The Impact of Total Investment, Local Goverment Expenditure and Work Labour on Economic Growth in Bogor City

DAMPAK INVESTASI, BELANJA PEMERINTAH DAN
ANGKATAN KERJA TERHADAP KINERJA EKONOMI
DI KOTA BOGOR

ALMASRIL SEMBIRING

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Investasi, Belanja
Pemerintah dan Angkatan Kerja terhadap Kinerja Ekonomi di Kota Bogor adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

Almasril Sembiring
NIM. H152090051

RINGKASAN
ALMASRIL SEMBIRING. Dampak Investasi, Belanja Pemerintah dan
Angkatan Kerja terhadap Kinerja Ekonomi di Kota Bogor. Dibawah
bimbingan EKA INTAN KUMALA PUTRI dan BAMBANG JUANDA.
Peranan pemerintah daerah di Indonesia dapat dianggap sangat dominan
sejak digulirkannya era otonomi daerah pada tahun 2001. Sebagai implikasi dari
pemberian kewenangan yang semakin luas kepada daerah, daerah dituntut untuk
dapat secara mandiri melaksanakan pembangunan, baik dari sisi perencanaan
maupun pelaksanaannya sesuai prinsip-prinsip otonomi daerah.
Pertumbuhan
ekonomi tidak bisa lepas dari peran pengeluaran pemerintah di sektor layanan
publik. Pengeluaran pemerintah daerah diukur dari total belanja rutin dan belanja

pembangunan yang dialokasikan dalam anggaran daerah. Sementara itu belanja
pemerintah daerah tergantung pada penerimaan daerah yang meliputi transfer dan
pendapatan asli daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tentang
peranan dana transfer dan pendapatan daerah dalam anggaran dan belanja serta
menganalisis besarnya dampak investasi, belanja pemerintah dan angkatan kerja
terhadap kinerja ekonomi di kota Bogor. Metode yang digunakan adalah analisis
deskriptif dan regresi linier berganda dan diduga dengan metode Ordinary Least
Square (OLS). Untuk menganalisis kinerja ekonomi digunakan data sekunder
dengan periode tahun 1990 sampai dengan 2011. Untuk kemandirian penerimaan
daerah digunakan data sekunder dengan periode tahun 2001 sampai dengan tahun
2011.
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa rasio tranfer (DAU dan DAK)
terhadap total penerimaan daerah menunjukkan negative slope , dan rasio
pendapatan daerah (PAD dan DBH) terhadap total penerimaan daerah
menunjukkan positive slope sehingga dapat dikatakan Kota Bogor mandiri dalam
penerimaan daerah walaupun masih tergantung ke pemerintah pusat. Hasil
penelitian ini juga menunjukan bahwa DAU dan PAD berpengaruh signifikan
terhadap total belanja daerah (TBD) dan respon total belanja daerah (TBD) lebih
besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD) daripada dana transfer (DAU).
Penelitian juga menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi kota Bogor

(PDRB) dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh investasi daerah tahun
sebelumnya (INVt-1 ), belanja bidang infrastruktur (BBI), belanja bidang
pendidikan tiga tahun sebelumnya (BBPt-3 ), dan total angkatan kerja (TK). Upah
minimum kota (UMK) berpengaruh signifikan secara negatif terhadap investasi
daerah (INV) di kota Bogor. Upah minimum kota (UMK), belanja bidang
kesehatan (BBK) dan investasi daerah tahun sebelumnya (INVt-1 ) berpengaruh
signifikan positif terhadap indeks pembangunan manusia (IPM).
Kata kunci: angkatan kerja, belanja pemerintah daerah, indeks pembangunan
manusia, investasi, pertumbuhan ekonomi.

SUMMARY
ALMASRIL SEMBIRING. The Impact of Total Investment, Local Goverment
Expenditure and Work Labour on Economic Growth in Bogor City. Under
direction of EKA INTAN KUMALA PUTRI and BAMBANG JUANDA.
The role of local governments in Indonesia can be considered very dominant
since the era of regional autonomy in 2001. As the implications of granting
authority ' s broader to local governments, the required to independently executing
development, both the planning or implementation is based on the principles of
regional autonomy. Economic growth cannot be separated from the role of
government spending in the public services. Local government spending is

measured from the total routine expenditure and development spending allocated
in the budget area. Meanwhile, local government expenditures depends on
regional income which includes the transfer and revenue. This study was aimed at
describing between General allocation fund and Regionally Original Income
which one has more influence on the regions’ spending, and analyze the
magnitude of the impact of investment, local government expenditures and labor
force against economic performance in Bogor city. The method used is
descriptive analysis and multiple linear regression and is suspected by the method
of Ordinary Least Square (OLS). To analyze the economic performance used
secondary data from 1990 through 2011. To analyze the independence of local
governments used secondary data from 2001 through 2011.
Identification results showed that the transfer ratio (General and Special
allocation fund) to total local revenues showed a negative slope, and the ratio of
local revenue (Local Revenue and Revenue-sharing) of the total revenues showed
a positive slope so it can be said to be Independently in revenues for Bogor city,
although still dependent to the central government. The results also show that
General allocation fund and Regionally Original Income significant effect on
total expenditures, and the response of total regional expenditures to greater
Regionally Original Income rather than transfer of funds (General allocation
fund), so it can be said that the present Bogor City more self-reliant in the

reception.
Research also shows that economic growth is positively and significantly
influenced by investment the previous year (INVt-1 ), infrastructure spending,
education spending three years earlier, and the total labor force. City minimum
wage significant negative effect on investment (INV) in Bogor City. But the city
minimum wage, health expenditures and investment the previous year (INVt-1 )
positive significant effect on the human development index.
Keywords: economic growth, Human Development Index,
goverment expenditure, work labour.

investment, local

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DAMPAK INVESTASI, BELANJA PEMERINTAH DAN
ANGKATAN KERJA TERHADAP KINERJA EKONOMI
DI KOTA BOGOR

ALMASRIL SEMBIRING

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr Ir Ma’mun Sarma, MS MEc
(Ketua Program Studi Magister Pembangunan Daerah, SPS - IPB)

Jud\ll Penelitian
Nama
NRP
Program Studi

Dampak Investasi, Belanja Pemerintah dan Angkatan
Kerja terhadap Kinerja Ekonomi di Kota Bogor
Almasril Sembiring
H152090051
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui oleh
Kornisi Pembimbing

セN@


Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
Anggota

Dr Ir E

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof Dr Ir Bambang J uanda, MS

Tanggal Ujian: 16 Juli 2013

Tanggal Lulus:

3 0 AU G'LD 3


Judul Penelitian

:

Nama
NRP
Program Studi

:
:
:

Dampak Investasi, Belanja Pemerintah dan Angkatan
Kerja terhadap Kinerja Ekonomi di Kota Bogor
Almasril Sembiring
H152090051
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, MSi
Ketua

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian: 16 Juli 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah kinerja ekonomi, dengan judul Dampak
Investasi, Belanja Pemerintah dan Angkatan Kerja terhadap Kinerja Ekonomi di
Kota Bogor.
Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan, arahan dan
dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima
kasih dan rasa hormat yang mendalam kepada Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri,
MSi selaku ketua komisi pembimbing dan Prof.Dr.Ir.Bambang Juanda, MS.
selaku anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan berbagai masukan
dan arahan yang sangat konstruktif bagi penyempurnaan tesis ini.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS, MEc sebagai penguji luar
komisi yang telah memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penyempurnaan tesis ini. Dr. Ir. Setia Hadi, MS, sebagai penguji luar komisi
mewakili Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan yang
telah memberikan masukan dan saran perbaikan untuk tesis ini. Dr. Ir. Ernan
Rustiadi M.Agr, yang telah berusaha mengarahkan penulis di awal penulisan tesis
supaya lebih fokus dan terstruktural.
Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak Undang dari BPS Kota Bogor dan Bapak Nanang dari
Sek.Ekonomi Pemerintah Kota Bogor yang banyak memfasilitasi selama
pengumpulan data.
Buat Alex, Enirawan, Untung, Firman, Endang, Puji, Adam, Wawanudin,
Tabrani, Dede, Luh Putu, Isnina, Linda dan seluruh teman-teman angkatan 2010
PWD yang telah banyak mendorong dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan
karya tulis ini penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Ucapan terima kasih dan rasa rasa cinta kepada Ida Zubaedah, istri yang
begitu banyak membantu khususnya atas pengertian dan kesabarannya
mendampingi penulis dalam penyelesain tesis ini, begitu juga atas pengertian,
kesabaran dan kasih sayang ananda M.Rizqi APS.
Ucapan terima kasih dan rasa hormat yang mendalam kepada ayahanda
Jamaludin Sembiring (Alm) dan ibunda Ukur Malem Br Ginting (Almh), Bapak
H.A.Muthalib Sembiring SH dan ibu Hj. Sempat Muli Br Tarigan, Bapak
H.Fachrudin dan Ibu Hj.Nurifah (Mertua), Dr Rasidin K. Sitepu, MSi dan
Veralianta S. MSi , serta keluarga besar di Medan dan Pemalang, yang telah
memberikan doa, motivasi, dukungan, perhatian, dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor,

Juli 2013

Almasril Sembiring

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

x
xi
xi

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan dan Manfaat Penelitian

1
1
7
8

2

TINJAUAN PUSTAKA
Pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah
Peranan Belanja Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Peranan Investasi Swasta terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Peranan Angkatan Kerja terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan Ekonomi Regional
Teori Pertumbuhan Ekonomi Mazhab Historimus
Teori Pertumbuhan Ekonomi Mazhab Analitis
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran Teoritis
Hipotesis

9
9
9
14
16
17
19
19
25
30
32

3

METODOLOGI PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Teknik Analisis
Definisi operasional variable

35
35
35
35
39

4

GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR
Administrasi dan Geografis Kota Bogor
Kependudukan
Perekonomian Daerah
Sosial dan Budaya
Infrastruktur

40
40
40
43
47
51

5

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Deskripsi Penerimaan dan Belanja Pemkot Bogor
Model Belanja Pemkot Bogor
Model Kinerja Ekonomi Kota Bogor
Indeks Pembangunan Manusia

53
53
60
69
74

6

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

78
78
78

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

79
83
97

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

Realisasi pendapatan Kota Bogor tahun 2009 - 2011
Realisasi belanja Kota Bogor tahun 2009 - 2011
PDRB perkapita kota di PKN Bodebek atas dasar harga berlaku,
tahun 2008-2011 (rupiah)
Penelitian-penelitian terdahulu
Tujuan dan alat analisis yang digunakan
Jumlah penduduk Kota Bogor menurut kecamatan dan jenis kelamin
Jumlah penduduk 15 tahun keatas menurut jenis kegiatan utama
Kota Bogor tahun 2009-2011
Jumlah penduduk 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan
usaha dan jenis kelamin Kota Bogor tahun 2011
Produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Bogor menurut
lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2006-2011
Laju pertumbuhan PDRB Kota Bogor menurut lapangan usaha
atas dasar harga berlaku tahun 2006-2011
Jumlah puskesmas, puskesmas pembantu dan puskesmas keliling
menurut kecamatan di Kota Bogor tahun 2009
IPM Kota Bogor per kecamatan dan komponennya tahun 2010
Perkembangan kemiskinan Kota Bogor tahun 2004-2010
Banyak keluarga menurut kecamatan dan klassifikasi keluarga
di Kota Bogor tahun 2010
Hasil pendugaan parameter beberapa persamaan total belanja daerah
(TBD)
Hasil pendugaan parameter persamaan belanja rutin daerah (BRD)
Hasil pendugaan parameter persamaan belanja modal daerah (BMD)
Hasil pendugaan parameter persamaan belanja bidang pendidikan
(TBD)
Hasil pendugaan parameter persamaan belanja bidang kesehatan
(BBK)
Hasil pendugaan parameter persamaan belanja bidang infrastruktur
(BBI)
Hasil pendugaan parameter persamaan investasi daerah
Hasil pendugaan parameter persamaan penyerapan tenaga kerja
(PTK)
Hasil pendugaan parameter persamaan produk domestik regional
bruto (PDRB)
Hasil pendugaan parameter persamaan indeks pembangunan
manusia (IPM)

2
3
5
28
34
41
42
43
44
46
48
48
50
51
60
62
63
65
66
68
69
71
72
74

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Perkembangan belanja Pemkot Bogor bidang pendidikan dan
kesehatan tahun 1990-2011
Efek kenaikan pengeluaran pemerintah
Bagan kerangka pemikiran teoritis
Tren jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2010
Laju pertumbuhan penduduk Kota Bogor tahun 2000-2010
Perkembangan UHH di Kota Bogor tahun 2005-2008
Perkembangan DAU, PAD, DBH dan DAK tahun 2001-2011
Persentase jumlah DAU dan DAK terhadap total penerimaan
daerah
Persentase jumlah DAU terhadap total penerimaan daerah
Persentase jumlah PAD dan DBH terhadap total penerimaan
daerah
Persentase jumlah PAD terhadap total penerimaan daerah
Perkembangan TBD, BRD dan BMD tahun 1990-2011
Perbandingan persentase BRD dan BMD di Kota Bogor tahun
1990 sampai dengan tahun 2011.

7
14
31
41
42
47
53
54
55
55
56
58
58

DAFTAR LAMPIRAN

1
2

Data Pendukung
Pendugaan Parameter Model

83
85

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia mulai menempuh suatu babak baru dalam kehidupan
masyarakatnya dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, sebagaimana
dimuat dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Implikasi dari kebijakan otonomi daerah tersebut adalah daerah memiliki
kewenangan dan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan
kepentingan pemerintah daerahnya masing-masing.
Dalam pelaksanaanya,
kebijakan otonomi daerah didukung pula oleh perimbangan keuangan antara pusat
dan daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Undang-Undang ini
menegaskan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah,
pemerintah pusat akan mentransferkan dana perimbangan kepada pemerintah
daerah. Dana perimbangan tersebut terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU),
Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagian daerah dari bagi hasil pajak pusat
(DBH). Disamping dana perimbangan tersebut, pemerintah daerah juga memiliki
sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), pinjaman
daerah, maupun lain-lain penerimaan daerah yang sah. Kebijakan penggunaan
semua dana tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah. Tujuan dari transfer
ini adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar-pemerintahan dan
menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum diseluruh daerah
(Simanjuntak dalam Sidik et al, 2002).
Adanya transfer dana ini bagi pemerintah daerah merupakan sumber
pendanaan dalam melaksanakan kewenangannya, sedangkan kekurangan
pendanaan diharapkan dapat digali melalui sumber pendanaan sendiri. Namun,
kenyataannya, transfer dari pemerintah pusat merupakan sumber dana utama
pemerintah daerah untuk membiayai operasi utamanya sehari-hari atau belanja
daerah, yang oleh pemerintah daerah dilaporkan di perhitungan APBD.
Indonesia, pada dekade 1990-an, persentase ini mencapai 72 persen pengeluaran
propinsi dan 86 persen pengeluaran kabupaten/kota. Amerika Serikat, persentase
transfer dari seluruh pendapatan mencapai 50 persen untuk pemerintah federal dan
60 persen untuk pemerintah daerah (Fisher, 1996). Khusus di negara bagian
Wisconsin di AS, sebesar 47 persen pendapatan pemerintah daerah berasal dari
transfer pemerintah pusat (Deller et al, 2002). Di negara-negara lain, persentase
transfer atas pengeluaran pemerintah daerah adalah 85 persen di Afrika Selatan,
67 persen sampai dengan 95 persen di Nigeria, dan 70 persen sampai dengan 90
persen di Meksiko. Adanya transfer dana dari pusat untuk pemerintah daerah
merupakan sumber pendanaan dalam melaksanakan kewenangannya, sedangkan
kekurangan pendanaan diharapkan dapat digali melalui sumber pendanaan sendiri
(PAD).
Kemampuan penerimaan keuangan pemerintah daerah (kota) relatif terbatas
(lemah), sedangkan pengeluaran keuangan untuk membiayai pembangunan pada
masa yang akan datang meningkat, oleh karena itu sumber-sumber pendapatan
daerah harus dikelola dengan efektif dan efisien. Pendapatan dan pengeluaran
keuangan daerah dikelola dalam anggaran yang berbasis kinerja.
Selama ini

2

dalam penentuan besarnya anggaran untuk setiap kegiatan digunakan pendekatan
inkremental, didasarkan pada perubahan satu atau lebih variabel yang bersifat
umum, seperti tingkat inflasi, sedangkan analisis yang mendalam mengenai
struktur, komponen dan tingkat biaya optimal untuk setiap kegiatan belum pernah
dilakukan.
Lamanya perencanaan ini pada akhirnya akan memunculkan
kemungkinan under financing atau over financing, hal ini akan mempengaruhi
tingkat efisiensi dan efektifitas unit kerja pemerintah daerah. Dalam situasi
seperti ini banyak kebijakan publik yang dijalankan secara tidak efisien dan
kurang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan publik.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bogor pada
hakikatnya merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat
untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di Kota
Bogor.
Keadilan anggaran adalah salah satu misi utama yang diemban
pemerintah kota dalam melakukan berbagai kebijakan, khususnya yang berkaitan
dengan pengelolaan anggaran daerah. Pelayanan umum akan meningkat dan
kesempatan kerja akan makin bertambah apabila fungsi alokasi dan distribusi
dalam pengelolaan anggaran telah dilakukan dengan benar, baik melalui alokasi
belanja maupun mekanisme perpajakan serta retribusi yang adil dan transparan.
Kenyataannya, transfer dana dari Pempus merupakan sumber dana utama Pemda
untuk membiayai belanja daerah.
Dilain pihak belanja pemerintah daerah
didominasi oleh belanja rutin (belanja tidak langsung ditambah dengan belanja
langsung pegawai ) relatif dibandingkan dengan belanja modal sebagaimana
ditunjukan oleh Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Realisasi pendapatan Kota Bogor tahun 2009 – 2011
APBD 2009
(Rp)

APBD 2010
(Rp)

Pajak Daerah
Retribusi Daerah

56,027,944,313.00
36,491,852,284.00

66,504,761,353.00
34,681,146,445.00

122,900,000,000.00
34,670,595,911.00

Hasil Pengelolaan Kekayaan
Daerah yang dipisahkan

11,773,311,932.00

15,137,968,088.00

13,359,865,000.00

Lain-lain Pendapatan Asli
Daerah

11,628,552,298.00

11,164,213,945.00

11,022,574,582.00

115,921,660,827.00

127,488,089,831.00

181,953,035,493

Bagi Hasil Pajak / Bagi Hasil
Bukan Pajak

130,310,453,989.00

148,687,621,387.00

97,847,944,306

Dana Alokasi Umum

439,246,348,000.00

426,093,607,000.00

473,156,910,000

UR A IA N

JUMLAH PENDAPATAN
ASLI DAERAH
DANA PERIMBANGAN

Dana Alokasi Khusus

APBD 2011
(Rp)

21,019,000,000.00

9,756,700,000.00

11,366,600,000

JUMLAH DANA
PERIMBANGAN

590,575,801,989.00

584,537,928,387.00

582,371,454,306

JUMLAH LAIN-LAIN
PENDAPATAN DAERAH
YANG SAH
JUMLAH PENDAPATAN
DAERAH

121,527,326,141.00

180,173,427,147

200,374,725,200

828,024,788,957.00

892,199,445,365

964,699,214,999

Sumber: Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Bogor, 2012.

3

Berdasarkan data series kurun waktu 2009-2011 (Tabel 1), secara keseluruhan
pendapatan daerah mengalami peningkatan dengan persentase kenaikan
berfluktuatif. Secara persentase dan nominal hanya kelompok komponen
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang secara konsisten mengalami kenaikan. Dari
tabel ini menunjukkan bahwa jumlah belanja tak langsung relatif lebih besar
dibandingkan jumlah belanja langsung. Belanja tidak langsung dipergunakan
untuk belanja rutin termasuk didalamnya gaji pegawai negri di Kota Bogor. Dari
tabel juga terlihat bahwa APBD Kota Bogor kecenderungan defisit setiap tahun.
Perubahan-perubahan dalam penerimaan, pengeluaran dan asumsi yang digunakan
diperbaiki pada APBDP.
Tabel 2. Realisasi Belanja Kota Bogor Tahun 2009-2011
APBD 2010
(Rp)

APBD 2011
(Rp)

357,368,859,024
18,971,000,000

467,833,382,206.
15,825,365,924.

59,802,094,705

88,100,168,167

521,744,732,314.00
1,244,494,845.00
27,885,445,000.00
1,437,035,600.00
58,152,948,380.00

13,232,500,000

12,132,500,000.

935,731,977.00

1,788,637,300

2782968160

4,500,000,000.00

451,163,091,029

586,674,384,457

615,900,388,116.00

43,515,147,268.

45,943,819,584

63,681,886,190

Belanja Barang dan Jasa

173,749,148,757

158,124,717,210

179,882,045,321

Belanja Modal

108,449,608,948

165,939,883,691

177,357,968,575

325,713,904,973
370,008,420,485
JUMLAH BELANJA
LANGSUNG
776,876,996,002
956,682,804,942
JUMLAH BELANJA
DAERAH
Sumber: Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Bogor, 2012.

4 20,921,900,086

NO
II.
2.1.
2.1.1

2.1.5
2.1.6
2.1.7

2.1.8

2.2.
2.2.1
.
2.2.2
.
2.2.3
.

U RAI AN
BELANJA DAERAH
BELANJA TIDAK
LANGSUNG
Belanja Pegawai
Belanja Bunga
Belanja Hibah
Belanja Subsidi
Belanja Bantuan Sosial
Belanja bagi Hasil kepada
Prop/Kab/Kota / Pemdes
Belanja Bantuan Keuangan
kepada Propinsi/Kab./Kota
dan Pemdes
Belanja Tidak Terduga
JUMLAH BELANJA TIDAK
LANGSUNG
BELANJA LANGSUNG
Belanja Pegawai

APBD 2009
(Rp)

1,036,822,288,202

Oates dalam Halim (2002) menyatakan bahwa ketika respon (belanja)
daerah lebih besar terhadap transfer daripada pendapatannya sendiri, maka disebut
flypaper effect. Abdul Halim dan Sukriy Abdullah pernah melakukan pengujian
adanya flypaper effects pada belanja daerah pemerintah kabupaten/kota di Pulau

4

Jawa dan Bali pada tahun 2001. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
flypaper effect terjadi pada DAUt-1 terhadap Belanja Daerah tahun berjalan.
Namun hasil penelitian tersebut tidak dapat digeneralisasikan untuk seluruh
wilayah Indonesia. Karena menurut Halim (2002) pemerintah kabupaten/kota di
Jawa-Bali memiliki kemampuan keuangan berbeda dengan pemerintah kabupaten/
kota di luar Jawa-Bali. Menanggapi hal tersebut, Mutiara Maimunah melakukan
penelitian yang sama pada pemerintah kabupaten/kota di Pulau Sumatra pada
tahun 2003 dan 2004. Hasil yang diperoleh konsisten dengan penelitian Halim
yaitu DAUt-1 memiliki pengaruh lebih besar dari pada PADt-1 terhadap belanja
daerah tahun berjalan. Namun ketika diuji pengaruh DAUt dan PADt secara
bersama-sama terhadap belanja daerah t, hasilnya PAD tidak signifikan dan DAU
berpengaruh terhadap belanja daerah.
Salah satu tolak ukur penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan
ekonomi adalah besaran belanja daerah bersama-sama dengan investasi swasta
dan angkatan kerja di Kota Bogor yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi
yang menggambarkan suatu dampak nyata dari kebijakan pembangunan yang
dilaksanakan.
Pertumbuhan ekonomi tidak bisa lepas dari peran pengeluaran
pemerintah di sektor layanan publik. Pengeluaran pemerintah daerah diukur dari
total belanja rutin dan belanja pembangunan yang dialokasikan dalam anggaran
daerah. Belanja pembangunan yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian
adalah belanja pembangunan infrastruktur, dan yang berpengaruh terhadap
sumberdaya manusia adalah biaya pembangunan sektor pendidikan dan
kesehatan. Semakin besar pengeluaran pemerintah daerah yang produktif maka
semakin memperbesar tingkat perekonomian suatu daerah (Wibisono, 2003).
Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan proses peningkatan produksi
barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Menurut Djojohadikusumo
(1994) dalam pertumbuhan ekonomi biasanya ditelaah proses produksi yang
melibatkan sejumlah jenis produk dengan menggunakan sarana dan prasarana
produksi, sedangkan Schumpeter dalam Boediono (1999) berpendapat bahwa
pertumbuhan ekonomi adalah sebagai peningkatan output masyarakat yang
disebabkan oleh semakin banyaknya faktor produksi yang dipergunakan dalam
proses produksi tanpa ada perubahan cara-cara atau teknologi itu sendiri. Indikator
pertumbuhan ekonomi tidak hanya mengukur tingkat pertumbuhan output dalam
suatu perekonomian, namun sesungguhnya juga memberikan indikasi tentang
sejauh mana aktivitas perekonomomian yang terjadi pada suatu periode tertentu
telah menghasilkan pendapatan bagi masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi dalam sistem pemerintahan daerah biasanya di
indikasikan dengan meningkatnya produksi barang dan jasa yang diukur melalui
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Nilai PDRB kota-kota Pusat Kegiatan
Nasional (PKN) Bodebek berdasarkan atas harga konstan 2000 tahun 2010
terbesar dimiliki oleh Kota Bekasi dengan nilai sebesar 15.476.101 juta rupiah,
kemudian Kota Depok dengan nilai 6.519.326,22 juta rupiah dan Kota Bogor
dengan nilai sebesar 4.782.307,18 juta rupiah (BPS Jawa Barat, 2011).
Pembangunan ekonomi adalah usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup
suatu wilayah yang seringkali diukur dengan tinggi rendahnya PDRB per kapita.
Tabel 3 menunjukkan bahwa besaran PDRB per kapita seluruh kota di Bodebek

5

masih dibawah rata-rata Jawa Barat. PDRB per kapita terbesar di PKN Bodebek
adalah Kota Bekasi, kemudian disusul oleh Kota Bogor dan Kota Depok.
Tabel 3 PDRB perkapita kota di PKN Bodebek atas dasar harga berlaku, tahun
2008 – 2011
Tahun
No. Kota
2008
2009
2010
2011
1
Kota Bekasi
13.473.852
13.894.462 15.280.958
17.051.881
2
Kota Bogor
11.089.020
12.788.558 14.635.801
16.009.371
3
Kota Depok
7.806.703
8.399.622
9.286.210
10.121.734
Jawa Barat
14.359.911
15.542.360 17.155.084
18.803.261
Sumber: BPS Jawa Barat Tahun 2012

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator komposit
tunggal yang digunakan untuk mengukur pencapaian pembangunan manusia yang
telah dilakukan di suatu wilayah. Walaupun tidak dapat mengukur semua dimensi
dari pembangunan manusia, namun mampu mengukur semua dimensi pokok
pembangunan manusia yang dinilai mencerminkan status kemampuan dasar
penduduk. Ketiga kemampuan dasar itu adalah umur panjang dan sehat yang
diukur melalui angka harapan hidup waktu lahir, berpengetahuan dan
berketerampilan yang diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama
sekolah, serta akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai
standar hidup layak yang diukur dengan pengeluaran konsumsi. Pada tahun 2011
nilai IPM untuk Kota Bogor dengan indeks 76,08, Kota Bekasi dengan indeks
76,72 dan Kota Depok dengan indeks 79,49.
Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan IPM Kota Bogor pada
periode studi mengalami fluktuasi dan berada di bawah PDRB kabupaten/kota
lain di PKN Bodebek, nilai PDRB per kapita Kota Bogor juga berada dibawah
rata-rata Jawa Barat,
ini merupakan masalah yang menarik untuk dikaji
mengingat sumber daya alam, prasarana penunjang relatif sama dibanding kota
lain, bahkan letak Kota Bogor berada di tengah dinilai memiliki arti strategis
tersendiri.
Menurut Todaro dan Smith (2006) ada tiga faktor atau komponen utama
yang berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi suatu daerah, ketiganya adalah
akumulasi modal, pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi. Akumulasi
modal (capital accumulation) meliputi semua jenis investasi baru baik yang
dilakukan oleh pemerintah ataupun swasta yang ditanamkan dengan bentuk tanah,
peralatan fisik, dan modal sumber daya. Akumulasi modal akan terjadi apabila
sebagian dari pendapatan ditabungkan (diinvestasikan) kembali dengan tujuan
untuk memperbesar output atau pendapatan di kemudian hari. Akumulasi modal
yang dilakukan oleh pemerintah menggambarkan seberapa besar peran
pemerintah dalam sistem perekonomian suatu daerah.
Nilai investasi PMDN dan PMA di Kota Bogor sangat fluktuatif sepanjang
tahun. Untuk tahun 2010 nilai realisasi seluruh investasi PMA dan PMDN di Kota
Bogor mencapai 1.002,665 milyar rupiah atau 104,61persen dari target RPJMD
Kota Bogor tahun 2010 sebesar 958,471 milyar rupiah. Pencapaian tersebut
antara lain dipengaruhi oleh program Peningkatan Promosi dan Kerjasama

6

Investasi. Hal ini disebabkan oleh realisasi investasi 22 perusahaan dari 47
perusahaan yang tercatat di Kota Bogor berdasarkan persetujuan BKPM, yang
terdiri dari 39 perusahaan PMA dan 8 perusahaan PMDN. Surat persetujuan
penanaman modal yang dikeluarkan selama tahun 2010 tersebut merupakan akibat
dari perluasan dan peningkatan kapasitas produksi perusahaan yang sudah
beroperasi di Kota Bogor (Pemerintah Kota Bogor, 2011). Jumlah realisasi
PMDN pada tahun 2010 sebesar 389,435 milyar rupiah atau mengalami kenaikan
sebesar 3.317,99 persen dari realisasi PMDN tahun 2009 sebesar 10,2 milyar
rupiah.
Faktor lain yang berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi adalah sumber
daya manusia yang ada di suatu wilayah. Penduduk yang bertambah dari waktu ke
waktu dapat menjadi pendorong maupun penghambat kepada pertumbuhan
ekonomi. Penduduk yang bertambah akan memperbesar jumlah tenaga kerja, dan
penambahan tersebut memungkinkan suatu daerah untuk menambah produksi.
Namun di sisi lain, akibat buruk dari pertambahan penduduk kepada pertumbuhan
ekonomi dihadapi oleh masyarakat yang tingkat pertumbuhan ekonominya masih
rendah. Hal ini berarti bahwa kelebihan jumlah penduduk tidak seimbang dengan
faktor produksi lain yang tersedia dimana penambahan penggunaan tenaga kerja
tidak akan menimbulkan penambahan dalam tingkat produksi.
Tingkat partisipasi angkatan kerja di Kota Bogor tahun 2010 mencapai
84,33 persen dari 716.428 jumlah penduduk angkatan kerja tahun 2010. Angka ini
meningkat dari tingkat partisipasi tahun 2009 yang mencapai 55,83 persen dari
363.622 jumlah penduduk angkatan kerja tahun 2009. Pencari kerja yang
ditempatkan di tahun 2010 mencapai 27,44 persen dari 4.631 pencari kerja yang
berhasil ditempatkan pada tahun 2010. Angka ini meningkat dari capaian tahun
2009 yang mencapai 7,27 persen dari 1.321 pencari kerja yang berhasil
ditempatkan tahun 2009. Tingkat pengangguran terbuka di tahun 2010 mencapai
2,36 persen dari 716.428 jumlah penduduk angkatan kerja. Angka ini meningkat
dari capaian tahun 2009 yang mencapai 4,99 persen dari 363.622 jumlah
penduduk angkatan kerja tahun 2009 (BPS Kota Bogor, 2011).
Modal manusia dalam terminologi ekonomi sering digunakan untuk untuk
bidang pendidikan, kesehatan dan berbagai kapasitas manusia lainnya yang ketika
bertambah dapat meningkatkan produktivitas. Pendidikan memainkan peran kunci
dalam hal kemampuan suatu perekonomian untuk mengadopsi teknologi modern
dan dalam membangun kapasitasnya bagi pembangunan dan pertumbuhan yang
berkelanjutan. Kesuksesan dalam pendidikan bergantung juga pada kecukupan
kesehatan. Disamping itu kesehatan merupakan prasayarat bagi peningkatan
produktivitas. Dengan demikian kesehatan dan pendidikan dapat juga dilihat
sebagai komponen vital dalam pertumbuhan dan pembangunan sebagai input bagi
fungsi produksi agregat (Todaro, 2002). Untuk mengetahui perkembangan belanja
bidang pendidikan dan kesehatan di Kota Bogor dari tahun 1990-2011 dapat
dilihat pada Gambar 1.

7

Belanja Pemkot Bogor (Rupiah)

Rp400.000.000.000

Variable
Belanja Kesehatan (Ks)
Belanja Pendidik an (Pd)

Rp300.000.000.000

Rp200.000.000.000

Rp100.000.000.000

Rp0
1990

1995

2000
2005
Tahun

2010

Gambar 1. Perkembangan Belanja Pemkot Bogor Bidang Pendidikan
dan Kesehatan Tahun 1990 – 2011
Sumber: BPS dan Bappeda Kota Bogor Tahun 2012

Gambar 1 memperlihatkan bahwa belanja pendidikan dan kesehatan sangat
fluktuatif. Belanja pendidikan mulai tumbuh setelah tahun 1999, dimana hal ini
sangat dipengaruhi oleh muncul suatu paradigma baru yaitu pembangunan yang
terpusat pada manusia (human centered development) yang dikembangkan oleh
United Nation Development Programe (UNDP). Melihat fenomena dari Kota
Bogor yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi relatif lamban yang berakibat
pada relatif rendahnya PDRB dibandingkan dengan wilayah lainnya di Bodebek,
penulis merasa tertarik untuk mengkaji sejauh mana pengaruh investasi, angkatan
kerja, dan belanja pemerintah terhadap kinerja ekonomi di Kota Bogor.

Rumusan Masalah
Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, terdapat berbagai faktor yang
mempengaruhi output suatu wilayah, yaitu total investasi, belanja pemerintah, dan
penyerapan tenaga kerja. Total investasi sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan
investasi dan penyusutan, belanja pemerintah daerah sangat dipengaruhi oleh
penerimaan daerah sementara penyerapan tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh
jumlah angkatan kerja, investasi daerah dan pengeluaran belanja pemerintah.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi Kota
Bogor relatif tumbuh di bawah angka pertumbuhan ekonomi kota-kota di
Bodebek.
Beberapa faktor yang nampaknya berpengaruh besar terhadap
pertumbuhan ekonomi Kota Bogor adalah faktor investasi, angkatan kerja dan
belanja pemerintah.
Total investasi dan angkatan kerja terampil sangat berpengaruh terhadap
jumlah output.
Tambahan investasi yang banyak tidak selalu menyebabkan
dimulainya proses perkembangan ekonomi, malahan kadang-kadang tambahan

8

investasi yang sedikit saja sudah dapat menyebabkan tumbuhnya perekonomian
dengan cepat.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa investasi itu lebih
merupakan hasil daripada merupakan sebab perkembangan ekonomi. Atau dengan
perkataan lain kemajuan perekonomian selalu menambah jumlah investasi,
sedangkan kenaikan dalam jumlah investasi belum tentu menyebabkan majunya
perekonomian.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian yang
dikemukakan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah peranan DAU, DAK, PAD dan DBH dalam penerimaan
pemerintah daerah di Kota Bogor?
2. Sejauhmana DAU, DAK, PAD dan DBH berpengaruh dalam belanja
pemerintah daerah di Kota Bogor?
3. Sejauhmana investasi, belanja pemerintah dan angkatan kerja berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota Bogor?
4. Sejauhmana belanja pemerintah bidang pendidikan, bidang kesehatan dan
upah minimum kota berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia di
Kota Bogor?

Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah :
1.
Mengidentifikasi tentang peranan DAU, DAK, PAD dan DBH dalam
penerimaan pemerintah daerah di Kota Bogor.
2.
Mengukur dan menganalisis peranan DAU, DAK, PAD dan DBH terhadap
belanja pemerintah daerah di Kota Bogor?
3.
Mengukur dan menganalisis besarnya dampak investasi, belanja pemerintah
dan angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota Bogor.
4.
Mengukur dan menganalisis besarnya dampak investasi, belanja pemerintah
dan upah minimum kota terhadap indeks pembangunan manusia di Kota
Bogor.
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1.
Secara akademis, diharapkan sebagai bahan informasi dan dapat dijadikan
referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya tentang pengaruh belanja
pendidikan, belanja kesehatan, total investasi dan angkatan kerja terhadap
pertumbuhan ekonomi di Kota Bogor.
2.
Secara praktis, diharapkan sebagai bahan pertimbangan bagi pembuat
kebijakan khususnya Pemerintah Kota Bogor dalam menentukan arah dan
strategi pembangunan di masa mendatang.

30

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pengaruh DAU terhadap Belanja Daerah
Literatur ekonomi dan keuangan daerah mendiskusikan secara luas sejak
akhir dekade 1950-an tentang hubungan pendapatan dan belanja daerah. Berbagai
hipotesis mengenai hubungan tersebut diuji secara empiris (Chang dan Ho, 2002).
Sebagian studi menyatakan bahwa pendapatan mempengaruhi belanja, sementara
sebagian lainya menyatakan bahwa belanjalah yang mempengaruhi pendapatan
(Aziz, 2000; dan Doi, 1998). Sementara studi tentang pengaruh transfer atau
grants dari pemerintah pusat terhadap keputusan pengeluaran atau belanja
Pemerintah daerah sudah berjalan lebih dari 30 tahun (Gamkhar dan Oates, 1996).
Secara teoritis, respon tersebut akan mempunyai efek distributif dan alokatif yang
tidak berbeda dengan sumber pendanaan lain, misalnya pendapatan pajak daerah
(Bradford dan Oates, 1971).
Namun, dalam studi empiris hal tersebut tidak selalu terjadi. Artinya,
stimulus terhadap pengeluaran daerah yang ditimbulkan oleh transfer atau grants
tersebut sering lebih besar dibandingkan dengan stimulus dari pendapatan (pajak)
daerah sendiri (flypaper effect). Holzt-eakin et al (1985) menyatakan bahwa
terdapat keterkaitan sangat erat antara transfer dari Pempus dengan belanja
Pemerintah daerah. Studi Legrenzi dan Milas (2001), menggunakan sampel
municipalities di Italia, menemukan bukti empiris bahwa dalam jangka panjang
transfer berpengaruh terhadap belanja daerah. Secara spesifik mereka menegaskan
bahwa variabel-variabel kebijakan Pemda dalam jangka pendek disesuaikan
(adjusted) dengan transfer yang diterima, sehingga memungkinkan terjadinya
respon yang non-linier dan asimetrik.
Gamkhar dan Oates (1996) menganalisa respon Pemda terhadap perubahan
jumlah transfer dari pemerintah federal di Amerika Serikat untuk tahun 19531991. Mereka menyatakan bahwa pengurangan jumlah transfer (cuts in federal
grants) menyebabkan penurunan dalam pengeluaran daerah. Holzt-Eakin et al
(1994) menganalisis model maximazing under uncertainty of intertemporal utility
funcion dengan menggunakan data runtun waktu selama tahun 1934-1991 untuk
mengetahui seberapa jauh pengeluaran daerah dapat dirasionalkan melalui suatu
model, dimana keputusan-keputusan didasarkan pada ketersediaan sumberdaya
secara permanen, bukan ketersediaan yang sifatnya temporer.
Mereka
menemukan bahwa semua current spending ditentukan oleh current resources.
Studi Holzt-Eakin et al (1985) menemukan bahwa grants tahun lalu dapat
memprediksi belanja tahun ini, namun sebaliknya, belanja tahun lalu tidak dapat
memprediksi pendapatan tahun berjalan.

Peranan Belanja Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Ada beberapa pertanyaan yang sering didiskusikan mengenai peranan sektor
publik dalam perekonomian. Pertanyaan tersebut berkaitan dengan mengapa
peranan sektor publik diperlukan dan apa peranan sektor publik dalam sistem
perekonomian. Menurut Musgrave (1989) ada beberapa premis yang diterima

10

secara umum dalam masyarakat bahwa, 1) komposisi output yang ada seharusnya
berada dalam garis yang sesuai dengan preferensi konsumsi individu dalam
masyarakat, 2) preferensi tersebut digunakan untuk didesentralisasikan dalam
membuat keputusan mengapa seluruh perekonomian tidak dipegang oleh swasta.
Sebuah perekonomian yang ideal, kompetitif sempurna dimana pengaturan
alokasi sumberdaya berasal dari pertukaran sukarela antara barang dan uang pada
harga pasar akan menghasilkan kuantitas maksimum barang dan jasa dari berbagai
sumber daya yang tersedia dalam perekonomian tersebut. Kenyataan yang ada,
pasar tidak selalu hadir dalam wujudnya yang ideal. Perekonomian pasar
seringkali terlilit polusi dan monopoli seiring dengan melonjaknya inflasi atau
pengangguran dan pada prakteknya pula bahwa distribusi pendapatan dalam
masyarakat Laissez-faire sangat tidak merata. Untuk mengatasi kelemahan
tersebut pemerintah mempunyai peranan penting dalam perekonomian.
Menurut Adam Smith dalam Mangkoesubroto (1998), mengemukakan
bahwa dalam perekonomian kapitalis, setiap individu yang paling tahu apa yang
paling baik bagi dirinya, sehingga dia akan melaksanakan apa yang dianggap
terbaik bagi dirinya sendiri. Setiap individu akan melaksanaskan aktivitas yang
harmonis seakan-akan diatur oleh invisible hand. Karena itu perekonomian dapat
berkembang maksimum. Sehingga Adam Smith mengatakan bahwa peran
pemerintah hanya terbatas pada pelaksanaan kegiatan yang tidak dilaksanakan
oleh pihak swasta, yaitu melaksanakan peradilan, pertahanan/keamanan, dan
pekerjaan umum. Sedangkan menurut Samuelson (1997) secara garis besar
pemerintah mempunyai tiga fungsi utama, yakni meningkatkan efisiensi,
menciptakan keadilan dan melaksanakan kebijakan stabilisasi Pemerintah yang
baik harus senantiasa berusaha menghindari dan memperbaiki kegagalan pasar
demi tercapainya efisiensi. Pemerintah juga harus memperjuangkan pemerataan
melalui program perpajakan dan redistribusi pendapatan untuk kelompok atau
golongan masyarakat tertentu. Pemerintah harus menggunakan perangkat
perpajakan, pembelanjaan dan peraturan moneter untuk menggapai stabilitas dan
pertumbuhan ekonomi, mengurangi laju inflasi dan pengangguran serta memacu
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Menurut Jones (1996) peran pemerintah dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu secara langsung dan secara tak langsung. Pengendalian secara langsung
diantaranya adalah masalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Sementara
pengendalian secara tak langsung diantaranya berhubungan dengan masalah
tingkat inflasi, tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran serta nilai
tukar.
Menurut Hyman dan David (1996); dalam sistem ekonomi negara campuran
(mixed economy) pemerintah hanya menyediakan jumlah barang dan jasa tertentu
yang tidak dapat disediakan oleh swasta serta mengatur alokasi perorangan.
Menurut Mangkoesubroto (1998), barang publik adalah beberapa jenis barang
yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, akan tetapi tidak seorangpun yang
bersedia menghasilkannya atau mungkin dihasilkan oleh pihak swasta akan tetapi
dalam jumlah yang terbatas. Barang publik mempunyai ciri-ciri : 1) tidak bersaing
(non rival in consumption) yaitu konsumsi dari seseorang tidak menyebabkan
menurunnya kemanfaatan oleh individu lainnya; 2) tidak dapat dikecualikan (non
excludability), artinya tidak seorangpun konsumen dapat dilarang dalam
memanfaatkannya. Barang dan jasa yang diproduksi pemerintah tersedia dalam

11

rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang/jasa yang relatif murah
karena harganya ditentukan rendah oleh pemerintah (subsidi), Reksohadiprodjo
(2001).
Pada sistem perekonomian campuran, pemerintah berpartisipasi dalam pasar
sebagai pembeli barang dan jasa. Pemerintah membeli input dari rumah tangga
dan mendapatkan hak kepemilikan dari sumber produktif (modal dan tanah).
Pemerintah menggunakan input untuk menghasilkan barang dan jasa yang tidak
dijual kepada sektor rumah tangga dan perusahaan, tetapi disediakan melalui
distribusi tanpa melalui pasar. Namun demikian pemerintah juga memiliki dan
menjalankan perusahaan, seperti jasa pelayanan pos, kereta api dan lainlain.Untuk membayar barang dan jasa yang dipergunakannya, pemerintah
mendapatkan pemasukan dari perusahaan dan rumah tangga, seperti hasil
pembayaran pajak, retribusi, royalti dan fee. Pemerintah menggunakan sumber
daya yang produktif untuk menghasilkan barang dan jasa termasuk pertahanan,
jalan, sekolah dan jasa-jasa lainnya.
Pengeluaran pemerintah merupakan seperangkat produk yang dihasilkan
yang memuat pilihan atau keputusan yang dibuat oleh pemerintah untuk
menyediakan barang-barang publik dan pelayanan kepada masyarakat. Total
pengeluaran pemerintah merupakan penjumlahan keseluruhan dari keputusan
anggaran pada masing-masing tingkatan pemerintahan (Pusat-Prop-Kab/Kota).
Pada masing-masing tingkatan dalam pemerintah ini dapat mempunyai keputusan
akhir proses pembuatan yang berbeda, dan hanya beberapa hal pemerintah yang
dibawahnya dapat dipengaruhi oleh pemerintahan yang lebih tinggi (Lee et al,
1998). RAPBD di Indonesia, pengeluaran pemerintah dapat dibedakan menjadi
dua yaitu :
1. Pengeluaran pembangunan dimaksudkan sebagai pengeluaran yang bersifat
menambah kapital (investasi) masyarakat dalam bentuk proyek-proyek
prasarana dasar dan sarana fisik.
2. Pengeluaran rutin secara umum diarahkan untuk menunjang kelancaran
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan meliputi belanja pegawai,
barang, perjalanan dinas, pemeliharaan, belanja rutin dan lain-lain seperti
belanja pensiun dan subsidi.
Pengeluaran pemerintah dapat dipandang sebagai pembelanjaan otonomi,
karena pendapatan nasional bukan merupakan faktor penting yang dapat
mempengaruhi keputusan pemerintah untuk menentukan anggaran belanjanya.
Faktor yang menentukan pengeluaran pemerintah adalah 1) pajak yang diharapkan
akan diterima, 2) pertimbangan-pertimbangan politik; dan 3) persoalan-persoalan
ekonomi yang sedang dihadapi (Sadono, 2000).
Dalam keadaan keseimbangan pada perekonomian tertutup, maka
Y=C+I+G
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.1)
Dimana :
C + I + G = C + S + T atau I + G = S + T

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.2)

Apabila dimisalkan sistem pajak adalah tetap, maka pendapatan nasional dapat
ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut :
Y=C+I+G

12

Y = a + b Yd + Io + Go
Y = a + b (Y – To) + Io + Go
Y – bY = a – bTo + Io + Go
Y (1-b) = a – bTo + Io + Go
Y=
( a – bTo + Io + Go)
Terjadinya perubahan pembelanjaan agregat, baik yang berasal dari
pengurangan pajak, kenaikan ekspor atau penurunan impor akan mampu
mengakibatkan perubahan keseimbangan dalam perekonomian dan perubahan
dalam pendapatan nasional. Apabila pertambahan pengeluaran pemerintah sebesar
ΔG, maka kenaikan pendapatan nasional sebesar :
Y1 =

(a – bTo + Io + Go + ΔG)

ΔY = Y1 – Yo =

. ΔG . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.3)

sedangkan multiplier (α) dari perubahan tersebut adalah sebesar :
α = ΔY/ΔG =

. . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(2.4)

Dengan demikian hal ini memberikan gambaran bahwa semakin meningkatnya
pendapatan daerah, karena peningkatan agregat demand akan mendorong
kenaikan investasi dan akhirnya akan menyebabkan kenaikan produksi (Gambar
2). Dalam model pertumbuhan endogen, di katakan bahwa hasil investasi justru
akan semakin tinggi bila produksi agregat di suatu negara semakin besar dengan
mengasumsikan bahwa investasi swasta dan publik (pemerintah) di bidang
sumber daya atau modal manusia dapat menciptakan ekonomi eksternal (eksternal
positif) dan memacu peningkatan produktivitas yang mampu mengimbangi
kecenderungan alamiah penurunan skala hasil.
Meskipun tekhnologi tetap diakui
memainkan peranan yang sangat penting, namun model pertumbuhan endogen
menyatakan bahwa faktor tekhnologi tersebut tidak perlu ditonjolkan untuk
menjelaskan proses terciptanya pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Implikasi
yang menarik dari teori ini adalah mampu menjelaskan potensi keuntungan dari
investasi komplementer (complementary investment) dalam modal, atau sumber
daya manusia, sarana prasarana, infrastruktur atau kegiatan penelitian.
Mengingat investasi komplementer akan menghasilkan manfaat personal
maupun sosial, maka pemerintah berpeluang untuk memperbaiki efisiensi alokasi
sumberdaya domestik dengan cara menyediakan berbagai macam barang publik
(sarana infrastruktur) atau aktif mendorong investasi swasta dalam industri padat
tekhnologi dimana sumber daya manusia diakumulasikan. Dengan demikian,
model ini menganjurkan keikutsertaan pemerintah secara aktif dalam pengelolaan
investasi baik langsung maupun tidak langsung.
Menurut Mangkoesubroto (1998) Pengeluaran pemerintah mencerminkan
kebijakan pemerintah. Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan

13

untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya
yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

Pengeluaran
Agregat

E1

E0
Δ

Y0

Gambar 2

Y1

Pendapatan Nasional

Efek kenaikan pengeluaran pemerintah
Sumber: Sukirno ( 2000)

Pengeluaran pemerintah dalam arti riil dapat dipakai sebagai indikator
besarnya kegiatan pemerintah yang dibiayai oleh pengeluaran pemerintah itu.
Semakin besar dan banyak kegiatan pemerintah, semakin besar pula pengeluaran
pemerintah yang bersangkutan. Proporsi pengeluaran pemerintah terhadap
penghasilan nasional (GNP) adalah suatu ukuran terhadap kegiatan pemerintah
dalam suatu perekonomian. Teori makro mengenai pengeluaran pemerintah dapat
digolongkan dalam tiga golongan yaitu :
a.

Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah.
Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan
perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap pembangunan ekonomi.
Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah
terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan
prasarana. Pada tahap menengah investasi pemerintah tetap diperlukan untuk
menghindari terjadinya kegagalan pasar yang disebabkan oleh investasi swasta
yang sudah semakin besar pula. Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, aktivitas
pemerintah beralih pada bentuk pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas-aktivitas
sosial.

14

b.

Hukum Wagner
Hukum Wagner menyatakan bahwa dalam suatu perekonomian, apabila
pendapatan perkapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan
meningkat. Menurut Wagner (dalam Mangkoesubroto, 1998) mengapa peranan
pemerintah semakin besar, disebabkan karena pemerintah harus mengatur
hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum, pendidikan, rekreasi
kebudayaan dan sebagainya. Kelemahan hukum Wagner adalah karena