001), UTJ(OH)3 dari
larutan UTJ(Cl)3 menggunakan NH4OH 2 N selama 1 jam pada suhu 30 °C
diperoleh kondisi optimal pH 9.6 dengan rekoveri UTJ(OH)3 sebesar 98.80%,
sedangkan U dan Th yang ikut mengendap masing-masing sebesar 18 ppm dan 24
ppm. Penelitian ini mengkaji perbandingan metode destruksi terbuka dengan
teknik destruksi kering dan basah menggunakan pelarut NaOH, serta pengayaan
UTJ dari unsur radioaktif U dan Th dan unsur non-UTJ dengan cara pengendapan
menggunakan larutan umpan UTJ(Cl)3. Parameter yang diperhatikan dalam proses
pengendapan adalah pH yang digunakan.

METODE
Metode penelitian ini mengikuti diagram alir pada Lampiran 1 yang terdiri
atas empat tahap, yaitu destruksi pasir monasit dengan NaOH, ekstraksi UTJ
dengan HCl 37% menggunakan microwave oven, pengendapan UTJ, dan analisis
dengan flouresensi sinar-X (XRF) dan spektrometri emisi optik-plasma gandeng
induktif (ICP-OES).
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan meliputi pasir monasit hasil samping timah,
pelet NaOH, larutan NaOH 50%, HCl 37%, NH4OH 2 N, akuades, asam borat,
dan polivinil alkohol. Alat-alat yang digunakan meliputi cawan krus besi, alat

3

pembakar gas, tanur, oven, labu kjehdal, neraca analitik, pH universal, ayakan 200
mesh, sentrifus, mesin penggerus, pengaduk magnet, hotplate, neraca analitik,
gegep, microwave oven tipe Panasonic NN-5215WF/MF 800W, ICP-OES tipe
Agilent 725-ES, XRF tipe ARL Advent+ XP, serta berbagai alat gelas
laboratorium.

Prosedur Penelitian
Destruksi Pasir Monasit
Destruksi Kering
Pasir monasit hasil samping timah yang berukuran 200 mesh dan NaOH (p)
ditimbang di dalam cawan krus besi menggunakan neraca analitik dengan
perbandingan pasir monasit per massa NaOH sebesar 1:6 kemudian cawan beserta
isinya dilebur terlebih dahulu menggunakan pembakar gas hingga pelet NaOH
dalam bentuk cair. Setelah pelet NaOH beserta pasir telah tercampur dan tidak
menimbulkan percikan, cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam tanur. Suhu
tanur yang digunakan sebesar 700 °C selama 2 jam, kemudian dinaikkan secara
perlahan-lahan sebesar 800 °C selama 2 jam. Kemudian cawan beserta isinya
dikeluarkan dari tanur dan dibiarkan dingin. Sebanyak 250 mL akuades panas
dimasukkan ke dalam cawan krus besi secara perlahan-lahan. Larutan dalam
cawan krus besi dituang ke dalam gelas piala, sehingga terdapat fase padat dan
cair. Setelah itu, dilakukan pengendaptuangan untuk mendapatkan fase padat.
Fase padat tersebut dilakukan pencucian menggunakan akuades panas sebanyak
250 mL hingga pH 13, kemudian dikeringkan menggunakan oven, sedangkan fase
cair ditampung. Fase padat dianalisis menggunakan XRF.
Dekstrusi Basah
Pasir monasit hasil samping timah yang berukuran 200 mesh sebanyak
30 gram ditambah 300 mL NaOH 50% ke dalam labu kjehdal 500 mL. Setelah itu,
pemanasan dilakukan dengan menggunakan pembakar bunsen hingga larutan
NaOH hampir kering, setelah hampir kering larutan NaOH 50% kembali
ditambahkan sebanyak 300 mL. Larutan tersebut dibakar kembali menggunakan
pembakar bunsen hingga larutan hampir kering. Setelah larutan hampir kering,
labu beserta isinya dituang ke gelas piala untuk memperoleh fase padat. Fase
padat tersebut dilakukan pencucian menggunakan akuades panas sebanyak
1600 mL hingga pH 7, kemudian dikeringkan menggunakan oven, sedangkan fase
cair ditampung. Fase padat dianalisis menggunakan XRF.
Ekstraksi Unsur Tanah Jarang Dengan HCl 37% Menggunakan Microwave
Fase padat hasil destruksi kering dan basah sebanyak 1 g ditambah 80 mL
HCl 37% ke dalam labu bulat, kemudian diekstraksi menggunakan microwave
oven. Waktu ekstraksi diatur selama 30 menit (waktu maksimum microwave yang
digunakan) serta daya diatur dengan variasi high, medium, dan low. Kemudian
contoh dikeluarkan dari microwave, volume pelarut sisa hasil ekstraksi diukur
menggunakan gelas ukur, dan fase padat beserta fase cair diendaptuang hingga

4

terpisah. Fase padat dikeringkan pada suhu kamar, sedangkan fase cair
ditampung. Fase cair dianalisis menggunakan ICP-OES.
Pengendapan Unsur Tanah Jarang
Fase cair hasil ekstraksi yang mengandung unsur tanah jarang terbanyak
diambil sebanyak 50 mL, kemudian diendapkan menggunakan larutan NH4OH
2 N. Fase cair tersebut diendapkan dengan beberapa pH. Larutan NH4OH 2 N
ditambah hingga larutan memiliki pH 4 (menggunakan pH universal). Fase cair
yang ber-pH 4 diaduk selama 1 jam kemudian dikocok menggunakan sentrifus
dengan kecepatan 5000 rpm selama 30 menit. Endapan hasil pengocokkan, setelah
itu dipisahkan dari fase cair dan dikeringkan menggunakan oven. Filtrat cair sisa
pengendapan pada pH 4, kemudian diendapkan kembali hingga pH 7. Fase cair
yang ber-pH 7 diaduk selama 1 jam kemudian dikocok menggunakan sentrifus
dengan kecepatan 5000 rpm selama 30 menit. Endapan hasil pengocokkan, setelah
itu dipisahkan dari fase cair dan dikeringkan menggunakan oven. Fase cair sisa
hasil pengendapan pada pH 7, kemudian diendapkan kembali hingga pH 10. Fase
cair yang ber-pH 10 diaduk selama 1 jam kemudian dikocok menggunakan
sentrifus dengan kecepatan 5000 rpm selama 30 menit. Endapan hasil
pengocokkan, setelah itu dipisahkan dari filtrat dan dikeringkan menggunakan
oven. Endapan berbagai pH (pH 4, pH 7, dan pH 10) dianalisis menggunakan
XRF.
Analisis Menggunakan XRF
Tahapan preparasi menggunakan XRF sebagai berikut, pasir monasit
(sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan destruksi serta pengendapan) sebanyak
5 g yang sudah berukuran 200 mesh ditimbang, ditambahkan polivinil alkohol
sebanyak 1 g kemudian dicampurkan dengan cara digerus di mortar. Setelah itu
ditekan dengan alat pembuat pelet. Cincin pelet dipanaskan terlebih dahulu dalam
oven sekitar 15 menit kemudian dipasang dan ditambahkan asam borat 2 g lalu
diisi dengan sampel yang sudah digerus. Cross bar ditutup dan tombolnya ditekan
maka akan muncul gaya tekan yang diberikan dan waktu yang diperlukan untuk
terjadi pelet. Setelah itu cross bar dibuka. Pelet yang sudah jadi diambil dan
dimasukkan oven selama 15 menit yang selanjutnya dianalisis menggunakan
XRF, alat tekan pelet dibersihkan dengan penyedot debu serta alkohol.
Pengukuran ini dilakukan di Laboratorium Pusat Survey Geologi, Bandung.
Analisis Menggunakan ICP-OES
Filtrat hasil ekstraksi microwave dianalisis menggunakan ICP-OES untuk
mengetahui banyaknya unsur tanah jarang yang terlarut. Standar unsur tanah
jarang dengan konsentrasi 1000 ppm ditambah larutan asam nitrat 2% dalam labu
takar. Larutan stok tersebut diencerkan hingga 0.5, 1.0, 2.0, 5.0, dan 10 ppm.
Larutan contoh diambil dari larutan stok menggunakan pipet sebanyak 2 mL,
kemudian diencerkan hingga 50 mL menggunakan akuades dalam labu takar.
Standar dan contoh dianalisis dengan ICP-OES yang ada di Laboratorium Pusat
Sumber Daya Geologi, Bandung.

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Destruksi Monasit
Destruksi kering
Destruksi kering merupakan destruksi yang dilakukan dengan memanaskan
sampel pada suhu tinggi selama waktu tertentu hingga sampel menjadi abu atau
berwarna putih (Mulyani 2007). Proses destruksi biasa dilakukan dengan bantuan
panas atau tekanan, serta lazim dilakukan dengan penambahan pelebur asam atau
basa. Asam yang biasa digunakan untuk destruksi adalah H2SO4, HNO3, dan HF
serta basa NaOH atau KOH (Harvey 2000). Destruksi yang dilakukan pada
penelitian ini adalah destruksi terbuka dengan teknik destruksi basah dan kering
menggunakan NaOH. Destruksi terbuka dengan teknik destruksi kering dilakukan
dengan bantuan NaOH, dengan perbandingan berat pasir monasit dan berat NaOH
adalah 1:6. Pasir monasit yang berukuran 200 mesh dilebur bersama NaOH
menggunakan pembakar gas terlebih dahulu agar reaksi peleburan berlangsung
dengan baik dalam suhu tanur yang cukup tinggi, yaitu 700 °C dan 800 °C.
Pemilihan perbandingan berat pasir monasit dan berat NaOH yang
digunakan sebesar 1:6 karena setiap UTJ akan mengikat tiga buah basa saat
peleburan, sehingga jumlah NaOH yang dibutuhkan akan selalu lebih banyak
dibandingkan jumlah sampel yang digunakan (Senovita 2008). Hasil destruksi
kering ini menghasilkan jumlah unsur tanah jarang sebesar 9.51% untuk Ce dan
4.02% untuk La, hal ini jauh berbeda dengan hasil yang dilakukan oleh Senovita
(2008) yang berhasil melakukan destruksi pasir monasit menggunakan teknik
destruksi tertutup (menggunakan bom teflon dalam oven) dengan jumlah UTJ
yang terdestruksi sebesar 31.90% untuk Ce dan 13% untuk La dengan
perbandingan bobot monasit dan NaOH sebesar 35:65. Hal ini disebabkan logam
pengotor seperti Fe yang meningkat setelah perlakuan sebesar 17.95% dari
sebelum perlakuan sebesar 1.60% dan dapat berpotensi mempengaruhi proses
destruksi karena dapat ikut mengendap menjadi Fe(OH)3 oleh penambahan
NaOH. Peningkatan kadar logam pengotor Fe pada sampel disebabkan oleh
terkikisnya cawan krus besi, yang bersifat korosif terhadap basa (Gambar 1).

Gambar 1 Cawan krus besi
Menurut Suyanti dan Aryadi (2011), analisis monasit seringkali
menunjukkan logam-logam pengotor, seperti besi, aluminium, kalsium,
magnesium, titanium, zirkonium, dan silika. Bentuk unsur dominan setelah
perlakuan dengan penambahan NaOH ditunjukkan pada Tabel 1.

6

Tabel 1 Bentuk unsur dominan setelah perlakuan
Unsur
Perlakuan dengan basa
UTJ
UTJ(OH)3 (s)
Ti
Ti(OH)4 (s)
Fe
Fe(OH)3 (s)
Si
Na2SiO3 (aq)
Mn
Mn(OH)2 (s)
Zr
ZrO2.nH2O (s)
Sn
Na2SnO3 (aq)
Sumber: Barnett & Wilson (1953) dan Cotton & Walkinson (1962).

Destruksi basa menggunakan NaOH merupakan metode dektruksi basa yang
lebih disarankan untuk mendestruksi monasit karena pada hasil reaksi akan
terbentuk Th(OH)4 yang berbentuk padatan, sehingga torium dapat dipisahkan
dari sampel monasit yang merupakan unsur pengotor pada UTJ dan salah satu
senyawa radioaktif. Selain itu, hasil samping dari pengolahannya, seperti natrium
fosfat masih dapat dimanfaatkan untuk pupuk dan NaOH yang telah terpakai
masih dapat didaur ulang (Calkins et al. 1957). Pada saat destruksi dengan NaOH
terjadi reaksi sebagai berikut (Senovita 2008).
(Ln,Th)(PO4) (s) + 3 NaOH (s) → Na3PO4 (aq) + Ln(OH)3 (s) + Th(OH)3 (s)
Pemilihan suhu yang digunakan pada penelitian ini sebesar 700 °C dan
800 °C, hal ini didasarkan atas kurva termogram yang dihasilkan dari Thermo
Gravimetri Analysis/Differential Thermal Analysis (TGA/DTA) (Gambar 2).
TGA/DTA merupakan analisis yang dapat digunakan untuk menentukan
perubahan berat, temperatur peleburan, temperatur perubahan fase titik
rekristalisasi, titik transisi glass, dan entalpi dari suatu bahan (Indaryati et al.
2008). Kurva DTA yang dihasilkan menunjukkan tiga puncak aliran panas yang
disebabkan oleh pengurangan air (dehidrasi) dan penguraian (dekomposisi).
Puncak endotermis (1) pada 91.12 °C memberikan informasi yang berkaitan
dengan reaksi dehidroksilasi berupa hilangnya gugus hidroksil atau molekul air.
Puncak eksotermis (2) memberikan informasi terjadinya pembentukan fase baru
yang melepaskan sejumlah energi sebesar 215.63 uV dengan suhu sebesar
794.37 °C. Puncak ini memberikan informasi lebih lanjut tentang terjadinya
sintering dan hilangnya matriks oksida lain pada sampel. Oleh karena itu
berdasarkan data tersebut dapat diketahui pasir monasit minimal dilebur pada
suhu ± 700 °C hingga 800 °C. Puncak (3) pada suhu 971.86 °C berkaitan dengan
reaksi dekomposisi dengan bobot yang hilang sebesar 6.731 mg (23.061%).

7

MONASIT 1:6

2

1

3

Gambar 2 Kurva termogram hasil peleburan monasit 1:6
Monasit merupakan mineral yang mempunyai bentuk ikatan fosfat yang
mengandung Th dan unsur tanah jarang (Lampiran 3). Komposisi pasir monasit
Bangka sebelum didestruksi terlebih dahulu dianalisis menggunakan XRF. Jumlah
fosfat sebelum destruksi dengan NaOH sebesar 8.52%, jumlah silika sebesar
6.10%, serta jumlah uranium dan torium masing-masing sebesar 0.195% dan
3.27%. Jumlah total unsur tanah jarang sebesar 34.31%. Semua komponen mayor
dan minor (pengotor) tersebut saling berikatan satu sama lain karena unsur tanah
jarang dapat membentuk senyawa kompleks yang menyebabkan unsur tanah
jarang dapat berada pada bentuk fosfat, karbonat, silikat, oksida, dan florida
(Suprapto 2009).

Gambar 3 Jumlah unsur tanah jarang sebelum perlakuan (A) dan
sesudah destruksi kering dengan NaOH (B)

8

Gambar 4 Jumlah unsur non-UTJ dan radioaktif sebelum perlakuan (A)
dan sesudah destruksi kering dengan NaOH (B)
Peleburan oleh NaOH mengakibatkan jumlah Y, La, Ce, Pr, Nd, Dy, Er, dan
Yb menurun, jumlah Sm dan Gd meningkat, Pm dan Eu yang tidak terdeteksi
sebelum dan sesudah perlakuan, serta Tb, Ho, dan Tm yang terdeteksi setelah
perlakuan (Gambar 3). Penurunan kadar ini disebabkan hampir seluruh UTJ
berada pada fase cairan ketika dalam tahap perendaman menggunakan akuades
setelah proses destruksi, serta semakin meningkatnya jumlah logam pengotor
seperti besi (Fe) yang ikut mengendap bersama UTJ, sehingga mengakibatkan
jumlah UTJ menurun (Gambar 4) dan Fe tidak terlebur oleh NaOH. Menurut
Pratiwi (2012), kenaikan kadar UTJ menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut
tidak terleburkan oleh NaOH. Total UTJ yang dihasilkan pada destruksi kering
sebesar 25.56% dari total UTJ sebelum perlakuan sebesar 34.31% dan selebihnya
merupakan oksida-oksida non-UTJ dan radioaktif (Lampiran 4). Penurunan
jumlah total UTJ ini diikuti penurunan logam pengotor (non-UTJ dan radioaktif),
seperti silika, fosfat, uranium, dan torium (Lampiran 5) dan menunjukkan
sebagian besar UTJ terleburkan oleh NaOH. Dengan demikian silika yang
terkandung pada pasir monasit bersifat mudah bereaksi dengan NaOH (amorf),
sehingga UTJ ikut terlebur juga yang menyebabkan jumlah total UTJ menjadi
kecil.
Unsur radioaktif seperti torium dan uranium setelah destruksi masingmasing sebesar 2.40% dan 0.137%, hasil ini tidak jauh berbeda dengan jumlah
sebelum destruksi (Lampiran 5). Kedua unsur ini memiliki nomor atom yang
saling berdekatan, yaitu 90 (torium) dan 92 (uranium) dan merupakan unsur
aktinida. Dengan nomor atom yang berdekatan, maka sifat kimia dari kedua unsur
ini hampir sama, yaitu mudah membentuk senyawa komplek ionik atau netral,
mempunyai panjang gelombang yang berdekatan (uranium 651 nm dan torium
665 nm), terhidrolisis pada pH rendah, uranium stabil pada bilangan oksidasi (VI)
dengan membentuk UO22+, sedangkan torium stabil pada bilangan oksidasi (IV)
(Fatimah et al. 2009). Berdasarkan hasil pengamatan, ketika jumlah torium turun
maka jumlah uranium juga ikut turun, atau sebaliknya. Proses destruksi ini,
memberikan hasil yang cukup baik yang ditunjukkan dengan menurunnya jumlah
non-UTJ dan radioaktif dari hasil analisis XRF, kecuali unsur Fe.

9

Destruksi Basah
Destruksi basah, yaitu destruksi yang dilakukan dengan menambahkan suatu
asam atau basa terlebih dahulu, kemudian dipanaskan pada suhu dan waktu
tertentu (Senovita 2008). Pelarut yang digunakan pada destruksi basah ini adalah
dengan penambahan basa, yaitu larutan NaOH 50%. Pelarut NaOH 50% ini secara
komersial lebih disukai karena konsentrasi NaOH yang dikatakan dapat
memberikan hasil yang maksimal dengan konsentrasi antara 30–70%
(Calkins et al. 1957).
Destruksi basah menggunakan pelarut NaOH 50% mengakibatkan jumlah
unsur tanah jarang, seperti Y, La, Ce, Pr, Nd, Sm, Gd, Dy, Er, Yb meningkat dari
sebelum perlakuan, unsur Pm, Eu, Tb, Ho, dan Tm tidak terdeteksi baik sebelum
perlakuan maupun sesudah proses destruksi, serta unsur Lu tidak terdeteksi
setelah perlakuan sedangkan sebelum perlakuan terdeteksi (Gambar 5). Jumlah
total UTJ yang dihasilkan dari proses destruksi basah ini sebesar 44.30%, hasil ini
jauh meningkat dari jumlah sebelum dilakukan destruksi sebesar 34.31%
(Lampiran 5). Kenaikan jumlah UTJ ini disebabkan menurunnya masing-masing
jumlah silika dan fosfat sebesar 2.92% dan 3.33% dari jumlah sebelumnya sebesar
6.10% dan 3.33%.

Gambar 5 Jumlah UTJ, non-UTJ, dan unsur radioaktif sebelum perlakuan (A) dan
sesudah destruksi basah dengan NaOH (B)
Berdasarkan hasil penelitian ini, jumlah silika yang menurun menunjukkan
silika pada monasit terleburkan oleh NaOH, sehingga UTJ tidak terlebur
sempurna dan berada pada fase padatnya. Hal ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa UTJ terkonsentrasi dalam fase silikat, sehingga jika silika
terleburkan banyak oleh NaOH akan menyebabkan UTJ meningkat
(Herman 2009). Jumlah silika dan fosfat sebagai unsur non-UTJ atau pengotor
yang dominan pada hasil destruksi basah ini jauh lebih tinggi dibandingkan
destruksi kering. Jumlah unsur Si dan P hasil destruksi kering masing-masing
sebesar 0.705% dan 0.150%, sedangkan hasil destruksi basah sebesar 2.92% dan
3.33%. Kenaikan unsur-unsur ini menunjukkan bahwa unsur tersebut tidak
terdestruksi secara sempurna dan masih terdapat pada fase padat yang
menyebabkan UTJ jauh lebih meningkat dibandingkan dengan hasil destruksi
kering.

10

Dalam hal ini, silika bersifat kristalin (sukar bereaksi dengan NaOH).
Jumlah unsur non-UTJ yang mengalami kenaikan, yaitu unsur Ca dan Zr
(Gambar 5). Jumlah unsur Ca sebelum destruksi sebesar 0.107%, nilai ini tidak
jauh berbeda setelah perlakuan, yaitu sebesar 0.159%. Jumlah Zr meningkat
sebesar 1.28% dari sebelum perlakuan, hal ini disebabkan ZrO2 bersifat basa dan
tidak larut dalam basa berlebih (Cotton dan Wilkinson 2007). Pengaruh
peningkatan kadar total UTJ yang meningkat menyebabkan kadar torium yang
ikut mengendap bersama UTJ juga meningkat.
Menurut Sulaeman et al. (2006), pemisahan unsur tanah jarang sangat sukar
dilakukan karena ion-ion tersebut mempunyai sifat fisika dan kimia yang sangat
mirip terutama dalam pelarut air. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh ukuran
jari-jari ion yang kecil dan hampir sama (semuanya mempunyai elektron terluar
pada orbital 4f) dan bermuatan besar (+3) (Lampiran 2). Oleh karena itu, UTJ jika
dalam air akan mengalami hidrasi yang kuat, kecuali serium yang memiliki sifat
anomali dibandingkan dengan UTJ lainnya, yaitu satu-satunya UTJ yang dapat
mempunyai bilangan oksida +4, sehingga Ce sulit larut dalam air. Oleh karena itu,
pada proses destruksi basah unsur Ce memiliki jumlah yang lebih tinggi dari
sebelum perlakuan.
Proses destruksi basah ini disebut juga metode destruksi konvensional,
sehingga memiliki banyak kekurangan ketika menggunakan proses basah.
Penambahan pelarut lebih dari satu kali bertujuan agar pelarutan berlangsung
sempurna terhadap residu, menyebabkan pelarutan berlangsung lama, banyak
pelarut yang hilang karena menguap, dan penggunaan metode ini dalam skala
industri sangat merugikan karena boros pelarut, serta gelas kimia (labu kjehdal)
yang digunakan tidak tahan terhadap pelarut basa, sehingga diperlukan gelas
kimia atau wadah yang tahan terhadap basa pada metode ini (Gambar 6). Proses
destruksi ini, memberikan hasil yang kurang baik dibandingkan dengan destruksi
kering yang ditunjukkan dengan jumlah unsur radioaktif (Th) meningkat dan
unsur non-UTJ seperti Ca dan Zr juga meningkat dari hasil analisis menggunakan
XRF serta sebagian besar UTJ tidak terdestruksi dan jumlahnya meningkat.

Gambar 6 Perangkat alat destruksi basah monasit

Ekstraksi Unsur Tanah Jarang Dengan HCl 37% Menggunakan Microwave
Unsur tanah jarang yang telah didestruksi dengan teknik kering dan basah
menggunakan pelarut basa (NaOH), kemudian dilanjutkan dengan ekstraksi
menggunakan microwave oven, yaitu ekstraksi yang memanfaatkan gelombang
mikro sebagai sumber energi. Energi gelombang mikro ini merupakan energi yang

11

sangat berguna dan telah banyak digunakan untuk analisis kimia (Lu et al. 2003).
Penggunaan alat ini dipilih sebagai pelarutan unsur tanah jarang karena alat ini
dapat digunakan dalam skala industri yang memiliki keuntungan, seperti suhu dan
tekanan yang lebih tinggi (200–300 °C) serta tekanan mencapai 40–100 bar.
Waktu proses pun tidak lebih dari 30 menit, sehingga dapat membuat waktu
analisis menjadi lebih efektif (Harvey 2000). Kelebihan lain dari alat ini adalah
gelombang yang dihasilkan dapat memanaskan bahan secara merata, berbeda
dengan pemanasan konvensional yang hanya memanaskan bagian permukaan
bahan, sehingga kurang optimal (Gambar 7).
(Kappe et al. 2009)

Gambar 7 Pemanasan secara konvensional (a) dan gelombang mikro (b)
(Kappe et al. 2009)
Parameter penting dalam tahap ini adalah variasi daya yang digunakan,
yaitu high, low, dan medium. Penelitian ini melarutkan UTJ dari fase padat
destruksi basah dengan variasi daya high, medium, dan low, sedangkan contoh
fase padat destruksi kering hanya menggunakan daya high dan medium
(Gambar 8). Daya low tidak digunakan pada pelarutan contoh ini didasarkan atas
pengaruh pergerakan partikel-partikel terhadap energi atau daya untuk melarutkan
sampel, sehingga semakin kecil daya tersebut maka pergerakan partikel-partikel
pada sampel tersebut kecil untuk menghasilkan panas yang merata dalam
melarutkan sampel.
Pelarut yang digunakan adalah HCl 37%. Pemilihan pelarut didasarkan atas
pelarut yang digunakan dapat melarutkan logam berharga tanpa melarutkan
pengotornya. Menurut Mulyani (2007), pelarut HCl merupakan pelarut yang
bukan termasuk ke dalam pengoksidasi, akan tetapi pelarut tersebut akan
membentuk klorida yang dapat larut dengan hampir semua elemen, kecuali Hg,
Pb, dan Ag selain itu berdasarkan penelitian Sulaeman et al. (2006) HCl
digunakan sebagai pelarut untuk melarutkan dan mengasamkan unsur tanah
jarang, selain itu HCl dijadikan fase penerima pada proses pemisahan unsur tanah
jarang menggunakan Supported Liquid Membrane (SLM) yang menyebabkan
unsur tanah jarang banyak berpindah ketika konsentrasi HCl semakin tinggi.
Kelarutan UTJ dari contoh padat hasil destruksi basah dan kering dianalisis
menggunakan alat ICP-OES dan menghasilkan kelarutan terbesar pada daya high
(Gambar 8). Berdasarkan penelitian Tan dan Vinh (2011), parameter yang
digunakan dalam pelarutan UTJ dari pasir monasit menggunakan microwave
adalah jumlah sampel, konsentrasi pelarut, waktu reaksi, dan daya. Perbandingan
jumlah pelarut dan sampel sebesar 5:1 menghasilkan UTJ terlarut sebesar 88.7%,
setelah perbandingan itu jumlah UTJ yang terlarut mulai konstan, sehingga pada
penelitian ini digunakan perbandingan pelarut dan sampel sebesar 80:1 dan
dianggap perbandingan yang telah dapat melarutkan UTJ. Konsentrasi pelarut
yang menghasilkan UTJ terlarut dengan baik pada penelitian Tan dan Vinh (2011)

12

sebesar 12 M untuk pelarut HCl. Hal ini yang mendasari bahwa semakin tinggi
konsentrasi pelarut yang digunakan maka semakin banyak UTJ yang berpindah ke
pelarut HCl dan pada penelitian ini menggunakan pelarut HCl 37%. Waktu reaksi
maksimal yang dihasilkan pada penelitian sebelumnya selama 60 menit dan
setelah 60 menit kadar UTJ terlarut konstan. Waktu yang digunakan pada
penelitian ini merupakan waktu maksimal alat tersebut, yaitu 30 menit. Daya yang
digunakan untuk melarutkan UTJ terbesar pada penelitian ini adalah high sebesar
800 W.

(a)

(b)

Gambar 8

Kelarutan UTJ pada filtrat hasil ekstraksi dengan HCl 37%
menggunakan microwave oven terhadap contoh fase padat
destruksi basah (a) dan destruksi kering (b)

Gambar 9

Perbandingan jumlah kadar UTJ yang terlarut menggunakan
microwave oven terhadap contoh fase padat destruksi basah dan
kering pada daya high

Berdasarkan Gambar 9 menunjukkan bahwa ekstraksi UTJ dari contoh fase
padat destruksi basah menggunakan pelarut HCl 37% mengakibatkan kadar unsur
Eu, Tb, Ho, dan Lu terdeteksi oleh alat setelah perlakuan ekstraksi, sedangkan
sebelum perlakuan tidak terdeteksi. Ekstraksi UTJ dari contoh fase padat destruksi
kering mengakibatkan kadar unsur Eu dan Tb terdeteksi setelah perlakuan,

13

sedangkan sebelum perlakuan tidak terdeteksi oleh alat XRF serta unsur Pm tidak
terdeteksi sebelum dan sesudah perlakuan. Hal ini menunjukkan kemampuan alat
ICP-OES yang sifatnya lebih kuantitatif menganalisis sampel UTJ dibandingkan
XRF yang sifatnya semikuantitatif. Contoh fase padat destruksi kering dan basah
menghasilkan unsur yang dominan dengan kadar tertinggi, yaitu unsur Ce dan La
sesuai dengan jumlah unsur tersebut tertinggi sebelum ekstraksi.
Daya yang banyak melarutkan UTJ tersebut digunakan pada tahap
selanjutnya pada penelitian ini. Jumlah total UTJ yang terlarut dengan metode
basah dan kering pada daya high menghasilkan jumlah masing-masing sebesar
35.72% dan 29.97% (Lampiran 6 dan 7). Hasil kelarutan unsur tanah jarang yang
dihasilkan tidak mencapai 100% dikarenakan ada sebagian unsur tanah jarang
yang berada pada fase cair ketika proses destruksi NaOH (Gambar 8). Kelarutan
UTJ pada contoh fase padat destruksi kering dan basah menghasilkan kelarutan
yang terbesar pada unsur praseodimium (Pr) masing-masing sebesar 67.30% dan
63.42% dan menunjukkan bahwa unsur ini memiliki kelarutan yang cukup baik
dalam HCl 37% dengan bantuan gelombang mikro. Jumlah yang menghasilkan
sebagian besar UTJ terlarut dan kelarutan yang dihasilkan cukup besar, serta
hasilnya dapat dibaca oleh alat adalah fase cair (filtrat) hasil destruksi dengan
teknik kering (Gambar 8).

Gambar 10 Jumlah kelarutan unsur radioaktif dan non-UTJ
Kelarutan unsur radioaktif dan non-UTJ pada contoh fase padat destruksi
basah masih terdapat U dan Th yang terlarutkan cukup banyak dibandingkan fase
cair destruksi kering (Gambar 10). Hasil kelarutan contoh fase padat destruksi
basah dapat dikatakan kurang memberikan hasil yang baik dibandingkan
kelarutan contoh fase padat destruksi kering. Dari hasil kelarutan, jumlah unsur
pengotor yang menurun akan menaikkan jumlah UTJ yang terlarut dan akan
mempengaruhi hasil pada tahap selanjutnya. Probabilitas keberadaan unsur ketika
pelarutan menggunakan HCl 37% sebagai berikut (Tabel 2).
Tabel 2 Probabilitas keberadaan unsur
Fase
Unsur
Filtrat air (pencucian residu)
Filtrat HCl 37%
Residu asam

P, V, Al, Si, Sn
UTJ, Ti, Fe, Mn, Ca, Mg, Zn, U, Th
Na, K, Zr, Hf, P, Nb, Cr

Sumber: Barnett & Wilson (1953) dan Cotton & Wilkinson (1962).

14

Pengendapan Unsur Tanah Jarang
Unsur tanah jarang dalam bidang industri memiliki peranan yang cukup
penting, oleh karena itu penelitian mengenai UTJ menjadi suatu hal yang cukup
penting untuk dilakukan terutama yang terkait dengan pemisahan UTJ dari
mineralnya. Teknik pemisahan yang biasa digunakan adalah teknik pemisahan
dengan cara reaksi pembentukan kompleks, kristalisasi, resin penukar ion, dan
membran cair berpendukung (Soe et al. 2008). Teknik pemisahan dengan cara ini
memiliki kekurangan jika diaplikasikan dalam skala industri, seperti biaya yang
cukup mahal karena memerlukan banyak proses ulang dan membutuhkan banyak
pelarut, serta pembuatan membran yang cukup rumit.
Proses pengendapan merupakan proses pemisahan yang mudah, cepat, dan
murah. Prinsip proses ini adalah pemisahan unsur-unsur berdasarkan perbedaan
besarnya harga hasil kali kelarutan (solubility product constant/ Ksp). Proses
pengendapan adalah proses terjadinya padatan karena melewati nilai Ksp, yang
harganya tertentu dan dalam keadaan jenuh. Jika harga Ksp kecil atau pKsp besar,
unsur atau senyawa mudah mengendap, sedangkan jika harga Ksp besar atau pKsp
kecil, unsur atau senyawa sulit mengendap. Nilai pKsp dapat memperkirakan pH
terjadinya endapan (Suyanti et al. 2008).
Proses pengendapan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan
pelarut NH4OH 2 N. Pelarut NaOH juga dapat digunakan untuk mengendapkan
UTJ, akan tetapi kekurangan dari pelarut ini adalah sulit dalam penanganannya,
sehingga dipilih NH4OH yang lebih mudah penanganannya dan harganya lebih
murah. Faktor yang berpengaruh dalam proses pengendapan adalah pH dan
konsentrasi pelarut. Penelitian ini menggunakan pelarut NH4OH 2 N didasari atas
penelitian yang dilakukan Arief et al. (2001) yang menyatakan bahwa konsentrasi
NH4OH < 2 N mengakibatkan jumlah pereaksi yang diperlukan banyak sehingga
memerlukan waktu yang lama untuk mencapai pH yang diinginkan serta
membutuhkan volume tangki pereaksi dan tangki pengendapan yang lebih besar,
sedangkan jika konsentrasi NH4OH > 2 N kemungkinan akan terbentuk pengotor
yang diselimuti oleh endapan UTJ(OH)3, sehingga akan bersama-sama
mengendap.
Pada tahap ini UTJ dipisahkan dari U dan Th dengan cara pengendapan
pada pH 4, pH 7, dan pH 10 menggunakan larutan NH4OH dari larutan induk
UTJ(Cl)3. Reaksi yang terjadi pada tahap pengendapan ini adalah diubah dalam
bentuk hidroksida, sehingga terjadi pemisahan senyawa yang cukup baik.
UTJ(Cl)3 (aq) + 3 NH4OH → UTJ (OH)3 (s) + 3 NH4Cl
Jumlah total UTJ yang terendapkan paling banyak pada fase cair destruksi
basah dan kering terdapat pada pH 10 dengan jumlah masing-masing sebesar
2.76% dan 1.18%. Hal ini sesuai dengan nilai pKsp UTJ yang disajikan pada
Lampiran 2. Nilai pKsp semakin kecil atau semakin besar harga Ksp, konsentrasi
OH- semakin besar dan nilai pOH semakin kecil, sehingga nilai pH untuk
mengendapkan UTJ juga semakin besar (Suyanti et al. 2008).

15

(a)

(b)

Gambar 11 Jumlah UTJ yang mengendap dengan penambahan NH4OH pada
contoh fase cair destruksi kering (a) dan basah (b)
Pengendapan pada fase umpan destruksi kering menghasilkan jumlah
endapan unsur tanah jarang terbesar pada pH 10, yaitu unsur Ce sebesar 0.325%
dengan nilai pKsp sebesar 19.82. Proses pengendapan UTJ pada penelitian ini
dilakukan secara bertahap dimulai dari pengendapan pada pH 4. Unsur tanah
jarang pada pH 4 hampir tidak terbentuk semua, hal ini disebabkan pengendapan
UTJ akan terbentuk endapan jika pH > 7 (Lampiran 8). Unsur yang paling banyak
mengendap pada pH 7 adalah Y, diikuti oleh unsur Ce, Nd, Yb, dan La
(Gambar 11). Menurut Bjerrum et al. (1958) dan dari data pKsp dalam bentuk
hidroksida, Lu akan mengendap lebih dahulu dibandingkan unsur-unsur tanah
jarang lainnya, akan tetapi pada pH 7 ini Lu tidak terbentuk.
Hal ini disebabkan jumlah Lu dalam umpan sangat kecil dan jumlah ini
sebesar 0.09% dan hampir mendekati jumlah unsur Eu sebesar 0.00% dan Tm
sebesar 0.06%. Unsur Pm tidak terbentuk endapan karena pada fase umpan unsur
ini tidak terdeteksi, sedangkan unsur Tb dan Ho tidak terbentuk endapan pada pH
7 karena pada pH ini unsur tersebut belum terbentuk (Lampiran 8). Unsur paling
banyak mengendap pada pH 10 adalah unsur Ce diikuti oleh unsur Y, Nd, La, Pr,
Gd, Dy, Sm, Er, dan Yb, sedangkan unsur Eu,Tb, Ho, Tm, dan Lu tidak terdeteksi
setelah perlakuan, serta unsur Pm tidak terdeteksi sebelum dan sesudah perlakuan
(Gambar 14). Berdasarkan nilai Ksp unsur Nd seharusnya mengendap lebih dahulu
dibanding unsur Y, hal ini disebabkan unsur Y pada fase umpan memiliki jumlah
yang besar dibandingkan unsur Nd. Fase umpan yang ditambahkan NH4OH akan
menghasilkan endapan yang kemungkinan besar berbentuk endapan hidroksida
berupa endapan gelatin berwarna putih kekuningan. Endapan yang kaya akan
unsur tanah jarang pada pH 10 disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Endapan pH 10 dari contoh fase cair destruksi kering

16

Pengendapan fase umpan destruksi basah menghasilkan jumlah endapan
unsur tanah jarang terbesar pada pH 10, yaitu unsur Ce sebesar 1.43%
(Lampiran 9). Proses pengendapan pada pH 4 tidak menghasilkan endapan,
sehingga jumlah unsur radioaktif dan non-UTJ yang dihasilkan lebih besar
dibandingkan endapan fase umpan destruksi kering (Gambar 14). Unsur tanah
jarang pada pH 7 yang menghasilkan jumlah endapan terbesar, yaitu unsur Ce
diikuti oleh unsur Nd, La, Pr, Y, Sm, dan Gd (Gambar 11). Berdasarkan data pKsp
unsur Pr seharusnya mengendap terlebih dahulu dibandingkan unsur Ce, Nd dan
La, hal ini disebabkan jumlah unsur Pr pada fase umpan lebih kecil, yaitu sebesar
4.72% sedangkan unsur Sm dan Gd belum sempurna membentuk endapan pada
pH ini. Unsur tanah jarang pada pH 10 menghasilkan jumlah endapan terbesar,
yaitu unsur Ce diikuti oleh Nd, La, Pr, Y, Sm, Gd, dan Dy (Gambar 14). Jumlah
ini meningkat seiring dengan jumlah unsur yang mengendap pada pH
sebelumnya.
Ketidaksesuaian nilai pKsp dan pH terhadap jumlah yang terkandung pada
unsur disebabkan oleh larutan fase umpan yang akan diendapkan terdapat
unsur-unsur logam tanah jarang yang lain, sehingga menyebabkan penurunan
kelarutan unsur tersebut dalam endapan. Besarnya kelarutan berbanding lurus
dengan besarnya hasil kali kelarutan atau Ksp. Unsur-unsur tanah jarang lain yang
ada dalam larutan akan mempercepat terbentuknya endapan, sehingga pH larutan
masih rendah di bawah pH hasil perhitungan. Salah satu unsur tersebut adalah
serium (Ce) mempunyai pKsp sebesar 19.82 dan akan mengendap pada pH 8.69.
Akan tetapi pada pH sebelum 8, unsur tersebut sudah terbentuk dan memiliki
jumlah terbesar dengan fase umpan destruksi basah (Gambar 11). Warna endapan
yang dihasilkan pada pH 7 hampir sama dengan pH 10. Hasil endapan tersebut
disajikan pada Gambar 13.

pH 10

pH 7

Gambar 13 Endapan pH 7 dan pH 10 dari contoh fase cair destruksi basah

Gambar 14 Jumlah UTJ, non-UTJ, dan unsur radioaktif yang mengendap pada
pH 10 terhadap fase umpan destruksi basah dan kering

17

Jumlah unsur radioaktif dan non-UTJ yang juga merupakan unsur
pengganggu atau pengotor bagi UTJ terbesar dihasilkan pada hasil pengendapan
contoh fase umpan destruksi basah, seperti unsur Si, Al, Ca, Ti, Fe, P, dan Th
(Gambar 14). Endapan dari fase umpan destruksi kering mengandung unsur
radioaktif seperti uranium dengan jumlah sebesar 0.0012% atau 12 ppm,
sedangkan torium tidak terdeteksi. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan penelitian
yang dilakukan oleh Arief et al. (2001) yang menghasilkan kadar uranium pada
pH 9.6 sebesar 18.38 ppm dan masih mengandung torium sebesar 24.03 ppm.
Endapan ini juga mengandung unsur non-UTJ yang menunjukkan unsur Si yang
berkurang dan tidak terdapat unsur P pada endapan, sehingga hasil endapan unsur
tanah jarang ini dapat dikatakan berhasil dipisahkan dari unsur radioaktif dan
pengotornya, sehingga UTJ dapat diperkaya.
Endapan dari fase umpan destruksi basah mengandung unsur radioaktif
seperti torium yang cukup tinggi sebesar 0.0335% atau 335 ppm, sedangkan
uranium tidak terdeteksi. Jumlah ini lebih besar dibandingkan penelitian yang
dilakukan oleh Arief et al. (2001) yang menghasilkan kadar torium pada pH
optimum terbentuknya UTJ sebesar 24.03 ppm. Endapan ini juga mengandung
unsur non-UTJ yang menunjukkan unsur Si yang cukup tinggi bagi unsur
non-UTJ sebesar 0.0375% dan unsur P dengan jumlah sebesar 0.00048%,
sehingga pemisahan UTJ dari unsur non-UTJ dan radioaktif yang merupakan
pengotor dapat dikatakan masih belum berhasil dibandingkan hasil endapan UTJ
dari fase umpan destruksi kering.

Persen Keberhasilan Perolehan UTJ Melalui Proses Destruksi, Ekstraksi,
dan Pengendapan
Penentuan persen keberhasilan perolehan UTJ diperoleh dari nilai perolehan
kembali (recovery). Persen perolehan kembali (%recovery) bertujuan untuk
mengetahui berapa banyak komponen yang dianalisis dapat hilang akibat proses
preparasi, sehingga dapat menyatakan keakuratan metode yang digunakan.
Semakin besar persen recovery, artinya semakin sedikit komponen yang hilang
akibat preparasi yang dilakukan dan semakin efektif proses perlakuan yang
diberikan tersebut. Menurut Harmita (2004), penentuan persen recovery dapat
dilakukan dengan menambahkan sejumlah tertentu analit ke dalam sampel,
kemudian diperiksa dengan metode analisis. Hasil tersebut kemudian
dibandingkan dengan hasil analisis tanpa penambahan analit. Persen recovery ini
dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dengan hasil sebenarnya.

Gambar 15 Persen UTJ pada endapan destruksi kering dan basah
terhadap contoh sebelum perlakuan

18

Unsur La, Ce, Pr, Nd, Sm perolehan, Gd, dan Dy menunjukkan persen
recovery terbesar pada endapan destruksi basah, sedangkan unsur Y menghasilkan
persen recovery terbesar pada endapan destruksi kering (Gambar 15). Hasil ini
disebabkan unsur Y pada endapan destruksi kering ketika proses ekstraksi
memiliki jumlah unsur dalam filtrat le