Perolehan Kembali Bahan Dasar Pelumas dari Limbah Pelumas Mesin dengan Metode Adsorpsi dan Penciriannya
PEROLEHAN KEMBALI BAHAN DASAR PELUMAS DARI
LIMBAH PELUMAS MESIN DENGAN METODE ADSORPSI
DAN PENCIRIANNYA
ADHE MULAT KUSUMAH
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perolehan Kembali
Bahan Dasar Pelumas dari Limbah Pelumas Mesin dengan Metode Adsorpsi dan
Penciriannya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2013
Adhe Mulat Kusumah
NIM G44104011
ABSTRAK
ADHE MULAT KUSUMAH. Perolehan Kembali Bahan Dasar Pelumas dari
Limbah Pelumas Mesin dengan Metode Adsorpsi dan Penciriannya. Dibimbing
oleh HENNY PURWANINGSIH dan MUHAMMAD KHOTIB.
Limbah pelumas mesin dapat diolah kembali menjadi bahan dasar pelumas
dengan cara menghilangkan pengotor-pengotor yang terkandung di dalamnya.
Salah satu cara menghilangkan pengotor tersebut adalah dengan metode adsorpsi.
Adsorben bentonit, zeolit, dan silika diujikan, dan hasil penelitian menunjukkan
bahwa adsorben yang potensial untuk digunakan adalah bentonit, dengan
persentase perolehan kembali sebesar 25%. Bahan dasar pelumas hasil perolehan
kembali termasuk dalam golongan 3 menurut pengelompokan American
Petroleum Institute. Metode adsorpsi dengan bentonit mampu mengurangi
pengotor logam hingga 80% sehingga bahan dasar pelumas yang diperoleh dapat
digunakan kembali setelah ditambahkan sejumlah aditif.
Kata kunci: adsorpsi, bentonit, limbah pelumas
ABSTRACT
ADHE MULAT KUSUMAH. Recovery of Lube Base Oil from Lube Engine Oil
Waste with Adsorption Method and Its Characterization. Supervised by HENNY
PURWANINGSIH and MUHAMMAD KHOTIB.
Engine lube oil waste can be recycled into lube base oil by removing the
impurities. One way to eliminate the impurities is by adsorption method. The
adsorbent studied were bentonite, zeolite, and silica and it was shown that
bentonite was the potential adsorbent for the recovery process, with 25% recovery
percentage. The lube base oil recovered was categorized as group 3 base oil base
on the American Petroleum Institute classification. The adsorption method with
bentonite could reduce the metal impurities up to 80%, so that the base oil can be
reused after addition of some additives.
Key words: adsorption, bentonite, waste oil.
PEROLEHAN KEMBALI BAHAN DASAR PELUMAS DARI
LIMBAH PELUMAS MESIN DENGAN METODE ADSORPSI
DAN PENCIRIANNYA
ADHE MULAT KUSUMAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Perolehan Kembali Bahan Dasar Pelumas dari Limbah Pelumas
Mesin dengan Metode Adsorpsi dan Penciriannya
Nama
: Adhe Mulat Kusumah
NIM
: G44104011
Disetujui oleh
Dr Henny Purwaningsih, MSi
Pembimbing I
M Khotib, SSi, MSi
Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei hingga Desember
2012 ini ialah limbah pelumas mesin, dengan judul Perolehan Kembali Bahan
Dasar Pelumas dari Limbah Pelumas Mesin dengan Metode Adsorpsi dan
Penciriannya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr Henny Purwaningsih,
MSi selaku pembimbing pertama dan Bapak M Khotib, SSi, MSi selaku
pembimbing kedua yang senantiasa memberikan arahan, semangat, dan doa
kepada penulis selama melaksanakan penelitian. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Bapak Asbari, SSi selaku Manajer Teknis Divisi
Lubricant PT Petrolab dan seluruh staf karyawan Divisi Lubricant, yang telah
membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada Ayah, Ibu, kakakku Adhi Surya Perdana, serta seluruh keluarga dan
sahabat atas saran, kritik, serta semangat selama penelitian.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan.
Bogor, April 2013
Adhe Mulat Kusumah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
METODE
Ruang Lingkup Penelitian
Alat dan Bahan
Penyiapan Sampel Limbah Pelumas
Pemulihan Bahan Dasar Pelumas dengan Metode Adsorpsi
Pencirian Limbah Pelumas dan Bahan Dasar Pelumas
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penghilangan Pengotor dengan Asam
Adsorben Potensial
Sifat Fisis Pelumas dan Bahan Dasar Pelumas
Sifat Kimia Pelumas dan Bahan Dasar Pelumas
Spektrum FTIR
SIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vii
vii
1
2
2
2
3
3
3
5
5
6
7
9
11
13
14
14
16
24
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
Sifat fisik pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan
kembali
Penggolongan mutu bahan dasar pelumas
Sifat kimia pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan
kembai
Kadar logam pelumas bekasdan bahan dasar pelumas hasil perolehan
kembali
Analisis gugus fungsi dalam spektrum FTIR pelumas bekas dan bahan
dasar pelumas hasil perolehan kembali
Kondisi pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan
kembali berdasarkan spektrum FTIR
7
8
10
11
12
12
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
Diagram alir penelitian
Hasil pengendapan pelumas dengan H2SO4
Hasil adsorpsi dengan bentonit (a), zeolit (b) dan silika (c)
Contoh perhitungan indeks kekentalan (ASTM D 2270)
Perhitungan bilangan asam total (ASTM 974–04 2004
Perhitungan kadar abu (ASTM D 482–01 2001) dan kadar residu karbon
(ASTM D 189–01 2001)
Spektrum FTIR pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan
kembali
16
17
17
18
21
22
23
1
PENDAHULUAN
Pelumas digunakan dalam perawatan mesin kendaraan bermotor, kendaraan
diesel, mesin industri, mesin kapal, dan sebagainya untuk mengurangi gesekan
sehingga meningkatkan efisiensi dan mengurangi keausan mesin. Fungsi lain
pelumas ialah mendinginkan mesin dari kalor yang timbul akibat gesekan. Pada
mesin automotif, pelumas juga berfungsi sebagai detergen untuk melarutkan
pengotor hasil pembakaran.
Kebutuhan pelumas setiap tahun terus meningkat, terutama pada bidang
automotif dan industri. Pemakaian pelumas di bidang automotif berdasarkan data
statistik pada tahun 2001 ialah 112 218 ton dan terus meningkat setiap tahunnya
hingga pada tahun 2007 mencapai 151 954 ton. Hal serupa terjadi di sektor
industri, pemakaian pelumas di tahun 2001 sebesar 94 107 ton dan tahun 2007
mencapai 151 954 ton. Kebutuhan pelumas yang terus meningkat ini
menimbulkan masalah ketersediaan minyak pelumas di Indonesia. Peningkatan
produksi pelumas untuk kebutuhan dalam bidang automotif sebesar 2 300
L/tahun. Di sisi lain, hampir 16 100 L/tahun konsumsi pelumas tahun 2001–2007
ialah untuk kebutuhan sektor automotif yang terus meningkat seiring terus
meningkatnya jumlah produksi automotif. Kebutuhan akan pelumas tersebut
antara lain dipenuhi melalui impor, selain dengan cara meningkatkan jumlah
produksi pelumas (BPS 2007).
Bahan baku pelumas sebagian besar masih diimpor. Impor pelumas
automotif meningkat setiap tahunnya, dan tahun 2007, telah mencapai 123 568
ton per tahun. Dengan meningkatnya jumlah pelumas automotif, akan dihasilkan
semakin banyak limbah pelumas bekas. Limbah ini perlu ditangani secara serius
karena termasuk limbah bahan beracun dan berbahaya (B3). Perolehan kembali
(recovery) bahan dasar pelumas dari limbah pelumas perlu dilakukan untuk
mengurangi dampak pencemaran tanah dan air. Selain itu, juga dapat mengurangi
kebergantungan pada impor bahan dasar pelumas.
Pelumas bekas pakai dapat berasal dari minyak mentah atau campuran dari
beberapa pelumas sintetik (pelumas mesin bekas, pelumas turbin, pelumas
kompresor, minyak transfer kalor) (Ladha et al. 2010). Pelumas bekas biasanya
telah banyak mengandung zat pencemar yang sebagian sulit untuk dipisahkan,
seperti jelaga, lumpur, air, garam, kotoran taklarut, residu bahan bakar, bahan
teroksidasi, dan residu aditif terlarut (Rolly 2009).
Salah satu upaya menjernihkan pelumas bekas adalah dengan memisahkan
zat-zat pengotor yang terkandung di dalamnya. Pengotor terbentuk sebagai hasil
perubahan kimia maupun fisika, seperti air hasil pembakaran bahan bakar, partikel
keausan logam, jelaga, serta hasil oksidasi pelumas (Pertamina 1998).
Adsorpsi merupakan perpindahan massa adsorbat dari fase gerak (fluida
pembawa adsorbat). Adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sifat
fisis dan kimia adsorben (luas permukaan, ukuran pori, dan komposisi kimia
molekul), sifat fisis dan kimia adsorbat (ukuran, kepolaran, dan komposisi kimia
molekul), konsentrasi adsorbat dalam fase cair, keadaan fase cair (pH dan suhu),
serta kondisi kerja adsorpsi (Rahmawati 2006). Adsorben harus selektif, berpori
(mempunyai luas permukaan per satuan massa yang besar), dan mempunyai daya
ikat yang kuat terhadap zat yang hendak dipisahkan secara fisis ataupun kimia.
Luas permukaan yang besar dapat diperoleh dengan cara memperkecil ukuran
2
partikel, tetapi tidak boleh terlalu kecil agar tidak ikut terbawa dalam aliran fluida
(Lianna et al. 2012). Salah satu jenis adsorben yang dapat digunakan untuk
mengadsorpsi pengotor dalam pelumas bekas adalah bentonit. Bentonit banyak
terdapat di alam. Sebelum digunakan sebagai adsorben, bentonit diaktivasi
terlebih dulu untuk meningkatkan daya jerapnya (Hilyati dan Widihastono 1991).
Dalam penelitian ini, perolehan kembali bahan dasar pelumas dilakukan
dengan cara adsorpsi dari limbah pelumas mesin. Konsumsi pelumas mesin lebih
tinggi daripada pelumas nonmesin. Sebagai ilustrasi, kebutuhan pelumas mesin
mobil sekitar 42 L setiap kali pengisian, dan harus diganti setiap 250 jam.
Sementara itu, kebutuhan pelumas non-mesin 102 L, tetapi dapat digunakan
hingga 1 000 jam bahkan lebih. Kebutuhan pelumas mesin lebih banyak karena
pelumas tersebut lebih sering diganti (Carrey dan Haijen 2001).
Dalam penelitian sebelumnya, penjernihan pelumas bekas dengan metode
adsorpsi menggunakan adsorben batu bara, karbon aktif, silika, dan alkil
benzenasulfonat (ABS). Produk olahan yang dihasilkan mendekati bahan dasar
pelumas dengan proses adsorpsi menggunakan adsorben batu bara dan kombinasi
ABS murni-zeolit sebagai media penjernih (Lianna et al. 2012). Selain itu,
penjernihan pelumas juga pernah dilakukan dengan H2SO4 dikombinasikan
dengan penggunaan tanah lempung, distilasi, dan filtrasi (Joseph 2010)
METODE
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup pemanfaatan pelumas bekas untuk
mendapatkan bahan dasar pelumas. Mutu bahan dasar pelumas ditentukan melalui
beberapa pengujian, meliputi kekentalan, kadar logam, titik tuang, kadar abu,
bilangan asam total, kadar residu karbon, warna, kadar air, dan spektrum
inframerah transformasi Fourier (FTIR).
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tabung kaca untuk
titik tuang, pelat pemanas, syringe, viskometer Ostwald, plasma gandeng induktif
(ICP) Horiba, spektrofotometer FTIR Thermo Fischer Scientific, Karl Fisher
Mitsubishi, kolorimeter Lovibond, cawan porselen, cawan besi, segitiga porselen,
tutup cerobong (hood), insulator, tanur, dan peralatan kaca.
Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah pelumas mesin bekas yang
berasal dari mesin alat berat dengan merek Pertamina jenis mineral, H2SO4 p.a, es
kering, kerosen, toluena teknis, isopropil alkohol teknis, HCl p.a, indikator
fenolftalein, indikator p-naftolbenzena, KOH 0.1 N, heksana teknis, serta beberapa
jenis adsorben seperti bentonit 100 mesh, zeolit 100 mesh, dan silika.
3
Penyiapan Sampel Limbah Pelumas
Sampel pelumas bekas yang digunakan memiliki kekentalan SAE (Society
of Automotive Engineers) 15W–40. Sebanyak 200 mL sampel dimasukkan ke
dalam gelas piala kemudian diaduk dengan kecepatan 100 rpm. dan ditambahkan
40 mL H2SO4 p.a. Campuran terus diaduk selama 3 jam hingga diperoleh larutan
yang homogen, lalu didiamkan selama 48 jam hingga terbentuk 2 lapisan. Lapisan
atas dipisahkan dengan menggunakan corong pisah untuk proses penjernihan
selanjutnya (Joseph 2010).
Pemulihan Bahan Dasar Pelumas dengan Metode Adsorpsi
Pengotor pada pelumas bekas dihilangkan dengan menggunakan zeolit,
bentonit, dan silika. Zeolit dan bentonit diaktivasi menggunakan HCl 1 N dengan
nisbah zeolit/bentonit dan HCl 1:1. Aktivasi dilakukan dengan cara direfluks
selama 2 jam kemudian campuran dicuci dengan akuades hingga padatan
adsorben bebas asam (Daniel et al. 2012). Silika diaktivasi dengan cara dikemas
di dalam kolom, lalu dielusi menggunakan pelarut heksana.
Perlakuan dengan Metode Adsorpsi
Seratus mL pelumas bekas yang sudah dihilangkan pengotornya dengan
H2SO4 dipanaskan sambil diaduk hingga mencapai suhu >120 ᴏC. Zeolit/bentonit
yang telah diaktivasi dimasukkan ke dalam pelumas bekas panas tersebut. Suhu
dijaga tetap konstan dalam keadaan teraduk selama 3 jam, kemudian campuran
didiamkan selama 24 jam. Ke dalam silika yang sudah dikemas di dalam kolom
dimasukkan sampel pelumas bekas sebanyak 100 mL, lalu dielusi dengan
heksana. Bahan dasar pelumas yang diperoleh ditentukan tingkat kejernihannya
secara visual dan yang memiliki tingkat kejernihan tertinggi dicirikan lebih lanjut.
Pencirian Limbah Pelumas dan Bahan Dasar Pelumas
Uji Kekentalan (ASTM D 445-09)
Sejumlah sampel dimasukkan ke dalam tabung kekentalan kinematik
kemudian direndam pada bejana berisi silikon yang sudah dikondisikan suhunya
pada 100 ᴏC. Laju alir diukur sebagai waktu alir mulai dari meniskus atas hingga
meniskus bawah. Kekentalan kinematik diukur dengan waktu alir minimum 200
detik. Nilai kekentalan diperoleh dari hasil kali laju alir dengan faktor tabung
viskometer. Pengukuran juga dilakukan pada suhu 40 ᴏC. Hasil pengukuran pada
kedua suhu tersebut digunakan untuk mendapatkan nilai indeks kekentalan (VI).
Uji Kadar Logam (ASTM D 5185-09)
Dalam uji ini, sampel diencerkan menjadi 11 kali lipatnya dengan pelarut
kerosen, salah satu pelarut yang cocok untuk pelumas. Sebanyak 0.3 mL bahan
dasar pelumas dilarutkan dalam 3 mL kerosen. Standar disiapkan dengan cara
yang sama. Conostan merupakan standar uji logam yang digunakan. Keausan
logam dan logam aditif ditentukan dengan menggunakan ICP Horiba.
4
Uji Titik Tuang (ASTM D 97-05)
Sampel dituang ke dalam tabung uji hingga batas meniskus. Tabung ditutup
dengan gabus yang dilengkapi termometer, lalu dimasukkan ke dalam alat ukur.
Tabung uji diselubungi kain agar uap dingin dari es kering tidak keluar, perubahan
yang terjadi kemudian diamati. Titik tuang ialah suhu tertinggi saat minyak sudah
tidak dapat dituang lagi, ditandai dengan cairan sampel yang tidak bergerak dalam
5 detik setelah dituang. Titik tuang sebenarnya ditentukan dengan menambahkan
3 ᴏC pada titik tuang pengamatan ini (T = T0 + 3 °C).
Spektroskopi FTIR (ASTM E 2412-04)
Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer FTIR
Thermo Fischer Scientific dan perangkat lunak Integra, dengan metode baseline,
yaitu membandingkan spektrum pelumas baru (standar) dengan sampel. Sejumlah
data yang diperlukan dimasukkan, kemudian pengukuran dimulai dengan
sejumlah sampel dituangkan ke dalam media kristal ZnSe dan selanjutnya dibaca
oleh perangkat lunak, menghasilkan nilai jelaga, oksidasi, nitrasi, dan sulfasi.
Uji Kadar Abu (ASTM D 482-03)
Sampel dituang ke dalam cawan porselen yang sebelumnya telah
dipanaskan pada suhu 775 ± 25 °C sedikitnya 10 menit, didinginkan dalam
desikator tanpa bahan pengering (dessicant) hingga suhu kamar, dan ditimbang
hingga ketelitian 0.1 mg. Cawan dan sampel dipanaskan dengan hati-hati hingga
sampel terbakar dengan nyala yang merata. Setelah pembakaran berhenti,
pemanasan dilanjutkan secara hati-hati hingga tidak menimbulkan asap dan buih.
Cawan lalu dipanaskan di dalam tanur pada suhu 775 ± 25 ºC hingga oksidasi
karbon selesai atau hampir selesai. Setelah didinginkan di dalam desikator hingga
suhu kamar, cawan ditimbang kembali beserta isinya.
Uji Nilai Asam Total (ASTM D 974-04)
Standardisasi Larutan KOH. Sebanyak 0.2 g kalium hidrogenftalat (KHP)
yang telah dikeringkan selama ±1 jam pada suhu 110 ± 1 ºC ditimbang dan
dilarutkan ke dalam 40 ± 1 mL air bebas-CO2. Larutan baku primer ini dititrasi
dengan larutan KOH dalam alkohol sampai berwarna merah muda permanen
(menggunakan indikator fenolftalein). Titrasi blangko dilakukan pada 40 mL air
bebas-CO2 yang digunakan.
Wp
= bobot KHP
204.23 = bobot molekul KHP
Va
= volume titran untuk menitrasi KHP (mL)
Vb
= volume titran untuk menitrasi blangko (mL)
Penentuan Bilangan Asam Total. Sampel ditimbang ke dalam labu
erlenmeyer 250 mL, lalu dilarutkan dengan 100 mL campuran toluena-isopropil
5
alkohol (1:1). Selanjutnya, ke dalam campuran ditambahkan 0.5 mL larutan
indikator p-naftolbenzena dan terus dikocok sampai semua sampel larut.
Campuran lalu dititrasi dengan KOH 0.1 N hingga diperoleh titik akhir berwarna
hijau. Perhitungan bilangan asam total sebagai berikut:
A
B
N
W
= larutan KOH untuk menitrasi sampel (mL)
= larutan KOH untuk menitrasi blangko (mL)
= normalitas KOH
= bobot sampel (g)
Uji Kadar Residu Karbon (ASTM D 189-01)
Bobot kosong cawan kering dan bersih ditimbang, kemudian sampel
pelumas ditimbang sebanyak 5 g ke dalam sebuah tabung bertutup dan dibakar di
atas pembakar selama 10 menit. Cawan berisi sampel yang sudah dibakar lalu
dimasukkan ke dalam tanur. Setelah sampel menjadi abu, cawan didinginkan ke
suhu 25 ᴏC di dalam desikator dan ditimbang untuk memperoleh bobot abu.
Uji Warna Pelumas (ASTM D 1500-04a)
Tabung uji ditempatkan pada rumah tabung yang telah diisi air
suling paling sedikit sampai kedalaman 50 mm. Sampel dimasukkan ke dalam
tabung sampai tanda batas kemudian tabung dimasukkan ke dalam kompartemen
kolorimeter. Sumber cahaya pada kolorimeter dihidupkan, kemudian warna
sampel dibandingkan dengan warna standar. Nilai warna standar yang sama
dengan warna sampel dicatat.
Uji Kadar Air Metode Karl Fischer (ASTM D 6304-04a)
Prinsip pengukuran ialah perubahan potensial elektrode Pt yang dicelupkan
ke dalam larutan analisis pada saat pereaksi ditambahkan dengan titrator
potensiometri. Titik akhir tercapai bila beda potensial mencapai 250 mV. Sampel
dimasukkan ke dalam syringe sebanyak 1 mL kemudian ditimbang dan
dimasukkan ke dalam alat Karl Fischer. Data hasil penimbangan bobot syringe
kosong dengan bobot syringe berisi sampel dimasukkan pada alat. Kadar air akan
terbaca secara langsung oleh software.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penghilangan Pengotor dengan Asam
Sebelum dilakukan adsorpsi, zat aditif dan pengotor yang terlarut dalam
sampel pelumas bekas diendapkan dengan menggunakan H2SO4 p.a (Lampiran 1).
Logam-logam pengotor di dalam pelumas bekas dapat berasal dari dalam mesin
6
karena pengikisan logam mesin, atau dari zat aditif pelumas itu sendiri.
Kandungan logam pada zat aditif pelumas di antaranya adalah Zn, Ca, dan Mg.
Logam Ca dan Mg banyak ditemukan dalam aditif detergen, sedangkan logam Zn
berasal dari aditif antioksidan, antikorosi, antiwear, extreme pressure, dan
jumlahnya harus mencukupi agar pelumas dapat digunakan pada waktu tertentu
(Fajar dan Yubaidah 2007). Warna hitam pelumas disebabkan oleh pemanasan
saat mesin beroperasi dan sisa karbon hasil pembakaran bahan bakar. Pada proses
pengendapan, asam kuat akan mengompleks logam-logam terlarut. Logam dan
pengotor lain akan mengendap bersama dengan sisa karbon, dibuktikan dengan
terbentuknya 2 lapisan (Lampiran 2).
Lapisan atas (pelumas) sudah terbebas dari logam dan pengotor lain, namun
warnanya masih tampak hitam. Kekentalannya sudah jauh lebih rendah, yaitu
11.42 cSt pada suhu 100 ºC dan 75.58 cSt pada suhu 40 ºC, dibandingkan dengan
sebelum perlakuan asam, yaitu 13.16 cSt pada suhu 100 ºC dan 96.77 cSt pada
suhu 40 ºC. Kekentalan yang rendah tersebut akan mempermudah proses adsorpsi
selanjutnya.
Adsorben Potensial
Silika merupakan adsorben pertama yang diujikan. Minyak pelumas bekas
dialirkan melalui silika yang dikemas dalam kolom dengan menggunakan aseton
sebagai fase gerak. Silika didapati tidak cukup efektif menjerap pengotor pada
pelumas bekas. Warna pelumas bekas masih sama sebelum dan sesudah perlakuan
(Lampiran 3). Proses adsorpsi diawali dengan mengencerkan sampel dalam
pelarut heksana agar lebih mudah terjerap. Akan tetapi, hal ini tidak cukup
membantu penjerapan pengotor dari dalam sampel.
Adsorben kedua yang diujikan ialah zeolit, salah satu adsorben yang
memiliki kapasitas adsorpsi sangat baik karena memiliki pori-pori berukuran
molekul sehingga mampu menyaring atau memisahkan molekul (molecular
sieving) (Yoga dan Henry 2007). Zeolit diaktivasi dengan cara direfluks dalam
H2SO4 p.a untuk membuka pori-pori zeolit. Dengan nisbah zeolit terhadap sampel
sebesar 1:1, yaitu 200 mL sampel pelumas bekas dicampur dengan 200 g zeolit,
zeolit juga didapati tidak cukup baik untuk menjerap pengotor dan menjernihkan
pelumas bekas. Pelumas hasil adsorpsi tetap berwarna kehitaman (Lampiran 3).
Adsorben ketiga yang digunakan, yaitu bentonit mempunyai struktur
berlapis dengan kemampuan mengembang (swelling) dan memiliki kation-kation
yang dapat ditukarkan (Katti dan Katti 2001). Meskipun lempung bentonit sangat
berguna untuk adsorpsi, tetapi kemampuan adsorpsinya terbatas. Aktivasi dengan
menggunakan asam (HCl, H2SO4, dan HNO3) sehingga menghasilkan bentonit
dengan kemampuan adsorpsi yang jauh lebih tinggi (Kumar dan Jasra 1995).
Dalam penelitian ini, bentonit diaktivasi menggunakan HCl 1 N dengan metode
refluks. Metode refluks akan menjaga konsentrasi asam tetap konstan. Pemekatan
konsentrasi dapat merusak struktur bentonit. Adsorben bentonit menghasilkan
tingkat kejernihan tertinggi dibandingkan dengan silika dan zeolit. Warna pelumas
hasil adsorpsi tampak kekuningan (Lampiran 3). Nisbah antara bentonit dan
pelumas bekas juga 1:1, yaitu 200 mL sampel:200 g bentonit. Persen perolehan
kembali yang didapatkan adalah 25%. Hasil tersebut dikumpulkan dan dianalisis
7
sifat fisis seperti tingkat kejernihan dengan uji warna, indeks kekentalan, dan titik
tuang.
Sifat Fisis Pelumas dan Bahan Dasar Pelumas
Dalam kendali mutu pelumas, analisis warna merupakan indikator awal
tingkat kemurnian bahan. Warna pelumas diamati dan dibandingkan dengan
standar warna yang ada. Apabila warna berada di luar standar spesifikasi pelumas
tersebut, maka pelumas mungkin telah tercampur dengan bahan lain (Naibaho
2008). Bahan dasar pelumas hasil adsorpsi dengan bentonit menunjukkan tingkat
warna 1.0, jauh lebih jernih jika dibandingkan dengan produk pelumas high
viscosity index (HVI) yang digunakan sebagai pembanding (Tabel 1).
Tabel 1 Sifat fisis pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan
kembali
Kekentalan (cSt)
VI
Titik Tuang
Jenis
Warna
ᴏ
ᴏ
40 C
100 C
(ᴏC)
Pelumas bekas
> 8.0
96.77
13.16
134
-24
Bahan dasar pelumas
hasil perolehan
1.0
75.58
11.42
143
-12
kembali
Standar Bahan Dasar Pelumas
HVI 650
4.0
557.5
33.77
96
-9
HVI 95
Maks 2.0 56.45
7.36
99
-9
HVI 160S
Maks 3.0 118.10
11.52
96
-9
HVI 60
Maks 1.5 27.72
4.85
106
-12
Sampel pelumas bekas yang digunakan memiliki kekentalan pada 100 ᴏC
sebesar 13.16 cSt (Lampiran 4). Jika dikategorikan berdasarkan ketentuan SAE
J300 (100 ᴏC min 5.6 cSt), maka pelumas bekas tersebut termasuk kategori SAE
15W. Bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali memiliki kekentalan pada 100
ᴏC lebih rendah, yaitu 11.42 cSt. Jika mengacu pada SAE J300 (100 ᴏC min 9.3
cSt, maks 12.5 cSt), maka termasuk dalam kategori SAE 30 (API 2004).
Suhu 100 ᴏC merupakan suhu operasional mesin. Jika pelumas terlalu kental
pada suhu tersebut, maka mesin akan bekerja lebih berat sehingga memerlukan
energi dan bahan bakar yang lebih banyak (Fajar dan Yubaidah 2007). Kekentalan
juga diukur pada suhu 40 ᴏC yang merupakan suhu terendah saat kondisi pelumas
paling stabil. Nilai kekentalan pada kedua suhu tersebut digunakan untuk
memperoleh nilai indeks kekentalan (VI). Bahan dasar pelumas hasil perolehan
kembali memiliki nilai VI sebesar 143 (Lampiran 1). Nilai ini telah sesuai dengan
nilai VI pelumas sintetik yang berkisar 130–150 (Fajar dan Yubaidah 2007).
Pelumas dengan nilai VI > 80 dikatakan memiliki indeks kekentalan tinggi
(HVI) (Sudrajat et al. 2007). Bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali
memiliki VI yang lebih tinggi dibandingkan dengan minimum beberapa pelumas
HVI yang diberikan pada Tabel 1. Pembanding tersebut merupakan jenis-jenis
bahan dasar pelumas yang digunakan dalam campuran pembuatan produk
pelumas yang diujikan. Sampel pelumas mesin yang digunakan bermerek
8
Meditran SX 15W–40 yang berdasarkan Lembaga Pengawasan Minyak dan Gas,
mengandung campuran dari HVI 95, HVI 60, HVI 650, dan HVI 160S.
Kekentalan zat cair biasanya akan menurun bila terjadi kenaikan suhu.
Pelumas yang baik adalah yang memiliki nilai VI tinggi (Sudrajat et al. 2007)
karena nilai VI menunjukkan kemampuan pelumas mempertahankan kekentalannya terhadap perubahan suhu (Harjono 2001). Hal ini menunjukkan bahwa bahan
dasar pelumas hasil perolehan kembali memiliki kestabilan kekentalan yang
tinggi. Namun, Tabel 1 menunjukkan kekentalan yang lebih rendah pada suhu 100
ᴏC dibandingkan dengan pada suhu 40 ᴏC. Penambahan aditif diperlukan untuk
meningkatkan kinerja bahan dasar pelumas tersebut dalam jangka waktu tertentu.
Analisis sifat fisis selanjutnya ialah pengukuran nilai titik tuang (pour
point). Titik tuang diperoleh setelah pelumas benar-benar membeku. Titik beku
merupakan batas suhu terendah dalam ᴏC pada saat pelumas membeku (tidak
dapat mengalir). Titik beku dikurangi 3 poin merupakan titik tuang, yaitu suhu
tertinggi dalam ᴏC pada saat pelumas mulai mengalir dari keadaan beku. Pada
kondisi tersebut masih terdapat aditif pelumas jenis pour point dispersant yang
dapat membantu mempertahankan mutu pelumas terhadap penurunan suhu di
bawah kondisi normal. Tujuan uji ini adalah menentukan batas maksimum titik
tuang minyak pelumas, dengan asumsi bahwa jumlah aditif pour point dispersant
yang digunakan sudah sesuai dengan baku mutu minyak pelumas yang
disyaratkan (Sardjito 2006).
Berdasarkan nilai titik tuang, pelumas bekas dapat dikategorikan dalam
SAE 30 (maks. -18 ᴏC) atau SAE 40 (maks. -15 ᴏC). Sementara berdasarkan nilai
kekentalan dan titik tuang, kategori yang sesuai ialah SAE 30 yang memiliki nilai
titik tuang lebih rendah. Semakin rendah nilai titik tuang, semakin luas wilayah
aplikasi pelumas (dapat diaplikasikan di daerah tropis maupun di daerah beriklim
dingin) (Fajar dan Yubaidah 2007).
Setelah pelumas bekas mengalami perlakuan untuk diperoleh kembali bahan
dasar pelumasnya, nilai titik tuang meningkat secara signifikan ke -12 ᴏC. Hal ini
menunjukkan bahwa di dalam bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali sudah
tidak lagi terdapat aditif pour point dispersant. Akibatnya pelumas lebih mudah
membeku. Juga berbeda dengan nilai VI, bahan dasar pelumas tidak mampu untuk
secara optimum tetap dalam bentuk cair, kecuali dibantu dengan aditif.
Mengacu pada penggolongan mutu bahan dasar pelumas (Tabel 2), bahan
dasar pelumas hasil perolehan kembali digolongkan dalam kategori III,
berdasarkan nilai VI 143 dan titik tuang -12 ᴏC. Golongan ketiga ini jauh lebih
unggul karena mengandung senyawa hidrokarbon jenuh di atas 90% dan sulfur di
bawah 0.03%, serta nilai VI minimum 120 (Pertamina 1998).
Tabel 2 Penggolongan mutu bahan dasar pelumas
Titik Tuang
Indeks
Kandungan Senyawa
Kategori
Kekentalan
Sulfur
Jenuh
(ᴏC)
I
80–120
> 0.03
< 90
-5 sampai 15
II
81–120
≤ 0.03
≤ 90
-10 sampai -20
III
≥120
≤ 0.03
≤ 90
-10 sampai -25
IV PAO
135-140
≤ 0.03
-53
V Poliester
140
≤ 0.03
-21
Sumber: API (2004)
9
Sifat Kimia Pelumas dan Bahan Dasar Pelumas
Bilangan Asam Total
Bilangan asam total atau total acid number (TAN) adalah jumlah basa,
dinyatakan dalam mg KOH/g sampel, yang diperlukan untuk menitrasi sampel
dalam pelarut sampai titik ekuivalen, yaitu terbentuk warna hijau/hijau
kecokelatan dengan menggunakan larutan indikator p-naftolbenzena (ASTM D
974-04). Minyak pelumas bekas dapat mengandung asam atau basa yang berasal
dari aditif atau sebagai hasil degradasi selama pemakaian. Asam organik yang
terdapat di dalam pelumas meliputi vernis/resin. Jenis asam tersebut tidak mudah
bereaksi dengan aditif dan dapat meningkatkan kekentalan pelumas. Bilangan
asam total yang tinggi dapat membentuk lapisan kental, yang menurunkan
efisiensi aliran pompa dan meningkatkan risiko korosi mesin terutama apabila
terdapat cemaran air.
Hasil penelitian menunjukkan TAN pelumas bekas sebesar 1.82 mg KOH/g
sampel pelumas (Lampiran 5). Kandungan asam aktif dalam sampel pelumas
bekas ini dapat menyebabkan korosi. Namun, setelah perlakuan TAN jauh
menurun menjadi 0.02 mg KOH/g sampel. Hasil ini menunjukkan bahwa bahan
dasar pelumas hasil perolehan kembali telah memenuhi spesifikasi teknis
parameter tingkat keasaman untuk pelumas HVI, yaitu rerata 0.05 mg KOH/g.
Kadar Abu
Analisis kadar abu mengukur jumlah sisa abu ketika minyak dibakar sampai
habis. Abu dapat berasal dari minyak bumi sendiri atau akibat proses korosi dalam
sistem penyimpanan atau penimbunan (adanya partikel logam yang tidak bisa
terbakar) (ASTM D 482-03). Pelumas bekas memiliki kadar abu tertinggi, yaitu
1.27% (Lampiran 6). Setelah diberi perlakuan, abu tidak dapat terdeteksi sehingga
dapat dikatakan telah bersih dari cemaran.
Kadar Residu Karbon
Analisis kadar residu karbon atau conradson carbon residue (CCR) adalah
pemeriksaan karbon/arang pada minyak solar dan minyak diesel yang mungkin
terbentuk selama proses pembakaran dan dapat menyebabkan kerak arang pada
penginjeksi mesin diesel (ASTM D 189-01). Pelumas bekas memiliki kadar residu
karbon tertinggi. Setelah proses adsorpsi dengan menggunakan bentonit, residu
karbon dalam pelumas hanya tersisa 0.06%. Nilai ini jauh lebih kecil
dibandingkan dengan bahan dasar pelumas lainnya yang digunakan sebagai acuan,
yaitu 0.1–1%. Residu karbon di dalam mesin disebabkan oleh terbentuknya asam
di dalam pelumas sebagai hasil oksidasi. Bahan bakar yang berasal dari minyak
bumi akan mengandung wax/lilin dan juga sulfur sehingga uji kadar residu perlu
dilakukan.
Kadar Air
Kadar air adalah salah satu parameter terpenting dalam penentuan mutu
pelumas karena bila terlalu besar, dapat memicu korosi. Kandungan air yang
sangat berlebih juga dapat menggantikan atau mengurangi ketebalan lapisan
pelumas di dalam mesin (ASTM D 6304-04a). Kadar air bahan dasar pelumas
hasil perolehan kembali masih berada dalam batas normal, yaitu 106 ppm.
10
Pelumas HVI dianjurkan memiliki kadar air tidak lebih dari 150 ppm.
Berdasarkan nilai bilangan asam total, kadar abu, kadar residu karbon, dan kadar
air, dapat disimpulkan bahwa bahan dasar pelumas yang diperoleh telah bermutu
baik (Tabel 3).
Tabel 3 Sifat kimia pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan
kembali
Bilangan
Kadar Residu
Kadar Abu
Kadar Air
Asam Total
Karbon
Jenis
(mg KOH/g)
(%)
(%)
(ppm)
Pelumas bekas
1.82
1.27
2.01
52 000
Bahan dasar
pelumas hasil
0.02
Ttd
0.06
106
perolehan
kembali
Standar Bahan Dasar Pelumas
HVI 650
maks 0.05
0.01
maks 1.0
maks 150
HVI 95
0.05
0.01
0.1
maks 150
HVI 160S
0.05
0.01
0.1
maks 150
HVI 60
0.05
0.01
0.1
maks 150
Keterangan: ttd = tidak terdeteksi
Kadar Logam
Bahan dasar pelumas pada dasarnya tidak berlogam, tetapi dalam proses
pembuatannya, ditambahkan aditif yang mengandung logam. Aditif berfungsi
meningkatkan sifat fisis bahan dasar pelumas, tetapi selama pemakaian,
aktivitasnya akan terus menurun. Jenis aditif yang sering digunakan dalam
pelumas adalah antioksidan, antikorosi, detergen, dan extreme pressure. Dalam
penelitian ini, logam aditif yang diukur meliputi Zn, Ca, dan Mg. Selain logam
aditif, di dalam pelumas bekas juga terdapat logam pencemar yang biasanya
bersumber dari keausan mesin atau proses oksidasi antara lain Mg, Ca, Zn, Na,
Cr, Fe, Ni, Pb, Cu, Sn, dan Al (Troyer dan Fitch 2001).
Kadar logam dalam pelumas bekas terutama logam aditif menunjukkan
penurunan setelah perlakuan adsorpsi dengan bentonit (Tabel 4). Penurunan kadar
logam pengotor rerata >80% (kecuali Mg) pada bahan dasar pelumas hasil
perolehan kembali. Sampel yang cukup kental menghambat proses adsorpsi maka
kekentalan diturunkan dengan memanaskan sampel hingga suhu 120 oC. Selama
proses pemanasan disertai dengan pengadukan, adsorpsi sampel menjadi lebih
optimum.
Logam Mg tidak cukup kuat dijerap oleh bentonit jika dibandingkan dengan
Ca dan Zn, menunjukkan bahwa bentonit bukan adsorben spesifik untuk logam
Mg. Diperlukan jenis adsorben lain untuk membantu menjerap logam tersebut.
Kandungan antioksidan dalam pelumas adalah 1000 ppm dan aditif detergen (Ca
dan Mg) sekitar 2000 ppm (Troyer dan Fitch 2001).
11
Tabel 4 Kadar logam pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan
kembali
Kadar Logam (ppm)
%
Parameter
Pelumas Bahan Dasar Pelumas Hasil Penurunan
Bekas
Perolehan
Magnesium (Mg)
178
127
28.65
Kalsium (Ca)
2336
343
85.32
Zink (Zn)
1368
168
87.72
Natrium (Na)
1
1
0
Kromium (Cr)
Ttd
ttd
ttd
Besi (Fe)
17
1
94.12
Nikel (Ni)
2
ttd
100
Timbel (Pb)
7
ttd
100
Tembaga (Cu)
4
ttd
100
Timah (Sn)
ttd
ttd
ttd
Aluminium (Al)
1
3
Keterangan: ttd = tidak terdeteksi
Kandungan logam Al dalam bahan dasar pelumas hasil perlakuan justru
meningkat. Komposisi bentonit terdiri atas (Mg,Ca)O∙Al2O3∙5SiO2∙nH2O.
Penambahan HCl ketika proses aktivasi bentonit diduga menyebabkan proses
dealuminasi. Konsentrasi HCl yang terlalu tinggi dapat melarutkan sebagian Al
(Hilyati dan Widihastono 1991). Uji warna dapat menunjukkan bahwa dengan
konsentrasi HCl yang semakin tinggi, semakin banyak logam yang terlarut: warna
merah yang terukur pada alat lovibond tintometer semakin tinggi (Fikri dan Reni
2010). Faktor lain yang dapat menyebabkan kadar Al meningkat adalah suhu
pemanasan yang terlalu tinggi. Al pada kisi struktur bentonit dapat terlepas dan
mengakibatkan sedikit kerusakan pada struktur bentonit (Hairil 2001).
Spektrum FTIR
Pelumas tersusun oleh bahan dasar pelumas dan aditif, masing-masing
mempunyai gugus fungsi khas yang dapat dideteksi dengan spektrofotometer FTIR.
Alat ini dapat digunakan untuk menentukan proses kimia yang cenderung
menurunkan mutu pelumas (Setiyono 2006). Setiap pelumas memiliki spektrum
FTIR yang khas dan spektrum tersebut dapat dijadikan sebagai sidik jari atau
identitas keasliannya. Lampiran 7 menampilkan spektrum pelumas bekas dan bahan
dasar pelumas hasil perolehan kembali. Tabel 5 memuat analisis gugus fungsi yang
ditemukan serta sumbernya.
Material yang terdapat dalam minyak pelumas baru antara lain mengandung
parafin, naftalena, lilin, aspal, karbon, lumpur, pelarut aromatik dan non-aromatik,
logam, garam, senyawa yang mengandung silikon untuk antibuih, dan bahan
tambahan (aditif) (Sanusi 2006). Degradasi dan kontaminasi adalah salah satu
faktor penyebab menurunnya mutu minyak pelumas. Pelumas yang telah
kehilangan kemampuannya untuk melumasi atau melindungi komponen-komponen
mesin dari keausan akan memunculkan serapan kuat pada kisaran bilangan
gelombang untuk parameter jelaga, oksidasi, sulfasi dan nitrasi (Tabel 6).
12
Tabel 5 Analisis gugus fungsi dalam spektrum FTIR pelumas bekas dan bahan
dasar pelumas hasil perolehan kembali
Bilangan Gelombang
Gugus
Bahan Dasar
Keterangan
Pelumas
Pelumas
Fungsi
Pelumas Hasil
Bekas
Pustaka*
Perolehan
–OH
3648.1
3648
Antioksidan
aromatik
Bahan dasar pelumas
2916.93
2918.86
2000–3000
–CH3
(mineral dan PAO)
1704.52
1704–1773 C=O amida
Dispersan
C=C
1605.75
1600–1700
Mineral
aromatik
1303.74
1230–1366 C–N amina
Detergen
1229.96
1230–1366 C–N amina
Detergen
S=O
1168.86
1158–1169
Detergen
sulfonat
C–H
Antioksidan dan
974.83
978–654
aromatik
Antiwear
*Sumber: Fajar dan Yubaidah (2007)
Tabel 6 Kondisi pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali
berdasarkan spektrum FTIR
Bahan Dasar Pelumas
Bilangan
Pelumas Bekas
Hasil Perolehan
Parameter
-1
Gelombang (cm )
(Abs/0.1 mm)
(Abs/0.1 mm)
Jelaga
2000
0.15
ttd
Oksidasi
1800–1670
0.03
ttd
Nitrasi
1650–1600
0.03
ttd
Sulfasi
1180–1120
0.07
ttd
Air
3500–3150
ttd
ttd
Anti Keausan
1025–960
ttd
ttd
Sumber: ASTM D 2412-04 (2004)
Jelaga menyebabkan pelumas menjadi berwarna hitam, dan terbentuk oleh
proses pembakaran selama pelumasan di dalam mesin. Jelaga dicirikan oleh
serapan FTIR pada bilangan gelombang 2000 cm-1 (ASTM E 2412-04). Semakin
lama pelumas terpakai melumasi mesin, jelaga akan semakin banyak dihasilkan
sehingga pelumas bekas tampak sangat hitam. Jelaga yang terbentuk terlihat pada
pelumas bekas mencapai 0.015 Abs/0.1 mm. Bentonit menjerap jelaga tersebut
sehingga warna pelumas kembali ke kondisi awal.
Tingkat oksidasi pelumas bekas juga dapat dilihat dari spektrum FTIR,
diperoleh nilai oksidasi sebesar 0.03 Abs/0.1 mm. Oksidasi pelumas terjadi karena
reaksi dengan oksigen dari udara. Hasil oksidasi umumnya berupa senyawa yang
mengandung gugus karbonil (C=O), misalnya keton, asam karboksilat, dan
aldehida (Rolly 2009). Oksidasi merupakan reaksi utama yang akan mengubah
sifat pelumas (Rizvi 1992).
13
Kadar nitrasi pelumas bekas terukur sebesar 0.03 Abs/0.1 mm. Reaksi
nitrasi memasukkan gugus nitro pada suatu senyawa dan memunculkan serapan
pada bilangan gelombang 1800–1670 cm-1 (ASTM E 2412-04). Selain itu, terukur
kadar sulfasi pada pelumas bekas sebesar 0.07 Abs/0.1 mm. Oksida sulfur
terbentuk ketika bahan bakar yang mengandung sulfur terbakar dan bereaksi
dengan air hingga terbentuk asam sulfat. Asam tersebut sangat berbahaya karena
bersifat korosif. Gugus sulfat dapat terbaca pada bilangan gelombang 1180–1120
cm-1 (ASTM E 2412-04).
Perlakuan awal berupa penambahan H2SO4 pekat menghilangkan beberapa
aditif pelumas. Hal itu menimbulkan perubahan yang jelas pada spektrum FTIR.
Daerah sidik jari spektrum pelumas bekas memperlihatkan serapan di 1168.86 cm1
(gugus fungsi sulfonat) dan 1229.96 cm-1 (gugus C–N amina) yang terdapat
dalam aditif detergen. Serapan pada bilangan gelombang 1704.52 cm-1 berasal
dari gugus C–N amina yang dimiliki oleh aditif dispersan. Jenis aditif lain
terdeteksi pada daerah sidik jari, yaitu di bilangan gelombang 974.83 cm-1 (gugus
C–H aromatik) ialah antioksidan dan antiwear. Aditif jenis antioksidan juga
terdeteksi pada 3648.1 cm-1 (gugus –OH aromatik).
Sampel bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali mengandung gugus
C=C aromatik (bilangan gelombang 1605.75 cm-1) yang merupakan ciri khas
pelumas mineral, salah satu jenis penyusun bahan dasar pelumas. Masih terdapat
aditif detergen yang ditunjukkan dengan serapan pada bilangan gelombang
1303.74 cm-1 (gugus C–N amina), tetapi beberapa jenis aditif yang lain telah
hilang dengan penambahan asam dan proses adsorpsi menggunakan bentonit
(Tabel 5).
Berbagai jenis bahan dasar pelumas khususnya yang sintetik tidak dapat
dibedakan dengan pelumas mineral. Spektrum FTIR sampel pelumas bekas
maupun hasil perlakuan tidak menunjukkan puncak pada bilangan gelombang
1600 cm-1, yang menunjukkan gugus aromatik sebagai ciri khas pelumas mineral.
Hal ini mendukung nilai VI yang diperoleh yang menunjukkan bahwa bahan dasar
pelumas hasil perlakuan merupakan pelumas sintetik.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Bahan dasar pelumas dapat diperoleh kembali dari limbah pelumas dengan
metode adsorpsi. Persen perolehan kembali 25% dari 200 mL sampel dengan
perlakuan asam dan adsorpsi menggunakan bentonit. Berdasarkan kriteria API,
bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali termasuk golongan 3, dengan nilai
VI yang tinggi sebesar 143 dan nilai titik tuang terendah di suhu -12 oC.
Kandungan logam mampu diturunkan rata-rata lebih dari 80%, kecuali logam Mg.
Nilai bilangan asam total, kadar abu, kadar residu karbon, dan kadar air semuanya
bernilai rendah. Analisis spektrum FTIR menunjukkan bahan dasar pelumas yang
diperoleh telah terbebas dari jelaga, oksidasi, sulfasi, dan nitrasi. Bahan dasar
pelumas tersebut dapat dikategorikan sebagai pelumas sintetik berdasarkan nilai
VI dan sidik jari spektrum FTIR.
14
Saran
Untuk mendapatkan bahan dasar pelumas dari pelumas bekas dengan
perolehan kembali yang lebih baik dan memenuhi spesifikasi baku teknisnya,
perlu diujikan penggunaan campuran berbagai adsorben lain.
DAFTAR PUSTAKA
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004. ASTM E 2412-04,
Condition monitoring of used lubricants by trend analysis using Fourier
transform infrared (FTIR) spectrometry. West Conshohocken (US): ASTM
International.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004. ASTM D 2270-04,
Calculation viscosity index from kinematic viscosity at 40 ᴏC and 100 ᴏC.
West Conshohocken (US): ASTM International.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004. ASTM D 1500-04a,
Color of petroleum products (ASTM color scale). West Conshohocken
(US): ASTM International.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2001. ASTM D 189-01,
Conradson carbon residue of petroleum products. West Conshohocken
(US): ASTM International.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2003. ASTM D 482-03,
Ash from petroleum products. West Conshohocken (US): ASTM
International.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004. ASTM D 974-04,
Acid and base number by color-indicator titration. West Conshohocken
(US): ASTM International.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2009. ASTM D 445-09,
Standard test method for kinematic viscosity of transparent and opaque
liquids and calculation of dynamic viscosity. West Conshohocken (US):
ASTM International.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004. ASTM D 6304-04a,
Determination of water in petroleum products, lubricating oils, and additives
by coulometric Karl Fischer titration. West Conshohocken (US): ASTM
International.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2005. ASTM D 97-05,
Pour point of petroleum products. West Conshohocken (US): ASTM
International.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2009. ASTM D 5185-09,
Determination of the particle size of powdered activated carbon by
inductively couple plasma (ICP). West Conshohocken (US): ASTM
International.
[API] American Petroleum Institute. 2004. Spesification 5L Forth. Spesification
for line pipe Ed ke-2. Washington (US): API.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Tingkat Konsumsi Minyak Pelumas untuk
Sektor Industri dan Otomotif. Jakarta (ID): BPS.
15
Bath DS, Jenal MS, Turmuzi L. 2012. Penggunaan tanah bentonit sebagai
adsorben logam Cu. J Tek Kim. 1(1):1-12.
Fajar R, Yubaidah S. 2007. Penentuan kualitas pelumas mesin. J Lub Sci Tech.
1(9): 8-15.
Fikri ME, Reni K. 2010. Regenerasi bentonit bekas secara kimia fisika dengan
aktivator asam klorida dan pemanasan pada proses pemucatan CPO
[skripsi]. Lampung (ID): Universitas Lampung.
Harjono H. 2001. Teknologi Minyak Bumi. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ
Pr.
Hairil P. 2001. Pemanfaatan zeolit lampung yang diaktivasi dengan NaOH
sebagai adsorben uap pada kondensasi uap industri karet remah (crumb
rubber) [skripsi]. Lampung (ID): Universitas Lampung.
Hilyati, Widihastono B. 1991. Adsorpsi zat warna tekstil pada zeolit alam dari
Bayah. J Kim Terapan Indones. 1(2):47-53.
Joseph U. 2010. A comparative study of recycling of used lubrication oils using
distillation, acid and activated charcoal with clay methods. J Petroleum &
Gas Eng. 2(2):12-19.
Katti K, Katti D. 2001. Effect of Clay-Water Interactions on Swelling in
Montmorillonite Clay. Fargo (US): North Dakota State University.
Kumar P, Jasra RV. 1995. Evolution of porosity and surface acidity in
montmorillonite clay on acid activation, Chem Res. 34:1440-1448.
Ladha S, Molyneux P, Wang JX, Wang KR, Buckley JS. 2010. Evaluasi
pengelolaan limbah pelumas sebagai limbah B3 [makalah]. Bandung (ID):
Institut Teknologi Bandung.
Lianna J, Yunia K, Haerry S. 2012. Penjernihan minyak pelumas bekas dengan
metode adsorpsi suatu usaha pemanfaatan kembali minyak pelumas bekas
sebagai base oil. J Teknol Kim & Industri Univ Diponegoro. 1(1):252-257.
Naibaho ABF. 2008. Pengaruh kekentalan dan tekanan terhadap jumlah persen
volume fraksi bensin [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara.
Pertamina. 1998. Pelumas dan Pelumasan. Cilacap (ID): Pertamina.
Rahmawati E. 2006. Adsorpsi senyawa residu klorin pada karbon aktif
termodifikasi zink klorida [skripsi]. Bogor (ID): Intstitut Pertanian Bogor
Rizvi SQA. 1992. Lubricant Additive and Their Function. Di dalam: Robinson
NB, editor. ASM Handbook Friction, Lubrication, and Wear Technology.
Maryland (US): ASM International.
Rolly F. 2009. Pelumas Menurut Bahan Dasar dan Aditif. Jakarta (ID): Gramedia.
Sardjito. 2006. Panduan Tentang Pelumas dan Pelumasan Edisi Pertama. Jakarta
(ID): Petrolab Services.
Sanusi W. 2006. Bahan Dasar Pelumas dan Formulasi Pelumas. Ed ke-1. Jakarta
(ID): Buletin MASPI.
Setiyono. 2006. Potensi limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di wilayah
DKI Jakarta dan strategi pengelolaannya. J Teknol Lingk. 3(1):1-20.
Sudrajat R, Ariatmi R, Setiawan D. 2007. Pengolahan minyak jarak pagar menjadi
epoksi sebagai bahan dasar pelumas. J Petroleum & Gas Eng. 3: 1-22.
Troyer D, Fitch J. 2001. Oil Analysis Basic. Ed ke-2. Texas (US): Noria
Corporation.
Yoga P, Henry TP. 2007. Coal fly ash conversion to zeolite for removal of
chromium and nickel from wastewaters. J Environ Tech.3:1–5.
16
Lampiran 1 Diagram alir penelitian
Aktivasi Bentonit
Bentonit
Ditambahkan HCl 1 N (1:1)
Direfluks selama 2 jam.
Disaring dan dicuci dengan akuades.
Dikeringkan
Bentonit Aktif
Metode Kerja
Pelumas Bekas
Ditambahkan 40 mL H2SO4 p.a
Lapisan atas dipisahkan lalu dipanaskan suhu
120 oC
Ditambahkan bentonit.
Pelumas:Bentonit Teraktivasi
(1:1)
Diaduk selama 3 jam kemudian didiamkan
selama 24 jam, lalu disaring
17
Lampiran 2 Hasil pengendapan pelumas dengan H2SO4
Lampiran 3 Hasil adsorpsi dengan bentonit (a), zeolit (b) dan silika (c)
(a)
(b)
(c)
18
Lampiran 4 Contoh perhitungan indeks kekentalan (ASTM D 2270)
Sampel
Suhu (ᴏC) Faktor Tabung (C) Waktu (det)
40
0.2376
407.28
Pelumas
bekas
100
0.0376
349.91
Bahan dasar
40
0.2337
323.4
pelumas hasil
100
0.0353
323.72
perolehan
V (cSt)
96.77
13.16
75.58
VI
134
143
11.42
Contoh perhitungan kekentalan:
Kode viskometer Ostwald 1786/150
V = kekentalan kinematik (mm2/det atau cSt)
C = tetapan dari viskometer yang dikalibrasi
t = waktu alir rerata
maka nilai kekentalan
Perhitungan Nilai VI
Kekentalan pada 100 ᴏC = 13.16 cSt
Kekentalan pada 40 ᴏC = 96.77 cSt
Nilai L
Kekentalan kinematik pada 100oC = 13.16 pada tabel terletak di antara 13.10 dan
13.20
13.10 nilai L = 235.0
13.20 nilai L = 238.1
Nilai H
Kekentalan kinematik pada 100 oC = 13.16 pada tabel terletak di antara 13.10 dan
13.20
13.10 nilai H = 122.9
19
lanjutan Lampiran 4
13.20 nilai H = 124.2
Mencari Nilai N
U = nilai kekentalan pada 40 oC
Y = nilai kekentalan pada 100 ᴏC
Nilai VI
20
lanjutan Lampiran 4
Nilai L dan H pada 100 ᴏC (ASTM D 2270)
21
Lampiran 5 Perhitungan bilangan asam total (ASTM 974–04 2004
Standardisasi larutan KOH
Bobot KHP (kalium hidrogenftalat) = 0.2015 g
Volume Blangko
= 0.05 mL
Volume KHP
= 10.96 mL
Va
Vb
Wp
= Larutan KOH yang diperlukan untuk titrasi sampel (mL)
= Larutan KOH yang diperlukan untuk titrasi blangko (mL)
= Bobot sampel (g)
Bilangan Asam Total
Sampel
Pelumas bekas
Bahan dasar pelumas hasil
perolehan
Contoh perhitungan
Bobot sampel
(g)
10.1213
12.6543
Volume (mL)
Blangko Sampel
(B)
(A)
0.1
3.75
0.1
0.25
TAN
(mg KOH/g)
1.82
0.06
22
Lampiran 6 Perhitungan kadar abu (ASTM D 482-01 2001) dan kadar residu
karbon (ASTM D 189-01 2001)
Bobot (g)
Kadar Abu
Sampel
(%)
Cawan Kering Sampel Cawan + Abu
Pelumas bekas
Bahan dasar
pelumas hasil
perolehan
38.6190
5.0753
38.6837
1.27
38.1881
5.2481
38.1881
0
Contoh perhitungan :
Bobot (g)
Sampel
Cawan Kering
Pelumas Bekas
Bahan dasar
pelumas hasil
perolehan
Contoh perhitungan
sampel Cawan + Abu
Kadar Residu
karbon
(%)
27.1281
5.0372
27.2295
2.01
26.9291
5.1645
26.9320
0.06
23
Lampiran 7 Spektrum FTIR pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil
perolehan kembali
24
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Halim, Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta pada
tanggal 1 November 1987 dari Ayah Sardjuni dan Ibu Warsiyem. Penulis
merupakan putri kedua dari 2 bersaudara, dengan kakak lelaki bernama Adhi
Surya Perdana.
Tahun 2005, penulis lulus dari SMA PLUS YPHB Bogor. Pada tahun yang
sama penulis masuk Program Diploma 3 Analisis Kimia, Institut Pertanian Bogor
(IPB) dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2010, penulis diterima di Program
Alih Jenis Departemen Kimia, Fakultas MIPA, IPB.
Tahun 2008 sampai sekarang, penulis bekerja di PT Petrolab Services yang
bergerak di bidang analisis Lubricant dan Environment.
LIMBAH PELUMAS MESIN DENGAN METODE ADSORPSI
DAN PENCIRIANNYA
ADHE MULAT KUSUMAH
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perolehan Kembali
Bahan Dasar Pelumas dari Limbah Pelumas Mesin dengan Metode Adsorpsi dan
Penciriannya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2013
Adhe Mulat Kusumah
NIM G44104011
ABSTRAK
ADHE MULAT KUSUMAH. Perolehan Kembali Bahan Dasar Pelumas dari
Limbah Pelumas Mesin dengan Metode Adsorpsi dan Penciriannya. Dibimbing
oleh HENNY PURWANINGSIH dan MUHAMMAD KHOTIB.
Limbah pelumas mesin dapat diolah kembali menjadi bahan dasar pelumas
dengan cara menghilangkan pengotor-pengotor yang terkandung di dalamnya.
Salah satu cara menghilangkan pengotor tersebut adalah dengan metode adsorpsi.
Adsorben bentonit, zeolit, dan silika diujikan, dan hasil penelitian menunjukkan
bahwa adsorben yang potensial untuk digunakan adalah bentonit, dengan
persentase perolehan kembali sebesar 25%. Bahan dasar pelumas hasil perolehan
kembali termasuk dalam golongan 3 menurut pengelompokan American
Petroleum Institute. Metode adsorpsi dengan bentonit mampu mengurangi
pengotor logam hingga 80% sehingga bahan dasar pelumas yang diperoleh dapat
digunakan kembali setelah ditambahkan sejumlah aditif.
Kata kunci: adsorpsi, bentonit, limbah pelumas
ABSTRACT
ADHE MULAT KUSUMAH. Recovery of Lube Base Oil from Lube Engine Oil
Waste with Adsorption Method and Its Characterization. Supervised by HENNY
PURWANINGSIH and MUHAMMAD KHOTIB.
Engine lube oil waste can be recycled into lube base oil by removing the
impurities. One way to eliminate the impurities is by adsorption method. The
adsorbent studied were bentonite, zeolite, and silica and it was shown that
bentonite was the potential adsorbent for the recovery process, with 25% recovery
percentage. The lube base oil recovered was categorized as group 3 base oil base
on the American Petroleum Institute classification. The adsorption method with
bentonite could reduce the metal impurities up to 80%, so that the base oil can be
reused after addition of some additives.
Key words: adsorption, bentonite, waste oil.
PEROLEHAN KEMBALI BAHAN DASAR PELUMAS DARI
LIMBAH PELUMAS MESIN DENGAN METODE ADSORPSI
DAN PENCIRIANNYA
ADHE MULAT KUSUMAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Perolehan Kembali Bahan Dasar Pelumas dari Limbah Pelumas
Mesin dengan Metode Adsorpsi dan Penciriannya
Nama
: Adhe Mulat Kusumah
NIM
: G44104011
Disetujui oleh
Dr Henny Purwaningsih, MSi
Pembimbing I
M Khotib, SSi, MSi
Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei hingga Desember
2012 ini ialah limbah pelumas mesin, dengan judul Perolehan Kembali Bahan
Dasar Pelumas dari Limbah Pelumas Mesin dengan Metode Adsorpsi dan
Penciriannya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr Henny Purwaningsih,
MSi selaku pembimbing pertama dan Bapak M Khotib, SSi, MSi selaku
pembimbing kedua yang senantiasa memberikan arahan, semangat, dan doa
kepada penulis selama melaksanakan penelitian. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Bapak Asbari, SSi selaku Manajer Teknis Divisi
Lubricant PT Petrolab dan seluruh staf karyawan Divisi Lubricant, yang telah
membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada Ayah, Ibu, kakakku Adhi Surya Perdana, serta seluruh keluarga dan
sahabat atas saran, kritik, serta semangat selama penelitian.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan.
Bogor, April 2013
Adhe Mulat Kusumah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
METODE
Ruang Lingkup Penelitian
Alat dan Bahan
Penyiapan Sampel Limbah Pelumas
Pemulihan Bahan Dasar Pelumas dengan Metode Adsorpsi
Pencirian Limbah Pelumas dan Bahan Dasar Pelumas
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penghilangan Pengotor dengan Asam
Adsorben Potensial
Sifat Fisis Pelumas dan Bahan Dasar Pelumas
Sifat Kimia Pelumas dan Bahan Dasar Pelumas
Spektrum FTIR
SIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vii
vii
1
2
2
2
3
3
3
5
5
6
7
9
11
13
14
14
16
24
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
Sifat fisik pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan
kembali
Penggolongan mutu bahan dasar pelumas
Sifat kimia pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan
kembai
Kadar logam pelumas bekasdan bahan dasar pelumas hasil perolehan
kembali
Analisis gugus fungsi dalam spektrum FTIR pelumas bekas dan bahan
dasar pelumas hasil perolehan kembali
Kondisi pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan
kembali berdasarkan spektrum FTIR
7
8
10
11
12
12
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
Diagram alir penelitian
Hasil pengendapan pelumas dengan H2SO4
Hasil adsorpsi dengan bentonit (a), zeolit (b) dan silika (c)
Contoh perhitungan indeks kekentalan (ASTM D 2270)
Perhitungan bilangan asam total (ASTM 974–04 2004
Perhitungan kadar abu (ASTM D 482–01 2001) dan kadar residu karbon
(ASTM D 189–01 2001)
Spektrum FTIR pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan
kembali
16
17
17
18
21
22
23
1
PENDAHULUAN
Pelumas digunakan dalam perawatan mesin kendaraan bermotor, kendaraan
diesel, mesin industri, mesin kapal, dan sebagainya untuk mengurangi gesekan
sehingga meningkatkan efisiensi dan mengurangi keausan mesin. Fungsi lain
pelumas ialah mendinginkan mesin dari kalor yang timbul akibat gesekan. Pada
mesin automotif, pelumas juga berfungsi sebagai detergen untuk melarutkan
pengotor hasil pembakaran.
Kebutuhan pelumas setiap tahun terus meningkat, terutama pada bidang
automotif dan industri. Pemakaian pelumas di bidang automotif berdasarkan data
statistik pada tahun 2001 ialah 112 218 ton dan terus meningkat setiap tahunnya
hingga pada tahun 2007 mencapai 151 954 ton. Hal serupa terjadi di sektor
industri, pemakaian pelumas di tahun 2001 sebesar 94 107 ton dan tahun 2007
mencapai 151 954 ton. Kebutuhan pelumas yang terus meningkat ini
menimbulkan masalah ketersediaan minyak pelumas di Indonesia. Peningkatan
produksi pelumas untuk kebutuhan dalam bidang automotif sebesar 2 300
L/tahun. Di sisi lain, hampir 16 100 L/tahun konsumsi pelumas tahun 2001–2007
ialah untuk kebutuhan sektor automotif yang terus meningkat seiring terus
meningkatnya jumlah produksi automotif. Kebutuhan akan pelumas tersebut
antara lain dipenuhi melalui impor, selain dengan cara meningkatkan jumlah
produksi pelumas (BPS 2007).
Bahan baku pelumas sebagian besar masih diimpor. Impor pelumas
automotif meningkat setiap tahunnya, dan tahun 2007, telah mencapai 123 568
ton per tahun. Dengan meningkatnya jumlah pelumas automotif, akan dihasilkan
semakin banyak limbah pelumas bekas. Limbah ini perlu ditangani secara serius
karena termasuk limbah bahan beracun dan berbahaya (B3). Perolehan kembali
(recovery) bahan dasar pelumas dari limbah pelumas perlu dilakukan untuk
mengurangi dampak pencemaran tanah dan air. Selain itu, juga dapat mengurangi
kebergantungan pada impor bahan dasar pelumas.
Pelumas bekas pakai dapat berasal dari minyak mentah atau campuran dari
beberapa pelumas sintetik (pelumas mesin bekas, pelumas turbin, pelumas
kompresor, minyak transfer kalor) (Ladha et al. 2010). Pelumas bekas biasanya
telah banyak mengandung zat pencemar yang sebagian sulit untuk dipisahkan,
seperti jelaga, lumpur, air, garam, kotoran taklarut, residu bahan bakar, bahan
teroksidasi, dan residu aditif terlarut (Rolly 2009).
Salah satu upaya menjernihkan pelumas bekas adalah dengan memisahkan
zat-zat pengotor yang terkandung di dalamnya. Pengotor terbentuk sebagai hasil
perubahan kimia maupun fisika, seperti air hasil pembakaran bahan bakar, partikel
keausan logam, jelaga, serta hasil oksidasi pelumas (Pertamina 1998).
Adsorpsi merupakan perpindahan massa adsorbat dari fase gerak (fluida
pembawa adsorbat). Adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sifat
fisis dan kimia adsorben (luas permukaan, ukuran pori, dan komposisi kimia
molekul), sifat fisis dan kimia adsorbat (ukuran, kepolaran, dan komposisi kimia
molekul), konsentrasi adsorbat dalam fase cair, keadaan fase cair (pH dan suhu),
serta kondisi kerja adsorpsi (Rahmawati 2006). Adsorben harus selektif, berpori
(mempunyai luas permukaan per satuan massa yang besar), dan mempunyai daya
ikat yang kuat terhadap zat yang hendak dipisahkan secara fisis ataupun kimia.
Luas permukaan yang besar dapat diperoleh dengan cara memperkecil ukuran
2
partikel, tetapi tidak boleh terlalu kecil agar tidak ikut terbawa dalam aliran fluida
(Lianna et al. 2012). Salah satu jenis adsorben yang dapat digunakan untuk
mengadsorpsi pengotor dalam pelumas bekas adalah bentonit. Bentonit banyak
terdapat di alam. Sebelum digunakan sebagai adsorben, bentonit diaktivasi
terlebih dulu untuk meningkatkan daya jerapnya (Hilyati dan Widihastono 1991).
Dalam penelitian ini, perolehan kembali bahan dasar pelumas dilakukan
dengan cara adsorpsi dari limbah pelumas mesin. Konsumsi pelumas mesin lebih
tinggi daripada pelumas nonmesin. Sebagai ilustrasi, kebutuhan pelumas mesin
mobil sekitar 42 L setiap kali pengisian, dan harus diganti setiap 250 jam.
Sementara itu, kebutuhan pelumas non-mesin 102 L, tetapi dapat digunakan
hingga 1 000 jam bahkan lebih. Kebutuhan pelumas mesin lebih banyak karena
pelumas tersebut lebih sering diganti (Carrey dan Haijen 2001).
Dalam penelitian sebelumnya, penjernihan pelumas bekas dengan metode
adsorpsi menggunakan adsorben batu bara, karbon aktif, silika, dan alkil
benzenasulfonat (ABS). Produk olahan yang dihasilkan mendekati bahan dasar
pelumas dengan proses adsorpsi menggunakan adsorben batu bara dan kombinasi
ABS murni-zeolit sebagai media penjernih (Lianna et al. 2012). Selain itu,
penjernihan pelumas juga pernah dilakukan dengan H2SO4 dikombinasikan
dengan penggunaan tanah lempung, distilasi, dan filtrasi (Joseph 2010)
METODE
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup pemanfaatan pelumas bekas untuk
mendapatkan bahan dasar pelumas. Mutu bahan dasar pelumas ditentukan melalui
beberapa pengujian, meliputi kekentalan, kadar logam, titik tuang, kadar abu,
bilangan asam total, kadar residu karbon, warna, kadar air, dan spektrum
inframerah transformasi Fourier (FTIR).
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tabung kaca untuk
titik tuang, pelat pemanas, syringe, viskometer Ostwald, plasma gandeng induktif
(ICP) Horiba, spektrofotometer FTIR Thermo Fischer Scientific, Karl Fisher
Mitsubishi, kolorimeter Lovibond, cawan porselen, cawan besi, segitiga porselen,
tutup cerobong (hood), insulator, tanur, dan peralatan kaca.
Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah pelumas mesin bekas yang
berasal dari mesin alat berat dengan merek Pertamina jenis mineral, H2SO4 p.a, es
kering, kerosen, toluena teknis, isopropil alkohol teknis, HCl p.a, indikator
fenolftalein, indikator p-naftolbenzena, KOH 0.1 N, heksana teknis, serta beberapa
jenis adsorben seperti bentonit 100 mesh, zeolit 100 mesh, dan silika.
3
Penyiapan Sampel Limbah Pelumas
Sampel pelumas bekas yang digunakan memiliki kekentalan SAE (Society
of Automotive Engineers) 15W–40. Sebanyak 200 mL sampel dimasukkan ke
dalam gelas piala kemudian diaduk dengan kecepatan 100 rpm. dan ditambahkan
40 mL H2SO4 p.a. Campuran terus diaduk selama 3 jam hingga diperoleh larutan
yang homogen, lalu didiamkan selama 48 jam hingga terbentuk 2 lapisan. Lapisan
atas dipisahkan dengan menggunakan corong pisah untuk proses penjernihan
selanjutnya (Joseph 2010).
Pemulihan Bahan Dasar Pelumas dengan Metode Adsorpsi
Pengotor pada pelumas bekas dihilangkan dengan menggunakan zeolit,
bentonit, dan silika. Zeolit dan bentonit diaktivasi menggunakan HCl 1 N dengan
nisbah zeolit/bentonit dan HCl 1:1. Aktivasi dilakukan dengan cara direfluks
selama 2 jam kemudian campuran dicuci dengan akuades hingga padatan
adsorben bebas asam (Daniel et al. 2012). Silika diaktivasi dengan cara dikemas
di dalam kolom, lalu dielusi menggunakan pelarut heksana.
Perlakuan dengan Metode Adsorpsi
Seratus mL pelumas bekas yang sudah dihilangkan pengotornya dengan
H2SO4 dipanaskan sambil diaduk hingga mencapai suhu >120 ᴏC. Zeolit/bentonit
yang telah diaktivasi dimasukkan ke dalam pelumas bekas panas tersebut. Suhu
dijaga tetap konstan dalam keadaan teraduk selama 3 jam, kemudian campuran
didiamkan selama 24 jam. Ke dalam silika yang sudah dikemas di dalam kolom
dimasukkan sampel pelumas bekas sebanyak 100 mL, lalu dielusi dengan
heksana. Bahan dasar pelumas yang diperoleh ditentukan tingkat kejernihannya
secara visual dan yang memiliki tingkat kejernihan tertinggi dicirikan lebih lanjut.
Pencirian Limbah Pelumas dan Bahan Dasar Pelumas
Uji Kekentalan (ASTM D 445-09)
Sejumlah sampel dimasukkan ke dalam tabung kekentalan kinematik
kemudian direndam pada bejana berisi silikon yang sudah dikondisikan suhunya
pada 100 ᴏC. Laju alir diukur sebagai waktu alir mulai dari meniskus atas hingga
meniskus bawah. Kekentalan kinematik diukur dengan waktu alir minimum 200
detik. Nilai kekentalan diperoleh dari hasil kali laju alir dengan faktor tabung
viskometer. Pengukuran juga dilakukan pada suhu 40 ᴏC. Hasil pengukuran pada
kedua suhu tersebut digunakan untuk mendapatkan nilai indeks kekentalan (VI).
Uji Kadar Logam (ASTM D 5185-09)
Dalam uji ini, sampel diencerkan menjadi 11 kali lipatnya dengan pelarut
kerosen, salah satu pelarut yang cocok untuk pelumas. Sebanyak 0.3 mL bahan
dasar pelumas dilarutkan dalam 3 mL kerosen. Standar disiapkan dengan cara
yang sama. Conostan merupakan standar uji logam yang digunakan. Keausan
logam dan logam aditif ditentukan dengan menggunakan ICP Horiba.
4
Uji Titik Tuang (ASTM D 97-05)
Sampel dituang ke dalam tabung uji hingga batas meniskus. Tabung ditutup
dengan gabus yang dilengkapi termometer, lalu dimasukkan ke dalam alat ukur.
Tabung uji diselubungi kain agar uap dingin dari es kering tidak keluar, perubahan
yang terjadi kemudian diamati. Titik tuang ialah suhu tertinggi saat minyak sudah
tidak dapat dituang lagi, ditandai dengan cairan sampel yang tidak bergerak dalam
5 detik setelah dituang. Titik tuang sebenarnya ditentukan dengan menambahkan
3 ᴏC pada titik tuang pengamatan ini (T = T0 + 3 °C).
Spektroskopi FTIR (ASTM E 2412-04)
Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer FTIR
Thermo Fischer Scientific dan perangkat lunak Integra, dengan metode baseline,
yaitu membandingkan spektrum pelumas baru (standar) dengan sampel. Sejumlah
data yang diperlukan dimasukkan, kemudian pengukuran dimulai dengan
sejumlah sampel dituangkan ke dalam media kristal ZnSe dan selanjutnya dibaca
oleh perangkat lunak, menghasilkan nilai jelaga, oksidasi, nitrasi, dan sulfasi.
Uji Kadar Abu (ASTM D 482-03)
Sampel dituang ke dalam cawan porselen yang sebelumnya telah
dipanaskan pada suhu 775 ± 25 °C sedikitnya 10 menit, didinginkan dalam
desikator tanpa bahan pengering (dessicant) hingga suhu kamar, dan ditimbang
hingga ketelitian 0.1 mg. Cawan dan sampel dipanaskan dengan hati-hati hingga
sampel terbakar dengan nyala yang merata. Setelah pembakaran berhenti,
pemanasan dilanjutkan secara hati-hati hingga tidak menimbulkan asap dan buih.
Cawan lalu dipanaskan di dalam tanur pada suhu 775 ± 25 ºC hingga oksidasi
karbon selesai atau hampir selesai. Setelah didinginkan di dalam desikator hingga
suhu kamar, cawan ditimbang kembali beserta isinya.
Uji Nilai Asam Total (ASTM D 974-04)
Standardisasi Larutan KOH. Sebanyak 0.2 g kalium hidrogenftalat (KHP)
yang telah dikeringkan selama ±1 jam pada suhu 110 ± 1 ºC ditimbang dan
dilarutkan ke dalam 40 ± 1 mL air bebas-CO2. Larutan baku primer ini dititrasi
dengan larutan KOH dalam alkohol sampai berwarna merah muda permanen
(menggunakan indikator fenolftalein). Titrasi blangko dilakukan pada 40 mL air
bebas-CO2 yang digunakan.
Wp
= bobot KHP
204.23 = bobot molekul KHP
Va
= volume titran untuk menitrasi KHP (mL)
Vb
= volume titran untuk menitrasi blangko (mL)
Penentuan Bilangan Asam Total. Sampel ditimbang ke dalam labu
erlenmeyer 250 mL, lalu dilarutkan dengan 100 mL campuran toluena-isopropil
5
alkohol (1:1). Selanjutnya, ke dalam campuran ditambahkan 0.5 mL larutan
indikator p-naftolbenzena dan terus dikocok sampai semua sampel larut.
Campuran lalu dititrasi dengan KOH 0.1 N hingga diperoleh titik akhir berwarna
hijau. Perhitungan bilangan asam total sebagai berikut:
A
B
N
W
= larutan KOH untuk menitrasi sampel (mL)
= larutan KOH untuk menitrasi blangko (mL)
= normalitas KOH
= bobot sampel (g)
Uji Kadar Residu Karbon (ASTM D 189-01)
Bobot kosong cawan kering dan bersih ditimbang, kemudian sampel
pelumas ditimbang sebanyak 5 g ke dalam sebuah tabung bertutup dan dibakar di
atas pembakar selama 10 menit. Cawan berisi sampel yang sudah dibakar lalu
dimasukkan ke dalam tanur. Setelah sampel menjadi abu, cawan didinginkan ke
suhu 25 ᴏC di dalam desikator dan ditimbang untuk memperoleh bobot abu.
Uji Warna Pelumas (ASTM D 1500-04a)
Tabung uji ditempatkan pada rumah tabung yang telah diisi air
suling paling sedikit sampai kedalaman 50 mm. Sampel dimasukkan ke dalam
tabung sampai tanda batas kemudian tabung dimasukkan ke dalam kompartemen
kolorimeter. Sumber cahaya pada kolorimeter dihidupkan, kemudian warna
sampel dibandingkan dengan warna standar. Nilai warna standar yang sama
dengan warna sampel dicatat.
Uji Kadar Air Metode Karl Fischer (ASTM D 6304-04a)
Prinsip pengukuran ialah perubahan potensial elektrode Pt yang dicelupkan
ke dalam larutan analisis pada saat pereaksi ditambahkan dengan titrator
potensiometri. Titik akhir tercapai bila beda potensial mencapai 250 mV. Sampel
dimasukkan ke dalam syringe sebanyak 1 mL kemudian ditimbang dan
dimasukkan ke dalam alat Karl Fischer. Data hasil penimbangan bobot syringe
kosong dengan bobot syringe berisi sampel dimasukkan pada alat. Kadar air akan
terbaca secara langsung oleh software.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penghilangan Pengotor dengan Asam
Sebelum dilakukan adsorpsi, zat aditif dan pengotor yang terlarut dalam
sampel pelumas bekas diendapkan dengan menggunakan H2SO4 p.a (Lampiran 1).
Logam-logam pengotor di dalam pelumas bekas dapat berasal dari dalam mesin
6
karena pengikisan logam mesin, atau dari zat aditif pelumas itu sendiri.
Kandungan logam pada zat aditif pelumas di antaranya adalah Zn, Ca, dan Mg.
Logam Ca dan Mg banyak ditemukan dalam aditif detergen, sedangkan logam Zn
berasal dari aditif antioksidan, antikorosi, antiwear, extreme pressure, dan
jumlahnya harus mencukupi agar pelumas dapat digunakan pada waktu tertentu
(Fajar dan Yubaidah 2007). Warna hitam pelumas disebabkan oleh pemanasan
saat mesin beroperasi dan sisa karbon hasil pembakaran bahan bakar. Pada proses
pengendapan, asam kuat akan mengompleks logam-logam terlarut. Logam dan
pengotor lain akan mengendap bersama dengan sisa karbon, dibuktikan dengan
terbentuknya 2 lapisan (Lampiran 2).
Lapisan atas (pelumas) sudah terbebas dari logam dan pengotor lain, namun
warnanya masih tampak hitam. Kekentalannya sudah jauh lebih rendah, yaitu
11.42 cSt pada suhu 100 ºC dan 75.58 cSt pada suhu 40 ºC, dibandingkan dengan
sebelum perlakuan asam, yaitu 13.16 cSt pada suhu 100 ºC dan 96.77 cSt pada
suhu 40 ºC. Kekentalan yang rendah tersebut akan mempermudah proses adsorpsi
selanjutnya.
Adsorben Potensial
Silika merupakan adsorben pertama yang diujikan. Minyak pelumas bekas
dialirkan melalui silika yang dikemas dalam kolom dengan menggunakan aseton
sebagai fase gerak. Silika didapati tidak cukup efektif menjerap pengotor pada
pelumas bekas. Warna pelumas bekas masih sama sebelum dan sesudah perlakuan
(Lampiran 3). Proses adsorpsi diawali dengan mengencerkan sampel dalam
pelarut heksana agar lebih mudah terjerap. Akan tetapi, hal ini tidak cukup
membantu penjerapan pengotor dari dalam sampel.
Adsorben kedua yang diujikan ialah zeolit, salah satu adsorben yang
memiliki kapasitas adsorpsi sangat baik karena memiliki pori-pori berukuran
molekul sehingga mampu menyaring atau memisahkan molekul (molecular
sieving) (Yoga dan Henry 2007). Zeolit diaktivasi dengan cara direfluks dalam
H2SO4 p.a untuk membuka pori-pori zeolit. Dengan nisbah zeolit terhadap sampel
sebesar 1:1, yaitu 200 mL sampel pelumas bekas dicampur dengan 200 g zeolit,
zeolit juga didapati tidak cukup baik untuk menjerap pengotor dan menjernihkan
pelumas bekas. Pelumas hasil adsorpsi tetap berwarna kehitaman (Lampiran 3).
Adsorben ketiga yang digunakan, yaitu bentonit mempunyai struktur
berlapis dengan kemampuan mengembang (swelling) dan memiliki kation-kation
yang dapat ditukarkan (Katti dan Katti 2001). Meskipun lempung bentonit sangat
berguna untuk adsorpsi, tetapi kemampuan adsorpsinya terbatas. Aktivasi dengan
menggunakan asam (HCl, H2SO4, dan HNO3) sehingga menghasilkan bentonit
dengan kemampuan adsorpsi yang jauh lebih tinggi (Kumar dan Jasra 1995).
Dalam penelitian ini, bentonit diaktivasi menggunakan HCl 1 N dengan metode
refluks. Metode refluks akan menjaga konsentrasi asam tetap konstan. Pemekatan
konsentrasi dapat merusak struktur bentonit. Adsorben bentonit menghasilkan
tingkat kejernihan tertinggi dibandingkan dengan silika dan zeolit. Warna pelumas
hasil adsorpsi tampak kekuningan (Lampiran 3). Nisbah antara bentonit dan
pelumas bekas juga 1:1, yaitu 200 mL sampel:200 g bentonit. Persen perolehan
kembali yang didapatkan adalah 25%. Hasil tersebut dikumpulkan dan dianalisis
7
sifat fisis seperti tingkat kejernihan dengan uji warna, indeks kekentalan, dan titik
tuang.
Sifat Fisis Pelumas dan Bahan Dasar Pelumas
Dalam kendali mutu pelumas, analisis warna merupakan indikator awal
tingkat kemurnian bahan. Warna pelumas diamati dan dibandingkan dengan
standar warna yang ada. Apabila warna berada di luar standar spesifikasi pelumas
tersebut, maka pelumas mungkin telah tercampur dengan bahan lain (Naibaho
2008). Bahan dasar pelumas hasil adsorpsi dengan bentonit menunjukkan tingkat
warna 1.0, jauh lebih jernih jika dibandingkan dengan produk pelumas high
viscosity index (HVI) yang digunakan sebagai pembanding (Tabel 1).
Tabel 1 Sifat fisis pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan
kembali
Kekentalan (cSt)
VI
Titik Tuang
Jenis
Warna
ᴏ
ᴏ
40 C
100 C
(ᴏC)
Pelumas bekas
> 8.0
96.77
13.16
134
-24
Bahan dasar pelumas
hasil perolehan
1.0
75.58
11.42
143
-12
kembali
Standar Bahan Dasar Pelumas
HVI 650
4.0
557.5
33.77
96
-9
HVI 95
Maks 2.0 56.45
7.36
99
-9
HVI 160S
Maks 3.0 118.10
11.52
96
-9
HVI 60
Maks 1.5 27.72
4.85
106
-12
Sampel pelumas bekas yang digunakan memiliki kekentalan pada 100 ᴏC
sebesar 13.16 cSt (Lampiran 4). Jika dikategorikan berdasarkan ketentuan SAE
J300 (100 ᴏC min 5.6 cSt), maka pelumas bekas tersebut termasuk kategori SAE
15W. Bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali memiliki kekentalan pada 100
ᴏC lebih rendah, yaitu 11.42 cSt. Jika mengacu pada SAE J300 (100 ᴏC min 9.3
cSt, maks 12.5 cSt), maka termasuk dalam kategori SAE 30 (API 2004).
Suhu 100 ᴏC merupakan suhu operasional mesin. Jika pelumas terlalu kental
pada suhu tersebut, maka mesin akan bekerja lebih berat sehingga memerlukan
energi dan bahan bakar yang lebih banyak (Fajar dan Yubaidah 2007). Kekentalan
juga diukur pada suhu 40 ᴏC yang merupakan suhu terendah saat kondisi pelumas
paling stabil. Nilai kekentalan pada kedua suhu tersebut digunakan untuk
memperoleh nilai indeks kekentalan (VI). Bahan dasar pelumas hasil perolehan
kembali memiliki nilai VI sebesar 143 (Lampiran 1). Nilai ini telah sesuai dengan
nilai VI pelumas sintetik yang berkisar 130–150 (Fajar dan Yubaidah 2007).
Pelumas dengan nilai VI > 80 dikatakan memiliki indeks kekentalan tinggi
(HVI) (Sudrajat et al. 2007). Bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali
memiliki VI yang lebih tinggi dibandingkan dengan minimum beberapa pelumas
HVI yang diberikan pada Tabel 1. Pembanding tersebut merupakan jenis-jenis
bahan dasar pelumas yang digunakan dalam campuran pembuatan produk
pelumas yang diujikan. Sampel pelumas mesin yang digunakan bermerek
8
Meditran SX 15W–40 yang berdasarkan Lembaga Pengawasan Minyak dan Gas,
mengandung campuran dari HVI 95, HVI 60, HVI 650, dan HVI 160S.
Kekentalan zat cair biasanya akan menurun bila terjadi kenaikan suhu.
Pelumas yang baik adalah yang memiliki nilai VI tinggi (Sudrajat et al. 2007)
karena nilai VI menunjukkan kemampuan pelumas mempertahankan kekentalannya terhadap perubahan suhu (Harjono 2001). Hal ini menunjukkan bahwa bahan
dasar pelumas hasil perolehan kembali memiliki kestabilan kekentalan yang
tinggi. Namun, Tabel 1 menunjukkan kekentalan yang lebih rendah pada suhu 100
ᴏC dibandingkan dengan pada suhu 40 ᴏC. Penambahan aditif diperlukan untuk
meningkatkan kinerja bahan dasar pelumas tersebut dalam jangka waktu tertentu.
Analisis sifat fisis selanjutnya ialah pengukuran nilai titik tuang (pour
point). Titik tuang diperoleh setelah pelumas benar-benar membeku. Titik beku
merupakan batas suhu terendah dalam ᴏC pada saat pelumas membeku (tidak
dapat mengalir). Titik beku dikurangi 3 poin merupakan titik tuang, yaitu suhu
tertinggi dalam ᴏC pada saat pelumas mulai mengalir dari keadaan beku. Pada
kondisi tersebut masih terdapat aditif pelumas jenis pour point dispersant yang
dapat membantu mempertahankan mutu pelumas terhadap penurunan suhu di
bawah kondisi normal. Tujuan uji ini adalah menentukan batas maksimum titik
tuang minyak pelumas, dengan asumsi bahwa jumlah aditif pour point dispersant
yang digunakan sudah sesuai dengan baku mutu minyak pelumas yang
disyaratkan (Sardjito 2006).
Berdasarkan nilai titik tuang, pelumas bekas dapat dikategorikan dalam
SAE 30 (maks. -18 ᴏC) atau SAE 40 (maks. -15 ᴏC). Sementara berdasarkan nilai
kekentalan dan titik tuang, kategori yang sesuai ialah SAE 30 yang memiliki nilai
titik tuang lebih rendah. Semakin rendah nilai titik tuang, semakin luas wilayah
aplikasi pelumas (dapat diaplikasikan di daerah tropis maupun di daerah beriklim
dingin) (Fajar dan Yubaidah 2007).
Setelah pelumas bekas mengalami perlakuan untuk diperoleh kembali bahan
dasar pelumasnya, nilai titik tuang meningkat secara signifikan ke -12 ᴏC. Hal ini
menunjukkan bahwa di dalam bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali sudah
tidak lagi terdapat aditif pour point dispersant. Akibatnya pelumas lebih mudah
membeku. Juga berbeda dengan nilai VI, bahan dasar pelumas tidak mampu untuk
secara optimum tetap dalam bentuk cair, kecuali dibantu dengan aditif.
Mengacu pada penggolongan mutu bahan dasar pelumas (Tabel 2), bahan
dasar pelumas hasil perolehan kembali digolongkan dalam kategori III,
berdasarkan nilai VI 143 dan titik tuang -12 ᴏC. Golongan ketiga ini jauh lebih
unggul karena mengandung senyawa hidrokarbon jenuh di atas 90% dan sulfur di
bawah 0.03%, serta nilai VI minimum 120 (Pertamina 1998).
Tabel 2 Penggolongan mutu bahan dasar pelumas
Titik Tuang
Indeks
Kandungan Senyawa
Kategori
Kekentalan
Sulfur
Jenuh
(ᴏC)
I
80–120
> 0.03
< 90
-5 sampai 15
II
81–120
≤ 0.03
≤ 90
-10 sampai -20
III
≥120
≤ 0.03
≤ 90
-10 sampai -25
IV PAO
135-140
≤ 0.03
-53
V Poliester
140
≤ 0.03
-21
Sumber: API (2004)
9
Sifat Kimia Pelumas dan Bahan Dasar Pelumas
Bilangan Asam Total
Bilangan asam total atau total acid number (TAN) adalah jumlah basa,
dinyatakan dalam mg KOH/g sampel, yang diperlukan untuk menitrasi sampel
dalam pelarut sampai titik ekuivalen, yaitu terbentuk warna hijau/hijau
kecokelatan dengan menggunakan larutan indikator p-naftolbenzena (ASTM D
974-04). Minyak pelumas bekas dapat mengandung asam atau basa yang berasal
dari aditif atau sebagai hasil degradasi selama pemakaian. Asam organik yang
terdapat di dalam pelumas meliputi vernis/resin. Jenis asam tersebut tidak mudah
bereaksi dengan aditif dan dapat meningkatkan kekentalan pelumas. Bilangan
asam total yang tinggi dapat membentuk lapisan kental, yang menurunkan
efisiensi aliran pompa dan meningkatkan risiko korosi mesin terutama apabila
terdapat cemaran air.
Hasil penelitian menunjukkan TAN pelumas bekas sebesar 1.82 mg KOH/g
sampel pelumas (Lampiran 5). Kandungan asam aktif dalam sampel pelumas
bekas ini dapat menyebabkan korosi. Namun, setelah perlakuan TAN jauh
menurun menjadi 0.02 mg KOH/g sampel. Hasil ini menunjukkan bahwa bahan
dasar pelumas hasil perolehan kembali telah memenuhi spesifikasi teknis
parameter tingkat keasaman untuk pelumas HVI, yaitu rerata 0.05 mg KOH/g.
Kadar Abu
Analisis kadar abu mengukur jumlah sisa abu ketika minyak dibakar sampai
habis. Abu dapat berasal dari minyak bumi sendiri atau akibat proses korosi dalam
sistem penyimpanan atau penimbunan (adanya partikel logam yang tidak bisa
terbakar) (ASTM D 482-03). Pelumas bekas memiliki kadar abu tertinggi, yaitu
1.27% (Lampiran 6). Setelah diberi perlakuan, abu tidak dapat terdeteksi sehingga
dapat dikatakan telah bersih dari cemaran.
Kadar Residu Karbon
Analisis kadar residu karbon atau conradson carbon residue (CCR) adalah
pemeriksaan karbon/arang pada minyak solar dan minyak diesel yang mungkin
terbentuk selama proses pembakaran dan dapat menyebabkan kerak arang pada
penginjeksi mesin diesel (ASTM D 189-01). Pelumas bekas memiliki kadar residu
karbon tertinggi. Setelah proses adsorpsi dengan menggunakan bentonit, residu
karbon dalam pelumas hanya tersisa 0.06%. Nilai ini jauh lebih kecil
dibandingkan dengan bahan dasar pelumas lainnya yang digunakan sebagai acuan,
yaitu 0.1–1%. Residu karbon di dalam mesin disebabkan oleh terbentuknya asam
di dalam pelumas sebagai hasil oksidasi. Bahan bakar yang berasal dari minyak
bumi akan mengandung wax/lilin dan juga sulfur sehingga uji kadar residu perlu
dilakukan.
Kadar Air
Kadar air adalah salah satu parameter terpenting dalam penentuan mutu
pelumas karena bila terlalu besar, dapat memicu korosi. Kandungan air yang
sangat berlebih juga dapat menggantikan atau mengurangi ketebalan lapisan
pelumas di dalam mesin (ASTM D 6304-04a). Kadar air bahan dasar pelumas
hasil perolehan kembali masih berada dalam batas normal, yaitu 106 ppm.
10
Pelumas HVI dianjurkan memiliki kadar air tidak lebih dari 150 ppm.
Berdasarkan nilai bilangan asam total, kadar abu, kadar residu karbon, dan kadar
air, dapat disimpulkan bahwa bahan dasar pelumas yang diperoleh telah bermutu
baik (Tabel 3).
Tabel 3 Sifat kimia pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan
kembali
Bilangan
Kadar Residu
Kadar Abu
Kadar Air
Asam Total
Karbon
Jenis
(mg KOH/g)
(%)
(%)
(ppm)
Pelumas bekas
1.82
1.27
2.01
52 000
Bahan dasar
pelumas hasil
0.02
Ttd
0.06
106
perolehan
kembali
Standar Bahan Dasar Pelumas
HVI 650
maks 0.05
0.01
maks 1.0
maks 150
HVI 95
0.05
0.01
0.1
maks 150
HVI 160S
0.05
0.01
0.1
maks 150
HVI 60
0.05
0.01
0.1
maks 150
Keterangan: ttd = tidak terdeteksi
Kadar Logam
Bahan dasar pelumas pada dasarnya tidak berlogam, tetapi dalam proses
pembuatannya, ditambahkan aditif yang mengandung logam. Aditif berfungsi
meningkatkan sifat fisis bahan dasar pelumas, tetapi selama pemakaian,
aktivitasnya akan terus menurun. Jenis aditif yang sering digunakan dalam
pelumas adalah antioksidan, antikorosi, detergen, dan extreme pressure. Dalam
penelitian ini, logam aditif yang diukur meliputi Zn, Ca, dan Mg. Selain logam
aditif, di dalam pelumas bekas juga terdapat logam pencemar yang biasanya
bersumber dari keausan mesin atau proses oksidasi antara lain Mg, Ca, Zn, Na,
Cr, Fe, Ni, Pb, Cu, Sn, dan Al (Troyer dan Fitch 2001).
Kadar logam dalam pelumas bekas terutama logam aditif menunjukkan
penurunan setelah perlakuan adsorpsi dengan bentonit (Tabel 4). Penurunan kadar
logam pengotor rerata >80% (kecuali Mg) pada bahan dasar pelumas hasil
perolehan kembali. Sampel yang cukup kental menghambat proses adsorpsi maka
kekentalan diturunkan dengan memanaskan sampel hingga suhu 120 oC. Selama
proses pemanasan disertai dengan pengadukan, adsorpsi sampel menjadi lebih
optimum.
Logam Mg tidak cukup kuat dijerap oleh bentonit jika dibandingkan dengan
Ca dan Zn, menunjukkan bahwa bentonit bukan adsorben spesifik untuk logam
Mg. Diperlukan jenis adsorben lain untuk membantu menjerap logam tersebut.
Kandungan antioksidan dalam pelumas adalah 1000 ppm dan aditif detergen (Ca
dan Mg) sekitar 2000 ppm (Troyer dan Fitch 2001).
11
Tabel 4 Kadar logam pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan
kembali
Kadar Logam (ppm)
%
Parameter
Pelumas Bahan Dasar Pelumas Hasil Penurunan
Bekas
Perolehan
Magnesium (Mg)
178
127
28.65
Kalsium (Ca)
2336
343
85.32
Zink (Zn)
1368
168
87.72
Natrium (Na)
1
1
0
Kromium (Cr)
Ttd
ttd
ttd
Besi (Fe)
17
1
94.12
Nikel (Ni)
2
ttd
100
Timbel (Pb)
7
ttd
100
Tembaga (Cu)
4
ttd
100
Timah (Sn)
ttd
ttd
ttd
Aluminium (Al)
1
3
Keterangan: ttd = tidak terdeteksi
Kandungan logam Al dalam bahan dasar pelumas hasil perlakuan justru
meningkat. Komposisi bentonit terdiri atas (Mg,Ca)O∙Al2O3∙5SiO2∙nH2O.
Penambahan HCl ketika proses aktivasi bentonit diduga menyebabkan proses
dealuminasi. Konsentrasi HCl yang terlalu tinggi dapat melarutkan sebagian Al
(Hilyati dan Widihastono 1991). Uji warna dapat menunjukkan bahwa dengan
konsentrasi HCl yang semakin tinggi, semakin banyak logam yang terlarut: warna
merah yang terukur pada alat lovibond tintometer semakin tinggi (Fikri dan Reni
2010). Faktor lain yang dapat menyebabkan kadar Al meningkat adalah suhu
pemanasan yang terlalu tinggi. Al pada kisi struktur bentonit dapat terlepas dan
mengakibatkan sedikit kerusakan pada struktur bentonit (Hairil 2001).
Spektrum FTIR
Pelumas tersusun oleh bahan dasar pelumas dan aditif, masing-masing
mempunyai gugus fungsi khas yang dapat dideteksi dengan spektrofotometer FTIR.
Alat ini dapat digunakan untuk menentukan proses kimia yang cenderung
menurunkan mutu pelumas (Setiyono 2006). Setiap pelumas memiliki spektrum
FTIR yang khas dan spektrum tersebut dapat dijadikan sebagai sidik jari atau
identitas keasliannya. Lampiran 7 menampilkan spektrum pelumas bekas dan bahan
dasar pelumas hasil perolehan kembali. Tabel 5 memuat analisis gugus fungsi yang
ditemukan serta sumbernya.
Material yang terdapat dalam minyak pelumas baru antara lain mengandung
parafin, naftalena, lilin, aspal, karbon, lumpur, pelarut aromatik dan non-aromatik,
logam, garam, senyawa yang mengandung silikon untuk antibuih, dan bahan
tambahan (aditif) (Sanusi 2006). Degradasi dan kontaminasi adalah salah satu
faktor penyebab menurunnya mutu minyak pelumas. Pelumas yang telah
kehilangan kemampuannya untuk melumasi atau melindungi komponen-komponen
mesin dari keausan akan memunculkan serapan kuat pada kisaran bilangan
gelombang untuk parameter jelaga, oksidasi, sulfasi dan nitrasi (Tabel 6).
12
Tabel 5 Analisis gugus fungsi dalam spektrum FTIR pelumas bekas dan bahan
dasar pelumas hasil perolehan kembali
Bilangan Gelombang
Gugus
Bahan Dasar
Keterangan
Pelumas
Pelumas
Fungsi
Pelumas Hasil
Bekas
Pustaka*
Perolehan
–OH
3648.1
3648
Antioksidan
aromatik
Bahan dasar pelumas
2916.93
2918.86
2000–3000
–CH3
(mineral dan PAO)
1704.52
1704–1773 C=O amida
Dispersan
C=C
1605.75
1600–1700
Mineral
aromatik
1303.74
1230–1366 C–N amina
Detergen
1229.96
1230–1366 C–N amina
Detergen
S=O
1168.86
1158–1169
Detergen
sulfonat
C–H
Antioksidan dan
974.83
978–654
aromatik
Antiwear
*Sumber: Fajar dan Yubaidah (2007)
Tabel 6 Kondisi pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali
berdasarkan spektrum FTIR
Bahan Dasar Pelumas
Bilangan
Pelumas Bekas
Hasil Perolehan
Parameter
-1
Gelombang (cm )
(Abs/0.1 mm)
(Abs/0.1 mm)
Jelaga
2000
0.15
ttd
Oksidasi
1800–1670
0.03
ttd
Nitrasi
1650–1600
0.03
ttd
Sulfasi
1180–1120
0.07
ttd
Air
3500–3150
ttd
ttd
Anti Keausan
1025–960
ttd
ttd
Sumber: ASTM D 2412-04 (2004)
Jelaga menyebabkan pelumas menjadi berwarna hitam, dan terbentuk oleh
proses pembakaran selama pelumasan di dalam mesin. Jelaga dicirikan oleh
serapan FTIR pada bilangan gelombang 2000 cm-1 (ASTM E 2412-04). Semakin
lama pelumas terpakai melumasi mesin, jelaga akan semakin banyak dihasilkan
sehingga pelumas bekas tampak sangat hitam. Jelaga yang terbentuk terlihat pada
pelumas bekas mencapai 0.015 Abs/0.1 mm. Bentonit menjerap jelaga tersebut
sehingga warna pelumas kembali ke kondisi awal.
Tingkat oksidasi pelumas bekas juga dapat dilihat dari spektrum FTIR,
diperoleh nilai oksidasi sebesar 0.03 Abs/0.1 mm. Oksidasi pelumas terjadi karena
reaksi dengan oksigen dari udara. Hasil oksidasi umumnya berupa senyawa yang
mengandung gugus karbonil (C=O), misalnya keton, asam karboksilat, dan
aldehida (Rolly 2009). Oksidasi merupakan reaksi utama yang akan mengubah
sifat pelumas (Rizvi 1992).
13
Kadar nitrasi pelumas bekas terukur sebesar 0.03 Abs/0.1 mm. Reaksi
nitrasi memasukkan gugus nitro pada suatu senyawa dan memunculkan serapan
pada bilangan gelombang 1800–1670 cm-1 (ASTM E 2412-04). Selain itu, terukur
kadar sulfasi pada pelumas bekas sebesar 0.07 Abs/0.1 mm. Oksida sulfur
terbentuk ketika bahan bakar yang mengandung sulfur terbakar dan bereaksi
dengan air hingga terbentuk asam sulfat. Asam tersebut sangat berbahaya karena
bersifat korosif. Gugus sulfat dapat terbaca pada bilangan gelombang 1180–1120
cm-1 (ASTM E 2412-04).
Perlakuan awal berupa penambahan H2SO4 pekat menghilangkan beberapa
aditif pelumas. Hal itu menimbulkan perubahan yang jelas pada spektrum FTIR.
Daerah sidik jari spektrum pelumas bekas memperlihatkan serapan di 1168.86 cm1
(gugus fungsi sulfonat) dan 1229.96 cm-1 (gugus C–N amina) yang terdapat
dalam aditif detergen. Serapan pada bilangan gelombang 1704.52 cm-1 berasal
dari gugus C–N amina yang dimiliki oleh aditif dispersan. Jenis aditif lain
terdeteksi pada daerah sidik jari, yaitu di bilangan gelombang 974.83 cm-1 (gugus
C–H aromatik) ialah antioksidan dan antiwear. Aditif jenis antioksidan juga
terdeteksi pada 3648.1 cm-1 (gugus –OH aromatik).
Sampel bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali mengandung gugus
C=C aromatik (bilangan gelombang 1605.75 cm-1) yang merupakan ciri khas
pelumas mineral, salah satu jenis penyusun bahan dasar pelumas. Masih terdapat
aditif detergen yang ditunjukkan dengan serapan pada bilangan gelombang
1303.74 cm-1 (gugus C–N amina), tetapi beberapa jenis aditif yang lain telah
hilang dengan penambahan asam dan proses adsorpsi menggunakan bentonit
(Tabel 5).
Berbagai jenis bahan dasar pelumas khususnya yang sintetik tidak dapat
dibedakan dengan pelumas mineral. Spektrum FTIR sampel pelumas bekas
maupun hasil perlakuan tidak menunjukkan puncak pada bilangan gelombang
1600 cm-1, yang menunjukkan gugus aromatik sebagai ciri khas pelumas mineral.
Hal ini mendukung nilai VI yang diperoleh yang menunjukkan bahwa bahan dasar
pelumas hasil perlakuan merupakan pelumas sintetik.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Bahan dasar pelumas dapat diperoleh kembali dari limbah pelumas dengan
metode adsorpsi. Persen perolehan kembali 25% dari 200 mL sampel dengan
perlakuan asam dan adsorpsi menggunakan bentonit. Berdasarkan kriteria API,
bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali termasuk golongan 3, dengan nilai
VI yang tinggi sebesar 143 dan nilai titik tuang terendah di suhu -12 oC.
Kandungan logam mampu diturunkan rata-rata lebih dari 80%, kecuali logam Mg.
Nilai bilangan asam total, kadar abu, kadar residu karbon, dan kadar air semuanya
bernilai rendah. Analisis spektrum FTIR menunjukkan bahan dasar pelumas yang
diperoleh telah terbebas dari jelaga, oksidasi, sulfasi, dan nitrasi. Bahan dasar
pelumas tersebut dapat dikategorikan sebagai pelumas sintetik berdasarkan nilai
VI dan sidik jari spektrum FTIR.
14
Saran
Untuk mendapatkan bahan dasar pelumas dari pelumas bekas dengan
perolehan kembali yang lebih baik dan memenuhi spesifikasi baku teknisnya,
perlu diujikan penggunaan campuran berbagai adsorben lain.
DAFTAR PUSTAKA
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004. ASTM E 2412-04,
Condition monitoring of used lubricants by trend analysis using Fourier
transform infrared (FTIR) spectrometry. West Conshohocken (US): ASTM
International.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004. ASTM D 2270-04,
Calculation viscosity index from kinematic viscosity at 40 ᴏC and 100 ᴏC.
West Conshohocken (US): ASTM International.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004. ASTM D 1500-04a,
Color of petroleum products (ASTM color scale). West Conshohocken
(US): ASTM International.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2001. ASTM D 189-01,
Conradson carbon residue of petroleum products. West Conshohocken
(US): ASTM International.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2003. ASTM D 482-03,
Ash from petroleum products. West Conshohocken (US): ASTM
International.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004. ASTM D 974-04,
Acid and base number by color-indicator titration. West Conshohocken
(US): ASTM International.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2009. ASTM D 445-09,
Standard test method for kinematic viscosity of transparent and opaque
liquids and calculation of dynamic viscosity. West Conshohocken (US):
ASTM International.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004. ASTM D 6304-04a,
Determination of water in petroleum products, lubricating oils, and additives
by coulometric Karl Fischer titration. West Conshohocken (US): ASTM
International.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2005. ASTM D 97-05,
Pour point of petroleum products. West Conshohocken (US): ASTM
International.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2009. ASTM D 5185-09,
Determination of the particle size of powdered activated carbon by
inductively couple plasma (ICP). West Conshohocken (US): ASTM
International.
[API] American Petroleum Institute. 2004. Spesification 5L Forth. Spesification
for line pipe Ed ke-2. Washington (US): API.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Tingkat Konsumsi Minyak Pelumas untuk
Sektor Industri dan Otomotif. Jakarta (ID): BPS.
15
Bath DS, Jenal MS, Turmuzi L. 2012. Penggunaan tanah bentonit sebagai
adsorben logam Cu. J Tek Kim. 1(1):1-12.
Fajar R, Yubaidah S. 2007. Penentuan kualitas pelumas mesin. J Lub Sci Tech.
1(9): 8-15.
Fikri ME, Reni K. 2010. Regenerasi bentonit bekas secara kimia fisika dengan
aktivator asam klorida dan pemanasan pada proses pemucatan CPO
[skripsi]. Lampung (ID): Universitas Lampung.
Harjono H. 2001. Teknologi Minyak Bumi. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ
Pr.
Hairil P. 2001. Pemanfaatan zeolit lampung yang diaktivasi dengan NaOH
sebagai adsorben uap pada kondensasi uap industri karet remah (crumb
rubber) [skripsi]. Lampung (ID): Universitas Lampung.
Hilyati, Widihastono B. 1991. Adsorpsi zat warna tekstil pada zeolit alam dari
Bayah. J Kim Terapan Indones. 1(2):47-53.
Joseph U. 2010. A comparative study of recycling of used lubrication oils using
distillation, acid and activated charcoal with clay methods. J Petroleum &
Gas Eng. 2(2):12-19.
Katti K, Katti D. 2001. Effect of Clay-Water Interactions on Swelling in
Montmorillonite Clay. Fargo (US): North Dakota State University.
Kumar P, Jasra RV. 1995. Evolution of porosity and surface acidity in
montmorillonite clay on acid activation, Chem Res. 34:1440-1448.
Ladha S, Molyneux P, Wang JX, Wang KR, Buckley JS. 2010. Evaluasi
pengelolaan limbah pelumas sebagai limbah B3 [makalah]. Bandung (ID):
Institut Teknologi Bandung.
Lianna J, Yunia K, Haerry S. 2012. Penjernihan minyak pelumas bekas dengan
metode adsorpsi suatu usaha pemanfaatan kembali minyak pelumas bekas
sebagai base oil. J Teknol Kim & Industri Univ Diponegoro. 1(1):252-257.
Naibaho ABF. 2008. Pengaruh kekentalan dan tekanan terhadap jumlah persen
volume fraksi bensin [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara.
Pertamina. 1998. Pelumas dan Pelumasan. Cilacap (ID): Pertamina.
Rahmawati E. 2006. Adsorpsi senyawa residu klorin pada karbon aktif
termodifikasi zink klorida [skripsi]. Bogor (ID): Intstitut Pertanian Bogor
Rizvi SQA. 1992. Lubricant Additive and Their Function. Di dalam: Robinson
NB, editor. ASM Handbook Friction, Lubrication, and Wear Technology.
Maryland (US): ASM International.
Rolly F. 2009. Pelumas Menurut Bahan Dasar dan Aditif. Jakarta (ID): Gramedia.
Sardjito. 2006. Panduan Tentang Pelumas dan Pelumasan Edisi Pertama. Jakarta
(ID): Petrolab Services.
Sanusi W. 2006. Bahan Dasar Pelumas dan Formulasi Pelumas. Ed ke-1. Jakarta
(ID): Buletin MASPI.
Setiyono. 2006. Potensi limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di wilayah
DKI Jakarta dan strategi pengelolaannya. J Teknol Lingk. 3(1):1-20.
Sudrajat R, Ariatmi R, Setiawan D. 2007. Pengolahan minyak jarak pagar menjadi
epoksi sebagai bahan dasar pelumas. J Petroleum & Gas Eng. 3: 1-22.
Troyer D, Fitch J. 2001. Oil Analysis Basic. Ed ke-2. Texas (US): Noria
Corporation.
Yoga P, Henry TP. 2007. Coal fly ash conversion to zeolite for removal of
chromium and nickel from wastewaters. J Environ Tech.3:1–5.
16
Lampiran 1 Diagram alir penelitian
Aktivasi Bentonit
Bentonit
Ditambahkan HCl 1 N (1:1)
Direfluks selama 2 jam.
Disaring dan dicuci dengan akuades.
Dikeringkan
Bentonit Aktif
Metode Kerja
Pelumas Bekas
Ditambahkan 40 mL H2SO4 p.a
Lapisan atas dipisahkan lalu dipanaskan suhu
120 oC
Ditambahkan bentonit.
Pelumas:Bentonit Teraktivasi
(1:1)
Diaduk selama 3 jam kemudian didiamkan
selama 24 jam, lalu disaring
17
Lampiran 2 Hasil pengendapan pelumas dengan H2SO4
Lampiran 3 Hasil adsorpsi dengan bentonit (a), zeolit (b) dan silika (c)
(a)
(b)
(c)
18
Lampiran 4 Contoh perhitungan indeks kekentalan (ASTM D 2270)
Sampel
Suhu (ᴏC) Faktor Tabung (C) Waktu (det)
40
0.2376
407.28
Pelumas
bekas
100
0.0376
349.91
Bahan dasar
40
0.2337
323.4
pelumas hasil
100
0.0353
323.72
perolehan
V (cSt)
96.77
13.16
75.58
VI
134
143
11.42
Contoh perhitungan kekentalan:
Kode viskometer Ostwald 1786/150
V = kekentalan kinematik (mm2/det atau cSt)
C = tetapan dari viskometer yang dikalibrasi
t = waktu alir rerata
maka nilai kekentalan
Perhitungan Nilai VI
Kekentalan pada 100 ᴏC = 13.16 cSt
Kekentalan pada 40 ᴏC = 96.77 cSt
Nilai L
Kekentalan kinematik pada 100oC = 13.16 pada tabel terletak di antara 13.10 dan
13.20
13.10 nilai L = 235.0
13.20 nilai L = 238.1
Nilai H
Kekentalan kinematik pada 100 oC = 13.16 pada tabel terletak di antara 13.10 dan
13.20
13.10 nilai H = 122.9
19
lanjutan Lampiran 4
13.20 nilai H = 124.2
Mencari Nilai N
U = nilai kekentalan pada 40 oC
Y = nilai kekentalan pada 100 ᴏC
Nilai VI
20
lanjutan Lampiran 4
Nilai L dan H pada 100 ᴏC (ASTM D 2270)
21
Lampiran 5 Perhitungan bilangan asam total (ASTM 974–04 2004
Standardisasi larutan KOH
Bobot KHP (kalium hidrogenftalat) = 0.2015 g
Volume Blangko
= 0.05 mL
Volume KHP
= 10.96 mL
Va
Vb
Wp
= Larutan KOH yang diperlukan untuk titrasi sampel (mL)
= Larutan KOH yang diperlukan untuk titrasi blangko (mL)
= Bobot sampel (g)
Bilangan Asam Total
Sampel
Pelumas bekas
Bahan dasar pelumas hasil
perolehan
Contoh perhitungan
Bobot sampel
(g)
10.1213
12.6543
Volume (mL)
Blangko Sampel
(B)
(A)
0.1
3.75
0.1
0.25
TAN
(mg KOH/g)
1.82
0.06
22
Lampiran 6 Perhitungan kadar abu (ASTM D 482-01 2001) dan kadar residu
karbon (ASTM D 189-01 2001)
Bobot (g)
Kadar Abu
Sampel
(%)
Cawan Kering Sampel Cawan + Abu
Pelumas bekas
Bahan dasar
pelumas hasil
perolehan
38.6190
5.0753
38.6837
1.27
38.1881
5.2481
38.1881
0
Contoh perhitungan :
Bobot (g)
Sampel
Cawan Kering
Pelumas Bekas
Bahan dasar
pelumas hasil
perolehan
Contoh perhitungan
sampel Cawan + Abu
Kadar Residu
karbon
(%)
27.1281
5.0372
27.2295
2.01
26.9291
5.1645
26.9320
0.06
23
Lampiran 7 Spektrum FTIR pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil
perolehan kembali
24
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Halim, Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta pada
tanggal 1 November 1987 dari Ayah Sardjuni dan Ibu Warsiyem. Penulis
merupakan putri kedua dari 2 bersaudara, dengan kakak lelaki bernama Adhi
Surya Perdana.
Tahun 2005, penulis lulus dari SMA PLUS YPHB Bogor. Pada tahun yang
sama penulis masuk Program Diploma 3 Analisis Kimia, Institut Pertanian Bogor
(IPB) dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2010, penulis diterima di Program
Alih Jenis Departemen Kimia, Fakultas MIPA, IPB.
Tahun 2008 sampai sekarang, penulis bekerja di PT Petrolab Services yang
bergerak di bidang analisis Lubricant dan Environment.