Development of Suitability Criteria and Hydrological Conditions Impact Assessment of Channel Reservoir in Upper Ciliwung Watershed

i

PENYUSUNAN KRITERIA KESESUAIAN DAN KAJIAN
DAMPAK PENGEMBANGAN DAM PARIT TERHADAP
KONDISI HIDROLOGIS DAS CILIWUNG HULU

SAWIYO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penyusunan Kriteria Kesesuaian
dan Kajian Dampak Pengembangan Dam Parit terhadap Kondisi Hidrologis DAS
Ciliwung Hulu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Pebruari 2013

Sawiyo
NIM P052100271

iv

RINGKASAN
Penyusunan Kriteria Kesesuaian dan Kajian Dampak Pengembangan Dam Parit
terhadap Kondisi Hidrologis DAS Ciliwung Hulu. Dibimbing oleh M. YANUAR
J. PURWANTO dan BUDI KARTIWA.
Channel reservoir is constructed to store and distribute water to the irrigated
Dam parit dibangun untuk menahan, menampung hujan dan aliran permukaan
kemudian mendistribusikannya ke areal target. Penelitian ini bertujuan untuk: a)
melakukan karakterisasi kualitas parameter model pengembangan dam parit, b)
menyusun desain kriteria kesesuaian posisi dan dimensi pengembangan dam parit

secara individu dalam kawasan DAS mikro, c) melakukan analisis hidrologi untuk
penentuan kapasitas tampung, jumlah dan sebaran dam parit skala DAS, dan d)
melakukan analisis dampak pengembangan dam parit terhadap aspek hidrologi,
produktivitas lahan dan pendapatan petani.
Secara geologi Sub DAS Cibogo didominasi oleh batuan volkan hasil erupsi
G. Gede-Pangrango. Secara fisiografi daerah penelitian termasuk dalam volkan
berlapis, dengan bentuk wilayah dominan adalah berbukit memanjang.
Penggunaan lahan terdiri dari sawah, pemukiman, kebun campuran, lahan kering,
kebun teh, semak, hutan pinus dan hutan campuran. Tanahnya diklasifikasikan ke
dalam grup tanah Udhorthents, Hapludands, Eutrudepts, Dystrudepts, and
Flufaquents. Secara hidrologi sub DAS Cibogo mempunyai jaringan sungai
sampai orde 3, dengan pola drainase sejajar terdiri dari 4 cabang sungai yaitu
Cibogo, Cipanggulaan, Cisuren dan Cihanjawar. Dari ke 4 cabang sungai tersebut
telah dibangun 30 unit dam parit dengan penyebaran 10 unit di anak sungai
Cibogo, 1 unit di Cipanggulaan, 7 units di Cisuren dan 12 units di anak sungai
Cihanjawar.
Kesesuaian posisi dan dimensi dam parit individual disusun berdasarkan
proses paduserasi (matching) antara kualitas/ karakteristik dengan kriteria
parameter penentunya. Posisi dam parit ditentukan oleh 6 parameter yaitu: a)
ketersediaan air, b) stabilitas bangunan, c) aksesibilitas, d) distribusi air, e)

pemanfaatan air, dan f) kondisi sosial masyarakat. Sementara dimensi dam parit
ditentukan oleh 3 parameter yaitu: a) penampang sungai, b) dimensi saluran
irigasi, dan c) luas areal target. Untuk mempermudah proses evaluasi tingkat
kesesuaian posisi, dimensi dan menentukan jenis faktor penghambatnya, dibangun
perangkat lunak DSS yang diberi nama Expert System for The Position and
Dimensions Suitability of The Individual Channel Reservoir Development
(ESPADS-ICRD). Dampak pengembangan dam parit individual di DAS mikro
dapat menurunkan volume debit pucak antara 13,2% - 48,5%, meningkatkan
produktivitas lahan dari IP 1,5 – 2,0 menjadi 3,0 dan petani memperoleh
keuntungan Rp 16,9 juta/ha/tahun.
Dalam Skala DAS Ciliwung Hulu, pada debit periode ulang 50 tahunan
diketahui bahwa hujan yang dipanen adalah 68 mm, setara dengan debit 23,4
m3/dt dengan volume total 10.591.593 m3, diperlukan bangunan dam parit + 663
unit yang penyebaran pada jalur sungai orde 2, 3, dan 4.
Kata kunci: banjir, kekeringan, dam parit, model kesesuaian, Ciliwung, kriteria
parameter, Cibogo, DAS Ciliwung Hulu.

v

SUMMARY

SAWIYO. Development of Suitability Criteria and Hydrological Conditions
Impact Assessment of Channel Reservoir in Upper Ciliwung Watershed. Under
direction of M.YANUAR J. PURWANTO AND BUDI KARTIWA.
Channel reservoir is constructed to store and distribute water to the irrigated
target area. The objectives were: a) characterize the parameters quality of the
channel reservoir development, b) created design criteria for the suitability of the
position and dimensions of individual channel reservoir in micro catchment, c)
hydrological analysis for the determination of the channel reservoir capacities,
quantity and distribution in watershed area, and d) to analysis the impacts of the
channel reservoir development to the hydrology condition, land productivity and
farmer’s income.
Geologically the Cibogo sub watershed is dominated by volcanic rocks as
the results of eruption of Gede-Pangrango Mountains. Physiographically the study
area is classified into plated volcanic systems while the elongated hills is the
dominant topography. The land use consist of: rice fields, settlements, mixed
farms, tea gardens, dry land, scrub, pine forest and mixed forest. The soil is
classified into Udhorthents, Hapludands, Eutrudepts, Dystrudepts, and
Flufaquents. Soil Groups. Hydrologically Cibogo sub watershed has a network of
rivers to upto 3th order, with a parallel drainage pattern, consists of four branches.
The position and dimensions of individual channel reservoir have been

prepared on the synchronization (matching) among quality/ characteristic
parameters with the criteria for determining parameters. The position of channel
reservoir is determined by 6 parameters: a) water availability, b) construction
stability, c) accessibility, d) water distribution, e) water utilization, and 6) social
condition. While the dimension is determined by: a) river cross-section,
dimension of irrigation channel and irrigation target area. To simplify the process
of evaluation the level of suitability and limiting factors in determining the
position and dimensions DSS soft ware was developed. The soft ware is named
“Expert System for the Position and Dimensions Suitability of the Individual
Channel Reservoir Development (ESPADS-ICRD)”.
Base on field investigation found that individual channel reservoir its
influence to reducing the peaks discharge volume which between 13.2% - 48.5%,
increase the land productivity from 1.5 to 2.0 to 3.0 of cropping index, and
increasing the farmers income as much as 16.9 million rupiahs/ha/year. Base on
historical 50 years record data of rainfall and Ciliwung river discharge’s, there are
+ 68 mm rain fall its equivalent to 23.4 m3 discharge with total volume
10,591,593 m3 of water must be harvested by channel reservoir construction. Its
volume can be satisfied by constructing of + 663 units channel reservoirs which
are spread on the second, third and fourth rivers order of upper Ciliwung
watershed.


Keyword: flood, drought, channel reservoir, model suitability, criteria parameter,
cibogo micro catchment, upper ciliwung watershed.

vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

vii

PENYUSUNAN KRITERIA KESESUAIAN DAN KAJIAN
DAMPAK PENGEMBANGAN DAM PARIT TERHADAP

KONDISI HIDROLOGIS DAS CILIWUNG HULU

SAWIYO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

viii

Penguji luar komisi
Pada Ujian Tesis : Jumat 14 Desember 2012, pukul 14.00 WIB
Dr. Ir. Widiatmaka, DAA


ix
Judul Tesis

:

Nama
NIM

:
:

Penyusunan Kriteria Kesesuaian dan Kajian Dampak
Pengembangan Dam Parit terhadap Kondisi Hidrologis DAS
Ciliwung Hulu
Sawiyo
P052100271

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr. Ir. M Yanuar Jarwadi Poerwanto, MS
Ketua

Dr. Ir. Budi Kartiwa, CESA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc

Tanggal Ujian: 14 Desember 2012


Tanggal Lulus:

107

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 5 Desember 1957. Penulis
merupakan anak ke 5 dari pasangan Bapak Kadisana (Almarhum) dan Ibu Sireng
Sawikem.
Penulis menyelesaikan pendidikan SD hingga SMP di Kebumen, SPMA di
Purworejo lulus tahun 1975, kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi
Ilmu Pertanian (STIP) Al- Gazali Ujung Pandang Lulus 1991. Pada tahun 2010
penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan di Program Pascasajana
IPB. Program studi yang diambil adalah Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan. Penulis mendapatkan kesempatan mengikuti beberapa on job
training diantaranya Training Pemetaan Tanah yang diselenggarakan oleh Institut
Pendidikan dan Latihan Pertanian, Departemen Pertanian tahun 1979-1980 dan
training lanjutannya yang diselenggarakan oleh instansi yang sama pada tahun
1983.
Bidang pekerjaan yang pernah ditekuni penulis adalah sebagai PNS di
Lembaga Penelitian Tanah (LPT) Bogor tahun 1976-1980. Ditugaskan oleh

lembaga ini untuk bekerja di Stasiun Penelitian Tanah Maros, Sulawesi Selatan
tahun 1981-1995. Tahun 1995-2000 penulis dipindahkan untuk bekerja sebagai
peneliti di Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslitanak) di Bogor. Sejak
tahun 2000 sampai sekarang penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian
Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat) di Bogor.

x

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT atas segala karunia
dan hidayahNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012
yaitu: adaptasi perubahan iklim dan perubahan kondisi kualitas lingkungan serta
antisipasi bahaya banjir dan kekeringan dengan penerapan teknik pengembangan
dam parit. Penelitian ini diberi judul Penyusunan Kriteria Kesesuaian dan Kajian
Dampak Pengembangan Dam Parit terhadap Kondisi Hidrologis DAS Ciliwung
Hulu.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto,
MS dan Bapak Dr. Ir. Budi Kartiwa, CESA selaku pembimbing, serta Bapak Dr.
Ir. Widiatmaka, DAA selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan
masukan dan saran. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc selaku
Ketua dan Sekretaris dan Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan (PSL) beserta staf yang telah banyak memberikan informasi dan
layanan terbaik.
Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir.
Haryono, MSc selaku Kepala Badan Litbang Pertanian, Bapak Dr. Ir. Muhrizal
Sarwani, MSc selaku Kepala Balai Besar Sumberdaya Lahan dan Dr. Ir. Haris
Syahbudin, DEA selaku Kepala Balai Penelitan Agroklimat dan Hidrologi atas
kesempatan dan dorongan untuk melaksanakan kegiatan belajar yang diberikan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibunda tercinta (Sireng Sawikem),
istri tercinta (Setyaningsih), ananda tercinta (Septi Kaolina Prihatini, SP., Benita
Dwi Anggraeni, A.Md, Marisa Tri Puspitasari dan Muhammad Arief Priambodo),
menantu tercinta Aris Dwi Saputra, SE, dan seluruh keluarga atas doa dan
dukungannya. Ucapan terima kasih tidak lupa penulis sampaikan kepada Sdr.
Budi Rahayu, Sdr. Setyono Hari Adi, S.Kom, MSc dan rekan-rekan staf Balai
Penelitian Agroklimat dan Hidrologi lainnya atas segala bantuan teknis dan non
teknis, rekan-rekan mahasiswa PS-PSL IPB angkatan tahun 2010/2011 atas segala
kerjasama dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Pebruari 2013

Sawiyo

xi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii
1.
PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
Latar Belakang ............................................................................................... 1
Kerangka Pemikiran ....................................................................................... 3
Perumusan Masalah ....................................................................................... 4
Tujuan Penelitian ........................................................................................... 6
Manfaat .......................................................................................................... 6
Hipotesis......................................................................................................... 6
2.
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 6
Perubahan iklim ............................................................................................. 6
Banjir dan kekeringan .................................................................................... 8
Sistem Panen Hujan dan Aliran Permukaan .................................................. 1
DAS Ciliwung Hulu ..................................................................................... 13
Klasifikasi Kemampuan Lahan .................................................................... 14
Genie Rural a 4 Parametres Journalier (GR4J) ............................................ 16
Intergrated Flood Analysis System (IFAS) .................................................. 18
3.
METODE PENELITIAN ............................................................................. 23
Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................... 23
Bahan dan Peralatan ..................................................................................... 24
Metode Penelitian......................................................................................... 25
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 35
Karakterisasi Daerah Penelitian ................................................................... 35
Penyusunan Kriteria Model Kesesuaian Pengembangan Dam Parit............ 64
Analisis Dampak Pengembangan Dam Parit ............................................... 85
5.
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 101
Kesimpulan ................................................................................................ 101
Saran........................................................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 102
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. 107

xii

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.

Data morfometrik DAS Ciliwung Hulu
Legenda peta fisiografi/ landform Sub DAS Cibogo
Legenda peta bentuk wilayah DAS Cibogo
Legenda peta penggunaan lahan sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu
Legenda peta satuan lahan Sub DAS Cibogo
Legenda peta kemampuan lahan Sub DAS Cibogo
Data iklim rata-rata harian tahun 2000-2011, Stasiun Citeko
Data curah hujan dan evapotranspirasi Stasiun Citeko (2000-2011)
Morfometrik DAS dan jumlah dam parit di Sub DAS Cibogo
Komposisi penduduk Desa Sukagalih menurut kelompok umur tahun
2011
Penduduk Desa Sukagalih menurut tingkat pendidikan tahun 2011
Penduduk Desa Sukagalih menurut mata pencaharian tahun 2011
Kriteria parameter, kriteria sub parameter dan faktor penentu model
kesesuaian posisi pengembangan Dam Parit Individual
Klasifikasi faktor penentu sub parameter luas daerah tangkapan air
(ka1) dalam parameter ketersediaan air
Klasifikasi kriteria kesesuaian sub parameter luas DTA (ka1) dalam
parameter ketersediaan air
Kriteria kesesuaian sub parameter ordo sungai (ka2) dalam parameter
ketersediaan air
Kriteria kesesuaian sub parameter debit aliran (ka3) dalam parameter
ketersediaan air
Kriterian kesesuaian sub parameter jenis batuan di dasar sungai (sb1)
dalam parameter stabilitas bangunan dam parit
Kriteria kesesuaian sub parameter ketebalan sedimen (sb2) dalam
parameter stabilitas bangunan
Proses penentuan kesesuaian kriteria sub parameter kemudahan
jangkauan (ab1) dalam parameter aksesibilitas
Kriteria kesesuaian sub parameter ketersediaan bahan bangunan (ab2)
dalam parameter aksebilitas
Kriteria kesesuaian sub parameter kemiringan tebing (da2) dalam
parameter distribusi air
Kriteria kesesuaian sub parameter efisiensi penyaluran irigasi (da3)
dalam parameter distribusi air berdasarkan kombinasi faktor penentu
Kriteria penentu model kesesuaian kapasitas tampung Dam Parit
Individual.
Kriteria kesesuaian parameter luas areal target irigasi
Data debit harian maksimum Sungai Ciliwung tahun 1990-2008
Debit maksimum Sungai Ciliwung berkaitan dengan jumlah tahun
periode ulang dianalisis menggunakan metode Gumbel
Hubungan curah hujan dan debit pada dam parit bertingkat di DAS
mikro Cihanjawar.
Hubungan curah hujan dan debit pada dam parit CH 5
Hubungan curah hujan dan debit dam parit CH 6 tanggal 29 April 2012
Curah hujan, debit sungai dan debit saluran CH 8 tanggal 3 April 2012

14
38
41
43
53
57
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
68
70
70
71
72
73
74
77
78
81
81
85
87
90
92

xiii

DAFTAR TABEL: LANJUTAN
32.
33.
34.
35.

Sebaran dam parit di Sub DAS Cibogo.
94
Perubahan pola tanam akibat pembangunan dam parit di daerah target
97
Pola dan luasan tanam pada areal target dam parit CH5, CH6 dan CH8
98
Hasil analisis finansial usahatani tiap komoditas pada lahan target dam
parit CH5
99
36. Analisis keuntungan (benefit) usahatani akibat penyediaan air di
wilayah target irigasi dam parit CH5
99
37. Cashflow usahatani di areal target irigasi dam parit
99
38. Kriteria kelayakan dari hasil analisis biaya dan manfaat dam parit
100

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

Kerangka pemikiran pengembangan dam parit untuk mengatasi
banjir dan kekeringan
Diagram perumusan masalah penyusunan kriteria Kesesuaian
pengembangan dam parit
Contoh jenis teknik panen hujan dan aliran permukaan
Deskripsi fisik model curah hujan - run off GR4J
Diagram model transformasi hujan-aliran permukaan GR4J
Gambaran umum model analisis distribusi Hidrologi IFAS
Struktur Utama IFAS
Model distribusi hidrologi IFAS PWRI versi 2
Fungsi rekayasa model IFAS
Hasil simulasi debit di Dam Sameura
Diagram alir analisis kesesuaian teknik panen hujan secara individu
Proses penilaian sub parameter kesesuaian posisi berdasarkan
interaksi antar faktor penentunya dengan bantuan DSS
Diagram alir proses penyusunan desain kriteria kesesuaian volume
pengembangan dam parit individual
Analisis penentuan volume panen hujan dan aliran permukaan
berdasarkan aplikasi model hidrologi
Ilustrasi simulasi hidrograf pada beberapa skenario distribusi lokasi
dan karakteristik dam parit menggunakan aplikasi model IFAS
Perbedaan karakteristik hidrograf sebelum dan sesudah implementasi
teknik panen hujan
Peta Geologi DAS Ciliwung Hulu.
Penampang vertikal lapisan batuan pada unit fisiografi kipas volkan
bawah, Sub DAS Cibogo.
Peta Fisiografi Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu.
Peta Bentuk Wilayah DAS Ciliwung Hulu
Peta Bentuk Wilayah Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu
Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu.
Penggunaan lahan sawah dan tegalan pada Sub DAS Cibogo

4
5
13
17
18
19
20
21
22
23
28
29
30
31
33
33
36
37
38
40
41
43
45

xiv

DAFTAR GAMBAR: LANJUTAN
24.
25a.
25b.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.

38.
39.
40a.
40b.
41.
42a.
42b.
43.
44a.
44b.
45.
46.
47.

Peta Tanah Tanah Semi Detail DAS Ciliwung Hulu
Profil Andosol Okrik (tertimbun/ buried soil) di Sub DAS Cibogo
Profil Andosol Okrik di Sub DAS Cibogo
Peta Satuan Lahan Sub DAS Cibogo
Peta Kemampuan Lahan Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu
Distribusi curah hujan (CH) dan evapotranspirasi potensial (Etp) ratarata bulanan tahun 2000-2012 Stasiun pengamat iklim Citeko, Bogor.
Ilustrasi konstruksi saluran di lahan berlereng.
Penampang sungai dan posisi pengembangan dam parit
Tampilan sistem ekspert penentuan kesesuaian posisi dan dimensi
pengembangan dam parit individual (ESPADS-ICRD)
Ilustrasi panjang sungai pada bentuk wilayah berbeda.
Kalibrasi model debit Ciliwung Hulu periode 2007
Simulasi penurunan debit sungai Ciliwung Hulu pada kejadi banjir
periode ulang 50 tahun melalui Implementasi Panen Hujan.
Simulasi debit DAS Ciliwung Hulu dengan aplikasi model IFAS.
Posisi 10 dam parit di DAS Ciliwung Hulu yang dianalisis.
Hasil simulasi debit DAS Ciliwung Hulu dengan Aplikasi model
IFAS setelah dibangun 10 dam parit dam parit di DAS Ciliwung
Hulu.
Hubungan hujan dan debit dam parit pada anak sungai Cihanjawar
Sub DAS Cibogo, tanggal 3 April 2012
Hubungan debit sungai dan saluran pada dam parit CH 5
Kurva lengkung debit sungai pada dam parit CH 5
Kurva lengkung debit saluran pada dam parit CH 5
Hubungan curah hujan dan debit pada dam parit CH6.
Kurva lengkung debit melimpas sungai pada dam parit CH 6
Kurva lengkung debit saluran pada dam parit CH 6
Hubungan curah hujan dan debit pada dam parit CH8
Kurva lengkung debit sungai dam parit CH 8
Kurva lengkung debit saluran pada dam parit CH 8
Peta jaringan sungai dan sebaran dam parit Sub DAS Cibogo
Hasil analisis ketersediaan air pada dam parit di DAS mikro
Cihanjawar
Hasil analisis ketersediaan air untuk dam parit CH5

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.

Peta Bentuk Wilayah, Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu
Kabupaten Bogor, Jawa Barat skala 1:12.000
Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu
Kabupaten Bogor, Jawa Barat skala 1:12.000
Peta Satuan Lahan Sub DAS Cibogo, DAS Ciliwung Hulu Kabupaten
Bogor, Jawa Barat skala 1:12.000

46
48
48
52
56
61
73
78
79
80
82
82
84
84

85
87
88
89
89
90
91
91
91
92
91
94
96
97

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan iklim menyebabkan musim hujan yang makin pendek dengan
intensitas hujan tinggi, sementara musim kemarau makin memanjang. Kondisi ini
diperparah oleh perubahan penggunaan lahan akibat tekanan penduduk
berdampak terhadap kejadian banjir dan kekeringan semakin tinggi baik
intensitas, waktu kejadian dan dampak yang ditimbulkannya (Irianto 2003).
Meningkatnya kejadian bencana alam tersebut merupakan salah satu indikator dari
pembangunan yang tidak berkelanjutan (Nugroho 2008). Banjir dan kekeringan
merupakan jenis bencana lingkungan hidrometeorologi yang paling sering terjadi
yang belum dapat dipecahkan secara menyeluruh, sehingga setiap upaya
mengatasi dampak bencana tersebut menjadi dimensi yang penting dari
pembangunan berkelanjutan (FAO and CIFOR 2005).
Banjir di DAS Ciliwung makin sering terjadi dan intensitasnya makin tinggi
menandakan kerusakan DAS ini semakin luas dan makin parah. Sejarah mencatat
bahwa bencana banjir besar yang pernah terjadi di Jakarta adalah pada tahun
1621, 1654, 1918, 1942, 1976, 1996, 2002, dan 2007 (Nugroho 2008). Pada
periode sebelum tahun 1970-an, penyebab utama banjir hanya berupa faktor alam
yaitu intensitas hujan tinggi yang terjadi dalam waktu yang lama. Sesudah periode
tersebut penyebab banjir menjadi semakin kompleks, bukan hanya faktor alam,
tetapi faktor sosial ekonomi dan budaya serta akibat yang ditimbulkannya juga
berbeda (Irianto 2004). Sejarah mencatat bahwa kejadian banjir di wilayah hilir
DAS Ciliwung (Jakarta) terjadi pada tahun 1996 dan 2002 menyebabkan
genangan yang cukup luas, merugikan jiwa, harta benda dan kenyamanan hidup,
serta hilangnya waktu produktif masyarakat (Gunawan 2010). Kejadian banjir
yang terjadi pada tahun 2007 mempunyai intensitas lebih tinggi, sehingga
menimbulkan dampak genangan yang lebih luas serta lebih banyak memakan
korban jiwa. Sedikitnya 80 orang dinyatakan tewas selama 10 hari karena terseret
arus, tersengat listrik, atau sakit. Warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang
selama periode 3-7 Februari 2007. Kerugian material akibat matinya perputaran
bisnis diperkirakan 4,3 triliun rupiah. Secara umum penurunan ketersediaan air
dilaporkan terjadi pada mata air, aliran sungai dan waduk, sehingga sungai dan
waduk tidak berfungsi dengan baik. Kekeringan menyebabkan air yang
dibutuhkan sehari-hari menjadi langka keberadaannya. Bagi sektor pertanian yang
memerlukan air dalam jumlah banyak persatuan waktu dan luas, maka kekeringan
agronomis berdampak terhadap produktivitas dan luas usahatani (Heryani dan
Sutrisno 2005). Berbagai aspek dan permasalahan yang berkaitan dengan air, baik
secara kuantitas maupun kualitasnya sangat ditentukan oleh baik atau buruknya
sistem pengelolaan dan pengaturan daerah peresapan/penampungan sumberdaya
air, baik di bagian hulu, tengah maupun di bagian hilir DAS (Irianto 2004).
Pengaturan dan pengelolaan peruntukan serta penggunaan lahan di bagian hulu,
yang berfungsi untuk meresapkan, menahan dan menampung air secara vegetatif
maupun teknik sipil baik di lahan maupun di jalur aliran menjadi sangat penting.
Pengelolaan air di jalur aliran diutamakan untuk menahan, menampung air di jalur
sungai dan mendistribusikan kembali ke lahan. Pengelolaan air seperti ini sangat

2
efektif karena dapat mengembalikan air yang hilang melalui jalur sungai ke lahan
sehingga dapat dimanfaatkan untuk keperluan irigasi dan menambah cadangan air
tanah. Pengelolaan air di jalur sungai dimulai dari bagian DAS yang paling hulu
yaitu pada anak-anak sungai terkecil yaitu orde 1, 2, 3 dan 4 (Sawiyo 2010).
Teknik menahan, menampung, menyimpan air dan didistribusikan ke areal
target disebut teknik panen hujan. Teknik panen hujan efektif untuk mengurangi
volume banjir, kecepatan/laju aliran, dan memperbesar cadangan air tanah dalam
suatu DAS. Teknik ini pada intinya adalah suatu cara bagaimana menahan
sejumlah volume air hujan dan aliran permukaan dengan media buatan dan media
alam (pori tanah) di wilayah yang lebih tinggi (hulu) agar air tidak cepat hilang
terbuang ke wilayah hilir. Penerapan teknik panen hujan dan aliran permukaan
dapat merubah distribusi curah hujan dan aliran permukaan DAS menurut ruang
dan waktu (spatialy dan temporally) (Irianto et al. 2001 dan Sawiyo et al. 2007).
Sistem panen hujan dan aliran permukaan secara garis besar dapat dibedakan
menjadi dua cara yaitu cara vegetatif dan mekanis/teknik sipil. Teknik panen
hujan secara vegetatif dapat dilakukan di lahan melalui penghijauan dengan pohon
kayu, penanaman rumput pada daerah berlereng, tanam searah kontur dan
penanaman tanaman pertanian. Secara teknik sipil dapat diterapkan pada lahan
dan pada jalur aliran. Pada lahan, sistem panen hujan melalui teknis sipil dapat
dilakukan melalui pembuatan terasering, guludan, petak pertanaman, konstruksi
sawah, rorak, sumur resapan, kolam dan embung pertanian. Pada jalur aliran,
sistem panen hujan melalui teknis sipil dapat dilakukan antara lain melalui
pembuatan bendung, dam parit, bendung pengalihan, cek dam, dan lain-lain
(Sawiyo et al. 2008).
Dam parit merupakan salah satu alternatif teknik panen hujan secara
mekanis di jalur aliran. Prinsip pengembangan bangunan dam parit adalah dengan
membuat konstruksi bendung/dam di jalur anak sungai ordo 1, 2 ,3 atau 4 untuk
menahan, menampung hujan dan aliran permukaan dan mendistribusikan ke lahan
target. Volume tampungan dam parit relatif kecil (ratusan meter kubik), karena
hanya menggunakan tubuh jalur sungai saja. Untuk memperbesar volume
tampungan, dam parit dilengkapi saluran ke areal target, sehingga kapasitas
tampung menjadi meningkat (ribuan meter kubik) dan akan lebih besar lagi karena
dam parit dibuat secara bertingkat (cascade). Dengan makin besarnya kapasitas
tampung dam parit, maka dampak pengurangan volume aliran permukaan yang
dapat direduksi juga makin besar dan peningkatan cadangan air tanah juga makin
besar. Pada kenyataannya volume dam parit di jalur sungai telah penuh oleh debit
aliran sebelum terjadi debit puncak, sehingga pengurangan debit puncak sangat
bergantung dari pengurangan debit melalui saluran irigasi kemudian ditampung
pada petakan lahan di areal target (Sawiyo 2010).
Agar pengembangan dam parit dalam suatu jalur aliran mempunyai dampak
positif yang optimum maka perlu disusun suatu alat/pedoman sebagai acuan
dalam pengembangan dam parit baik secara individual maupun pengembangan
dam parit dalam skala DAS. Acuan pengembangan dam parit secara individu
dalam lingkup DAS Mikro yang diperlukan adalah “kriteria model penentuan
posisi dan kriteria model penentuan volume pengembangan dam parit”. Dalam
pengembangannya untuk skala DAS, kriteria-kriteria tersebut dapat digunakan
untuk mengkaji penentuan volume dan jumlah dam yang harus dibangun dan
sebarannya melalui proses analisis model hidrologi.

3
Tingkat efektifitas pengembangan dam parit perlu diuji melalui analisis
dampak terhadap kondisi hidrologi, yang meliputi tingkat pengurangan debit dan
peningkatan ketersediaan air untuk meningkatkan produktivitas lahan dan
peningkatan produksi. Secara ekonomi, pengembangan dam parit memerlukan
analisis finansial usahatani dan analisis kelayakan pembangunan dam parit
(Heryani dan Sutrisno 2005).
Dalam penelitian ini dipilih suatu DAS yang termasuk dalam skala prioritas
rehabilitasi hutan dan lahan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan reboisasi,
penghijauan, dan konservasi tanah dan air, baik vegetatif, agronomis, struktural,
maupun manajemen termasuk skala prioritas I (Kemenhut 2009). DAS Ciliwung
Hulu merupakan salah satu DAS Prioritas I. Di wilayah DAS Ciliwung telah
dibangun sejumlah 110 unit dam parit bertingkat selama periode 2006-2009 oleh
Balai Besar Pengelolaan Sungai Ciliwung Cisadane dan Balai Penelitian
Agroklimat dan Hidrologi. DAS ini mempunyai ketersediaan data iklim dan debit
yang panjang. Data iklim tersedia di Stasiun BMG, Citeko, Kecamatan Cisarua,
sedangkan data debit tersedia di stasiun pengamatan debit di Bendung Katulampa.
Selain itu tersedia pula acuan besaran debit/tinggi muka air yang telah dijadikan
sebagai suatu perangkat peringatan dini untuk wilayah hilir DAS Ciliwung.
Kerangka Pemikiran
Sebaran hujan DAS Ciliwung Hulu yang tinggi dengan curah hujan rata-rata
tahunan >3.000 mm terdistribusi secara tidak merata dengan bulan terbasah terjadi
hanya selama 1-2 bulan yaitu antara bulan Januari - Februari. Distribusi hujan
dalam bulan tersebut terjadi dalam beberapa hari, dan intensitas hujan pada saat
tersebut itu sangatlah tinggi. Selain itu perkembangan pembangunan kawasan
yang tidak didukung dengan pengembangan teknologi pengendalian banjir yang
memadai seperti penghijauan, sungai, kanal, pintu pengatur, bendung, situ dan
lain-lain menyebabkan kejadian banjir di DAS Ciliwung makin tinggi baik
intensitas maupun waktu kejadiannya.
Berdasarkan hasil pemantauan debit puncak Sungai Ciliwung di Katulampa,
Bogor, perubahan kenaikan aliran permukaan di Ciliwung Hulu menunjukkan
perubahan yang sangat signifikan terutama sejak tahun 1998. Sebelum tahun 1998
debit maksimum di Sungai Ciliwung di Katulampa masih berada di bawah 200
m3/dtk, akan tetapi setelah itu kondisinya terus menunjukkan kenaikan yang
sangat signifikan. Naiknya debit maksimum ternyata berdampak pada
menurunnya debit mata air pada musim kemarau yang disebabkan karena
berkurangnya wilayah resapan. Berdasarkan kajian BP DAS Ciliwung, Cisadane
tahun 2011, menunjukan bahwa kenaikan debit puncak setelah tahun 1998 lebih
banyak disebabkan oleh faktor kerusakan DAS, terutama perubahan tutupan lahan
dibandingkan oleh pengaruh kejadian hujan. Dengan demikian maka perlu suatu
usaha untuk melakukan konservasi air baik secara vegetatif, agronomis maupun
teknik sipil dari mulai hulu hingga ke hilir.
Menanggapi masalah kurangnya prasarana pengendali banjir maka
penelitian pengembangan teknik panen hujan perlu dilakukan. Jenis teknik panen
hujan yang dipilih dalam penelitian ini adalah dam parit. Dam parit merupakan
salah satu jenis teknik panen hujan secara teknik sipil yang dibangun di jalur

4
aliran sungai/anak sungai untuk menampung dan mendisribusikan air hujan dan
aliran permukaan ke lahan target yang umumnya terdapat di punggung bukit.
Dalam suatu jaringan sungai dam parit dapat dibangun pada cabang sungai/anak
sungai dengan orde 1, 2, 3, dan 4 yang posisinya berada di wilayah hulu. Dengan
pengembangan dam parit maka aliran permukaan yang mengalir pada jalur aliran
yang seharusnya terbuang ke hilir, ditampung dalam dam parit dan dialirkan
kembali ke punggung bukit melalui saluran irigasi untuk disimpan di dipermukaan
tanah melalui petak-petak lahan kemudian meresap ke dalam tanah (pori tanah)
melalui proses infiltrasi.
BANJIR DAN KEKERINGAN

Penyebab

Dampak

Anomali iklim

1. Run off meningkat
2 Cd Air tanah berkurang
3 Erosi & sedimentasi

1. Curah hujan tinggi

2. Kemarau panjang
Sosial Ekonomi
1 Alih fungsi lahan
2 Kerusakan jalur aliran

Banjir & kekeringan
meningkat

Evaluasi Dampak
Pengembangan Dam Parit

Antisipasi

Panen hujan dan
aliran permukaan
Dam parit

Model Pengembangan
Dam Parit
Dam Parit Individual
Skala DAS Mikro

Dam Parit
Skala DAS

2. Produktivitas lahan

1. Model Kesesuaian
Posisi

1. Analisis Penentuan
Volume

3. Ekonomi

2. Model Kesesuaian
Volume

2. Analisis Penentuan
Sebaran

1. Dampak Hidrologi

Gambar 1. Kerangka pemikiran pengembangan dam parit
untuk mengatasi banjir dan kekeringan
Dam parit dianggap efektif untuk mengurangi intensitas banjir dan
kekeringan dalam suatu DAS karena: a) dibangun hanya dengan memanfaatkan
luas badan parit atau anak sungai sehingga tidak mengurangi areal produktif, b)
dapat menampung volume air dalam jumlah relatif besar karena sebagian aliran
dialirkan melalui saluran irigasi dan dibangun berseri (cascade series), c) dapat
meningkatkan masuknya air ke dalam tanah melalui proses infiltrasi (recharging)
menjadi cadangan air tanah, memicu timbulnya mata air baru dan menstabilkan
debit aliran, d) meningkatkan daerah layanan irigasi secara proporsional yang
tersebar dari hulu sampai ke hilir suatu jalur aliran. Uraian tersebut yang menjadi
kerangka pemikiran dalam Penelitan ini yang secara lebih ringkas disajikan pada
Gambar 1.
Perumusan Masalah
Model Pengembangan dam parit individual dilakukan pada suatu jalur anak
sungai (DAS mikro). Sedangkan pengembangan dam parit secara terpadu
dilakukan di kawasan DAS. Masalah yang dihadapi selama ini adalah belum
adanya acuan kesesuaian pengembangan baik berupa pedoman penentuan lokasi

5
atau segmen sungai yang sesuai, penentuan berapa kapasitas tampung individu
dan dampak pengembangannya. Dalam skala DAS perlu dilakukan analisis untuk
menentukan berapa besar hujan yang harus dipanen dan berapa jumlah dam parit
yang harus dibangun serta bagaimana sebarannya untuk mengurangi intensitas
banjir sampai tingkat tertentu.
Model kesesuaian pengembangan dam parit secara individual yang
diperlukan adalah “model kesesuaian posisi” dan “model kesesuaian volume”
untuk pengembangan dam parit. Model kesesuaian posisi pengembangan dam
parit diperlukan sebagai acuan acuan pada titik/lokasi mana konstruksi dam parit
dan saluran irigasi sesuai untuk dibangun. Sedangkan model kesesuaian volume
diperlukan sebagai acuan untuk menentukan kapasitas tampung konstruksi dam
dan saluran irigasi yang akan dikembangkan. Untuk itu perlu dilakukan penentuan
jenis parameter/sub parameter yang mempengaruhinya. Parameter tersebut
meliputi faktor biofisik lingkungan, faktor iklim dan hidrologi dan faktor sosial
ekonomi masyarakat sekitarnya. Untuk menentukan tingkat kesesuaian setiap
parameter penentu maka disusunlah kriteria tingkat kesesuaian dari setiap
parameternya. Penentuan tingkat kesesuaian posisi dan kesesuaian volume pada
suatu titik ditentukan berdasarkan hasil paduserasi antara kualitas parameter dan
kriteria parameter penentunya.
Pengembangan dam parit secara terpadu dikawasan DAS meliputi
kesesuaian volume dan kesesuaian jumlah dam parit. Model pengembangan
volume dam parit terpadu didasarkan pada jumlah volume debit puncak yang akan
dipanen. Sedangkan jumlahnya ditentukan berdasarkan voleme debit panen yang
perlu dipanen dibagi dengan kapasitas tampung rata-rata dam parit individual.
Penentuan jenis parameter, identifikasi kualitas jenis parameter dan kriteria
parameter kesesuaian pengembangan dam parit perlu dirumuskan secara seksama
agar dapat diperoleh hasil sesuai dengan yang diharapkan. Perumusan masalah
penyusunan kriteria pengembangan dam parit disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram perumusan masalah penyusunan
Kesesuaian pengembangan dam parit

kriteria

6
Tujuan Penelitian





Berdasarkan pemasalahan tersebut maka penelitian bertujuan untuk:
Melakukan karakterisasi kualitas parameter model pengembangan dam parit
DAS Ciliwung Hulu.
Menyusun desain kriteria kesesuaian posisi dan dimensi pengembangan dam
parit secara individu dalam kawasan DAS mikro.
Melakukan analisis hidrologi untuk penentuan kapasitas tampung, jumlah dan
sebaran dam parit skala DAS.
Melakukan analisis dampak pengembangan dam parit terhadap aspek
hidrologi, produktivitas lahan dan aspek pendapatan petani.
Manfaat





Tersusunnya kriteria model kesesuaian pengembangan dam parit secara
individu yang meliputi kriteria model kesesuaian posisi dan kriteria model
kesesuaian volume dam parit.
Diketahuinya volume hujan/ hujan debit puncak yang harus dipanen untuk
mengurangi volume banjir DAS Ciliwung Hulu hingga level siaga 3 di
Bendung Katulampa.
Diketahuinya dampak pengembangan dam parit terhadap kondisi hidrologi,
peningkatan produktivitas lahan dan peningkatan pendapatan petani.
Hipotesis

Dam parit dapat mengurangi volume debit puncak dan kecepatan aliran,
meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Perubahan iklim
Pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya radiasi gelombang
panjang matahari (infra merah atau gelombang panas) yang dipancarkan oleh
bumi, sehingga tidak dapat lepas ke angkasa dan akibatnya suhu di atmosfer bumi
memanas. Kejadian pemanasan bumi tersebut sama dengan kondisi di dalam
rumah kaca yang memungkinkan sinar matahari untuk masuk tetapi energi panas
yang keluar sangat sedikit, sehingga suhu di dalam rumah kaca sangat tinggi.
Dengan demikian pemanasan global yang terjadi disebut juga Efek Rumah Kaca
dan gas yang menimbulkannya disebut Gas Rumah Kaca (GRK). Pemanasan
global menyebabkan terjadinya perubahan kondisi iklim yaitu terjadinya
peningkatan intensitas kejadian cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan
pola presipitasi yang berpengaruh terhadap banjir, kekeringan, dan penurunan
produksi pertanian. Meningkatnya suhu di atmosfer akan berpengaruh terhadap

7
kelembaban udara. Pada daerah-daerah beriklim tropis akan menjadi lebih lembab
karena lebih banyak air yang menguap dari lautan, sehingga meningkatkan curah
hujan rata-rata sekitar 1 % untuk setiap 1oC peningkatan pemanasan. Para ahli
telah memperkirakan perubahan curah hujan yang akan terjadi di Asia Tenggara,
bahwa presipitasi di Asia Tenggara akan meningkat 3,6% di tahun 2020-an dan
7,1% di tahun 2050 serta 11,3% di tahun 2080-an (Santoso dan Forner 2007).
Selanjutnya Santoso dan Forner (2007) menjelaskan bahwa iklim di
Indonesia dipengaruhi oleh iklim tropis, iklim laut dan iklim muson. Beriklim
panas (tropis) karena Indonesia berada di sekitar garis khatulistiwa, sehingga
otomatis akan mengalami iklim tropis yang bersifat panas dan hanya memiliki dua
musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Indonesia juga merupakan negara
kepulauan yang memiliki banyak wilayah laut mengakibatkan penguapan air laut
menjadi udara yang lembab dan menyebabkan curah hujan yang tinggi. Iklim
muson yang terjadi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh angin musiman yang
berubah-ubah setiap periode tertentu. Biasanya satu periode perubahan angin
muson adalah 6 bulan. Iklim musim terdiri dari 2 jenis, yaitu angin musim barat
daya (Muson Barat) dan angin musim timur laut (Muson Timur). Angin muson
barat bertiup sekitar bulan Oktober hingga April yang bersifat basah sehingga
menyebabkan musim hujan/penghujan. Angin muson timur bertiup sekitar bulan
April hingga Oktober yang sifatnya kering yang mengakibatkan wilayah
Indonesia mengalami musim kering/kemarau. Atas dasar sebab terjadinya angin
muson barat ataupun muson timur yang mempengaruhi terbentuknya pola hujan
munsonal di beberapa wilayah Indonesia dapat dikatakan bahwa wilayah
kejadiannya relatif tetap. Perubahan diperkirakan akan terjadi terhadap jumlah,
intensitas dan durasi hujannya.
Hasil analisa spasial diketahui bahwa di daerah Selatan Khatuslistiwa curah
hujan rata-rata tahunan secara umum cenderung berkurang atau menurun
sedangkan dibagian Utara Khatulistiwa cenderung bertambah. Pada wilayah
dengan jumlah curah hujan meningkat, terdistribusi dalam waktu makin singkat
akan menyebabkan terjadinya banjir, sedangkan di wilayah dengan potensi hujan
yang menurun dengan distribusi hujan pendek dan musim kemarau memanjang
akan menyebabkan bahaya kekeringan yang intensitas dan dampaknya makin
kuat. Perubahan iklim ini diramalkan memiliki dampak yang paling parah
terhadap pasokan air. Kekurangan air di masa depan kemungkinan akan
mengancam produksi pangan, mengurangi mutu sanitasi, menghambat
pembangunan ekonomi dan kerusakan ekosistem. Hal ini menyebabkan perubahan
suasana lebih ekstrim antara banjir dan kekeringan.
Sebagai salah satu negara tropis Indonesia akan paling menderita terkena
dampak pemanasan global. Dampak pemanasan global di lapangan ditandai
dengan munculnya bencana alam terutama berkaitan dengan adanya penurunan
sumber daya alam (SDA) baik ditingkat lokal, nasional maupun global, yang
penanganannya memerlukan pemahaman yang mendalam. Penurunan SDA yang
dihadapi di tingkat nasional umumnya berhubungan dengan (1) air, baik kuantitas
maupun kualitasnya, (2) biodiversitas flora dan fauna, (3) keindahan lansekap, dan
(4) kualitas udara.
Dampak-dampak perubahan pola cuaca, intensitas hujan dan musim kering
yang banyak menyebabkan bencana makin terasa baik intensitas, waktu kejadian,
sebaran dan dampak yang ditimbukannya makin tinggi. Untuk meredam bencana

8
tersebut maka kebijakan pengelolaan lahan baik kehutanan maupun pertanian
harus bersifat adaptif terhadap iklim baru yang bersinergi dengan upaya mitigasi
terhadap perubahan iklim global. Pengembangan dam parit dan teknik panen
hujan lainnya baik secara vegetatif maupun teknik sipil merupakan salah satu
kegiatan adaptasi yang dilakukan untuk menekan dampak perubahan iklim secara
antisipatif (Hairiah 2009).
Banjir dan kekeringan
Banjir
Banjir dan kekeringan merupakan dua kejadian ekstrimitas berbeda yang
kejadiannya silih berganti, bahkan diperkirakan tidak akan dapat diatasi dalam
jangka menengah. Fakta sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa besaran
banjir dan kekeringan baik intensitas, frekuensi, durasi dan dampak yang
ditimbulkan terus meningkat. Perbandingannya, tahun 1997 lahan sawah yang
terkena banjir seluas 58.197 ha, sementara tahun 2006 yang terkena meningkat
seluas 322.476 ha (554%). Sedangkan untuk kekeringan, luas sawah yang
mengalami kekeringan pada tahun 1998 seluas 161.601 ha dan meningkat tajam
pada tahun 2006 dengan luas sawah yang mengalami kekeringan mencapai
267.088 ha (60%). Tahun 2007 merupakan kejadian ekstrim dengan adanya
fenomena El-Nino kuat, sehingga lahan sawah yang terkena kekeringan mencapai
517.614 ha (BP DAS 2009).
Dari aspek pertanian, banjir adalah kejadian tergenangnya lahan pertanian
selama periode genangan dengan kedalaman tertentu, sehingga menurunkan
produksi pertanian. Sedangkan kekeringan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan
air untuk mendukung proses produksi pertanian secara optimal, sehingga
menurunkan produksi pertanian.
Dari aspek hidrologis, banjir adalah suatu kejadian meluapnya volume air
yang relatif tinggi dari jalur aliran sungai atau saluran karena volume aliran
melebihi kapasitas tampung sungai atau saluran tersebut. Banjir adalah suatu
bencana yang mengganggu kehidupan manusia berupa genangan air dari yang
terkecil sampai terbesar yang disebabkan faktor-faktor baik manusia maupun alam
atau aliran air yang tinggi, dan tidak tertampung oleh aliran sungai dan air itu
meluap ke daratan yang lebih rendah dan inilah yang disebut banjir.
Menurut Ansori (2009), banjir di Indonesia terbagi dalam tiga jenis, yaitu:
1) sungai yang meluap, yaitu banjir yang terjadi akibat debit air sungai yang
mengalir dari segmen sungai atasnya melampaui kapasitas tampung sungai, 2)
banjir lokal, yaitu terjadi karena meluapnya air yang berasal dari sekitar areal
tersebut karena kondisi lingkungan itu sendiri, seperti tersumbatnya jalur aliran air
oleh endapan hasil erosi atau sampah, dan 3) banjir pasang surut air laut, yaitu
banjir akibat tingginya pasang air laut menyebabkan aliran air di bagian muara
tertahan dan meluap ke segala arah.
Perubahan kondisi curah hujan dan kerusakan lingkungan menyebabkan
masalah banjir hingga saat ini belum dapat diselesaikan secara tuntas, bahkan
masalah banjir tersebut justru mengindikasikan semakin meningkat, baik
intensitas, frekuensi maupun sebarannya. Banjir merupakan salah satu jenis

9
bencana hidrometeorologi yang frekuensi kejadiannya semakin meningkat dari
tahun ke tahun, bahkan intensitas dan sebarannya pun juga semakin meningkat.
Selain dipengaruhi oleh perubahan iklim global, khususnya curah hujan, juga
dipengaruhi oleh adanya perubahan penggunaan lahan, pemanfaatan bantaran
sungai untuk permukiman dan industri, kerusakan DAS dan sebagainya. Kondisi
demikian banyak terjadi di kota-kota besar di Indonesia, dimana sebagian besar
kota berkembang di dataran banjir dan dataran rendah, seperti Jakarta, Semarang,
Surabaya, Medan, Makassar dan sebagainya. Banjir di hilir Sungai Ciliwung
(Jakarta) seolah merupakan banjir yang rutin dimana hampir setiap musim
penghujan selalu terjadi di daerah tersebut. Sejarah mencatat bahwa bencana
banjir besar yang pernah terjadi di Jakarta adalah pada tahun 1621, 1654, 1918,
1942, 1976, 1996, 2002, dan 2007. Perbedaan antara banjir yang pernah terjadi
selama tahun-tahun tersebut adalah dimensi penyebab dan akibat banjir yang
ditimbulkannya. Pada periode sebelum tahun 1970-an, penyebab utama adalah
faktor alam. Sesudah periode tersebut penyebab banjir menjadi semakin
kompleks, bukan hanya faktor alam, tetapi faktor sosial ekonomi dan budaya serta
akibat yang ditimbulkannya juga berbeda (Nugroho 2008).
Dimensi banjir menjadi lebih besar akibat adanya perkembangan kawasan
yang tidak didukung dengan teknologi pengendalian banjir yang memadai. Hal ini
terlihat dari rendahnya kemampuan drainase mengeringkan kawasan terbangun
dan rendahnya kapasitas seluruh prasarana pengendali banjir, seperti sungai, pintu
pengatur, bendung, situ, dan sebagainya. Selain itu secara geomorfologis Jakarta
terletak pada dataran banjir dimana terdapat 13 sungai, yaitu: Sungai Cakung,
Jatikramat, Buaran, Sunter, Cipinang, Ciliwung, Cideng, Krukut, Grogol,
Sekretaris, Pesanggrahan, Angke dan Mookervart. Banyaknya sungai tersebut bila
dikelola dengan baik merupakan aset jalur drainase yaitu untuk membuang
kelebihan air di daratan menuju ke pantai, namun karena tidak dikelola dengan
baik maka sungai-sungai tersebut dianggap sebagai penyebab banjir. Rata-rata
curah hujan tahunan yang cukup tinggi yaitu 2500 - 3500 mm/tahun dan daerah
pengaruh pasang surut laut mencapai 40% (24.000 ha) dari luas keseluruhan
64.000 ha. Banjir besar dan berdampak luas di Jakarta akan terjadi pada saat curah
hujan intensitas tinggi terjadi bersamaan dengan pasang air laut. Volume aliran
yang tinggi dari jalur sungai tersebut yang berasal dari masing-masing daerah
tangkapan air di tahan oleh pasang air laut yang telah memenuhi kapasitas
tampung jalur aliran, maka banjir akan terjadi dengan intensitas tinggi dan
sebarannya sangat luas.
Fenomena banjir besar di Jakarta pada periode Februari 2007 merupakan
contoh kejadian banjir yang disebabkan oleh besaran debit jalur aliran akibat
intensitas hujan tinggi di wilayah daratan yang bertepatan dengan kejadian
naiknya pasang tinggi. Kejadian banjir tersebut menyebabkan 79 orang meninggal
dunia, 1 orang hilang. Pengungsi akibat banjir tersebut tercatat 2.349 orang di
DKI Jakarta, 106.406 orang di Provinsi Jawa Barat, dan 52 orang di Provinsi
Banten. Banjir tersebut juga menyebabkan kerusakan dan kerugian aset yang
terkena banjir, baik aset milik pemerintah, dunia usaha dan masyarakat yang
diperkirakan senilai Rp 5,16 triliun. Selain itu, berdasarkan perkiraan yang
dilakukan oleh APINDO dan penilaian yang dilakukan Asosiasi Asuransi Umum
Indonesia (AAUI), diperkirakan kerugian ekonomi yang harus ditanggung selama
sekitar 1 (satu) minggu kejadian bencana banjir di wilayah Jabodetabek sebesar

10
US$ 400 juta (sekitar Rp 3,6 triliun), yang mencakup kerugian dan kerusakan
perumahan, kendaraan bermotor, bangunan industri dan fasilitas perdagangan.
Nilai ini tidak hanya karena kerusakan aset fisik akan tetapi juga karena
'opportunity loss' atau hilangnya peluang karena aktivitas, terutama kegiatan
ekonomi, yang tidak dapat dilakukan akibat banjir. Nilai perkiraan sebesar
US$400 juta (Bappenas 2007).
Kejadian banjir tersebut terulang pada bulan Januari 2009 dimana areal
banjir meliputi seluruh wilayah Jakarta, dengan ketinggian air hingga 275 cm,
dengan jumlah pengungsi sebanyak 2.683 jiwa, penduduk yang mengalami
kebanjiran sebanyak 8.908 kepala keluarga atau 24.317 jiwa. Wilayah yang
mengalami genangan dengan ketinggian air lebih dari 50 cm adalah Petamburan,
Bukit Duri, Manggarai, Rawajati, Bintaro, Kampung Melayu, Cipinang Besar
Utara, Cawang, Rawa Terate, Tegal Alur, dan Rawa Buaya. Walaupun intensitas
curah hujan dan debit air dari Katulampa jauh melebihi kejadian