Identification of Growth Hormone Gene Variation in the Exon Region of Indonesian Local Cattle Based on PCR-SSCP Method

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN
DI DAERAH EXON PADA SAPI LOKAL INDONESIA
BERDASARKAN METODE PCR-SSCP

SURYA NUR RAHMATULLAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Identifikasi Keragaman Gen
Hormon Pertumbuhan di Daerah Exon pada Sapi Lokal Indonesia Berdasarkan
Metode PCR-SSCP adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Oktober 2011

Surya Nur Rahmatullah
NIM D151090061

ABSTRACT
SURYA NUR RAHMATULLAH. Identification of Growth Hormone Gene
Variation in the Exon Region of Indonesian Local Cattle Based on PCR-SSCP
Method. Under supervision of RONNY RACHMAN NOOR and JAKARIA.
The aim of this study was to identify the polymorphisms of the growth
hormone gene (GH) of Indonesian local cattle breeds as well as two exotic breed
as the out grouped using polymerase chain reaction and single strand
conformation polymorphism (PCR-SSCP). 20 DNA samples of each Indonesian
local cattle in consists of Bali, Pesisir, Madura and Katingan and 10 DNA samples
of Simmental and Limousine cattle were used. The results show that the
polymorphism of the GH gene was found in the three exon regions which are
exon 1, 2 and 5 at Indonesian local cattle except for the Bali and Madura cattle
that showed polymorphism only at exon 2. This two cattle showed
monomorphism at their exon 3 and 4. On the other hand, the exotic breed showed
the polymorphism in all exon regions, except for exon 2 in Simmental cattle

which was found to be monomorphic. Bos javanicus was monomorphic in the
fifth exon except at exon 2 that is polymorphic, while Bos taurus and Bos indicus
were polymorphic in the fifth exon. The degree of heterozygosity in the Bos
javanicus was a lower when compared to the value of Bos taurus and Bos
indicus, so that it can be stated that the high diversity found in the Bos taurus and
Bos indicus cattle.

Keywords: Indonesian local Cattle, growth hormone gene, PCR-SSCP,
polymorphism.

RINGKASAN
SURYA NUR RAHMATULLAH. Identifikasi Keragaman Gen Hormon
Pertumbuhan di Daerah Exon pada Sapi Lokal Indonesia Berdasarkan Metode
PCR-SSCP. Dibimbing oleh RONNY RACHMAN NOOR dan JAKARIA.
Indonesia memiliki berbagai bangsa ternak sapi potong yang merupakan
ternak lokal yang informasi genetiknya masih terbatas seperti sapi Bali, Aceh,
Madura, Pesisir dan sapi Katingan. Sapi potong tersebut memiliki potensi yang
sangat besar karena merupakan sumber daya genetik ternak lokal yang tidak
ternilai harganya. Keunggulan yang dimiliki sapi lokal Indonesia adalah
kemampuan adaptasi lingkungan ekstrim, ketersediaan pakan yang berkualitas

rendah dan fertilitasnya yang sangat baik, serta mampu bertahan pada kondisi
iklim tropis. Keunggulan pada sapi lokal Indonesia inilah yang menjadi salah
satu alasan dasar atas kajian molekuler terhadap gen hormon pertumbuhan (GH)
yang diduga sebagai salah satu gen utama (major gene) yang berperan penting
dalam proses pertumbuhan. Polimorfisme dari gen GH yang terdapat sapi lokal
seperti sapi Bali, Madura, Pesisir, dan sapi Katingan (Kalimantan Tengah) belum
banyak informasinya. Hal ini terkendala dari segi penelitian maupun teknik
dalam pendeteksian keragaman gen tersebut. Teknik yang juga bisa digunakan
untuk mendeteksi keragaman gen pada suatu ternak adalah dengan teknik PCRSSCP (Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation Polymorphism).
Teknik ini relatif masih baru dalam penentuan polimorfisme suatu gen, dan tidak
banyak dilakukan, khususnya dalam penentuan gen GH terlebih pada ternak sapi
lokal Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman
gen hormon pertumbuhan di daerah exon dengan menggunakan teknik PCR-SSCP
pada populasi sapi lokal Indonesia.
Sampel darah sapi yang digunakan adalah sapi lokal Indonesia yaitu sapi
Bali, Madura, Pesisir dan Katingan, sebanyak 80 sampel dengan masing-masing
bangsa sapi sebanyak 20 sampel, sedangkan sampel sapi yang digunakan sebagai
pembanding adalah sapi yang berasal dari bangsa Bos taurus seperti Limousin dan
Simmental dengan masing-masing bangsa sebanyak 10 sampel, yang sudah
dikoleksi dan disimpan di Laboratorium Genetika dan Molekuler Ternak Bagian

Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan IPB. Isolasi DNA total
menggunakan metode Sambrook et al. (1989) yang dimodifikasi. Isolasi DNA
total, teknik PCR dan SSCP dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler
Ternak Bagian Pemuliaan Ternak Fakultas Peternakan IPB. Penelitian
berlangsung sejak Oktober 2010 s/d Juni 2011. Primer yang digunakan untuk
mengamplifikasi fragmen gen GH daerah exon 1, 2, 3, 4 dan 5 didasarkan pada
Lagziel et al. (1996) dan Kioka et al. (1989) yang dimodifikasi. Panjang produk
hasil amplifikasi fragmen gen GH pada masing–masing exon adalah exon 1: 315
pb, exon 2 : 283 pb , exon 3 : 158 pb, exon 4 : 198 pb dan exon 5 : 392 pb. Deteksi
polimorfisme gen GH dilakukan melalui teknik PCR-SSCP. Keragaman gen GH
ditentukan dengan analisis frekuensi alel, nilai heterozigositas pengamatan (Ho)
dan nilai heterozigositas harapan (He). Keseimbangan genotipe gen GH dalam
populasi diuji dengan uji χ2 (chi-square).
Keragaman gen GH pada sapi lokal Indonesia bersifat polimorfik
(beragam) pada kelima exon (exon 1, 2, 3, 4 dan 5). Alel A, D, H, J dan L pada

sapi lokal Indonesia yang merupakan alel-alel yang memiliki nilai frekuensi yang
jauh tinggi dibandingkan frekuensi alel pada sapi impor. Sapi impor bersifat
polimorfik untuk semua exon (exon 1,2,3,4,5). Bangsa sapi yang termasuk dalam
bangsa Bos javanicus bersifat monomorfik pada kelima exon kecuali pada exon 2

bersifat polimorfik, bangsa sapi yang termasuk dalam bangsa Bos taurus dan Bos
indicus bersifat polimorfik di kelima exon. Derajat heterozigositas pada bangsa
sapi yang termasuk dalam bangsa Bos javanicus memiliki nilai heterozigositas
yang rendah dibandingkan nilai heterozigositas bangsa sapi yang termasuk dalam
bangsa sapi Bos taurus dan Bos indicus, sehingga dapat dinyatakan bahwa
keragaman yang tinggi terdapat pada bangsa sapi yang termasuk dalam bangsa
Bos taurus dan Bos indicus.
Kata kunci: Sapi lokal Indonesia, gen hormon pertumbuhan, PCR-SSCP,
polimorfisme

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan Pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN HORMON PERTUMBUHAN
DI DAERAH EXON PADA SAPI LOKAL INDONESIA
BERDASARKAN METODE PCR-SSCP

SURYA NUR RAHMATULLAH

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA

HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis


: Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan di
Daerah Exon pada Sapi Lokal Indonesia Berdasarkan
Metode PCR-SSCP

Nama

: Surya Nur Rahmatullah

NIM

: D151090061

Program Studi/Mayor

: Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Disetujui
Komisi Pembimbing


Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc
Ketua

Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si
Anggota

Diketahui
Koordinator Mayor
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 20 September 2011

Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan
limpahan rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan studi magister
ini dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak
bulan Oktober 2010 ini ialah identifikasi tentang genetika molekuler pada ternak
dengan judulμ “Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan di Daerah
Exon pada Sapi Lokal Indonesia Berdasarkan Metode PCR-SSCP”.
Penelitian ini dilakukan atas dasar, yaitu (1) sapi lokal Indonesia memiliki
kemampuan adaptasi lingkungan ekstrim, ketersediaan pakan yang berkualitas
rendah dan fertilitasnya yang sangat baik, serta mampu bertahan pada kondisi
iklim tropis dan (2) sapi lokal Indonesia yang merupakan salah satu ternak lokal
yang masih terbatas informasi molekulernya terutama mengenai keragaman gen
hormon

pertumbuhan

(GH)

dengan


menggunakan

metode

PCR-SSCP

(Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation Polymorphism). Atas
dasar tersebut, penulis berharap agar informasi yang diperoleh dari hasil penelitian
ini mungkin dapat bermanfaat dan memperkaya khasanah ilmu pemuliaan dan
genetika ternak di Indonesia.

UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc. dan Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si. atas
bimbingan, arahan, dan dorongan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang terbaik atas segala amal ibadah,
pengorbanan, curahan waktu, pikiran
kepada penulis.


dan tenaga, serta ilmu yang diberikan

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis

sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA. sebagai penguji pada ujian sidang
tesis atas kesediaannya meluangkan waktu menjadi penguji luar komisi. Beberapa
pertanyaan, saran, dan komentar yang telah diberikan sangat bermanfaat dan
memiliki arti penting bagi penulis untuk kesempurnaan tesis ini.
Kepada Ketua dan staf dosen Program Studi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Universitas Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan, penulis
mengucapkan banyak terima kasih atas izin dan kesempatan yang diberikan untuk
menempuh pendidikan program Magister di Sekolah Pascasarjana IPB. Kepada
Gubernur Provinsi Daerah Kalimantan Selatan, Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Banjar, Kalimantan Selatan, serta PD. Baramarta terima kasih penulis sampaikan
atas bantuan dana penelitian yang telah diberikan. Terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Dr. drh. Bambang Ngaji Utomo, M.Sc. atas izin penggunaan
data dan sampel darah sapi Katingan, Kalimantan Tengah. Ucapan terima kasih
penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc sebagai Ketua
Departemen Ilmu Produksi dan

Teknologi Peternakan,

Dr. Ir. Rarah R.A

Maheswari, DEA sebagai Ketua Program Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan , staf pengajar, dan staf penunjang Sekolah Pascasarjana IPB.
Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Andi Baso
LI,MP, M Ihsan AD, M.Si, Irine, S.Pt, Ferdy, S,Pt, Revy, S.Pt, dan semua kawan
atau sahabat seperjuangan di Laboratorium Genetika Molekuler Bagian Pemuliaan
dan Genetika Ternak Fakultas Peternakan IPB . Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Eryk Andreas, S.Pt, M.Si

yang telah

banyak membantu

selama kegiatan penelitian berlangsung. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada teman-teman ITP’0κ, ’10 dan ’11, khususnya pada kawankawan ITP’0λμ Restu M, Almira P, Prima PR, Fera US, Bambang K, Heni VS,

Yoshi, Adi R, Jaya PJ, Petlane “David” M, terima kasih atas do’a restu, semangat,
dan motivasi yang diberikan.
Kepada orang tua, Ibunda Mahdanur Masy, S.Pd dan Ayahanda Suriani
Dasri serta Kakak Yayan dan Istri serta Ayra, dan Adinda Didi yang selalu
memberikan dorongan, semangat dan do’a restu yang tidak ada hentinya.
Keberhasilan ini sebenarnya adalah buah keberhasilan dan kerja keras ibunda dan
ayahanda peroleh, semoga ilmu dan keberhasilan yang didapatkan ini dapat
penulis manfaatkan bagi kepentingan masyarakat . Kepada teman-teman serta
sahabat yang ada di Kalimantan Selatan terima kasih banyak atas segala
pengorbanan, kasih sayang, dan pengertian yang diberikan. Akhirnya penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak

yang tidak dapat

disebutkan namanya satu per satu yang telah memberikan bantuan, dorongan, dan
semangat untuk menyelesaikan studi ini. Semoga ALLAH SWT membalas segala
amal ibadah dan kebaikan yang diberikan dengan pahala

atau balasan yang

setimpal.
Bogor, Oktober 2011

Surya Nur Rahmatullah

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 01 Agustus 1985 di Barabai. Penulis
adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Suriani Dasri, BA dan
Mahdanur Masy, S.Pd.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1997 di SDN Negeri Jawa 4,
Martapura. Pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 2000 di
SLTP N 1 Martapura. Pendidikan lanjutan menengah tingkat atas diselesaikan
pada tahun 2003 di SLTA Negeri 1 Martapura. Tahun 2003 penulis lulus seleksi
masuk Universitas Lambung Mangkurat melalui jalur Seleksi Masuk Perguruan
Tinggi Negeri Universitas Lambung Mangkurat (SMPTN). Penulis memilih
Program Studi Produksi Ternak, Fakultas Pertanian Universitas Lambung
Mangkurat dan lulus pada tahun 2008, pada tahun 2009 penulis melanjutkan
studi magister di Sekolah Pascasarjana IPB dengan Program Studi/Mayor Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan.
Selama mengikuti studi magister penulis menjadi assisten mata kuliah
Pemuliaan Ternak pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun ajaran 2010/2011 dan
2011/2012.

Selain itu, penulis juga ikut aktif sebagai pengurus Himpunan

Mahasiswa Pascasarjana Peternakan tahun 2010 dan pada tahun 2011 penulis
berkesempatan menjadi Ketua Animal Breeding and Genetic Science, serta aktif
dalam mengikuti beberapa kegiatan seminar dan pelatihan.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………………………... xxiii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………... xxv
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………... xxvii
PENDAHULUAN …………………………………………………………...
Latar Belakang ………………………………………………………...
Tujuan Penelitian.…………………………..…………………….……
Manfaat ………….…………………………………………….…........

1
1
3
4

TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………….
Asal Usul dan Penyebaran Sapi Lokal Indonesia…..………………….
Potensi Genetik Sapi Lokal Indonesia …………….…………………..
Sapi Bali ……………………………………………………………
Sapi Pesisir …………………………………………………………
Sapi Madura ………………………………………………………..
Sapi Katingan ………………………………………………………
Pertumbuhan Sapi …….………………………………………………
Hormon Pertumbuhan …………………………………………………
Gen Hormon Pertumbuhan ……………………………………………
Keragaman Genetik Gen GH ………………………………………….
PCR-SSCP (Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation
Polymorphism) ………………………………………………………

5
5
7
7
9
9
10
11
14
17
18

MATERI DAN METODE …………………………………………………..
Tempat dan Waktu ……………………………………………….........
Materi dan Alat Penelitian ……………………………………………
Isolasi DNA ………………………………………………………..
Analisis PCR ……………………………………………………….
Analisis Elektroforesis ……………………………………………..
Metode Penelitian ……………………………………………………..
Isolasi DNA Total ………………………………………………….
Amplifikasi Gen GH ………………………………………...……...
Elektroforesis dan Visualisasi DNA ………………………………..
Pendeteksian Varian Gen GH dengan Metode PCR-SSCP ………...
Analisis Data …………………………………………………………..
Frekuensi Alel ……………………………………………………....
Frekuensi Hereozigositas Pengamatan ……………………………..
Frekuensi Heterozigositas Harapan ………………………………...
Ragam Heterozigositas Harapan …………………………………...
Pengujian Chi-Kuadrat ……………………………………………..

23
23
23
23
24
24
24
24
24
26
27
28
28
28
29
29
29

xxi

20

xxii

HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………...
Amplifikasi Gen Hormon Pertumbuhan …………………………........
Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan ……………………………….
Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan dalam Populasi Sapi
Lokal Indonesia …………………………………………………..
Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan antar Bangsa Sapi ………
Keseimbangan Gen dalam Populasi …………………………………..
Keseimbangan Hardy-Weinberg dalam Populasi Sapi Lokal
Indonesia …………………………………………………………
Keseimbangan Hardy-Weinberg antar Bangsa Sapi di Indonesia...
Derajat Heterozigositas …………...…………………………………...
Derajat Heterozigositas Populasi Sapi Lokal Indonesia ………….
Derajat Heterozigositas Bangsa Sapi di Indonesia ……………….

31
31
32

KESIMPULAN DAN SARAN ………… …………………………………..
Kesimpulan ………….. …………...…………………………………...
Saran ……………………………….…………………………………..

55
55
55

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..

57

LAMPIRAN …………………………………………………………………

64

32
40
46
46
48
50
50
52

DAFTAR TABEL
Halaman
1.

Sampel, jumlah dan asal sapi yang digunakan dalam penelitian …….....

23

2.

Posisi, panjang fragmen dan sekuens primer yang digunakan untuk
mengamplifikasi gen GH …………….....................................................

25

Frekuensi alel gen GH pada kelima exon pada masing-masing bangsa
sapi……………………………………………………………………….

39

4.

Frekuensi genotipe di kelima exon gen GH…………………………….

39

5.

Frekuensi alel gen GH pada semua bangsa sapi…………………………

41

6.

Frekuensi genotipe di kelima exon gen GH pada semua bangsa sapi…...

42

7.

Keragaman gen GH pada beberapa bangsa sapi yang telah dilakukan
penelitiannya …………………………………………………………….

44

Uji Khi-kuadrat (χ2) terhadap genotipe fragmen gen GH di kelima
exon………………………………………………………………………

47

Uji Khi-kuadrat (χ2) terhadap genotipe fragmen gen GH di kelima exon
pada semua bangsa sapi di Indonesia …………………………………...

49

10. Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan heterozigositas harapan (He)
fragmen gen GH di kelima exon seluruh populasi sampel …………...…

51

11. Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan heterozigositas harapan (He)
fragmen gen GH di kelima exon seluruh populasi bangsa sapi di
Indonesia ……………………………………………………………...…

51

3.

8.
9.

xxiii

xxiv

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.

Penyebaran dan tipe-tipe sapi domestikasi yang terdapat di Asia, Afrika
dan Eropa (MacHugh 1λλ6) ……………………………………..……...

6

Lokasi dan hubungan genetik dari populasi sapi Indonesia (Mohamad et
al. 200λ) ……………………………………………………...……….

7

Mekanisme kerja hormon pertumbuhan dalam pengaturan pertumbuhan
otot dan tulang (Roith et al. 2001) ………………………………………

14

Diagram pengaturan sekresi hormon pertumbuhan dan kerjanya pada
ternak domestik (Lawrence & Fowler 2002) …………………...…….

16

Rekonstruksi struktur gen GH berdasarkan sekuens gen GH
di GenBank (Gordon et al. 1λκ3) ……………………………………….

17

Sekuens gen hormon pertumbuhan (bGH) pada sapi Bos taurus yang
diakses di GenBank (Gordon et al. 1λκ3) ………………………….…....

19

Posisi penempelan primer (cetak tebal) pada sekuens gen GH (nomor
akses M57764) …………………………………………………………..

26

8.

Elektroforesis produk PCR gen GH pada gel acrilamyde 6% ………….

31

9.

Macam genotipe yang ditemukan di gen GH pada sapi lokal
Indonesia ………………………………………………………………...

33

10. Sapi PO dan sapi Katingan (Utomo 2011)…….………………………...

40

11. Hubungan genetik lokal sapi Indonesia (Mohamad et al. 200λ) ………..

43

12. Kemungkinan rute domestikasi sapi di Asia
(Payne & Rollinson 1λ73) …………….………………………………...

46

2.
3.
4.
5.
6.
7.

xxv

xxvi

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.

Informasi sekuen gen GH pada ternak sapi (Bovine) …...…………......

65

2.

Modifikasi isolasi DNA menggunakan metode
Sambrook et al. (1989) ………………………………………………..

67

Jumlah alel dan genotipe serta frekuensi genotipe gen GH di kelima
exon pada masing-masing bangsa sapi ………………………………….

68

3.

xxvii

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki keistimewaan dengan adanya tipe ternak sapi yang
berbeda dari tipe Zebu maupun Taurine, tetapi ternak sapi tersebut termasuk
spesies liar, yaitu termasuk ke dalam Bos banteng dan bangsa sapi silangan.
Spesies banteng yang sudah didomestikasi ini di Indonesia dikenal sebagai sapi
Bali yang termasuk dalam spesies Bos javanicus atau Bos sondaicus (Talib et al.
2002). Sapi Bali, dengan kehadirannya sekarang merupakan salah satu aset
peternakan di dunia yang banyak diteliti dalam upaya mengembangkannya. Selain
itu, juga terdapat beberapa ternak lokal lainnya yang belum dieksplorasi melalui
penelitian–penelitian walaupun tidak sepopuler sapi Bali, seperti sapi Madura,
sapi Pesisir, bahkan yang terbaru adalah sapi Katingan yang terdapat di
Kalimantan Tengah. Sapi lokal Indonesia tersebut merupakan salah satu sumber
daya genetik ternal lokal yang memiliki keunikan serta keistimewaan seperti
memiliki penampilan (fenotipe) dengan bentuk dan ukuran tubuh yang kecil
dibandingkan dengan bangsa sapi lainnya, seperti bangsa sapi Indicus dan
Taurine. Oleh karena itu, sapi lokal Indonesia merupakan salah bangsa sapi
terkecil di dunia setelah sapi dwarf West Afrika shorthorn dari wilayah pantai
Afrika Barat dan termasuk ke dalam kelompok sapi kecil (mini cattle) (Sarbaini
2004).
Indonesia memiliki berbagai bangsa ternak sapi potong yang informasi
genetiknya masih terbatas khususnya pada sapi Bali, Aceh, Madura, Pesisir dan
Katingan. Bangsa ternak sapi potong lokal tersebut memiliki potensi yang sangat
besar karena merupakan sebagai sumber daya genetik lokal yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia dan tidak dimiliki oleh bangsa lain. Sapi Bali merupakan satu
dari empat bangsa sapi lokal utama yang berasal dari Indonesia, yaitu sapi Aceh,
sapi Pesisir dan sapi Madura (Martojo 2003). Sapi Bali merupakan sumber daya
genetik ternak yang memiliki keistimewaan sehingga banyak penelitian yang
berkaitan genetik melibatkan ternak sapi Bali, sehingga dapat dikatakan sapi Bali
sebagai sapi asli Indonesia yang tidak ternilai harganya. Keunggulan sapi lokal
Indonesia lainnya adalah kemampuan adaptasi lingkungan ekstrim, mampu

2

memanfaatkan pakan yang berkualitas rendah dan fertilitasnya yang sangat baik,
serta mampu bertahan pada kondisi iklim tropis (Jakaria 2008).
Pemanfaatan penerapan teknologi molekuler dapat digunakan untuk
membantu mengidentifikasi keragaman genetik ternak asli Indonesia dengan
menggunakan beberapa penanda molekuler.
digunakan untuk mengetahui

Penanda molekuler ini dapat

keragaman genetik suatu ternak juga dapat

digunakan untuk mengetahui asal usul ternak. Penanda molekuler atau marker
genetik, merupakan penanda yang dapat dideteksi baik secara langsung maupun
tidak langsung berdasarkan genotipe suatu individu ternak.

Hasil dari suatu

penanda molekuler ini dapat dilacak untuk mengetahui keberadaan lokasinya di
kromosom.
Beberapa penciri genetik yang dianggap berpotensi digunakan sebagai gen
yang pengendali sifat pertumbuhan dan kualitas karkas adalah hormon
pertumbuhan (GH) yang merupakan salah satu gen kandidat (Unanian et al. 2000)
yang dicari untuk menduga penampilan produksi karena diduga berhubungan
dengan lokus-lokus penyandi (Dybus et al. 2002). Selain itu, gen GH
dipertimbangkan sebagai gen kandidat penciri produksi susu karena fungsinya
yang mengatur metabolisme galactopoietic dan proses pertumbuhan (Høj et al.
1993). Gen GH juga berperan dalam perkembangan sel di kelenjar mammae,
lactogenesis serta proliferasi sel mammae (Horvat & Medrano 1995; Lagziel et al.
1999).
Hormon pertumbuhan pada sapi (bovine) merupakan single protein yang
memiliki berat molekul sebesar 22-kDa, yang terdiri atas 190 – 191 asam amino
(Wallis 1973). Sekuen gen hormon pertumbuhan (GH) pada sapi Bos taurus
memiliki panjang 2856 pasang basa (pb) dengan daerah coding 1826 bp yang
terdiri atas lima exon dan empat intron (Woychick et al. 1982; Gordon et al.
1983) terletak di kromosom 19 (Hediger et al. 1990).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan eksploitasi
terhadap gen growth hormone (GH) telah banyak dilaporkan. Zhang et al. (1993),
Jakaria (2008) dan Sutarno et al. (2005) menyatakan bahwa terdapat polimorfisme
yang ditemukan pada gen hormon pertumbuhan (GH) sapi yaitu pada intron 3 dan

3

exon 5, intron 3 parsial dan exon 4 parsial, intron 4 parsial dan exon 5 parsial,
serta pada fragmen 223 pb (lokus 1) dan fragmen 329 pb (lokus 2).
Terbatasnya informasi tentang keragaman fragmen gen growth hormone
(GH) pada sapi lokal Indonesia yang belum banyak dieksploitasi terutama di
daerah exon 1, 2, 3, 4 dan 5. Hal ini penting untuk diketahui sebagai upaya
melengkapi kerangka kerja genetika molekuler yang terdapat dalam program
pemuliaan ternak lokal, sehingga informasi tersebut dapat digunakan di masa
mendatang pada tingkatan nasional maupun internasional.
Mengingat pentingnya kajian molekuler dan masih terbatasnya informasi
karakteristik genetik sapi potong Indonesia khususnya kajian DNA pada tingkat
gen (coding sequence) maka perlu dilakukan eksplorasi terhadap gen-gen lain
yang sangat potensial. Salah satu gen yang sangat potensial adalah gen GH yang
merupakan gen yang dapat mengontrol ekspresi gen lain yaitu gen prolaktin, gen
tirotropin dan gen Pit-1. Gen GH juga dianggap sebagai kandidat untuk penciri
genetik (genetic marker) sifat pertumbuhan dan kualitas karkas (Curi et al. 2010).
Teknik yang banyak digunakan untuk mendeteksi keragaman gen GH
berbasis teknik genetika molekuler seperti PCR (polymerase chain reaction)
antara lain PCR RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), PCR-RAPD
(Random

Amplified

Electrophoresis

Polymorphic

(DGGE),

DNA),

Mikrosatelit

dan

Degradative
PCR-SSCP

Gradien
(Single

Gel

Strand

Conformation Polymorphism). PCR-SSCP untuk mendeteksi adanya keragaman
di gen GH pada sapi lokal seperti sapi Bali, Pesisir, Madura dan Katingan, belum
pernah dilakukan. Hal inilah yang mendorong dilakukannya penelitian untuk
mengetahui keragaman gen GH pada sapi lokal tersebut.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman gen
hormon pertumbuhan di daerah exon dengan menggunakan teknik PCR-SSCP
(Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation Polymorphism) pada
populasi sapi lokal Indonesia.

4

Manfaat

Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi salah satu informasi dasar
dalam kajian gen hormon pertumbuhan pada sapi lokal Indonesia, baik untuk
tujuan pelestarian, pemanfaatan dan perbaikan mutu genetik ternak lokal
Indonesia.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Asal Usul dan Penyebaran Sapi Lokal Indonesia
Keanakeragaman ternak yang terdapat di Indonesia khususnya pada ternak
sapi berasal dari sumber daya genetik ternak asli dan ternak impor. Impor ternak
sapi Ongole dan Zebu (Bos indicus) yang dimulai pada awal abad ke-20
memegang peranan penting dalam upaya pengembangan peternakan sapi di
Indonesia. Ongole murni pertama kali dibawa ke Pulau Sumba yang kemudian
dikenal dengan sebutan Sumba Ongole (SO) dan selanjutnya dibawa ke wilayah
lain di Indonesia untuk disebarkan.

Penyebaran tersebut dimaksudkan untuk

dapat disilangkan dengan sapi asli Jawa dan akhirnya membentuk suatu bangsa
sapi peranakan Ongole dan sapi Madura (Utoyo 2002). Proses perkembangan
sapi di Indonesia telah menghasilkan sumber daya genetik ternak yang lebih
beragam, yaitu mulai dari sapi asli seperti sapi Bali, juga sapi hasil silangan yang
telah menjadi sapi lokal seperti sapi Pesisir, sapi Aceh, sapi Madura, sapi Sumba
Ongole (SO) dan sapi Peranakan Ongole (PO) (Utoyo 2002; Martojo 2003).
Sapi Bali (Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil
domestikasi banteng liar (Bibos banteng). Menurut Rollinson (1984) proses
domestikasi sapi Bali itu terjadi sebelum 3.500 SM di Indonesia atau Indochina.
Banteng liar saat ini bisa ditemukan di Jawa bagian Barat dan bagian Timur, di
Pulau Kalimantan, serta ditemukan juga di Malaysia (Payne & Rollinson 1973).
Hardjosubroto dan Astuti (1993) mengemukakan bahwa di Indonesia saat ini,
banteng liar hanya terdapat di hutan lindung Baluran, Jawa Timur dan Ujung
Kulon, Jawa Barat, serta di beberapa kebun binatang. Pada keadaan liar, habitat
asli banteng di Indonesia, adalah di Jawa Timur (Baluran) dan di Jawa Barat
(Ujung Kulon), selain itu banteng juga ditemukan di perbatasan hutan Kalimantan
Timur, Laos, Vietnam dan di Semenanjung Coubourgh di Australia Utara (Scherf
1995).
Penyebaran sapi Bali di Indonesia dimulai pada tahun 1890 dengan adanya
pengiriman ke Sulawesi, pengiriman selanjutnya dilakukan pada tahun 1920 dan
1927. Pada tahun 1927 sapi Bali dimasukkan ke Sulawesi Selatan (Rampi)
sebanyak 5 ekor dan pada tahun 1940 jumlahnya telah mencapai 80 ekor. Pada

6

tahun 1947 sapi Bali disebarkan ke propinsi ini secara besar besaran. Sapi-sapi
inilah bersama dengan pendahulunya menjadi cikal bakal sapi Bali di Sulawesi
Selatan yang telah berkembang menjadi propinsi dengan jumlah sapi Bali
terbanyak di Indonesia.

Pada tahun 1964 di Bali terjadi musibah penyakit

jembrana secara besar-besaran yang menyebabkan sapi Bali tidak boleh
dikeluarkan lagi dari pulau Bali sebagai ternak bibit. Mulai periode inilah sumber
bibit sapi Bali bagi daerah lain di Indonesia digantikan oleh NTT, Sulawesi
Selatan dan NTB (Talib 2002).

Gambar 1. Penyebaran dan tipe–tipe sapi domestikasi yang terdapat di
Asia, Afrika dan Eropa (MacHugh 1996).

Gambar 1 terlihat dengan jelas bahwa penyebaran sapi yang secara
tertutup (warna hijau), hal ini terkait dengan spesies Bos (Bibos) seperti banteng,
gaur dan kouprey (MacHugh 1996). Hasil domestikasi spesies liar Bos (Bibos)
banteng adalah sapi Bali (Bos sondaicus) atau Bos javanicus (Talib et al. 2002).
Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia sebagai hasil domestikasi dari banteng
liar yang telah berjalan lama. Kapan dimulainya proses penjinakan banteng belum
diketahui dengan jelas, demikian pula dengan mengapa lebih terkenal di Indonesia
sebagai sapi Bali dan bukannya sapi banteng mengingat dalam keadaan liar

8

dipertimbangkan untuk dijadikan kriteria seleksi, mengingat produksi susu sapi
Bali yang baik hanya dalam 4 bulan pertama (Talib et al. 1999). Korelasi genetik
bobot umur 120 hari dengan sifat-sifat ekonomis seperti bobot potong dan
pertambahan bobot badan pada bangsa sapi Bali cukup tinggi (Talib 2002).
Cara lain untuk

meningkatkan produktivitas

sapi

adalah dengan

memanfaatkan banteng yang memiliki bobot dewasa yang besar (pejantan sapi
Bali dengan bobot sekitar 600−κ00 kg terdapat di luar pulau Bali) ataupun sapi
Mithan yang memang masih satu tetua dengan sapi Bali (Scherf 1995; Talib et al.
1997). Sapi Bali umur sekitar 2 tahun dengan bobot 400 kg atau umur 4 tahun
dengan bobot badan sekitar 600–800 kg dapat ditemukan di Bali. Kasus penyakitpenyakit yang menjadi khas sapi Bali seperti Jembrana, mengakibatkan potensi
yang baik ini belum dapat digunakan dengan semestinya di luar Pulau Bali. Pada
umumnya di Sulawesi Selatan pemeliharaan sapi Bali dengan digembalakan,
sehingga penampilan produksi lebih rendah. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh
batas bawah dari performan sapi Bali di NTT, tetapi pada pemeliharaan intensif
terlihat bahwa sapi Bali baik di Bali ataupun di NTT menunjukkan performan
yang sama baiknya (Talib 2002).
Sapi Bali merupakan salah satu penyumbang daging terbesar dari kelompok
ruminansia khususnya dari ternak sapi, terhadap produksi daging nasional
sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang
menguntungkan. Sapi Bali telah lama dipelihara oleh sebagian masyarakat di
Indonesia, seperti di wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan, dan beberapa wilayah di pulau Jawa, sebagai tabungan dan
tenaga kerja untuk mengolah tanah dengan manajemen pemeliharaan secara
tradisional. Pola usaha ternak sapi Bali sebagian besar berupa usaha rakyat untuk
menghasilkan bibit atau penggemukan, dan pemeliharaan secara terintegrasi
dengan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan. Pengembangan usaha
ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan merupakan salah
satu alternatif untuk meningkatkan keuntungan peternak (Suryana 2009).
Pada pemeliharaan intensif maupun ekstensif sapi Bali menunjukkan
kemampuan adaptasi yang baik terhadap lingkungan khusus tersebut. Hal ini
dapat dilihat dari laporan Siregar et al. (2000) bahwa walaupun sapi Bali di

9

Ujung Pandang berukuran kecil tetapi mempunyai body condition score yang
baik, artinya sapi-sapi tersebut tidak kurus. Kemampuan adaptasi ini merupakan
salah satu keunggulan sapi Bali tetapi juga sekaligus merupakan kelemahannya.
Keadaan lingkungan hidup sapi Bali yang kurang baik (pakan jelek) maka
adaptasi sapi Bali adalah dengan menurunkan ukuran tubuh, sehingga akan
menghasilkan jumlah edible meat sedikit dan kecil-kecil. Kondisi ini akan
menyebabkan pasarannya sapi Bali hanya dapat menjangkau kalangan bawah
sampai menengah.
Sapi Pesisir
Sapi di Sumatera Barat, menurut catatan sejarah terdiri atas sapi lokal, sapi
Zebu dan sapi Eropa. Sejak tahun 1907 telah dimasukkan sapi-sapi Zebu (Ongole
dan Hissar) untuk meningkatkan mutu genetik sapi lokal. Setelah kemerdekaan,
kembali dimasukkan sapi Ongole di Sumatera Barat dalam rangka Program
Ongolisasi. Terbatasnya sarana perhubungan di bagian selatan Sumatera Barat
terutama di Kabupaten Pesisir Selatan, Program Ongolisasi tidak berjalan sebaik
di daerah bagian utara dan tengah, seperti di Kabupaten Agam, Kabupaten Lima
Puluh Kota dan Kabupaten Tanah Datar (Sarbaini 2004).
Ciri-ciri sapi lokal Sumatera Barat adalah tubuh kecil, badan pendek dan
kaki kecil. Sapi Pesisir memiliki pola warna bulu tunggal yang dikelompokkan
atas lima warna utama, yaitu merah bata (34.35%), kuning (25.51%), cokelat
(19.96%), hitam (10.91%), dan putih (9.26%) (Sarbaini 2004). Selain itu, sapi
Pesisir juga dikenal bertemperamen jinak sehingga mudah dikendalikan dalam
pemeliharaan (Saladin 1983).
Sapi Pesisir Sumatera Barat khususnya sapi Pesisir Selatan yang terdapat
di Kabupaten Pesisir Selatan merupakan salah satu sapi terkecil di dunia. Contoh
sapi terkecil di dunia yang lainnya berdasarkan bobot badannya adalah sapi dwarf
West Afrika shorthorn yang berasal dari Wilayah Pantai Afrika Barat dan Bonsai
Brahman dari Meksiko (Sarbaini 2004).
Sapi Madura
Sapi Madura merupakan hasil persilangan antara Bos sondaicus dan Bos
indicus. Daerah atau lokasi penyebaran terutama di pulau Madura, Jawa Timur.
Sapi ini termasuk tipe pedaging dan pekerja, dengan memiliki karakteristik warna

10

merah bata baik pada jantan maupun betina. Sapi jantan memiliki tanduk yang
pendek dan beragam lebih kurang 15 – 20 cm, sedangkan pada betina, tanduk
lebih kecil dan pendek lebih kurang 10 cm. Panjang badan lebih mirip seperti sapi
Bali tetapi berpunuk kecil, dengan tinggi badan kira 118 cm dengan berat badan
rata–rata 350 kg (Arbi 2009). Saat ini breed sapi lain dilarang masuk ke pulau
Madura, tetapi sapi Madura disebarkan ke berbagai daerah seperti Jawa Timur,
Flores, Kalimantan dan Sumatra, walaupun perkembangannya tidak sebaik di
Pulau Madura. Berdasarkan bentuk fenotipe, sapi Madura menyerupai sapi Bali,
yakni bentuknya yang uniform, ukuran tubuhnya sedang sampai kecil, bertulang
dan berotot yang bagus, terutama sapi jantan (karapan) dan mempunyai kaki
yang cukup kuat untuk bertahan terhadap kerja tarik yang berat. Sapi Madura
umumnya berwarna coklat medium dan coklat merah. Warna putih seperti pada
kaki (white stocking) juga sering ditemukan di daerah abdomen dan bagian paha
dalam. White stocking yang ditemukan pada kaki sapi Madura berwarna lebih
muda dan tidak sejelas yang ditemukan pada sapi Bali (Suwiti et al. 2008).
Sapi Madura merupakan salah satu jenis sapi potong lokal dari Indonesia
yang berkembang pesat di Pulau Madura serta pulau–pulau disekitarnya. Asal
domestikasi sapi Madura juga hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti.
Secara morfologi, sapi Madura memiliki karakter yang hampir sama dengan sapi
Bali, kecuali ukuran tubuh dan tanduknya yang lebih kecil (Setiadi 2010). Sapi
Madura mempunyai keunggulan yang patut dibanggakan dan diberdayakan.
Keunggulan itu antara lain, memiliki kemampuan daya adaptasi yang baik
terhadap stres pada lingkungan tropis, mampu hidup dalam keadaan pakan yang
kurang baik, tumbuh dan berkembang dengan baik, serta tahan terhadap investasi
serangan caplak dan memiliki kualitas karkasnya yang tinggi dan ketahanannya
terhadap parasit tertentu. Beberapa sumber hingga kini menyebutkan bahwa sapi
Madura telah mengalami degradasi produktivitas karena seleksi negatif dan
inbreeding (Leasa 2009).
Sapi Katingan
Sapi Katingan adalah salah satu plasma nutfah yang ada di Kalimantan
Tengah yang secara umum dapat dimanfaatkan dalam berkontribusi dalam
pembangunan peternakan nasional. Hasil karakterisasi fenotipik yang menjadi

11

ciri umum sapi Katingan adalah bergelambir, berpunuk, bertanduk dan
mempunyai banyak variasi warna.

Keberadaan sapi katingan yang unik ini

dipelihara di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Katingan dan Kahayan secara
ekstensif dalam bentuk ranch-ranch. Sapi-sapi tersebut hanya dipelihara oleh
masyarakat lokal setempat

atau yang dikenal dengan sebutan suku Dayak,

sedangkan sapi-sapi lokal lainnya seperti sapi Bali (dominan), sapi Madura dan
sapi PO kebanyakan dipelihara oleh masyarakat pendatang (transmigran). Tidak
seperti sapi lokal lainnya yang sudah banyak dilakukan penelitian, informasi
mengenai sapi lokal dari Kalimantan Tengah ini masih sangat minim, mulai dari
informasi tentang reproduksi, pertumbuhan bahkan dari genetika. Keberadaan sapi
tersebut sudah puluhan bahkan ratusan tahun dan sudah beradaptasi dengan
lingkungan sekitar yang lahannya tergolong asam dan rawa (Utomo 2011).
Penciri pada sapi Katingan ditunjukkan pada sapi betinanya, yaitu adanya
variasi pertumbuhan tanduk seperti melengkung ke depan, melengkung ke
samping, dan melengkung ke bawah, sedangkan pada sapi jantan, hanya terdapat
variasi tanduk melengkung ke atas dan menyamping ke atas. Pola warna bulu
pada sapi Katingan juga sangat bervariasi baik pada jantan maupun betina mulai
dari pola warna coklat kemerahan, coklat keputihan, hitam hingga putih keabuan.
Hal menarik yang terdapat pada sapi Katingan adalah adanya tonjolan kecil pada
bagian kepala yang kemungkinan dapat mejadi penciri morfologi dari sapi
Katingan. Tonjolan yang terdapat pada bagian tengah (diantara dua tanduk) dari
kepala sapi Katingan hanya ditemukan pada sapi betina saja. Berdasarkan bobot
badan, sapi Katingan jantan memiliki rata-rata bobot badan sebesar 250-299.9 kg,
sedangkan betina memiliki rata-rata bobot badan sebesar 201-217 kg, hal ini dapat
menyatakan bahwa sapi Katingan tergolong bangsa sapi tipe kecil dan sedang
(Utomo 2011).
Pertumbuhan Sapi
Pertumbuhan bagi ternak merupakan suatu proses perubahan bentuk atau
ukuran seekor ternak yang dapat dinyatakan dengan panjang, volume ataupun
massa Pertumbuhan ternak menunjukkan peningkatan ukuran linear, bobot,
akumulasi jaringan lemak dan retensi nitrogen dan air. Terdapat tiga hal penting
dalam pertumbuhan seekor ternak, yaitu proses-proses dasar pertumbuhan sel,

12

diferensiasi sel-sel induk menjadi beberapa lapisan yaitu ektodermis, mesodermis
dan endodermis dan mekanisme pengendalian pertumbuhan dan diferensiasi.
Pertumbuhan sel meliputi perbanyakan sel, pembesaran sel dan akumulasi
substansi ekstraseluler atau material-material non protoplasma.

Pertumbuhan

dimulai sejak terjadinya pembuahan dan berakhir pada saat dicapainya
kedewasaan. Pertumbuhan ternak dapat dibedakan menjadi pertumbuhan sebelum
kelahiran (prenatal) dan pertumbuhan setelah terjadi kelahiran (postnatal) (Aberle
et al. 2001).
Pertumbuhan merupakan indikator yang utama dan terpenting dalam
produksi daging pada sapi pedaging, sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi
dalam budidaya sapi pedaging.

Sapi Bali merupakan salah satu sapi pedaging

lokal Indonesia yang memiliki kelebihan berupa kemampuan adaptasi yang tinggi
terhadap lingkungan Indonesia baik terhadap iklim, ketersediaan makanan alami,
ketersediaan air dan juga ketahanan terhadap bakteri maupun parasit yang ada di
lingkungan Indonesia. Meskipun sapi Bali ini mampu berkembang biak dengan
baik di Indonesia, namun kualitas dan kuantitas produksinya masih kalah dengan
sapi impor (Talib 2002). Peningkatan kualitas maupun kuantitas produksi daging
bagi sapi lokal Indonesia akan lebih tepat bila dilakukan melalui seleksi yang
tidak hanya berdasarkan pada penampakan luar (fenotipe), melainkan melalui
seleksi langsung pada tingkat DNA yang mengkodekan fenotipe yang ingin
diperbaiki kualitasnya (Martojo 2003).
Pertumbuhan sapi dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetis.
Faktor lingkungan meliputi pakan, baik hijauan maupun konsentrat, air, iklim dan
fasilitas pemeliharaan yang lain. Pengaruh pertumbuhan yang disebabkan faktor
lingkungan ini tidak diturunkan kepada anakan. Faktor genetis yang dikendalikan
oleh gen akan diturunkan kepada keturunannya. Pertumbuhan dikendalikan oleh
beberapa gen, baik yang pengaruhnya besar/utama (major gene) sampai yang
pengaruhnya kecil (minor gene). Salah satu gen yang diduga merupakan gen
utama dalam mempengaruhi pertumbuhan adalah gen pengkode hormon
pertumbuhan yang mempengaruhi sekresi hormon pertumbuhan (Carnicella et al.
2003)

13

Salah satu faktor genetik yang mempunyai peranan dalam pertumbuhan
suatu individu adalah gen GH (hormon pertumbuhan). Gen GH memiliki peranan
yang sangat penting dalam pengaturan regulasi pertumbuhan dan matabolisme
dari tubuh ternak (Carnicella et al. 2003).

Fungsi dari gen GH pada suatu

individu khususnya ternak menjadi hal yang penting dikarenakan gen GH
mengatur sifat-sifat yang bernilai ekonomi yang tinggi.
Menurut Silveira et al. (2007), GH merupakan kandidat gen yang sangat
mendasar dan berperan dalam pertambahan dan pertumbuhan bobot badan pada
ternak. Gen GH merupakan kandidat gen dalam pengaturan produksi susu, karkas
dan respon immun (Ge et al. 2003). Selain itu, gen GH juga diperlukan dalam
pertumbuhan jaringan, metabolisme lemak dan reproduksi (Burton et al. 1994).
Gen lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak adalah gen yang
termasuk dalam famili POU atau transcription factor family yaitu gen Pit-1
(pituitary specific transciptation factor-1) yang berfungsi sebagai faktor pengatur
(regulator) hormon pertumbuhan, hormone prolaktin dan hormon tirotropin βsubunit (Tuggle & Trenkle 1996). Selain itu gen Pit-1 juga berperan dalam
diferensiasi dan proliferasi sel kelenjar pituitary (Hoggard

et

al. 1993).

Mengingat peran penting gen tersebut dalam mengatur gen-gen lain dalam proses
pertumbuhan khususnya pada ternak sapi, maka gen Pit-1 dipilih sebagai salah
satu gen kandidat yang perlu dicari hubungan atau keterkaitannya dengan
performa pertumbuhan, kualitas karkas dan juga performa laktasi pada beberapa
bangsa sapi seperti yang telah dilaporkan oleh beberapa penelitian sebelumnya
(Woollard et al. 1994; Moody et al. 1995; Zwierzhowski et al. 2001; Dybus et al.
2003; Oprzadek et al. 2003; Zhao et al. 2004; Viorica et al. 2007).
Gen lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan pada ternak adalah gen
Insulin-like growth factor I (IGF-I) yang merupakan faktor utama peningkatan
polipeptida hormon pertumbuhan pada hewan. Gen IGF-I mengatur pertumbuhan
somatik dari rangsangan perkembangan dan penghambatan beberapa tipe sel
apoptosis, termasuk otot, tulang, epitel dan sel fibroblast (Wu et al. 2008).
Gen Insulin-like growth factor I (IGF-I) merupakan kandidat gen untuk
pertumbuhan pada ternak yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan. Gen IGF-I memediasi rangsangan aksi pembelahan sel dan proses

14

metabolism yang berhubungan dengan deposisi protein. Gen IGF-I menstimulasi
metabolisme protein dan berperan penting terhadap fungsi beberapa organ
(Pereira et al. 2005).
Hormon Pertumbuhan
Pertumbuhan dapat diterapkan pada suatu sel, organ, jaringan, seekor
ternak maupun populasi ternak. Pertumbuhan secara umum adalah adanya
perubahan bentuk atau ukuran serta penampilan seekor ternak yang dapat
dinyatakan dengan panjang, volume ataupun massa dengan satuan berat maupun
satuan panjang. Menurut Aberle et al. (2001) pertumbuhan dapat dinilai sebagai
peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dan bobot yang terjadi pada seekor
ternak muda yang sehat serta diberi pakan, minum dan mendapat tempat
berlindung yang layak. Secara lanjut, Lawrence dan Fowler (2002) menyatakan
bahwa pertumbuhan merupakan suatu proses deposisi, pemindahan substansi selsel, serta peningkatan ukuran dan jumlah pada tingkat dan titik berbeda dalam
suatu waktu tertentu.

Gambar 3. Mekanisme kerja hormon pertumbuhan dalam pengaturan
pertumbuhan otot dan tulang (Roith et al. 2001).
Pada hewan

yang sedang tumbuh, hormon pertumbuhan dapat

meningkatkan efisiensi produksi, pengurangan deposisi lemak, merangsang

15

pertumbuhan otot, meningkatkan efisiensi penggunaan pakan, meningkatkan
pertumbuhan organ, dan meningkatkan pertumbuhan tulang (Roith et al. 2001)
(Gambar 3). Pertumbuhan secara efektif dikontrol oleh hormon dan salah satu
hormon yang penting dalam mengatur proses pertumbuhan adalah hormon
pertumbuhan.

Hormon pertumbuhan pada sapi (bovine growth hormone)

mempunyai peran utama pada pertumbuhan, laktasi dan perkembangan kelenjar
susu (Cunningham 1994; Hoj et al. 1993).

Menurut Sellier et al. (2005),

pertumbuhan pada ternak dikontrol oleh suatu sistem yang kompleks, salah satu
yang memiliki peranan penting dalam proses ini adalah somatotropin. Gen yang
mengatur dari somatotropin ini dalam menjalankan fungsinya dalam masa
pertumbuhan postnatal adalah GH yang berperan penting dalam pertumbuhan
tulang dan otot, dan gen yang membantu GH dalam proses tersebut adalah IGF-1.
Hormon pertumbuhan menyebabkan perubahan yang luar biasa di dalam
tubuh hewan dan mempengaruhi banyak proses fisiologis di dalam jaringan dan
organ tubuh (Gambar 4). Selain itu, aksi biologis hormon pertumbuhan selama
pertumbuhan akan berpengaruh secara fisiologis pada pengeluaran dan sintesis
protein, pengambilan asam amino, glukosa, dan efisiensi penggunaan asam amino
(Bauman & Vernon 1993).
Hormon pertumbuhan adalah hormon peptida yang reseptornya terdapat di
permukaan sel, superfamili dari reseptor sitokinin. Ikatan antara hormon
pertumbuhan dengan reseptornya mengakibatkan terjadinya aktivasi enzim
fosforilase yang dilakukan oleh enzim kinase dengan cara menambah gugus
fosfat. Hal ini menyebabkan timbulnya reaksi intrasel yang dapat berpengaruh
pada metabolisme dan fungsi sel (Granner 2003). Pengikatan hormon
pertumbuhan akan menyebabkan dimerisasi dua buah reseptor hormon
pertumbuhan (GHR).
Reis et al. (2001) menyatakan bahwa hormon pertumbuhan pada
kelompok bovine (bGH) adalah hormon peptida (protein) yang secara alami
dihasilkan oleh somatotropes, subclass dari sel hipofisa acidophilic yang terletak
dalam kelenjar hipofisa bagian depan. Hormon pertumbuhan pada sapi memiliki
ukuran sebesar 22 kilo Dalton (kDa) (Vukasinovic et al. 1999; Dybus 2002) yang

16

disusun oleh 190-191 asam amino sebagai produk dari gen hormon pertumbuhan
pada kelompok bovine (Gordon et al. 1983).

Keterangan :
TRH = thyrotrophin releasing hormone, GRF = growth hormone releasing
factor, SRIF = somatostatin inhibitory releasing factor, T3 = triidothyronine,
T4 = thyroxine, NA = Non adrenaline, A = Adrenaline, 5HT = 5hydroxytryptamine, = meningkat, = menurun.
Gambar 4. Diagram pengaturan sekresi hormon pertumbuhan dan kerjanya
pada ternak domestik (Lawrence & Fowler 2002)

17

Gen Hormon Pertumbuhan

Gen adalah unit pewarisan sifat yang terdapat pada organisme dan terdiri
dari dua bentuk, yaitu DNA (yang berfungsi sebagai penyandi protein) dan RNA
(yang berfungsi dalam rantai kehidupan organisme dalam bentuk protein). Semua
gen terdiri atas rangkaian DNA, namun tidak semua rangkaian DNA identik
dengan gen atau dengan kata lain ada bagian DNA yang bukan merupakan gen.
DNA yang bukan gen dapat diidentifikasi, dikarakterisasi dan ditentukan
posisinya pada genom.

Analisis genetik untuk lokus pen