Pengembangan Pertanian Organik di Kelompok Tani Madya Desa Kebonagung, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta

1

PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK DI KELOMPOK
TANI MADYA, DESA KEBONAGUNG, KABUPATEN
BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

FIRDA EMIRIA UTAMI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

2

3

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengembangan

Pertanian Organik di Kelompok Tani Madya Desa Kebonagung, Kabupaten
Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini
saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

Firda Emiria Utami
NIM I34090110

4

ABSTRAK
FIRDA EMIRIA UTAMI. Pengembangan Pertanian Organik di Kelompok Tani
Madya Desa Kebonagung, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dibimbing oleh HERU PURWANDARI.
Pertanian organik merupakan kegiatan pertanian yang mengupayakan

penggunaan asupan luar yang minimal dan menghindari penggunaan pestisida dan
pupuk sintetik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani organik dan petani
konvensional memiliki respon yang tinggi pada pertanian organik. Namun,
karakteristik petani organik tidak berhubungan dengan respon petani pada
pertanian organik. Sedangkan pada petani konvensional, pendidikan formal dan
keberanian mengambil resiko berhubungan dengan respon petani pada pertanian
organik. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
respon petani pada pertanian organik dengan pendapatan petani. Meskipun
demikian, dapat diprediksikan adanya peluang pada petani konvensional untuk
menerapkan pertanian organik.
Kata kunci: pertanian organik, respon, pendapatan, petani konvensional

ABSTRACT
FIRDA EMIRIA UTAMI. The Development of Organic Farming in Tani Madya
Groups of Kebonagung Village, District Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Supervised by HERU PURWANDARI.
Organic farming is agricultural activities that seek the use of outside intake
and avoid the use of pesticides and synthetic fertilizer. The results showed that the
organic farmers and conventional farmers have the high responses of organic
farming. However, the characteristics of organic farmer have no relation with

farmer’s respons of organic farming. Then, in conventional farmers, formal
education and the courage to take the risks have relation with farmer’s respons of
organic farming. This research also showed there are no relation between
farmer’s respons of organic farming with farmer’s income. Nevertheless, can be
predicted that there are chances of the conventional farmers to adopt the organic
farming.
Key words: organic farming, respons, income, conventional farmer

5

PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK DI KELOMPOK
TANI MADYA DESA KEBONAGUNG, KABUPATEN
BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

FIRDA EMIRIA UTAMI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

6

Judul Skripsi

Nama
NlM

Pengembangan Pertanian Organik di Kelompok Tani Madya
Desa Kebonagung, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta
Firda Emiria Utami
134090110


Disetujui oleh

Heru Purwandari, SP, M.Si
Pembimbing

dゥセ・エ。ィオ@

oleh

;

r. . Soeryo Adiwibowo, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

l1 9 JUL 2 13

7


Judul Skripsi

Nama
NIM

: Pengembangan Pertanian Organik di Kelompok Tani Madya
Desa Kebonagung, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta
: Firda Emiria Utami
: I34090110

Disetujui oleh

Heru Purwandari, SP, M.Si
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

8

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Pengembangan Pertanian Organik di Kelompok Tani Madya Desa Kebonagung,
Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta”. Penulisan skripsi ini ditujukan
untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Heru Purwandari, SP, M.Si
selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam
memberikan masukan dan bimbingan hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada masyarakat Desa
Kebonagung, khususnya para responden yaitu petani Kelompok Tani Madya dan
aparat desa yang telah membantu terlaksananya penelitian ini. Penulis juga turut
mengucapkan terima kasih kepada dosen beserta staf KPM atas ilmu yang telah

diberikan. Penulis juga menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada
ayahanda Soepatmo Boedhi, ibunda Dian Herlina, serta kedua adik tersayang
Irfan Dwirizky dan Naufal Hanif Fadhillah yang selalu memberikan semangat,
motivasi, doa, dan dukungan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada teman satu bimbingan skripsi, Yanitha Rahmasari dan Alfiana
Rachmawati. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh temanteman KPM 46, khususnya Dini Dwiyanti, Adia Yuniarti, Rina Khaerunnisa, Nina
Lucellia, Bunga Hadian, Novia Fridayanti, Anissa Mustabsiratul, Gressayana, M.
Septiadi, dan Rafi Nugraha yang telah memberikan banyak masukan dan motivasi
dalam penulisan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada sahabat penulis Desy Kusuma atas bantuannya selama ini. Akhir kata,
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Bogor, Agustus 2013
Firda Emiria Utami

9

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Pertanian Berkelanjutan
Konsep Pertanian Organik
Prinsip-Prinsip Pertanian Organik
Peluang Pertanian Organik
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Pertanian Organik
Konsep Respons
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Operasional
METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian

Penentuan Responden dan Informan Penelitian
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Keterbatasan Studi
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Profil Desa Kebonagung
Pemerintahan dan Kependudukan Desa Kebonagung
Infrastruktur Desa
Kondisi Ekonomi dan Pertanian
Kondisi Sosial Budaya
Profil Kelompok Tani Madya
Kegiatan Budidaya Padi Organik di Kelompok Tani Madya
Gambaran Umum Responden
Tingkat Pendidikan Formal
Tingkat Pengalaman Bertani
Tingkat Keberanian Mengambil Resiko
Tingkat Jejaring
Tingkat Kepemilikan Alat Produksi
HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK PETANI DENGAN
RESPON PETANI PADA PERTANIAN ORGANIK
Respon Petani Pada Pertanian Organik

Hubungan Karakteristik Petani dengan Respon Petani Pada Pertanian
Organik
Hubungan Tingkat Pendidikan Formal dengan Respon Petani Pada

xi
xii
xii
1
1
3
3
4
5
5
5
6
7
9
9
10
11
12
12
15
15
15
15
16
17
19
19
19
20
22
21
21
23
25
25
26
26
27
28
31
31
33
33

10

Pertanian Organik
Hubungan Tingkat Pengalaman Bertani dengan Respon Petani Pada
Pertanian Organik
Hubungan Tingkat Keberanian Mengambil Resiko dengan Respon
Petani Pada Pertanian Organik
Hubungan Tingkat Jejaring Petani dengan Respon Petani Pada
Pertanian Organik
Hubungan Kepemilikan Alat Produksi dengan Respon Petani Pada
Pertanian Organik
PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK DI KELOMPOK TANI
MADYA
Analisis Tingkat Pendapatan dan Akses Pasar
Tingkat Pendapatan
Akses Pasar
Peluang Penerapan Pertanian Organik Pada Petani Konvensional
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

34
36
37
39
41
41
41
43
45
49
49
49
51
53
60

1

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

8.
9.
10.
11.

12.

13.

14.

15.
16.
17.

18.

19.
20.

Jumlah populasi dan responden penelitian
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan
formal, kelompok tani Madya, 2013
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pengalaman
bertani, kelompok tani Madya, 2013
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keberanian
mengambil resiko, kelompok tani Madya, 2013
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat jejaring,
kelompok tani Madya, 2013
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kepemilikan
alat produksi, kelompok tani Madya, 2013
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pemahaman
dan penerapan petani pada pertanian organik, kelompok tani
Madya, 2013
Jumlah dan persentase responden menurut respon petani pada
pertanian organik, kelompok tani Madya, 2013
Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik
menurut pendidikan formal, responden petani organik, 2013
Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik
menurut pendidikan formal, responden petani konvensional, 2013
Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik
menurut tingkat pengalaman bertani, responden petani organik,
2013
Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik
menurut tingkat pengalaman bertani, responden petani
konvensional, 2013
Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik
menurut tingkat keberanian mengambil resiko, responden petani
organik, 2013
Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik
menurut tingkat keberanian mengambil resiko, responden petani
konvensional, 2013
Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik
menurut tingkat jejaring, responden petani organik, 2013
Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik
menurut jejaring petani, responden petani konvensional, 2013
Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik
menurut kepemilikan alat produksi, responden petani organik,
2013
Jumlah dan persentase respon petani pada pertanian organik
menurut kepemilikan alat produksi, responden petani
konvensional, 2013
Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan,
kelompok tani Madya, 2013
Daftar harga jual hasil pertanian organik dan konvensional di

16
25
26
27
28
29
31

32
33
34
34

35

36

36

38
38
39

40

41
42

2

21.
22.
23.

kelompok tani Madya, Tahun 2013
Jumlah dan persentase pendapatan menurut respon petani pada
pertanian organik, responden petani organik, 2013
Jumlah dan persentase pendapatan menurut respon petani pada
pertanian organik, responden petani konvensional, 2013
Jumlah dan persentase responden berdasarkan akses pasar,
kelompok tani Madya, 2013

42
43
44

DAFTAR GAMBAR
1.

Kerangka pemikiran

12

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.

Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2013
Peta Lokasi Penelitian (Desa Kebonagung)
Sketsa Lahan Pertanian Organik dan Pertanian Konvensional
Kerangka Sampling Penelitian
Sertifikat Organik Kelompok Tani Madya

53
54
55
56
58

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris yang identik dengan pertanian. Potensi
di bidang pertanian yang dimiliki Indonesia dapat dikembangkan dan dapat
menjadi salah satu bidang yang sangat penting perannya dalam meningkatkan
pendapatan nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS)1, pada Bulan
Februari 2013 dapat diketahui bahwa sebesar 39 959 073 penduduk Indonesia
mengandalkan sektor pertanian sebagai lapangan pekerjaan utama. Angka tersebut
mengalami kenaikan sebesar 2.77% dari perhitungan sebelumnya pada Bulan
Agustus 2012. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa bidang pertanian memiliki
daya tarik tersendiri untuk dijadikan lapangan pekerjaan utama, salah satunya
yaitu bidang pertanian merupakan sumber makanan utama masyarakat.
Selama ini, sebagian besar pertanian yang dikembangkan di Indonesia
adalah pertanian modern. Pertanian modern dicirikan dengan sistem usahatani
yang menggunakan bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan dan
lingkungan. Sutanto (2002) menyatakan bahwa paket teknologi pertanian modern
yang dimaksud adalah penggunaan varietas unggul berproduksi tinggi, pestisida
kimia, pupuk kimia/sintesis, dan menggunakan mesin-mesin pertanian untuk
mengolah tanah dan memanen hasil. Pertanian modern itu sendiri merupakan
salah satu wujud dari revolusi hijau yang mulai diterapkan di Indonesia pada
tahun enam puluhan. Pada awalnya revolusi hijau berhasil mengatasi kerawanan
pangan sehingga Indonesia berhasil mencukupi sendiri kebutuhan pangannya
yang sebelumnya Indonesia adalah negara pengimpor beras (Sutanto 2002). Wolf
(1986) dalam Sutanto (2002) juga menyatakan bahwa kenaikan produksi pangan
dunia sejalan dengan penggunaan pupuk kimia. Namun, seiring dengan
berjalannya waktu banyak pakar lingkungan menyadari bahwa penggunaan bahan
kimia tersebut dapat menimbulkan dampak negatif berupa penurunan
produktivitas tanah akibat penggunaan pupuk kimia serta rusaknya keseimbangan
ekosistem akibat penggunaan pestisida. Keadaan tersebut akhirnya mendorong
individu dan kelompok organisasi menyuarakan gerakan untuk mempraktikkan
usahatani alami yang ramah lingkungan dengan berbagai istilah seperti “organic”
atau “alternatif” dan selanjutnya berkembang menjadi pertanian organik seperti
saat ini. Prospek ekonomis dari pertanian ini pun cukup baik teriring dengan
berubahnya pola konsumsi manusia dimana manusia lebih memilih makanan yang
sehat meskipun harganya mahal (Soetrisno 1999).
Pada prinsipnya, pertanian organik sejalan dengan pengembangan pertanian
dengan masukan teknologi rendah (low-input technology) dan upaya menuju
pembangunan pertanian berkelanjutan. Pertanian organik berkembang secara
cepat terutama di negara-negara Eropa, Amerika, dan Asia Timur (Jepang, Korea,
dan Taiwan). Di Asia, terutama di daratan China, pertanian organik dilaksanakan
sebelum pupuk kimia diperkenalkan secara meluas pada tahun 1960 (Sutanto
1

Badan Pusat Statistik. 2013. Penduduk 15 Tahun Ke Atas yanrja menurut Lapangan Pekerjaan
Utama 2004 - 2012.
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=2 [7
Maret 2013]

2

2002). Indonesia merupakan negara ketiga di Asia dalam pengembangan
pertanian organik setelah China dan India (Winarno dalam Siahaan 2009).
Berdasarkan data Statistik Pertanian Organik Indonesia (SPOI) yang diterbitkan
oleh Aliansi Organis Indonesia (AOI), sampai tahun 2011 tercatat bahwa luas area
pertanian Indonesia tahun 2011 adalah 225 062.65 ha dengan status 90 135.5 ha
merupakan area tersertifikasi pertanian organik, 3.8 area dalam proses sertifikasi
pertanian organik dan 134 917.66 ha merupakan area tanpa sertifikasi organik
(Ariesusanty et al. 2012). Sangat disayangkan, jika dibandingkan tahun lalu, luas
lahan ini mengalami penurunan sebesar 5.77%, terutama karena menurunnya luas
area pertanian organik tersertifikasi.
Berkurangnya luas area pertanian organik menunjukkan bahwa jumlah
petani dan luas lahan organik di Indonesia masih rendah. Hal ini didukung oleh
data hasil survey lapangan penulis pada bulan Januari hingga Maret 2013 yang
menunjukkan bahwa jumlah petani organik di Kabupaten Bogor masih sangat
sedikit dibandingkan petani konvensional. Padahal menurut Saragih2 (2008), sejak
tahun 2000, pemerintah sudah mulai mengembangkan pertanian organik di 20
kabupaten, antara lain Bogor, Sukabumi, Cianjur, Sragen, Yogyakarta, Malang
dan Cimande, serta Bengkulu. Keadaan ini menunjukkan kondisi yang bertolak
belakang dengan tingginya permintaan konsumen atas pertanian organik. Menurut
Sutanto (2002) istilah sistem pertanian organik menghimpun seluruh imajinasi
petani dan konsumen yang secara serius dan bertanggung jawab menghindarkan
bahan kimia dan pupuk yang bersifat meracuni lingkungan dengan tujuan untuk
memperoleh kondisi lingkungan yang sehat. Selain itu, IFOAM 3 menyampaikan
bahwa pertanian organik ini sangat tepat untuk diterapkan karena sangat aman
bagi kesehatan serta teknologi pertanian yang ramah lingkungan. Dengan
demikian, pertanian organik secara tidak langsung telah menjadi gaya hidup
masyarakat yang selalu ingin mengkonsumsi produk-produk yang sehat dan bebas
dari bahan kimia.
Kelompok Tani Madya, Desa Kebonagung, Kabupaten Bantul, Daerah
Istimewa Yogyakarta adalah satu-satunya kelompok tani di desa tersebut yang
telah menerapkan pertanian organik System Rice Intensification (SRI) pada tahun
2008. Kelompok tani ini melaksanakan usaha produksi pangan organik sesuai SNI
6729-2010-Organic Food & Production System dan CAC/GL 32/1999 Codex
Alimentarius Commision Guidelines for the production, processing, labelling and
marketing of organically produced foods. Penerapan pertanian organik yang telah
sejak lama dilaksanakan tersebut, diduga memberikan pengaruh ekonomi petani,
khususnya pada pendapatan petani. Hal ini didukung oleh pernyataan Sutanto
(2002) bahwa jika ditinjau dari segi ekonomi, pertanian organik seharusnya dapat
memberikan keuntungan yang diperoleh dari hasil produksi. Sugarda et al. (2008)
juga turut berpendapat bahwa pada kasus pangan, pengertian ramah lingkungan
tidak hanya sekedar aman (bersih, sehat, bergizi, bermutu, dan berwawasan
lingkungan) tetapi juga memberikan jaminan kesejahteraan bagi petani dan
ketersediaan pangan secara berkelanjutan. Meskipun demikian, merujuk kembali
pada hasil survey lapangan penulis yang menunjukkan jumlah petani dan luas
lahan organik masih rendah, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam
2

Berdasarkan komunikasi pribadi Riza VT dengan Mahfudi pada tanggal 29 November 2004
International Federation for Organic Agriculture Movement

3

3

pengembangan pertanian organik dan menganalisis sejauh mana pertanian organik
berpotensi dikembangkan oleh petani konvensional.

Perumusan Masalah
Pertanian organik merupakan salah satu alternatif pertanian yang dapat
memberikan hal positif sehingga patut untuk dikembangkan. Petani menjadi pihak
utama yang memegang peranan penting dalam menerima atau menolak sistem
pertanian tersebut. Pengambilan keputusan petani untuk menerapkan pertanian
organik ini dipengaruhi oleh karakteristik petani itu sendiri. Melalui proses
adaptasi, pertanian organik secara perlahan mulai digeluti dan mendapat respon
yang cukup baik dari para petani. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji lebih
dalam bagaimana hubungan antara karakteristik petani dengan respon petani pada
pertanian organik?
Sejauh ini, pertanian organik nyatanya memiliki permintaan yang semakin
meningkat dari konsumen yang mulai sadar akan pentingnya mengkonsumsi hasil
pertanian yang sehat. Sutanto (2002) berpendapat bahwa dengan semakin
banyaknya konsumen hijau yang menguasai pasar produk pertanian organik, baik
di tingkat internasional maupun nasional, serta dengan semakin berkembangnya
gerakan zero emisions, maka pertanian organik memperoleh momentum penting
dan dukungan besar dari pasar global yang mendambakan produk-produk
pertanian akrab lingkungan. Selain itu, harga jual hasil pertanian organik tersebut
digolongkan lebih mahal jika dibandingkan dengan hasil pertanian non organik.
Oleh karena itu, akan dibahas selanjutnya mengenai bagaimana perbedaan kondisi
ekonomi petani organik dan petani konvensional yang dipengaruhi oleh respon
petani pada pertanian organik?
Dalam kenyataannya, jumlah petani organik masih sangat sedikit jika
dibandingkan jumlah petani non organik. Meskipun demikian, petani organik
masih konsisten dalam mengembangkan sistem pertanian yang sehat dan ramah
lingkungan. Oleh karena itu, penulis ingin mengkaji lebih dalam sejauh mana
peluang petani konvensional dalam menerapkan pertanian organik.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian dirumuskan
sebagai berikut:
1. Menganalisis hubungan karakteristik petani dengan respon petani pada
pertanian organik.
2. Menganalisis sejauhmana respon petani pada pertanian organik dapat
mempengaruhi pendapatan petani.
3. Menganalisis sejauhmana peluang petani konvesional menerapkan pertanian
organik.

4

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai
kalangan, diantaranya:
1. Peneliti dan civitas akademika, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
tambahan pengetahuan mengenai respon petani pada pertanian organik dan
pengaruhnya bagi pendapatan petani.
2. Masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran terutama
masyarakat sekitar kawasan pertanian untuk mengetahui respon petani pada
pertanian organik dan pengaruhya bagi kondisi ekonomi petani.
3. Pemerintah dan swasta, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam
membuat kebijakan dan pemberdayaan petani mengenai pertanian organik.

5

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Pertanian Berkelanjutan
Pendekatan penghidupan berkelanjutan adalah cara berpikir dan bekerja
untuk pembangunan yang berkembang secara evolusi dengan tujuan
mengefektifkan segala usaha-usaha mengakhiri kemiskinan dan ketidakadilan
(Saragih 2008). Pendekatan penghidupan berkelanjutan tersebut didukung oleh
seperangkat prinsip yang menggambarkan pengorganisasian, pemahaman, dan
bekerja menangani masalah kemuskinan dan ketidakadilan yang disesuaikan
terhadap prioritas dan situasi lokal. Menurut Perman et al. dalam Jaya (2004)
memberikan beberapa alternatif pengertian dari konsep berkelanjutan, yaitu (1)
suatu kondisi dikatakan berkelanjutan sustainable) jika utilitas yang diperoleh
masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi tidak menurun
sepanjang waktu (non-declining consumption), (2) keberlanjutan adalah kondisi
dimana sumber daya alam dikelola sedemikian rupa untuk memelihara
kesempatan produksi dimasa mendatang, (3) keberlanjutan adalah kondisi dimana
sumber daya alam (natural capital stock) tidak berkurang sepanjang waktu
(nondeclining), (4) keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam
dikelola untuk mempertahankan produksi jasa sumber daya alam, dan (5)
keberlanjutan adalah adanya kondisi keseimbangan dan daya tahan (resilience)
ekosistem terpenuhi.
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah sistem pertanian
yang harus dibangun dengan fondasi sumberdaya yang dapat diperbaharui yang
berasal dari lingkungan usaha tani dan sekitarnya (Francis dan King dalam Salikin
2003). Menurut Reijntjes et all. (1999), pertanian dapat dikatakan pertanian
berkelanjutan jika mencakup hal-hal sebagai berikut, yaitu mantap secara
ekologis, berlanjut secara ekonomis, adil, manusiawi, dan luwes. Menurut Atmojo
dalam Widiarta (2010), sistem pertanian berkelanjutan harus dievaluasi
berdasarkan pertimbangan beberapa kriteria, yaitu aman menurut wawasan
lingkungan, menguntungkan secara ekonomi, adil menurut pertimbangan sosial,
manusiawi terhadap semua bentuk kehidupan, dan mudah diadaptasi (luwes).
Eicher dalam Indriana (2010) mendefinisikan tiga alternatif pendekatan
konseptual mengenai definisi keberlanjutan pertanian yakni:
1. Keberlanjutan pertanian terkait dengan istilah teknik dan ekonomis, dengan
melihat kapasitas untuk menyediakan permintaan yang semakin beragam dan
meningkat terhadap komoditi tertentu.
2. Keberlanjutan pertanian sebagai pertanyaan ekologis merujuk pada suatu
sistem pertanian dimana mengurangi polusi dan faktor-faktor yang merusak
keseimbangan ekologi dari sistem yang tidak berkelanjutan.
3. Keberlanjutan pertanian di bawah istilah pertanian alternatif, menempatkan
keberlanjutan tersebut pada titik berat yang paling utama terkait dengan
keberlanjutan tidak hanya sebagai sumber daya fisik tapi sejumlah set nilainilai komunitas. Berdasarkan Widiarta (2010) pertanian berkelanjutan bisa
diwujudkan melalui berbagai sistem usaha tani, termasuk pertanian organik

6

yang menekankan daur ulang hara secara alami, sehingga penggunaan input
luar menjadi rendah.
Indonesia telah lama menerapkan prinsip ekologis dari pengembangan
pertanian berkelanjutan, salah satunya yaitu pertanian organik. Pertanian organik
merupakan salah satu bukti adanya gerakan-gerakan pengembangan pertanian
yang ramah lingkungan. Menurut Harwood dalam Susanto (2002), ada tiga
kesepakatan yang harus dilaksanakan dalam pembangunan pertanian
berkelanjutan, ialah (i) produksi pertanian harus ditingkatkan tetapi efisien dalam
pemanfaatan sumber daya, (ii) proses biologi harus dikontrol oleh sistem
pertanian itu sendiri (bukan tergantung pada masukan yang berasal dari luar
pertanian), dan (iii) daur hara dalam sistem pertanian harus lebih ditingkatkan dan
bersifat lebih tertutup.
Menurut beberapa pendapat para ilmuan, pertanian organik harus dapat
berkelanjutan secara ekonomi. Keberlanjutan ekonomi adalah pembangunan yang
mampu mengendalikan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara
keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya keseimbangan sektoral
yang dapat merusak produksi pertanian dan industri (Haris dalam Jaya 2004).
Menurut Jaya (2004), keberlanjutan ekonomi dari perspektif pembangunan
memiliki dua hal utama yang antara keduanya mempunyai keterkaitan yang erat
dengan tujuan aspek keberlanjutan lainnya. Menurut Ho dan Ching dalam
Widiarta (2010), pertanian organik menjamin keberlanjutan ekonomi yang terlihat
dari:
1. Produksi yang lebih efisien dan menguntungkan dihasilkan dari pertanian
organik melalui peningkatan produktivitas, biaya rendah namun keuntungan
tinggi.
2. Pertanian organik dapat meningkatkan ketahanan pangan dan keuntungan
bagi masyarakat lokal selain baik juga untuk kesehatan.
Penerapan pertanian organik dapat memberikan sejumlah keuntungan di
bidang ekonomi berupa semakin meningkatnya pendapatan petani, terciptanya
lapangan kerja baru di pedesaan, serta meningkatnya daya saing dan nilai tambah
produk agribisnis secara berkelanjutan. Pernyataan tersebut didukung oleh
pernyataan Sutanto (2002) yang menyatakan bahwa dari segi ekonom, pertanian
organik akan lebih menghemat devisa negara untuk mengimpor pupuk, bahan
kimia pertanian, serta memberi banyak kesempatan lapangan kerja dan
meningkatan pendapatan petani.
Konsep Pertanian Organik
Istilah pertanian organik dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan
langsung dari istilah organic agriculture dan organic farming yang ditemui dalam
literatur-literatur berbahasa Inggris (Saragih 2008). Istilah pertanian organik
menyebabkan petani dan konsumen untuk menghindarkan bahan kimia dan pupuk
yang meracuni lingkungan dengan tujuan untuk memperoleh kondisi lingkungan
yang sehat. Mereka juga berusaha untuk menghasilkan produksi tanaman yang
berkelanjutan dengan cara memperbaiki kesuburan tanah menggunakan sumber
daya alami seperti mendaur-ulang limbah pertanian (Sutanto 2002). Pertanian
organik adalah salah satu sistem pertanian yang ramah lingkungan. Pertanian
organik merupakan pertanian yang berwawasan lingkungan karena dalam
pengolahannya menggunakan bahan organik yang akan menunjang dan menjaga

7

kesuburan tanah, serta mengembalikan kerusakan tanah akibat pertanian
anorganik. Menurut Codex4 dalam Saragih (2008) pertanian organik adalah
kegiatan pertanian yang mengupayakan penggunaan asupan luar yang minimal
dan menghindari penggunaan pestisida dan pupuk sintetik. Pertanian organik
merupakan pertanian yang berwawasan lingkungan karena dalam pengolahannya
menggunakan bahan organik yang akan menunjang dan menjaga kesuburan tanah,
serta mengembalikan kerusakan tanah akibat pertanian anorganik.
Menurut IFOAM dalam Susilo (2005), tujuan yang hendak dicapai dengan
penggunaan sistem pertanian organik adalah sebagai berikut: (1) menghasilkan
bahan pangan dengan kualitas nutrisi tinggi serta dalam jumlah cukup, (2)
melaksanakan interaksi efektif dengan sistem dan daur alamiah yang mendukung
semua kehidupan yang ada, (3) mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam
sistem usaha tani dengan mengaktifkan kehidupan jasad renik, flora dan fauna,
tanah, tanaman, serta hewan, (4) memelihara serta meningkatkan kesuburan tanah
secara berkelanjutan, (5) menggunakan sebanyak mungkin sumber-sumber
terbarui yang berasal dari sistem usaha tani itu sendiri, (6) memanfaatkan bahanbahan yang mudah didaur ulang baik di dalam maupun di luar usaha tani, (7)
menciptakan keadaan yang memungkinkan ternak hidup sesuai dengan
perilakunya yang hakiki, (8) membatasi terjadinya semua bentuk pencemaran
lingkungan yang mungkin dihasilkan oleh kegiatan pertanian, (9)
mempertahankan keanekaragaman hayati termasuk pelaksanaan habitat tanaman
dan hewan, (10) memberikan jaminan yang semakin baik bagi para produsen
pertanian (terutama petani) dengan kehidupan yang lebih sesuai dengan hak asasi
manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar serta memperoleh penghasilan dan
kepuasan kerja, termasuk lingkungan kerja yang aman dan sehat. Menurut Saragih
(2008), di Indonesia, yang disebut dengan produk pertanian organik ditetapkan
dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) Pertanian Organik yang disahkan oleh
Badan Standarisasi Nasional melalui BSN SNI 01-6729-2002 yang bersumber
pada kesepakatan antarnegara yang tertuang dalam Codex Alimentariu Guidelines
for the Production, Processing, Labelling, and Marketing of Organically
Produced Foods.
Prinsip-Prinsip Pertanian Organik
Pertanian organik mengasilkan produk pertanian yang menerapkan prinsipprinsip ekologi terbebas dari pemakaian bahan-bahan kimia berbahaya mulai dari
pembenihan, penanaman, perawatan, panen, dan pasca panen. Menurut
International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM), pertanian
organik memiliki empat prinsip yang disusun untuk mengilhami tindakan dalam
mewujudkan visi pertanian organik menjadi nyata. Prinsip-prinsip tersebut, yaitu:
1. Prinsip kesehatan
Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah,
tanaman, manusia hewan, dan planet sebagai satu dan tak terpisahkan. Prinsip
ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap individu dan komunitas tak dapat
dipisahkan dari kesehatan ekosistem - tanah yang sehat akan menghasilkan
tanaman sehat yang mendukung kesehatan hewan dan manusia. Peran
4

Codex Alimentarius Guidelines adalah guideline yang dibuat oleh dua badan di bawah
Perserikatan Bangsa Bangsa yaitu WHO (World Health Organization) dan FAO (Food and
Agriculture Organization).

8

2.

3.

4.

pertanian organik baik dalam produksi, pengolahan, distribusi, atau konsumsi,
adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan ekosistem dan
organisme, dari yang terkecil dalam tanah untuk manusia. Dengan demikian,
maka pertanian organik harus bebas dari pupuk, pestisida, obat-obatan dan
zat-zat lain yang dapat berbahaya bagi kesehatan.
Prinsip ekologi
Pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus kehidupan ekologi,
bekerja sama dengan kondisi tersebut, dan berusaha membantu kondisi
tersebut berkelanjutan. Pertanian organik, peternakan, dan sistem panen harus
berdasarkan pada siklus dan keseimbangan ekologi di alam. Pengelolaan
pertanian organik harus diadaptasikan pada keadaan lokal, ekologi, budaya,
dan skala. Input harus dikurangi dengan daur ulang, dan pengelolaan material
serta energi yang efisien sebagai upaya memelihara dan meningkatkan
kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam. Pertanian organik
harus mencapai keseimbangan ekologis, baik dalam bentuk sistem pertanian,
pembentukan habitat, serta pemeliharaan keragaman genetik.
Prinsip keadilan
Pertanian organik harus mampu membangun hubungan yang menjamin
keadilan pada lingkungan dan kesempatan hidup bersama. Keadilan ditandai
dengan adanya kesetaraan, saling menghargai, keadilan, dan kesediaan untuk
hidup bersama, baik sesama manusia dan dan hubungan manusia tersebut
dengan makhluk hidup lain. Prinsip ini menekankan bahwa mereka yang
terlibat dalam pertanian organik harus membangun hubungan antar manusia
dengan saling menjamin adanya keadilan pada semua tingkatan dan semua
pihak, termasuk petani, pekerja, pengolah, pedagang, distributor, serta
konsumen. Pertanian organik harus melibatkan semua orang dengan kualitas
hidup yang lebih baik dan berkontribusi pada ketahanan pangan dan
mengurangi kemiskinan. Sumber daya alam dan lingkungan yang digunakan
untuk produksi dan konsumsi harus dikelola secara sosialis dan ekologis adil
dan dipastikan untuk generasi berikutnya. Keadilan memerlukan sistem
produksi, distribusi dan perdagangan yang terbuka, adil serta dapat
memperhitungkan biaya lingkungan dan biaya sosial.
Prinsip perawatan
Pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab
untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang dan
mendatang serta lingkungan hidup. Dalam pertanian organik, ilmu
dibutuhkan untuk menjamin kesehatan,keamanan, dan keberlangsungan
ekologi. Pertanian organik harus mampu mencegah terjadinya resiko yang
signifikan dengan mengadopsi teknologi tepat guna dan menolak yang tak
terduga, seperti rekayasa genetika. Pengambilan keputusan harus
mencerminkan nilai-nilai dan kebutuhan dari semua aspek yang mungkin
dapat terkena dampaknya, melalui proses yang transparan dan partisipatif.

9

Peluang Pertanian Organik
Menurut Sutanto (2002) ada tiga peluang pertanian organik yang dapat
diterapkan dengan memperhatikan kondisi lokasi yang spesifik, yakni sebagai
berikut:
a. Pertanian organik murni – Penggunaan pupuk organik, pupuk hayati dan
pestisida hayati (biopesticide) ditingkatkan dan menghindarkan pupuk kimia
dan pestisida/bahan kimia pertanian.
b. Sistem usaha tani “revolusi hijau terpadu – Masukan teknologi tinggi
dimasukkan ke dalam pengelolaan gizi/nutrisi tanaman terpadu (PNT) dan
pengendalian hama terpadu (PHT). Pupuk hayati diterapkan untuk memasok
kebutuhan hara nitrogen sampai aras tertentu.
c. Sistem usaha tani terpadu – Masukan teknologi rendah dengan sistem
pertanian organik dan sumber daya lokal didaur-ulang secara efektif. Hal ini
dapat dipadukan dengan komponen lain yang berkembang spesifik lokasi,
termasuk: kolam ikan, peternakan ayam, sapi, babi, limbah jamur merang, dll.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Pertanian Organik
Pada saat ini, pandangan pengembangan pertanian organik sebagai salah
satu teknologi alternatif untuk menanggulangi persoalan lingkungan sangat
diperlukan. Di negara yang sudah maju dan sangat memerhatikan masalah
lingkungan, adanya residu kimia dalam bahan pangan yang berasal dari pupuk
kimia dan pestisida sintetik mendapatkan perhatian yang serius, sedang situasi di
Indonesia sangat berbeda sama sekali (Sutanto 2002). Menurut Salikin (2003),
terdapat beberapa indikator pertanian berkelanjutan untuk ekosistem dataran
rendah (low land) pada level usaha tani, diantaranya yaitu indikator biofisik dan
indikator sosial ekonomi. Indikator biofisik terdiri dari kualitas tanah,
keanekaragaman (spesies/varietas), dan penggunaan input eksternal dan internal.
Sedangkan indikator sosial ekonomi terdiri dari diversifikasi sumber pendapatan,
sistem panen, praktek manajemen, status kepemilikan/penguasaan lahan,
ketahanan pangan, nilai-nilai dan praktik tradisional, indikator sosial (pendidikan,
kesehatan, tempat tinggal, dan fasilitas-fasilitas), keanggotaan dalam organisasi,
dan dukungan pelayanan.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, didapatkan beberapa faktor yang
berhubungan dengan penerapan pertanian organik. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Susati et al. (2008) yang dilakukan terhadap petani responden di
Desa Sukorejo Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen diketahui bahwa terdapat
hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani
dengan pengambilan keputusan petani dalam penerapan pertanian padi organik.
Dari penelitian tersebut didapatkan hasil adanya hubungan signifikan antara
keputusan petani dengan pendidikan petani, lingkungan sosial, dan lingkungan
ekonomi. Selain itu, hasil penelitian Putri (2011) dijelaskan bahwa terdapat
hubungan antara luas lahan yang dikelola petani, tingkat keberanian mengambil
resiko, tingkat keterbukaan/keinovatifan, keterdedahan terhadap sumber
informasi, dan kekosmopolitan terhadap persepsinya tentang karakteristik inovasi
pertanian padi organik. Selain itu, hasil penelitian Rukka et al. (2006) didapatkan
bahwa faktor internal pada petani dapat berpengaruh pada respon petani terhadap
penggunaan pupuk organik pada padi sawah. Faktor internal tersebut berupa
motivasi petani, pengalaman berusahatani, dan luas lahan garapan.

10

Berdasarkan penelitian Widiarta (2011) keberlanjutan praktik pertanian
organik di kalangan petani masih rendah. Meskipun demikian, hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa petani yang berpendidikan lebih tinggi dibandingkan petani
lainnya, cenderung lebih mudah mengadopsi suatu inovasi seperi praktik
pertanian organik. Begitu juga dengan kepemilikan lahan dan kepemilikan hewan
ternak. Petani yang memiliki lahan dan hewan ternak sendiri dapat mempengaruhi
tingkat adopsi petani terhadap pertanian organik. Padahal, pada hasil penelitian
Suwantoro (2008) disebutkan bahwa pertanian organik memerlukan partisipasi
penuh dari seluruh pihak. Hasil penelitian lain yang didapatkan oleh Widiarta
(2011) yaitu masih banyak petani yang belum mengadopsi praktik pertanian
organik. Beberapa alasan yang menyebabkan masih sedikitnya petani yang
menerapkan pertanian organik adalah sebagai berikut:
1. Pola pikir petani yang masih pragmatis dan menganggap praktik pertanian
organik lebih sulit daripada praktik pertanian konvensional,
2. Rendahnya kesadaran petani terhadap kelestarian lingkungan,
3. Petani tidak puas jika hanya menggunakan pupuk organik karena warna hijau
daun tanaman padi kurang terlihat,
4. Praktik pertanian organik tidak menjamin bebas hama,
5. Penggunaan pupuk organik lebih sulit daripada pupuk kimia sintetik,
6. Sebagian petani tidak memiliki pasokan pupuk kandang, banyak petani di
Desa Ketapang yang berstatus sebagai buruh tani sehingga mereka harus
mengejar target hasil panen dari petani pemilik lahan,
7. Sumber air irigasi yang bersih jauh dari lahan pertanian,
8. Hasil panen pertanian organik jumlahnya lebih sedikit dan kurang
memuaskan pada masa awal bertani organik.
Sutanto (2002) juga turut menyatakan bahwa sampai saat ini masih
berkembang pemahaman yang keliru tentang pertanian organik, yaitu: 1) biaya
mahal, 2) memerlukan banyak tenaga kerja, 3) kembali pada sistem pertanian
tradisional, 4) produksi rendah. Selain itu, untuk menerapkan pertanian organik
juga terdapat beberapa kendala, yaitu: a) ketersediaan bahan organik terbatas dan
takarannya harus banyak, b) transportasi mahal karena bahan bersifat ruah, c)
menghadapi persaingan dengan kepentingan lain dalam memperoleh sisa
pertanaman dan limbah organik, d) tidak adanya bonus harga produk pertanian
organik.
Konsep Respons
Menurut Scheerer dalam Sarwono (2003), respons (balas) adalah proses
pengorganisasian rangsang. Rangsang proksimal diorganisasikan sedemikian rupa
sehingga terjadi representasi fenomenal dari rangsang proksimal itu. Proses inilah
yang disebut respons. Menurut Hunt (1962) dalam Sarwono (2003), orang dewasa
mempunyai sejumlah besar unit untuk memproses informasi. Unit-unit ini dibuat
khusus untuk menangani representasi fenomenal dari keadaan di luar yang ada
dalam diri seorang individu (internal environment). Lingkungan internal ini dapat
digunakan untuk memperkirakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar. Proses
yang berlangsung secara rutin inilah yang dinamakan respons.

11

Wilis dalam Sarwono (2003) mengemukakan 4 modus dari respon sosial,
yaitu:
1. Konformitas: perilaku konformitas yang murni adalah usaha terus-menerus
dari individu untuk selalu selaras dengan norma-norma yang diharapkan oleh
kelompok. Kalau persepsi individu tentang norma-norma kelompok (standar
sosial) berubah, maka ia akan mengubah pula tingkah lakunya.
2. Ketidaktergantungan (independence): perilaku tidak tergantung murni adalah
perilaku yang memberi nilai nol pada norma yang berlaku. Ini bukannya
berarti bahwa individu sama sekali mengabaikan norma-norma, individu tetap
tahu bahwa ada norma-norma (standar sosial), tetapi ia tidak membiarkan
responsnya dipengaruhi oleh standar sosial tersebut.
3. Anti konformitas (anticonformity): perilaku anti konformitas murni adalah
perilaku yang merupakan respons (balasan, tanggapan) terhadap norma
tersebut, akan tetapi yang arahnya justru berlawanan dengan norma. Dengan
perkataan lain, seorang anti konformis justru memilih perilaku-perilaku yang
menurut standar sosial dinilai “tidak benar”.
4. Variabilitas (variability): variabilitas yang murni adalah perilaku yang
berubah-ubah tidak membantu dan tidak berkaitan dengan norma-norma yang
diprersepsikan individu. Jadinya, gerak di sini tidak ditentukan oleh standar
sosial dan standar sosial tidak diberi nilai apapun oleh individu. Orang yang
respons sosialnya tergolong variabilitas murni dapat disebut juga self anticonformity (tidak konform terhadap diri sendiri), karena perilakunya sama
sekali tidak sesuai dengan perilaku awalnya sendiri.
Kerangka Pemikiran
Adanya revolusi hijau terutama bentuknya dalam menerapkan pertanian
konvensional mendorong petani untuk menerapkan pertanian yang menggunakan
bahan-bahan kimia, seperti pupuk kimia dan pestisida kimia. Penggunaan bahan
kimia tersebut dinilai oleh para ilmuan akan membawa dampak buruk bagi
lingkungan maupun kesehatan manusia. Hal ini kemudian mengawali pergerakan
pertanian organik yang dilakukan oleh sekelompok individu yang peduli akan
keadaan lingkungan. Pertanian organik dinilai dapat menjadi alternatif pertanian
ramah lingkungan yang tidak menggunakan bahan-bahan kimia. Pertanian organik
adalah kegiatan pertanian yang mengupayakan penggunaan asupan luar yang
minimal dan menghindari penggunaan pestisida dan pupuk sintetik. Pertanian
organik diidentifikasikan akan menimbulkan respon berupa tingkat pemahaman,
dan penerapan yang dipengaruhi oleh karakteristik petani. Dalam hal ini, respon
yang tinggi seiring dengan semakin tingginya minat masyarakat untuk
mengkonsumsi makanan yang bebas dari bahan berbahaya. Tingginya respon
tersebut dapat berpengaruh pada kondisi ekonomi, yaitu pada tingkat pendapatan.
Dari perbedaan respon yang diberikan oleh setiap petani maka dapat dilihat
adanya kontradiksi masih sedikitnya petani yang menerapkan pertanian organik.
Secara sederhana, kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut.

12

Karakteristik Petani
1. Tingkat pendidikan
formal
2. Tingkat pengalaman
bertani
3. Tingkat keberanian
mengambil resiko
4. Tingkat jejaring yang
dimiliki petani
5. Tingkat kepemilikan
alat produksi

Respon petani pada
pertanian organik
1. Tingkat pemahaman
2. Tingkat penerapan

Kondisi Ekonomi
1. Tingkat Pendapatan
2. Akses Pasar

Keterangan:
: berhubungan
Gambar 1 Kerangka pemikiran

Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dibuat, maka hipotesis dari penelitian
ini adalah
(1) Diduga terdapat hubungan antara karakteristik petani (tingkat pendidikan
formal, tingkat pengalaman bertani, tingkat keberanian mengambil resiko,
tingkat jejaring yang dimiliki petani, dan tingkat kepemilikan alat produksi)
dengan tingkat respon petani pada pertanian organik.
(2) Diduga terdapat hubungan antara respon petani pada pertanian organik
dengan tingkat pendapatan.
Definisi Operasional
(1) Tingkat pendidikan formal adalah jenjang terakhir sekolah formal yang
pernah diikuti oleh responden. Pengukuran ini dilakukan dengan
menggunakan skala ordinal dan dikategorikan menjadi:
a. Rendah (skor 1) : tidak lulus SD sampai dengan lulus SD/sederajat
b. Tinggi (skor 2) : lulus SMP/sederajat sampai dengan lulus
SMA/sederajat
(2) Tingkat pengalaman bertani adalah lamanya responden dalam melakukan
usahatani. Pengukuran dikategorikan menjadi:
a. Rendah (skor 1)
: tingkat pengalaman < 36 tahun
b. Tinggi (skor 2)
: tingkat pengalaman ≥ 36 tahun

13

(3) Tingkat keberanian mengambil resiko adalah keberanian petani dalam
mengambil keputusan meskipun meskipun memiliki resiko dalam proses
produksi pertanian organik. Indikator yang digunakan untuk mengukur
tingkat keberanian mengambil resiko ini, yaitu:
a. Resiko gagal panen yaitu petani tetap bertani organik meskipun hasil
panen pada awal penerapan pertanian turun drastis/gagal panen.
b. Resiko penyesuaian terhadap hal baru yaitu petani tetap bertani organik
meskipun memiliki cara yang sangat berbeda dengan sistem pertanian
yang telah sejak dahulu Bapak/Ibu terapkan.
c. Resiko penggunaan waktu yaitu petani tetap bertani organik meskipun
menggunakan pupuk kompos yang dibuat sendiri.
d. Resiko kesehatan yaitu petani mau membuat pupuk kompos menggunakan
kotoran hewan yang memiliki bau menyengat.
Pengukuran variabel ini meliputi jawaban “ya” (2) dan “tidak” (1) dan
dikategorikan menjadi:
1. Rendah (skor 1)
: akumulasi nilai 4-6
2. Tinggi (skor 2)
: akumulasi nilai 7-10
(4) Tingkat jejaring yang dimiliki petani adalah interaksi petani dengan petani
lain maupun dengan penyuluh pertanian. Indikator yang digunakan untuk
mengukur tingkat jejaring, yaitu:
a. Rekan sesama petani satu kelompok tani
b. Rekan sesama petani beda desa
c. Penyuluh pertanian tingkat kecamatan/kabupaten di dalam wilayah
Yogyakarta
d. Penyuluh pertanian tingkat kecamatan/kabupaten di luar wilayah
Yogyakarta.
Petani boleh memilih lebih dari 1 berdasarkan jejaring yang dimiliki.
Selanjutnya akan dikategorikan menjadi:
1. Rendah (skor 1)
: akumulasi nilai 1-2
2. Tinggi (skor 2)
: akumulasi nilai 3-4
(5) Tingkat kepemilikan alat produksi adalah jenis alat produksi yang dimiliki
oleh petani yang dilihat dari indikator kepemilikan sawah dan hewan ternak.
Petani boleh memilih lebih dari 1 jika memang memilikinya. Selanjutnya
apabila petani hanya memilih 1, maka akan diberikan skor 1 dan apabila
petani memilih kedua-duanya, maka akan diberikan skor 2.
(6) Tingkat respon petani pada pertanian organik adalah perubahan tingkah laku
sebagai akibat dari adanya pertanian organik. Tingkat respon petani dilihat
dari dua indikator, yaitu tingkat pemahaman dan tingkat penerapan. Tingkat
respon petani pada pertanian organik diberikan 14 pernyataan yang meliputi 6
pernyataan terkait tingkat pemahaman dan 8 pernyataan terkait tingkat
penerapan. Tingkat respon petani akan dikategorikan menjadi:
i. Rendah (skor 1)
: jika total nilai 14-20
ii. Tinggi (skor 2)
: jika total nilai 21-28

14

Adapun sub variabel dari tingkat respon petani adalah
a. Tingkat pemahaman adalah seberapa besar petani memahami pertanian
organik yang dengan memberikan 6 pernyataan terkait tingkat
pemahaman. Pengukuran variabel ini meliputi jawaban “ya” (2) dan
“tidak” (1). Pengukuran ini dilakukan menggunakan skala ordinal dan
dikategorikan menjadi:
1. Rendah (skor 1) : jika total nilai 6-8
2. Tinggi (skor 2) : jika total nilai 9-12
b. Tingkat penerapan adalah seberapa besar petani menerapkan pertanian
organik sebagai sistem pertaniannya dengan memberikan 8 pernyataan
terkait tingkat penerapan. Pengukuran variabel ini meliputi jawaban “ya”
(2) dan “tidak” (1). Pengukuran ini dilakukan menggunakan skala ordinal
dan dikategorikan menjadi:
1. Rendah (skor 1) : jika total nilai 8-11
2. Tinggi (skor 2) : jika total nilai 12-16
(7) Tingkat pendapatan adalah ukuran taraf hidup yang dilihat dari jumlah
penghasilan petani dari mata pencahariannya sebagai petani yang dilihat dari
penghasilan hasil panen terakhir dikurangi dengan biaya-biaya produksi.
Tingkat pendapatan dikategorikan menjadi dua kategori berdasarkan sebaran
data sesuai data lapang.
Pengukuran ini dikategorikan menjadi:
a. Rendah (skor 1)
: pendapatan < Rp2 714 617
b. Tinggi (skor 2)
: pendapatan ≥ Rp2 714 617
(8) Akses pasar yaitu potensi atau peluang petani dalam memasarkan atau
menjual produk pertaniannya kepada konsumen melalui berbagai macam
saluran distribusi berdasarkan permintaan konsumen. Akses pasar diukur dari
tempat menjual hasil produksi saat ini dan potensi menjual hasil panen di
tempat lain.
Adapun indikator yang digunakan yaitu:
i. Terdapat tempat langganan menjual hasil panen.
ii. Ada potensi menjual hasil panen di tempat lain.
Pengukuran indikator ini meliputi jawaban “ya” (2) dan “tidak” (1) dan
dikategorikan menjadi
1. Rendah (skor 1)
: jika total nilai 2
2. Tinggi (skor 2)
: jika total nilai 3-4

15

METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Pendekatan kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Hal ini dilakukan
sebagai upaya memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang
diteliti dengan menambahkan informasi kualitatif pada data kuantitatif.
Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah penelitian eksperimental, yaitu
dengan melakukan uji hipotesa untuk mengetahui hubungan sebab akibat variabel
penelitian. Penelitian eksperimental ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner
dan mewawancarai sampel penelitian dari populasi yang didalamnya terdapat dua
kelompok berbeda (kelompok pembanding). Pendekatan kualitatif
yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus yang bersifat deskriptif
untuk sejauh mana berimbasnya pertanian organik pada petani konvensional. Data
kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam dan pengamatan langsung di
lokasi penelitian untuk menggali informasi lebih dalam dari pihak informan.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kelompok tani Madya, Desa Kebonagung,
Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada Bulan
April-Mei 2013. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive)
dengan pertimbangan yaitu kelompok tani Madya merupakan pelaku usaha
penerap jaminan mutu tanaman pangan yang bergerak pada budidaya tanaman
padi yang menghasilkan beras organik. Informasi ini didapatkan dari Profil
Penerima Penghargaan Ketahanan Pangan Bidang Pengolahan dan Pemasaran
Hasil Pertanian Tahun 2010 yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Penerapan
pertanian organik sudah berlangsung sejak tahun 2008 dan telah bersertifikat oleh
lembaga sertifikasi Persada. Penyusunan proposal dilakukan pada bulan Februari April 2013. Pengumpulan data primer dan data sekunder dilakukan pada bulan
April - Mei 2013. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal penelitian,
kolokium, revisi proposal, pengumpulan data, pe