Perencanaan lanskap permukiman untuk mitigasi Bencana gempa bumi Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung

PERENCANAAN LANSKAP PERMUKIMAN UNTUK MITIGASI
BENCANA GEMPA BUMI KECAMATAN PANGALENGAN
KABUPATEN BANDUNG

CICI NURFATIMAH

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

RINGKASAN
CICI NURFATIMAH. A44062476. Perencanaan Lanskap Tata Ruang
Permukiman Untuk Mitigasi Bencana Gempa Bumi Kecamatan
Pangalengan Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh QODARIAN
PRAMUKANTO
Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak diantara beberapa patahan
lempeng benua yaitu lempeng Eurasia dan lempeng Filipina di sebelah utara,
lempeng Australia di bagian selatan, dan lempeng Pasifik di bagian timur
kepulauan. Hal ini mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu kawasan dengan

zona seismic tertinggi di dunia.
Pada tanggal 2 September 2009 terjadi gempa bumi berkekuatan 7,3 Skala
Richter dengan episentrum yang berada di Samudera Indonesia di sebelah selatan
Tasikmalaya. Gelombang gempa merambat hingga Bandung, Cianjur dan
Sukabumi. Salah satu kawasan yang terkena dampak paling parah akibat
gelombang gempa ini adalah Kecamatan Pangalengan di Kabupaten Bandung.
Berdasarkan data statistik Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kecamatan
Pangalengan mengalami kerusakan paling parah dari total 29 kecamatan yang ada
di Kabupaten Bandung. Selanjutnya dari 13 desa yang ada di Kecamatan
Pangalengan, hampir semua bangunan di desa-desa tersebut mengalami kerusakan
akibat gempa termasuk sarana infrastruktur penting seperti Puskesmas dan
sekolah.
Korban jiwa dan kerugian yang terjadi secara spasial diakibatkan oleh
kesalahan dalam pembangunan kawasan terutama dalam penataan ruang
permukiman. Tata ruang yang tidak sesuai dengan morfologi dan geologi kawasan
dapat berakibat fatal jika terjadi bencana seperti gempa bumi. Oleh karena itu
perlu adanya suatu perencaan tata ruang wilayah yang memperhatikan aspekaspek geologi kawasan dan kebutuhan dalam hal mitigasi bencana. Sehingga
ruang yang tercipta dapat mengurangi resiko dan dampak dari bencana yang
terjadi.
Kegiatan perencanaan ini memiliki tujuan untuk menyusun lanskap tata

ruang permukiman untuk mitigasi bencana gempa bumi. Mitigasi adalah suatu
tindakan untuk mengurangi kerusakan dan kehilangan nyawa dengan cara
memperkecil dampak dari bencana. Studi dilakukan di kawasan yang terkena
dampak dari gempa bumi yang terjadi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten
Bandung pada 2 September 2009.
Tahapan yang dilakukan dalam kegiatan penelitian, yaitu : (1) Persiapan,
yaitu pengumpulan berbagai data dan informasi awal yang dibutuhkan dalam
kegiatan penelitian; (2) Inventarisasi, yaitu pengumpulan data di lapang untuk
menghasilkan data aspek fisik, biofisik, dan sosial; (3) Analisis dengan
menggunakan metode analisis METLAND (The Metropolitan Lanscape Planning
Model Study) (Fabos dan Caswell, 1976); (4) Sintesis; dan tahap (5) Perencanaan.
Pada kegiatan analisis digunakan metode analisis METLAND yang terdiri
atas 3 (tiga) tahap penilaian, yaitu Tahap I: Identifikasi Sumberdaya Kritis, Tahap
II : Identifikasi Zona Bahaya dan Tahap III : Identifikasi Kesesuaian untuk
Pengembangan (Fabos dan Caswell, 1976). Komponen analisis yang termasuk ke
dalam Sumberdaya Kritis adalah sumberdaya tanah dan air. Hasil keluaran dari

tahap ini adalah informasi kawasan dengan sumberdaya yang tidak perlu
diproteksi dan dapat dilakukan pengembangan untuk kawasan permukiman.
Pada tahap identifikasi zona berbahaya dilakukan penilaian terhadap

kerawanan gempa bumi di kawasan perencanaan. Pada tahap ini diperoleh
informasi bahwa Kecamatan Pangalengan terbagi ke dalam empat tipologi
kerawanan gempa bumi yaitu Tipologi A, B, C, dan D. Kawasan dengan tipologi
A menempati area paling luas (88% atau 20.018 ha) di Kecamatan Pangalengan
sehingga kawasan ini menjadi area yang paling aman di wilayah rawan gempa
untuk dikembangkan menjadi kawasan permukiman. Selanjutnya pada tahap
analisis kesesuaian pengembangan digunakan klasifikasi kelas lereng untuk
mendukung pengembangan yang sesuai diterapkan pada kawasan perencanaan
dan dihasilkan informasi kawasan yang sesuai untuk permukiman seluas 41% dan
tidak sesuai untuk permukiman seluas 59%.
Permukiman eksisiting yang terkena dampak paling parah saat terjadi gempa
di Kecamatan Pangalengan adalah Desa Margamukti, Desa Margamekar, Desa
Sukamanah, Desa Pangalengan, dan Desa Margamulya. Kelima desa tersebut
termasuk ke dalam permukiman yang direncanakan dalam RDTR Kota
Pangalengan. Kelima desa tersebut berada pada kawasan yang sesuai untuk
dikembangkan berdasarkan hasil analisis. Sehingga pada tahap sintesis kelima
desa tersebut menjadi fokus dalam perencanaan lanskap permukiman di
Kecamatan Pangalengan. Untuk dapat menerapkan konsep mitigasi maka
kawasan perencanaan dibagi ke dalam zonasi ruang atau rencana blok yang terdiri
dari ruang konservasi, ruang pemanfaatan budidaya, dan ruang terbangun.

Pengembangan untuk kawasan permukiman berada pada zona ruang terbangun.
Konsep dasar dari penelitian ini adalah merencanakan suatu tata ruang
permukiman yang dapat mencegah atau mengurangi dampak yang ditimbulkan
oleh bencana gempa bumi. Konsep dasar ini dikembangkan ke dalam konsep
mitigasi yaitu memudahkan kegiatan penyelamatan diri saat terjadi bencana
gempa. Konsep mitigasi ini diterapkan pada konsep pembagian ruang, evakuasi,
sirkulasi, dan vegetasi.
Ruang permukiman dikelompokan berdasarkan satuan ketetanggan yang
terdiri dari Kepala Keluarga (KK), Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW),
Desa, dan Kecamatan. Pembagian seperti ini bertujuan untuk memudahkan dalam
pembentukan pola ruang permukiman, menentukan titik-titik evakuasi, dan
pergerakan menuju lokasi evakuasi. Lokasi-lokasi yang dimanfaatkan sebagai titik
evakuasi adalah ruang-ruang terbuka di dalam kawasan permukiman yang dapat
dimanfaatkan sebagai area rekreasi penduduk ketika tidak terjadi bencana. Zonazona evakuasi ini terbagi dalam tiga tingkatan berdasarkan lokasi yaitu zona
evakuasi mikro pada skala RT, zona evakuasi meso pada skala RW, dan zona
evakuasi makro pada skala desa. Luas setiap zona evakuasi disesuaikan dengan
daya dukung tenda pengungsi yang dapat menampung sebanyak jumlah penduduk
pada setiap zona evakuasi. Pergerakan menuju lokasi titik-titik evakuasi
dimudahkan dengan pembagian hierarki jalan yang terdiri atas jalan lingkungan,
jalan lokal dan jalan kolektor. Vegetasi yang diterapkan di kawasan perencanaan

dibagi berdasarkan fungsinya dalam kegiatan mitigasi yang terdiri atas vegetasi
budidaya, pengarah, konservasi dan penaung. Penyusunan perencanaan ini dapat
diperluas pada kawasan di luar 5 desa namun masih termasuk ke dalam kawasan
yang sesuai untuk pembangunan.

PERENCANAAN LANSKAP PERMUKIMAN UNTUK MITIGASI
BENCANA GEMPA BUMI KECAMATAN PANGALENGAN
KABUPATEN BANDUNG

CICI NURFATIMAH

Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada
Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011


PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Perencanaan Lanskap
Permukiman Untuk Mitiagsi Bencana Gempa Bumi Kecamatan
Pangalengan Kabupaten Bandung adalah karya saya dengan arahan dari
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, 2011

Cici Nurfatimah
NRP A44062476

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau
menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagain atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.

Judul Penelitian

: Perencanaan Lanskap Permukiman Untuk Mitigasi
Bencana

Gempa

Bumi

Kecamatan

Kabupaten Bandung
Nama Mahasiswa

: Cici Nurfatimah

NRP


: A44062476

Program Studi

: Arsitektur Lanskap

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

Ir. Qodarian Pramukanto, M.Si
NIP. 19620214 198703 1 002

Mengetahui,
Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Siti Nurisjah, MSLA
NIP. 19480912 197412 2 001

Tanggal Lulus :


Pangalengan

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 12 Juli 1988 dari pasangan Enok Karyati dan
Usep Warlian. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara. Pada tahun 2000
penulis mengikuti pendidikan di SMP 1 Margahayu Bandung. Pada tahun 2003,
Penulis melanjutkan studi menengah atas di SMA Al-Ma’soem, Sumedang. Pada
tahun 2006 Penulis melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu di
Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB. Pada tahun 2007
Penulis berhasil masuk Program Studi Mayor Arsitektur Lanskap dan memilih
beberapa Supporting Course sebagai penunjang.
Selama melakukan studi di Departemen Arsitektur Lanskap Penulis
berkesempatan menjadi Asisten Mahasiswa untuk Mata Kuliah Komputer Grafis
dan Mata Kuliah Proyek Studio Lanskap. Selain itu Penulis juga aktif di kegiatan
non-akademis diantaranya sebagai Pengurus Himpunan Mahasiswa Arsitektur
Lanskap Periode 2008-2009 Divisi Sosial Kemasyarakatan, Wakil Ketua Unit
Kegiatan Mahasiswa Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman Periode 2008-2009,
dan anggota Organisasi Mahasiswa Daerah Paguyuban Mahasiswa Bandung.

Penulis juga pernah bergabung dalam berbagai kepanitiaan seperti Masa
Perkenalan Mahasiswa Baru Angkatan 44, Masa Perkenalan Fakultas Angkatan
44, Masa Perkenalan Departemen Angkatan 44, Savior (Save Our Earth Day), dan
Pagelaran Seni Sunda Ki Sunda Midang. Penulis pernah mengikuti beberapa
kompetisi non-akademis yaitu Juara 2 Lomba Tari Kontemporer IPB Art Contest
2009, Juara 1 Basket Putri Faperta Cup 2007 dan 2009.

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat,
rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.
Penelitian dengan judul Perencanaan Lanskap Permukiman Untuk Mitigasi
Bencana Gempa Bumi Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung ini
merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen
Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima
kasih Penulis ucapkan kepada :
1. Ir. Qodarian Pramukanto, M.Si yang telah sabar membimbing dan
memberikan ilmu yang sangat bermanfaat selama masa penelitian tugas akhir
ini.
2. Bapak dan Ibu atas limpahan doa dan kasih sayang yang tak terhingga.
Adikku sayang yang jauh namun dekat di hati.

3. Jajaran Dosen Departemen Arsitektur Lanskap IPB atas limpahan ilmu yang
sangat berharga.
4. Jajaran staf dan pegawai Departemen Arsitektur Lanskap.
5. Tengtong Family ARL 43 (Aan, Agnes, Galih, Biji, Titis, Endy, Chan2, Dedi,
Desi, Sendy, Dian, Dicky, Joe, Budut, Pity, Agung, Hanni, Irfan, Jibril, Om
Jun, Kukuh, Ipunk, Mahmud, Kaka, Refi, Mutteb, Nining, Nita, Ami, Ika,
Ado, Perth, Titou, Presty, Pram, Ichaprita, Wanti, Putri, Ronald, Manceu, Ray,
Rido, Ichadwica, Ochie, Alan, Intan, Sisi, Sugi, Iin, Tati, Komti, Phewz, Vina,
Wemby, Wiwik, Yogi, Yudha, Yumi, Ziffy) untuk suka, duka, cerita, canda,
tawa, ria, galau, doa, dan semangat yang membuat dunia saya beraneka warna.
:’)
6. Kakak-kakak senior 39, 40, 41, 42, praktikan Prostud 44, praktikan Komgraf
45, 46 yang tidak sempat saya asisteni, dan 47 sebagai keluarga baru Dept.
ARL.
7. Keluarga besar UKM Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman yang selalu
semangat membarakan seni dan budaya tradisional Indonesia.
8. Keluarga besar Paguyuban Mahasiswa Bandung “Pamaung Nu Aing”.

9. Kawan-kawan lama Kost Putri Amazon (Dece, Ading, Dinceu, Fika, Uul,
Achi, Kunti, Pipit, Bakcoy), Kost Putri Puri Fikriyah, Kost Putri Reesya (Ika,
Tya, Zizi, Teh Evi, Nobon).
10. Terakhir kepada Anda yang sedang membaca skripsi saya ☺
Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat
bagi pembaca dan pihak-pihak yang memerlukannya.

Bogor, 2011

Penulis

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL............................................................................................

i

DAFTAR GAMBAR.......................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................
1.1. Latar Belakang...............................................................................
1.2. Tujuan.............................................................................................
1.3. Kerangka Pikir Studi......................................................................

1
1
2
2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................
2.1. Perencanaan Lanskap.....................................................................
2.2. Gempa Bumi...................................................................................
2.3. Mitigasi Bencana............................................................................
2.4. Tata Ruang......................................................................................
2.5. Permukiman....................................................................................

4
4
4
9
11
14

BAB III METODOLOGI ..............................................................................
3.1. Lokasi dan Waktu..........................................................................
3.2. Metode...........................................................................................
3.2.1 Persiapan…………………………………………………..
3.2.2. Inventarisasi………………………………………………
3.2.3. Analisis……………………………………………………
3.2.3.1. Analisis Sumberdaya Yang Perlu Diproteksi….…
3.2.3.2. Analisis Kerawanan Gempa Bumi……………….
3.2.3.3. Analisis Kesesuaian Pengembangan………………
3.2.4. Sintesis…………………………………………………….
3.2.5. Perencanaan……………………………………………….

15
15
16
16
16
17
18
20
25
26
28

BAB IV DATA DAN ANALISIS...................................................................
4.1. Sumberdaya Yang Perlu Diproteksi…...........................................
4.1.1. Air..........................................................................................
4.1.2. Tanah.....................................................................................
4.2. Zona Berbahaya..…………….......................................................
4.5. Kesesuaian Pengembangan............................................................
4.6. Sintesis...........................................................................................

33
35
35
42
52
62
65

BAB V KONSEP DAN PERENCANAAN....................................................
5.1. Konsep…………………………....................................................
5.1.1. Konsep Pembagian Ruang…………………………………
5.1.2. Konsep Evakuasi…………………………………………
5.1.3. Konsep Sirkulasi…………………………………………...
5.1.4. Konsep Vegetasi…………………………………………..
5.2. Perencanaan...................................................................................
5.2.1. Rencana Tata Ruang Permukiman…………………………
5.2.2. Rencana Evakuasi……………………………………
5.2.3. Rencana Jalur Sirkulasi…………………………………….
5.2.4. Rencana Vegetasi………………………………………….

68
68
68
69
69
71
71
73
80
81
86

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN........................................................
6.1. Kesimpulan....................................................................................
6.2. Saran..............................................................................................

91
91
91

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

92

DAFTAR TABEL
Halaman

Tabel 1.

Modified Mercalli Intensity Scale (Skala Intensitas Mercalli
yang Disempurnakan)..............................................................

5

Tabel 2.

Jenis, Spesifikasi dan Bentuk Data..........................................

16

Tabel 3.

Kelas Kualitas Air Bawah Tanah.............................................

18

Tabel 4.

Kriteria Kawasan Lindung Waduk, Situ dan Mata Air...........

19

Tabel 5.

Klasifikasi Kelas Lereng.........................................................

19

Tabel 6.

Kriteria Kawasan Lindung......................................................

19

Tabel 7.

Klasifikasi Batuan…………………………………………..

21

Tabel 8.

Klasifikasi Kemiringan Lereng...............................................

21

Tabel 9.

Faktor Kegempaan..................................................................

21

Tabel 10. Kestabilan Wilayah Terhadap Jarak Pada Sesar……………..

22

Tabel 11. Klasifikasi Nilai Kemampuan………………………………..

22

Tabel 12. Pembobotan…………………………………………………

23

Tabel 13. Matriks pembobotan untuk kestabilan wilayah terhadap
kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan
gempa bumi dengan informasi geologi yang diperhitungkan..

23

Tabel 14. Tipologi Kawasan Rawan Gempa Bumi..................................

24

Tabel 15. Klasifikasi Kawasan Rawan Gempa Bumi..............................

24

Tabel 16. Kesesuaian Pengembangan Berdasarkan Kelas Lereng..........

25

Tabel 17. Aturan Zonasi Kawasan Rawan Gempa Bumi........................

27

Tabel 18. Peruntukan Ruang Kawasan Gempa Bumi Berdasarkan
Tipologi Kawasan ...................................................................

29

Tabel 19. Arahan Struktur Ruang Kawasan Rawan Gempa Bumi .........

29

Tabel 20. Standar Kebutuhan Sarana Kesehatan.....................................

30

Tabel 21. Standar Kebutuhan Taman, Tempat Main dan Lapangan
Olahraga...................................................................................

31

Tabel 22. Kesesuaian Penggunaan Lahan Berdasarkan Kemiringan
Lereng......................................................................................

32

Tabel 23. Pembobotan Pada Kerawanan Gempa Bumi Kecamatan
Pangalengan.............................................................................

56

Tabel 24. Matriks pembobotan untuk wilayah kestabilan kawasan
rawan gempa bumi di Kecamatan Pangalengan......................

56

Tabel 25. Konsep Jalur Sirkulasi……………………………………….

70

Tabel 26. Konsep Vegetasi......................................................................

71

Tabel 27. Pembagian Satuan Ketetanggaan……………………………

74

Tabel 28. Kebutuhan Ruang Terbuka Sebagai Zona Evakuasi…………

80

Tabel 29. Rencana Fasilitas Ruang Terbuka Sebagai Zona Evakuasi….

81

Tabel 30. Standar Tinggi Karakter Huruf Pada Rambu……………….

83

Tabel 31. Kesesuaian Kontras Warna Pada Rambu……………………

85

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.

Kerangka Pikir Studi................................................................

3

Gambar 2.

Lokasi Studi.............................................................................

15

Gambar 3.

Framework

analisis lanskap untuk keperluan preservasi,

perlindungan, dan pengembangan tapak..................................

17

Gambar 4.

Komponen Analisis.................................................................

18

Gambar 5.

Skema Alur Proses Penilaian Kerawanan Gempa Bumi……

20

Gambar 6.

Peta Administrasi Kecamatan Pangalengan............................

34

Gambar 7.

Situ Cileunca...........................................................................

35

Gambar 8.

Wana Wisata Air Panas Cibolang...........................................

36

Gambar 9.

Kawasan Lindung Situ dan Mata Air......................................

37

Gambar 10. Tata Guna Lahan Eksisting……..............................................

39

Gambar 11. Peta Kualitas Air Bawah Tanah..............................................

40

Gambar 12. Peta Perlindungan Sumberdaya Air Kecamatan Pangalengan

41

Gambar 13. Ragam Bentukan dan Kemiringan Lahan di Kecamatan
Pangalengan.............................................................................

44

Gambar 14. Peta Kemiringan Lereng Kecamatan Pangalengan..................

45

Gambar 15. Peta Kawasan Rawan Longsor di Kecamatan Pangalengan....

46

Gambar 16. Peta Elevasi Kecamatan Pangalengan....................................

48

Gambar 17. Peta Kawasan Lindung Kecamatan Pangalengan....................

49

Gambar 18. Peta Kawasan Perlindungan Terhadap Tanah..........................

50

Gambar 19. Peta Sumberdaya Kritis Kecamatan Pangalengan…………...

51

Gambar 20. Peta Geologi Daerah Bandung Selatan dan Stratigrafi Batuan
Gunung Api..............................................................................

52

Gambar 21. Sesar di daerah Bandung dan sekitarnya.................................

54

Gambar 22. Peta Zonasi Jalur Sesar di Kecamatan Pangalengan……........

55

Gambar 23. Peta Zonasi Tipologi Kerawanan Gempa Kecamatan
Pangalengan…………………………………..........................

58

Gambar 24. Peta Keamanan Gempa Kecamatan Pangalengan…………....

59

Gambar 25.

Peta Sebaran Rumah Rusak Berat Akibat Gempa di
Kecamatan Pangalengan.........................................................

61

Gambar 26.

Kondisi Bangunan Pasca Gempa (a) Rumah Panggung Yang
Masih Berdiri Tegak, (b) Rumah Dengan Konstruksi Beton
Yang Rusak Berat...................................................................

62

Peta Kesesuaian Pengembangan Permukiman Kecamatan
Pangalengan…………………………………….....................

64

Peta Lokasi Kawasan Yang Fokus Untuk Direncanakan….....

66

Gambar 29. Peta Rencana Blok………………………. ……......................

67

Gambar 30.

Diagram Konsep Pembagian Ruang………………………..

68

Gambar 31.

Diagram Konsep Evakuasi…….. ..........................................

69

Gambar 32.

Diagram Konseep Sirkulasi....................................................

70

Gambar 33.

Diagram Konsep Vegetasi…………………………………..

71

Gambar 34.

Rencana Lanskap Permukiman Untuk Mitigasi Bencana
Gempa Kecamatan Pangalengan……………………………

72

Gambar 35.

Pembagian Blok Kawasan Perencanaan…………………….

73

Gambar 36.

Matriks Hubungan Antar Ruang…………………………….

76

Gambar 37.

Konsep Ruang……………………………………………….

76

Gambar 38.

Ilustrasi Struktur Bangunan Dengan Perkuatan Silang……..

78

Gambar 39.

Rumah Tinggal Dengan Konstruksi Rangka Sederhana dan
Pondasi Tiang………………………………………………

79

Gambar 40.

Rencana Tata Ruang Pusat Kota Pangalengan

79

Gambar 41.

Kondisi Pengungsian Sementara Korban Gempa
Pangalengan…………………………………………………

80

Gambar 42.

Detail Rencana Lanskap Permukiman Untuk Mitigasi
Bencana Gempa Bumi Kecamatan Pangalengan……………

82

Contoh Rambu-Rambu Penunjuk Arah Menuju Lokasi
Evakuasi…………………………………………………….

83

Gambar 44.

Rencana Jalur Sirkulasi……………………………………..

84

Gambar 45.

Rencana Alur Sirkulasi………………………………………

85

Gambar 46.

Ilustrasi Fungsi Vegetasi di Kawasan Perencanaan………….

87

Gambar 47.

Rencana Vegetasi…………………………………………….

88

Gambar 48.

Detail Rencana Vegetasi……………………………………..

89

Gambar 27.

Gambar 28.

Gambar 43.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak diantara beberapa

patahan lempeng benua yaitu lempeng Eurasia dan lempeng Filipina di sebelah
utara, lempeng Australia di bagian selatan, dan lempeng Pasifik di bagian timur
kepulauan. Dengan adanya lempeng-lempeng tersebut maka Indonesia menjadi
area dengan zona sesismik tertinggi di dunia. Hal tersebut juga menjadi faktor
yang menyebabkan terdapat banyak gunung berapi aktif dan berpotensi aktif di
Indonesia.
Pada tanggal 2 September

2009 pukul 14:55 WIB, gempa bumi

berkekuatan 7,3 SR terjadi di pantai selatan Jawa Barat. Setidaknya 80 orang
tewas dan masih banyak lagi yang terluka. Dampak dari gempa ini tersebar hingga
hampir seluruh Jawa Barat dengan intensitas maksimum MMI pada level VII di
Tasikmalaya, VI di Cianjur dan Sukabumi, V di Bandung, dan VI di Jakarta.
Berdasarkan laporan dari NEIC-USGS episentrum gempa terletak pada 7,8o LS
dan 107,25o BT dengan kedalaman 46 km. Salah satu kawasan yang terkena
dampak dari gempa bumi ini adalah Kecamatan Pangalengan, Kabupaten
Bandung. Dari 13 Desa yang ada di wilayah Kecamatan Pengalengan Kabupaten
Bandung, hampir seluruh rumah di wilayah tersebut mengalami kerusakan akibat
guncangan gempa (www.antaranews.com, 11 Januari 2010).
Korban jiwa dan kerugian yang terjadi dapat diakibatkan oleh kesalahan
dalam pembangunan kawasan terutama dalam penataan ruang permukiman. Tata
ruang yang tidak sesuai dengan morfologi dan geologi kawasan dapat berakibat
fatal jika terjadi bencana seperti gempa bumi.
Studi mengenai perencanaan suatu kawasan untuk kegiatan mitigasi
bencana gempa bumi perlu dilakukan agar dapat tercipta tata ruang permukiman
di wilayah Indonesia yang tahan gempa. Oleh karena itu perlu adanya suatu
perencanaan tata ruang wilayah yang memperhatikan aspek-aspek geologi
kawasan dan kebutuhan dalam hal mitigasi bencana. Sehingga ruang yang tercipta
dapat mengurangi resiko dan dampak dari bencana yang terjadi.


 

1.2.

Tujuan
Tujuan dari studi ini adalah menyusun rencana lanskap permukiman

untuk mitigasi bencana gempa bumi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten
Bandung.

1.3.

Kerangka Pikir Studi
Gempa bumi adalah bencana yang tidak dapat diperkirakan waktu

kemunculannya. Ketika sebuah gempa bumi muncul, dampak yang ditimbulkan
dapat bervariasi tergantung pada kekuatan getaran yang terjadi. Dampak yang
ditimbulkan gempa dapat terlihat dari kondisi pasca gempa seperti kerusakan
struktur dan infrastruktur serta jumlah korban jiwa. Untuk dapat mencegah atau
mengurangi resiko dari dampak sebuah bencana gempa bumi maka perlu adanya
tindakan mitigasi yang tepat pasca bencana khususnya di kawasan permukiman.
Dalam merencanakan sebuah kawasan permukiman yang tahan serta
tanggap gempa perlu adanya penilaian terhadap beberapa aspek seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1. Aspek-aspek tersebut menurut Fabos dan Caswell
(1976) diawali dengan menganalisis potensi sumberdaya alam kawasan yang perlu
dilindungi dari berbagai jenis kegiatan pengembangan terutama pengembangan
fisik. Selanjutnya secara sekuensis dilakukan analisis terhadap kawasan berbahaya
(hazard zone) berupa kerawanan terhadap gempa bumi dengan kriteria penilaian
yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. Pada tahap
akhir dilakukan analisis kesesuaian pengembangan untuk kawasan permukiman.
Permukiman yang baik untuk mitigasi bencana sebaiknya terletak pada
zona yang sesuai dan terhindar dari hazard serta tidak mengganggu sumberdaya
alam yang dilindungi. Selanjutnya untuk kegiatan mitigasi maka perlu adanya
suatu rancangan pola permukiman, jalur evakuasi, dan pusat-pusat evakuasi.


 

Gambar 1. Kerangka Pikir Studi 

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perencanaan Lanskap
Perencanaan lanskap adalah suatu proses sintesis yang kreatif tanpa akhir
dan dapat ditambah, juga merupakan proses yang rasional dan evolusi yang
teratur. Perencanaan merupakan urutan-urutan pekerjaan yang saling berhubungan
dan berkaitan. Semua bagian tersusun sedemikian rupa sehingga apabila terjadi
perubahan pada suatu bagian, maka akan mempengaruhi bagian yang lainnya
(Simonds, 1993). Nurisjah dan Pramukanto (1995) menyatakan bahwa merencana
merupakan suatu tindakan menata dan menyatukan berbagai penggunaan lahan
berdasarkan pengetahuan teknis lahan dan kualitas estetiknya guna mendukung
fungsi yang akan dikembangkan diatas atau pada lahan tersebut.
Menurut Rachman (1984) dalam Kusuma (2001), perencanaan lanskap
adalah perencanaan yang berpijak kuat pada dasar ilmu dan lingkungan atau
ekologi dan pengetahuan alam yang bergerak dalam kegiatan penilaian atas lahan
yang luas dalam pencari ketepatan tataguna tanah di masa mendatang.

2.2. Gempa Bumi
Gempa adalah getaran yang dirasakan di permukaan bumi dalam bentuk
gelombang seismik di permukaan bumi akibat adanya sumber getaran yang
terdapat di dalam bumi. Pusat gempa bumi yaitu titik di dalam bumi di mana
gempa terjadi disebut hiposenter. Sedangkan titik pada permukaan bumi tepat di
atas pusat gempa bumi disebut episenter (Tjasyono, 2003).
Gempa bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak bumi (lempeng
bumi). Kata gempa bumi juga digunakan untuk menunjukkan daerah asal
terjadinya kejadian gempa bumi tersebut. Walaupun bumi padat, selalu bergerak,
dan gempa bumi terjadi apabila tekanan yang terjadi karena pergerakan itu sudah
terlalu besar untuk dapat ditahan. Kebanyakan gempa bumi disebabkan dari
pelepasan energi yang dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan
yang bergerak. Semakin lama tekanan itu kian membesar dan akhirnya mencapai
pada keadaan dimana tekanan tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh pinggiran


 

lempengan. Pada saat itulah gempa bumi akan terjadi (www.wikipedia.com,
diunduh 11 Januari 2010)
Gempa bumi secara umum merupakan bentuk pelepasan tekanan yang
terjadi di lithosferer. Ketika benturan antara batuan pada dua sisi lempeng
mencegah batuan tersebut bergeser dengan mudah atau ketika batuan tersebut
belum siap untuk patah, akan terjadi sebuah deformasi elastis. Ketika tekanan
tinggi terakhir yang muncul memecah kekuatan dari batuan, suatu pergerakan
yang tiba-tiba akan muncul untuk melepaskan tekanan. Inilah yang disebut dengan
gempa (Montgomery, 2003).
Montgomery (2003) juga menambahkan bahwa kekuatan gempa
memiliki beragam ukuran. Mulai dari getaran sangat lemah yang sulit dideteksi
oleh instrumen yang sensitif hingga guncangan dahsyat yang dapat meratakan
sebuah kota. Santoso (2002), menyatakan bahwa skala intensitas gempa dapat
menggambarkan besarnya kerusakan yang diderita oleh suatu lokasi yang
diakibatkan oleh getaran gempa. Di Indonesia skala intensitas yang banyak
digunakan adalah MMI (Modified Mercalli Intensity) seperti yang diuraikan pada
Tabel 1.

Tabel 1. Modified Mercalli Intensity Scale (Skala Intensitas Mercalli yang
Disempurnakan)
I.

Getaran tidak dirasakan, kecuali dalam keadaan luar biasa oleh orang tertentu saja.

II

Getaran dirasakan orang tertentu. Benda ringan yang digantung bergoyang-goyang.

III.

Getaran dirasakan nyata di dalam rumah, terasa seakan-akan ada truk lewat.

IV.

Pada siang hari dirasakan oleh banyak orang di dalam rumah, di luar hanya oleh
orang tertentu saja. Barang belah-pecah, jendela, pintu gemerincing, dinding
berbunyi karena pecah-pecah.

V.

Getaran dirasakan oleh hampir semua penduduk. Barang belah-pecah,jendela dan
sebagainya pecah, barang-barang terpelanting, pohon, tiang, dan lain-lain tampak
bergoyang. Bandul lonceng dapat berhenti.

VI.

Getaran dirasakan oleh semua orang, kebanyakan terkejut dan lari keluar. Plester
dinding jatuh dan cerobong asap pabrik rusak. Kerusakan ringan.

VII.

Semua orang keluar rumah, kerusakan ringan pada rumah dan bangunan yang
konstruksinya tidak baik maupaun baik. Cerobong asap pecah atau retak-retak.
Getaran dapat dirasakan oleh orang yang naik kendaraan.


 

Lanjutan Tabel 1.
VIII.

Kerusakan ringan pada bangunan yang konstruksinya baik. Retak-retak pada
bangunan yang kuat. Dinding dapat lepas dari kerangka rumah, cerobong asap pabrik
dan monumen roboh. Air keruh.

IX.

Kerusakan pada bangunan yang rangkanya kuat, rumah menjadi tidak tegak lagi.
Banyak retakan pada bangunan-bangunan yang konstruksinya kuat. Bangunan rumah
bergeser dari pondasinya. Pipa dalam tanah pecah.

X.

Bangunan dari kayu yang kuat rusak, rangka rumah lepas dari pondasinya, tanah
terbelah, rel melengkung, tanah longsor di tebing dan di tanah yang curam. Terjadi
gelombang pasang dan tsunami.

XI.

Hancur sama sekali. Gelombang gempa tampak pada permukaan tanah.
Pemandangan gelap. Benda-benda terlempar ke udara.

(Sumber : Santoso, 2002)
Noor (2006) menjelaskan mengenai berbagai dampak dari bencana
gempa bumi, yaitu :
1. Rekahan/Patahan di Permukaan Bumi
Pada umumnya gempa bumi seringkali berdampak pada rekah dan
patahnya permukaan bumi yang secara regional dikenal sebagai deformasi
kerak bumi. Rekahan dan patahan yang terjadi di permukaan bumi dapat
berdampak pada bangunan-bangunan, jalan dan jembatan, pipa air minum,
pipa listrik, saluran telepon, serta prasarana lainnya yang ada di daerah
tersebut.
2. Getaran/Guncangan Permuakaan Tanah
Bencana gempa yang secara langsung terasa dan berdampak sangat serius
adalah

runtuhnya

bangunan-bangunan

yang

disebabkan

oleh

getaran/guncangan gempa yang merambat pada media batuan/tanah. Pada
umumnya bangunan-bangunan yang diatas lapisan batuan yang padat
dampaknya tidak terlalu parah bila dibandingkan dengan bangunanbangunan yang berada di atas batuan sedimen jenuh.
3. Longsoran Tanah
Berbagai tipe dan jenis longsoran tanah umumnya dapat terjadi bersamaan
dengan terjadinya gempa. Hampir semua longsor tanah dapat terjadi pada
radius 40 km dari pusat gempa (episenter) dan untuk gempa yang sangat
besar dapat mencapai 160 km. Pada dasarnya getaran gempa lebih bersifat
sebagai pemicu terjadinya longsoran atau gerakan tanah. Dalam hal ini


 

gempa bersifat menginduksi gerakan tanah, sedangkan longsoran baru
akan terjadi apabila daya ikat antar butiran lemah, kejenuhan
batuan/sedimen, porositas dan permeabilitas batuan/tanah tinggi.
4. Kebakaran
Kerusakan yang utama dan sering terjadi pada saat terjadinya gempa bumi
adalah bahaya kebakaran. Pada umumnya gempa menginduksi api yang
berasal dari putusnya saluran listrik, gas, dan pembangkit listrik yang
sedang beroperasi yang pada akhirnya menyebabkan kebakaran.
5. Perubahan pengaliran
Terbentuknya danau yang cukup luas akibat amblesnya permukaan daratan
(subsidence) seperti dataran banjir (floodplain), delta, rawa, yang
diakibatkan oleh gempa bumi merupakan suatu permasalahan yang cukup
serius. Perubahan pengaliran akibat penurunan permukaan daratan yang
disebabkan oleh gempa memungkinan terbentuknya danau-danau buatan
dan reservoir baru serta rusaknya bendungan.
6. Perubahan air bawah tanah
7. Tsunami
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan
Letusan Gempa disebutkan tipe kawasan rawan gempa bumi ditentukan
berdasarkan tingkat risiko gempa yang didasarkan pada informasi geologi dan
penilaian kestabilan. Berdasarkan hal tersebut, maka kawasan rawan gempa bumi
dapat dibedakan menjadi (6) enam tipe kawasan yang diuraikan sebagai berikut:
a. Tipe A
Kawasan ini berlokasi jauh dari daerah sesar yang rentan terhadap getaran
gempa. Kawasan ini juga dicirikan dengan adanya kombinasi saling
melemahkan dari faktor dominan yang berpotensi untuk merusak. Bila
intensitas gempa tinggi (Modified Mercalli Intensity / MMI VIII) maka efek
merusaknya diredam oleh sifat fisik batuan yang kompak dan kuat.
b. Tipe B
1) Faktor yang menyebabkan tingkat kerawanan bencana gempa pada tipe ini
tidak disebabkan oleh satu faktor dominan, tetapi disebabkan oleh lebih dari


 

satu faktor yang saling mempengaruhi, yaitu intensitas gempa tinggi (MMI
VIII) dan sifat fisik batuan menengah.
2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan cukup parah terutama untuk
bangunan dengan konstruksi sederhana.
c. Tipe C
1) Terdapat paling tidak dua faktor dominan yang menyebabkan kerawanan
tinggi pada kawasan ini. Kombinasi yang ada antara lain adalah intensitas
gempa tinggi dan sifat fisik batuan lemah; atau kombinasi dari sifat fisik
batuan lemah dan berada dekat zona sesar cukup merusak.
2) Kawasan ini mengalami kerusakan cukup parah dan kerusakan bangunan
dengan konstruksi beton terutama yang berada pada jalur sepanjang zona
sesar.
d. Tipe D
1) Kerawanan gempa diakibatkan oleh akumulasi dua atau tiga faktor yang
saling melemahkan. Sebagai contoh gempa pada kawasan dengan
kemiringan lereng curam, intensitas gempa tinggi dan berada sepanjang
zona sesar merusak; atau berada pada kawasan dimana sifat fisik batuan
lemah, intensitas gempa tinggi, di beberapa tempat berada pada potensi
landaan tsunami cukup merusak.
2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan parah untuk segala bangunan
dan terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar.
e. Tipe E
1) Kawasan ini merupakan jalur sesar yang dekat dengan episentrum yang
dicerminkan dengan intensitas gempa yang tinggi, serta di beberapa tempat
berada pada potensi landaan tsunami merusak. Sifat fisik batuan dan
kelerengan lahan juga pada kondisi yang rentan terhadap goncangan gempa.
2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa.
f. Tipe F
1) Kawasan ini berada pada kawasan landaan tsunami sangat merusak dan di
sepanjang zona sesar sangat merusak, serta pada daerah dekat dengan
episentrum dimana intensitas gempa tinggi. Kondisi ini diperparah dengan


 

sifat fisik batuan lunak yang terletak pada kawasan morfologi curam
sampai dengan sangat curam yang tidak kuat terhadap goncangan gempa.
2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa.

2.3. Mitigasi Bencana
Mitigasi adalah suatu tindakan untuk mengurangi kerusakan dan
kehilangan nyawa dengan cara memperkecil dampak dari bencana. Hal ini
diperoleh melalui analisis resiko yang menghasilkan berbagai macam informasi
sebagai bahan acuan untuk tindakan mitigasi dalam mengurangi resiko
(www.fema.com/mitigation.htm, 11 Januari 2010).
Tujuan dari mitigasi adalah untuk mencegah berkembangnya bahaya
menjadi bencana atau untuk mengurangi dampak bencana ketika terjadi. Proses
mitigasi berlangsung dalam suatu program jangka panjang untuk mengurangi atau
menghilangkan resiko. Implementasi dari strategi mitigasi dapat dianggap sebagai
bagian dari proses pemulihan pasca bencana. Mitigasi dapat berbentuk struktural
dan non struktural. Secara struktural mitigasi dapat berupa penggunaan solusi
teknologi seperti misalnya pembuatan banjir kanal. Sedangkan mitigasi secara
non-struktural dapat berupa peraturan atau undang-undang, perencanaan tata guna
lahan dan asuransi. Mitigasi merupakan metode yang paling efisien dari segi biaya
untuk mengurangi resiko yang ditimbulkan bahaya atau hazard. Yang juga dapat
dimasukan ke dalam proses mitigasi adalah regulasi mengenai tata cara evakuasi,
sanksi bagi pelanggar peraturan tersebut, dan informasi serta komunikasi pada
publik

mengenai

resiko

yang

mungkin

terjadi

(www.wikipedia.com/Disaster_mitigation.htm, 11 Januari 2010).
Di dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan
Bencana disebutkan bahwa terdapat dua jenis tindakan mitigasi berdasarkan
sifatnya yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif.
Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain adalah:
1. Penyusunan peraturan perundang-undangan
2. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.
3. Pembuatan pedoman/standar/prosedur

10 
 

4. Pembuatan brosur/leaflet/poster
5. Penelitian / pengkajian karakteristik bencana
6. Pengkajian / analisis risiko bencana
7. Internalisasi Penanggulangan Bencana dalam muatan lokal pendidikan
8. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
9. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum
10.

Pengarus-utamaan

Penanggulangan

Bencana

dalam

perencanaan

pembangunan
Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain:
1. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan
memasuki daerah rawan bencana dsb.
2. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan
ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang berkaitan
dengan pencegahan bencana.
3. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.
4. Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang
lebih aman.
5. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.
6. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika
terjadi bencana.
7. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah,
mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana,
seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan
sejenisnya.
Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi yang bersifat nonstruktural (berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan) dan yang bersifat struktural
(berupa bangunan dan prasarana).

2.4. Tata Ruang
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa tata ruang adalah wujud
struktur dan pola ruang. Struktur ruang itu sendiri adalah susunan pusat-pusat

11 
 

permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai
pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Selanjutnya dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa penataan
ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaat ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
antar yang satu dan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah penataan
ruang sehingga diharapkan
1. Dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya
guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang
berkelanjutan
2. Tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang
3. Tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang
Rencana umum tata ruang disusun berdasarkan pendekatan wilayah
administratif dengan muatan substansi mencakup rencana struktur ruang dan
rencana pola ruang. Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang
persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk
setiap block/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata
ruang.
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan
Letusan Gempa disebutkan bahwa perencanaan tata ruang kawasan rawan letusan
gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi mencakup:
1. Penetapan kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan
gempa bumi meliputi: penetapan tipologi kawasan rawan letusan gunung
berapi dan kawasan rawan gempa bumi,
2. Penentuan struktur ruang kawasan rawan letusan gunung berapi dan
kawasan rawan gempa bumi, serta
3. Penentuan pola ruang kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan
rawan gempa bumi.

12 
 

Di dalam peraturan tersebut juga dijelaskan pendekatan penentuan pola
ruang pada kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa
bumi dilakukan melalui:
1. pendekatan kajian geologi;
2. pendekatan aspek fisik dan sosial ekonomi;
3. pendekatan tingkat risiko pada kawasan rawan letusan gunung berapi dan
kawasan rawan gempa bumi; dan
4. rekomendasi penentuan pola ruang sesuai dengan tipe kawasan rawan
bencana dan rekomendasi tipologi jenis kegiatan yang diperbolehkan
berdasarkan tingkat kerentanan.
Prinsip dasar penentuan pola ruang pada kawasan rawan letusan gunung berapi
dan kawasan rawan gempa bumi adalah:
1) Kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi
yang mempunyai fungsi lindung, kawasan tersebut mutlak dilindungi dan
dipertahankan sebagai kawasan lindung.
2) Kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi
yang tidak mempunyai fungsi lindung dapat dibudidayakan dengan kriteria
tertentu dan memberi peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkan
kawasan tersebut untuk kegiatan budi daya.
Arahan peraturan zonasi yang akan ditentukan diuraikan sebagai berikut :
a. Tipe A
Pada kawasan rawan gempa bumi tipe A untuk kawasan perkotaan dapat juga
dikembangkan kegiatan perdagangan dan perkantoran, permukiman, hutan
kota, pariwisata, serta industri dengan tingkat kerentanan rendah. Begitu pula
dengan kawasan rawan gempa bumi di perdesaan. Kegiatan pertanian,
perikanan, pertambangan rakyat, permukiman, perdagangan dan perkantoran,
perkebunan, dan kehutanan dapat dilakukan dengan syarat-syarat tingkat
kerentanan rendah.
b. Tipe B
Kawasan rawan gempa bumi tipologi B dapat dikembangkan untuk kegiatan
budi daya seperti pada kawasan rawan gempa bumi tipologi A namun harus
memenuhi syarat-syarat tingkat kerentanan sedang dan rendah.

13 
 

c. Tipe C
Kawasan rawan gempa bumi tipologi C juga dapat dikembangkan untuk
kegiatan budi daya seperti pada kawasan rawan gempa bumi tipologi A
maupun B, namun kegiatan pertambangan tidak boleh dilakukan pada kawasan
tipologi C. Syarat-syarat tingkat kerentanan yang harus dipenuhi pada kawasan
rawan gempa bumi tipologi ini adalah tingkat kerentanan sedang dan tinggi.
d. Tipe D
Pada kawasan rawan gempa bumi tipologi D tidak diperbolehkan
mengembangkan kegiatan budi daya mengingat tingkat kerawanan akibat
gempa dapat membahayakan. Namun kegiatan pariwisata (wisata sosiokultural
dan agro-kultural) masih dapat dikembangkan secara terbatas dengan ketentuan
bangunan tahan gempa dengan tingkat kerentanan sedang dan tinggi.
e. Tipe E
Kawasan rawan gempa bumi tipologi E tidak dapat dikembangkan untuk
kegiatan budidaya mengingat tingkat bahaya yang diakibatkan sangat tinggi.
Kawasan ini mutlak harus dilindungi.
f. Tipe F
Seperti pada kawasan rawan gempa bumi tipologi E, kawasan rawan gempa
bumi tipologi F juga tidak dapat dikembangkan untuk kegiatan budidaya
mengingat tingkat bahaya yang diakibatkan sangat tinggi. Untuk itu
penggunaan ruang diutamakan sebagai kawasan lindung.

2.5. Permukiman
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 1992 Pasal 1
disebutkan bahwa permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar
kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan
permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran
dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang
terstruktur.

14 
 

Di dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 4
Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman di sebutkan bahwa sarana yang
utama bagi berfungsinya suatu lingkungan permukiman adalah :
1. Jaringan jalan untuk mobilitas manusia dan angkutan barang, mencegah
perambatan kebakaran serta untuk menciptakan ruang dan bangunan yang
teratur.
2. Jaringan saluran pembuangan air limbah dan tempat pembuangan sampah
untuk
kesehatan lingkungan.
3. Jaringan saluran air hujan untuk pematusan (drainase) dan pencegahan
banjir setempat.
Ukuran permukiman terbagi menjadi enam yaitu permukiman tunggal
(satu rumah), permukiman kecil (2-20 rumah), permukiman kecil-sedang (sampai
dengan 500 penduduk), permukiman besar (2000-5000 penduduk), permukiman
sangat besar (lebih besar dari 5000 penduduk). Kerapatan permukiman diukur
berdasarkan

jarak

antar

rumah-rumah

sepanjang

jalan

sehingga

dapat

dikategorikan sangat jarang, jarang, rapat, sangat rapat, rapat-kompak. Tipe
permukiman dapat dibedakan menjadi tipe linear, tipe plaza, dan tipe permukiman
dengan pengaturan area atau streetplan (Van der Zee dalam Setiawan, 2008).
Menurut DeChiara dan Koppelman (1978), terdapat beberapa kondisi
yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan tapak untuk perumahan, yaitu
1. Kondisi tanah dan bawah tanah.
2. Air tanah dan drainase.
3. Keterbebasan dari banjir permukaan.
4. Kesesuaian penapakan bangunan yang akan direncanakan.
5. Kesesuaian untuk akses dan sirkulasi.
6. Kesesuaian untuk pembangunan ruang terbuka.
7. Keterbebasan dari bahaya kecelakaan.
8. Ketersediaan pelayanan saniter dan perlindungan.
9. Keterbebasan dari bahaya dan gangguan setempat.
 

BAB III
METODOLOGI
3.1. Lokasi dan Waktu
Studi dilakukan di kawasan yang terkena dampak dari gempa bumi yang
terjadi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada 2
September 2009. Kegiatan penelitian dilakukan selama 8 bulan mulai dari bulan
Juni 2010 hingga Januari 2011 pada lokasi seperti yang ditunjukan pada Gambar
2.
Kabupaten Bandung 
Jawa Barat 

Kecamatan Pangalengan
 

Gambar 2. Lokasi Studi (tanpa skala)
(Sumber : www.geospasial.bnpb.go.id)

16 
 

3.2 Metode
Proses perencanaan pada lokasi ini terdiri dari empat tahap yaitu tahap
persiapan, tahap inventarisasi, tahap analisis, dan tahap perencanaan.

3.2.1 Persiapan
Pada tahap ini dilakukan pembuatan rincian kegiatan penelitian, pengurusan
administrasi perizinan penelitian, penelusuran sumber data yang dibutuhkan, dan
persiapan kebutuhan alat dan bahan untuk penelitian.

3.2.2 Inventarisasi
Pada tahap ini dilakukan pengambilan data dan survey tapak. Pengambilan
data meliputi aspek fisik, biofisik, dan sosial (Tabel 2.)
Tabel 2. Jenis, Spesifikasi, dan Bentuk Data
Jenis Data
Data Umum
Peta tata ruang
Letak geografis dan
administratif tapak

Bentuk Data
Spasial
Atribut

Sumber Data




BAPPEDA
Bakosurtanal

Topografi dan
kemiringan
Iklim mikro
Geologi



Bakosurtanal

Penutupan lahan
Biota (vegetasi)
Data Sosial
Demografi
Aktifitas ekonomi
Tingkat
kesejahteraan
masyarakat
Ketergantungan
masyarakat
terhadap tapak









BMG
Dit. Geologi dan Tata
Lingkungan
Bak