Akurasi Pemetaan Padang Lamun Dari Citra Satelit Worldview 2 Di Perairan Karang Bongkok Dan Kotok Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu

AKURASI PEMETAAN PADANG LAMUN DARI CITRA SATELIT
WORLDVIEW-2 DI PERAIRAN KARANG BONGKOK DAN KOTOK
KAWASAN TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

AGNESTESYA MANUPUTTY

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Akurasi Pemetaan
Padang Lamun dari Citra Satelit WorldView-2 di Perairan Karang Bongkok dan
Kotok Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2016

Agnestesya Manuputty
NIM C552120021

iv

RINGKASAN
AGNESTESYA MANUPUTTY. Akurasi Pemetaan Padang Lamun dari
Citra Satelit WorldView-2 di Perairan Karang Bongkok dan Kotok Kawasan
Taman Nasional Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh JONSON LUMBAN GAOL
dan SYAMSUL BAHRI AGUS
Ekosistem lamun mempunyai peranan yang penting di daerah pesisir, oleh
karena itu kelestariannya perlu dijaga. Salah satu upaya untuk menjaga kelestarian
lamun adalah dengan kegiatan monitoring berdasarkan data spasial menggunakan
teknik penginderaan jauh. Saat ini, penelitian mengenai pemetaan ekosistem lamun

khususnya menggunakan berbagai penajaman citra dari citra resolusi tinggi dan
mengetahui akurasi hingga tingkat kerapatan lamun masih sangat terbatas. Tujuan
dari penelitian ini adalah memetakan padang lamun dan kerapatanya dari citra
satelit resolusi tinggi.
Penelitian ini dilaksanakan di perairan Karang Bongkok dan Kotok pada
tanggal 15-18 Agustus 2014 dan 17-20 Maret 2015. Data citra satelit yang
digunakan adalah citra satelit WorldView-2 dengan tanggal akusisi 5 Oktober
2013. Metode yang digunakan pada pengolahan data citra adalah Depth Invariant
Index (DII) dan Principle Component Analysis (PCA) dengan klasifikasi
menggunakan algoritma Support Vector Machine (SVM).
Berdasarkan hasil penelitian, luas ekosistem lamun di Karang Bongkok
dengan metode DII adalah 19,51 ha dengan akurasi 72%, sedangkan dengan
metode PCA diperoleh luas sebesar 37,01 ha dengan akurasi sebesar 81%. Luas
ekosistem lamun di Pulau kotok dengan metode DII adalah 2,57 ha dengan
akurasi sebesar 83%, sedangkan dengan metode PCA diperoleh sebasar 2.63 ha
dengan akurasi sebesar 84.29%. Kelas lamun yang dibangun hingga tingkat
kerapatan adalah 4 kelas yaitu LJ (lamun jarang), LS (lamun sedang), LP (lamun
padat) dan LSP (lamun sangat padat), sedangkan hasil klasifikasi menggunakan
algoritma SVM pada citra hasil transformasi DII dapat mengidentifikasikan 3
kelas dari kelas yang dibangun berdasarkan data lapanagan yaitu LS, LP dan LPS

dengan akurasi 50.86% di Pulau Kotok, sedangkan di Karang Bongkok yaitu LJ,
LS dan LP dengan akurasi 50.85%. Sementara hasil klasifikasi menggunakan
algoritma yang sama pada citra hasil transformasi PCA mampu menghasilkan ke
empat skema yang dibangun di Pulau Bongkok dengan akurasi 54.93% dan di
Pulau Kotok akurasi sebesar 52.99%.
Kata Kunci: Pemetaan ekosistem lamun, DII, PCA, akurasi, Karang Bongkok,
Pulau Kotok, WorldView-2.

SUMMARY
AGNESTESYA MANUPUTTY. Accuracy Seagrass Mapping of Satellite
image WorldView-2 on the Waters of Karang Bongkok and Kotok in Thousand
Islands National Park. Supervised by JONSON LUMBAN GAOL and
SYAMSUL BAHRI AGUS
Seagrass has the important role in coastal areas, so its sustainability need
to be maintained. one of the way to meet the seagrass preservation is by
monitoring activity based on a spatial data using remote sensing. Today, the
seagrass mapping especially using various image enchancement from high
resolution image and the determination of accuracy up to the density level of
seagrass is still limited. The aim of this study was to map seagrass with the
density level from high resolution satellite.

This study was conducted in Karang Bongkok and Kotok Island in August
15-18th, 2014 and March 17-20th, 2015. The satellite images was derived from
WorldView-2 on October 5th, 2013 acquisition data. Data was analyzed by using 2
methods, i.e Depth Invariant Index (DII) and Principle Component Analysis
(PCA), classification process using Support Vector Machine (SVM) algorithm.
This result show that, seagrass mapping in Karang Bongkok using DII
method has 19.51 ha area with 72% accuracy, while the PCA method has 37.01 ha
area with 81% accuracy. in Kotok Island using DII method has 2.5704 ha area
with 83% accuracy, while the PCA method has 2.63 ha area with 84.29%
accuracy.Seagrass class that built up to the density level is four classes namely LJ,
LS, LP and LSP, while the result of the classification algorithm using SVM on the
DII transformation image can identify three classes from the classes that was built
base on observation data namely LS, LP, and LPS with 50.86% accuracy on
Kotok Island, whereas in Karang Bongkok namely LJ, LS and LP with an 50.85%
of accuracy. While the classification results using the same algorithm on the PCA
transformation image is able to produce all four schemes were built on the Karang
Bongkok with a 54.93% of accuracy and 52.99% of accuracy on Kotok Island.

Key words: Mapping seagrass ecosystem, DII, PCA, accuracy, Karang Bongkok,
Kotok Island, WorldView-2.


vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
©
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

AKURASI PEMETAAN PADANG LAMUN DARI CITRA SATELIT
WORLDVIEW-2 DI PERAIRAN KARANG BONGKOK DAN KOTOK
KAWASAN TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

AGNESTESYA MANUPUTTY


Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Vincentius P. Siregar, DEA

Judul Tesis

Nama
NIM

: Akurasi Pemetaan Padang Lamun dari Citra Satelit
WorldView-2 di Perairan Karang Bongkok dan Kotok

Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu
: Agnestesya Manuputty
: C552120021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi
Ketua

Dr Syamsul Bahri Agus, SPi MSi
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Teknologi Kelautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi


Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian Tesis: 4 Mei 2016

Tanggal Lulus:

x

PRAKATA
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
berkat rahmat, kasih dan tutunan-Nya sehingga tesis dengan judul “Akurasi
Pemetaan Padang Lamun dari Citra Satelit WorldView-2 di Perairan Karang
Bongkok dan Kotok Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu” dapat
diselesaikan dengan baik. Penulis mengucapakan terima kasih kepada Dr Ir
Jonson Lumban Gaol MSi selaku ketua komisi pembimbing yang telah
meluangkan waktu untuk membimbing penulis, memberikan banyak masukan,
arahan, dan nasehat dalam penelitian dan penulisan tesis, begitu juga kepada bapak
Dr Syamsul Bahri Agus Spi, Msi selaku anggota komisi pembimbing dalam
memberikan arahan, masukan, nasehat dan memberikan kesempetan kepada

penulis untuk mengikuti kegiatan penelitian. Penulis juga tidak lupa mengucapkan
terima kasih kepada bapak Prof Dr Ir Vincentius P. Siregar, DEA yang telah banyak
memberi saran pada saat ujian tesis.
Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih kepada Ketua
Jurusan dan Staf dosen UNIPA Manokwari–Papua Barat, yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana
IPB, dan para dosen serta pegawai yang berada di lingkungan Program studi
Teknologi Kelautan IPB yang telah banyak membantu semasa studi. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rommie Jonerie dan Ari Anggoro yang
telah menyediakan waktu dalam memberikan bantuan dan saran. Terima kasih
juga kepada Nunung, ibu Nona Silubun, Mba Icha, Ida Horhoruw, Marlin
Wattimena, Bang Udha, Tarlan, Alexa Maheswari, Mba Nazzla, Dandy Saleki,
Try Nur Ekawati, kak Sofi, Christy, teman-teman TEK dan IKL angkatan 2012,
teman-teman Maeritek dan semua yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
yang telah membantu dan memberikan masukan kepada penulis selama masa
studi.
Ungkapan terima kasih juga penulis berikan kepada Papa, Mama dan kakak
terkasih, saudara-saudara dimana saja berada atas segala doa, kasih sayang dan
dukungannya. Kepada semua pihak yang telah membantu baik moril maupun
materil selama melaksanakan studi sampai pada penyelesaian tesis ini, penulis

mengucapkan terima kasih.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
sangat diharapkan segala saran, kritik dan masukan untuk penyempurnaanya.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi yang membutuhkannya.

Bogor, juli 2016

Agnestesya Manuputty

xi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan

Manfaat
2 METODE
Tempat dan Waktu
Alat dan Bahan
Teknik Pengamatan Lamun
Pengolahan Data Citra
Konversi Radiometrik
Koreksi Atmosferik
Penajaman Citra
Masking Citra
Klasifikasi
Uji Akurasi
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Lokasi Penelitian
Pengolahan Citra Satelit
Klasifikasi Habitat Dasar
Klasifikasi Lamun
Hasil Uji Akurasi
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xii
xii
xii
1
1
4
4
4
5
5
6
6
7
8
9
10
11
11
12
13
13
16
16
20
22
23
23
24
25

xii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Studi deteksi lamun dengan teknik penginderaan jauh
Karakteristik Citra WorldView-2
Skema klasifikasi lamun
Parameter dan nilai yang digunakan dalam koreksi atmosfer
Matriks uji akurasi
Komposisi jenis lamun di Pulau Kotok dan Karang Bongkok
Luasan hasil klasifikasi habitat dasar perairan
Nilai ki/kj pada Karang Bongkok dan Pulau Kotok
Hasil perhitungan uji akurasi klasifikasi habitat perairan dangkal
Luasan hasil klasifikasi kerapatan lamun
Hasil perhitungan uji akurasi pada cittra hasil transformasi DII dan PCA
di Karang Bongkok dan Pulau Kotok

3
6
7
10
12
14
17
18
19
21
22

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Lokasi penelitian
Plot transek
Diagram alir pengolahan data
Konsep SVM
Jenis lamun yang ditemukan di lokasi penelitian
Hasil Klasifikasi habitat dasar menggunakan SVM di perairan Karang
Bongkok pada citra hasil transformasi DII dan PCA
Hasil Klasifikasi habitat dasar menggunakan SVM di perairan Pulau
Kotok pada citra hasil transformasi DII dan PCA

5
7
8
11
14
16

Hasil klasifikasi lamun menggunakan SVM di perairan Karang Bongkok
pada citra hasil transformasi DII dan PCA
Hasil klasifikasi lamun menggunakan SVM di perairan Pulau Kotok
pada citra hasil transformasi DII dan PCA

20

17

21

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Data kelas dan persen tutupan lamun di Karang Bongkok
Data kelas dan persen tutupan lamun di Pulau Kotok
Lamun berdasarkan kerapatan

29
34
40

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem padang lamun merupakan ekosistem pesisir yang ditumbuhi
oleh lamun sebagai vegetasi yang dominan (Wimbaningrum et al. 2003). Padang
lamun dapat berbentuk vegetasi tunggal yang disusun oleh satu jenis lamun saja
atau vegetasi campuran yang disusun mulai dari 2 sampai 12 jenis lamun yang
tumbuh bersama pada suatu substrat (Kiswara & Winardi 1997). Lamun
merupakan tumbuhan satu-satunya tumbuhan berbunga yang memiliki rhizoma,
daun, dan akar sejati tingkat tinggi yang mampu hidup terbenam dalam air di
lingkungan perairan dekat pantai. Secara taksonomi, lamun termasuk ke dalam
kelompok Angiospermae yang hidupnya terbatas pada lingkungan laut, di wilayah
perairan pesisir mulai dari daerah pasang surut hingga kedalaman 40 meter
(Kiswara 1997).
Secara ekologis peranan ekosistem lamun di perairan laut dangkal antara
lain membantu mengurangi hempasan gelombang dan arus yang menuju pantai,
menyaring sedimen yang terlarut dalam air, menstabilkan dasar sedimen, serta
penangkap sedimen dan penahan erosi (Fonseca et al. 1982; Kiswara & Winardi
1994), sebagai produsen primer (penghasil bahan organik), habitat berbagai satwa
laut, substrat bagi banyak biota penempel, tempat pembesaran beberapa jenis
biota yang menghabiskan masa dewasanya di habitat ini, tempat perlindungan
organisme dan tudung pelindung dari panas matahari yang kuat bagi penghuninya,
dan pendaur zat hara (Kiswara & Hutomo 1985; Nybakken 1988; Nienhuis 1993).
Selain secara ekologis, lamun juga memiliki peranan secara ekonomis, yaitu
sebagai penyedia sumber daya yang dapat digunakan untuk menyokong
kehidupan masyarakat, bahan baku obat-obatan, makanan perikanan dan sebagai
pariwisata. Lamun juga merupakan salah satu ekosistem pesisir sebagai media
penyerapan karbon di perairan laut (Duarte et al.2005; Nellemann et al. 2009).
Penyerapan karbon oleh lamun terjadi pada proses fotosintesis yang
disimpan ke beberapa tempat, berupa biomassa baik diatas maupun di substrat
(Kiswara & Ulumudin 2009). Hasil penelitian Setiawan et al. 2012 menemukan
terjadinya penurunan luasan ekosistem lamun di daerah Teluk Banten dari tahun
2008 sampai 2010 adalah 1,4 ha, dengan penyerapan karborn sebesar 0.0004 Ton
C ha-1y-1 dan laju pengendapan karbon yang tersimpan adalah 0.01 Tg C y-1. Hal
tersebut diperkirakan bahwa penyerapan karbon akan berbanding lurus dengan
luasan lamun, dimana semakin besar luasan lamun maka semakin tinggi
penyerapan karbon dan sebaliknya, semakin rendah luasan lamun makan
penyerapan karbon yang terjadi akan semakin kecil.
Kontribusi lamun dalam menyumbang karbon pada siklus karbon laut
menyediakan sekitar 12% cadangan karbon di ekosistem (Duarte & Gattuso
2008). Agustin (2014) menjelaskan bahwa ekosistem lamun di perairan Pulau Pari
berperan dalam regulasi karbon dan stabilitas ekosistem, dimana lamun jenis
Enhalus acroides dapat menyimpan karbon dalam bentuk biomasa dan di sedimen
lebih rendah dibandingkan Thalassia hemprichii. Saat ini Kondisi lamun di daerah
Pulau Pari mengalami penurunan akibat aktivitas manusia. Ekosistem lamun
mampu menyerap karbon dari atmosfer pada musim barat antara 0.502 dan 5.971
mmol C/m2/hari.

2

Nontji (2009) mengemukakan bahwa luasan ekosistem lamun di Indonesia
adalah sebesar 30.000 km2 dan telah mengalami penyusutan sebesar 30-40% dari
luas keseluruhan. Hal ini akibat dari peningkatan aktivitas manusia dan
pengembangan industri yang terus meningkat. Ekosistem lamun di Pulau Jawa
mengalami penurunan sebesar 60% (Fortes 1994 dalam Nontji 2009), salah
satunya adalah Kepulauan Seribu, dimana banyak masyarakat yang menganggap
bahwa area pesisir mutlak merupakan milik umum. Penyusutan yang terjadi pada
luasan lamun dapat menurunan fungsi ekologis dan ekonomis dari lamun tersebut,
oleh karena itu kelestarian ekosistem padang lamun perlu dijaga. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan untuk menjaga kelestarian lamun adalah dengan melakukan
kegiatan monitoring berdasarkan data spasial guna mengetahui luasan lamun dan
penyebaranya tersebut, dengan menggunakan teknik penginderaan jauh.
Data penginderaan jauh mampu menghasilkan informasi objektif dan
berguna untuk memonitor wilayah pesisir laut yang luas (Mumby 2006).
Penggunaan penginderaan jauh untuk studi pemetaan lamun mempunyai banyak
kelebihan, jika dibandingkan dengan cara konvensional.
Prinsip pendeteksian padang lamun menggunakan data citra satelit yaitu
dengan menggunakan nilai reflektansi yang berasal langsung dari suatu objek di
dasar perairan yang kemudian direkam oleh sensor. Panjang gelombang
elekrtomagnetik yang berasal dari energi matahari dalam bentuk sinar tampak
dapat menembus kolom perairan Mount (2006).
Pemetaan padang lamun menggunakan data citra satelit memerlukan suatu
proses dan ketelitian yang lebih baik. Proses tersebut menggunakan teknik
penajaman citra dengan metode Depth Invariant Index (DII) atau koreksi kolom
perairan Lyzenga (1981). Perhitungan koreksi kolom perairan menggunakan nilai
rasio yang diambil dari substrat yang sama dengan kedalaman yang berbeda.
Dalam penelitian ini substrat yang digunakan dalam melakukan proses
pengkoreksian kolom air menggunakan substrat pasir, karena pasir memiliki nilai
pantulan yang lebih tinggi dikanalingakan dengan substrat lainya (Budhiman et al
2013).
Selain menggunakan penajaman citra dengan metode DII dilakukan juga
penajaman citra dengan metode Principle Component Analysis (PCA). PCA
adalah teknik penajaman citra dengan melakukan transformasi nilai digital ke
dalam satu data baru yang lebih kecil, dan lebih mudah untuk menafsirkan
variabel berkorelasi yang mewakili sebagian besar informasi yang ada dalam
dataset asli (Jensen 2005). Proses ini dilakukan karena pada citra multispektral
seringkali memiliki korelasi yang tinggi antar kanal/salurannya, sehingga
beberapa objek pada citra sulit untuk dikenali (Richards 1999). Oleh karena itu,
PCA sering dipandang sebagai teknik kopresi informasi yang sangat efisien.
Manfaat utama dari metode ini adalah efesiensi dalam proses pengamatan secara
visual yang artinya bahwa tidak perlu membandingkan citra dengan saluran yang
banyak sekaligus, dan sangat efisien dalam proses klasifikasi multispektral.
Pemataan dan pengamatan lamun di beberapa daerah sering dilakukan
dengan menggunakan berbagai citra satelit dan teknik pengolahannya (Tabel. 1).
Hasil dari berbagai studi yang dilakuakan dengan berbagai citra satelit
memberikan informasi tentang tingkat akurasi dari berbagai satelit yang
digunakan.

3

Tabel 1 Studi deteksi lamun dengan teknik penginderaan jauh
Penulis
Lennon
dan 
Luck (2006)
Landsat TM


Wabnitz et al.
(2008)
Landsat
7
ETM+



Teknik

Lokasi


Unsupervised Nearest
Neighbour
menggunakan kanal
4,5,7 untuk
menggambarkan lamun
Kanal 4 digunakan
untuk memisahkan
daerah tanah.
Klasifikasi
unsupervised
menggunakan kanal
1,2,3 untuk lamun yang
terendam

Klasifikasi Supervised
menggunakan 5 kelas
untuk pembuatan
traning area dari
interpretasi visual

Temuan/Hasil



Wider
Caribbean




Pasqualini et
al.
(2005)
SPOT 5



Pasqualini et
al.
(2005)
SPOT 5



Klasifikasi supervised
digunakan pada lapisan
kedalam 0–10 dan 10–
20 m, untuk
meminimalkan
konduksi antara kelas
karena faktor
kedalaman

Tamondong et
al. (2005)
WV-2




Fornes et al.
(2006)
IKONOS



Mendeteksi
vegetasi yang
terendam
(termasuk
lamun)
Akurasi: 83%




Keruh
Resolusi
gambar
rendah

Tiga kelas
utama yang
jelas (lamun
padat, lamun
menengahjarang dan kelas
lain)
Akurasi: 46 % –
88%



Validasi
peta
berdasarkan
data lokal
Resolusi
gambar
rendah

Pemetaan
Posidonia
oceanica
Acuracy: 73%
to 96%



Teluk Laganas
di Taman
Nasional
Zakynthos
(Laut
Mediteranea)



DII
Klasifiksi maximum
likelihood

Balino
Pangasinan,
Filipa



akurasi 75.54%

Maximum Likelihood
yang menggunakan 4
kelas untuk traning area

Pulau
Balearic) Laut
Mediteranean.



Pemetaan
P. oceanica
Acuracy: 84%

Principal Component
Analysis digunakan
untuk B1 dan B2
(PCAB1/B2) menjadi
kanal X1 and X2
(PCAX1/X2).





Keterbatasan





Resolusi
gambar
rendah

Keruh

4

Penulis
Vela et al.
(2008)
SPOT 5 &
IKONOS

Teknik


Lokasi

Klasifikasi supervised
(minimum distance
classification)

Pesisir Laguna
Tunisian, Laut
Mediteranean

Temuan/Hasil




Phinn et al.
(2008)
Quicbird,
Landsat 5,
CASI



Silfani (2011)

ALOS AVNIR2




Klasifikasi supervised



Klasifikasi
Unsupervised
Algoritma Lyzenga

Perairan Pulau 
Pari,
Kepulauan
Seribu

Detecting low
seagrass cover,
high seagrass
cover
Accuracy: 75%
to 85%
Mapping of
seagrass cover,
species and
biomass
Accuracy: >
80%

Keterbatasan



Keruh
Resolusi
gambar
rendah

 Resolusi
gambar
rendah

Pemetaan
Lamun Akurasi
65.21% 72.82%

Ludin et al 2011

Perumusan Masalah
Pemetaan ekosistem padang lamun perlu dilakukan untuk mendukung
pengelolaan sumberdaya pesisir yang lestari. Pemetaan dengan metoda
konvensional mempunyai keterbatasan khususnya dalam luas cakupan wilayah.
Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan citra satelit
merupakan salah satu alternatif untuk pemetaan ekosistem padang lamun.
Kelebihan dari pemanfaatan teknologi penginderaan jauh adalah mencakup
wilayah yang luas dalam waktu yang bersamaan (sinoptik), sehingga merupakan
cara yang paling cepat untuk memetakan sumber daya pesisir seperti ekosistem
padang lamun. Saat ini penelitian mengenai pemetaan ekosistem lamun khususnya
menggunakan penajaman citra dari citra resolusi tinggi dan mengetahui akurasi
hingga tingkat kerapatan lamun masih sangat terbatas. Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitan untuk mengetahui seberapa besar tingkat akurasi pemetaan
kerapatan lamun dari citra satelit dengan resolusi tinggi.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah memetakan padang lamun dan
kerapatanya dari citra resolusi tinggi dengan penajaman citra menggunakan Depth
Invariant Index dan Principle Component Analysis.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pemetaan ekosistem
padang lamun yang dibutuhkan untuk pengelolaan ekosistem padang lamun yang
berkelanjutan.

5

2 METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada dua lokasi yang bereda yaitu Pulau Kotok
dan Karang Bongkok (Gambar 1) kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian ini secara keseluruhan
dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 – Desember 2015, dimana Pengumpulan
dan pengamatan data lapangan dilaksanakan dua tahap, tahap pertama
dilaksanakan pada tanggal 15-18 Agustus 2014 dan tahapan kedua dilaksanakan
pada tanggal 17-20 Maret 2015.
Perairan Karang Bongkok dan Kotok merupakan gugusan pulau yang
memiliki ekosistem pesisir salah satunya adalah ekosistem lamun, dimana
ekosistem lamun pada daerah Karang Bongkok dan Pulau Kotok masih baik.

Karang Bongkok

Pulau Kotok
Daratan

Titik Pengamatn

Gambar 1 Lokasi penelitian

6

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian adalah Global Positioning System
(GPS) Garmin 76 CSX dengan presi 2 m, alat transek kuadran, meteran, alat tulis,
kertas identifikasi lamun (Seagrass watch), kamera underwater, snorkel dan
masker. Pengolahan citra satelit adalah dengan menggunakan perangkat keras dan
lunak. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data citra satelit
WorldView-2, memiliki resolusi sapsial 1.8 m dengan tanggal akuisisi 5 Oktober
2013. Karakteristik citra satelit yang digunakan dapat dilihat pada Table 2.
Tabel 2 Karakteristik Citra WorldView-2
Parameter
Ketinggian (km)
Temporal (Hari)
Spektral (nm)
- Coastal Blue
- Blue
- Green
- Yellow
- Red
- Red Edge
- NIR 1
- NIR 2
Resolusi Spasial (m)
- Multispektral
- Pankromatik
Radiometrik (bit)
Level
Format
Proyeksi
Sumber data: DigitalGlobe

Sensor
WorldView 2
770
400 – 450
450 – 510
510 – 580
585 – 625
630 – 690
705 – 745
770 – 895
860 – 1040
1.85
0.46
11
2A
GeoTIFF

Teknik Pengamatan Lamun
Pengamatan data komponen lamun dilakukan dengan menerapkan teknik
yaitu transek quadrat (Roelfsema et al. 2008; English et al. 1997). Panjang transek
yang digunakan dalam pengamatan data lamun adalah 30 m tegak lurus dan
sejajar pantai, pada tiap stasiun dilakukan 3 kali pengamatan dengan lokasi yang
berbeda, dimana pada msing-masing lokasi terdapat padang lamun tersebut.
Kuadran yang digunakan dalam pengambilan data lamun berukuran 1 x 1
m yang terbagi menjadi 4 segmen berukuran 25 cm, diletakan sepanjang garis
transek (Gambar 2).
Pengamatan data lamun dilakuan menggunakan metode Seagrasswatch
monitoring. Seagrasswatch merupakan metode yang umum dilakukan untuk
melakukan monitoring kondisi atau distribusi padang lamun, dengan melihat
tutupan lamun secara visual terhadap suatu transek kuadran yang kemudian
ditentukan tutupan lamun berdasarkan banyaknya lamun dalam suatu kuadran.

7

Gambar 2 Plot Transek
Pengumpulan titik pengumpulan data lapangan diperoleh dengan
menggunakan GPS pada lokasi-lokasi yang memiliki lamun (Gambar 1). Total
titik lapangan yang diperoleh di Karang Bongkok adalah 208 titik, dimana untuk
lamun terdapat 134 titik sedangkan non lamun adalah 74 titik (Lampiran 1). Titik
lapangan yang diperoleh pada Pulau Kotok adalah 285, dimana untuk lamun
adalah 231 titik dan non lamun adalah 54 titik (Lampiran 2).
Analisis Data Lamun
Analisis data dalam pengambilan data lamun dilakukan dengan
menghitung persentase tutupan lamun. Persentase tutupan lamun dihitung
menggunakan metode Seagrasswatch monitoring. Setelah mendapatkan data
lamun kemudian dilakukan pengkelasan berdasarkan kriteria yang dilakukan oleh
Roelfsema (2009), yang mana pengkelaskan lamun dilakukan dari hasil persetase
tutupan lamun yang dibagi ke dalam 4 kelas. Kelas tesebut dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3 Kelas tutupan lamun
Persentase tutupan lamun
(%)
1
1-25
2
25-50,
3
50-75,
4
75-100
Sumber: Roelfsema 2009
Kelas

Keterangan
Lamun Jarang
Lamun Sedang
Lamun Padat
Lamun Sangat Padat

Pengolahan Data Citra
Penggolahan data citra WorldView-2 dilakukan dengan beberapa tahap
diantaranya adalah tahap pra pengolahan. Tahap pra pengolahan meliputi citra
WorldView-2 yang telah terkoreksi geometrik kemudian dilakukan koreksi
radiometrik, koreksi atmosferik, Masking, penajaman citra dengan metode DII
dan PCA. Tahapan pengolahan data citra ditampilkan seperti pada (Gambar 3).

8

Citra
WorldViwe-2


Koreksi
Atmosferik

Koreksi
Radiometrik



Konversi Nilai Digital ke
Nilai Radians
Koenversi Nilai Radians
ke Nilai Reflektansi

Citra
WorldViwe-2
terkoreksi

Pengumpulan
Data
Lapangan

Transformasi
Spektral
Jenis, Kerapatan
lamun dan Substrat
DII

PCA

Lamun

Masking
Citra

Non Lamun

Kelas
Kerapatan
Lamun

Klasifikassi
Citra

Uji Akurasi

Gambar 3 Diagram alir pengolahan data
Konversi Radiometrik
Konversi Radiometrik dapat dilakukan dengan beberapa tahap yaitu
konversi Digital Number (DN) ke Nilai Radiance satelit, dan dari radians ke nilai
reflektansi. Koreksi radometrik yang dilakaukan pada citra WorldView-2
memiliki persamaan sebagai berikut (DigitalGlobe 2010):
(1)

9

dimana:
qDet,Kanal = data koreksi radiometrik [counts],
pDet,Kanal = raw data [counts],
ADet,Kanal = offset [counts] untuk akuisi gambar, dan
BDet,Kanal = gain.
Koreksi Atmosferik
Koreksi atmosferik menggunakan modul ATCOR 2 (Atmospheric
Correction) yang memanfaatkan kode transfer radiasi MODTRAN 4+ pada
ERDAS IMAGINE 2014. ATCOR merupakan perangkat lunak yang dirancang
khusus untuk melakukan koreksi atmosferik dan topografi dari citra satelit
(Richter 2004).
Penggunaan modul ATCOR saat melakukan koreksi atmosferik pada citra
WorldView-2 dengan tahapan sebagai berikut:
a. Mempersiapkan citra WorldView-2 yang akan dikoreksi dengan memiliki
8 kanal citra.
b. Input data yang yang akan dikoreksi atmosferik menggunakan citra yang
telah dioreksi radiometrik.
c. Menentukan waktu perekaman citra yang terdiri dari tanggal perekaman
(hari/bulan/tahun) dan jam perekaman (jam/menit/detik) sesuai dengan
metadata pada citra tersebut.
d. Menentukan jumlah kanal pada citra untuk dikoreksi.
e. Menentukan skala factor. Skala factor yang disediakan oleh ATCOR
meliputi faktor reflektansi dan faktor temperatur.
f. Menetukan jenis sensor dan file untuk kalibrasi.
g. Menentukan nilai geometrik pada citra yang digunakan. Nilai geometri
pada ATCOR meliputi Solar Zenith, Sonsor Til, Solar Azimuth, Sensor
Azim dan nilai elevasi
h. Menentukan model atmosfer dengan jarak pandang yang sesuai
i. Menetukan tipe aerosol dan Model for solar region. Tipe aerosol yang
digunakan dalam koreksi atmosferik menggunakan ATCOR adalah
maritime, hal tersebut dipilih berdasarkan daerah yang dikaji berada pada
daerah laut dan tipe atmosferik yang digunakan adalah tropical_marit, hal
tersebut dipilih berdasarkan wilayah perekaman citra yang berada pada
kawasan tropis.
j. Menentukan validasi SPECTRA sesuai dengan kebutuhan.
Parameter dan nilai yang digunakan dalam melakukan koreksi atmosferik
menggunakan modul ATCOR dapat dilihat pada Tabel 4 Parameter dan nilai yang
digunakan dalam koreksi atmosfer

10

Tabel 4 Parameter dan nilai yang digunakan dalam koreksi atmosfer
Parameter ATCOR 2
Spesifikasi
Masukan file raster
Bongkok
Kotok
Keluaran file
Bongkok
Kotok
Waktu perekaman
Kanal yang digunakan
Skala Faktor
Faktor reflektansi
Faktor temperatur
Jenis Sensor
File kalibrasi
Geometri
Solar Zenith
Sensor til
Solar Azimuth
Satelit Azim
Elevasi
Model Atmosfer
Jarak pandang (km)
Tipe aerosol
Model for solar region
Validasi SPECRTA
Box Size
Target box (pixel)
Adjacency effect (m)
Sumber : ERDAS IMAGINE-ATCOR 2014

Citra WorldView 2

Bongkok
Kotok
Bongkok_atcor2
Kotok_atcor2
5 Oktober 2013 T03:29:41.44
8 Kanal
4
4.00
WorldView-2 MS
worldview2_template.cal
18.0
21.5
88.0
125.2
0.1
40
Maritime
Tropical_marit

5
1000

Penajaman Citra
Penajaman citra digunakan dalam meningkatkan kontras warna dan cahaya
pada suatu citra. Proses penajaman citra pada penelitian ini dilakukan dengan
melakukan dengan metode DII dan PCA.
Citra yang telah dilakukan koreksi kemudian dilakukan penajaman citra
dengan metode DII. Persamaan DII adalah sebagai berikut (Lyzenga 1981):

(2)
dimana:
Li dan Lj
Ki/Kj
σ ii

= nilai reflektansi dari kanal ke-i dan ke-j
= ratio coeffisient attenuasi dari kanal ke-i dan ke-j
= Variance dari kanal i,

11
σ jj
σ ij

= Variance dari kanal j.
= Covariance dari kanal ij.

Penajaman citra dengan PCA adalah dengan persamaan berikut (ERDAS
ErMapper versi 14 2013):
SIGMA(I1..I6 | I? * PC_COV(I1..I6 | , R1, I?, 1))

(3)

Dimana I1, I6 adalah input kanal, R1 adalah Region dan 1 adalah saluran
kanal baru yang akan di bangun.
Setelah melakukan proses pra pengolahan, hal yang dilakukan selanjutnya
adalah proses pengolahan citra, dimana pada tahap pengolahan data meliputi
segmentasi, klasifikasi citra dan uji akurasi. Tahapan proses pengolahan citra
adalah sebagai berikut:
Masking Citra
Citra hasil koreksi dan transformasi selanjutnya dilakukan masking citra.
Kawasan yang di-masking merupakan kawasan yang tidak dugunakan dalam
penelitian yaitu daratan, daerah yang berawan dan laut dalam. Daerah-daerah
tersebut biasanya diberi angka “0” atau yang biasa disebut null.
Klasifikasi
Klasifikasi citra yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilakukan
dengan menggunakan Klasifikasi Support Vector Machine (SVM). SVM
merupakan teknik klasifikasi terbimbing (Classification Supervised) yang dapat
mencari sebuah vector atau garis yang berfungsi sebagai pemisah dua kelas
dengan memaksimalkan margin antar kelas tersebut. Secara sederhana konsep
SVM adalah pengklasifikasian piksel citra dengan mencari hyperplane terbaik
yang berfungsi sebagai pemisah dua buah kelas pada input space berdasarkan nilai
pola distribusi statistik dalam fitur region kelas sebagai input pada proses
klasifikasi (Vapnik & Kotz 1982) (Gambar 4).

Gambar 4 Konsep SVM

12

Algoritma klasifikasi SVM dilakukan berdasarkan prinsip linear classfier
(kernel fungsi) yang terdiri dari fungsi linier dan radial basis function (rbf) yang
tergolong klasifikasi machine learning.
Hasil penajaman citra dengan metode DII dan PCA dikelaskan dengan
algoritma SVM adalah sebagai berukut (Vapnik 1995):
K (xi , xj) = exp (-  ║xi - xj║2) ,  > 0

(4)

Dimana,  adalah parameter kernel. Nlai  pada kernel tipe rbf adalah 0 atau
1, jika nilai =0 maka kecepatan proses learning adalah 1 per dimensi fitur.
Uji Akurasi
Uji akurasi merupakan proses terakhir dalam proses klasifikasi, dimana
hasil klasifikasi dari data citra akan dilihat tingkat keakurasian dengan
menggunakan data validasi yang menggunakan data lapangan yang dilakukan
dengan menggunakan Tabel confusion matrix (Tabel 5 Matriks uji
akurasiConfusion matrix merupakan tabel yang digunakan untuk menentukan
kinerja suatu model klasifikasi. Pesentase ketelitian suatu kelas diperoleh dari
perkanalingan jumlah piksel yang benar masuk pada training area dengan jumlah
piksel pada training area suatu kelas. Persentase ketelitian klasifkasi secara
keseluruhan dihiting dari perkanalingan antara jumlah piksel yang benar setiap
kelas dengan total pixel training area keseluruhan (Congalton & Green 2009).
Tabel 5 Matriks uji akurasi

i =baris
1
2
K
Jumlah kolom n+j

j = kolom (referensi)
1
2
n11
n12
n21
n22
n31
n22
n+1
n+2

k
n1k
n2k
n2k
n+k

Jumlah baris nj+
nj+
n1n2nkn

Keterangan:
j = kolom (data referensi)
i =baris (Klasifikasi data penginderaan jauh)
Perhitungan akurasi dengan menggunakan tabel confusion matrix dapat
dilakukan dengan memperhitungkan User Accuracy (UA), Producer Accuracy
(PA) dan Overall Accuracy (OA). OA dihitung dengan membagi jumlah total
pixel dengan klasifikasi yang tepat oleh total jumlah piksel dalam matriks
(Congalton 1991). Perhitungan OA dapat dilihat pada persamaa berikut:
(5)
Producer Accuracy (PA) mengacu pada probabilitas pixel referensi yang
diklasifikasikan secara tepat (yaitu, mengukur kesalahan kelalaian). Perhitungan
PA dapat dilihat pada persamaa berikut:
(6)

13

User Accuracy (UA) menunjukkan kemungkinan bahwa pixel yang
diklasifikasikan pada peta menyatakan bahwa kategori di lapangan (yaitu,
mengukur kesalahan) (Congalton & Hijau, 1999 in Wabnitz, 2008). Perhitungan
UA dapat dilihat pada persamaa berikut:
(7)
Secara keseluruhan proses pengolahan citra satelit WorldView-2 dapat
disajikan pada Gambar 4.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Lokasi Penelitian
Kepulauan Seribu memiliki luas kurang lebih 699.750 ha terletak di lepas
pantai utara Jakarta dengan posisi memanjang dari Utara ke Selatan yang ditandai
dengan pulau-pulau kecil berpasir putih dan gosong-gosong karang (Santoso
2010). Kepulauan seribu terdiri atas 103 pulau, diantaranya terdapat Pulau Kotok
dan Karang Bongkok yang menjadi lokasi penelitian.
Kawasan Kepulauan Seribu memiliki topografi datar hingga landai dengan
ketinggian 0-2 meter di atas permukaan laut. Luas daratan dapat berubah oleh
pasang surut dengan ketinggian pasang antara 1 - 1,5 meter. Morfologi Kepulauan
Seribu merupakan dataran rendah, dengan perairan laut ditumbuhi karang yang
membentuk atoll maupun karang penghalang. Atoll dijumpai diseluruh gugusan
pulau, kecuali Pulau Pari sedangkan Fringing reef dijumpai antara lain P. Pari, P.
Kotok dan P. Tikus.
Karang Bongkok memiliki luas kurang lebih 281.192 ha memiliki
ekosistem pesisir seperti lamun dan terumbu karang dimana untuk ekosistem
lamun ditemukan tidak terlalu banyak. Distribusi ekosistem lamun yang berada di
daerah karang bongkok tidak tersebar secara merata, distribusi lamun tersebut
secara kelompok pada beberapa lokasi atau area dengan kedalaman yang berbeda,
namun kedalaman tersebut tidak signifikan. Berbeda halnya dengan ekosistem
terumbu karang, distibusi ekosistem ini menyebar mengelilingi pulau mulai pada
kedalam 50 cm hingga lebih dari 50 cm. Distibusi kedua ekosistem secara kasak
mata tidak memiliki perbedaan dengan ekosistem yang berada di Pulau Kotok.
Distribusi ekosistem lamun dan terumbu karang yang berada di perairan
Pulau Kotok hampir sama dengan distribusi yang terjadi di Karang Bongkok,
dengan luasan Pulau Kotok kurang lebih 67.498 ha memiliki distribusi lamun
yang lebih baik dibandingkan dengan Karang Bongkok. Begitu juga dengan
ekosistem terumbu karang, namun pada daerah Pulau Kotok selain lamun dan
terumbu karang terdapat juga patahan karang (Rubble) yang luasanya sangat
besar.
Berdasarkan hasil pengamatan, ditemukan empat jenis lamun yang berada
di perairan Pulau Kotok dan dua jenis lamun yang ditemukan perairan karang
bongkok. Jenis lamun yang ditemukan adalah Thalassia hemprichii, Enhalus
acroides, Halophila minor dan Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata
(Gambar 5).

14

Perbedaan komposisi jenis lamun yang ditemukan pada perairan Karang
Bongkok dan Pulau Kotok, dikarenakan berkaitan dengan kemampuan adaptasi
jenis lamun terhadap kondisi lingkungan yang berbeda (Lefaan 2008).

Halophila minor

Halodule uninervis

Cymodocea rotundata

Enhalus acroides

Thalassia hemprichii

Gambar 5 Jenis lamun yang ditemukan di lokasi penelitian
Komposisi jenis lamun pada kedua lokasi dapat dilihat pada Tabel 6. Jenis
lamun Thalassia hemprichii ditemui pada kedua lokasi pengamatan karena secara
umum, T. hemprichii memiliki penutupan yang tinggi karena merupakan jenis
yang umum ditemui dan tersebar luas di seluruh perairan Indonesia, termasuk di
Karang Bongkok dan Pulau Kotok serta kemampuan tumbuhnya di berbagai
macam tipe substrat seperti pasir berlumpur, pasir berukuran sedang dan kasar,
hingga pecahan karang mati (Takadengan & Azkab 2010).
Tabel 6. Komposisi Jenis Lamun pada Pulau Kotok dan Karang Bongkok
Lokasi

Thalassia
hemprichii
+

Cymodocea
rotundata
-

Pulau Kotok
Karang
+
+
Bongkok
Keterangan: + : dijumpai, -: tidak dijumpai

Spesies
Enhalus
acroides
+

Halophila
minor
+

Halodule
uninervis
+

-

-

-

Berdasarkan tipe substrat di Karang Bongkok dicirikan oleh pasir yang
bertekstur halus dan sedikit bercampur dengan pecahan karang mati, oleh karena
itu jenis lamun T. hemprichii dan C. rotundata dapat tumbuh dengan baik. Kedua
jenis lamun ini dapat memiliki toleransi yang tinggi untuk hidup pada perairan
Karang Bongkok karena memiliki keadaan air yang jernih dan penetrasi cahaya
yang menebus kolom perairan hingga ke dasar perairan dapat berlangsung
terjadinya peroses forosintesis yang baik (Takadengan & Azkab 2010).

15

Tipe substrat yang berada di Pulau Kotok adalah pasir halus yang sedikit
berlumpur, bercampur dengan pecahan karang yang telah mati, jenis lamun E.
acroides, H, minor dan Halodule uninervis dapat tumbuh di daerah tersebut
dengan baik. E. acoroides merupakan jenis lamun yang sering mendominasi
komunitas padang lamun, E. acoroides secara dominan dapat hidup pada substrat
dasar berpasir dan kadang-kadang terdapat campuran pecahan karang mati
(Sangaji 1994). Selain itu, E. acoroides umumnya tumbuh di sedimen yang
berpasir atau berlumpur dan di daerah dengan bioturbasi tinggi serta dapat tumbuh
menjadi padang yang monospesifik (Nienhuis et al 1989). Jenis Halodule
uninervis seringkali tumbuh sebagai vegetasi spesies tunggal yang hidup pada
substrat pasir halus sampai kasar di zona intertidal dan subtidal dan memiliki
sebaran vertikal yang luas mulai dari zona intertidal sampai lebih dari 20 m
(Hutomo et al 1988). Menurut Bengen (2001) H. uninervis yang berdaun kecil
memiliki penyebaran yang hampir sama dengan E. acoroides, namun
keberadaannya hanya terbatas pada bagian pinggir pantai yang paling dangkal,
sehingga bila ada proses kekeruhan, sebagian penetrasi cahaya masih dapat
mencapai dasar perairan sehingga tetap memberikan kesempatan bagi lamun jenis
ini untuk tumbuh dan berfotosintesis.
Secara umum biomassa dan produksi lamun dapat bervariasi secara spasial
dan temporal yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti nutrien dan cahaya
(Tomascik et al 1987). Selain itu juga sangat tergantung pada spesies dan kondisi
perairan lokal lainnya seperti kecerahan air, sirkulasi air dan kedalaman (Zieman
1987), suhu dan angin (Mellor et al 1993). Fortes (1990) menjelaskan bahwa
besarnya biomassa lamun bukan hanya merupakan fungsi dari ukuran tumbuhan,
tetapi juga merupakan fungsi dari kerapatan dari luasan lamun sendiri. Perbedaan
biomassa lamun dapat berbeda sesuai menurut lokasi dan musim
Nateekarnchanalarp (1992). Pada musim panas biomassa lamun H. ovalis tertinggi
ditemukan di Chon Khram (1.09 gbk/m2) kemudian di Yai (0,93 gbk/m2) dan
terendah di Hin Com (0,91 gbk/m2). Pada lokasi yang sama di Chon Khram
biomassa lamun H. ovalis memiliki perbedaan berdasarkan musim. Biomassa
tertinggi ditemukan sebesar 2,3 gbk/m2 pada musim hujan, yang kemudian disusul
1,09 gbk/m2 (musim panas) dan 0,14 gbk/m2 (musim dingin). Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa persentase luas penutupan lamun yang tinggi belum
tentu menghasilkan biomassa yang tinggi dibanding dengan persentase luas
penutupan lamun yang lebih rendah.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Azkab (1992) Di
kepulauan Seribu, jenis T. hemprichii menunjukkan rasio antara biomassa di
bawah dan di atas substrat adalah 4,80 gbk/m2 di Pulau Pan dan Pulau Rambut
dan 4,71 gbk/m2 di pulau Bidadari, Sedangkan pada jenis T. testudinum
ditemukan rasio antara bagian dangkal dan bagian dalam padang lamun berbeda
antara lokasi penelitian (Dawes & Tomasko 1988). Selain itu pada lokasi
penelitian yang berbeda seperti di Egmont Key memiliki biomassa 3,19 pada
bagian dangkal dan 0,79 gbk/m2 bagian dalam padang lamun. Sedangkan di
Anclote Key memiliki biomassa masing-masing 1,31 gbk/m2 bagian dangkal dan
1,84 gbk/m2 bagian dalam dari lamun tersebut.

16

Pengolahan Citra Satelit
Klasifikasi Habitat Dasar
Hasil klasifikasi perairan dangkal menggunakan algoritma klasifikasi
SVM dengan tipe kernel radial basis function (rbf) pada Karang Bongkok dan
Pulau Kotok dapat disajikan pada Gambar 6 dan 7. Klasifikasi habitat lamun pada
citra hasil transformasi DII dan PCA, mampu mengidentifikasi kelas lamun
dengan beberapa kelas penyusun habitat dasar perairan seperti rubble, karang,
lagoon, pasir, pasir campur lamun dan pasir campur rubble dengan hasil pemetaan
yang berbeda-beda.

Karang Bongkok

Karang Bongkok

Gambar 6 Hasil Klasifikasi habitat dasar menggunakan algoritma SVM di
perairan Karang Bongkok pada citra hasil transformasi DII dan PCA
Klasifikasi habitat dasar perairan dengan algoritma SVM pada citra DII
dan PCA di Karang Bongkok dan Pulau Kotok menghasilkan luasan yang
berbeda-beda (Tabel 7).

17

Tabel 7 Luasan hasil klasifikasi habitat dasar perairan
Kelas
Terumbu Karang
Lamun
Lagoon
Pasir
Rubble
Pasir Lamun
Pasir Rubble

Karang Bongkok (ha)
DII
PCA
335.23
337.70
19.51
37.01
73.72
62.46
2.44
2.43
66.94
75.80
13.80
13.21
99.76
82.92

Pulau Kotok (ha)
DII
PCA
86.72
87.06
2.57
2.63
0.40
0.41
0.44
0.43
7.90
5.96
10.02
9.86
13.50
15.19

Terlihat dengan jelas hasil klasifikasi pada citra hasil transformasi PCA
memiliki luasan yang lebih besar dibandingkan dengan luasan pada citra hasil
transformasi DII. Hal tersebut dikarenakan bahwa penggunaan kanal pada saat
proses klasifikasi citra. Citra hasil transformasi PCA menggunakan kanal coastal
(kanal 1) hingga kanal red edge (kanal 6) pada citra WorldView-2, dimana ke
enam kanal tersebut memiliki informasi penting yang saling berhubungan
(Chauvaud 2010). Hasil dari transformasi PCA pada enam kanal sinar tampak di
citra WorldView-2 berupa kanal baru PC1, PC2 dan PC3.

Pulau Kotok

Pulau Kotok

Gambar 7

Hasil Klasifikasi habitat dasar menggunakan algoritma SVM di
perairan Pulau Kotok pada citra hasil transformasi DII dan PCA

Kanal PC1 mengandung 90% informasi pada citra hasil transformasi
(Pasqualini 1997; Danoedoro 2012), dimana penggunaan pada kanal PC1 yaitu
dari kanal coastal hingga kanal red edge. Pengaruh kanal coastal hingga kanal
yellow (kanal 4) lebih memberikan informasi mengenai habitat dasar perairan,
Karena panjang gelombang pada kisaran kanal 1 hingga kanal 4 dapat menembus

18

kolom perairan, sehingga informasi mengenai objek dasar perairan secara
keseluruhan dapat terekam kembali oleh sensor. Sedangkan pengaruh kanal red
dan red edge memberikan informasi tetnatng objek dasar perairan yang lebih keci.
Hal tersebut dikarenakan panjang gelombang pada kanal red dan red edge tidak
dapat menebus kolom perairan, atau dengan kata lain panjang gelombang tersebut
habis terserap oleh air.
Kanal PC2 mengandung sekitar 5-7% dan kanal PC3 mengandung sekitar
2% informasi yang berada pada citra hasil transformasi tersebut (Danoedoro
2012). Penggunaan kanal pada PC2 yaitu kanal Blue hingga kanal red edge
sedangkan pada PC 3 yaitu kanal green hingga red edge. Pengaruh kanal blue
hingga kanal yellow ataupun kanal green hingga yellow hanya memberikan
setengah dari informasi yang terdapat dari objek dasar perairan, karena kanal yang
digunakan untuk mendeteksi objek dasar perairan pada kanal PC 2 dan PC3 tidak
sama seperti pada kanal yang terdapat pada PC1. Kandungan nilai persentase
terhadap informasi dasar perairan pada kanal PC1 memiliki nilai yang lebih tinggi
dibandingkan kanal PC2 dan PC3, hal tersebut dikarenakan bahwa PC1 terletak
pada posisi distribusi piksel yang variasinya paling besar dari pada PC2 dan PC3.
Akan tetepi, dengan nilai persentasi yang berbeda pada ketiga kanal PC tersebut
saling melengkapi informasi yang terkandung didalamnya (Danoedoro 2012).
Berbeda halnya dengan citra DII yang memiliki luasan lebih rendah jika
dibandingkan dengan citra transformasi PCA, hal tersebut dikarenakan terjadinya
pengurangan informasi akibat proses koreksi kolom perairan (Danoedoro 2012).
Kombinasi kanal yang digunakan pada saat proses koreksi kolom perairan yaitu
kanal coastal-blue (kanal 1-2), kanal yellow-red (kanal 4-5) dan kanal red-red
edge (kanal 5-6). Kombinasi dari ketiga kanal yang digunakan untuk proses
selanjutnya merupakan hasil dari perhitungan nilai koefisiean atenuasi (ki/kj).
Hasil perhitungan nilai ki/kj menujukan bahwa ketiga pasangan kanal tersebut
memiliki nilai korelasi yang tinggi dibandingkan dengan pasangan kanal yang lain
(Tabel 8).
Tabel 8 Nilai ki/kj pada Karang Bongkok dan Pulau Kotok
Pasangan antar
kanal
Coastal-blue (1-2)
Yellow-Red (4-5)
Red-Red Edge (5-6)

Ki/Kj
Karang
Bongkok
0.89
0.91
3.21

r2
Pulau
Kotok
0.59
0.71
2.79

Karang
Bongkok
0.81
0.98
0.88

Pulau
Kotok
0.82
0.95
0.72

Hasil perhitungan nilai ki/kj berkisar antara 0.89-3.21 merupakan kisaran
nilai ki/kj perairan laut (Lyzenga 1981). Semakin besar nilai ki/kj menunjukan
bahwa kemampuan identifikais tipe dasar perairan menurun. Koefisien atenuasi
band spektral bervariasi tergantung tipe spesifik perairan untuk penentuan sampel
pada citra. Hasil perhitungan nilai ki/kj pada penelitian ini menunjukan bahwa
pasangan band Red-Red Edge (5-6) memiliki kisaran panjang gelombang lebih
besar dan mempunyai nilai ki/kj kecil dari pasangan band lainnya. Semakin besar
kisaran panjang gelombang pasangan band yang dibandingkan, maka nilai ki/kj
semakin kecil (Wahiddin 2015). Hal tersebut dikarena bahwa panjang gelombang
Red-Red Edge lebih banyak dipantulkan di perairan laut dari pada diserap,
sehingga objek yang berada pada substrat dapat terdetekasi (Mumby 2006).

19

Secara keseluruhan hasil klasifikasi dengan citra WorldView-2 dalam
penelitian ini memiliki nlai akurasi yang baik. Berdasarkan data survey yang telah
dikumpulkan maka dapat di tentukan nilai over accuracy (OA), producer
accuracy (PA) dan user accuracy (UA). Hasil akurasi dari klasifikasi disajikan
pada Tabel 9.
Tabel 9 Hasil perhitungan uji akurasi klasifikasi habitat perairan dangkal
Lokasi/kelas

PA

UA

OA

DII

PCA

DII

PCA

Karang Bongkok
Karang
Lagoon
Lamun
Pasir
Pasir mix Lamun
Pasir mix Rubble
Rubble

17%
100%
73%
80%
100%
100%
57%

50%
100%
82%
80%
100%
100%
64%

100%
63%
96%
100%
100%
50%
35%

100%
83%
96%
100%
83%
50%
53%

Pulau Kotok
Karang
Lagoon
Lamun
Pasir
Pasir mix Lamun
Pasir mix Rubble
Rubble

87%
100%
72%
100%
95%
100%
100%

80%
100%
82%
100%
95%
88%
83%

81%
100%
100%
10%
100%
50%
64%

80%
100%
98%
100%
100%
44%
75%

DII

PCA

72.38%

81%

83%

84.29%

Perhitungan UA lamun pada citra transformasi DII dan PCA memberikan
informasi bahwa sekitar 96% untuk kelas lamun telah di klasifikasi dengan benar
di Karang Bongkok dan UA lamun pada citra transformasi DII 100% di Pulau
Kotok sedangakan pada citra transformasi PCA sebesar 98%. Perhitungan PA
pada citra transformasi DII untuk kelas lamun sebesar 73% dan pada citra
transformasi PCA sebesar 82% di Karang Bongkok, sedangkan pada citra
transformasi DII di Pulau Kotok sebesar 72 % dan PCA sebesar 82%. Hasil
perhitungan OA untuk peta hasil klasifikasi menggunakan algoritma SVM pada
citra hasil transformasi DII di Karang Bongkok adalah 72.38% dan PCA adalah
81% sedangakan hasil perhitungan OA pada citra transformasi DII adalah 83%
dan PCA adalah 84.29% di Pulau Kotok. Hasil akurasi yang diterdapat pada citra
transformasi DII dan PCA dapat dikatakan bahwa peta ekosistem lamun dapat
diklasifikasi dengan benar. Batas akurasi yang dapat diterima untuk peta habitat
dasar perairan dangkal berdasarkan pada SNI 7716:2011 tentang pemetaan habitat
dasar perairan laut dangkal yaitu sebesar 60% (LIPI 2014).
Akurasi pada pemetaan lamun dan habitat dasar yang dilakukan oleh
Tamondong et al. (2013) menggunakan citra WorldView-2 dengan metode DII
memiliki akurasi 75%. Jika dibandingkan dengan penelitian ini memiliki akurasi
sebesar 72.38% dan 83% dapat dikatakan sangat baik.
Sementara itu pemetaan habitat dasar perairan dengan PCA khususnya
untuk objek lamun dilakukan oleh Pasqualini et al. (2005) menggunakan citra
satelit SPOT memiliki akurasi 73-98%. Dengan satelit yang berbeda dilakukan
oleh Ludin et al. (2011) memiliki akurasi 70%. Akurasi pemetaan hasil penelitian
ini memiliki akurasi >80% dan dapat dikatakan cukup baik.

20

Klasifikasi Lamun
Hasil klasifikasi kerapatan lamun menggunakan klasifikasi SVM dengan
tipe kernel radial basis function (rbf) pada Karang Bongkok dan Pulau Kotok
dapat disajikan pada Gambar 8 dan 9.

DII

Karang Bongkok

PCA

Karang Bongkok

Legenda
Lamun Jarang

Lamun Sedang

Lamun Padat

Lamun Sangat Padat

Gambar 8 Hasil klasifikasi lamun menggunakan SVM pada citra hasil
transformasi DII dan PCA di Karang Bongkok
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, kerapatan lamun di kelaskan
menjadi 4 kelas dengan persentase tutupan yaitu lamun Sangat Padat (LSP) = 75100%, Lamun Padat (LP) = 50-75%, Lamun Sedang (LS) = 25-50% dan Lamun
Jarang (LJ) = 1-25% (Lampiran 2). Berdasarkan hasil tranformasi PCA didapat
nilai selang pada masing-masing kelas baik di Karang Bongkok dan Pulau Kotok.
Pada Karang Bongkok, transformasi PCA kelas LJ memiliki nilai berkisar 30.22 –
24.88, LS berkisar 24,63-30.58, LP berkisar 19,49 – 17.51 dan LSP berkisar 15.98
– 12,23, sedangakan pada