Identifikasi Keragaman Gen Calpastatin (CAST|MspI) pada Bangsa Sapi di Indonesia dengan Teknik PCR RFLP

RINGKASAN
MARTIANA KARTIKA DEWI. 2012. Identifikasi Keragaman Gen Calpastatin
(CAST|MspI) pada Bangsa Sapi di Indonesia dengan Teknik PCR RFLP.
Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Jakaria, S.Pt. M.Si.
Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA.
Indonesia memiliki sumber daya genetik ternak yang sangat beragam,
khususnya ternak sapi yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Pelestarian
sumber daya genetik ternak sapi di Indonesia menjadi penting untuk dilakukan
karena bangsa sapi Indonesia merupakan sumber pangan sekaligus kekayaan alam
yang harus dipertahankan. Informasi genetik mengenai bangsa sapi Indonesia yang
masih terbatas menjadikan identifikasi keragaman gen calpastatin (CAST|MspI)
penting untuk dilakukan. Calpastatin merupakan gen yang berfungsi menghambat
degradasi protein sel-sel otot. Gen calpastatin pada mamalia diduga berkaitan
dengan sifat pertumbuhan otot dan keempukan daging. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui keragaman gen calpastatin yang terdapat di ekson 1 pada bangsa sapi
Indonesia yaitu sapi bali, sapi madura, sapi pesisir, sapi aceh, dan sapi katingan.
Penelitian ini telah dilaksanakan pada September 2011 sampai dengan
Februari 2012 di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Fakultas Peternakan,
Institut Peternakan Bogor. Ternak yang digunakan berjumlah 283 ekor yang

kemudian diekstraksi hingga didapatkan sampel Deoxyribonucleic Acid (DNA).
Ternak yang digunakan terdiri dari sapi bali 100 ekor, sapi madura 68 ekor, sapi
pesisir 50 ekor, sapi aceh 15 ekor, dan sapi katingan 50 ekor. Amplifikasi gen
calpastatin dilakukan dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR), sedangkan
penentuan genotipenya dilakukan menggunakan enzim restriksi MspI dengan teknik
Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP). Analisis data yang dilakukan
adalah perhitungan nilai frekuensi alel, frekuensi genotipe, serta nilai heterozigositas.
Genotipe yang diperoleh pada penelitian ini adalah genotipe MM dan
genotipe MN. Genotipe MM ditunjukkan dengan pita yang terpotong menjadi dua
pita dan genotipe MN ditunjukkan dengan munculnya tiga pita. Frekuensi genotipe
MM (1,00) diperoleh pada sapi bali, sapi madura, sapi aceh, dan sapi katingan,
sedangkan sapi pesisir memiliki frekensi genotipe MM (0,92) dan genotipe MN
(0,08). Frekuensi alel M tertinggi ditemukan pada sebagian besar bangsa sapi
Indonesia (sapi bali, sapi madura, sapi aceh, dan sapi katingan) yaitu bernilai 1,00
kecuali pada sapi pesisir yang memiliki frekuensi alel M (0,96) dan alel N (0,04).
Nilai heterozigositas baik pengamatan (Ho) maupun harapan (He) pada sebagian
besar populasi bangsa sapi Indonesia bernilai 0,00 yaitu pada populasi sapi bali, sapi
madura, sapi aceh, dan sapi katingan, kecuali pada sapi pesisir yaitu bernilai 0,08.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat dikatakan bahwa gen calpastatin
(CAST|MspI) bersifat monomorfik pada populasi bangsa sapi Indonesia yaitu pada

sapi bali, sapi madura, sapi aceh, dan sapi katingan, kecuali pada sapi pesisir yang
bersifat polimorfik.
Kata-kata kunci : Bangsa sapi Indonesia, gen calpastatin, PCR- RFLP

ABSTRACT
Identification of Calpastatin (CAST-MspI) Gene Polymorphisms in Indonesian
Cattle Breeds Using PCR-RFLP Technique
Dewi, M.K., Jakaria, and Muladno
Calpastatin (CAST) is a gene that inhibits degeredation of protein muscle. The
increasing of calpastatin’s activity causes the increasing of hiperthropy, in the other
hands decreasing meat tenderness. The objective of this research was to identify
polymorphism of calpastatin (CAST-MspI) genes in Indonesian cattle breeds. This
research used 283 Indonesian cattle breeds, they are bali cattle (100), madura cattle
(68), pesisir cattle (50), aceh cattle (15), and katingan cattle (50). Polymerase Chain
Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) technique was
used to identify polymorphism of calpastatin genes in Indonesian cattle breeds. The
result revealed two genotypes MM and MN and two alleles M and N. Genotype
frequence of bali cattle, madura cattle, aceh cattle, and katingan cattle MM (1,00)
were evidenced for the CAST|MspI monomorphism, but different from pesisir cattle
MM (0,92) and MN (0,08) were the evidenced of polymorphism. Allele frequence of

bali cattle, madura cattle, aceh cattle, and katingan cattle is 1,00, while allele
frequence M and N of pesisir cattle are 0,96 and 0,04 respectively. The highest M
allele frequency was found in the bali, madura, aceh, and katingan cattle population
(1,00) and the lowest one was found in pesisir cattle (0,96). The heterozygosity value
of bali cattle, madura cattle, aceh cattle, and katingan cattle is 0,00, while the
heterozygosity value of pesisir cattle is 0,08. Based on the analysis, Indonesian cattle
breeds (bali cattle, madura cattle, aceh cattle, and katingan cattle except pesisir
cattle) are monomorphic in calpastatin gene.
Keywords : Indonesian cattle breeds, calpastatin gene, PCR-RFLP

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam sumber daya genetik
ternak, terutama ternak sapi. Sumber daya genetik ternak sapi Indonesia tersebar di
berbagai wilayah di Indonesia. Populasi sapi yang semakin berkembang di Indonesia
telah menghasilkan sumber daya genetik yang lebih beragam, yaitu mulai dari sapi
asli seperti sapi bali, juga sapi hasil persilangan yang telah menjadi sapi lokal seperti
sapi pesisir, sapi aceh, sapi madura, sapi sumba ongole (SO) dan sapi peranakan
ongole (PO) (Utoyo 2002; Martojo 2003). Belum adanya perhatian dalam rangka
meningkatkan produktivitas sumber daya genetik ternak sapi di Indonesia seperti

sapi bali, sapi madura, sapi pesisir, sapi aceh, dan sapi katingan menyebabkan
potensi sumber daya genetik tersebut belum dimanfaatkan secara optimum. Kajian
mengenai populasi bangsa sapi di Indonesia belum banyak dilakukan, sehingga
informasi yang dapat diperoleh mengenai bangsa sapi Indonesia tersebut masih
terbatas. Informasi genetik mengenai bangsa sapi Indonesia perlu digali dalam
rangka memanfaatkan dan mempertahankan sumber daya genetik ternak Indonesia
sekaligus sebagai sumber pangan.
Peningkatan produktivitas ternak dapat dilakukan dengan dua pendekatan,
yaitu peningkatan kualitas genetik ternak dan peningkatan manajemen lingkungan.
Peningkatan kualitas genetik dapat dilakukan dengan seleksi dan persilangan. Dalam
konteks seleksi, seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi dalam bidang
bioteknologi molekuler memungkinkan seleksi dilakukan pada tingkat DNA, yaitu
dengan cara mengidentifikasi keragaman pada tingkat gen yang mungkin
berpengaruh terhadap sifat produksi, pertumbuhan dan reproduksi. Salah satu gen
yang diduga kuat berpengaruh terhadap sifat pertumbuhan otot dan keempukan
daging adalah gen calpastatin. Barendse (2002) menyatakan bahwa gen calpastatin
merupakan gen kandidat kuat yang mempengaruhi keempukan daging.
Gen calpastatin adalah gen yang berfungsi menghambat degradasi protein
sel-sel otot sehingga berpengaruh terhadap keempukan daging dan pertambahan
masa otot (Raynaud et al., 2005). Studi keragaman gen calpastatin telah dilakukan

pada sapi Bos taurus diantaranya oleh Lonergan et al. (1995), Kubiak et al. (2004),
dan Schenkel et al. (2006), sedangkan pada domba lokal Indonesia dilakukan oleh

Sumantri et al. (2008). Hal ini menjadikan identifikasi keragaman gen calpastatin
penting untuk dilakukan pada bangsa sapi Indonesia.
Identifikasi keragaman gen calpastatin dapat dilakukan salah satunya melalui
teknik Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism
(PCR-RFLP). Palmer et al. (1998) dalam penelitianya menggunakan sekuen gen
calpastatin yang terletak antara ekson IC dan ekson ID untuk diamplifikasi
menggunakan teknik PCR-RFLP. Goll et al. (2003) menyatakan bahwa ekspresi gen
calpastatin yang terletak pada ekson 1C memiliki kemampuan yang paling efektif
untuk menghambat aktivitas m-calpain. Hal tersebut mendasari penelitian ini untuk
melakukan amplifikasi gen calpastatin pada ekson 1C dan 1D dengan teknik
Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCRRFLP).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman gen calpastatin
(CAST|MspI) pada sapi bali, sapi madura, sapi pesisir, sapi aceh, dan sapi katingan
dengan metode PCR-RFLP.

2


TINJAUAN PUSTAKA
Sumber Daya Genetik Ternak Lokal
Secara terminologi, sumber daya genetik ternak adalah semua yang termasuk
dalam spesies, bangsa, dan strain (galur) ternak yang secara ekonomi, ilmiah, dan
budaya penting bagi umat manusia baik dalam bentuk makanan maupun produksi
(Food Agriculture Organization, 1999). Departemen Pertanian (2006) menyatakan
bahwa sumber daya genetik ternak adalah substansi yang terdapat dalam bentuk
substansi individu suatu populasi rumpun ternak secara genetik unik, terbentuk
dalam proses domestikasi dari masing-masing spesies yang memiliki nilai potensial
serta dapat dimanfaatkan dan dikembangkan dengan baik untuk menciptakan rumpun
atau galur unggul.
Sumber daya genetik ternak merupakan acuan (building block) bagi pertanian
dan pengembangan varietas dan bangsa hewan ternak untuk masa yang akan datang.
Keanekaragaman bangsa ternak yang mampu beradaptasi dapat menyelamatkan
petani dalam menghadapi iklim yang sulit dan wilayah marjinal. Sumber daya
genetik lokal dapat dimanfaatkan dengan biaya (input) minimun dan memegang
peranan penting dalam budaya masyarakat pedesaan (Food Agriculture Organization,
2001).
Ternak sapi yang terdapat di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga

kategori ternak, yaitu (1) ternak asli, (2) ternak yang telah beradaptasi dan (3) ternak
impor (Sarbaini, 2004). MacHugh (1996) mengemukakan bahwa sapi yang terdapat
di Asia khususnya di Indonesia merupakan sapi yang termasuk dalam spesies Bos
bibos dan sapi persilangan (crossbreed) yang berbeda dari sapi domestikasi yang
terdapat di Afrika dan Eropa, meskipun diduga bahwa pola penyebarannya berasal
dari wilayah India (Bos indicus) yang merupakan tipe sapi berpunuk (Zebu). Hasil
domestikasi spesies Bos (Bibos) banteng adalah sapi Bali (Bos sundaicus) atau (Bos
javanicus) yang sekarang telah menjadi bangsa ternak asli Indonesia (Directorate
Generale of Livestock Services, 2003; Martojo, 2003).
Keanekaragaman ternak bangsa sapi di Indonesia terbentuk dari sumber
genetik ternak asli dan impor. Proses perkembangan sapi di Indonesia telah
menghasilkan sumber daya genetik ternak yang lebih beragam, yaitu mulai dari sapi
asli seperti sapi bali, juga sapi hasil silangan yang telah menjadi sapi lokal seperti

sapi pesisir, sapi aceh, sapi madura, sapi Sumba Ongole (SO) dan sapi Peranakan
Ongole (PO) (Utoyo 2002; Martojo 2003).
Keragaman ternak sapi di Indonesia mengakibatkan keragaman karakteristik
fenotipik pada bangsa sapi Indonesia. Karakteristik fenotipik pada bangsa sapi
Indonesia, yaitu sapi bali, sapi madura, sapi pesisir, sapi aceh, dan sapi katingan
disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Fenotipik Bangsa Sapi Indonesia
Ternak
Sapi bali

Sapi madura

Sapi pesisir

Sapi aceh

Sapi katingan

Karakteristik
Warna bulu merah bata, hitam (jantan
dewasa).
Terdapat warna putih pada bagian pantat,
perut, keempat kaki bawah, bagian dalam
telinga, dan pinggiran bibir atas.
Jantan dewasa : berat 400 kg, lingkar dada
192 cm, tinggi gumba 127 cm, panjang

tubuh 140 cm.
Betina dewasa : berat 260 kg, lingkar dada
165 cm, tinggi gumba 114 cm. panjang
badan 260 cm.
Berukuran sedang, bertulang bagus, berotot,
tanduk pendek, gumba berkembang baik
pada jantan, terdapat lingkaran putih di
sekitar moncong.
Tubuh kecil, badan pendek, kaki kecil,
Memiliki lima warna utama (merah bata,
kuning, cokelat, hitam, putih), jinak,
berpunuk kecil, bertanduk pendek, mampu
bertahan pada kondisi lingkungan yang
buruk.
Memiliki gumba berukuran sedang (jantan),
memiliki warna cokelat yang lebih gelap
pada bagian depan dibandingkan bagian
belakang tubuhnya.
Ukuran tubuh tidak terlalu besar, memilki
gumba yang cukup jelas (jantan dan betina),

tanduk melengkung ke depan, warna bulu
putih hingga hitam

Literatur
Hardjosubroto (1994)
Hardjosubroto dan
Astuti (1993)
Pane (1986)

Huitema (1986)

Saladin (1983)

Otsuka et al. (1980).

Utomo et al. (2010)

Karakterisik fenotipik pada ternak digunakan sebagai penciri atau pembeda
antara jenis ternak satu dengan ternak yang lain. Karakterisitik fenotipik pada sapi
dapat dilihat dari ukuran tubuh, warna bulu, bentuk tanduk, serta keberadaan gumba

dan punuk. Karakteristik fenotipik bangsa sapi Indonesia yang beragam ditunjukkan
pada Gambar 1.

4

(a)

(c)

(e)

(b)

(d)

(f)

Gambar 1. Karakteristik Fenotipik Bangsa Sapi Indonesia. (a) sapi bali jantan; (b)
sapi bali betina; (c) sapi madura; (d) sapi aceh; (e) sapi pesisir; (f) sapi
katingan (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah,
2011).

5

Marker Assisted Selection (MAS)
Kemajuan teknologi bidang genetika molekuler memungkinkan seleksi
dilakukan pada tingkat DNA. Identifikasi keragaman DNA yang terkait dengan sifat
kuantitatif dapat dijadikan dasar untuk menerapkan Marker Assisted Selection
(MAS) (Montaldo dan Herrera, 1998). Upaya seleksi pada tingkat DNA memiliki
keakuratan yang lebih tinggi dibandingkan dengan seleksi secara konvensional yang
melihat dari segi fenotipik dan melalui ukuran tubuh (morfometrik).
Penggunaan Marker Assisted Selection (MAS) didasarkan pada gagasan
bahwa terdapat gen yang memegang peranan utama dan menjadi sasaran atau target
secara spesifik dalam seleksi (Van der Werf, 2000). Gen-gen sifat kuantitatif yang
memiliki pengaruh besar merupakan gen-gen yang disebut dengan gen utama (major
gene) yang terletak pada lokus sifat kuantitatif (Quantitative Trait Loci).
Marker gen telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi beberapa gen
yang memiliki pengaruh utama (major gene) terhadap sifat-sifat ekonomis pada
ternak, seperti kualitas (keempukan daging) (Barendse et al., 2008). Marker Assisted
Selection (MAS) dapat membantu dalam meningkatkan laju peningkatan mutu
genetik ternak melalui pemanfaatan informasi molekuler genetik dalam program
pemuliaan (breeding programme) (Dekkers dan Hospital, 2002; Dekkers 2004).
Gen Calpastatin (CAST)
Gen calpastatin adalah gen yang berfungsi sebagai penghambat (inhibitor)
dalam sistem calpain (Gambar 2). Gen calpastatin berfungsi untuk menghambat
degradasi protein sel-sel otot. Peningkatan aktivitas dari gen calpastatin
menyebabkan pertambahan masa otot (hypertrophy) dan penurunan keempukan
daging. Gen calpastatin terdiri atas 30+ ekson. Jumlah ekson gen calpastatin pada
bovine adalah 35 ekson (Raynaud et al., 2005). Gen calpastatin (CAST) pada sapi
berada pada kromosom 7 (Bishop et al., 1993) dan merupakan gen kandidat kuat
yang mempengaruhi keempukan daging (Barendse, 2002).

6

Gambar 2. Daerah Target Amplifikasi Gen Calpastatin (Palmer et al., 2000)
Takano et al. (1999) menyatakan bahwa struktur gen calpastatin dalam
fungsinya untuk menghambat calpain ke dalam empat domain (I-IV) yang terdiri
atas tiga daerah, yaitu A, B, dan C. Daerah A dan C mengikat ion kalsium (Ca2+)
secara kuat, akan tetapi tidak memiliki pengaruh dalam menghambat aktivitas
calpain, berbeda dengan daerah B yang memiliki pengaruh menghambat aktivitas
dari calpain.
Calpain merupakan sebuah enzim proteolytic terkait dengan ion kalsium
(Ca2+), yang ada dalam dua bentuk yaitu µ-calpain dan m-calpain. µ-calpain
merupakan calpain yang memerlukan ion Ca2+ dalam konsentrasi rendah, sedangkan
m-calpain meruapakan calpain yang memerlukan Ca2+ dalam konsentrasi tinggi.
Calpain berfungsi untuk mendegradasi protein sel-sel otot (myofibril) di dalam
jaringan otot (Goll et al.,1992). Koohmaraie (1995) menyatakan bahwa aktivitas
calpain dalam jaringan otot postmorfem dapat menyebabkan struktur protein sel otot
menjadi lemah. Hal ini berakibat pada kualitas daging menjadi lebih empuk, selain
µ-calpain dan m-calpain.
Hasil pemotongan produk PCR dengan enzim MspI menghasilkan dua alel,
yaitu alel M dan alel N pada domba dorset. MspI menghasilkan potongan produk 336
pb dan 286 pb (Palmer et al., 1998). Keragaman gen calpastatin pada domba lokal
indonesia yang diidentifikasi menggunakan teknik PCR dan RFLP-MspI diperoleh
dua genotipe, yaitu genotipe MN dan NN (Sumantri et al., 2008). Shahroudi et al.
(2006) dengan menggunakan teknik yang sama pada domba Karakul ditemukan tiga
genotipe, yaitu genotipe MM, MN dan NN dengan frekuensi masing-masing 0,61
dan 0,36, dan 0,03.
Lonergen et al. (1995) mengidentifikasi adanya keragaman gen calpastatin
pada sapi Bos taurus dengan diperoleh tiga genotipe, yaitu genotipe AA, AB, dan BB

7

dengan menggunakan teknik PCR-RFLP dengan enzim restriksi BamHI dan EcoRI.
Kubiak et al. (2004) dengan teknik PCR-SSCP menggunakan enzim restriksi AluI
dan Schenkel et al. (2006) dengan teknik RFLP menggunakan enzim restriksi RsaI
memperoleh tiga macam genotipe pada sapi Bos taurus, yaitu genotipe CC, GC, dan
GG.
Chung et al. (1999) menemukan keragaman gen calpastatin dengan metode
PCR-SSCP. Primer yang didesain dari domain 1cDNA bovine calpastatin berhasil
mengamplifikasi gen calpastatin sepanjang 500 pb dan menghasilkan dua alel, yaitu
alel A dan alel B. Keragaman gen calpastatin tersebut terkait erat dengan sifat
pertumbuhan sapi Angus jantan. Sapi Angus dengan genotipe BB mempunyai bobot
badan lebih tinggi dari pada sapi dengan genotipe AA dan AB.
Penciri Genetik Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Lenght
Polymorphism (PCR-RFLP)
Restriction Fragment lenght Polymorphism (RFLP) merupakan salah satu
teknik penciri genetik (genetic marker) yang dikembangkan oleh Botstein et al.,
(1980) yang digunakan untuk mengetahui adanya keragaman sekuens DNA.
Penggunaan

teknik

RFLP

menjadi

lebih

intensif

setelah

teknik

RFLP

dikombinasikan dengan teknologi Polymerase Chain Reaction (PCR) yang
digunakan hingga saat ini (Mullis et al. 1986).
PCR merupakan suatu teknik untuk menggandakan jumlah molekul DNA
pada ruas-ruas tertentu dan monomer-monomer nukleotida yang dilakukan secara in
vitro. Proses ini berjalan dengan bantuan primer dan enzim polymerase. Primer
merupakan oligonukleotida spesifik yang menempel pada bagian sampel DNA yang
akan diperbanyak (Williams, 2005). Proses yang terjadi dalam mesin PCR meliputi
tiga tahap utama yaitu denaturasi (pemisahan untai ganda DNA), annealing
(penempelan primer), dan ekstensi (pemanjangan primer) (Muladno, 2002). Enzim
polymerase merupakan enzim yang dapat mencetak urutan DNA baru. Hasil dari
proses PCR dapat divisualisasikan dengan elektroforesis (Williams, 2005).
PCR-RFLP merupakan salah satu metode analisis lanjutan dari produk PCR.
Metode PCR memanfaatkan runutan nukleotida yang bisa dikenali oleh enzim
restriksi yang disebut sebagai situs restriksi. Jika situs restriksi mengalami mutasi
(meskipun pada satu basa) maka enzim restriksi tidak mampu mengenalinya. Ada

8

tidaknya situs restriksi kemudian dapat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
mutasi. Analisis RFLP biasa digunakan untuk mendeteksi adanya keragaman pada
gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis, seperti produksi dan kualitas susu
(Sumantri et al., 2007).
Keragaman genetik atau yang disebut dengan polimorfisme terjadi apabila
terdapat dua alel atau lebih dalam suatu populasi (lebih dari 1%) (Nei dan Kumar,
2000). Penciri molekuler DNA restriction fragmen length polymorphism (RFLP)
memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi dan secara luas telah digunakan untuk
mendapatkan gambaran populasi genetik dan juga untuk mengidentifikasi gen-gen
yang mengkode sifat-sifat penting (Montaldo dan Herrera, 1998). Teknik ini semakin
intensif digunakan sebagai penciri genetik karena memiliki beberapa keunggulan
diantaranya yaitu perbanyakan DNA secara cepat dengan memakai Polymerase
Chain Reaction (PCR) dan polimorfisme fragmennya dilakukan dengan enzim
restriksi, sehingga mampu mengidentifikasi genotipe secara jelas (Jakaria et al.,
2007). Teknik lain yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi keragaman Produk
PCR atau DNA amplikon antara lain SSCP, TGGE, DGGE, dan sequencing.
Single Strand Conformation Polymorphism (SSCP)
Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation Polymorphism
(PCR-SSCP) merupakan suatu teknik analisis keragaman DNA yang didasarkan pada
asumsi bahwa perubahan yang terjadi pada fragmen DNA akan mempengaruhi
bentuk fragmen DNA untai tunggalnya. Hal ini terlihat pada perubahan pola migrasi
pada gel poliakrilamida non-denaturasi. Metode SSCP dapat mendeteksi adanya
mutasi pada fragmen DNA, akan tetapi tidak dapat memberikan informasi mengenai
posisi terjadinya fragmen DNA dan memiliki keterbatasan dalam menentukan jumlah
alel (Barosso et al., 1999).
Temperature Gradient Gel Electrophoresis (TGGE) dan Denaturing Gradient Gel
Electrophoresis (DGGE)
Polymerase Chain Reaction-Temperature Gradient Gel Electrophoresis
(PCR-TGGE) adalah suatu metode analisis keragaman yang mendeteksi adanya
mutasi menggunakan gel yang memiliki perbedaan suhu (Jasik dan Reichert, 2006).
Denaturing Gradient Gel Electrophoresis (DGGE) adalah suatu teknik untuk
mengidentifikasi adanya mutasi berdasarkan berat molekul fragmen DNA pada gel
9

yang memiliki perbedaan konsentrasi bahan untuk menyamakan berat molekul
(denaturing) (Liu et al., 2008).
Sequencing
Sequencing merupakan suatu terobosan utama dalam genetika molekular
untuk menganalisis keragaman molekul DNA. Sequencing merupakan proses
penentuan urutan nukleotida pada suatu fragmen DNA atau RNA. Sequencing DNA
akan menghasilkan sekuen DNA yang digambarkan sebagai untaian abjad lambang
nukleotida penyusun DNA. Tipe polimorfisme yang dideteksi yaitu pertukaran satu
basa dan menghasilkan informasi sekuen yang dibutuhkan. Proses sequencing dapat
dilakukan dengan cara cepat dan hasil yang diperoleh akurat, namun membutuhkan
biaya yang cukup besar (Muladno, 2002).

10

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler, Bagian
Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini telah
dilaksanakan pada September 2011 sampai dengan Februari 2012.
Materi
Ternak
Sampel darah sapi lokal Indonesia yang digunakan sebanyak 283 sampel
yang terdiri dari sampel sapi bali, sapi madura, sapi aceh, sapi pesisir, dan sapi
katingan. Jumlah sampel dari masing-masing sapi lokal Indonesia yang digunakan
dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Sampel Ternak Sapi Indonesia
Ternak Sapi

n

Tahun Koleksi

Asal

Sapi Pesisir

50

2006

Kab. Pesisir Selatan

Sapi Aceh

15

2010

Kab. Aceh Besar

Sapi Bali

100

2010

Balai Pembibitan Ternak
Unggul Sapi Bali

Sapi Katingan

50

2010

Daerah Aliran Sungai
Katingan

Sapi Madura

68

2011

Pulau Kangean

Total

283

Keterangan: n = jumlah individu

Alat dan Bahan
Pengambilan sampel darah dilakukan menggunakan bahan dan alat antara
lain alkohol, es, dan kapas, jarum vacutainer, tabung vacum 10 ml dan termos es.
Bahan dan alat yang digunakan dalam proses amplifikasi DNA adalah sampel DNA
yang telah diekstraksi dari darah sebelumnya, primer (forward dan reverse), taq
polymerase, buffer, MgCl2, dan dNTP, Pipet mikro, tabung 0,5 ml dan 1,5 ml, serta
mesin Applied Biosystem PCR thermalcycler.

Bahan dan alat yang digunakan pada tahap elektroforesis dan genotyping
antara lain produk PCR, gel agarose 1,5%, loading dye, buffer, dan enzim restriksi
(MspI), elektroforesis tray vertikal, inkubator, serta UV-Transilluminator.
Prosedur
Pengambilan Sampel Darah
Sampel darah diambil dari sapi bali, sapi madura, sapi aceh, sapi katingan dan
sapi pesisir melalui vena jugularis dan ditambahkan alkohol absolut selanjutnya
dibawa ke Laboratorium Genetika Molekuler Ternak.
Isolasi DNA
Isolasi DNA dilakukan dari sampel darah dengan menggunakan Genomic
DNA mini kit Geneaid (Lampiran 1) yang dimodifikasi untuk penggunaan sampel
darah yang disimpan dalam alkohol.
Amplifikasi Gen Calpastatin
Sekuen primer yang digunakan berdasarkan Palmer et al. (1998), yaitu primer
forward 5’ TGGGGCCCAATGACGCCATCGATG 3’ yang terletak di ekson 1C
dan primer reverse 5’ GGTGGAGCAGCAC TTCTGATCACC 3’ yang terletak di
ekson 1D (Gambar 3), dengan panjang produk PCR 624 pb.
1

3’ tggggcccaa tgatgccatc gatgccttgt catccgactt cacctgcagt

tcccctacag

61

ctgatgcaaa gaaaactgag aaagaggtat ggtttttaat gcccttaggg

aagcttgtta

121

gaaactacct cccactttaa gacaacaact tttttttaaa cttcattttt

cacttcactg

181

cgtcttcatt gctgtgttcg ggctttctct agttggggca agcgaggcct

gttctctatt

241

tgcaattttt aggcttctgc agggggctcc tcttgttgct gggc|cggggc tctaggtgca

301

caggcttcat ttgttgtggc tcgagggctc taaaccacag gctcattggt

cttggcgcac

361

gggcatggtt accccaatgc atttgggatc tcccctggcc agggagcaaa

cctgtttccc

421

ctgcattgca aggcggcctc ttaaccgctg gccaccaggg aagccccaaa

atgccaaggc

481

tttttacttc tggttcttac cgtttggttc atatttttcc ttcatctgcc

agtcaaacct

541

tcttctgtat tttattttcc agaaatctac agaagaggct ttaaaagctc

agtcagctgg

601

ggtgatcaga agtgctgctc cacc 5’

Keterangan:
: Primer forward
: Primer reverse
Ccgghhhhhh : Situs pemotongan

Gambar 3. Tempat Penempelan Primer dan Situs Pemotongan MspI. Nomor
akses GenBank: AF117813.

12

Amplifikasi gen calpastatin dilakukan dengan teknik Polymerase Chain
Reaction (PCR) menggunakan mesin Applied Biosystem PCR thermalcycler.
Amplifikasi gen calpastatin ini menggunakan campuran yang terdiri dari sampel
DNA yang telah diekstraksi dari darah, primer (forward dan reverse), taq
polymerase, buffer, MgCl2, dan dNTPs. Proses amplifikasi terjadi dalam empat tahap
di dalam mesin Applied Biosystem PCR thermalcycler. Kondisi PCR yang digunakan
berdasarkan Palmer et al., (1998) yaitu denaturasi pada suhu 95 ºC selama satu
menit, penempelan pada suhu 62 ºC selama satu menit, serta pemanjangan molekul
DNA yang terjadi pada suhu 72 ºC selama dua menit sebanyak 35 siklus.
Elektroforesis Produk PCR
Elektroforesis produk PCR dilakukan menggunakan 5 µl produk PCR pada
gel agarose 1,5% dengan tegangan sebesar 100 volt yang dilakukan selama 60 menit.
Pembuatan gel yaitu dengan mencampurkan agarose 0,45 g, 0,5 TBE 30 ml, dan 2,5
µl EtBr. Produk PCR sebanyak 5 µl dicampur dengan loading sebanyak 1 µl. Gel
agarose setelah dielektroforesis dilihat panjang pita DNA dengan menggunakan UVTransilluminator.
Genotyping
Produk PCR sebanyak 5 µl didistribusikan ke dalam Eppendorf 0,5 ml lalu
ditambahkan 0,3 µl enzim restriksi MspI, dan 0,7 µl buffer tango. Sampel DNA
setelah dipotong dengan enzim restriksi MspI kemudian dielektroforesis pada
agarose 2% dengan tegangan 100 volt selama 60 menit. Selanjutnya dilakukan
visualisasi di bawah mesin UV-Transilluminator. Pita DNA yang muncul pada tahap
ini dibandingkan dengan marker untuk mengetahui panjang pita tersebut. Genotipe
gen calpastatin ditentukan berdasarkan panjang pita DNA yang muncul (Gambar 4).
Penentuan genotipe gen calpastatin berdasarkan beberapa penelitian yang telah
dilakukan dapat dilihat pada Tabel 3.

13

Gambar 4. Penentuan Genotipe Gen Calpastatin (Palmer et al., 1998). M = marker;
1, 3, 5 = Pemotongan dengan enzim MspI; 2, 4, 6 = Pemotongan dengan
enzim NcoI.
Tabel 3. Penentuan Genotipe pada Gen CAST Menurut Beberapa Penelitian
Ternak
Domba Dorset

Metode
RFLP-MspI

Genotyping
Panjang produk PCR : 622pb
MM : 336 dan 286 pb

Sumber
Palmer et al.
(1998)

MN : 622, 336, dan 286 pb
NN : 622 pb
Domba Lokal

RFLP-MspI

Indonesia

Panjang produk PCR : 622 pb
MN : 622, 336, 286 pb

Sumantri et al.
(2008)

NN : 622 pb
Domba Karakul

RFLP-MspI

Panjang produk PCR : 622 pb
MM : 336 dan 286 pb

Shahroudi et al.
(2006)

MN : 622, 336, dan 286 pb
NN : 622 pb

14

Rancangan dan Analisis Data
Keragaman gen calpastatin setiap bangsa sapi lokal Indonesia dianalisis
menggunakan pendekatan nilai frekuensi alel, frekuensi genotipe, dan nilai
heterozigositas.
Frekuensi alel gen calpastatin dihitung berdasarkan rumus (Nei dan Kumar,
2000) :
Xi =
Frekuensi genotipe dihitung berdasarkan rumus (Nei dan Kumar, 2000) :
Xii =
Keterangan :
xii
= frekuensi genotipe ke-ii
= frekuensi alel ke-i
xi
nii
= jumlah individu bergenotipe ii
= jumlah individu bergenotipe ij
nij
N
= jumlah individu sampel
Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dihitung menggunakan rumus (Weir,
1996) :

Keterangan :
= heterozigositas pengamatan (populasi)
Ho
nij
= jumlah individu heterozigot
N
= jumlah individu yang diamati
Nilai heterozigositas harapan (He) dihitung dengan menggunakan rumus
(Weir, 1996) :

Keterangan :
= nilai heterozigositas harapan
He
P1i
= frekuensi alel ke-I pada lokus I
n
= jumlah alel pada lokus ke-I

15

HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST|MspI)
Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST|MspI) pada setiap bangsa sapi
dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada suhu
annealing 60 ºC selama 45 detik dengan panjang produk PCR 624 pasang basa (pb)
(Gambar 5). Keberhasilan amplifikasi Gen Calpastatin (CAST|MspI) pada bangsa
sapi Indonesia adalah 100%. Seluruh sampel yang digunakan yaitu sebanyak 283
sampel DNA yang berasal dari sapi bali, sapi madura, sapi pesisir, sapi aceh, dan
sapi katingan berhasil diamplifikasi pada penelitian ini.

(-)
624 pb

(+)

Gambar 5. Produk PCR Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.
Suhu annealing yang diperoleh (60 ºC) merupakan suhu optimal yang
didapatkan untuk mengamplifikasi gen calpastatin pada bangsa sapi Indonesia, yaitu
sapi bali, madura, pesisir, aceh, dan katingan. Suhu annealing yang didapatkan
dalam penelitian ini sedikit lebih rendah dari suhu annealing yang digunakan oleh
Palmer et al. (1998) yaitu 62 ºC untuk mengamplifikasi gen calpastatin pada domba
dorset. Fragmen gen calpastatin berhasil diamplifikasi pada sapi pedaging (Bos

taurus) dengan panjang produk 624 pb dengan suhu annealing 62 ºC selama 45 detik
(Kubiak et al., 2004), sedangkan pada domba lokal di Indonesia gen calpastatin
berhasil diamplifikasi dengan suhu annealing 48 ºC (Sumantri et al., 2008).
Keberhasilan amplifikasi sangat ditentukan oleh kondisi penempelan primer
pada DNA genom (gen target), disamping faktor-faktor lainnya, seperti bahan
pereaksi PCR dan kondisi mesin PCR (thermalcycler). Kisaran temperatur
penempelan (annealing) adalah antara 36 ºC sampai dengan 72 ºC, namun suhu yang
biasa digunakan antara 50-60 ºC (Muladno, 2002).
Identifikasi Genotipe Gen Calpastatin
Produk PCR fragmen gen calpastatin yang telah dipotong dengan enzim
restriksi MspI pada penelitian ini menghasilkan dua macam genotipe, yaitu fragmen
yang terpotong (dua pita) yang dikenal dengan genotipe MM dan fragmen gabungan
(tiga pita) yang dikenal dengan genotip MN (Gambar 6).
M

1

Genotipe MM

2

3

4

5

MM MM MM MM

6

MM

7

8

9

10

11

12

MM MM MM MM

MN

MM

13

MN

(-)

(+)
Genotipe MM MM

MM

MM

MM MM

MM

MM

MM MM

MN MM MN

Gambar 6. Genotipe Gen Calpastatin pada Gel Agarose 2%.
Penentuan genotipe gen CAST|MspI dilakukan dengan teknik Polymerase
Chain

Reaction-Restriction

Fragment

Lenght

Polymorfism

(PCR-RFLP)

17

menggunakan MspI sebagai enzim pemotong. Identifikasi keragaman gen
CAST|MspI dilakukan pada produk PCR dengan panjang 624 pb. Hasil analisis
keragaman gen calpastatin pada bangsa sapi Indonesia, yaitu sapi bali, sapi madura,
sapi aceh, dan sapi katingan diperoleh dua genotipe, yaitu genotipe MM dan genotipe
MN (Tabel 4). Genotipe MM ditunjukkan dengan panjang pita 338 dan 286 pb,
genotipe MN dengan panjang pita 624, 338, dan 286 bp. Enzim MspI mengenali situs
pemotongan C|CGG. Keragaman gen CAST|MspI disebabkan oleh adanya mutasi
pada posisi basa ke-284 nomor akses GenBank AF117813. Subtitusi basa (transisi)
basa Guanin (CCGG) – Adenin (CCGA).
Tabel 4. Hasil Identifikasi Genotipe Gen Calpastatin pada Bangsa Sapi Indonesia
Ternak Sapi

Genotipe (n)
MM

MN

NN

Sapi bali

100

0

0

Sapi madura

68

0

0

Sapi pesisir

46

4

0

Sapi aceh

15

0

0

Sapi katingan

50

0

0

Total

279

4

0

Keterangan: n = jumlah genotipe yang muncul

Hasil identifikasi genotipe gen calpastatin pada bangsa sapi Indonesia dengan
teknik PCR-RFLP menunjukkan bahwa pada bangsa sapi Indonesia yaitu sapi bali,
sapi madura, sapi pesisir, sapi aceh, dan sapi katingan tidak ditemukan genotipe NN
yang ditunjukkan dengan tiga pita pada panjang 286, 338, dan 624 pb. Hasil
identifikasi genotipe berbeda dengan Kubiak et al. (2004) yang melakukan
amplifikasi pada sapi potong Bos taurus yang menghasilkan tiga genotipe yaitu
genotipe GC, genotipe CC, dan genotipe GG. Perbedaan genotipe terjadi akibat
perbedaan enzim pemotong yang digunakan, sehingga titik potong pun berbeda yang
menyebabkan perbedaan dalam penentuan genotipe.
Keragaman gen CAST|MspI bangsa sapi Indonesia disebabkan olah adanya
mutasi titik yang terjadi pada posisi basa ke-284 nomor akses GenBank AF117813.
Terjadinya subtitusi basa (transisi) basa Guanin (CCGG) – Adenin (CCAG)
menyebabkan situs pemotongan untuk enzim restriksi MspI berubah. Produk PCR

18

gen CAST|MspI sepanjang 624 pb dipotong dan menghasilkan dua alel, yaitu alel M
dan N. Alel M mempunyai mempunyai nukleotida G pada posisi basa ke-284,
sedangkan alel N mempunyai nukleotida A pada posisi basa yang sama. Terjadinya
transisi basa G – A menyebabkan terjadinya perbedaan sekuen nukleotida dari gen
CAST|MspI.
Mutasi transisi disebabkan oleh adanya subtitusi antara Adenin dengan
Guanin (Purin) atau basa Sitosin dengan Timin (Pirimidin) (Paolella, 1998). Titik
mutasi gen CAST|MspI diketahui berada pada daerah intron 1 yang merupakam
daerah non-coding karena pada saat transkripsi bagian ini akan hilang (splicing).
Proses transkripsi merupakan proses pengkodean dari kodon-kodon yang akan
ditranslasikan menjadi asam-asam amino. Mutasi yang terjadi pada bagian yang tidak
ditranskripsikan (intron) akan mengakibatkan silent mutation, yaitu mutasi yang
tidak menyebabkan perubahan fenotipik (Paolella, 1998).
Keragaman Gen Calpastatin pada Bangsa Sapi Indonesia
Nilai frekuensi genotipe dan frekuensi alel gen CAST|MspI bangsa sapi
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Nilai Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen CAST|MspI pada Bangsa
Sapi Indonesia
Ternak Sapi

n

Frekuensi Genotipe

Frekuensi Alel

MM

MN

M

N

Sapi bali

100

1,00

0,00

1,00

0,00

Sapi madura

68

1,00

0,00

1,00

0,00

Sapi pesisir

50

0,92

0,08

0,96

0,04

Sapi aceh

15

1,00

0,00

1,00

0,00

Sapi katingan

50

1,00

0,00

1,00

0,00

283

0,99

0,01

0,99

0,01

Total

Keterangan: n = jumlah individu

Frekuensi genotipe gen calpastatin (CAST|MspI) pada sapi bali, sapi madura,
sapi aceh, dan sapi katingan memiliki genotipe MM tertinggi (1,00), sedangkan
genotipe MN dan NN tidak muncul pada bangsa sapi tersebut. Sapi pesisir memiliki
dua macam genotipe yaitu genotipe MM dan MN dengan frekuensi genotipe MM
yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe MN. Frekuensi alel tertinggi

19

pada bangsa sapi indonesia adalah alel M. Frekuensi alel pada sapi bali, sapi madura,
sapi aceh, dan sapi katingan adalah 1,00, sedangkan sapi pesisir memiliki frekuensi
alel M sebesar 0,96 dan alel N sebesar 0,04.
Keragaman genetik terjadi apabila terdapat dua alel atau lebih dalam suatu
populasi (lebih dari 1%) (Nei dan Kumar, 2000). Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa gen CAST|MspI bersifat monomorfik atau tidak beragam yaitu pada sapi bali,
sapi madura, sapi aceh, dan sapi katingan, kecuali pada populasi sapi pesisir yang
bersifat polimorfik. Populasi bangsa sapi indonesia diketahui mempunyai frekuensi
alel M lebih tinggi dibandingkan frekuensi N pada semua populasi yang dianalisis.
Frekuensi alel adalah frekuensi relatif dari suatu alel dalam populasi (Nei dan
Kumar, 2000).
Seleksi adalah suatu tindakan untuk membiarkan ternak-ternak tertentu
bereproduksi, sedangkan ternak lainnya tidak diberi kesempatan untuk bereproduksi
(Noor, 2008). Seleksi dan manajemen yang dilakukan oleh peternak diduga
merupakan penyebab tingginya frekuensi alel M pada populasi bangsa sapi
Indonesia. Seleksi yang dilakukan adalah dengan mempertahankan individu-individu
yang memiliki alel M dan tidak mempertahankan individu yang memiliki alel N. Hal
tersebut berdampak pada manajemen perkawinan yang dilakukan, yaitu peternak
lebih banyak melakukan perkawinan terhadap individu-individu yang memiliki alel
M dibandingkan dengan individu-individu yang memikiki alel N, sehingga
menghasilkan keturunan yang tentunya juga memiliki alel M yang diwariskan dari
tetuanya.
Frekuensi alel dan genotipe gen calpastatin (CAST|MspI) pada bangsa sapi
Indonesia memilki keragaman genetik yang cenderung rendah. Hal ini disebabkan
karena ternak-ternak tersebut telah beradaptasi dengan lingkungan tropis di Indonesia
sehingga pengaruh lingkungan berperan terhadap sifat produksinya. Proses adaptasi
tersebut merupakan proses evolusi dan seleksi pada spesies ternak domestik. Evolusi
terhadap adaptabilitas pada lingkungan tropis memberikan penyesuaian terhadap
resistensi atau toleransi penyakit, stres panas, stres nutrisi dan toleransi obat-obatan
(Newman dan Coffey, 1999).
Seleksi alam mengakibatkan pembentukan individu-individu yang kuat dan
tahan terhadap tantangan lingkungan alam sekitarnya, hal tersebut mengakibatkan

20

ternak hasil seleksi alam rendah terhadap sifat produksinya dikarenakan apa yang
dibutuhkan oleh hewan tersebut terbatas hanya untuk mempertahankan hidupnya
(Pane, 1986). Fenomena kelenturan fenotipik sebagai hasil seleksi alam dan
menyebabkan genotipe pada bangsa sapi Indonesia memiliki keragaman rendah.
Noor (2002) menyatakan bahwa kemampuan suatu individu/genotipe untuk
menampilkan lebih dari satu bentuk morfologi, status fisiologi dan tingkah laku
sebagai respon terhadap perubahan lingkungan disebut sebagai kelenturan fenotipik.
Pewarisan sifat dari tetua yang menyumbangkan alel yang sama (homozigot)
kepada keturunannya secara turun temurun mengakibatkan frekuensi gen individuindividu pada populasi bersifat monomorfik. Silang dalam merupakan suatu bentuk
isolasi secara genetik. Silang dalam terjadi akibat adanya keterbatasan pilihan dalam
proses perkawinan, akan tetapi silang dalam tidak akan merubah frekuensi gen awal
pada proses silang dalam dimulai. Apabila terjadi perubahan frekuensi gen, maka
perubahan itu disebabkan oleh adanya seleksi, mutasi, dan pengaruh sampel acak
(Noor, 2008). Hal ini berkaitan dengan isolasi yang dilakukan untuk menjaga
kemurnian Sapi Bali untuk kepentingan konservasi yang dilakukan oleh BPTU Sapi
Bali di Pulau Bali.
Faktor lain yang diduga memiliki pengaruh terhadap rendahnya keragaman
gen calpastatin (CAST|MspI) pada bangsa sapi Indonesia adalah keterbatasan sampel
yang digunakan dalam penelitian ini. Pengambilan sampel dengan jumlah ternak
yang terbatas mengakibatkan frekuensi gen yang diidentifikasi kurang representatif
atau kurang mewakili individu-individu populasi bangsa sapi Indonesia, seperti yang
terjadi padamn sampel sapi aceh yang digunakan dalam penelitian ini. Jumlah
individu yang digunakan untuk sampel DNA sapi aceh hanya berjumlah 15 ekor
ternak sapi.
Keragaman yang terdapat pada populasi sapi pesisir diduga terjadi akibat
manajemen perkawinan yang dilakukan oleh peternak, dimana ternak-ternak
mengalami perkawinan secara acak (random mating). Frekuensi alel M yang lebih
tinggi dibandingkan dengan alel N disebabkan oleh kesempatan pejantan yang
memiliki alel M yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pejantan yang memiliki
alel N untuk mengawini individu-individu betina.

21

Pendugaan Nilai Heterozigositas
Pendugaan nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas
harapan (He) gen CAST-MspI pada bangsa sapi Indonesia tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Heterozigositas Harapan (He)
gen CAST-MspI pada Bangsa Sapi Indonesia
Ternak Sapi

Heterozigositas

n

Ho

He

Bali BPTU

100

0,00

0,00

Madura

68

0,00

0,00

Pesisir

50

0,08

0,08

Aceh

15

0,00

0,00

Katingan

50

0,00

0,00

Keterangan: n = jumlah individu

Pendugaan nilai heterozigositas memiliki arti penting untuk diketahui, yaitu
untuk mendapatkan gambaran variabilitas genetik pada suatu populasi (Marson et al.,
2005), selain itu nilai heterozigositas digunakan untuk mengetahui tingkat
polimorfisme suatu alel dan prospek populasi di masa yang akan datang (Falconer
dan Mackay, 1996). Tabel 6 menunjukkan bahwa hasil analisis nilai heterozigositas
pengamatan (Ho) dan nilai pengamatan harapan (He) tidak mengindikasikan adanya
perbedaan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa frekuensi genotipe dari populasi
yang dianalisis dalam keadaan seimbang.
Tambasco et al. (2003) menyatakan bahwa jika nilai heterozigositas
pengamatan

(Ho)

lebih

rendah

dari

heterozigositas

harapan

(He)

dapat

mengindikasikan adanya derajat endogami (perkawinan dalam kelompok) sebagai
akibat dari proses seleksi yang intensif. Moioli et al. (2004) menyatakan bahwa
secara umum nilai heterozigositas, khususnya nilai heterozigositas harapan (He)
merupakan indikator yang baik sebagai penciri genetik yang dapat menjelaskan
keragaman genetik pada suatu populasi ternak domestik.
Heterozigositas merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengetahui
nilai variasi genetik (Nei, 1987). Keragaman genetik yang rendah pada bangsa sapi
Indonesia mungkin disebabkan oleh kemampuan ternak dalam beradaptasi dengan
lingkungan tropis di Indonesia. Kondisi yang terbatas dalam hal nutrisi dan iklim
mengakibatkan bangsa sapi Indonesia hanya mengekspresikan sifat yang sesuai

22

dengan kebutuhannya dalam mempertahankan hidup. Ternak memberikan respon
terhadap stres dengan cara mengatur keadaan fisiologi atau morfologi sebagai upaya
meredam pengaruh stres untuk mempertahankan fungsi normal tubuh agar ternak
dapat bertahan dan bereproduksi dalam keadaan tersebut.
Penelitian ini merupakan penilitian pertama yang dilakukan untuk
mengetahui keragaman gen CAST|MspI bangsa sapi Indonesia. Informasi yang
tersedia masih terbatas untuk dijadikan sebagai pembanding. Hasil yang diperoleh
pada penelitian ini menunjukkan bahwa gen calpastatin (CAS|MspI) bersifat
monomorfik pada sebagian besar bangsa sapi Indonesia (sapi bali, sapi aceh, aceh,
dan sapi katingan), kecuali pada sapi pesisir yang bersifat polimorfik. Untuk itu
diperlukan suatu penelitian lanjutan dengan menggunakan fragmen gen calpastatin
yang berbeda mengingat gen calpastatin memiliki fragmen DNA yang cukup panjang
(lebih dari 30 ekson).

23

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Gen calpastatin (CAST|MspI) pada bangsa sapi di Indonesia memiliki alel M
dengan genotipe MM, kecuali pada sapi pesisir yang memiliki dua jenis alel yaitu M
dan N dengan genotipe MM dan MN. Genotipe MM dan alel M memiliki frekuensi
kemunculan paling besar pada setiap populasi. Hasil indentifikasi gen CAST|MspI
pada bangsa sapi Indonesia menyatakan bahwa gen calpastatin bersifat monomorfik
pada populasi sapi bali, sapi madura, sapi aceh, dan sapi katingan, kecuali pada sapi
pesisir yang bersifat polimorfik.
Saran
Diperlukan penelitian lanjutan dengan situs lain pada gen calpastatin (CAST)
yang mungkin bersifat polimorfik dengan sekuen DNA yang berbeda.

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN CALPASTATIN
(CAST|MspI) PADA BANGSA SAPI DI INDONESIA
DENGAN TEKNIK PCR-RFLP

SKRIPSI
MARTIANA KARTIKA DEWI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN CALPASTATIN
(CAST|MspI) PADA BANGSA SAPI DI INDONESIA
DENGAN TEKNIK PCR-RFLP

SKRIPSI
MARTIANA KARTIKA DEWI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

RINGKASAN
MARTIANA KARTIKA DEWI. 2012. Identifikasi Keragaman Gen Calpastatin
(CAST|MspI) pada Bangsa Sapi di Indonesia dengan Teknik PCR RFLP.
Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Jakaria, S.Pt. M.Si.
Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA.
Indonesia memiliki sumber daya genetik ternak yang sangat beragam,
khususnya ternak sapi yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Pelestarian
sumber daya genetik ternak sapi di Indonesia menjadi penting untuk dilakukan
karena bangsa sapi Indonesia merupakan sumber pangan sekaligus kekayaan alam
yang harus dipertahankan. Informasi genetik mengenai bangsa sapi Indonesia yang
masih terbatas menjadikan identifikasi keragaman gen calpastatin (CAST|MspI)
penting untuk dilakukan. Calpastatin merupakan gen yang berfungsi menghambat
degradasi protein sel-sel otot. Gen calpastatin pada mamalia diduga berkaitan
dengan sifat pertumbuhan otot dan keempukan daging. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui keragaman gen calpastatin yang terdapat di ekson 1 pada bangsa sapi
Indonesia yaitu sapi bali, sapi madura, sapi pesisir, sapi aceh, dan sapi katingan.
Penelitian ini telah dilaksanakan pada September 2011 sampai dengan
Februari 2012 di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Fakultas Peternakan,
Institut Peternakan Bogor. Ternak yang digunakan berjumlah 283 ekor yang
kemudian diekstraksi hingga didapatkan sampel Deoxyribonucleic Acid (DNA).
Ternak yang digunakan terdiri dari sapi bali 100 ekor, sapi madura 68 ekor, sapi
pesisir 50 ekor, sapi aceh 15 ekor, dan sapi katingan 50 ekor. Amplifikasi gen
calpastatin dilakukan dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR), sedangkan
penentuan genotipenya dilakukan menggunakan enzim restriksi MspI dengan teknik
Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP). Analisis data yang dilakukan
adalah perhitungan nilai frekuensi alel, frekuensi genotipe, serta nilai heterozigositas.
Genotipe yang diperoleh pada penelitian ini adalah genotipe MM dan
genotipe MN. Genotipe MM ditunjukkan dengan pita yang terpotong menjadi dua
pita dan genotipe MN ditunjukkan dengan munculnya tiga pita. Frekuensi genotipe
MM (1,00) diperoleh pada sapi bali, sapi madura, sapi aceh, dan sapi katingan,
sedangkan sapi pesisir memiliki frekensi genotipe MM (0,92) dan genotipe MN
(0,08). Frekuensi alel M tertinggi ditemukan pada sebagian besar bangsa sapi
Indonesia (sapi bali, sapi madura, sapi aceh, dan sapi katingan) yaitu bernilai 1,00
kecuali pada sapi pesisir yang memiliki frekuensi alel M (0,96) dan alel N (0,04).
Nilai heterozigositas baik pengamatan (Ho) maupun harapan (He) pada sebagian
besar populasi bangsa sapi Indonesia bernilai 0,00 yaitu pada populasi sapi bali, sapi
madura, sapi aceh, dan sapi katingan, kecuali pada sapi pesisir yaitu bernilai 0,08.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat dikatakan bahwa gen calpastatin
(CAST|MspI) bersifat monomorfik pada populasi bangsa sapi Indonesia yaitu pada
sapi bali, sapi madura, sapi aceh, dan sapi katingan, kecuali pada sapi pesisir yang
bersifat polimorfik.
Kata-kata kunci : Bangsa sapi Indonesia, gen calpastatin, PCR- RFLP

ABSTRACT
Identification of Calpastatin (CAST-MspI) Gene Polymorphisms in Indonesian
Cattle Breeds Using PCR-RFLP Technique
Dewi, M.K., Jakaria, and Muladno
Calpastatin (CAST) is a gene that inhibits degeredation of protein muscle. The
increasing of calpastatin’s activity causes the increasing of hiperthropy, in the other
hands decreasing meat tenderness. The objective of this research was to identify
polymorphism of calpastatin (CAST-MspI) genes in Indonesian cattle breeds. This
research used 283 Indonesian cattle breeds, they are bali cattle (100), madura cattle
(68), pesisir cattle (50), aceh cattle (15), and katingan cattle (50). Polymerase Chain
Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) technique was
used to identify polymorphism of calpastatin genes in Indonesian cattle breeds. The
result revealed two genotypes MM and MN and two alleles M and N. Genotype
frequence of bali cattle, madura cattle, aceh cattle, and katingan cattle MM (1,00)
were evidenced for the CAST|MspI monomorphism, but different from pesisir cattle
MM (0,92) and MN (0,08) were the evidenced of polymorphism. Allele frequence of
bali cattle, madura cattle, aceh cattle, and katingan cattle is 1,00, while allele
frequence M and N of pesisir cattle are 0,96 and 0,04 respectively. The highest M
allele frequency was found in the bali, madura, aceh, and katingan cattle population
(1,00) and the lowest one was found in pesisir cattle (0,96). The heterozygosity value
of bali cattle, madura cattle, aceh cattle, and katingan cattle is 0,00, while the
heterozygosity value of pesisir cattle is 0,08. Based on the analysis, Indonesian cattle
breeds (bali cattle, madura cattle, aceh cattle, and katingan cattle except pesisir
cattle) are monomorphic in calpastatin gene.
Keywords : Indonesian cattle breeds, calpastatin gene, PCR-RFLP

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN CALPASTATIN
(CAST|MspI) PADA BANGSA SAPI DI INDONESIA
DENGAN TEKNIK PCR-RFLP

MARTIANA KARTIKA DEWI
D14080113

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

Judul

: Identifikasi Keragaman Gen Calpastatin (CAST|MspI) pada
Bangsa Sapi di Indonesia dengan Teknik PCR RFLP

Nama

: Martiana Kartika Dewi

NIM

: D14080113

Menyetujui,

Pembimbing Utama

(Dr. Jakaria, S.Pt., M.Si.)
NIP. 19660105 199303 1 001

Pembimbing Anggota

(Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA.)
NIP. 19610824 198603 1 001

Mengetahui:
Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.)
NIP. 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian: 26 Juni 2012

Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banjarnegara pada tanggal 20 Maret 1990. Penulis
adalah anak ke-dua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Imam Gunadi dan Ibu
Setiarti. Pendidikan dasar penulis diselesaikan pada tahun 2002 di SD Negeri 1
Kutabanjar, Banjarnegara. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada
tahun 2005 di SMP Negeri 1 Banjarnegara, dan pendidikan lanjutan tingkat atas
diselesaikan pada tahun 2008 di SMA Negeri 1 Banjarnegara, Jawa Tengah. Penulis
diterima sebagai mahasiswa IPB di Fakultas Peternakan IPB