Identification of calpastatin gene (CAST|AluI) polymorphisms in indonesian cattle breed using PCR-RFLP technique

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN CALPASTATIN
(CAST|AluI) PADA BANGSA SAPI INDONESIA
DENGAN METODE PCR-RFLP

SKRIPSI
AHMAD FURQON

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

RINGKASAN
Ahmad Furqon. D14080130. 2012. Identifikasi Keragaman Gen Calpastatin
(CAST|AluI) pada bangsa sapi Indonesia dengan metode PCR RFLP . Skripsi.
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota

: Prof. Dr. Ir. Muladno, M.SA.

: Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si.

Gen calpastatin merupakan salah satu gen yang berhubungan dengan
keempukan daging yang berfungsi sebagai penghambat (inhibitor) enzim calpain.
Identifikasi keragaman gen calapastatin (CAST|AluI) pada sapi lokal dengan
menggunakan metode PCR RLFP masih terbatas. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui keragaman gen CAST|AluI pada sapi Bali, sapi Madura, sapi Pesisir, sapi
Aceh dan sapi Katingan dengan metode Polymerase Chain Reaction - Restriction
Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP).
Sampel darah sapi yang digunakan sebanyak 282 sampel yang terdiri atas
sapi Bali (102 sampel), sapi Madura (68 sampel), sapi Pesisir (49 sampel), sapi
Katingan (50 sampel) dan sapi Aceh (14 sampel). Identifikasi keragaman gen
CAST|AluI menggunakan pendekatan Polymerase Chain Reaction - Restriction
Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) dengan menggunakan enzim restriksi
AluI. Data genotipe gen CAST|AluI dianalisis dengan pendekatan frekuensi genotipe
dan alel serta pendugaan nilai heterozigositas.
Hasil amplifikasi gen CAST|AluI pada sapi lokal Indonesia menghasilkan
fragmen sepanjang 624 pb dan tiga genotipe yang berbeda yaitu GG (474 pb), GC
(474 pb dan 324 pb) dan CC (324 pb). Frekuensi genotipe GG tertinggi ditemukan
pada semua bangsa sapi Indonesia, tetapi genotipe CC tidak ditemukan pada sapi

Aceh. Frekuensi alel G tertinggi ditemukan pada populasi sapi Bali (85,8%), sapi
Madura (80,1%), sapi Pesisir (78,6%), sapi Aceh (80,8%), dan sapi Katingan
(85,0%). Frekuensi alel C sapi Bali, Madura, Pesisir, Aceh dan Katingan berturutturut adalah 14,2%, 19,9%, 21,4%, 19,2%, dan 15,0%. Pendugaan nilai
heterozigositas tertinggi terdapat pada sapi Pesisir dan sapi Aceh, sedangkan nilai
heterozigositas terendah terdapat pada sapi Bali, sapi Madura dan sapi Katingan.
Identifikasi keragaman gen CAST|AluI menunjukkan bahwa bangsa sapi lokal
Indonesia bersifat polimorfik dengan ditemukannya 3 genotipe (GG, GC, CC) dan 2
alel (G dan C). Adanya keragaman gen CAST|AluI dapat dijadikan sumber informasi
dasar dalam penyeleksian ternak unggul yang berhubungan dengan sifat keempukan
daging pada sapi pedaging.
Kata-kata kunci: bangsa sapi Indonesia, gen CAST|AluI, PCR-RLFP, keragaman

ABSTRACT
Identification of Calpastatin Gene (CAST|AluI) Polymorphisms in Indonesian
Cattle Breed Using PCR-RFLP Technique
Furqon, A., Muladno, and Jakaria
Calpastatin (CAST) is dependent proteases and a specific inhibitor of the μ-calpain
and m-calpain function, were found in mammalian tissues. Calpastatin (CAST) gene
is a gene that have functions in inhibiting muscle protein degradation and responsible
for muscle hypertrophy. The purpose of this study is to identify polymorphism of the

Calpastatin (CAST) gene in Indonesian local cattles (Bali, Madura, Pesisir, Aceh and
Katingan). DNA polymorphisms within the calpastatin gene may lead to the
phenotypic differences of cattle growth traits. A 624 bp of Indonesian local cattles
calpastatin gene was successfully amplified using Polymerase Chain Reaction (PCR)
technique. PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length
Polymorphism) method will be used to identify polymorphism of calpastatin genes in
local cattles. An AluI restriction enzyme will cut the PCR product into two different
length fragments that are 474 bp and 324 bp and revealed two alleles system, G and
C and three genotypes GG, GC and CC. All of Indonesian local cattles population
are polymorphic in calpastatin gene. The highest GG genotype frequency was found
in all Indonesian local cattles, but the CC genotype was not found in Aceh Cattle.
The G allele frequency was found in Bali Cattle population (85,8%), Madura Cattle
population (80,1%), Pesisir Cattle population (78,6%), Aceh Cattle population
(80,8%), and Katingan Cattle population (85,0%). The allele C frequencies of Bali,
Madura, Pesisir, Aceh and Katingan Cattle population are 14,2%, 19,9%, 21,4%,
19,2%, and 15,0%, respectively. The higest heterozygosity value was found in
Pesisir cattle and Aceh cattle, while the lower heterozygosity value was found in
Bali, Madura, and Katingan cattles population. Based on the analysis, Indonesian
cattle breed (bali cattle, madura cattle, pesisir cattle aceh cattle, and katingan cattle)
are polymorphic in calpastatin gene with three genotipes (GG, GC, CC) and two

alelles (G and C).
Keywords: Indonesian cattle breed, gene CAST|AluI, PCR-RLFP, polymorphism

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN CALPASTATIN
(CAST|AluI) PADA BANGSA SAPI INDONESIA
DENGAN METODE PCR-RFLP

AHMAD FURQON
D14080130

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012


Judul : Identifikasi Keragaman Gen Calpastatin (CAST|AluI) pada Bangsa Sapi
Indonesia dengan Metode PCR-RFLP
Nama : Ahmad Furqon
NIM : D14080130

Menyetujui,

Pembimbing Utama

Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA.
NIP. 19610824 198603 1 001

Pembimbing Anggota

Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si.
NIP. 19660105 199303 1 001

Mengetahui,
Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan


Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
NIP. 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian: 8 Agustus 2012

Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 18 Mei 1991 di Jakarta. Penulis adalah anak
pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Luthfi dan Ibu Sumiati.
Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1996 di Madrasah
Ibtidaiyyah Al Ittihadiyyah sampai kelas 3 kemudian pindah ke SDN Sukatani 7
pada tahun 1998 dan diselesaikan pada tahun 2002. Pendidikan menengah tingkat
pertama dimulai pada tahun 2002 dan diselesaikan pada tahun 2005 di SMPN 11
Depok. Penulis melanjutkan pendidikan menengah tingkat atas di SMAN 4 Depok
pada tahun 2005 dan diselesaikan pada tahun 2008.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi
dan Teknologi Peternakan. Penulis pernah menjadi anggota dalam organisasi

jurnalistik kampus Majalah Emulsi pada tahun 2009-2011. Selain itu, penulis juga
pernah menjadi anggota Animal Breeding and Genetic Student Community
(ABGSCi) periode 2011-2012. Penulis pernah menjadi finalis Sosro Youth Business
Competition pada tahun 2011 dan juara II lomba karikatur Fapet Show Time 2010.
Penulis juga berkesempatan menjadi penerima beasiswa PPA tahun 2010 hingga saat
ini dan menerima dana hibah Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian oleh
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi pada tahun 2012.

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT atas nikmat,
rahmat, dan karunia yang telah diberikan sehingga penelitian dan skripsi ini dapat
terselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah
Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan pengikutnya. Skripsi yang berjudul
Identifikasi Keragaman Gen Calpastatin (CAST|AluI) pada bangsa sapi
Indonesia dengan metode PCR RFLP merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Ternak sapi pedaging merupakan salah satu komoditas yang memiliki
berbagai manfaat. Namun, perkembangan populasi dan produktivitas sapi pedaging
di Indonesia belum optimal sehingga berpotensi untuk ditingkatkan. Beberapa cara
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas ternak antara lain dengan

perbaikan pakan, manajemen pemeliharaan, seleksi, dan persilangan. Seleksi pada
ternak dapat dilakukan pada level DNA, salah satunya dengan teknik PCR-RFLP
yang digunakan untuk mendeteksi keragaman gen yang berhubungan dengan sifat
ekonomis seperti sifat keempukan daging.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak kekurangan.
Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan tulisan ini.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi pedoman dasar
untuk penelitian serupa pada masa yang akan datang. Amin.
Bogor, September 2012
Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN………………………………………………………………...

ii

ABSTRACT …....…………………………………………………………...

iii


LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………......

iv

LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………....

v

RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………….....

vi

KATA PENGANTAR ……………………………………………………..…

vii

DAFTAR ISI ………………………………………………………………..

viii


DAFTAR TABEL ………………………………………………………......

x

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….

xi

DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….........

xii

PENDAHULUAN …………………………………………………………....

1

Latar Belakang …………………………………………………........
Tujuan …………………………………………………………........


1
2

TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………

3

Sapi Lokal Indonesia....................……………………………….....
Penanda Molekuler.......................……….........................................
Gen Calpastatin...........………..........................................................

3
5
6

MATERI DAN METODE ………………………………………………...…

8

Lokasi dan Waktu …………………………………………………...
Materi ……………………………………………………………......
Sampel …………………………………………………….…
Alat dan Bahan………………………………………...........
Prosedur ……………………………………………………………
Pengambilan Sampel.........…………………………….........
Ekstraksi DNA...……………………………………….......
Amplifikasi DNA....................................……..…………....
Elektroforesis..................……………………………...........
Genotyping …………………………………………………
Rancangan dan Analisis Data…………………………………….......

8
8
8
8
9
9
9
10
11
11
12

HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………...…

14

Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST|AluI)……................…….......
Penentuan Genotipe Gen Calpastatin………………………............
Keragaman Gen Calpastatin..........................................………...….
Keseimbangan Gen dalam Populasi...................................................
Pendugaan Nilai Heterozigositas……………………………..............

14
15
17
19
20

KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………..

22

Kesimpulan ………………………………………………………..
Saran …………………………………………………………........

22
22

UCAPAN TERIMA KASIH ………………………………………….......

23

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….....

24

LAMPIRAN ………………………………………………………………

28

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1. Karakteristik Fenotipik Bangsa Sapi Indonesia …………….......

4

2. Jumlah Sampel Ternak Sapi Indonesia.....................…………....

8

3. Hasil Identifikasi Genotipe Gen Calpastatin pada Bangsa Sapi
Indonesia…………………………………………………………

16

4. Nilai Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen CAST|AluI
pada Bangsa Sapi Indonesia...........................................................

17

5. Nilai Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen CAST|AluI
pada Bos taurus..............................................................................

18

6. Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Heterozigositas
Harapan (He) gen CAST|AluI pada Bangsa Sapi Indonesia..........

19

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1. Karakteristik Fenotipik Bangsa Sapi Indonesia. (a) Sapi Bali
Betina (b) Sapi Bali Jantan (c) Sapi Madura (d) Sapi Aceh (e)
Sapi Pesisir (f) Sapi Katingan..........................................................

5

2. Struktur Gen Calpastatin Sapi …………………...............................

7

3. Posisi Penempelan Primer pada Sekuen Gen Calpastatin
CAST|AluI…………...........................................................................

10

4. Penentuan Genotipe Gen Calpastatin …………................................

12

5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%..............

14

6. Hasil PCR-RFLP Ruas Gen Calpastatin pada Gel Agarose 2%......

15

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1. Sekuen gen Calpastatin Bos taurus dengan Nomor Akses
GenBank AF117813........................................................................

29

2. Sekuen gen Calpastatin Bos taurus dengan Nomor Akses
GenBank AY834765........................................................................

31

3. Sekuen gen Calpastatin Bos taurus dengan Nomor Akses
GenBank AY834775.......................................................................

35

2

2

2

4. Hasil Uji X Keseimbangan Hardy-Weinberg (p +2pq+q )
Fragmen Gen CAST pada Bangsa Sapi Indonesia..........................

41

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi potong merupakan hewan ternak yang dipelihara untuk diambil daging
sebagai hasil utamanya. Banyak bangsa sapi potong yang terdapat di dunia, beberapa
diantaranya terdapat di Indonesia. Beberapa bangsa sapi potong yang terdapat di
Indonesia adalah sapi Bali, sapi Madura, sapi Pesisir, sapi Aceh dan sapi Katingan.
Kelima sapi tersebut memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda. Bangsa sapi
tersebut sangat potensial untuk dikembangkan sebagai sumberdaya genetik ternak
lokal Indonesia. Namun, keberadaan bangsa sapi Indonesia masih kurang mendapat
perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat sehingga pengembangan dan
pemanfaatan bangsa sapi Indonesia belum optimal.
Keempukan daging (meat tenderness) merupakan faktor yang penting di
dalam penentuan kualitas daging. Beberapa faktor diidentifikasi berhubungan dengan
proses pengempukan daging setelah pemotongan seperti lama rigormortis, pH, dan
enzim keempukan daging. Perubahan fisiologi struktur otot setelah pemotongan
merupakan proses fisiologis yang kompleks. Dua enzim yang berperan terhadap
keempukan daging adalah enzim calpastatin yang dihasilkan oleh gen CAST dan
calpain yang dihasilkan oleh gen calsium-activative neural protease (CAPN 1)
(Koohmarie, 1966). Calpastatin merupakan enzim protease utama dan bersifat
inhibitor spesifik terhadap fungsi µ-calpain dan m-calpain. Aktivitas calpastatin
meningkat ketika aktivitas degradasi protein pada jaringan otot hewan hidup
menurun. Calpastatin berfungsi untuk menghambat proses degradasi protein sel otot.
Selain itu, diduga kuat terkait dengan sifat pertumbuhan otot dan keempukan daging
pada mamalia (Morgan et al., 1993).
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas daging adalah
melakukan identifikasi keragaman gen CAST pada bangsa sapi Indonesia. Penelitian
mengenai gen calpastatin di Indonesia masih sangat jarang dilakukan. Salah satu
cara untuk melakukan identifikasi keragaman gen CAST bangsa sapi Indonesia dapat
dilakukan dengan metode PCR-RFLP.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman gen CAST|AluI pada
bangsa sapi Indonesia dengan metode Polymerase Chain Reaction - Restriction
Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP).

2

TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Lokal Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumberdaya genetik
ternak. Sapi merupakan salah satu jenis ternak di Indonesia yang memiliki potensi
besar terutama sebagai ternak penghasil daging. Direktorat Jendral Peternakan
(2008) melaporkan bahwa keberadaan sapi lokal Indonesia pada beberapa tahun
terakhir ini masih kurang mendapat perhatian serius baik dari pemerintah maupun
masyarakat. Dilihat dari potensi yang dimiliki, sapi lokal Indonesia mampu secara
sosial dan budaya berinteraksi dengan masyarakat sejak lama.
Sumberdaya genetik ternak adalah semua yang termasuk dalam spesies,
bangsa, dan strain (galur) ternak yang secara ekonomi, ilmiah, dan budaya penting
bagi umat manusia baik dalam bentuk makanan maupun produksi (Food Agriculture
Organization, 1999). Departemen Pertanian (2006) menyatakan bahwa sumberdaya
genetik ternak adalah substansi yang terdapat dalam bentuk individu suatu populasi
rumpun ternak secara genetik unik, terbentuk dalam proses domestikasi dari masingmasing spesies yang memiliki potensial serta dapat dimanfaatkan dan dikembangkan
baik untuk menciptakan rumpun atau galur unggul.
Sumberdaya ternak sapi Indonesia saat ini terdiri dari tiga kelompok yaitu
ternak asli, ternak impor dan ternak yang telah beradaptasi. Beberapa bangsa sapi
yang menjadi sumberdaya adalah sapi Aceh, sapi Madura, sapi Pesisir, dan sapi
Peranakan Ongole. Keragaman sapi di Indonesia terbentuk dari sumberdaya genetik
asli dan impor. Sehubungan dengan pentingnya nilai konservasi pada kelompok
ternak, maka beberapa bangsa sapi menjadi target konservasi sekaligus
pemanfaatannya (Utoyo, 2002). Salah satu jenis sapi lokal Indonesia adalah sapi
Bali. Sapi Bali dipercaya sebagai salah satu sapi lokal Indonesia yang diperoleh dari
hasil domestikasi Banteng (Namikawa, 1980). Martojo (2003) menyatakan bahwa
hasil domestikasi spesies Bos (Bibos) banteng adalah sapi Bali (Bos sundaicus) atau
(Bos javanicus) yang sekarang telah menjadi bangsa ternak asli Indonesia.
Keragaman ternak sapi di Indonesia mengakibatkan keragaman karakteristik
fenotipik pada bangsa sapi Indonesia. Karakteristik fenotipik pada bangsa sapi
Indonesia, yaitu sapi Bali, sapi Madura, sapi Pesisir, sapi Aceh, dan sapi Katingan
disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Fenotipik Bangsa Sapi Indonesia
Ternak
Sapi Bali

Karakteristik

Literatur

Warna bulu merah bata, hitam (jantan Haryana
(1989),
dewasa). Bobot badan 310 kg
Adrial (2010)
Warna putih pada bagian pantat, perut, Hardjosubroto
keempat kaki bawah, bagian dalam Astuti (1993)
telinga hingga pinggiran bibir atas.

&

Kadar lemak rendah dan warnanya Payne dan Hodges
cenderung kuning
(1997), Kirby (1979)
Sapi Madura

Berukuran sedang, pertulangan bagus, Huitema
(1986),
berotot bagi sapi jantan, tanduk kecil ke Adrial (2010)
atas atau ke samping, kaki dan teracak
kuat, gumba berkembang baik pada
jantan, terdapat lingkaran putih di
sekitar moncong. Bobot badan 248 kg

Sapi Pesisir

Tubuh kecil, badan pendek, kaki kecil, Sarbaini
(2004),
Memiliki lima warna bulu tunggal Saladin (1983), Adrial
(merah bata, kuning, cokelat, hitam, (2010)
putih), temperamen jinak, berpunuk
kecil sampai sedang, bertanduk pendek
mengarah ke luar, bobot badan lebih
rendah dari sapi ongole. Bobot badan
160 kg

Sapi Aceh

Memiliki variasi warna tubuh, gumba Namikawa. et al.
berukuran sedang (jantan), memiliki (1982), Otsuka et al.
warna cokelat yang lebih gelap pada (1980), Adrial (2010)
bagian depan dibandingkan bagian
belakang tubuhnya. Bobot badan 302 kg

Sapi Katingan

Ukuran tubuh jantan tidak terlalu besar Utomo et al. (2010)
dibandingkan betina, memilki gumba
yang cukup jelas, tonjolan pada kepala
bagian atas pada betina, tanduk
melengkung ke depan

Karakterisik fenotipik pada ternak digunakan sebagai penciri atau pembeda
antara jenis ternak satu dengan ternak yang lain. Karakterisitik fenotipik pada sapi
dapat dilihat dari ukuran tubuh, warna bulu, bentuk tanduk, serta keberadaan gumba
dan punuk. Karakteristik fenotipik bangsa sapi Indonesia yang beragam ditunjukkan
pada Gambar 1.

4

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

Gambar 1. Karakteristik Fenotipik Bangsa Sapi Indonesia. (a) Sapi Bali Betina (b)
Sapi Bali Jantan (c) Sapi Madura (d) Sapi Pesisir (e) Sapi Aceh dan (f)
Sapi Katingan.
Sumber : Republika, 2011

Penanda Molekuler
Penanda molekuler merupakan pemanfaatan dari keragaman pada tingkat
deoxyribonucleic acid (DNA). Penanda molekuler memiliki peranan penting dalam
genetika ternak. Hal tersebut merupakan salah satu faktor utama yang mendasari

5

terjadinya proses seleksi (Vignal et al., 2002). Tipe dasar perubahan dalam DNA
meliputi substitusi, delesi, inersi, dan inversi (Nei dan Kumar, 2000).
Single nucleotide polymorphims (SNP) merupakan penanda yang memiliki
perbedaan satu nukleotida dalam sekuen DNA, dan diperkirakan bahwa satu SNP
terjadi setiap 250-1000 bp. Perbedaan tersebut disebabkan oleh terjadinya proses
substitusi, sehingga biasanya memiliki dua kemungkinan pada posisi yang sama
dalam sekuen DNA (Vignal et al., 2002). Frekuensi mutasi dan stabilitas yang tinggi
menyebabkan SNP sering digunakan sebagai penanda molekuler dalam penelitian
tentang genetika populasi dan pemetaan gen untuk penyakit kompleks (Ye et al.,
2001). Metode yang digunakan dalam menganalisis adanya SNP antara lain PCRRFLP dan sequencing.
Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu teknik untuk
menggandakan jumlah molekul DNA scara in vitro. Proses ini berjalan dengan
bantuan enzim polymerase dan primer. Primer merupakan oligonukleotida spesifik
pada DNA template. Enzym polymerase merupakan enzim yang dapat mencetak
urutan DNA baru. Hasil PCR dapat langsung divisualisasikan dengan elektroforesis
atau dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut (Williams, 2005).
Restriction Fragment Lenght Polymorphism (RFLP) merupakan salah satu
teknik penciri genetik (genetic marker) yang dikembangkan oleh Botstein et al.
(1980) yang digunakan untuk mengetahui adanya keragaman sekuens DNA. Mullis
et al. (1986) menyatakan bahwa penggunaan teknik RFLP menjadi lebih intensif
setelah teknik RFLP dikombinasikan dengan teknologi PCR yang digunakan hingga
saat ini.
PCR-RFLP merupakan metode analisis lanjutan dari produk PCR. Metode
PCR-RFLP memanfaatkan perbedaan pola pemotongan enzim pemotong yang
berbeda pada tiap-tiap mikroorganisme. Analisis RFLP sering digunakan untuk
mendeteksi lokasi genetik dalam kromosom (Orita et al., 1989), ataupun untuk
mendeteksi adanya keragaman pada gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis,
seperti produksi dan kualitas susu (Sumantri et al., 2007).
Gen Calpastatin
Keempukan daging (meat tenderness) merupakan faktor yang penting
di dalam penentuan kualitas daging. Beberapa faktor diidentifikasi berhubungan
6

dengan proses pengempukan daging setelah pemotongan seperti lama rigormortis,
pH,dan sistem enzim keempukan daging. Perubahan fisiologi struktur otot setelah
pemotongan merupakan proses fisiologis yang kompleks. Dua enzim yang berperan
terhadap keempukan daging adalah enzim calpastatin yang dihasilkan oleh gen
CAST dan calpain yang dihasilkan oleh gen calsium-activative neural protease
(CAPN 1) (Koohmarie, 1966). Calpastatin merupakan enzim protease utama dan
bersifat inhibitor spesifik terhadap fungsi µ-calpain dan m-calpain. Aktivitas
calpastatin meningkat ketika aktivitas degradasi protein pada jaringan otot hewan
hidup menurun. Calpastatin berfungsi untuk menghambat proses degradasi protein
sel otot. Selain itu, diduga kuat terkait dengan sifat pertumbuhan otot dan keempukan
daging pada mamalia (Morgan et al., 1993).
Gen calpastatin pada ternak sapi (Bos taurus) terletak pada kromosom nomor
7 (Bishop et al., 1993) sedangkan pada domba nomor 5 (Hediger et al., 1991). Gen
calpastatin dengan simbol CAST terletak diantara dua penciri apit mikrosatelit
MCM527 dan BMS1247 pada posisi lokus 5q15 – q21 antara 96,057-96,136 Mb
(Gambar 2).

Gambar 2. Daerah Target Amplifikasi Gen Calpastatin
Sumber : Palmer et al., 2000

Kubiak et al. (2004) melaporkan bahwa terdapat keragaman gen Calpastatin
pada Bos taurus di bagian ekson 1C, intron 1 dan ekson 1D. Hasil pemotongan
produk PCR dengan enzim restriksi AluI menghasilkan dua alel, yaitu alel G dan C
dengan panjang produk 474 pb dan 324 pb. Schenkel et al. (2006) mendapatkan
bahwa polimorfisme pada gen CAST sangat berhubungan erat dengan keempukan
daging pada sapi. Genotip CC pada gen CAST menyebabkan sapi mempunyai tingkat
keempukan daging yang lebih tinggi dibandingkan sapi dengan genotip GG.

7

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetik
Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetik Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini
dilaksanakan selama lima bulan yaitu mulai September 2011 sampai dengan Februari
2012.
Materi
Sampel
Sampel darah sapi lokal Indonesia yang digunakan sebanyak 282 sampel
terdiri atas sampel sapi Bali, sapi Madura, sapi Aceh, sapi Pesisir, dan sapi Katingan.
Jumlah sampel dari masing-masing sapi lokal Indonesia yang digunakan dalam
penelitian ini disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Sampel Ternak Sapi Indonesia
Ternak Sapi

N

Tahun Koleksi

Sapi Pesisir

49

2006

Kab. Pesisir Selatan

Sapi Aceh

13

2010

Kab. Aceh Besar

2010

Balai Pembibitan

Sapi Bali

Asal

Ternak Unggul Sapi

102

Bali
Sapi Katingan

50

Sapi Madura

68

Total

282

2010

Daerah Aliran Sungai
Katingan

2011

Pulau Kangean

Keterangan: N = jumlah individu

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam ekstraksi DNA adalah DW, NaCl, ProteinaseK, 1x STE (5M NaCl, 2M tris HCl, 0,2M EDTA), SDS 10% (sodium dodesil sulfat),
CIAA (klorofom iso amil alkohol), fenol, etanol absolut, etanol 70% dan buffer TE
80% (tris EDTA). Bahan yang digunakan dalam PCR-RFLP adalah air bebas ion

steril, sampel DNA, buffer, MgCl2, pasangan primer, enzim taq dan dNTP, enzim
retriksi AluI dan buffer AluI. Bahan yang digunakan dalam elektroforesis adalah air
destilasi, agarose, 0,5x TBE, EtBr, loading dye (0,01% Xylene cyanol, 0,01%
Bromtimolblue, 50% gliserol), dan marker 100 bp. Bahan yang digunakan dalam
genotyping yaitu loading dye (bromthymol blue 0,01%, Xylene cyanol 0,01% dan
gliserol 50%) dan untuk membuat 1 lembar gel agarose 1% adalah sebagai berikut:
agarose 0,3 g, 0,5 TBE 30 ml, dan 2,5 μl EtBr.
Alat yang digunakan antara lain autoclave, satu set pipet mikro dan tipnya,
vortexmixer, alat sentrifugasi, refrigerator, dan freezer, tabung PCR, mesin PCR,
satu set alat pencetak gel, power supply 100 volt, microwave, stearer, magnet
stearer, gelas ukur, dan tabung erlenmeyer.
Prosedur
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan pada lima bangsa sapi berbeda, yaitu sapi
Bali, sapi Madura, sapi Pesisir, sapi Aceh dan sapi Katingan. Sampel darah diambil
melalui vena jugularis menggunakan jarum vacutainer tabung vacum yang
ditambahakan alkohol 70%. Sampel disimpan dalam termos es atau lemari es sampai
akan digunakan lebih lanjut.
Ekstraksi DNA
Ektraksi DNA yang dilakukan merupakan modifikasi dari metode Sambrook
et al. (1989). Sampel darah yang disimpan dalam alkohol 70% diambil sebanyak 200
µl, kemudian ditambahkan 1000 μl DW. Sampel divortex lalu didiamkan selama 5
menit. Setelah itu disentrifuse pada kecepatan 8000 rpm selama 5 menit, lalu
supernatan dibuang, dan diulangi seperti proses sebelumnya, kemudian ditambahkan
10 µl proteinase-K yang berfungsi untuk menghancurkan protein, 350 µl 1xSTE
(sodium tris-EDTA) dan 40 µl 10% SDS (sodium dodesil sulfat) yang berfungsi
untuk melisiskan membran sel. Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada suhu
550C selama 2 jam sambil dikocok pelan menggunakan alat pemutar (tilting).
Molekul DNA kemudian dimurnikan dengan metode fenol-chloroform, yaitu
dengan menambahkan 40 µl 5M NaCl, 400 µl larutan fenol dan CIAA (chloroform
iso amil alcohol), lalu dikocok pelan (tilting) pada suhu ruang selama 1 jam. Molekul
9

DNA yang larut dalam fase air dipisahkan dari fase fenol dengan alat sentrifugasi
pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit. Setelah terbentuk fase DNA, diambil
sebanyak 40 µl pada fase DNA untuk dipindahkan ke tabung baru 1,5 ml. Kemudian
ditambahkan 5M NaCl sebanyak 40 µl dan etanol absolut sebanyak 800 µl. Molekul
DNA kemudian dimalamkan (over night) pada suhu -200C.
Molekul DNA kemudian dipisahkan dari etanol absolut dengan cara
sentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit, kemudian supernatan yang
diperoleh dibuang. Endapan yang terbentuk kemudian dicuci dengan menambahkan
70% etanol sebanyak 800 µl dan disentrifugasi kecepatan 12.000 rpm selama 5
menit. Supernatan yang diperoleh kemudian dibuang sehingga didapatkan endapan
molekul DNA. Endapan tersebut didiamkan sampai kering. Lalu endapan DNA
disuspensikan dalam 100 µl 80% buffer TE (tris EDTA).
Amplifikasi DNA
Sekuen primer yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan Palmer et al.
(1998), yaitu primer forward (AF146) 5’ TGGGGCCCAATGACGCCATCGATG 3’
yang terletak di ekson 1C dan primer reverse (AF147) 5’ GGTGGAGCAGCAC
TTCTGATCACC 3’ yang terletak di ekson 1D (Gambar 3), dengan panjang produk
PCR 624 pb.
Forward
1 tggggcccaa tgatgccatc gatgccttgt catccgactt cacctgcagt tcccctacag
61 ctgatgcaaa gaaaactgag aaagaggtat ggtttttaat gcccttaggg aagcttgtta
121 gaaactacct cccactttaa gacaacaact tttttttaaa cttcattttt cacttcactg
181 cgtcttcatt gctgtgttcg ggctttctct agttggggca agcgaggcct gttctctatt
241 tgcaattttt aggcttctgc agggggctcc tcttgttgct gggccggggc tctaggtgca
301 caggcttcat ttgttgtggc tcgagggctc taaaccacag gctcattggt cttggcgcac
361 gggcatggtt accccaatgc atttgggatc tcccctggcc agggagcaaa cctgtttccc
421 ctgcattgca aggcggcctc ttaaccgctg gccaccaggg aagccccaaa atgccaaggc
481 tttttacttc tggttcttac cgtttggttc atatttttcc ttcatctgcc agtcaaacct
541 tcttctgtat tttattttcc agaaatctac agaagaggct ttaaaagctc agtcagctgg
601 ggtgatcaga agtgctgctc cacc
Reverse

Keterangan :

agct

: primer forward
: primer reverse
: situs pemotongan enzim AluI

Gambar 3. Posisi penempelan primer pada sekuen Gen Calpastatin CAST|AluI
(Gen Bank Nomor Akses AF117813).

10

Amplifikasi DNA yang dilakukan merupakan modifikasi dari metode
Sambrook et al. (1989). Pereaksi untuk amplifikasi gen DNA secara umum
dilakukan menggunakan campuran yang terdiri dari 1 µl sampel DNA yang sudah
diekstraksi, 10,85 µl DW, 0,3 µl primer, 0,05 µl taq polymerase, 1,5 µl buffer, 0,3 µl
dNTP dan 1,00 µl MgCl2. Campuran tersebut kemudian dimasukkan ke dalam mesin
PCR dengan kondisi suhu denaturasi awal 950C selama 5 menit, 35 siklus (denaturasi
950C selama 30 detik, annealing 600C selama 45 detik dan elongasi 720C selama 1
menit) dan elongasi akhir 720 C selama 5 menit.
Elektroforesis
Elektroforesis yang dilakukan merupakan modifikasi dari metode Sambrook
et al. (1989). Elektroforesis produk PCR dilakukan menggunakan 5 μl produk PCR
pada gel agarose 1% dengan tegangan 100 volt selama 30 menit. Gel dibuat dengan
cara memanaskan agarose 0.3 g yang dilarutkan dalam larutan 0,5xTBE 30 ml
selama 5 menit dalam microwave. Kemudian ditambahkan 2,5 μl EtBr pada saat
distearer sampai didapatkan larutan jernih. Larutan yang masih cair dituangkan ke
dalam pencetak gel serta menempatkan sisir di dekat tepian gel dan gel dibiarkan
mengeras. Apabila gel sudah mengeras, sisir dicabut sehingga akan terbentuk sumursumur yang digunakan untuk menempatkan sebanyak 5μl produk PCR dicampur
dengan loading dye (bromthymol blue 0,01%, Xylene cyanol 0,01% dan gliserol
50%). Gel ditempatkan ke dalam gel tray elektroforesis yang sudah terisi larutan
buffer dan dialiri listrik, molekul DNA yang bermuatan negatif pada pH netral akan
bergerak (migrasi) ke arah positif (anode). Setelah elektroforesis selesai gel agarose
diambil untuk dilihat panjang pita DNA dengan menggunakan sinar Ultraviolet yaitu
dengan menarik garis lurus antara posisi pita dari masing-masing sampel DNA yang
ingin diukur dengan posisi pita DNA marker, kita dapat mengestimasi ukuran sampel
DNA karena ukuran DNA pengukur telah diketahui.
Genotyping
Sebannyak 5 μl produk PCR dipindahkan ke dalam tabung 0,5 ml yang
ditambahkan 1 μl DW, 0,3 μl enzim restriksi Alu1 dan 0,7 μl buffer AluI. Campuran
tersebut diinkubasikan dalam inkubator pada suhu 37°C selama 16 jam. Sampel
DNA yang telah dipotong dengan enzim restriksi dielektroforesis pada gel agarose

11

2% dengan tegangan 100 volt selama 30 menit. Selanjutnya dilakukan visualisasi di
bawah mesin UV-Transilluminator. Pita DNA yang muncul pada tahap ini
dibandingkan dengan marker untuk mengetahui panjang pita tersebut. Genotipe gen
calpastatin ditentukan berdasarkan panjang pita DNA yang muncul (Gambar 4).
Penentuan genotipe (genotyping) mengacu pada penelitian Kubiak et al.
(2004) yang menghasilkan tiga genotipe yaitu GG, GC, dan CC. Genotipe GG
ditunjukkan dengan satu fragmen (pita) DNA dengan panjang 324 pb. Genotipe GC
ditunjukkan dengan dua fragmen DNA yaitu 324 dan 474 pb. Genotipe CC
ditunjukkan dengan satu fragmen DNA sepanjang 474 pb.

M
Genotipe

1

2

3

GG

GC

CC

Gambar 4. Penentuan Genotipe Gen Calpastatin. M = marker; 1-13 = Pemotongan
dengan enzim AluI.
Rancangan dan Analisis Data
Keragaman genotipe pada masing-masing sampel dapat dilihat dari pita-pita
yang ditemukan. Masing-masing sampel dianalisis menggunakan pendekatan nilai
frekuensi alel, frekuensi genotipe, dan nilai heterozigositas.
Frekuensi genotipe dan alel gen calpastatin dihitung berdasarkan rumus (Nei
& Kumar, 2000) :
Xi =
Xii =
Keterangan :
= frekuensi genotipe ke-ii
xii
xi
= frekuensi alel ke-i
nii
= jumlah individu bergenotipe ii
nij
= jumlah individu bergenotipe ij

12

N

= jumlah individu sampel

Pendugaan nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan heterozigositas harapan
(He) dihitung menggunakan rumus (Weir, 1996) :



Keterangan :
= heterozigositas pengamatan (populasi)
Ho
nij
= jumlah individu heterozigot
N
= jumlah individu yang diamati
= nilai heterozigositas harapan
He
P1i
= frekuensi alel ke-I pada lokus I
n
= jumlah alel pada lokus ke-I

Pengujian nilai genotipe antara hasil pengamatan dan nilai harapan dapat
diukur dengan menggunakan uji Chi-Kuadrat (Nei dan Kumar, 2000):

Keterangan:
X2
= Chi-Kuadrat
O
= nilai pengamatan
E
= nilai harapan
Σ
= sigma (jumlah dari nilai-nilai)



Suatu popluasi dikatakan seimbang jika nilai X2 yang didapatkan lebih kecil
daripada X2 tabel pada selang kepercayaan 5% dan derajat bebas tertentu.

13

HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST|AluI)
Amplifikasi fragmen gen CAST|AluI dilakukan dengan menggunakan mesin
PCR dengan kondisi annealing 600C selama 45 detik, dan diperoleh produk PCR
dengan panjang 624 pb (Gambar 5). Sebanyak 282 sampel yang terdiri sampel sapi
Bali, sapi Madura, sapi Pesisir, sapi Aceh dan sapi Katingan telah berhasil
diamplifikasi dalam penelitian ini dengan tingkat keberhasilan mencapai 100%.

(-)
624 pb

(+)
Keterangan : M=Marker DNA. Sumur 1-10= Produk Amplifikasi Gen CAST

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.
Suhu penempelan primer dalam penelitian ini adalah 60°C. Kondisi ini
berbeda dengan suhu penempelan primer yang disarankan oleh Palmer et al. (1998)
yaitu 62°C. Menurut Muladno (2002), suhu penempelan primer (annealing) berkisar
antara 360C sampai dengan 720C, namun suhu yang biasa digunakan 50-600C. Suhu
annealing merupakan suhu optimum terjadinya penempelan primer yang digunakan
pada titik pemotongan DNA selama proses amplifikasi berlangsung.

Keberhasilan amplifikasi gen sangat ditentukan oleh kondisi penempelan
primer DNA genom (gen target) dan kondisi mesin thermocycler. Selain itu,
keberhasilan dalam mengamplifikasi DNA tergantung pada interaksi komponen
campuran PCR (Palumbi, 1986). Menurut Al Soud dan Radstrom (2001)
keberhasilan amplifikasi dipengaruhi oleh adanya hemoglobin yang dapat
menghambat kerja enzim taq polymerase.
Penentuan Genotipe Gen Calpastatin
Penentuan genotipe dari gen CAST pada sapi lokal Indonesia dilakukan
dengan metode PCR-RFLP menggunakan enzim rektriksi AluI. Enzim rektriksi AluI
mengenali situs pemotongan AG|CT yang terletak di daerah intron 1 antara ekson 1C
dan 1D. Pada penelitian ini menghasilkan tiga macam genotipe yaitu genotipe GG,
GC, dan CC. Pada lokus CAST|AluI, ternak sapi dikatakan mempunyai genotipe GG
apabila terdapat satu fragmen (pita) DNA dengan panjang 474 pb. Genotipe GC
ditunjukkan dengan dua fragment DNA yaitu 474 dan 324 pb. Genotipe CC
ditunjukkan dengan terdapatnya satu fragmen DNA yaitu 324 pb (Gambar 6).
M

Genotipe

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

GG GC GG GC GG GG GG GG GG GG GG GG GC

12

13

GG GG

(-)

(+)
Genotipe

GG

GC

GC

GG

GC

GG

GG

GG

GG

GG

GC GG

GG

Keterangan : M: Marker 100 pb, 1-13: Sampel Sapi Lokal Indonesia

Gambar 6. Hasil PCR-RFLP Ruas Gen Calpastatin CAST|AluI pada Gel Agarose
2%.

15

Berdasarkan sekuen DNA ruas gen CAST yang diamplifikasi terdapat empat
titik pemotongan AluI yang menghasilkan fragmen dengan panjang 61, 52, 474, 10,
dan 27 pb yang dikenal dengan alel G, sedangkan alel C memiliki panjang fragmen
324 pb. Menurut Kubiak et al. (2004), keragaman gen calpastatin sapi disebabkan
oleh adanya mutasi titik yang terjadi pada posisi antara basa ke-61 (SNP|AluI) (
nomor akses GenBank AF117813). Subtitusi G-C pada titik mutasi mengubah asam
amino Serine menjadi asam amino Threonine (Ser-Thr). Kode AGC untuk serine
(Ser) dan kode ACC threonine (Thr). Terjadinya subtitusi basa nitrogen (transversi)
G – C menyebabkan munculnya situs pemotongan yang baru untuk enzim restriksi
AluI.
Mutasi yang terjadi pada fragmen gen CAST|AluI adalah mutasi subtitusi tipe
transversi yaitu terjadi perubahan basa purin (guanin) menjadi basa pirimidin
(sitosin). Mutasi transversi terjadi karena adanya subtitusi antara satu basa purin
(adenin atau guanin) menjadi satu basa pirimidin (timin atau sitosin) ataupun
sebaliknya. Menurut Palmer et al. (1998) terjadinya mutasi pada ruas gen CAST
menyebabkan keragaman gen calpastatin yang mempengaruhi kualitas karkas
domba,

sedangkan

pada

sapi

Angus

jantan

dapat

mempengaruhi

sifat

pertumbuhannya (Chung et al., 1999).
Ternak sapi dengan genotipe homozigot (GG atau CC) berarti bahwa kedua tetua
masing-masing menyumbangkan gen (alel) yang sama. Sapi dengan genotipe heterozigot
(GC) menunjukkan bahwa ternak tersebut memiliki kombinasi gen yang berbeda dari
kedua tetuanya. Keragaman gen CAST|AluI pada sapi lokal Indonesia ditunjukkan
dengan jumlah genotipe yang muncul dari masing-masing bangsa (Tabel 3).

Tabel 3. Hasil Identifikasi Genotipe Gen Calpastatin pada Bangsa Sapi Indonesia
Ternak Sapi

Jumlah Sampel

Genotipe (n)
GG

GC

CC

Sapi Bali

102

81

13

8

Sapi Madura

68

45

19

4

Sapi Pesisir

49

30

17

2

Sapi Aceh

13

8

5

0

Sapi Katingan

50

37

11

2

282

201

65

16

Total

Keterangan: n = jumlah genotipe yang muncul

16

Berdasarkan hasil identifikasi genotipe gen calpastatin pada bangsa sapi lokal
Indonesia, ditemukan tiga macam genotipe yaitu GG, GC, dan CC pada sapi Bali,
sapi Madura, sapi Pesisir dan sapi Katingan, sedangkan pada sapi Aceh hanya
ditemukan dua macam genotipe yaitu GG dan GC. Hasil penelitian Kubiak et al.
(2004) menunjukkan bahwa amplifikasi PCR-RFLP gen CAST|AluI pada sapi
Limousin, sapi Simmental, sapi Polish Friesian dan sapi Polish Red menghasilkan
tiga genotipe yaitu GG, GC, dan CC, sedangkan pada sapi Red Angus, sapi
Charolaise dan sapi Hereford menghasilkan dua genotipe yaitu GC dan CC.
Keragaman Gen Calpastatin
Hasil analisis frekuensi genotipe (GG, GC, dan CC) dan frekuensi ale (G, C)
fragmen gen CAST|AluI pada bangsa sapi Indonesia disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen CAST|AluI pada Bangsa
Sapi Indonesia
Ternak Sapi

Frekuensi Genotipe

N

Frekuensi Alel

GG

GC

CC

G

C

Sapi Bali

102

0,794

0,127

0,078

0,858

0,142

Sapi Madura

68

0,662

0,279

0,059

0,801

0,199

Sapi Pesisir

49

0,612

0,347

0,041

0,786

0,214

Sapi Aceh

13

0,615

0,385

0,000

0,808

0,192

Sapi Katingan

50

0,740

0,220

0,040

0,850

0,150

Total

282

0,713

0,230

0,057

0,885

0,115

Keterangan: N = jumlah individu

Tabel 4 menunjukkan bahwa frekuensi genotipe GG tinggi pada sapi Bali,
sapi Madura, sapi Pesisir, sapi Aceh, dan sapi Katingan, sebaliknya frekuensi
genotipe CC rendah bahkan tidak ditemukan pada sapi Aceh. Genotipe CC tidak
ditemukan mungkin disebabkan oleh seleksi atau perkawinan yang tidak acak
(Bourdon, 2000). Hasil penelitian Kubiak et al. (2004) menunjukkan bahwa
frekuensi genotipe CC tinggi ditemukan pada Red Angus, Charolaise, Limousin, dan
Polish Red, sedangkan frekuensi genotipe GC tinggi ditemukan pada Simmental dan
Polish Friesian. Frekuensi genotipe GC rendah ditemukan pada Red Angus,
Charolaise, dan Polish Red, sedangkan frekuensi GG rendah ditemukan pada

17

Limousin, Simmental, dan Polish Friesian. Pada populasi Hereford, frekuensi
genotipe CC dan GC seimbang (Tabel 5).
Frekuensi alel adalah frekuensi relatif dari suatu alel dalam populasi atau
jumlah suatu alel terhadap jumlah total alel yang terdapat dalam suatu populasi (Nei
dan Kumar, 2000). Frekuensi alel G tinggi ditemukan pada sapi Bali, sapi Madura,
sapi Pesisir, sapi Aceh, dan sapi Katingan, sebaliknya frekuensi alel C rendah pada
kelima populasi sapi tersebut sehingga cenderung tidak terdapat perbedaan terhadap
frekuensi alel. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Kubiak et al. (2004)
menunjukkan bahwa frekuensi alel Bos taurus tertinggi yaitu alel C dan terendah alel
G (Tabel 5).
Tabel 5. Nilai Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen CAST|AluI pada Bos
taurus
Frekuensi Genotipe
Ternak Sapi

N

Frekuensi
Alel

GG

GC

CC

G

C

Red Angus

9

-

0,111

0,889

0,07

0,93

Charolaise

12

-

0,167

0,833

0,42

0,58

Limousin

10

0,100

0,300

0,600

0,25

0,75

Simmental

9

0,111

0,556

0,333

0,39

0,61

Hereford

8

-

0,500

0,500

0,25

0,75

Polish Friesian

84

0,214

0,417

0,369

0,42

0,58

Polish Red

7

0,286

0,143

0,571

0,36

0,64

138

0,159

0,362

0,479

0,31

0,69

Total

Keterangan: N = jumlah individu
Sumber : Kubiak et al. (2004)

Keragaman genetik dalam suatu populasi digunakan untuk mengetahui dan
melestarikan bangsa-bangsa dalam populasi yang terkait dengan penciri sifat khusus
dan menentukan hubungan antar subpopulasi yang terfragmentasi dalam suatu
spesies (Hartl dan Clark, 1997). Menurut Li dan Graur (2000), keragaman genetik
antara subpopulasi dapat diketahui dengan melihat persamaan dan perbedaan
frekuensi alel dan genotipe diantara subpopulasi.

18

Keragaman gen CAST|AluI pada kelima sapi Indonesia bersifat polimorfik
dengan ditemukannya frekuensi alel kurang dari 0,99. Menurut Nei (1987), suatu alel
dikatakan polimorfik jika memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99
atau lebih dari 1% (Nei dan Kumar, 2000). Tingginya frekuensi alel G pada semua
populasi sapi lokal Indonesia diduga akibat seleksi dan manajemen perkawinan yang
dilakukan oleh peternak. Seleksi merupakan suatu proses yang melibatkan kekuatankekuatan untuk menentukan ternak mana yang boleh berkembang biak pada generasi
selanjutnya (Noor, 2010). Seleksi yang dilakukan peternak yaitu mempertahankan
individu-individu yang memilki alel G dibandingkan dengan individu-individu yang
memiliki alel C. Menurut Noor (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi
gen adalah seleksi, mutasi, pencampuran populasi, silang dalam, silang luar dan
genetic drift.
Keseimbangan Gen dalam Populasi
Hasil uji chi-square (X2), terhadap genotipe fragmen gen CAST|AluI
(Lampiran 4) menunjukkan bahwa frekuensi gen dalam keadaan seimbang pada
populasi

sapi

Madura,

sapi

Pesisir,

sapi

Aceh,

dan

sapi

Katingan.

Ketidakseimbangan genotipe hanya terjadi pada populasi sapi Bali yang terdapat di
Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi Bali. Keseimbangan frekuensi genotipe pada
sapi Madura, sapi Pesisir, sapi Aceh, dan sapi Katingan menunjukkan bahwa pada
populasi tersebut tidak terjadi seleksi terutama seleksi yang dilakukan terhadap gen
CAST, sebaliknya ketidakseimbangan frekuensi genotipe sapi Bali di Balai
Pembibitan Ternak Unggul disebabkan oleh seleksi yang secara tidak langsung
berhubungan dengan gen CAST.
Hukum Hardy-Weinberg menggambarkan keseimbangan suatu lokus dalam
populasi diploid yang mengalami perkawinan secara acak yang bebas dari faktor
yang berpengaruh terhadap terjadinya proses evolusi seperti mutasi, migrasi, dan
pergeseran

genetik

(Gillespie,

1998).

Suatu

populasi

dinyatakan
2

dalam
2

keseimbangan Hardy-Weinberg, jika frekuensi genotipe (p , 2pq, dan q ) dan
frekuensi alel (p dan q) konstan dari generasi ke generasi akibat penggabungan
gamet yang terjadi secara acak. Populasi yang cukup besar tidak akan berubah dari
satu generasi ke generasi lainnya jika tidak ada seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic
drift (Noor, 2008).
19

Pendugaan Nilai Heterozigositas
Pendugaan nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas
harapan (He) gen CAST|AluI pada bangsa sapi Indonesia tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Heterozigositas Harapan (He)
gen CAST|AluI pada Bangsa Sapi Indonesia
Ternak Sapi

N

Heterozigositas
Ho

He

Bali

102

0,127

0,244

Madura

68

0,279

0,318

Pesisir

49

0,347

0,337

Aceh

13

0,385

0,311

Katingan

50

0,220

0,255

Keterangan: N = jumlah individu

Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai heterozigositas yang paling tinggi
ditemukan pada sapi Aceh (0,385), sebaliknya nilai heterozigositas terendah ditemukan
pada sapi Bali (0,127). Meskipun demikian, hasil yang diperoleh masih memiliki
keterbatasan ukuran jumlah sampel yang digunakan terutama pada populasi sapi Pesisir,
sapi Madura, sapi Aceh, dan sapi Katingan yang memiliki jumlah sampel relatif sedikit.

Menurut Diyono (2009), nilai heterosigositas dipengaruhi oleh jumlah sampel,
jumlah alel dan frekuensi alel. Heterozigositas menggambarkan adanya variasi genetik
pada suatu populasi. Semakin tinggi nilai heterozigositas pada suatu populasi maka
tinggi pula variasi genetik pada populasi tersebut (Ferguson, 1980). Menurut Marson et
al. (2005) pendugaan nilai heterozigositas dapat digunakan untuk mendapatkan

gambaran variabilitas genetik pada suatu populasi. Keragaman genetik dapat diukur
secara akurat dengan nilai heterosigositas (ĥ) (Nei, 1987).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi Pesisir dan sapi Aceh memiliki
nilai heterosigositas pengamatan (Ho) yang lebih tinggi dari nilai heterosigositas
harapan (He) dengan nilai Ho masing-masing 0,347 dan 0,385. Nilai heterosigositas
harapan (He) lebih tinggi dari nilai heterosigositas pengamatan (Ho) ditemukan pada
sapi Bali, sapi Madura dan sapi Katingan. Hartl dan Clark (1997) menyatakan bahwa
nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas harapan (He) dapat
digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga nilai koefisien biak dalam

20

(inbreeding) pada suatu kelompok ternak. Tambasco et al. (2003) juga menyatakan
bahwa jika terjadi perbedaan yang besar antara nilai heterozigositas pengamatan (H o)
dan nilai heterozigositas harapan (He) maka dapat dijadikan sebagai indikator adanya
ketidakseimbangan genotipe pada populasi yang dianalisis. Nilai heterozigositas
pengamatan (Ho) lebih rendah dari heterozigositas harapan (He) dapat dijadikan
indikasi adanya derajat endogami (perkawinan dalam kelompok) sebagai akibat dari
proses seleksi yang intensif (Machado et al., 2003). Menurut Moioli et al. (2004)
nilai heterozigositas harapan (He) merupakan indikator yang baik sebagai penciri
genetik yang dapat menunjukkan keragaman genetik pada suatu populasi ternak
domestik.

21

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Keragaman gen calpastatin (CAST|AluI) pada sapi Bali, sapi Madura, sapi
Pesisir, sapi Aceh, dan sapi Katingan bersifat polimorfik. Identifikasi genotipe gen
calpastatin pada bangsa sapi lokal Indonesia, ditemukan tiga macam genotipe yaitu
GG, GC, dan CC pada sapi Bali, sapi Madura, sapi Pesisir dan sapi Katingan,
sedangkan pada sapi Aceh hanya ditemukan dua macam genotipe yaitu GG dan GC.
Proporsi genotipe GG lebih tinggi pada semua populasi sapi Indonesia, sehingga alel
G dapat dijadikan sebagai salah satu alel (penciri) spesifik pada semua bangsa sapi
Indonesia.
Saran
Penelitian tahap lanjut dapat dilakukan mengenai hubungan polimorfisme gen
CAST dengan kualitas karkas pada sapi lokal Indonesia.

UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT atas nikmat,
rahmat, dan karunia yang telah diberikan sehingga penelitian dan skripsi ini dapat
terselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah
Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan pengikutnya. Terima kasih sebesarbesarnya penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA. selaku pembimbing
utama dan Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si. selaku pembimbing anggota atas segala perhatian,
bimbingan, arahan, dan motivasi yang telah diberikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ayah dan Ibu tercinta, Bapak Ahmad
Lutfi dan Ibu Sumiati yang senantiasa mencurahkan kasih sayang, dukungan moral
dan material, serta doa-doa yang selalu dipanjatkan untuk kesuksesan penulis.
Kepada adik-adik tersayang, Ahmad Reza Khalafi dan Muhammad Hasby Ash
Shidiq yang telah memberikan senyuman, motivasi, dan doanya. Terima kasih atas
semuanya, atas keceriaan dan kebersamaannya. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir.
Cece Sumantri, M.Agr.Sc. yang senantiasa memberikan motivasi dan masukan
selama penulis berada di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak Fapet IPB.
Terima kasih kepada Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si. selaku pembimbing akade