Pemetaan Batimetri 3D Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Menggunakan Citra Worldview-2

PEMETAAN BATIMETRI 3D PERAIRAN PULAU
PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN
CITRA WORLDVIEW-2

BAGUS BASTIAN

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemetaan Batimetri 3D
Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Menggunakan Citra Worldview-2
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skipsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2013

Bagus Bastian
NIM C54080030

ABSTRAK
BAGUS BASTIAN. Pemetaan Batimetri 3D Perairan Pulau Panggang, Kepulauan
Seribu Menggunakan Citra Worldview-2. Dibimbing oleh VINCENTIUS P
SIREGAR.
Salah satu keunggulan memanfaatkan inderaja adalah untuk pemetaan
batimetri yang lebih efektif dan efisien dibanding metode lainnya. Batimetri juga
termasuk kedalam suatu sistem dinamis yang rentan akan perubahan, sehingga
teknologi inderaja merupakan solusi alternatif yang tepat secara cepat dan berkala
untuk merevisi peta batimetri yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan
batimetri perairan dangkal Pulau Panggang, Kepulauan Seribu menggunakan citra
Worldview-2 dengan mengaplikasikan algoritma Stumpf (2003) melalui
pemilihan dari 3 kombinasi kanal, Green/Yellow (G/Y), Green/Red (G/R) dan
Coastal Blue/NIR2 (CB/N2) dan menyajikannya dalam 3 dimensi (3D). Model

kombinasi kanal yang terpilih sebagai konverter kedalaman aktual diantaranya
model G/R dengan akurasi 73,6% untuk perairan dangkal dan G/Y dengan akurasi
69,1% dan 74,2% untuk perairan gobah. Tingkat akurasi peta batimetri hasil
estimasi mencapai 67%. Penggabungan data pemeruman dengan batimetri hasil
estimasi menciptakan gambaran 3 dimensi topografi perairan Pulau Panggang
yang lebih baik.
Kata kunci: algoritma Stumpf, batimetri, pemetaan, Worldview-2

ABSTRACT
BAGUS BASTIAN. 3D Bathymetric Mapping of Panggang Island Waters, Seribu
Islands Using Image of Worldview-2. Supervised by VINCENTIUS P SIREGAR.
One of the advantage to utilizing remote sensing is to map bathymetry that
more effective and efficient than the others method. Also bathymetry is included
into a dynamic system that vulnerable to changes, so that remote sensing
technology is the alternative solution which are quickly and periodically to revise
the existing bathymetry maps. This research aim is to map the shallow waters
bathymerty of Panggang Island, Seribu Islands using image of Worldview-2 by
applying Stumpf algorithm (2003) through the selection of the 3 bands
combination, Green/Yellow (G/Y), Green/Red (G/R) and Coastal Blue/NIR2
(CB/N2) and presenting it in three dimensions (3D). Band combination model was

chosen as the actual depth converter are G/R model with an accuracy of 73.6% for
the shallow waters, G/Y model with an accuracy of 69.1% and 74.2% for lagoon
areas. The result showed that the bathymetry map’s accuracy rate reached 67%.
Complementary the sounding data with bathymetry from the estimation creates a
better 3-D image topography of Panggang Island waters.
Keywords: bathymetry, mapping, Stumpf algorithm, Worldview-2

PEMETAAN BATIMETRI 3D PERAIRAN PULAU
PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN
CITRA WORLDVIEW-2

BAGUS BASTIAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan
pada
Departemen Ilmu Dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Pemetaan Batimetri 3D Perairan Pulau Panggang, Kepulauan
Seribu Menggunakan Citra Worldview-2
Nama
: Bagus Bastian
NIM
: C54080030

Disetujui oleh

Dr.Ir. Vincentius P. Siregar, DEA
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc

Ketua Departemen

Tanggal Lulus: 23 Mei 2013

PRAKATA
Puji dan rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam
penulisannya, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Dr.Ir. Vincentius P. Siregar, DEA selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan arahan dan bimbinganya selama penyelesaian penelitian.
2. Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc dan Dr. Henry Manik, Ph.D , selaku
Dosen Penguji Tamu dalam ujian skripsi ini.
3. Dr. Syamsul Bahri Agus, S.Pi, M.Si, Dr. Muh. Banda Selamat, MT., S.Pi
dan Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL (DISHIDROS TNI-AL) atas data
dan arahannya.
4. Ayah, Ibu, dan seluruh keluarga atas dukungannya baik secara moril
maupun materil selama penyusunan skripsi ini.
5. Iqoh Faiqoh, terima kasih atas dukungan dan semangat yang telah
diberikan.

6. Keluarga besar ITK 45 atas persahabatan dan suka duka yang telah
terbangun selama ini.
Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan, namun demikian
penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna bagi diri sendiri maupun pembaca
dapat dikembangkan melalui penelitian selanjutnya.

Bogor, Mei 2013

Bagus Bastian

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

METODE

3

Bahan dan Alat

3

Pengumpulan dan Pengolahan Data Lapang


3

Pengolahan Citra

5

Peta Batimetri dan Peta Topografi 3D

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemilihan Model Kedalaman Relatif

9
9

Pemilihan Model Kedalaman Relatif Berdasarkan Pemisahan Albedo

11


Peta Batimetri

16

Batimetri 3 Dimensi (3D)

18

SIMPULAN DAN SARAN

20

Simpulan

20

Saran

20


DAFTAR PUSTAKA

21

LAMPIRAN

23

RIWAYAT HIDUP

36

DAFTAR GAMBAR
1 Lokasi Penelitian Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI
Jakarta
2 Koreksi pasang surut
3 Diagram alir pengolahan data batimetri dengan citra satelit Worldview-2
4 Pembagian kelas berdasarkan nilai - nilai puncak histogram data
(Dianovita (2011))

5 Model kedalaman relatif hasil estimasi rasio kanal (a) Green/Yellow, (b)
Green/Red dan (c) Coastal Blue/NIR 2
6 Penampakan (a) Kanal Merah (630 - 690 nm) dan (b) Kanal Hijau (510
– 580 nm) citra WV-2 pada perairan Pulau Panggang
7 Model kedalaman relatif hasil estimasi pada daerah kajian 1 dengan
rasio kanal (a) Green/Yellow, (b) Green/Red dan (c) Coastal Blue/NIR2
8 Model kedalaman relatif hasil estimasi pada daerah kajian 2 dengan
rasio kanal (a) Green/Yellow, (b) Green/Red dan (c) Coastal Blue/NIR2
9 Model kedalaman relatif hasil estimasi pada daerah kajian 3 dengan
rasio kanal (a) Green/Yellow, (b) Green/Red dan (c) Coastal Blue/NIR 2
10 Peta kedalaman aktual perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu hasil
estimasi algoritma Stumpf
11 Tampilan 3D perairan Pulau Panggang hasil estimasi algoritma Stumpf
12 Tampilan 3D perairan Pulau Panggang kombinasi data pemeruman dan
estimasi algoritma Stumpf

3
4
8
9
10
12
13
14
16
17
19
20

DAFTAR LAMPIRAN
1 Metadata citra Worldview-2 yang diakuisisi pada tanggal 19 Oktober
2011.
2 Perbandingan kanal untuk estimasi batimetri
3 Uji akurasi kedalaman aktual dengan kedalaman pemeruman
4 Uji akurasi kedalaman aktual dengan kedalaman pemeruman daerah
kajian laut dalam
5 Klasifikasi kelas kedalaman berdasarkan metode Natural Breaks
6 Contoh data nilai kedalaman in situ dan kedalaman aktual hasil konversi
algoritma Stumpf, beserta nilai biasnya

24
29
30
31
32
33

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Batimetri adalah ukuran kedalaman dari permukaan lautan hingga dasar
perairan. Informasi tentang batimetri sangat dibutuhkan karena sekitar 71%
permukaan di bumi ditutupi oleh perairan, seperti samudra, laut, sungai dan
berbagai tubuh air lainnya (Alsubaie, 2012). Batimetri juga termasuk kedalaman
suatu sistem yang dinamis, terutama daerah pesisir, dimana daerah ini setiap saat
mengalami perubahan sehingga informasi akan batimetri harus diketahui dan
secara cepat mampu diperbaharui.
Informasi tentang batimetri suatu perairan memberikan banyak manfaat baik
secara langsung maupun tidak langsung, apalagi dihadapkan pada kondisi perairan
Indonesia yang luas dengan banyaknya pulau – pulau kecil. Manfaat tersebut
diantaranya untuk kepentingan militer, navigasi serta perencanaan dan manajemen
pesisir. Kegiatan manusia yang hidup di pesisir seperti berenang, memancing,
bahkan berbagai kegiatan teknisi bawah laut seperti penanaman pipa bawah laut,
kabel, dan pengeboran minyak erat sekali kaitannya dengan informasi batimetri.
Selain itu juga, batimetri zona intertidal diperlukan untuk studi morfologi dasar
laut, lingkungan, pengelolaan sumberdaya pesisir dan permodelan oseanografi
(Siregar dan Selamat, 2010).
Teknologi pemetaan batimetri belakangan ini mengalamai perkembangan
yang pesat mengingat kebutuhan yang semakin meningkat, baik dari sisi piranti
penduga kedalaman hingga metode yang dikembangkan. Pemanfaatan
penginderaan jarak jauh satelit atau yang biasa dikenal dengan Inderaja adalah
salah satu dari cara pemetaan batimetri yang sedang berkembang pesat saat ini.
Pemetaan dengan inderaja lebih banyak digunakan karena cara ini mampu
menghemat biaya serta efektif dan efisien dalam pemetaan batimetri. Selain
keunggulan – keunggulan yang mampu diberikan Inderaja, metode ini memiliki
keunggulan lainnya seperti mampu mengkaji satu cakupan daerah yang luas dan
mampu mendeteksi daerah yang sulit dijangkau sekalipun. Parthish et al., (2011)
menambahkan, pemetaan jenis ini memiliki keuntungan lain dibanding dengan
sistem pemetan yang biasa digunakan, yaitu hasil berupa data digital yang bisa
diakses pengguna kapanpun. Teknologi ini juga mampu untuk mendapatkan
informasi secara sinoptik tentang fenomena yang terjadi di lautan yang dinamis,
serta mempunyai kemampuan memberikan informasi secara kontinu karena
wahana satelit telah diprogram untuk melintasi daerah yang sama dalam waktu
tertentu (Wahyuningrum, 2007).
Pendugaan batimetri menggunakan wahana satelit bukan menjadi sesuatu
yang baru dalam dunia kelautan. Berbagai penelitian telah dilakukan dengan
tujuan untuk mengembangkan suatu metode pendugaan kedalaman menggunakan
pendekatan algoritma agar mendekati kedalaman aslinya, seperti yang telah
dilakukan Lyzenga (1978), Benny dan Dawson (1983), Jupp (1988). Disamping
itu, pemetaan batimetri selain dipengaruhi oleh metode pendugaan juga
dipengaruhi oleh citra wahana satelit yang dipakai, karena setiap wahana memiliki
kedetailan yang berbeda dari resolusi piksel maupun kekuatan sensor dalam
pendeteksian. Adapun citra wahana satelit yang telah digunakan dalam pendugaan

2
seperti satelit SPOT, Formosat, Landsat, Ikonos, Quickbird dan yang terbaru
adalah Worldview-2.
Penggunaan metode Stumpf et al., (2003) masih jarang digunakan oleh para
peneliti di Indonesia. Hal tersebut adalah yang melatarbelakangi penggunaan
metode Stumpf pada penelitian ini. Stumpf et al., (2003) mengembangkan sebuah
model rasio yang membandingkan 2 buah faktor reflektansi air. Stumpf
beramsumsi dengan menggunakan perbandingan 2 kanal akan mengurangi efek
albedo perairan yang selama ini menjadi masalah dalam pemetaan batimetri
ataupun habitat perairan. Penelitian Madden (2011) yang menggunakan algoritma
Stumpf dengan perbandingan Green/Yellow dan Green/Red pada Teluk Tampa,
Meksiko berhasil menyimpulkan bahwa perbandingan di atas merupakan
perbandingan kanal yang paling mendekati data kedalaman aktual hasil ground
check, Madden juga menemukan perbandingan Green/Yellow lebih mendekati
data kedalaman pengukuran lapang pada subsrat yang gelap, sedangkan
perbandingan Green/Red ratio lebih mendekati ground check pada subsrat yang
terang (contoh: pasir). Densham (2005) juga menyebutkan kanal Green dan
Yellow adalah kanal yang paling berguna untuk menentukan batimetri perairan
dangkal antara 2.5 hingga 20 m. Densham juga berhasil menunjukkan manfaat
dari kanal Green dan Red dalam peningkatan akurasi pada perairan keruh.
Parthish et al. (2009) yang melakukan penelitian menggunakan kanal
Coastal Blue yang disandingkan dengan kanal NIR 2 menghasilkan nilai kualitas
R2 sebesar 0.909 sebagai model pilihan dalam menentukan kedalaman relatif.
Coastal Blue adalah kanal baru dari Worldview-2 dengan panjang gelombang
terendah (400 – 450 nm) dari 7 kanal lainnya, merupakan kanal yang
diperuntukkan untuk mengestimasi kedalaman karena panjang gelombang yang
rendah sangat sedikit diserap air, sehingga penetrasi lebih maksimal. Kelemahan
kanal ini sangat dipengaruhi atmosfir (DigitalGlobe, 2009).
Pada penelitian ini dilakukan pemetaan batimetri menggunakan algoritma
Stumpf (2003) menggunakan rasio kanal yang digunakan Madden (2011) dan
Parthish (2009) dan akan diterapan pada citra satelit Worldview-2 di daerah
perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Peta batimetri 2 Dimensi
ditransformasikan ke bentuk 3 Dimensi. Visualisasi informasi batimetri ke bentuk
3 Dimensi bertujuan untuk lebih memahami bentuk topografi perairan daerah
yang sedang dikaji.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan citra Worldview-2
untuk memetakan batimetri perairan dangkal Pulau Panggang, Kepulauan Seribu
dan menyajikannya dalam 3 Dimensi (3D) dengan mengaplikasikan kombinasi
kanal algoritma Stumpf (2003).

3

METODE
Penelitian ini terbagi dalam beberapa tahapan, diantaranya tahap
pengumpulan data (citra satelit, data pemeruman dan data pasang surut) yang
dilaksanakan pada Februari 2012 hingga April 2012, tahap pengolahan citra yang
dilakukan pada April 2012 hingga Agustus 2012 dan tahap penyelesaian
(pembuatan peta) yang dilaksanakan pada September 2012 hingga Desember
2012. Lokasi yang dipilih untuk studi kasus adalah Pulau Panggang, Kepulauan
Seribu, DKI Jakarta. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Lokasi Penelitian Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI
Jakarta
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu Citra WV-2 dengan tanggal
akuisisi pada 19 Oktober 2011 (5° 44’ 11,24” LS - 106º 35’ 10,08” BT hingga 5°
44’ 56,53” LS - 106º 36’ 28,14” BT) dan telah terkoreksi geometrik maupun
radiometrik. Data pemeruman batimetri menggukan GPS Sounder dengan tanggal
6 Februari dan 9 – 11 Maret 2012 di perairan Pulau Panggang. Data pasang surut
Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL (DISHIDROS TNI-AL) perairan Kepulauan
Seribu bulan Oktober 2011 dan bulan Februari 2012.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari seperangkat personal
komputer yang dilengkapi perangkat lunak ENVI 5.0, ArcGIS 9.3, dan Microsoft
Excel.
Pengumpulan dan Pengolahan Data Lapang
Data Kedalaman
Pada pengukuran data kedalaman pemeruman (sounding) menggunakan
GPS Sounder dapat terjadi kesalahan yang menyangkut presisi dan akurasinya.

4
Presisi mengacu pada keakuratan dari ulangan pembacaan piranti pemeruman,
sedangkan akurasi merupakan kedekatan data dengan kedalaman sebenarnya.
Memperhatikan pernyataan di atas, tidak semua data hasil pemeruman memiliki
akurasi yang terjamin, sehingga penyeleksian data pemeruman dilakukan.
Berdasarkan kedua pertimbangan di atas terdapat 103 titik kedalaman terseleksi
(Gambar 1).
Koreksi Pasang Surut
Pengambilan data lapang dan waktu perekaman citra terjadi pada dua waktu
yang berbeda, sehingga kedalaman perairan Pulau Panggang pada saat survei
lapang (Ap) dengan saat perekaman citra (As) juga berbeda. Ini disebabkan karena
perairan selalu berada pada kondisi tinggi muka laut yang dinamis, sehingga
perubahan kedalaman dari waktu ke waktu terjadi. Dengan itu diperlukan suatu
teknik kalibrasi data kedalaman terhadap pasang surut suatu daerah. Data pasang
surut tahun 2011 digunakan untuk mengkalibrasi kedalaman hasil estimasi
algoritma Stumpf pada citra Worldview-2 dengan akuisisi 19 Oktober 2011
sedangkan data pasang surut tahun 2012 digunakan untuk mengkalibrasi
kedalaman hasil pemeruman yang dilakukan pada tahun 2012.
Koreksi pasang surut dilakukan dengan menghitung perbedaan elevasi muka
air saat satelit melintas dengan muka air pada survei lapang, dengan persamaan di
bawah ini :
K = As – Ap
dimana : K
As
Ap

………………………………………………………………. (1)
= Nilai Koreksi
= Elevasi muka air saat satelit lewat
= Elevasi muka air saat pemeruman (survei lapang)

elevasi muika air (m)

1.2
1.0
0.8

K
0.6
As
0.4

Ap

0.2
0.0
1

3

5

7

9 11 13 15 17 19 21 23

waktu setempat
Gambar 2 Koreksi pasang surut
Setelah dilakukan perhitungan, nilai koreksi yang didapat direduksikan
dengan setiap data kedalaman hasil pemeruman. Hasil koreksi ini sudah siap
sebagai pembanding dengan data hasil dugaan satelit.

5
Pengolahan Citra
Estimasi Kedalaman Perairan Dengan Metode Perbandingan Kanal
Pengolahan atau pemprosesan citra dibagi kedalam beberapa tahap, yaitu
tahap awal (pemulihan citra) dan tahap lanjutan. Citra Worldview-2 telah
terkoreksi baik geometrik maupun radiometrik, sehingga tidak perlu dilakukan
koreksi atau pemulihan lagi (Lampiran 1). Tahap lanjutan yaitu tahap konversi
dan ekstraksi nilai Digital Number (DN) citra untuk menghitung kedalaman suatu
perairan. Adapun semua perbandingan kanal yang mungkin dipakai pada satelit
Worldview-2 dalam menduga kedalaman menurut Legleiter et al., (2009) yang
diacu dalam Luce et al., (2009) ditampilkan pada Lampiran 2. Perbandingan
kanal yang digunakan dalam penelitian ini adalah Green/Yellow, Coastal
Blue/NIR 2 dan Green/Red.
Dengan memanfaatkan panjang gelombang yang telah mengalami atenuasi
di kolom air, Stumpf membuat suatu formula penduga kedalaman dengan dua
reflektansi panjang gelombang sebagai berikut:
……………………...………………

dimana : Z
m1
Rw(
n
m0

(2)

( )

= Kedalaman
= Koefisien kalibrasi
) = Reflektansi perpanjang gelombang yang meninggalkan air
= Konstanta untuk menjaga rasio tetap positif
= Koreksi kedalaman nol (0)

Pengolahan citra Worldview-2 menggunakan pendekatan Stumpf et al.
(2003) yang telah dimodifikasi oleh Madden (2011) dengan langkah – langkah
sebagai berikut:
1. Masking citra.
Masking yang paling efektif untuk memisahkan antara badan air dengan
vegetasi adalah dengan melibatkan kanal dengan panjang gelombang terbesar.
Pada Worldview-2 kanal dengan panjang gelombang paling besar adalah NIR 2
(860 – 1040 nm), dikarenakan kanal ini memiliki nilai radiansi yang lebih besar
pada daratan daripada nilai radiansi pada air (DigitalGlobe, 2009).
2. Konversi Nilai Digital ke Top of the Atmosphere Radiance (TOA).
Nilai digital (DN) dikalkulasi agar menghasilkan nilai TOA radiansi
menggunakan persamaan dibawah:
………………………………...……….
dimana : L
KBand

= Nilai TOA Radiance (W-m-2-sr-1-µm-1)
= Faktor kalibrasi dari setiap kanal

(3)

6
qPixel ,Band
Band

= Nilai Digital (DN) masing – masing kanal
= Lebar kanal

Faktor kalibrasi dari setiap kanal dan lebar kanal tersedia di dalam metadata
citra (Lampiran 1).
3. Koreksi terhadap Hamburan Rayleigh dan Aerosol.
Aerosol adalah partikel – partikel halus yang tersebar di atmosfer dalam
berbagai ukuran (0.001 – 1,000 mm). Keberadaan partikel – partikel halus ini di
udara dapat menjadi penghalang radiasi matahari mengingat bahwa sifat dari
partikel ini dapat menghamburkan dan menyerap energi yang dilepaskan
matahari. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi nilai yang terkandung dalam citra
hasil pemindaian satelit.
Pembersihan terhadap Aerosol Radiance (La) telah dikembangkan dan
disempurnakan oleh Naval Postgraduate School (NPS) Aerosol Retrival Model
melalui suatu metode yang diberi nama “Dark Pixel Substraction Method”
(Durkee et al., 2000 yang diacu dalam Madden 2011). Dengan memanfaatkan
kanal NIR 1 dan kanal merah dari WV-2 pada piksel yang gelap dilakukan
ekstraksi radiansi akibat interaksi dengan partikel aerosol (Madden, 2011).
Persamaan untuk menghitung Aerosol Radiance ada 3 jenis sesuai tingkatan
hamburan:
- Hamburan minimal aerosol radiance:
La 7.66/ – 7.54
................................................................................
- Rata – rata hamburan aerosol radiance:
La 9.17/ – 9.01
................................................................................
- Hamburan maksimal aerosol radiance:
La 9.85/ – 9.32
................................................................................

(4)
(5)
(6)

Selain aerosol, hamburan Rayleigh (Lr) juga berpengaruh terhadap radiasi
yang dipancarkan oleh matahari. Hamburan jenis ini terjadi ketika panjang
gelombang radiasi lebih besar dibandingkan ukuran partikel penghambur. Efek
Rayleigh sangat berpengaruh terhadap panjang gelombang pendek, oleh karena itu
hamburan Rayleigh harus dibersihkan dari citra karena pada penelitian ini
menggunakan gelombang yang relatif pendek. Adapun persamaan untuk
menghitung hamburan Rayleigh yang telah dikembangkan oleh NPS Model
sebagai berikut:
Lr

16.00/ – 17.60

................................................................................

(7)

Setelah membersihkan citra dari aerosol dan efek Rayleigh, water leaving
radiance (Lw) dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Lw = TOA - Lr - Lw

......................................................................................................................

(8)

4. Mengubah Radiance ke Water Leaving Reflectance
Konversi nilai radiansi ke reflektansi melibatkan nilai/besaran irradiance.
Tingkat energi matahari akan berbeda berdasarkan waktu penyinarannya, lokasi

7
belahan bumi, musim, dan lain – lain. Faktor – faktor di atas merupakan faktor
yang mempengaruhi radiansi dari sinar matahari. Persamaan yang dapat
digunakan untuk menghitung water leaving reflectance (Rw) adalah sebagai
berikut:
2

…………………………...…………….

(9)

= Rata – rata reflektansi kanal
= TOA Radiance setiap kanal
= Jarak antara bumi dan matahari pada waktu mendapatkan
citra
= Solar irradiance
= Sudut puncak matahari (Zenith Angle)

dimana :
L
dES2
Esun
s

Informasi tentang parameter – parameter diatas dapat diperoleh dari
metadata citra satelit (Lampiran 1).
5. Menghitung Kedalaman Relatif (Relative Bahtymetry).
Perhitungan kedalaman relatif menggunakan panjang gelombang yang lebih
pendek dari water leaving reflectance Rw
sebagai pembilang dan panjang
gelombang yang lebih panjang Rw
sebagai penyebut dengan persaman di
bawah ini:

( )

…………………………...…………………..

(10)

6. Menghitung Kedalaman Aktual (Absolute Bathymetry).
Kedalaman relatif yang didapat disesuaikan menggunakan regresi linier
dengan data lapang (ground truth/ground check). Hasil dari setiap regresi
digunakan untuk menentukan koefisien m1 dan konstanta m0 pada Persamaan 2
dari setiap perbandingan kanal.

8

Gambar 3 Diagram alir pengolahan data batimetri dengan citra satelit Worldview-2
Peta Batimetri dan Peta Topografi 3D
Kedalaman aktual hasil perhitungan algoritma Stumpf diinterpolasi guna
menghasilkan kedalaman perairan secara menyeluruh pada perairan Pulau
Panggang. Inverse Distance Weighted atau biasa dikenal dengan IDW adalah
interpolator yang menggunakan pembobotan titik dalam interpolasi sedemikian
rupa sehingga pengaruh suatu titik ke titik lainnya berkurang seiring
bertambahnya jarak (Siregar dan Selamat, 2009). Interpolator IDW dipilih sebagai
metode interpolasi pada penelitian ini karena interpolasi jenis ini memiliki
ketegasan pada setiap titik datanya, dan tidak akan menghasilkan nilai interpolasi
diluar nilai maksimum yang dimiliki data.

9
Penentuan kelas kedalaman didasarkan pada metode ”N
k ” pada
ArcGIS. Metode ini mengaplikasikan algoritma pembagian alami Jenks seperti
yang dijelaskan di Jenks dan Caspall (1971). “N
k ” membagi kelas
berdasarkan nilai - nilai puncak histogram datanya (Gambar 4). Metode ini
bekerja dengan mengurangi varian dalam kelas dan memaksimalkan varian antara
kelas, dimaksudkan disini adalah data yang memiliki kemiripan akan
dikelompokkan kedalam satu kelas, sedangkan data dengan kemiripan yang jauh
akan dipisahkan kedalam kelompok yang berbeda. Pemilihan jumlah kelas
mungkin memiliki pengaruh dalam klasifikasi (ESRI, 2012).

Gambar 4

Pembagian kelas berdasarkan nilai - nilai puncak histogram data
(Dianovita, 2011))

Hasil interpolasi menghasilkan batimetri Pulau Panggang dalam raster (2D).
ArcScene adalah suatu tools dari ArcGIS yang khusus dalam visualisasi 3 dimensi
(3D). Dengan ArcScene, batimetri dalam bentuk raster 2 dimensi dapat
dibangkitkan kedalam tampilan 3 dimensi.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemilihan Model Kedalaman Relatif
Pemilihan model kedalaman terbaik akan menghasilkan peta batimetri
dengan akurasi yang baik pula. Pemilihan model didasarkan pada koefisien
determinasi (R²) yang dihasilkan dari regresi model itu sendiri. Persamaan regresi
model terbaik akan digunakan keseluruh liputan citra untuk menghasilkan peta
batimetri. Tiga jenis rasio kanal diujikan dan hasil yang didapat sangat variatif
antar masing – masing kanal yang dicobakan dalam penelitian ini.
Regresi model kedalaman menggunakan rasio Green/Yellow (G/Y) yang
mengkorelasikan kedalaman relatif dan kedalaman pemeruman menghasilkan R2
bernilai 0,13 (Gambar 5a). Sedangkan koefisien determinasi (R²) yang dihasilkan
rasio Green/Red berniali sebesar 0,04
(Gambar 5b). Pada Gambar 5c
menunjukkan perbandingan model rasio Coastal Blue/NIR 2 (CB/N2). Model ini
adalah model yang memiliki nilai R² yang paling besar, yaitu 0,754. Menurut
Walpole (1997), nilai koefisien determinasi akan lebih baik bila nilai tersebut

10

Kedalaman Pemeruman

semakin mendekati 1, yaitu sekitar 100% nilai variabel dependen dapat diwakili
atau dijelaskan oleh variabel independen.
14
12
10
8
6
4
2
0

y = 93.296x - 93.563
R² = 0.1305

Rasio G/Y

1

1.02

1.04
1.06
1.08
Kedalaman Relatif

1.1

Kedalaman Pemeruman

(a)
14
12
10
8
6
4
2
0
1.02

y = -18.502x + 25.022
R² = 0.0047

1.04

1.06
1.08
Kedalaman Relatif

1.1

Rasio G/R

1.12

(b)
Kedalaman Pemeruman

15

y = -68.352x + 81.64
R² = 0.7548

10

Rasio CB/N2
5
0
1
-5

1.05

1.1

1.15

1.2

1.25

Kedalaman Relatif

(c)
Gambar 5 Model kedalaman relatif hasil estimasi rasio kanal (a) Green/Yellow,
(b) Green/Red dan (c) Coastal Blue/NIR 2
Persamaan regresi model terbaik diterapkan pada kedalaman relatif untuk
dirubah ke kedalaman aktual dan selanjutnya dibandingkan dengan data
pemeruman. Kedalaman aktual yang dihasilkan model CB/N2 berkisar 0 hingga
10 m (kedalaman negatif tidak dihitung). Dalam kasus ini, rasio CB/N2 dinilai
tidak bisa dipilih sebagai model pilihan karena ini tidak dapat untuk mendeteksi

11
kedalaman 6 – 8 m (Lampiran 3c), walaupun terdapat kedalaman pemeruman
pada 6 – 8 m sebagai pembanding.
Hasil yang digambarkan rasio G/Y dan G/R tidak memuaskan mengingat
dari koefisien determinasi yang dihasilkan bernilai kecil serta model CB/N2 yang
menghasilkan nilai kedalaman aktual yang tidak sesuai pada sebagian tingkatan
kedalaman. Fakta ini menunjukkan bahwa mungkin disebabkan kondisi optik
pada badan air berbeda – beda. Menurut Siregar dan Selamat (2010), saat
karakteristik optik berbeda dalam satu liputan citra, algoritma penduga kedalaman
tidak dapat diterapkan secara keseluruhan areal. Oleh karena itu, ketiga
perbandingan rasio ini masih perlu diuji lebih lanjut untuk pembuatan peta
batimetri.
Berbeda dengan kajian yang dilakukan oleh Madden yang memanfaatkan
kombinasi kanal Green/Yellow dan Green/Red untuk menduga kedalaman
perairan dari wahana dan metode yang sama dengan penelitian ini. Hal ini
disebabkan bahwa kualitas serta geomorfologi perairan yang berbeda jauh adalah
penyebab dari kecilnya tingkat keakurasian yang dihasilkan.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu teknik pengolahan citra tambahan yang
diharapkan dapat meningkatkan akurasi model pendugaan. Siregar dan Selamat
(2010) juga menyatakan, jika koefisien determinasi rendah maka algoritma yang
diterapkan atau asusmsi homogenitas kualitas perairan tidak terpenuhi, sehingga
diperlukan pengolahan secara terpisah. Pemisahan didasarkan pada tingkatan
albedo dasar perairan sebelum pengolahan citra lebih lanjut dilakukan.

Pemilihan Model Kedalaman Relatif Berdasarkan Pemisahan Albedo
Pada penelitian – penelitian sebelumnya, teknik pemisahan citra sudah
banyak dilakukan, seperti yang diterapkan oleh Mumby et al. (1998) dan
Andrefouet (2003) dalam mengklasifikasikan dan memetakan terumbu karang.
Begitu juga halnya yang dilakukan Siregar dan Selamat (2010) dalam mengkaji
konsistensi algoritma Jupp untuk memetakan batimetri gobah, teknik pemisahan
gobah dilakukan karena asumsi homogenitas tidak terpenuhi. Pada penelitian ini,
pengklasifikasian citra dilakukan berdasarkan tingkatan albedo.
Albedo merupakan tingkatan reflektansi dasar perairan yang bisa dibedakan
melalui warna perairan yang tampak pada citra. Menurut Wahyuningrum (2007)
warna laut mengindikasikan adanya konsentrasi dan komposisi unsur utama
penyusun air laut dan ciri optiknya. Ada 2 faktor yang mempengaruhi nilai
pantulan suatu piksel citra yaitu absorpsi (penyerapan) dan scaterring (hamburan)
dari gelombang eletromagnetik yang terpancar. Kedua faktor ini bervariasi di
setiap tipe subsrat, kualitas air dan tingkatan kedalaman.
Total Suspended Solid (TSS) adalah kandungan penyusun optik perairan
yang sering berperan terhadap absorpsi cahaya. Sedangkan dalam kasus hamburan
cahaya, jenis subsrat memiliki peranan penting. Semakin halus suatu permukaan
semakin sedikit cahaya yang direfleksikan tepat ke sensor satelit (pantulan
spekular), begitu pula sebaliknya semakin kasar permukaan, cahaya yang
dipantulkan ke sensor semakin banyak (pantulan difus). Kedua faktor utama diatas
akan menciptakan tingkatan albedo yang berbeda – beda pada satu liputan citra.

12
Setiap sensor secara spesifik difokuskan pada kisaran spektrum
elektromagnetik tertentu yang sensitif terhadap fitur tertentu pada permukaan
bumi, atau pada kandungan atmosfer (DigitalGlobe, 2009). Pernyataan diatas
adalah dasar dalam pemisahan albedo pada citra. Cahaya dengan panjang yang
lebih pendek berpenetrasi baik terhadap kedalaman perairan (gelombang biru)
karena atenuasi pada gelombang jenis ini kecil, sedangkan cahaya dengan panjang
gelombang lebih panjang (gelombang inframerah dekat) akan dengan cepat
diserap oleh komponen optik perairan, sehingga buruk penetrasinya ke dalam air.
Tidak semua panjang gelombang akan teratenuasi dengan tingkatan yang sama
(Jupp, 1988).
Perhitungan terhadap koefisien atenuasi perairan Pulau Panggang dilakukan
secara terpisah dengan pengolahan citra menggunakan algoritma Lyzenga.
Koefisien ini diperoleh dengan membangkitkan 30 Training Area (TA) di
sepanjang perairan Pulau Panggang, Pulau Karya hingga perairan Pulau Pramuka
dan diperoleh nilai ki/kj sebesar 0,483. Nilai koefisien atenuasi ini diasumsikan
berlaku untuk satu liputan citra karena TA yang dibangkitkan tersebar di perairan
liputan citra.
Kanal 5 (merah) pada WV-2 menampakkan perairan dangkal lebih jelas
dibanding perairan gobah dan perairan dalam Pulau Panggang (Gambar 4a). Oleh
karena itu, kanal merah digunakan sebagai acuan dalam memisahkan perairan
dangkal (daerah kajian 1) untuk pengolahan lebih lanjut. Gambar 4b menunjukkan
tampilan kanal 3 (hijau) yang mampu menampakkan dengan jelas perbedaan
albedo pada gobah Pulau Panggang. Dengan kanal ini, gobah dapat dibagi
kedalam dua daerah berdasarkan tingkatan albedo, yaitu daerah kajian 2 (Shallow
Lagoon) dan daerah kajian 3 (Deep Lagoon). Selanjutnya, daerah kajian yang
telah terpisah – pisah diberlakukan proses pengolahan citra dan diuji akurasinya
dengan data pemeruman.

(a)

(b)

Gambar 6 Penampakan (a) Kanal Merah (630 - 690 nm) dan (b) Kanal Hijau (510
– 580 nm) citra WV-2 pada perairan Pulau Panggang
Model Daerah Kajian 1 (Perairan Dangkal)
Penelitian yang dilakukan Agus (2012) tentang klasifikasi habitat perairan
Pulau Panggang, daerah kajian 1 meliputi daerah perairan dangkal yang ditutupi
oleh pasir, lamun dan ruble. Pasir sebagai subsrat yang mendominasi di daerah ini
memantulkan cahaya paling kuat, ditandai dengan tingkat keabuan tinggi. Suatu
piksel yang memiliki tingkat keabuan terang, nilai digitalnya (DN) semakin besar.

13

Kedalaman
Pemeruman

Begitu sebaliknya, semakin mendekati tingkat keabuannya gelap, DN akan
semakin kecil.
Pada Gambar 7a memperlihatkan perbandingan kedalaman relatif rasio G/Y
dengan kedalaman pemeruman. Koefisien determinasi (R²) yang dihasilkan 0,537.
Hasil yang lebih baik ditunjukkan perbandingan rasio G/R pada daerah kajian 1
(Gambar 7b), yaitu sebesar 0,736. Sedangkan koefisien determinasi perbandingan
rasio CB/N2 bernilai sangat kecil, yaitu 0,022 (Gambar 7c).
2.5
2
1.5
1
0.5
0

y = 21.735x - 21.727
R² = 0.5374

Rasio G/Y

1

1.02
1.04
1.06
Kedalaman Relatif

1.08

Kedalaman
Pemeruman

(a)
2.5
y = 23.402x - 23.895
2
R² = 0.7368
1.5
1
0.5
0
1.02
1.04
1.06
1.08
Kedalaman Relatif

Rasio G/R

1.1

Kedalaman
Pemeruman

(b)
2.5
2
1.5
1
0.5
0

y = 1.9732x - 1.3176
R² = 0.0221

Rasio CB/N2

1.1

1.15
1.2
Kedalaman Relatif

1.25

(c)
Gambar 7 Model kedalaman relatif hasil estimasi pada daerah kajian 1 dengan
rasio kanal (a) Green/Yellow, (b) Green/Red dan (c) Coastal
Blue/NIR2
Madden (2011), bahwa profil batimetri dengan rasio G/R dan G/Y sangat
baik pada pasir yang teduh (profil subsrat pasir yang mengalami degradasi warna
akibat terkena bayangan awan, pohon dan lain – lain) dan terang sekalipun,
namun rasio G/R yang paling mendekati ground check pada subsrat yang terang.
Hal ini disebabkan reflektansi kanal Red lebih tinggi pada subsrat pasir, bahkan
melebihi reflektansi kanal Blue dan Yellow, kombinasinya dengan kanal Green

14
menciptakan korelasi yang baik pada segmen ini (Madden, 2011). Sehingga, rasio
G/R dipilih untuk digunakan sebagai penduga kedalaman aktual pada daerah
kajian 1.
Model Daerah Kajian 2 (Shallow Lagoon)
Daerah kajian 2 adalah daerah yang ditutupi habitat karang ruble, pasir
lamun dan pasir (Agus, 2012). Daerah ini memiliki reflektansi lebih rendah
dibanding daerah kajian 1, diduga karena kedalaman perairan yang bertambah
dalam (> 2 m), menyebabkan terjadi pengurangan intensitas sinar tampak yang
melewati kolom perairan.
Uji akurasi model G/Y menghasilkan nilai R2 sebesar 0,691 (Gambar 8a).
Berbeda dengan model rasio G/Y, rasio G/R memiliki koefisien determinasi
sebesar 0,244 (Gambar 8b) dan nilai koefisien hasil konversi kanal CB/N2 sebesar
0,015 (Gambar 8c) yang lebih kecil.
Kedalaman
Pemeruman

6
4

Rasio G/Y
y = 79.936x - 81.963
R² = 0.6919

2
0
1.05

1.06

1.07
1.08
1.09
Kedalaman Relatif

1.1

(a)
Kedalaman
Pemeruman

6
4
y = 30.494x - 28.982
R² = 0.2445

2
0
1.04

1.06
1.08
1.1
Kedalaman Relatif

Rasio G/R

1.12

(b)
Kedalaman
Pemeruman

6
4
y = 6.9129x - 3.948
R² = 0.0152

2

Rasio CB/N2

0
1.1

1.12

1.14
1.16
1.18
Kedalaman Relatif

1.2

(c)
Gambar 8 Model kedalaman relatif hasil estimasi pada daerah kajian 2 dengan
rasio kanal (a) Green/Yellow, (b) Green/Red dan (c) Coastal
Blue/NIR2

15
Model rasio G/R dan CB/N2 menghasilkan koefisien dengan nilai yang
kecil, padahal daerah ini memiliki subsrat pasir. Hal ini disebabkan perbedaan
nilai reflektansi antara daerah kajian 1 dan daerah kajian 2 seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya sehingga berdampak pada rasio kanal. Model
perbandingan G/Y adalah model terbaik dari 2 model lain yang diujikan pada
daerah kajian ini. Rasio model G/Y dapat digunakan untuk penentuan kedalaman
aktual. Hal ini disebabkan oleh kanal Yellow yang terdapat pada model G/Y
merupakan kanal yang sensitif terhadap pasir terang atau albedo dasar perairan
tinggi (Madden, 2011).
Model Daerah Kajian 3 (Deep Lagoon)
Daerah kajian 3 merupakan daerah yang didominasi oleh tutupan terumbu
karang dan karang ruble berdasarkan kajian yang dilakukan Agus (2012). Daerah
ini tampak gelap pada citra disebabkan albedo yang rendah dan daerah gelap
sering diinterpretasikan sebagai laut dalam. Jupp (1988) telah membahas ini
sebelumnya, dimana dikatakan bahwa sebagian besar eror atau kesalahan dalam
pendugaan kedalaman menggunakan citra satelit sering berasal dari variasi albedo
dan sifat – sifat reflektansi dari setiap subsrat. Berdasarkan survei, kedalaman
daerah ini berkisar antara 8 – 13 m. Reflektansi dari daerah kajian 3 bernilai
sangat kecil dikarenakan terumbu karang menghamburkan cahaya yang datang ke
segala arah, ditambah dengan faktor atenuasi yang sangat besar pada daerah ini.
Pada gambar 9a ditunjukkan perbandingan kedalaman relatif hasil rasio G/Y
pada daerah kajian 3 dengan data pemeruman. Koefisien determinasi hasil
perbandingan ini sangat baik, yaitu 0,742. Sedangkan nilai R2 rasio G/R bernilai
0,031 (Gambar 9b) dan rasio CB/N2 dengan 0,166 (Gambar 9c). Rasio G/R dan
CB/N2 tidak mampu mewakili kedalaman berdasarkan hubungan liniernya
dikarenakan nilai determinasi yang kecil.
Dari 3 perbandingan tersebut, rasio G/Y menghasilkan nilai determinasi
paling besar dibanding rasio lainnya. Lee et al. (2011) juga menyatakan, rasio
Green/Yellow adalah rasio yang baik dalam menetukan kedalaman antara 2,5 – 20
m. Pernyataan ini sesuai mengingat bahwa daerah kajian 3 memiliki kedalaman
antara 8 – 13 m. Rasio G/Y juga memiliki keunggulan dalam menduga batimetri
pada subsrat gelap (Madden, 2011). Pada akhirnya, daerah kajian 3 digunakan
rasio G/Y untuk penentuan kedalaman aktual daerah tersebut.
Dua dari tiga model rasio telah terpilih dalam menduga batimetri secara
spesifik pada masing – masing daerah kajian. Model rasio G/R untuk daerah
kajian 1 dan model rasio G/Y untuk daerah kajian 2 dan 3. Model rasio G/R
sangat baik dalam pendugaan batimetri di kedalaman 0 - 3 m seperti pada kasus
daerah kajian 1. Model rasio G/Y juga menunjukkan hasil yang sangat baik,
dimana pada dua daerah kajian yang berbeda (daerah kajian 2 dan 3)
mendominasi pendugaan model lainnya.

Kedalaman Pemeruman

16
14
12
10
8
6
4
2
0
1.03

Rasio G/Y
y = 195.83x - 197.88
R² = 0.742

1.04

1.05 1.06 1.07
Kedalaman Relatif

1.08

1.09

(a)
Kedalaman
Pemeruman

15

Rasio G/R

10
5
0
1.04

y = 35.95x - 28.588
R² = 0.0318
1.05

1.06
1.07
1.08
Kedalaman Relatif

1.09

Kedalaman Pemeruman

(b)
15
10

Rasio CB/N2

5
0
1.05

y = 34.669x - 29.633
R² = 0.166
1.1
1.15
Kedalaman Relatif

1.2

(c)
Gambar 9 Model kedalaman relatif hasil estimasi pada daerah kajian 3 dengan
rasio kanal (a) Green/Yellow, (b) Green/Red dan (c) Coastal Blue/NIR
2
Peta Batimetri
Nilai m0 dan m1 persamaan regresi dari model yang terpilih digunakan
sebagai pengubah kedalaman relatif ke kedalaman aktual pada masing – masing
daerah kajian. Peta batimetri hasil konversi dibagi menjadi 6 kelas kedalaman.
Kedalaman yang mampu diestimasi oleh algoritma Stumpf untuk perairan Pulau
Panggang hingga mencapai 14 m yang merupakan kedalaman maksimal dari
perairan dangkal daerah ini. Sedangkan pada perairan dalam, algoritma Stumpf
mampu mendeteksi hingga kedalaman 41 m (Lampiran 5). Hal ini bisa saja terjadi
karena metode Stumpf memanfaatkan model kedalaman air relatif, model ini

17
memungkinkan suatu korelasi antara piksel kedalaman relatif citra dengan data
pemeruman laut dalam sekalipun sehingga kedalaman yang terbentuk juga
mengikuti data pemeruman yang terkorelasi. Tingkat akurasi yang buruk
dihasilkan pada daerah kajian laut dalam (Lampiran 4), mengingat bahwa
kedalaman daerah kajian ini melebihi 25 m yang merupakan kedalaman maksimal
yang mampu dideteksi dengan baik oleh algoritma buatan Stumpf (Stumpf, 2003).

Gambar 10 Peta kedalaman aktual perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu
hasil estimasi algoritma Stumpf
Pada peta, daratan ditampilkan dengan warna cokelat, kelas kedalaman
perairan dangkal memliki selang kedalaman antara 0 – 13,233 m (Gambar 10).
Kelas kedalaman 13,233 – 41,254 m adalah kelas perairan dalam, namun daerah
kajian ini bukan merupakan pokok pembahasan penelitian karena memiliki
kedalaman diatas 30 m (berdasarkan data pemeruman) yang kurang atau bahkan
tidak memungkinkan suatu metode untuk menduga kedalamannya.
Konteks perairan dalam menurut inderaja memiliki definisi yang berbeda
dengan akustik. Perairan dalam menurut inderaja memiliki kedalaman lebih dari
30 m, sedangkan perairan dalam berdasarkan definisi akustik memiliki kedalaman
lebih dari 200 m. Hal berikut didasarkan pada kemampuan maksimal yang masih
mampu diindera dari masing – masing teknologi.
Uji akurasi atau validasi data yang berfungsi untuk menguji ketelitian dari
data atau informasi yang dihasilkan dari pengolahan citra. Pada umumnya uji
akurasi ini dilakukan untuk membandingkan antara kedua data atau informasi,
yaitu data dari hasil analisis penginderaan jauh dan data dari survei lapang
(ground truth), dimana data dari survei lapang berisi sumber informasi atau data
yang lebih akurat dan detail (Siregar et al., 2008). Uji akurasi peta ditunjukkan
dengan matriks kesalahan pada tabel di bawah ini. Pada perairan dangkal,
berdasarkan nilai Producer dan User Accuracy, kelas kedalaman 0 – 1,14 dan
1,14 – 3,22 m memiliki keakurasian yang paling tinggi (> 75%), sedangkan
akurasi peta keseluruhan mencapai persentase yang baik, yaitu 67% (Tabel 1).

18

Tabel 1 Matriks kesalahan kelas kedalaman aktual dan kedalaman estimasi
Aktual
Total
Baris

User
Accuracy

1

21

0.95

13

14

0.93

17

0.59

01.14

1.14 3.22

0 - 1.14

20

1.14 - 3.22

1

3.22 4.66

4.66 8.87

8.87 13.22

Estimasi

3.22 - 4.66

1

10

6

4.66 - 8.87

1

5

8

11

25

0.32

8.87 - 13.22

1

2

5

18

26

0.69

103

Total Kolom

21

17

17

19

29

Producer
Accuracy

0.95

0.76

0.59

0.42

0.62

0.67

Batimetri 3 Dimensi (3D)
Topografi Hasil Estimasi
Model permukaan digital yang digambarkan dengan permukaan bumi
termasuk objek – objek yang ada padanya seperti tanaman dan gedung disebut
Digital Surface Model atau DSM, sedangkan model permukaan digital yang
hanya menyajikan permukaan tanah terbuka tanpa objek apapun diatasnya disebut
Digital Terrain Model atau DTM. Digital Elevation Model atau DEM sering
dikatakan merupakan turunan dari kedua model diatas merupakan suatu bentuk
penyajian informasi ketinggian muka bumi (Selamat, 2012). Aplikasi DEM
diterapkan untuk menghasilkan bentuk 3 dimensi perairan Pulau Panggang.
Pada Gambar 11, topografi perairan dangkal Pulau Panggang tampak rata,
hanya saja pada daerah gobah topografi dasar perairan terlihat berfluktuasi. Hal
ini disebabkan efek atenuasi pada perairan dangkal meningkat seiring
bertambahnya kedalaman, seperti yang ditunjukkan pada topografi gobah hasil
estimasi.
Hal yang berbeda ditunjukkan topografi perairan dalam hasil estimasi
algoritma Stumpf. Terlihat pada Gambar 11, pada barat daya perairan Pulau
Panggang, topografi tampak begitu rata seperti halnya perairan dangkal,
dikarenakan tingkat keabuan perairan yang kurang variatif pada daerah tersebut,
dapat dilihat pada penampakan citra (Gambar 1). Hasil yang berbeda ditunjukkan
topografi pada tenggara dan utara perairan Pulau Panggang. Topografi
berfluktuatif terlihat seperti terdapat gunung – gunung bawah laut yang menjulang
ke permukaan perairan (Gambar 11). Hal ini disebabkan tingkat keabuan yang
bervariatif di daerah ini, sehingga korelasi yang terbentuk antara data pemeruman
dan kedalaman relatif ikut bervariasi dan juga berdampak pada kedalaman aktual
yang tercipta.

19

Gambar 11 Tampilan 3D perairan Pulau Panggang hasil estimasi algoritma
Stumpf
Topografi Hasil Estimasi Dan Data Pemeruman
Survei perairan menggunakan GPS Sounder memungkinkan pendugaan
batimetri perairan lebih akurat, bahkan untuk perairan dalam. Namun, kelemahan
dari survei ini tidak semua badan perairan bisa dipetakan, seperti perairan yang
terlalu berbahaya (dangkal) dan kondisi subsrat dasar yang tidak beraturan
sehingga tidak mungkin dilalui oleh kapal akustik (Wouthuyzen, 2001).
Pemanfaatan penginderaan merupakan teknik pendugaan batimetri perairan
dangkal yang paling banyak dipergunakan saat ini. Teknologi ini dipandang
sebagai cara yang efektif dan efesien, terutama di daerah yang sama sekali belum
ada data atau berubah sangat cepat. Namun Wouthuyzen (2001) menyatakan
bahwa, teknik ini memiliki tingkat keterbatasan menembus perairan antara 15 –
25 m (hanya pada perairan yang jernih/perairan karang). Keunggulan data survei
pemeruman pada perairan dalam dimanfaatkan dengan mengkombinasikan hasil
estimasi batimetri perairan dangkal Pulau Panggang untuk menciptakan tampilan
3D yang lebih baik dan lebih nyata.
Berdasarkan Gambar 12, terlihat bagian tubir selatan perairan Pulau
Panggang topografi perairan tidak langsung curam. Perairan selatan Pulau
Panggang cenderung menurun secara landai berdasarkan data pemeruman.
Sedangkan pada barat daya, barat laut dan tenggara pulau, topografi dasar perairan
langsung curam setelah tubir. Berbeda dengan hasil sebelumnya yang ditunjukkan
oleh Gambar 11, dimana pada semua bagian tubir Pulau Panggang mengalami
kecuraman yang tinggi hingga ke kedalaman maksimal perairan (41 m). Hal ini
disebabkan karena hasil estimasi laut dalam tidak konsisten diduga oleh algoritma
Stumpf dan juga dikarenakan tingkat atenuasi yang tinggi pada daerah tersebut.

20

Gambar 12 Tampilan 3D perairan Pulau Panggang kombinasi data pemeruman
dan estimasi algoritma Stumpf

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari 3 rasio kanal yang dicobakan, 2 yang bisa digunakan untuk pendugaan
batimetri perairan Pulau Panggang, yaitu rasio Green/Red dan Green/Yellow.
Rasio kanal Green/Red adalah rasio terbaik untuk menduga batimetri pada
perairan sangat dangkal dengan subsrat terang (pasir/gosong karang), sedangkan
rasio kanal Green/Yellow memiliki nilai koefisien determinasi tertinggi untuk
menduga kedalaman antara 2,5 – 20 m. Keakurasian peta batimetri hasil algoritma
Stumpf mencapai 67%. Tampilan 3D perairan mampu menjelaskan keadaan
topografi dasar perairan Pulau Panggang itu sendiri. Penggabungan data
pemeruman dengan hasil estimasi Stumpf menghasilkan tampilan 3D yang lebih
baik pada perairan Pulau Panggang.

Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya agar meneliti berbagai rasio kanal
lainnya yang mungkin untuk pendugaan batimetri dan mampu memaksimalkan
penggunaan kanal Coastal Blue yang memang diperuntukkan untuk studi
batimetri.

21

DAFTAR PUSTAKA
Agus SB. 2012. Kajian konektifitas habitat ontogeny ikan teumbu menggunakan
permodelan geospasial di perairan Kepulauan Seribu [disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor. 259 hlm.
Alsubaie NM. 2012. The potential of using Worldview-2 imagery for shallow
water depth mapping [tesis]. Alberta : University of Calgary. 97 hlm.
Andrefouet S, Kramer P, Torres-Pulliza D, Joyce KE, Hochberg EJ, Garza-Perez
R, Mumby PJ, Riegl B, Yamano H, White WH et al. 2003. Multi-site
evaluation of IKONOS data for classification of tropical coral reef
environments. Remote Sensing of Environment. 88:128-143.
Densham M. 2005. Bathymetry mapping with Quickbird data [tesis]. California:
Naval Postgraduate School . 62 hlm.
Dianovita C. 2011. Pemetaan batimetri perairan dangkal karang congkak dan
karang lebar dengan menggunakan citra IKONOS pan-sharpened [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 64 hlm.
DigitalGlobe. 2009. The benefit of the spectral bands of WorldView-2. White
Paper. 9 hlm.
DigitalGlobe. 2011. Radiometric use of Worldview-2 imagery [catatan teknis]. 17
hlm.
ESRI. 2012. Classifying numerical fields for graduated symbology [internet].
[diacu
2013
April
11].
Tersedia
dari:
http://help.arcgis.com/en/arcgisdesktop/10.0/help/index.html#//00s50000001r0
00000.
Green EP, Mumby PJ, Edwards AJ, Clark CD. 2000. Remote sensing handbook
for tropical coastal management. Paris: UNESCO Publishing.
Jupp DLB. 1988. Background and extentions to depth of penetration (DOP)
mapping in shallow coastal waters. Proceedings of the symposium on remote
sensing of the coastal zone; Gold Coast; Queensland; September 1988. IV.2.1 –
IV.2.19.
Lee KR, Kim AM, Olsen RC, Kruse FA. 2011. Determination of bottom-type and
bathymetry using WorldView-2. Remote Sensing Center, Naval Postgraduate
School (CA). 14 hlm.
Loomis MJ. 2009. Depth derivation from the Wolrdview-2 satellit using
hyperspectral imagery [tesis]. California : Naval Postgraduate School. 69 hlm.
Luce JJ, Steele R, Bird S. 2009. Application of Worldview-2 data for the
estimation of bathymetry in a Boreal River using surveyed cross sections, band
ratios and multivariate adaptive polynomialspline regression. Canada. 17 hlm.
Madden CK. 2011. Contributions to remote sensing of shallow water depth with
the Worldview-2 yellow band [tesis]. California : Naval Postgraduate School .
83 hlm.
Mumby PJ, Clark CD, Green EP, Edward AJ. 1998. Benefit of water column
correction and contextual editing for mapping coral reef. J Remot Sens.
19(1):203-210.
Partish D, Gopinath G, Ramakrishnan SS. 2011. Coastal bathymetry by coastal
blue. Institute of Remote Sensing, Anna University. 9 hlm.

22
Roem M. 2011. Metode dan pendekatan teoritis dalam derivasi batimetri laut
dangkal dari data citra satelit Worldview-2. J Harpodon Borneo. 4(2):1-10.
Selamat MB. 2012. Karakteristik subsrat dasar dan batimetri perairan dangkal
berbasis sistem optik [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 105 hlm.
Siregar VP, Wouthuyzen S, Sukimin S. 2008. Pendugaan potensi ikan karang
dengan citra satelit resolusi tinggi dan merancang alat tangkap yang selektif di
Kepulauan Seribu. Laporan Penelitian. Bogor: Seameo Biotrop.
Siregar VP, Selamat MB. 2009. Interpolator dalam pembuatan kontur peta
batimetri. JITKT. 1(1):39-40.
Siregar VP, Selamat MB. 2010. Evaluasi citra Quickbird untuk pemetaan
batimetri gobah dengan menggunakan data perum: studi kasus gobah Karang
Lebar dan Pulau Panggang. J Ilmu Kelaut. 11 hlm.
Stumpf RP, Holdried K, Siclair M. 2003. Determination of water depth with
highresolution satellite imagery over variable bottom types. Limnol Oceanogr.
48(1, part 2):547-556.
Wahyuningrum PI. 2007. Pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman
perairan dangkal menggunakan data Landsat-7 ETM 22 + (Studi kasus:
Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta) [disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bo