Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Swadaya Masyarakat (Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

(1)

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK

SWADAYA MASYARAKAT

(Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret

Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta)

Nurul Hidayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Swadaya Masyarakat (Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Desember 2005

NURUL HIDAYAH


(3)

ABSTRAK

Nurul Hidayah, Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Kelompok Swadaya Masyarakat di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Dibimbing oleh Arya Hadi Dharmawan sebagai ketua dan Edi Suharto sebagai anggota komisi pembimbing.

Kemiskinan dialami lebih dari 20 persen Kepala Keluarga dari 3895 Kepala Keluarga yang ada di Desa Wonokromo. Pemerintah telah berusaha mengatasi kemiskinan tersebut melalui berbagai program, diantaranya adalah P2KP (Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan) yang dilaksanakan ada awal tahun 2000.

Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di Desa Wonokromo terbentuk karena adanya P2KP. Pada tataran konseptua l, KSM mempunyai fungsi yang sangat ideal. Namun, pada kenyataannya hampir semua KSM yang ada di Desa Wonokromo terbentuk hanya sebagai syarat untuk memperoleh pinjaman dari P2KP, sehingga proses pemberdayaan yang diharapkan terjadi melalui media kelompok tidak terwujud. Namun demikian, KSM yang sudah ada tersebut mempunyai peluang untuk diberdayakan agar berfungsi seperti yang diharapkan. Tujuan utama dari kajian ini adalah menyusun program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM secara partisipatif. Namun demikian, sebelum sampai pada tujuan utama tersebut, kajian ini juga bertujuan memetakan kondisi sosio-ekonomi dan budaya komunitas Desa Wonokromo, menganalisis dan meninjau pelaksanaan P2KP di Desa Wonokromo, dan mengetahui profil dan kapasitas KSM yang menjadi subjek kajian.

Kajian ini bersifat kualitatif dan data diperoleh dengan metode non survei. Data dalam kajian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari laporan kegiatan, data desa dan sebagainya. Sementara data primer diperoleh melalui observasi, wawancara mendalam dan FGD (Focused Group Discussion). Adapun yang menjadi sumber data primer dalam kajian ini adalah aparat Desa Wonokromo, pengurus BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat), tokoh masyrakat, anggota masyarakat, Fasilitator Kelurahan, Bapppeda (Badan Perencana Pembangunan Daerah) Kabupaten Bantul dan anggota KSM. KSM yang menjadi subjek kajian ini adalah KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, dengan alasan bahwa kedua KSM memiliki perbedaan dalam beberapa hal.

Ada 11 ma cam kegiatan yang berhasil disusun dalam kajian ini, yaitu: (1) perumusan tujuan dan harapan kelompok bagi KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, (2) Mengadakan pertemuan rutin bagi KSM Teratai, (3) perumusan norma tertulis kelompok dan pembentukan komitmen untuk mematuhinya bagi KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, (4) peningkatan kemampuan manajemen keuangan bagi KSM Teratai, (5) pembentukan kerjasama antar anggota bagi KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, (6) membentuk kerjasama dengan KSM/lembaga lain bagi KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, (7) peningkatan kemampuan kewirausahaan bagi anggota KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, (8) pelatihan teknis produksi industri rumah tangga bagi anggota KSM Teratai, (9) pendampingan untuk memperoleh pinjaman modal usaha bagi anggota KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, (10) pendampingan dalam pemasaran hasil kerajinan bagi anggota KSM Teratai, dan (11) pendampingan dalam meningkatkan kualitas hasil kerajinan bagi anggota KSM Teratai.


(4)

@ Hak cipta milik Nurul Hidayah, tahun 2005

Hak Cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm dan sebagainya


(5)

RIWAYAT HIDUP

Nurul Hidayah lahir di Sleman pada tanggal 2 September 1967 dari pasangan Drs. H. Sarodja Dahlan dan Hj. Djazriyah. Pada tahun 1992 menikah dengan Drs. Taufik Nugroho, M.Ag dan telah memiliki tiga orang anak, yaitu Nabila Sholihah , Fahmi Syahida, dan Hanan Zaky Naufal. Pendidikan SD hingga SLTA ditempuh di Yogyakarta dan menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1992. Pada tahun 1998 diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil dan saat ini bertugas di Bagian Kepegawaian Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.


(6)

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT

(Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

NURUL HIDAYAH

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2005


(7)

Judul Tugas Akhir : Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Keompok Swadaya Masyarakat (Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

Nama : NURUL HIDAYAH

NRP : A. 154040235

DISETUJUI KOMISI PEMBIMBING

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr. Edi Suharto, Ph.D

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Magister Dekan Sekolah Pasc a Sarjana Profesional Pengembangan Masyarakat

Dr. Djuara P. Lubis, MS Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc


(8)

PRAKATA

Rasa syukur pengkaji panjatkan kepada Alloh SWT, karena atas rakhmat dan karunia-Nya pengkaji telah berhasil menyelesaikan Kajian Pengembangan Masyarakat yang menjadi salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister dalam progam Magister Pengembangan Masyarakat Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Pengkaji ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah berperan dalam pelaksanaan Kajian Pengembangan Masyarakat ini, yaitu:

1. Departemen Sosial Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa kepada pengkaji.

2. Pemerintah Daerah Kabupaten Bantu l yang telah memberikan ijin kepada pengkaji untuk mengikuti kuliah dalam program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. 3. Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc, Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Institut Pertanian Bogor.

4. Dr. Djuar a P. Lubis, Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat.

5. Drs. Marjuki M.Sc., Ketua Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung yang telah menyediakan fasilitas perkuliahan pada mahasiswa Program MPM IPB.

6. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan M.Sc.Agr, sebagai ketua komisi pembimbing.

7. Edi Suharto, Ph.D, sebagai anggota komisi pembimbing.

8. Aparat Desa Wonokromo yang telah memberi ijin kepada pengkaji dan memberikan informasi yang diperlukan.

9. Beberapa tokoh dan anggota masyarakat Desa Wonokromo yang telah memberikan informasi yang sangat berharga pada pengkaji. 10. Anggota KSM Maju Lancar dan KSM Teratai yang telah berpartisipasi

dalam penyusunan kajian ini.

11. Rekan-rekan mahasiswa MPM Angkatan II yang telah menjadi teman di kala suka dan duka.

12. Suami dan anak-anak tercinta yang telah memberikan dorongan semangat dan banyak berkorban untuk pengkaji.

Pengkaji menyadari bahwa kajian ini masih jauh dari sempurna, namun pengkajii berharap kajian ini dapat memberi sumbangan kepada anggota KSM yang menjadi subjek dalam kajian ini dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi dan memberi sumbangan pemikiran pada dunia akademik.


(9)

DAFTAR ISI

Daftar Tabel………...

Daftar Gambar ……….

Daftar Singkatan………...

Halaman

x

xi

xii

Bab I Pendahuluan…….……….. 1

1.1. Latar Belakang Masalah ……… 1

1.2. Rumusan Masalah ………. 6

1.3. Tujuan……… 7

Bab II Tinjauan Teori……….. 8

2.1. Kemiskinan………... 8

2.1.1. Definisi Kemiskinan……..……….. 8

2.1.2. Indikator Kemisikinan……….. 10

2.1.3. Penyebab Kemiskinan……… 10

2.1.4.Upaya Mengatasi Kemiskinan……… 13

2.2. Pengembangan Masyarakat……….. 15

2.3. Pemberdayaan……… 16

2.4. Pengembangan Kapasitas Kelembagaan………... 20

2.5. Kelompok Swadaya Masyarakat……….. 21

2.6. Kerangka Kerja Pengembangan Kapasitas Kelembagaan KSM……….………… 26 Bab III Metodologi……… 30

3.1. Tempat dan waktu Kajian………... 30

3.2. Cara Pengumpulan Data……… 30

3.3. Teknik Analisis Data……… 31

3.4. Cara Penyusunan Program……… 32

3.5. Refleksi Penerapan Metodologi Penelitian……….. 33

Bab IV Peta Sosial Masyarakat Desa Wonkromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul………


(10)

4.1. Lokasi……… 38

4.2. Kependudukan………. 39

4.3. Sistem Ekonomi………... 42

4.4. Struktur Komunitas……….. 47

4.4.1. Stra tifikasi Sosial………. 47

4.4.2. Kepemimpinan………. 49

4.5. Organisasi, Kelembagaan dan Adat Istiadat…………... 49

4.6. Sumber Daya Lokal………. 56

4.7. Masalah Sosial………. 58

4.8. Ikhtisar………...……… … 60

Bab V Tinjauan terhadap Program P2KP 63 5.1. Deskripsi Kegiatan…..……...……… 63

5.1.1. Penyelenggara...….……… 64

5.1.2. Sumber Biaya……….. 65

5.1.3. Pendekatan………. 67

5.1.4.Golongan Partisipan Kegiatan……….. 69

5.2. Pengembangan Ekonomi Lokal……… 70

5.3. Pengembangan Modal Sosial dan Gerakan Sosial dalam P2KP………….. ………. 71 Kebijakan dan Perencanaan Sosial……….. 72

5.4. Analisis Kritis terhadap P2KP……….. 75

5.6. Saran terhadap Pelaksanaan P2KP………. 78

5.7. Ikhtisar……….. 79

Bab VI. Profil dan Kapasitas Kelompok Swadaya Masyarakat 81 6.1. Profil Kelompok Swadaya Masyarakat………. 81

6.2. Analisis terhadap Kapasitas Kelembagaan KSM…….. 82

6.2.1. KSM Maju Lancar……… 85

6.2.2. KSM Teratai……….. 93

6.3. Analisis terhadap Kekompakan Kelompok……….. 100 6.4. Analisis terhadap Permasalahan KSM yang dihadapi

KSM di Tingkat Kelompok……….

102

6.5. Analisis Permasalahan di Tingkat Individu Anggota KSM………..


(11)

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK

SWADAYA MASYARAKAT

(Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret

Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta)

Nurul Hidayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(12)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Swadaya Masyarakat (Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Desember 2005

NURUL HIDAYAH


(13)

ABSTRAK

Nurul Hidayah, Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Kelompok Swadaya Masyarakat di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Dibimbing oleh Arya Hadi Dharmawan sebagai ketua dan Edi Suharto sebagai anggota komisi pembimbing.

Kemiskinan dialami lebih dari 20 persen Kepala Keluarga dari 3895 Kepala Keluarga yang ada di Desa Wonokromo. Pemerintah telah berusaha mengatasi kemiskinan tersebut melalui berbagai program, diantaranya adalah P2KP (Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan) yang dilaksanakan ada awal tahun 2000.

Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di Desa Wonokromo terbentuk karena adanya P2KP. Pada tataran konseptua l, KSM mempunyai fungsi yang sangat ideal. Namun, pada kenyataannya hampir semua KSM yang ada di Desa Wonokromo terbentuk hanya sebagai syarat untuk memperoleh pinjaman dari P2KP, sehingga proses pemberdayaan yang diharapkan terjadi melalui media kelompok tidak terwujud. Namun demikian, KSM yang sudah ada tersebut mempunyai peluang untuk diberdayakan agar berfungsi seperti yang diharapkan. Tujuan utama dari kajian ini adalah menyusun program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM secara partisipatif. Namun demikian, sebelum sampai pada tujuan utama tersebut, kajian ini juga bertujuan memetakan kondisi sosio-ekonomi dan budaya komunitas Desa Wonokromo, menganalisis dan meninjau pelaksanaan P2KP di Desa Wonokromo, dan mengetahui profil dan kapasitas KSM yang menjadi subjek kajian.

Kajian ini bersifat kualitatif dan data diperoleh dengan metode non survei. Data dalam kajian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari laporan kegiatan, data desa dan sebagainya. Sementara data primer diperoleh melalui observasi, wawancara mendalam dan FGD (Focused Group Discussion). Adapun yang menjadi sumber data primer dalam kajian ini adalah aparat Desa Wonokromo, pengurus BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat), tokoh masyrakat, anggota masyarakat, Fasilitator Kelurahan, Bapppeda (Badan Perencana Pembangunan Daerah) Kabupaten Bantul dan anggota KSM. KSM yang menjadi subjek kajian ini adalah KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, dengan alasan bahwa kedua KSM memiliki perbedaan dalam beberapa hal.

Ada 11 ma cam kegiatan yang berhasil disusun dalam kajian ini, yaitu: (1) perumusan tujuan dan harapan kelompok bagi KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, (2) Mengadakan pertemuan rutin bagi KSM Teratai, (3) perumusan norma tertulis kelompok dan pembentukan komitmen untuk mematuhinya bagi KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, (4) peningkatan kemampuan manajemen keuangan bagi KSM Teratai, (5) pembentukan kerjasama antar anggota bagi KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, (6) membentuk kerjasama dengan KSM/lembaga lain bagi KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, (7) peningkatan kemampuan kewirausahaan bagi anggota KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, (8) pelatihan teknis produksi industri rumah tangga bagi anggota KSM Teratai, (9) pendampingan untuk memperoleh pinjaman modal usaha bagi anggota KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, (10) pendampingan dalam pemasaran hasil kerajinan bagi anggota KSM Teratai, dan (11) pendampingan dalam meningkatkan kualitas hasil kerajinan bagi anggota KSM Teratai.


(14)

@ Hak cipta milik Nurul Hidayah, tahun 2005

Hak Cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm dan sebagainya


(15)

RIWAYAT HIDUP

Nurul Hidayah lahir di Sleman pada tanggal 2 September 1967 dari pasangan Drs. H. Sarodja Dahlan dan Hj. Djazriyah. Pada tahun 1992 menikah dengan Drs. Taufik Nugroho, M.Ag dan telah memiliki tiga orang anak, yaitu Nabila Sholihah , Fahmi Syahida, dan Hanan Zaky Naufal. Pendidikan SD hingga SLTA ditempuh di Yogyakarta dan menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1992. Pada tahun 1998 diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil dan saat ini bertugas di Bagian Kepegawaian Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.


(16)

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT

(Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

NURUL HIDAYAH

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2005


(17)

Judul Tugas Akhir : Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Keompok Swadaya Masyarakat (Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

Nama : NURUL HIDAYAH

NRP : A. 154040235

DISETUJUI KOMISI PEMBIMBING

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr. Edi Suharto, Ph.D

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Magister Dekan Sekolah Pasc a Sarjana Profesional Pengembangan Masyarakat

Dr. Djuara P. Lubis, MS Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc


(18)

PRAKATA

Rasa syukur pengkaji panjatkan kepada Alloh SWT, karena atas rakhmat dan karunia-Nya pengkaji telah berhasil menyelesaikan Kajian Pengembangan Masyarakat yang menjadi salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister dalam progam Magister Pengembangan Masyarakat Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Pengkaji ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah berperan dalam pelaksanaan Kajian Pengembangan Masyarakat ini, yaitu:

1. Departemen Sosial Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa kepada pengkaji.

2. Pemerintah Daerah Kabupaten Bantu l yang telah memberikan ijin kepada pengkaji untuk mengikuti kuliah dalam program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. 3. Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc, Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Institut Pertanian Bogor.

4. Dr. Djuar a P. Lubis, Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat.

5. Drs. Marjuki M.Sc., Ketua Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung yang telah menyediakan fasilitas perkuliahan pada mahasiswa Program MPM IPB.

6. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan M.Sc.Agr, sebagai ketua komisi pembimbing.

7. Edi Suharto, Ph.D, sebagai anggota komisi pembimbing.

8. Aparat Desa Wonokromo yang telah memberi ijin kepada pengkaji dan memberikan informasi yang diperlukan.

9. Beberapa tokoh dan anggota masyarakat Desa Wonokromo yang telah memberikan informasi yang sangat berharga pada pengkaji. 10. Anggota KSM Maju Lancar dan KSM Teratai yang telah berpartisipasi

dalam penyusunan kajian ini.

11. Rekan-rekan mahasiswa MPM Angkatan II yang telah menjadi teman di kala suka dan duka.

12. Suami dan anak-anak tercinta yang telah memberikan dorongan semangat dan banyak berkorban untuk pengkaji.

Pengkaji menyadari bahwa kajian ini masih jauh dari sempurna, namun pengkajii berharap kajian ini dapat memberi sumbangan kepada anggota KSM yang menjadi subjek dalam kajian ini dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi dan memberi sumbangan pemikiran pada dunia akademik.


(19)

DAFTAR ISI

Daftar Tabel………...

Daftar Gambar ……….

Daftar Singkatan………...

Halaman

x

xi

xii

Bab I Pendahuluan…….……….. 1

1.1. Latar Belakang Masalah ……… 1

1.2. Rumusan Masalah ………. 6

1.3. Tujuan……… 7

Bab II Tinjauan Teori……….. 8

2.1. Kemiskinan………... 8

2.1.1. Definisi Kemiskinan……..……….. 8

2.1.2. Indikator Kemisikinan……….. 10

2.1.3. Penyebab Kemiskinan……… 10

2.1.4.Upaya Mengatasi Kemiskinan……… 13

2.2. Pengembangan Masyarakat……….. 15

2.3. Pemberdayaan……… 16

2.4. Pengembangan Kapasitas Kelembagaan………... 20

2.5. Kelompok Swadaya Masyarakat……….. 21

2.6. Kerangka Kerja Pengembangan Kapasitas Kelembagaan KSM……….………… 26 Bab III Metodologi……… 30

3.1. Tempat dan waktu Kajian………... 30

3.2. Cara Pengumpulan Data……… 30

3.3. Teknik Analisis Data……… 31

3.4. Cara Penyusunan Program……… 32

3.5. Refleksi Penerapan Metodologi Penelitian……….. 33

Bab IV Peta Sosial Masyarakat Desa Wonkromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul………


(20)

4.1. Lokasi……… 38

4.2. Kependudukan………. 39

4.3. Sistem Ekonomi………... 42

4.4. Struktur Komunitas……….. 47

4.4.1. Stra tifikasi Sosial………. 47

4.4.2. Kepemimpinan………. 49

4.5. Organisasi, Kelembagaan dan Adat Istiadat…………... 49

4.6. Sumber Daya Lokal………. 56

4.7. Masalah Sosial………. 58

4.8. Ikhtisar………...……… … 60

Bab V Tinjauan terhadap Program P2KP 63 5.1. Deskripsi Kegiatan…..……...……… 63

5.1.1. Penyelenggara...….……… 64

5.1.2. Sumber Biaya……….. 65

5.1.3. Pendekatan………. 67

5.1.4.Golongan Partisipan Kegiatan……….. 69

5.2. Pengembangan Ekonomi Lokal……… 70

5.3. Pengembangan Modal Sosial dan Gerakan Sosial dalam P2KP………….. ………. 71 Kebijakan dan Perencanaan Sosial……….. 72

5.4. Analisis Kritis terhadap P2KP……….. 75

5.6. Saran terhadap Pelaksanaan P2KP………. 78

5.7. Ikhtisar……….. 79

Bab VI. Profil dan Kapasitas Kelompok Swadaya Masyarakat 81 6.1. Profil Kelompok Swadaya Masyarakat………. 81

6.2. Analisis terhadap Kapasitas Kelembagaan KSM…….. 82

6.2.1. KSM Maju Lancar……… 85

6.2.2. KSM Teratai……….. 93

6.3. Analisis terhadap Kekompakan Kelompok……….. 100 6.4. Analisis terhadap Permasalahan KSM yang dihadapi

KSM di Tingkat Kelompok……….

102

6.5. Analisis Permasalahan di Tingkat Individu Anggota KSM………..


(21)

6.6. Ikhtisar……….. 108

Bab VII Program Pengembangan Kapasitas KSM………..………... 110 7.1. Latar Belakang Program Pengembangan Kapasitas

KSM….……….

110

7.2. Proses Penyusunan Program Pengembangan

Kapasitas KSM secara Partisipatif……..………

111

7.3. Berbagai Kegiatan dalam Program Pengembangan Kapasitas KSM………

114

Bab VIII Kesimpulan dan Rekomendasi……… 125

8.1. Kesimpulan………. 125

8.2. Rekomendasi Kebijakan……… 128

131 Daftar Pustaka………..


(22)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Pedoman Pengambilan Data Lapangan ………. 32

Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin pada Tahun 2004………

40

Tabel 3. Jumlah Penduduk Desa Wonokrmo menurut Tingkat Pendidikan pada Tahun 2004……….……..

42

Tabel 4. Jumlah Penduduk Desa Wonokromo Menurut Mata Pencaharian pada Tahun 2004……….

43

Tabel 5. Jumlah Penduduk Desa Wonokromo Menurut Luas Kepemilikan Tanah Penduduk pada Tahun 2004……..

45

Tabel 6. Jumlah Penduduk Penduduk Desa Wonokromo Berdasarkan Kepemilikan Hewan Ternak pada Tahun 2004……….……….

46

Tabel 7. Jumlah Hewan Ternak di Desa Wonokromo pada Tahun 2004………..

46

Tabel 8. Jumlah Usaha kecil/kerajinan di Desa Wonokromo padaTahun 2004………..

47

Tabel 9. Jumlah Modal Usaha Kredit P2KP di Desa Wonkromo dari Tahun 2000 sampai dengan Tahun 2004………...

66

Tabel 10. Prosentase Kredit Macet P2KP di Desa Wonokromo dari Tahun 2000 sampai dengan Tahun 20004……….

67

Tabel 11. Jumlah KSM yang memperoleh pinjaman P2KP di Desa Wonokromo dari Tahun 2000 sampai dengan Tahun 2004………..

69

Tabel 12. Inventarisasi Permasalahan dalam Pelaksanaan P2KP di Desa Wonokromo………

78

Tabel 13. Kondisi Saat ini Kapasitas Kelembagaan KSM Maju Lancar dan KSM Teratai……….

98

Tabel 14. Kondisi Kapasitas Kelembagaan KSM yang diharapkan setelah Pelaksanaan Program Pengembangan Kapasitas KSM………...

99

Tabel 15. Hasil Analisis Kekompakan Kelompok terhadap KSM Maju Lancar dan KSM Teratai pada saat ini…………...


(23)

Tabel 16. Kekompakan KSM Maju Lancar dan KSM Teratai yang diharapkan setelah Pelaksanaan Program

Pengembangan Kapasitas Kelembagaan KSM………. 101

Tabel 17. Permasalahan KSM Maju Lancar dan KSM Teratai di

Tingkat Kelompok ……….………. 102

Tabel 18. Permasa lahan di Tingkat Individu Anggota KSM Maju

Lancar dan KSM Teratai………. 109

Tabel 19. Daftar Kegiatan dalam Program Pengembangan Kapasitas Kelembagaan KSM Maju Lancar dan KSM


(24)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka Kerja Pengembangan Kapasitas Kelembagaan KSM………

29

Gambar 2. Stratifikasi Sosial Masyarakat Desa Wonokromo…….. 49

Gambar 3. Bagan Alir Proses Penyusunan Program Pengembangan Kapasitas KSM secara Par tisipatif pada KSM Maju Lancar dan KSM Teratai ………..


(25)

DAFTAR SINGKATAN

AMA : Association of Metropolitan Authorities APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BAPPEDA : Badan Perencana Pembangunan Daerah BKM : Badan Keswadayaan Masyarakat

BKPK : Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan BLM : Bantuan Langsung Masyarakat

BPD : Badan Perwakilan Desa FGD : Focused Group Discussion IDT : Inpres D esaTertinggal

ILO : International Labour Organization KMW : Konsultan Manajemen Wilayah KSM : Kelompok Swadaya Masyarakat KUT : Kredit Usaha Tani

KUBE : Kelompok Usaha Bersama

LPMD : Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa P2KP : Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan PJOK : Penanggung Jawab Operasional Kegiatan PRISMA : Persatuan Remaja Islam Masjid

UNICEF : United Nation Children Funds

UNDP : United Nation Development Programs UPK : Unit Pengelola Keuangan


(26)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan sosial di Indonesia yang sangat penting dan perlu dicari jalan keluarnya. Hal ini disebabkan, karena kemiskinan merupakan “pintu masuk” bagi permasalahan sosial yang lain seperti anak jalanan, pekerja anak, anak telantar, kekurangan gizi, rendahnya tingkat pendidikan dan sumber daya manusia, kriminalitas dan sebagainya. Berdasarkan data UNICEF (United Nations Children Funds) dan UNDP (United Nations Development Pr ograms) pada Juli 1999, hampir 24 persen dari seluruh penduduk Indonesia atau lebih dari 50 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Separuh lebih dari anak Indonesia kekurangan gizi dan ratusan anak meninggal karena kekurangan gizi berat (marasmus kwashiokor). Data tersebut juga menunjukkan bahwa 60 persen dari ibu hamil dan anak sekolah kekurangan zat besi atau anemia, 15 persen dari yang lahir memiliki berat badan yang sangat rendah. Di samping itu, 6,5 juta anak diperkirakan tidak masuk sekolah dan menjadi pekerja anak, anak jalanan, dan terjerumus dalam dunia prostitusi. Di antara yang sekolah, hanya separuh dari mereka yang masuk hingga kelas enam dan kurang dari 50 persen dari yang lulus akan meneruskan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP). Berdasa rkan kenyataan ini, Indonesia berpotensi mengalami deprivasi kualitas sumber daya manusia dan the lost generation (Hikmat, 2001:134).

Pada kurun waktu 1976-1996 angka kemiskinan pernah turun dari 40,1 persen menjadi 11,3 persen. Namun demikian pada tahun 1996-1998 jumlah penduduk miskin meningkat dari 22,5 juta jiwa (11,3 persen) menjadi 49,5 juta jiwa (24,29 persen) akibat terjadinya krisis moneter pada tahun 1997. ILO (International Labour Organization) memperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesi a pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta jiwa atau sekitar 66,3 persen dari seluruh jumlah penduduk (Suharto et al, 2003:1). Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2002 menunjukkan jumlah penduduk miskin mencapai 35,7 juta jiwa dan 15,66 juta jiwa (43 persen) termasuk dalam kategori fakir


(27)

miskin (Suharto, 2005:86). Dampak dari kemiskinan terlihat di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai contoh di Jawa Tengah, hingga bulan Oktober 2005 sebanyak 94 anak dilaporkan meninggal karena gizi buruk dan saat ini ada sekitar 9.829 anak dalam status gizi buruk yang memerlukan bantuan (Kompas, 17 Desember 2005).

Sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di pedesaan, dan masalah utama yang ada di pedesaan adalah kemiskinan dan keterbelakangan. Adapun gambaran nyata dari kemiskinan dan keterbelakangan di pedesaan adalah (1) pendapatan mayoritas penduduk yang rendah, (2) adanya kesenjangan antara yang kaya dan miskin, (3) kurangnya partisipasi masyarakat dalam usaha pembangunan (Ismawan dan Kartjono yang dikutip oleh Mubyarto, 1985:26) Berdasarkan Praktek Lapangan I yang diadakan pada bulan Nopember 2004, kondisi-kondisi tersebut juga ada di Desa Wonokromo. Sebagian besar warganya yang memiliki pendidikan rendah (SLTP ke bawah) bekerja sebagai buruh lajon di kota Yogyakarta dengan pendapatan yang rendah dan tidak pasti, dan disisi lain ada sebagian kecil penduduk yang memiliki usaha yang cukup berhasil atau lahan pertanian yang luas. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, terutama mereka yang berpendidikan rendah masih sangat kurang. Permasalahan lain yang ada di Desa Wonokromo adalah pengangguran. Berdasarkan data desa tahun 2004, sekitar 28 persen dari 6742 orang penduduk usia kerja, belum terserap dalam lapangan ker ja. Disamping itu, kemiskinan dialami oleh 908 Kepala Keluarga (lebih dari 20 persen) dari 3895 Kepala Keluarga yang ada.

Selama ini Pemerintah telah berusaha mengatasi kemiskinan melalui berbagai program. Beberapa program pemerintah antara lain adalah KUT (Kredit Usaha Tani), IDT (Inpres Desa Tertinggal), KUBE (Kelompok Usaha Bersama), dan sebagainya. Namun demikian program-program tersebut belum sepenuhnya berhasil mengatasi kemiskinan bahkan disinyalir telah menciptakan ketergantungan pada bantuan pe merintah (Suharto et al, 2003:53). Sejumlah informasi mengatakan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan tersebut kurang dapat menimbulkan partisipasi masyarakat dan menjadikan masyarakat miskin sebagai objek dari


(28)

progam-program tersebut. Akibatnya, progam-program-progam-program tersebut tidak sustainable atau berkelanjutan.

Pada awal tahun 2000, pemerintah melalui Departemen Kimpraswil melaksanakan program P2KP (Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan). Program P2KP pada intinya bertujuan menanggulangi kemiskinan seperti halnya dengan beberapa program tersebut di atas. Namun demikian, nilai lebih dari program P2KP dibandingkan dengan program-program terdahulu adalah menggunakan pendekatan partisipasi, yang dalam hal ini adalah keikutsertaan masyarakat dalam mengelola kegiatan P2KP. Kegiatan tersebut meliputi rembug kesiapan warga, Focused Group Discussion (FGD) refleksi kemiskinan, pemetaan swadaya, pembuatan Perencanaan Jangka Menengah Program Penanggulangan Kemiskinan (PJM Pronangkis), pengelolaan dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat), pembentukan KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) dan pembentukan BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat).

Nilai lebih lain dari program P2KP adalah menggunakan pendekatan pemberdayaan. Yang dimaksud dengan pendekatan pemberdayaan adalah strategi pembangunan yang berpusat pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat (Sumarjo dan Saharudin, 2005:1). Arah dan tujuan utama dari pendekatan pemberdayaan adalah membuat masyarakat mandiri (dapat menyelesaikan masalahnya sendiri). Pendekatan pemberdayaan dalam P2KP nampak dalam pembentukan BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) dan KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat). Baik BKM maupun KSM dibentuk oleh masyarakat dan dari masyarakat. BKM merupakan suatu lembaga yang dibentuk untuk mengelola BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Para pengurus BKM merupakan representasi dari seluruh masyarakat dan ditunjuk oleh masyarakat secara demokratis, partisipatif, transparan dan akuntabel. BKM ber tanggung jawab atas pelaksanaan keberlanjutan P2KP di tingkat masyarakat, baik dari sisi kelembagaan, kegiatan, maupun dana (tanpa nama, 2002:36).

KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) merupakan kelompok yang beranggotakan orang-orang yang bersifat sukarela yang memiliki ikatan


(29)

sosial yang dibangun karena memiliki kesamaan dalam hal tujuan ekonomi, domisili, tujuan sosial, dan tujuan pembelajaran (tanpa nama, 2002:54). Berdasarkan laporan kegiatan P2KP Desa Wonokromo tahun 2004, jumlah KSM yang ada di Desa Wono kromo pada tahun 2000 ada 28 KSM ekonomi dan tujuh KSM fisik, tahun 2002 ada 31 KSM ekonomi dan satu KSM pelatihan, tahun 2002 ada 29 KSM ekonomi, tahun 2003 ada 36 KSM Ekonomi dan pada tahun 2004 ada 21 KSM Ekonomi (data dari bulan Januari sampai dengan Juni 2004). KSM ekonomi terdiri dari para anggota yang bergerak di bidang usaha ekonomi produktif seperti sektor perdagangan, usaha skala mikro dan kecil, serta mereka yang memiliki industri skala rumah tangga.

Pembentukan KSM pada secara konseptual mempunyai tujuan yang sangat ideal. Tujuan tersebut adalah (1) memudahkan tumbuh kembangnya ikatan-ikatan dan solidaritas sosial serta semangat kebersamaan antar masyarakat, (2) mendorong warga masyarakat agar lebih dinamis dalam mengembangkan kegiatan, nila i-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan, (3) mendorong agar proses pemberdayaan berjalan lebih efektif dan efisien, (4) mendukung terjadinya proses saling asah dan saling asuh antar sesama anggota, (5) terjadinya konsolidasi kekuatan bersama antar yang lema h maupun antar yang kuat dan yang lemah di suatu KSM, (6) mengembangkan dan melembagakan tanggung renteng, membangun jaminan karakter antar anggota, wadah proses belajar/interaksi antar anggota, menggerakkan keswadayaan dan modal, meningkatkan dan menertibkan angsuran pinjaman, menguatkan dan mengembangkan usaha anggota dan sebagainya (tanpa nama, 2002:24).

Berdasarkan Praktek Lapangan II di Desa Wonokromo, diketahui bahwa beberapa tujuan pembentukan KSM tersebut belum dapat tercapai. Banyak anggota masyarakat yang bergabung sebagai anggota KSM hanya didasari oleh keinginan memperoleh kredit semata. Interaksi dan ikatan solidaritas antar anggota belum terjadi seperti yang diharapkan, sehingga proses pemberdayaan yang diharapkan seiring dengan pembentukan kelompok masih sulit untuk diwujudkan. Hal tersebut antara lain nampak dari


(30)

untuk mengumpulkan angsuran pinjaman. Dengan demikian, pembentukan KSM belum berfungsi secara optimal. Kegagalan di atas menunjukkan bahwa KSM ekonomi di Desa Wonokromo memiliki sejumlah masalah dan sekaligus mempunyai sejumlah harapan. Harapannya adalah, bila KSM diberdayakan, akan dapat meningkatkan usaha ekonomi produktif para anggotanya. Tetapi jika tidak diberdayakan, maka KSM hanya akan berfungsi sebagai sarana untuk memperoleh pinjaman.

Salah satu upaya agar KSM berfungsi secara optimal adalah dengan mengembangkan kapasitas kelembagaan KSM. Pengembangan kapasitas kelembagaan adalah suatu proses memperbaiki kemampuan lembaga guna mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia dengan keuangan yang tersedia, serta menciptakan pola baru kegiatan dan perilaku (Israel, 1992:56). Pengembangan kapasitas kelembagaan KSM tersebut perlu dilakukan mengingat fungsi sebagian besar KSM di Desa Wonokromo masih terbatas sebagai sarana untuk memperoleh pinjaman melalui program P2KP.

KSM yang terdiri atas beberapa anggota yang bergerak pada usaha skala mikro dan kecil dan industri rumah tangga dan perdagangan mempunyai pote nsi untuk dikembangkan. Melalui KSM diharapkan para anggota dapat meningkatkan usaha, mengingat lembaga tradisional yang ada seperti kelompok arisan kurang diharapkan sebagai sarana untuk pemupukan modal dan lebih berfungsi sosial dari pada ekonomi. Bila usaha ekonomi produktif mereka dapat ditingkatkan, akan dapat menyerap tenaga kerja di Desa Wonokromo. Hal ini disebabkan, bila suatu usaha mengalami peningkatan maka akan memerlukan lebih banyak tenaga kerja dalam melangsungkan usaha tersebut.

Usaha kecil, mikro dan industri rumah tangga serta sektor perdagangan di Desa Wonokromo berpotensi untuk dikembangkan dalam rangka mengatasi kemiskinan yang ada di desa tersebut. Hal ini mengingat bahwa Desa Wonokromo mempunyai sarana dan prasarana yang dapat mendukung sektor perdagangan, usaha kecil dan mikro. Sarana dan prasarana tersebut antara lain adalah sarana transportasi yang memadai, bank, pasar desa, puluhan kios, dan sebagainya. Disamping itu, sektor pertanian kurang dapat diharapkan menjadi sumber nafka h utama yang disebabkan sempitnya


(31)

kepemilikan lahan dan rendahnya harga produk pertanian. Pengembangan sektor perdagangan, usaha kecil dan mikro dapat dilakukan melalui KSM dimana sebagian dari para pelaku di sektor perdagangan, usaha kecil dan mikro tersebut bergabung.

Atas dasar pemikiran di atas, pengkaji tertarik untuk mengetahui bagaimana kondisi dan kapasitas KSM yang ada Desa Wonokromo, dan mengapa KSM belum berfungsi secara optimal.

1.2. Rumusan Masalah

Masalah kemiskinan dan pengangguran yang ada di Desa Wonokromo yang disebabkan semakin sempitnya kepemilikan lahan pertanian dan terbatasnya lapangan kerja, antara lain dapat diatasi dengan mengembangkan sektor perdagangan dan usaha skala mikro dan kecil. Bila sektor perdagangan, usaha kecil dan mikro dapat berkembang, diharapkan dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja yang ada di desa tersebut. Hal ini dikarenakan, bila suatu usaha sudah berkembang dengan baik akan memerlukan jumlah tenaga kerja yang semakin banyak.

Keberadaan masyarakat Desa Wonokromo yang mempunyai usaha ekonomi produktif merupakan hal yang menggembirakan. Hal ini didukung dengan bantuan dana dari pemerintah melalui program P2KP yang sebagian diperuntukkan bagi kredit usaha ekonomi produktif. Namun demikian, usaha ekonomi produktif rentan menemui kegagalan, karena memerlukan daya juang tinggi dan kemampuan manajerial dalam mengelola usaha. Oleh karena itu pendampingan terhadap usaha produktif perlu dilakukan. Pendampingan tersebut antara lain dapat dilakukan melalui KSM dimana para pemilik usaha ekonomi produktif tersebut bergabung.

KSM yang ada di Desa Wonokromo sekarang ini masih belum berfungsi secara optimal. KSM yang pada awalnya hanya berfungsi sebagai sarana untuk memperoleh pinjaman melalui P2KP, mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi kelompok yang dapat membantu para anggotanya dalam meningkatkan usaha. Oleh karena itu, pemberdayaan KSM perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh yang dapat dilakukan dengan


(32)

Program P2KP yang ada di Desa Wonokromo perlu dikaji untuk mengetahui sejauhmana program tersebut memberi manfaat bagi masyarakat. Hal tersebut perlu dilakukan untuk memberi masukan bagi penyusunan program pengembangan masyarakat yang akan dilakukan dalam kajian ini. Penyusunan suatu program pengembangan masyarakat (dalam hal ini pengembangan kapasitas kelembagaan KSM) tidak dapat mengabaikan kondisi sosial, ekonomi dan budaya yang ada dalam masyarakat, dikarenakan kondisi -kondisi tersebut akan ikut mewarnai kapasitas kele mbagaan KSM yang ada. Dengan demikian sebelum menyusun program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM, perlu terlebih dulu melakukan pemetaan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di Desa Wonokromo.

1.3. Tujuan

Kajian Pengembangan Masyarakat ini memiliki beberapa tujuan yang saling terkait. Pada intinya, tujuan akhir dari kajian ini adalah menyusun program pengembangan masyarakat yang berupa pengembangan kapasitas KSM. Secara rinci, beberapa tujuan dari kajian ini adalah:

(1) Memetakan kondisi sosio-ekonomi dan budaya komunitas Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul.

(2) Menganalisis dan mengevaluasi program P2KP yang ada di Desa Wonokromo.

(3) Mengetahui profil dan kapasitas Kelompok Swadaya Masyarakat yang menjadi subjek kajian.

(4) Menyusu n program pengembangan kapasitas Kelompok Swadaya Masyarakat yang menjadi subjek kajian.


(33)

BAB II TINJAUAN TEORI 2.1. Kemiskinan

2.1.1. Definisi Kemiskinan

Istilah kemiskinan sudah dikenal secara luas oleh masyarakat umum. Namun demikian, pengertian kemiskinan masih sering menjadi perdebatan. Para ahli berusaha merumuskan istilah tersebut sesuai dengan tekanan dan persepsi masing-masing. Soekanto (2003:352) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf/standar kehidupan kelompok atau masyarakat di sekitarnya dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya. Sementara itu Friedman sebagaimana dikutip oleh Suharto et al (2003:6) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasa an sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi modal yang produktif atau aset (tanah, perumahan, peralatan kesehatan, dan sebagainya); sumber-sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai; organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, dan sebagainya); network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang dll; pengetahuan dan ketrampilan yang memadai; dan informasi yang berguna untuk memajukan kehidupan orang.

Ada dua macam perspektif yang dapat dipergunakan untuk mendekati masalah kemiskinan, yaitu perspektif kultural dan perspektif struktural atau situasional. Perspektif kultural mendekati masalah kemiskinan pada tiga tingkat analisis, yaitu individual, keluarga dan masyarakat. Pada tingkat individual, kemiskinan ditandai dengan sifat yang disebut dengan a strong feeling of marginality seperti sikap parokial, apatisme, fatalisme atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior (rendah diri). Pada tingkat keluarga, kemiskinan ditandai dengan jumlah anggota keluarga yang besar. Sementara pada tingkat masyarakat, kemiskinan terutama ditunjukkan dengan tidak terintegrasinya kaum miskin dengan institusi -institusi masyarakat secara efektif (Usman, 2003:67).

Menurut perspektif struktural atau situasional, masalah kemiskinan dilihat sebagai dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dan


(34)

produk-produk teknologi modern. Penetrasi kapital antara lain terwujud dalam program-program pembangunan yang dinilai lebih mengutamakan pertumbuhan dan kurang memperhatikan pemerataan hasil pembangunan. Program-program tersebut antara lain berbentuk intensifikasi, ekstensifikasi dan komersialisasi pertanian untuk menghasilkan pangan sebesar-besarnya agar dapat memenuhi kebutuhan nasional dan eksport.

Sedikit berbeda dengan pendapat Usman, Nasution sebagaimana dikutip oleh Rusli et al (2004:47) membedakan kemiskinan menjadi dua, yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kualitas sumber daya alam dan sumber daya manusia sehingga peluang produksi relatif kecil atau jika kegiatan produksi dapat dilakukan pada umumnya dengan tingkat efisiensi yang relatif rendah. Kemiskinan struktural atau disebut juga kemiskinan buatan merupakan kemiskinan yang secara langsung atau tidak langsung disebabkan oleh tatanan kelembagaan yang mencakup organisasi dan pranata yang terdapat dan berkembang di masyarakat. Organisasi dan pranata tersebut merupakan bagian dari sosial budaya masyaraka t.

Dari dua definisi kemiskinan di atas dapat disimpulkan bahwa definisi pertama memandang kemiskinan dari perspektif kultural, yaitu menekankan pada ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan memanfaatkan tenaga, fisik dan mentalnya. Ketidakmampuan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti rendahnya sumber daya manusia, rendahnya etos kerja dan sebagainya. Sementara definisi kedua memandang kemiskinan dari perspektif struktural, yaitu ketidaksamaan kesempatan dalam mengakses sumber daya ekonomi. Dari perspektif kultural, kemiskinan dapat dilihat pada tingkat individu, keluarga maupun masyarakat. Pada tingkat individu nampak dalam rendahnya etos kerja, boros, tergantung dan sebagainya. Pada tingkat keluarga ditandai dengan jumlah keluarga yang besar. Sementara pada tingkat masyarakat diindikasikan dengan tidak terintegrasinya masyarakat miskin dalam lembaga-lembaga yang ada secara efektif.

Pendapat lain mengatakan bahwa kemiskinan dibedakan menjadi dua, yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural atau buatan. Kemiskinan


(35)

alamiah disebabkan rendahnya sumber daya alam dan sumber daya manusia. Sementara kemiskinan struktural disebabkan oleh tatanan kelembagaan yang meliputi organisasi dan pranata yang ada dan berkembang di masyarakat.

2.1.2. Indikator Kemiskinan

Hasil penelitian Iskandar (1993:48) menunjukkan bahwa ciri-ciri rumah tangga miskin adalah mempunyai anggota rumah tangga banyak, tingkat pendidikan kepala rumah tangga maupun anggotanya rendah, sering berubah pekerjaan, sebagian besar mereka yang telah bekerja masih mau menerima tambahan pekerjaan bila ditawarkan, dan sebagian sumber pendapatan utamanya adalah dari sektor pertanian. Bila dilihat dari pola pengeluaran rumah tangga, ternyata sebagian besar pengeluaran rumah tangga miskin adalah untuk makanan, dan bila ditelaah lebih jauh, persentase pengeluaran untuk kebutuhan karbohidrat lebih besar dibanding dengan persentase pengeluaran untunk protein. Di samping itu, penelitian ini juga menemukan bahwa kondisi tempat tinggal rumah tangga miskin masih memprihatinkan terutama dalam hal penyediaan air bersih dan listrik untuk penerangan.

Sementara itu Sajogyo sebagaimana dikutip oleh Rusli et al, (2004:46) menggunakan tingkat pengeluaran setar a beras dalam menetapkan garis kemiskinan. Orang dikatakan miskin sekali jika tingkat pengeluaran perkapita pertahun setara kurang dari 240 kg beras bagi penduduk pedesaan dan 360 kg beras bagi penduduk perkotaan. Sedangkan jika pengeluaran kurang dari 180 kg beras bagi penduduk pedesaan dan 270 kg beras bagi penduduk perkotaan, maka dikatakan sebagai golongan penduduk paling miskin.

Pendapat Sajogya tentang ciri-ciri orang miskin didasarkan pada pengeluaran individu tiap tahun yang dikonversikan dengan jumlah kilogram beras. Sementara hasil penelitian Iskandar menunjukkan bahwa ciri-ciri kemiskinan dapat dilihat dari perspektif yang lebih luas dan melihatnya dari berbagai aspek seperti jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, jenis dan karakter perkerjaan dan proporsi/jenis pengeluaran.

2.1.3. Penyebab Kemiskinan


(36)

teori demokrasi sosial. Para pendukung teori neo liberal mengatakan bahwa penyebab kemiskinan adalah kelemahan dan pilihan-pilihan individu, lemahnya pengaturan pendapatan, lemahnya kepribadian (sikap pasrah, rendahnya tingkat pendidikan, malas). Sementara itu para pendukung teori demokrasi sosial mengata kan bahwa kemiskinan disebabkan oleh adanya ketimpangan struktur ekonomi dan politik serta ketidakadilan sosial (Suharto, 2005:88).

Merujuk kondisi kemiskinan di negara maju, Zastrow (2000:138) mengidentifikasikan bahwa kemiskinan disebabkan oleh berbagai hal, yaitu tingginya pengangguran, rendahnya kesehatan fisik, cacat fisik, masalah emosional, mahalnya biaya medis, kecanduan alkohol, pemakaian obat-obatan terlarang, besarnya jumlah anggota keluarga, penempatan kerja yang tidak sesuai/berlawanan dengan penggunaan mesin, kurangnya ketrampilan, rendahnya tingkat pendidikan, wanita sebagai kepala keluarga dengan anak kecil, rendahnya biaya hidup, diskriminasi ras, bekas narapidana, tinggal di daerah yang tidak membutuhkan pekerjaan, perceraian, kematian pasangan hidup, perjudian, rendahnya upah kerja, retardasi mental dan memasuki usia pensiun.

Dawam Raharjo sebagaimana dikutip oleh Jamasy (2004:37) menyebutkan bahwa ada tujuh faktor penyebab kemiskinan yang terkait satu sama lain. Faktor -faktor tersebut adalah: (1) kecilnya kesempatan kerja sehingga masyarakat tidak memiliki penghasilan tetap; (2) upah/gaji di bawah standar minimum, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar; (3) produktivitas kerja yang rendah; (4) ketiadaan aset, misalnya lahan untuk bertani dan modal untuk melakukan usaha; (5) diskriminasi dalam jenis kelamin dan kelas sosial; (6) tekanan harga, misalnya karena mekanisme permintaan dan penawaran bebas; dan (7) penjualan tanah yang berpotensi untuk masa depan keluarga. Pendapat tersebut lebih menekankan pada kemiskinan struktural.

Menurut Tansey dan Ziegley sebagaimana dikutip oleh Suharto et al, 2003:8), kemiskinan mempunyai tiga penyebab, yaitu:

1. Human capital deficiencis, yaitu deefisiensi modal manusia yang berati rendahnya kualita s sumber daya manusia, seperti rendahnya


(37)

pengetahuan dan ketrampilan sehingga menyebabkan mendapatkan pekerjaan yang rendah pendapatannya dan rendahnya daya beli; 2. Insufficient demand for labor, yaitu rendahnya permintaan akan

tenaga kerja sehingga meningkatkan pengangguran. Pengangguran menyebabkan orang tidak memiliki pendapatan, daya beli rendah dan akhirnya tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar;

3. Discrimination, yaitu adanya perlakuan yang berbeda terhadap golongan tertentu terutama dalam aksesibilitas terhadap sumber daya dan adanya dominasi pihak tertentu terhadap sumber daya tersebut.

Sementara itu BKPK (Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan) dan Lembaga Penelitian SMERU mengidentifikasikan penyebab kemiskinan sebagai berikut: (1) Keterbatasan pendapatan, modal dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar, (2) Kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi goncangan-goncangan (misal: krisis ekonomi, kehilangan pekerjaan, kegagalan panen, banjir atau kekeringan, bencana alam, kekerasan dalam rumah tangga, musibah, dsb), (3) Tidak adanya suara yang mewakili dan terpuruk dalam ketidakberdayaan di dalam institusi negara dan masyarakat karena tidak adanya kepastian hukum, tidak ada perlindungan dari kejahatan, kesewenang -wenangan aparat, ancaman dan intimidasi, kebijakan publik yang tidak peka dan tidak mendukung upaya penanggulangan kemiskinan dan rendahnya posisi tawar masyarakat miskin (Suharto et al, 2003:9).

Di samping hal-hal di atas, kemiskinan juga disebabkan oleh ketidakmampuan individu karena faktor-faktor yang tidak diinginkannya. Hemmer, Spicker dan Weissberg sebagaimana dikutip oleh Dharmawan (2000:6) mengatakan bahwa kemiskinan dialami oleh : (1) orang yang mengalami cacat mental, (2) orang dengan cacat fisik, (3) orang yang mengalami penyakit menahun, (4) manusia usia lanjut yang tidak produktif, (5) orang yang tinggal di daerah miskin, (6) orang yang tidak memiliki pekerjaan, (7) orang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, (8) petani dengan lahan garapan yang sempit, (9) petani buruh, dan (10) orang yang bekerja di sektor informal dengan pendapatan pas-pasan.


(38)

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kemiskinan dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu rendahnya etos kerja, rendahnya pendidikan dan sumber daya manusia, masalah emosional, lemahnya kepribadian (malas, sikap pasrah), ketidakmampuan individu karena faktor-faktor di luar keinginannya, ketimpangan struktur sosial dan politik, ketidakadilan sosial, kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat miskin, krisis ekonomi, diskriminasi ras/sosial/jenis kelamin, kecilnya kesempatan kerja, upah/gaji di bawah standar minimum, bencana alam, kegagalan panen, tidak adanya suara yang mewakili dan membela masyarakat miskin, ancaman atau intimidasi dan sebagainya.

2.1.4. Upaya Mengatasi Kemiskinan

Sejak jaman Orde Baru, pemerintah telah berusaha mengatasi masalah kemiskinan. Program-program pemerintah yang berusaha menanggulangi kemiskinan adalah KUT (Kredit Usaha Tani), IDT (Inpres Desa Tertinggal), KUBE (Kelompok Usaha Bersama), dan masih banyak lagi. Namun demikian, beberapa ahli mengatakan bahwa program-progam di atas kurang dan bahkan tidak melibatkan masyarakat miskin dan menjadikan masyarakat miskin sebagai ob jek dari program-program tersebut. Akibatnya, masyarakat enggan untuk berpartisipasi yang berdampak pada ketidakberlanjutan program.

Hasil penelitian Suharto et al (2003:52-53) terhadap berbagai program pengentasan kemiskinan di 17 propinsi di Indonesia menunjukkan kesimpulan sebagai berikut: (1) sebagian besar responden (88 persen) menyatakan bahwa berbagai program pengentasan kemiskinan belum dapat meningkatkan pendapatan keluarga secara maksimal, (2) sebagian besar responden (80 persen) menyatakan bahwa program yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan, karena hampir semua program kurang memberikan bimbingan ketrampilan yang memadai, terdapat beberapa program yang tidak mengalokasikan dananya untuk kegiatan bimbingan ketrampilan karena sifat progamnya yang bersifat pencegahan, (3) menurut sebagian besar responden, program anti kemiskinan tidak dapat menciptakan kemandirian penerima bantuan. Bahkan beberapa program seperti RASKIN (Beras untuk Orang Miskin) dan JPS (Jaring Pengaman Sosial) dapat menciptakan ketergantungan dan kepasifan penerima bantuan.


(39)

Untuk mengatasi kemiskinan, seharusnya ter lebih dulu memperhatikan perspektif yang digunakan untuk melihat masalah tersebut. Menurut Usman (2003:68), jika akar masalah kemiskinan berkaitan dengan faktor kultural, maka yang diperlukan adalah menyusun strategi yang mampu meningkatkan etos kerja kelompok miskin, meningkatkan pendidikan supaya lebih memiliki pola pikir yang melihat ke masa depan, dan menata kembali institusi-institusi ekonomi supaya dapat mengakomodasi kelompok miskin. Sementara bila melihat kemiskinan berakar pada masalah struktural, strategi pembangunan perlu dirumuskan kembali dan tidak mementingkan pertumbuhan tetapi lebih mementingkan pemerataan kesempatan.

Usman sebagaimana dikutip oleh Jamasy (2004:xvi - xviii) mengatakan bahwa ada beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk pengentasan kemiskinan yang berorientasi pemberdayaan, yaitu:

(1) Peningkatan sumber daya manusia di tingkat lokal dengan cara mengembangkan ketrampilan dengan metode a dispersed approach, yaitu dengan melatih semua pihak yang terlibat dalam kegiatan pengentasan dan penanggulangan kemiskinan (aparat pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat miskin) untuk mengenali strategi dan inovasi yang akan diintroduksi.

(2) Penguatan pemimpin dan kepemimpinan di tingkat lokal. Dalam hal ini pemimpin harus mampu menjadi panutan masyarakat sekaligus diakui kepemimpinannya oleh elit lokal lain, memiliki perbendaharaan pengetahuan sosial, ekonomi, dan politik lokal, sehingga mampu menterjemahkan berbagai kebutuhan kelompok miskin dan mampu menawarkan alternatif solusi ketika menghadapi berbagai masalah sosial. Proses penguatan pemimpin dan kepemimpinan memerlukan waktu yang lama, namun harus dilakukan karena masyarakat yang tidak memiliki pemimpin yang kuat akan mudah terombang ambing oleh berbagai gesekan dan perubahan pemikiran.

(3) Penguatan kapasitas lembaga lokal, yaitu dengan bekerja sama dengan lembaga-lembaga adat yang sudah berkembang dalam masyarakat. Dalam hal ini diperlukan pihak luar yang mampu


(40)

berperan sebagai katalisator dan agen perubahan. Penguatan kapasitas lembaga perlu dilakukan dengan membangun jaringan vertikal dan horisontal. Jaringan horisontal dilakukan dengan lembaga pada level yang kurang lebih yang sama. Sementara jaringan ver tikal dilakukan dengan lembaga-lembaga lain yang cakupan kegiatannya lebih luas atau posisinya lebih tinggi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa upaya mengatasi kemiskinan dapat dilakukan dengan terlebih dahulu melihat perspektif yang digunakan. Bila menggunakan perspektif kultural, yang perlu dilakukan adalah meningkatkan etos kerja, pendidikan, dan menata institusi ekonomi agar dapat mengakomodasi kelompok miskin. Sementara bila menggunakan perspektif struktural, yang perlu dilakukan adalah merumuskan kembali strategi pembangunan agar lebih mementingkan pemerataan kesempatan dan tidak mementingkan pertumbuhan. Upaya mengatasi kemiskinan yang berorientasi pemberdayaan dapat dilakukan dengan peningkatan sumber daya manusia di tingkat lokal, penguatan kepemimpinan dan pemimpin lokal dan penguatan kapasitas lembaga lokal.

2.2. Pengembangan Masyarakat

Pengembangan masyarakat merupakan gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup seluruh komunitas melalui partisipasi aktif dan jika mungkin berdasarkan prakarsa komunitas (Brokensha dan Hodge yang dikutip oleh Adi, 200:23). Gerakan tersebut meliputi berbagai kegiatan pembangunan ditingkat lokal baik yang dilakukan pemerintah ataupun oleh lembaga-lembaga non pemerintah. Sementara itu AMA (Association of Metropolitan Authorities) mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai metode yang memungkinkan orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupan (Suharto, 2005: 38). Disamping itu pengembangan masyarakat merupakan salah satu metode pekerjaan sosial yang utamanya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan prinsip-prinsip partisipasi sosial.


(41)

Ife (1995:108-115) mengemukakan beberapa prinsip pengembangan masyarakat, di antaranya adalah: (1) terintegrasi, pengembangan masyarakat hendaknya dapat mengintegrasikan berbagai aspek kehidupan masyarakat, yaitu sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan dan pribadi/spiritual, (2) keberlanjutan, yang diindikasikan dengan penggunaan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seminimum mungkin dan pembatasan pertumbuhan yang cenderung bertentangan dengan prinsip keberlanjutan (3) pemberdayaan, yang berarti memberikan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan, dan ketrampilan untuk meningkatkan kapasitas atau kemampuan untuk menentukan masa depan sendiri dan untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi kehidupan komunitasnya, (4) kemandirian, yaitu masyarakat didorong untuk menggunakan sumberdaya yang dimiliki dan tidak mengandalkan dukungan proyek atau sumbangan dari luar, (5) keinklusifan/tanpa kekerasan, yang dapat ditempuh dengan membangun dialog dan meningkatkan saling pengertian, (6) konsensus, yaitu mengarah pada persetujuan dan bertujuan untuk mencapai solusi yang yang dimiliki oleh komunitas, dan (7) partisipasi, yang bertujuan agar setiap orang terlibat aktif dalam aktivitas-aktivitas komunitas.

Dengan demikian, pengembangan masyarakat dapat diartikan sebagai suatu geraka n, baik yang dilakukan pemerintah ataupun masyarakat dengan tujuan meningkatkan taraf hidup seluruh komunitas yang melibatkan partisipasi aktif dan prakarsa masyarakat. Adapun perinsip-prinsip pengembangan masyarakat diantaranya adalah terintegrasi, keberlajutan, pemberdayaan, kemandirian, keinklusifan/tanpa kekerasan, konsensus dan partisipasi.

2.3. Pemberdayaan

Pemberdayaan merupakan strategi atau pendekatan dalam paradigma pembangunan yang berpusat pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat (people centered development). Pendekatan ini menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal, melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas sumberdaya melalui redistribusi modal atau kepemilikan (Korten yang dikutip oleh Sumarjo dan Saharudin, 2005:1).


(42)

Pemberdayaan adalah proses peningkatan kemampuan individu, atau kelompok,-- kekuatan politik, keluarga atau masyarakat-- agar dapat mengambil peran dalam meningkatkan kondisi mereka. Akar pemberdayaan terletak pada pondasi politik dan filosofi masing-masing budaya seperti tertuang dalam konsep demokrasi yang mewujud dalam institusi politik. Semua hal tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan warga negara untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berakibat pada tingkat kesejahteraan (Swift yang dikutip oleh Dubois dan Miley, 2005:25). Konsep pemberdayaan berhubungan dengan kekuatan individu dan kompetensinya serta sistem yang saling bergantung dan perilaku yang proaktif pada aktivitas sosial, kebijakan sosial, perubahan sosial, dan pengembangan masyarakat. Itu semua dapat diterapkan secara praktis pada semua tingkat (Anderson yang dikutip oleh Dubois dan Miley, 2005:25).

Akar pemberdayaan terletak pada pondasi politik dan filosofi masing-masing budaya seperti tertuang dalam konsep demokrasi yang mewujud dalam institusi politik. Semua hal tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan warga negara untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berakibat pada tingkat kesejahteraan (Swift yang dikutip Dubois dan Miley, 2005:25). Konsep pemberdayaan berhubungan dengan kekuatan individu dan kompetensinya serta sistem yang saling bergantung dan perilaku yang proaktif pada aktivitas sosial, kebijakan sosial, perubahan sosial, dan pengembangan masyarakat. Itu semua dapat diterapkan secara praktis pada semua tingkat (Anderson yang dikutip oleh Dubois dan Miley, 2005:16).

Tujuan utama dari pendekatan pemberdayaan adalah membuat masyarakat berdaya (mempunyai kekuatan). Kekuatan tersebu t meliputi aspek fisik dan material, aspek ekonomi dan pendapatan, aspek kelembagaan (tumbuhnya kekuatan individu dalam bentuk kelompok), kekuatan kerja sama, kekuatan intelektual (peningkatan SDM), dan kekuatan komitmen bersama untuk mematuhi dan menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan. Masyarakat berdaya berarti tahu, mengerti, paham dan termotivasi, berkesempatan, melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang tersebut, berenergi, mampu bekerjasama, mengetahui berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan secara optimal, berani mengambil resiko atas keputusannya, mampu mencari


(43)

dan menangkap informasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan taraf kehidupannya dan mampu bertindak secara optimal. Adapun ciri-ciri masyarakat berdaya adalah: (1) mampu memahami diri dan potensinya, (2) mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), dan mengarahkan dirinya sendiri, (3) memiliki kekuatan untuk berunding, bekerjasama secara saling menguntungkan dengan bargaining power yang memadai, dan (4) bertanggung jawab atas tindakannya sendiri (Sumarjo dan Saharudin, 200:2).

Masyarakat berdaya memiliki arti yang sama dengan kemandirian masyarakat. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan membuka kesempatan bagi seluruh elemen masyarakat dalam seluruh tahapan program. Setiap komponen dan elemen masyarakat pasti mempunyai kemampuan atau potensi. Sumodiningrat sebagaimana dikuti oleh Jamasy (2004:40) mengatakan bahwa upaya untuk mencapai kemandirian masyarakat adalah dengan mewujudkan potensi kemampuan yang mereka miliki. Upaya untuk mencapai kemandirian tidak mudah dan tidak bisa diukur dengan waktu. Namun demikian, tidak mustahil proses pemberdayaan menuju kemandirian ditentukan ukuran waktunya. Hal tersebut tergantung pada bagaimana proses dalam mengelola sebuah program dan bagaimana mempertahankan komitmen (komitmen kepada misi dan komitmen kepada profesionalisme).

Nugroho sebagai mana dikutip oleh Jamasy (2004:42) mengemukakan bahwa pemberdayaan merupakan prasyarat mutlak bagi upaya penanggulangan kemiskinan yang memiliki tujuan penting, yaitu: (1) menekan perasaan ketidakberdayaan masyarakat miskin bila berhadapan dengan struktur sosial-politis, yaitu dengan meningkatkan kesadaran kritis atas posisinya; (2) memutuskan hubungan-hubungan yang bersifat eksploitatif terhadap orang miskin, yang dapat dilakukan bila terjadi reformasi sosial, budaya dan politik; (3) menanamkan rasa persamaan (egalitarian) dan memberikan gambaran bahwa kemiskinan bukan merupakan takdir tetapi sebagai penjelmaan konstruksi sosial; (4) merealisasikan rumusan pembangunan dengan melibatkan masyarakat miskin secara penuh; (5) perlunya pembangunan sosial dan budaya bagi masyarakat miskin seperti


(44)

dan kualitas kerja); dan (6) distribusi infrastruktur pembangunan yang lebih merata.

Kerangka pikir pada proses pemberdayaan mengandung tiga tujuan penting, yaitu (1) menciptakan suasana dan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang; (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat atau kelompok yang akan diberdayakan, misalnya melalui peningkatan taraf pendidikan, peningkatan derajat kesehatan, peningkatan akses terhadap sumber-sumber kemajuan; dan (3) upaya melindungi atau mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, menciptakan keadilan, serta menciptakan kebersamaan dan kemitraan antara yang sudah maju dan yang belum berkembang (Jamasy, 2004:41-42).

Pendekatan pemberdayaan yang mampu mengangkat masyarakat miskin menjadi berdaya dan berkembang adalah dengan melalui media kelompok. Kelompok dapat dijadikan sebagai media pembelajaran bagi para anggota sekaligus proses tukar menukar informasi, pengetahuan dan sikap. Dalam kelompok, kekuatan individu akan muncul sebagai kekuatan kelompok, dan disinilah terjadi proses penguatan dan pemberdayaan (Jamasy, 2004:55).

Pemberdayaan merupakan strategi pembangunan yang berpusat pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Pemberdayaan merupakan proses peningkatan kemampuan peningkatan kemampuan individu, atau kelompok, -- kekuatan politik, keluarga atau masyarakat-- agar dapat mengambil peran dalam meningkatkan kondisi mereka. Tujuan pemberdayaan adalah membuat masyarakat mandiri yang dapat dicapai dengan mewujudkan potensi kemampuan yang mereka miliki, menekan perasaan tidak berdaya, memutuskan hubungan-hubungan yang bersifat eksploitatif terhadap orang miskin, menanamkan rasa persamaan, menanamkan kesadaran bahwa kemiskinan bukan merupakan takdir, melibatkan masyarakat miskin secara penuh, perlunya pembangunan sosial dan budaya bagi masyarakat miskin dan, distribusi infrastruktur pembangunan yang lebih merata.

Adapun kerangka pikir dalam proses pemberdayaan bertujuan menciptakan suasana dan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat


(45)

berkembang, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat, peningkatan akses terhadap sumber-sumber kemajuan, melindungi atau mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, menciptakan keadilan, serta menciptakan kebersamaan dan kemitraan antara yang sudah maju dan yang belum berkembang. Proses pemberdayan dapat dilakukan melalui media kelompok yang merupakan sarana pembelajaran, tukar menukar informasi, pengetahuan dan sikap.

2.4. Pengembangan Kapasitas Kelembagaan

Pengembangan kapasitas merupakan suatu pendekatan pembangunan di mana semua orang memiliki hak yang sama terhadap sumber daya, dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka sendiri (Eade yang dikutip oleh Tonny dan Utomo, 2004:67). Sementara itu menurut Maskun, pengembangan kapasitas masyarakat merupakan suatu pendekatan pembangunan yang berbasis pada kekuatan-kekuatan dari bawah secara nyata (Tonny dan Utomo, 2004:68). Kekuatan -kekuatan tersebut adalah kekuatan sumber daya alam, sumber daya ekonomi dan sumber daya manusia sehingga menjadi local capacity. Kapa sitas lokal yang dimaksud adalah kapasitas pemerintah daerah, kapasitas kelembagaan swasta dan kapasitas masyarakat desa terutama dalam bentuk peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam menghadapi tantangan pengembangan potensi alam dan ekonomi setempat.

Pengembangan kapasitas kelembagaan adalah upaya untuk mengubah kemampuan, peran dan peranan kelembagaan menjadi lebih baik dari pada keadaan sekarang (Purwaka, 2003:53). Sementara itu pendapat lain mengatakan bahwa pengembangan kapasitas kelembagaan adalah proses memperbaiki kemampuan lembaga guna mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia dengan keuangan yang tersedia (Israel, 1992:13). Brinkerhoff sebagaimana dikutip oleh Israel (1992:14) mengemukakan bahwa pengembangan kelembagaan adalah prose s menciptakan pola baru kegiatan dan perilaku yang bertahan dari waktu ke waktu karena didukung oleh norma standar dan nilai-nilai dari dalam. Dengan demikian pengembangan kapasitas kelembagaan merupakan upaya atau proses untuk mengubah/memperbaiki


(46)

kemamp uan lembaga dengan cara mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia dan keuangan yang tersedia, dan menciptakan pola baru kegiatan dan perilaku.

Selanjutnya Israel (1992:14) mengatakan bahwa pengembangan kapasitas kelembagaan meliputi sistem manajemen, struktur dan perubahan organisasi, kebijaksanaan pengaturan staf dan personalia, pelatihan staf, manajemen keuangan dan perencanaan, penyusunan anggaran, akunting, auditing, perawatan dan pengadaan sarana dan fasilitas kelompok.

Menurut Setiabudi (2002:7), ada enam fitur utama dari kelompok/institusi masyarakat yang sehat, kuat dan mandiri, yaitu: (1) adanya visi/misi/harapan/tujuan kelompok; (2) adanya sistem manajemen kelompok; (3) adanya sistem manajemen keuangan kelompok; (4) adanya norma akuntabilitas kelompok; (5) adanya linkage/jaringan; dan (6) adanya upaya pembelajaran dan evaluasi.

Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan kapasitas kelembagaan/kelompok meliputi: (1) tujuan dan harapan kelompok, (2) struktur kelompok, (3) manajemen kelompok, (4) manajemen keuangan, (5) norma kelompok, (6) pembelajaran, (7) jaringan, dan (8) pengadaan sarana/fasilitas kelompok.

Pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok merupakan salah satu bentuk pemberdayaan melalui media kelompok, karena di dalamnya terdapat aspek pembelajaran dalam rangka meningkatkan kemampuan SDM anggotanya. Di samping itu, pemberdayaan pada umumnya dilakukan secara kolektif (Parson et al yang dikutip oleh Suharto, 2005:68).

2.6. Kelompok Swadaya Masyarakat

KSM adalah kelompok yang terbentuk karena adanya program P2KP (yang mensyaratkan menjadi anggota KSM bagi anggota masyarakat yang ingin memperoleh pinjaman modal). KSM terdiri atas anggota masyarakat yang memiliki usaha ekonomi produktif. Pembentukan KSM dapat didasarkan atas kesamaan dalam hal tujuan ekonomi, domisili, tujuan sosial dan tujuan pembelajaran. Tujuan pembentukan KSM adalah: (1) memudahkan tumbuh


(47)

kembangnya ikatan -ikatan dan solidaritas sosial serta semangat kebersamaan antar masyarakat; (2) mendorong warga masyarakat agar lebih dinamis dalam mengembangkan kegiatan, nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan; (3) mendorong agar proses pemberdayaan berjalan lebih efektif dan efisien; (4) mendukung terjadinya proses saling asah dan saling asuh antar sesama anggota; (5) terjadinya konsolidasi kekuatan bersama antar yang lemah maupun antar yang kuat dan yang lemah di suatu KSM; (6) mengembangkan dan melembagakan tanggung renteng, membangun jaminan karakter antar anggota, wadah proses belajar/interaksi antar anggota, menggerakkan keswadayaan dan modal, meningkatkan dan menertibkan angsuran pinjaman, menguatkan dan mengembangkan usaha anggota dan sebagainya (tanpa nama, 2004:46).

KSM dituntut untuk mempunyai kemampuan administratif, baik internal maupun eksternal. Kemampuan internal administratif berkaitan dengan penggunaan sumber daya manusia, sarana dan teknologi yang diperlukan guna melaksanakan fungsi kelembagaannya. Sedangkan kemampuan administratif eksternal meliputi proses kegiatan dan hubungan dengan lembaga dan kelompok lain di luar administratif suatu lembaga, terutama untuk memperoleh bantuan pengetahuan dan ketrampilan teknis yang diperlukan bagi pengembangan kemandiriannya (Supriatna, 1997:126).

Upaya untuk memperbaiki KSM didasarkan pada empat asumsi dasar, yaitu: (1) produktivitas pengambilan keputusan yang tidak tersentralisir, (2) program yang terencana dengan memperluas partisipasi, (3) program yang dapat diajarkan dan dimanfaatkan bagi peningkatan kualitas kelompok, dan (4) pengembangan potensi kepemimpinan kelompok yang dapat menularkan pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman. Yang menjadi kunci pokok proses pengembangan dan pendidikan ketrampilan KSM, agar mereka mampu mengidentifikasi masalah, proses pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan penentuan perencanaan program, sumber dana dan daya maupun pelaksanaan programnya (Zaltman dan Duncan yang dikutip oleh Supriatna, 1997:126).


(48)

Agen perubahan atau fasilitator sangat dibutuhkan bagi penumbuhan kemampuan administratif kelompok masyarakat dari segi pengembangan pengetahuan dan ketrampilan bagi proses penyusunan program dan pelaksanaannya. Disamping itu fasilitator atau agen perubahan dapat berfungsi untuk mempercepat pelaksanaan otonomi dan kemampuan administratif kelompok masyarakat (Supriatna, 1997:127). Bantuan pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman dari para konsultan selaku fasilitator pendidikan masyarakat dapat bersumber dari pemerintah, pekerja sosial, penyuluh lapangan kesehatan, penyuluh pertanian, pendidik/guru, atau LSM dan Perguruan Tinggi.

Kelompok yang disiapkan dan diberdayakan dengan baik akan berfungsi sebagai wahana proses belajar mengajar anggota, wahana untuk menajamkan masalah bersama yang dihadapi, wahana pengambilan keputusan untuk menentukan strategi menghadapi masalah bersama, dan wahana memobilisasi sumber daya para anggota. Untuk mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi, kelompok harus terus menerus didorong untuk meningkatkan pendapatan, keterbukaan wawasan, aktif bekerja sama dan meningkatkan sikap demokratis-partisipatif dalam penyelenggaraan kelompok. Upaya peningkatan pendapatan ditandai dengan seringnya penyelenggaraan pemupukan modal, tabungan, serta usaha produktif anggota. Keterbukaan ditandai oleh kesediaan anggota kelompok untuk menerima gagasan dan kelembagaan baru. Kegotongroyongan ditandai dengan adanya upaya pemberian bantuan dari keluarga yang sudah sejahtera kepada keluarga yang belum sejahtera. Sementara demokrasi ditandai oleh kepemimpinan kelompok yang dipilih dari dan oleh anggota serta pengambilan keputusan yang dilakukan secara musyawarah (Supriatna, 1997:129).

Koentjaraningrat sebagaimana dikutio oleh Soekanto (2003:137) menyatakan bahwa suatu kelompok sekurang-kurangnya mempunyai enam unsur, yaitu: (1) sistem norma yang mengatur tingkah laku, (2) rasa kepribadian kelompok yang disadari semua anggotanya, (3) interaksi yang intensif antara warga kelompok, (4) sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antar anggota kelompok, (5) adanya pemimpin yang mengatur kegiatan kelompok,


(49)

dan (6) sistem hak dan kewajiban terhadap harta produktif, harta konsumtif atau harta pusaka tertentu.

Dalam kelompok terjadi fenomena yang dinamakan dengan dinamika kelompok. Menurut Rivas dan Toseland (2001:70), ada empat dimensi dalam dinamika kelompok, yaitu pola interaksi dan komunikasi, kohesifitas, mekanisme kontrol (norma, aturan dan status), dan budaya kelompok. Menurut Northen sebagaimana dikuti p oleh Rivas dan Toseland (2001:70), interaksi sosial adalah sebuah istilah untuk menandai dinamika kelompok yang saling mempengaruhi dimana kontak/hubungan antara individu mewujud dalam sikap, perilaku dan partisapasi. Ada dua komponen interaksi sosial, yaitu komunikasi verbal dan non verbal.

Kohesi kelompok adalah semua kekuatan anggota yang ada dalam kelompok. Sebuah kelompok yang kohesif ditandai oleh beberapa hal, yaitu memuaskan kebutuhan anggota untuk berafiliasi, mengenali kebutuhan anggota, mempromosikan kemampuan anggota, meningkatkan perasaan memiliki terhadap kelompok, anggota kelompok tertarik pada kelompok ketika anggota merasa partisipasinya dihargai dan merasa disukai, dan menjaga perasaan aman. Kelompok akan lebih kohesif jika dapat memberikan perasaan aman pada anggotanya. Schachter sebagaimana dikuti oleh Rivas dan Toseland (2001:79) mengatakan bahwa ketakutan dan keterasingan meningkatkan kebutuhan seseorang untuk berafiliasi.

Sosial kontrol adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses dimana sebuah kelompok sebagai sebuah satu kesatuan yang bertujuan memenuhi harapan-harapan dari para anggota untuk mampu meraih tujuan. Kontrol sosial terdiri dari beberapa faktor yang saling berinteraksi, termasuk norma yang berkembang dalam kelompok dan aturan serta status individu sebagai anggota kelompok. Tanpa ada keteraturan yang pasti, interaksi kelompok akan menjadi kacau dan tidak terprediksi, dan kelompok tidak akan berfungsi secara efektif. Keteraturan sosial dan stabilitas dan adalah prasyarat untuk pembentukan dan penjagaan sebuah kelompok yang kohesif. Kontrol sosial dapat digunakan untuk menjaga kelompok dari anggota kelompok yang menyimpang. Kontrol sosial yang terlalu ketat dapat


(1)

KASUS 3

Hasil wawancara dengan Bapak Jwn (55 tahun), anggota KSM Maju Lancar pada tanggal 28 Juli 2005:

Bapak dari tiga orang anak (satu orang sudah menikah) dan kakek dari satu orang cucu ini mempunyai usaha kredit segala macam peralatan ruma h tangga seperti piring, kompor, hingga peralatan elektronik seperti televisi, radio, majic jar dan sebagainya. Usahanya sudah dimulai sejak remaja, kurang lebih 35 tahun yang lalu. Ia harus bekerja sejak muda karena harus membantu ibunya yang menjanda sejak ia masih kecil (kelas empat SD) untuk menghidupi dan menyekolahkan ketiga orang adik perempuannya. Pak Juwen (begitu para tetangganya memanggil) hanya sekolah hingga SMP karena harus bekerja. Dari usahanya Pak Jwn bisa membantu ibunnya membesarkan ketiga adiknya bahkan ada yang menjadi sarjana. Disamping itu Pak Jwn harus merawat ibunya yang menderita sakit selama delapan tahun sebelum akhirnya meninggal dunia. Kini Pak Jwn tinggal membiayai kedua anaknya yang masih duduk dibangku SLTA dan kelas empat SD.

Usaha Pak Jwn mencapai puncaknya pada tahun 1980 dimana waktu itu ia bisa mampu mengkreditkan puluhan sepeda kepada nasabahnya, disamping barang-barang rumah tangga yang lain. Kini. Nasabahnya sudah semakin berkurang dengan hadirnya toko -toko dan pasar swalayan yang mulai banyak bermunculan hingga ke desa-desa. Namun demikian banyak pelanggannya yang masih bertahan, terutama mereka dari golongan ekonomi lemah, seperti para petani dan buruh yang menerima upah seminggu sekali. Dari usahanya tesebut, Pak Jwn bisa memperoleh keuntungan sekitar enam ratus ribu rupiah perbulan (setelah dikurangi angsuran BRI dan P2KP). Dua tahun yang lalu Pak Jwn terpaksa mengajukan kredit ke BRI sebesar lima belas juta rupiah karena modalnya habis untuk membuat rumah. Ia bisa mendapat kredit dengan jaminan rumah yang ditempatinya sekarang ini. Tiap bulannya ia harus mengangsur sembilan ratus ribu rupiah.

Untuk mencari nasabah, Pak Jwn berkeliling dari desa ke desa. Lima hari dalam seminggu pada sore hari ia menagih angsuran kepada nasabahnya, sekaligus menawarkan barang-barang yang diperlukan para nasabah. Angsuran ditagih tiap seminggu sekali sehabis gajian sehingga tidak memberatkan para nasabahnya. Dari usahanya tersebut Pak Jwn dapat memperoleh keuntungan yang lumayan, namun harus telaten dalam menagih angsuran. Sebagai contoh, sebuah magic jar yang dibelinya dengan harga seratus tujuh puluh lima ribu rupiah bisa laku dijual dengan harga tiga ratus ribu rupiah dengan angsuran sepuluh ribu rupiah tiap minggunya. Kendala yang dihadapi dalamusahanya adalah apabila ada nasabah yang belum lunas cicilannya tetapi kemudian pindah rumah dan tidak tahu alamatnya, meskipun kasus ini sangat jarang terjadi dan pernah terjadi satu sampai dua kali.

Penghasilan dari usaha kreditan tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari dan biaya sekolah anak-anaknya. Apalagi sekarang menantu dan anaknya yang sudah menikah masih tinggal bersamanya dan belum memiliki pekerjaan. Untuk


(2)

membuatkan minuman para petugas UPK. Seperti penuturannya berikut ini: “Kulo niki sampun kulino rekaos kawit alit, gawean nopo mawon kulo lakoni, ingkan baken halal. Kulo menawi dalu jogo malem wonten SMP 1 Pleret, lumayan gajinipun, kenging kanggeh ragat lare sekolah. Kulo ugi dados juru tagih wonten UPK, mlebetipun namung kaping tigo setunggal wulanipun” (Saya sudah terbiasa menderita sejak kecil, pekerjaan apa saja saya jalani, yang penting halal. Kalau malam saya jaga malam di SMP 1 Pleret, lumayan gajinya,bisa untuk membiayai anak sekolah. Saya juga menjadi juru tagih di UPK, masuknya hanya tiga kali dalam satu bulan)

Untuk menambah penghasilan, kini Pak Jwn juga menjalin kerjasama dengan penjual martabak dan roti bakar. Setiap hari ia menyetori minyak, terigu, mentega dan meises kepada para penjual tersebut dengan harga sama dengan yang di jual di toko. Meskipun sedikit keuntungannya, ia senang karena bayarnya secara tunai sehinga modal dapat segera kembali dan dibelanjakan dagangan kembali. Usaha ini sudah berjalan beberapa bulan dengan dibantu istrinya dalam mengkemas dagangan tersebut. Dagangan tersebut ia beli di sebuah agen dalam bentuk karungan, kemudian dibungkus dalam plastik dengan ukuran satu kilogram.

Pak Jwn sudah empat tahun bergabung dengan KSM Maju Lancar. Selama itu pula ia dapat memperoleh pinjaman modal dengan bunga lebih rendah dari bank dan tanpa agunan. Untuk pinjaman terakhir, ia memperoleh jatah 3,5 juta yang ia gunakan untuk modal usaha kreditnya. Selama ini ia selalu lancar dalam membayar angsuran. Ia berharap dapat memperoleh pinjaman yang lebih besar lagi sehingga tidak harus membayar ke BRI yang harus menggunakan jaminan dan bunganya lebih besar.

Usaha yang dijalaninya selama ini meski sudah berjalan puluhan tahun belum banyak mengalami kemajuan, bahkan semakin susah dalam mencari nasabah. Ini dikarenakan semakin banyaknya orang yang mempunyai usaha serupa dengan Pak Jwn dan semakin banyak toko-toko yang menjual peralatan rumah tangga dan harganya jauh lebih murah. Namun demikian Pak Jwn tetap merasa yakin usahanya akan berjalan lancar, karena sudah mempunyai langganan tetap.


(3)

KASUS 4

Hasil wawancara dengan Bu Wgn (38 tahun), anggota KSM Teratai pada tanggal 20 Juli 2005:

Ketika penulis datang ke rumahnya, Bu Waginem sedang menyiangi sayuran untuk persiapan masak besok yang akan dijual di pasar. Di rumahnya yang teramat sederhana tidak terdapat seperangkat meja kursi tamu, yang ada hanyalah satu buah meja dan dua buah kursi kayu yang sudah kusam warnanya. Di sudut ruangan terdapat tumpukan bahan-bahan sayuran yang akan di masak besok pagi seperti gori/nangka muda, kembang turi, bayam dan daun pepaya. Dengan ramah ia mempersilakan penulis duduk. Mula-mula ia nampak agak pendiam, namun ketika penulis mencoba bertanya segala hal tentang dirinya, ia menjawab dengan lancar.

Bu Wgn berjualan sayuran matang sudak sejak menikah, kira-kira dua puluh dua tahun yang lalu. Pertama-tama ia berjualan sayur di rumah pada pagi hari, tetapi kemudian ia berjualan di pasar karena pembelinya lebih bannyak. Para langganannya kebanyakan para pedagang sayur keliling yang kulakan sayur dalam bungkusan plastik kecil-kecil untuk di jual lagi. Macam dagangannya antara lain bakwan, tempe mendoan, gudangan, gudeg, dan sebagainya.

Jam tiga dini hari Bu Wgm sudah bangun dan mulai memasak dengan dibantu seorang tetangganya dengan upah lima ribu rupiah sekali masak. Jam tujuh pagi semua masakan sudah siap dan Bu Wgn berangkat ke pasar yang tidak jauh dari rumahnya dengan mengendarai sepeda yang sudah tua. Jam sebelas siang dagangan sudah habis, kemudian Bu Waginem berbelanja untuk masak esok paginya. Jam dua belas ia sudah sampai di rumah untuk kemudian tidur karena malamnya kurang tidur. Khusus bulan Puasa ia tidak berjualan di pasar, tetapi berjualan di rumah pada sore hari untuk melayani para tetangganya yang mempersiapkan buka puasa, sehingga penghasilannya pada bulan puasa menurun.

Untuk berjualan dalam satu hari, Bu Wgn memerlukan modal kira-kira enam puluh ribu rupiah dan bisa menjual dagangan dari delapan puluh ribu hingga seratus ribu rupiah, sehingga bisa memperoleh keuntungan kotor dua puluh hingga empat puluh ribu rupuah (dikurangi ongkor tenaga). Dengan keuntungan tersebut dapat digunakan untuk membiayai kehidupan sehari-hari dan membiayai pendidikan dua orang anaknya. Anak sulungnya sekarang kuliah di salah satu PTS di Yogyakarta semester empat. Sementara anak yang kedua sudah lulus STM yang berniat ingin bekerja. Sedang anak bungsu masih duduk di kelas dua SMP. Bu Waginem ingin anak-anaknya dapat menjadi orang pandai, tidak seper ti bapak ibunya yang hanya tamatan SD. Suami Bu Waginem bekerja sebagai tukang kebun di salah satu sekolah di Yogyakarta yang jaraknya cukup jauh. Dengan penghasilannya selama ini, ia sudah merasa cukup puas karena dapat menyekolahkan anak-anaknya, meski ia harus hidup prihatin.

BU Wgn sudah empat kali mendapat pinjaman dari P2KP yang jumlahnya hanya berkisar tiga ratus hingga tujuh ratus ribu rupiah. Namun jumlah tersebut sangatlah berarti baginya. Pinjaman tersebut ia gunakan untuk membeli


(4)

bahan-sedikit. Ia mengetahui pinjaman P2KP karena diberitahu petugas dari BKM yang datang pada pertemuan Dasa Wisma dan kemudian bergabung dalam kelompok Teratai.


(5)

KASUS 5

Hasil wawancara dengan Bp. Zn (58 tahun) bendahara KSM Maju Lancar pada tanggal 29 Juli 2005:

Ketika penulis datang pada sore hari ke rumahnya, Pak Zn baru saja bangun tidur setelah seharian bekerja sebagai sopir di sebuah dealer LPG di Yogyakarta. Rumahnya yang lantai dua, dibagian bawah digunakan untuk jualan LPG, Aqua dan Wartel yang ditunggui istri dan anak-anaknya. Pak Zaini memiliki delapan orang anak, yang tiga sudah menikah dan lima orang masih sekolah di bangku SMA dan SMP. Untuk menambah penghasilannya sebagai sopir, dengan dibantu istri dan anak-anaknya ia berjualan gas yang dimulai lima tahun yang lalu. Dalam sehari ia bisa menjual kurang lebih lima belas tabung LPG dan dua puluh galon Aqua. Keuntungan tiap tabung LPG sekitar empat ribu rupiah sementara untuk satu galon aqua mendapat untung delapan ratus rupiah. Bila untuk dijual lagi, keuntungan tersebut masih harus dibagi lagi dengan penyalurnya. Dari keuntungan tersebut ia dapat membiayai sekolah anak-anaknya hingga SLTA, bahkan ada yang sampai akademi.

Sedinten kulo saget bathi kirang langkung seket ewu. Sakjane sampun lumayan, namung kulo kedah nyisihaken kagem angsuran P2KP tigangatus ewu sewulanipun. Kulo ngampil tigang yuto kangge modal sadeyan gas meniko. Kulo sekeluargo kedah saget urip prihatin, amargi lare-lare taksih mbetahaken ragat kathah kangge sekolah” (Sehari saya dapat untung kira-kira lima puluh ribu. Sebenarnya sudah lumayan, tetapi saya harus menyisihkan untuk angsuran P2KP tiga ratus ribu per bulan. Saya pinjam tiga juta untuk modal jualan gas. Saya sekeluarga harus hidup prihatin, karena anak-anak masih membutuhkan biaya untuk sekolah).

Pak Zn yang tidak tamat SLTA ini pernah mencoba berbagai macam usaha dari jualan perabot rumah tangga, agen minyak tanah dan pemborong bangunan. Namun usahanya tersebut bangkrut karena ditipu orang, sehingga pernah membuat Pak Zaini putus asa selama beberapa tahun.

“Kulo nate mborong bangunan, truk kulo ngantos sekawan. Kulo diapusi kaliyan pemborong sanes ngantos kulo bangkrut, bondho kulo telas sedanten, kejawi omah ingkang kulo panggeni sakmeniko. Wekdal semanten kulo utang wonten BRI ngantos puluhan juta kangge modal mborong bangunan, nanging mboten saget ngangsur amargi bangkrut. Sakwise meniko kulo dados nglokro pinten-pinten tahun, mboten wantun usaha malih. Menawi mboten gadhah iman, kulo sampun edan riyin-riyin. Akhire kulo trimo nyopir wonten Restu Agung dugi sakmeniko. Kulo sadeyan gas mulai gangsal tahun kepengker sakwise ati kulo sampun mantun” (Saya pernah jadi pemborong bangunan, truk saya sampai empat. Saya ditipu oleh pemborong lain sampai saya bangkrut, harta saya habis semua, kecuali rumah yang saya tinggali sekarang. Waktu itu saya meminjam BRI hingga puluhan juta rupiah untuk modal memborong bangunan, tetapi nggak bisa mengangsur karena bangkrut. Setelah itu saya jadi putus asa beberapa tahun, nggak berani usaha lagi. Kalau nggak punya iman, saya sudah gila sejak dulu. Saya akhirnya jadi sopir di Restu Agung (agen LPG) hingga sekarang.


(6)

kepuasan konsumen dan selalu memeriksa berat LPG dan tidak mau mengurangi beratnya seperti sering dilakukan oleh para pengecer LPG yang lain. Permasalahan yang dihadapi Pak Zaini adalah masalah permodalan. Pinjaman dari P2KP sebenarnya sangat kurang untuk berjualan LPG. Selain itu, permintaan konsumen terhadap LPG semakin menurun seiring dengan kenaikan harga LPG. Sekarang ini banyak pemakai LPG yang kembali ke minyak tanah karena mahalnya harga LPG. Sebenarnya Pak Zaini juga ingin menjadi agen minyak tanah, tetapi tidak mempunyai modal yang mencapai puluhan juta rupiah.