Transmisi Dan Pembentukan Harga Cabe Merah Serta Perilaku Pasar Antar Lembaga Pemasaran Cabe Merah Di Indonesia

TRANSMISI DAN PEMBENTUKAN HARGA CABE MERAH
SERTA PERILAKU PASAR ANTAR LEMBAGA
PEMASARAN CABE MERAH DI INDONESIA

ELVINA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Transmisi dan Pembentukan
Harga Cabe Merah serta Perilaku Pasar antar Lembaga Pemasaran Cabe Merah di
Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, November 2016
Elvina
NIM H453130241

RINGKASAN
ELVINA. Transmisi dan Pembentukan Harga Cabe Merah serta Perilaku Pasar
antar Lembaga Pemasaran Cabe Merah di Indonesia. Dibimbing oleh
MUHAMMAD FIRDAUS dan ANNA FARIYANTI.
Cabe merah (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditi
hortikultura strategis dan bernilai ekonomi tinggi. Dari sisi makro cabe merah
terkenal sebagai salah satu komoditi penyumbang inflasi nasional sebagai akibat
dari tingginya fluktuasi harga cabe merah di sepanjang tahun. Fluktuasi harga
yang tinggi di tingkat lembaga pemasaran akan memberikan peluang bagi pelaku
pasar dalam memanipulasi harga. Hal ini dapat menyebabkan transmisi harga
pada lembaga pemasaran menjadi tidak sempurna dan menciptakan inefisiensi
pasar. Akibatnya, produsen tidak mendapat manfaat atas kenaikan harga di tingkat
konsumen dan konsumen tidak mendapat manfaat atas penurunan harga produsen.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis transmisi harga antar lembaga
pemasaran cabe merah, (2) menganalisis faktor pembentukan harga cabe merah

dengan memasukan variabel harga yang terintegrasi dan faktor lainnya, (3)
mengidentifikasi perilaku pasar lembaga pemasaran cabe merah dalam
pembentukan harga. Model penelitian yang digunakan untuk menganalisis
transmisi harga antar lembaga pemasaran cabe merah menggunakan pendekatan
model Asymmetric Error Correction Model (AECM). Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan harga cabe merah menggunakan model Error
Correction Model(ECM). Perilaku pasar dianalisis secara deskrtiptif serta dengan
pendekatan Game Theory. Data yang digunakan untuk analisis transmisi harga
dan faktor pembentukan harga adalah data sekunder time series mingguan dari
Januari 2012 sampai Oktober 2014 (136 minggu). Analisis perilaku pasar
menggunakan data primer dengan teknik snowball sampling. Sampel terdiri dari 4
orang petani, 2 pedagang pengumpul, 4 pedagang grosir dan 4 pedagang eceran.
Hasil pengujian kausalitas Granger menunjukkan transmisi harga pada
rantai pemasaran cabe merah terjadi secara satu arah yaitu dari grosir ke produsen,
grosir ke konsumen dan produsen ke konsumen. Berdasarkan hasil estimasi uji
asimetris transmisi harga model AECM menunjukkan bahwa pada ketiga
hubungan pasar tersebut terdapat perbedaan respon antara pasar pengikut dengan
pasar acuan. Akan tetapi, setelah dilakukan uji statistik dengan uji Wald
perbedaan respon pada ketiga hubungan pasar tersebut tidak terbukti secara
statistik. Berdasarkan hal tersebut, maka disimpulkan transmisi harga pada rantai

pemasaran cabe merah terjadi secara simetris dalam jangka panjang dan jangka
pendek. Perubahan harga di pasar acuan segera ditransmisikan ke pasar pengikut
dengan kecepatan yang sama. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa
dalam saluran pemasaran cabe merah tidak terdapat penyalahgunaan market
power.
Hasil analisis model jangka pendek pembentukan harga cabe merah di
tingkat produsen menunjukkan bahwa harga grosir merupakan faktor utama dalam
mempengaruhi harga produsen. Selanjutnya perubahan harga produsen
dipengaruhi oleh pasokan dan harga produsen periode sebelumnya, sedangkan
harga BBM tidak berpengaruh terhadap pembentukan harga di tingkat produsen.
Hasil analisis model jangka pendek faktor pembentukan harga di tingkat

konsumen menunjukkan bahwa variabel harga BBM mempunyai share yang
paling besar dalam mempengaruhi perubahan harga konsumen. Selanjutnya faktor
yang mempengaruhi perubahan harga konsumen dipengaruhi oleh perubahan
harga grosir, harga produsen dan jumlah pasokan cabe merah yang masuk di
pasar. Sementara, harga konsumen periode sebelumnya tidak berpengaruh
signifikan.
Struktur pasar dan karakteristik cabe merah mempengaruhi kemampuan
pelaku pasar dalam penetapan harga. Struktur pasar cabe merah yang mengarah

pada oligopsony di tingkat pedagang grosir memudahkan antara sesama pedagang
dalam berkoordinasi dan secara kolektif mempunyai market power dalam
menentukan harga di tingkat petani dan konsumen. Sementara itu, di tingkat
petani dan pedagang pengecer yang menghadapi pasar bersaing dalam menjual
cabe merah menyebabkan mereka tidak mempunyai market power dalam
mempengaruhi harga. Hal ini menyebabkan baik petani maupun pedagang
pengecer tidak dapat melakukan strategi setting harga dalam memaksimumkan
penerimaannya. Dalam memaksimumkan keuntungan bagi petani stategi yang
memungkinkan adalah memilih saluran pemasaran yang memberikan keuntungan
yang lebih besar. Maksimum keuntungan di tingkat pengecer adalah ketika
pedagang pengecer mengikuti harga yang berlaku sebagai stategi dominannya.
Kata kunci: cabe merah, fluktuasi harga, perilaku pasar,transmisi harga

SUMMARY
ELVINA. Price Transmission, Factors Forming the Price of Red Chili and Market
Conduct Betwen the Marketing Agencies of Red Chili in Indonesia. Supervised
by MUHAMMAD FIRDAUS and ANNA FARIYANTI.
Red chili (Capsicum annuum L.) is a strategic commodity with high
economic and horticultural value. From the macroeconomic point of view, red
chili is famous as one of the commodities that contributes to the national inflation

as a result of fluctuations in its price in the whole year. High price fluctuations in
the marketing chain will provide an opportunity for market participants to
manipulate prices. This can lead to the transmission of prices in the marketing
chain to be imperfect and create market inefficien. As a result, producers are not
benefiting from price increases at the consumer level and the consumers does not
benefit from the decline in producer prices.
The purposes of this study were to: (1) analyze the price transmission
between red chili marketing agencies, (2) analyze the factors forming the price of
red chili with the use of integrated price variables and other factors, (3) identify
market behavior of Red chili marketing chain in price formation. To analyze the
price transmission along the marketing chain of red chili, the research used the
Asymmetric Error Correction Model (AECM). The factors affecting the formation
of prices of red chili using a model Error Correction Model (ECM). The behavior
of markets analyzed with descriptive statistics and Game Theory approach.
Secondary Weekly time series data from January 2012 to October 2014 (136
weeks) was used for the analysis of price transmission and factor price formation
whereas the analysis of market behavior was done using primary data obtained
through snowball sampling technique. The sample consisted of four farmers, two
traders, four wholesalers and four retailers.
Granger causality test result shows the price transmission in the marketing

chain of red chili occurs in one direction, implying from wholesalers to producers,
wholesalers to consumers and producers to consumers. Based on the estimates
from asymmetric price transmission test, AECM model showed that there was a
difference in response along the three marketing levels. However, Wald test
showed that the different responses in all three market relationship are not
statistically significant. Based on the above, it was concluded that the price
transmission in the marketing chain of red chili occur symmetrically in the long
run and short run. Changes in the market price of the reference are immediately
transmitted to the market follower with the same speed. Based on this, it can be
said that in the marketing chain of red chili market there is no abuse of market
power.
The results of model analysis of short-term price formation of red chili at
the producer level showed that wholesale prices are a major factor in influencing
the price of the producer. Furthermore, changes in producer prices are affected by
supply and producer prices in the previous period, while fuel prices do not affect
the formation of prices at the producer level. The results of model analysis of
short-run factors in the formation of prices at the consumer level indicates that
the variable fuel prices have the greatest share in influencing changes in consumer

prices. Further factors affecting consumer price changes are influenced by

changes in wholesale prices, producer prices and the amount of red chili supply in
the market. Meanwhile, consumer prices of the previous period had no significant
effect.
Market structure and characteristics of red chili affect the ability of market
participants in pricing. Red chili market structure leads to oligopsony at
wholesaler level and enables fellow traders in coordinating and to collectively
have the market power to determine prices at the farm gate and the consumer level.
However, farmers and retailers are facing a competitive market in selling red chili
because they do not have the market power to influence prices. This makes it
difficult for both farmers and retailers to engage in price setting strategies to
maximize revenue. The strategy to maximize profits for farmers is choosing the
marketing channel that provides greater profit. The maximum profit at the retail
level is when retailers adhere to the prevailing market price as the dominant
strategy.
Keywords: market behavior, price fluctuations,price transmission, red chili

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

TRANSMISI DAN PEMBENTUKAN HARGA CABE MERAH
SERTA PERILAKU PASAR ANTAR LEMBAGA
PEMASARAN CABE MERAH DI INDONESIA

ELVINA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Ratna Winandi Asmarantaka, MS

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena
berkat karunia-Nya tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul
Transmisi dan Pembentukan Harga Cabe Merah serta Perilaku Pasar antar
Lembaga Pemasaran Cabe Merah di Indonesia. Penulis menghaturkan terima
kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi selaku ketua komisi pembimbing, dan
Dr Ir Anna Fariyanti, Msi selaku anggota komisi pembimbing yang selalu
meluangkan waktunya untuk memberikan koreksi dan masukan serta sebagai
sumber inspirasi bagi penulis dalam penyusunan tesis.
2. Dr Ir Ratna Winandi Asmarantaka, MS selaku penguji Luar Komisi dan Dr Alla
Asmara, MSi selaku penguji Wakil Komisi Program Studi atas semua
pertanyaan, masukan dan saran untuk perbaikan yang diberikan kepada penulis.
3. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan seluruh dosen Program

Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas segala ilmu yang telah diberikan selama
penulis menempuh pendidikan.
4. Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia atas dukungan beasiswa BPPDN pendidikan Program Magister di
IPB.
5. Ibu Ria dari Dinas Ketahan Pangan Provinsi Jawa Barat, Bpk Suminto dari
kantor PIKJ, dan Kepala beserta staf Ditjen Kementerian Perdagangan yang
telah membantu penulis dalam mengakses data.
6. Bapak Johan, Ibu Ina, Bapak Widi, Ibu Kokom, Bapak Erwin, Bapak Khusein,
selaku staf administrasi di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, yang telah
banyak membantu selama penulis menempuh pendidikan.
7. Seluruh anggota keluarga penulis, terutama orang tua: Ayahanda Djasman dan
Ibunda Harmida, mertua: Ayahanda Jasrial dan Ibunda Nemi Maharani, suami:
Antonov Dwi Darma, serta saudara penulis: Aidul Fadri, Mulyadi, Hasnul dan
Rima Fitriani atas doa dan dukungannya dalam hidup penulis.
8. Sahabat-sahabatdi Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan di luar Prodi
EPN yang telah berbagi ilmu, berdiskusi dan belajar bersama selama menimba
ilmu di IPB.
Penulis menyadari dalam penyusunan tesis ini masih terdapat kekurangan
yang merupakan tanggung jawab penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan

masukan yang dapat membangun penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini
bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, November 2016
Elvina

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

1
1
3
5
5
5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian

6
6
13
18
20

3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Data

21
21
21

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Produksi dan Harga Cabe Merah Indonesia
Transmisi Harga Cabe Merah Di Indonesia
Faktor Pembentukan Harga Cabe Merah
Perilaku Pasar Dalam Pemasaran Cabe Merah

26
26
29
37
42

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

50
50
50

DAFTAR PUSTAKA

52

LAMPIRAN

56

RIWAYAT HIDUP

67

DAFTAR TABEL

1 Deskripsi statistik harga cabe merah mingguan di tingkat produsen,
grosir, dan konsumen dari Januari 2012 sampai Oktober 2014
2 Hasil uji stasioneritas data
3 Hasil Johanssen Cointegration Test
4 Hasil Granger causality test
5 Hasil estimasi model asimetris transmisi harga pada saluran pemasaran
cabe merah
6 Hasil uji Wald model asimetris harga grosir dengan harga produsen
7 Hasil uji wald test pada model asimetris transmisi harga grosirkonsumen
8 Hasil uji wald test model asimetris transmisi harga harga produsen-harga
konsumen
9 Hasil estimasi faktor-fakor yang mempengaruhi pembentukan harga
cabe merah di tingkat produsen jangka pendek
10 Hasil estimasi faktor- faktor yang mempengaruhi pembentukan harga
cabe merah di tingkat produsen jangka panjang
11 Hasil estimasi faktor-fakor yang mempengaruhi pembentukan harga
cabe merah di tingkat konsumen dalam jangka pendek
12 Hasil estimasi faktor-fakor yang mempengaruhi pembentukan harga
konsumen cabe merah dalam jangka panjang
13 Matrik payoff sequential bargaining petani dengan pedagang pengumpul
14 Matriks gaming antar pengecer dalam menetapkan harga

29
29
30
31
32
33
35
35
38
39
40
41
47
49

DAFTAR GAMBAR
1 Perkembangan konsumsi cabe rumah tangga Indonesia 2009-2013
2 Perkembangan produksi dan luas panen cabe merah Indonesia 20092013
3 Jumlah pasokan cabe di PIKJ dan harga rata-rata cabe keriting di tingkat
produsen Jabar, grosir PIKJ, dan rata-rata DKI 2014
4 Hubungan respon penawaran terhadap harga sepanjang waktu
5 Kerangka pemikiran penelitian
6 Bargaining game petani dan pedagang pengumpul
7 Extensive form of a game pedagang pengecer
8 Kontribusi produksi cabe merah di beberapa provinsi sentra di Indonesia,
rata-rata tahun 2010-2014
9 Perkembangan produksi bulanan cabe merah di Indonesia 2012-2014
10 Perkembangan harga dan margin pemasaran cabe merah di sentra
produsen, grosir dan konsumen 2012-2014
11 Rantai pemasaran cabe merah di Indonesia
12 Sequential bargaining game petani dan pedagang pengumpul

2
2
2
9
20
25
26
27
27
28
42
46

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Hasil Uji Stationeritas Data pada Level dan First Difference
Hasil Uji Kointegrasi Analisis Transmisi
Hasil Uji Kausalitas
Hasil Estimasi Transmisi Harga Model AECM
Hasil Uji Kointegrasi Faktor Pembentukan Harga
Hasil Estimasi ECM Faktor Pembentukan Harga

57
59
60
61
63
65

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor pertanian mempunyai peranan yang strategis bagi perekonomian
Indonesia dengan kontribusi yang besar dalam pembentukan Produk Domestik
Bruto (PDB) Nasional. Munculnya transformasi ekonomi dan berkembangnya
sektor industri merupakan sinyal bagaimana kedepannya sektor ini semakin
penting untuk menunjang sektor ekonomi lain menjadi lebih kuat. Peran sektor
pertanian di samping sebagai penghasil pangan juga mempunyai multiplier effect
dengan sektor lainnya seperti pendukung sektor industri, penghasil devisa atas
ekspor produk pertanian, penghemat devisa atas substitusi impor, dan penyerap
tenaga kerja terutama di daerah pedesaan. Wilayah di Indonesia merupakan
wilayah potensial untuk lahan pertanian karena memiliki sumber daya lahan yang
cukup besar dan potensi alam yang berada di dataran rendah dan dataran tinggi
dengan kondisi cuaca dan curah hujan yang memadai. Tanaman cabe (capsicum
sp) merupakan salah satu komoditi hortikultura strategis yang menjadi unggulan
rakyat dan berperan penting dalam perekonomian.
Cabe merah (capsicum annum l.) dan cabe rawit (capsicumfrutescens)
dibutuhkan dalam konsumsi setiap hari dan tidak dapat ditinggalkan, karena
fungsinya sebagai bumbu utama masakan rumah tangga di Indonesia. Sehingga,
permintaan cabe cenderung stabil meski harganya sangat fluktuatif. Konsumsi
cabe rumah tangga yang dominan adalah cabe merah yang terdiri dari cabe merah
keriting dan cabe merah besar dengan tingkat konsumsi rata-rata 1.51
kg/kapita/tahun. Cabe rawit merupakan pilihan konsumsi kedua dengan rata-rata
konsumsi 1.27 kg/kapita/tahun. Konsumsi cabe merah dan cabe rawit dalam
sepuluh tahun belakangan berfluktuasi dan cenderung meningkat setiap tahunnya
(Gambar 1). Trend jumlah penduduk yang meningkat setiap tahun,
berkembangnya industri makanan dan rumah makan diprediksikan kedepannya
konsumsi cabe akan terus meningkat. Selain sebagai penyedap untuk berbagai
produk makanan olahan, akhir-akhir ini telah berkembang produk cabe olahan
menjadi sambal siap saji dan cabe bubuk (Pusdatin 2013).
Berdasarkan data Dirjen Hortikultura (2015) produksi cabe merah masuk
dalam empat besar produksi sayur bernilai tinggi setelah kubis, kentang, dan
bawang. Namun, luas area komoditas cabe merah merupakan yang tertinggi
dibanding komoditas sayuran lainnya. Kapasitas produksi dan produktivitas cabe
menunjukkan tren meningkat dengan luas panen yang berfluktuasi selama enam
tahun terakhir (Gambar 2). Pada tahun 2013 produksi cabe Indonesia mengalami
peningkatan 45 persen dibanding tahun 2008 dengan produktivitas mencapai 8.16
ton/ha. Produksi tanaman cabe merah hampir diusahakan oleh seluruh wilayah di
Indonesia kecuali Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta). Namun, dengan
keberadaan DKI Jakarta sebagai kota besar dengan jumlah penduduk yang relatif
besar menjadikan wilayah tersebut sebagai daerah tujuan pemasaran produksi
pertanian utama di Indonesia. Wilayah penghasil cabe merah utama Indonesia
adalah Provinsi Jawa Barat sebagai penghasil cabe merah terbesar, kemudian
diikuti berturut-turut oleh Provinsi Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Jawa Timur
dan wilayah lain dengan kapasitas produksi yang lebih kecil (Pusdatin 2013).

4.0

Cabe M erah

Cabe Hijau

Cabe Rawit

Tot al

1 200

Luas Panen (ha)

Produksi (ton)
130

1 000

125

3.5
3.0
2.5
2.0
1.5

800

120

600

115

400

110

200

105

luas panen (1 000 ha)

Produksi (1 000 t on)

kg/kapita/th

2

1.0
0.5
0.0

100

-

2008

2009

2010

2011

2012

2013

Sumber: Pusdatin 2013

2008

2009

2010

2011

2012

2013

Sumber: BPS 2013 dan Pusdatin 2013

Gambar 1 Perkembangan konsumsi Gambar 2 Perkembangan produksi dan
luas panen cabe merah
cabe
rumah
tangga
Indonesia 2009-2013
Indonesia 2009-2013
Dari sisi makro cabe merah terkenal sebagai salah satu komoditi
penyumbang inflasi sebagai akibat dari tingginya fluktuasi harga cabe merah di
sepanjang tahun (Pusdatin 2015). Dalam satu tahun perubahan harga baik pada
tingkat pasar produsen, grosir maupun pasar eceran bisa mencapai 100 persen
bahkan lebih. Pergerakan harga dan pasokan cabe merah dalam satu tahun dapat
dilihat pada Gambar 3. Sepanjang tahun 2014 jumlah pasokan cabe yang masuk
ke Pasar Induk Kramat Jati cenderung berfluktuasi dengan pasokan tertinggi
berada pada pertengahan tahun yaitu bulan Mei dan Juni dan terendah terjadi pada
bulan Maret, Oktober hingga Desembar. Saat pasokan tinggi harga cabe merah
mengalami penurunan terendah dan bergerak naik saat pasokan mengalami
penurunan
Pasokan (ton)
Harga Konsumen

Harga grosir
Harga Produsen

7 000

80 000
70 000

6 000

Produksi (ton)

90 000

60 000

5 000

50 000
4 000
40 000
3 000

Harga (Rp/kg)

8 000

30 000

2 000

20 000

1 000

10 000

-

Jan Feb M ar Apr M ei Jun

Jul

Ags Sep Okt Nov Des

Sumber: Disperta Jabar 2014, PIKJ 2014, Kemendag 2014

Gambar 3 Jumlah pasokan cabe di PIKJ dan harga rata-rata cabe keriting di
tingkat produsen Jabar, grosir PIKJ, dan rata-rata DKI 2014

3
Harga cabe merah pada awal bulan hingga pertengahan tahun 2014
mengalami penurunan signifikan hingga mencapai 60.4 persen di pasar konsumen
dan 86.7 persen di pasar produsen. Pada bulan Juli hingga akhir tahun harga cabe
merah kembali bergerak naik hingga mencapai 336.6 persen di tingkat pasar
konsumen dan 1695.9 persen di tingkat produsen (dari rata-rata Rp 2 941 di bulan
Juni menjadi Rp 52 816 di bulan Desember). Menurut teori harga, harga yang
berfluktuasi berpengaruh pada efisiensi alokasi sumber daya dan transmisi harga
pada pasar yang terintegrasi baik vertikal maupun spasial (Moghaddasi 2008).
Dalam mendukung pengembangan komoditas cabe merah perlu terciptanya
sistem pemasaran cabe merah yang efisien dan menguntungkan semua pihak.
Untuk itu, perlu pemahaman kompeherensif mengenai pergerakan dan transmisi
harga di sepanjang rantai pemasaran cabe merah, karena harga yang terbentuk
dapat dijadikan indikator dalam menilai efisiensi pasar. Pada pasar yang saling
terhubung secara vertikal harga di suatu pasar atau lembaga pemasaran selain
ditentukan oleh kondisi pasar seperti pasokan dan biaya pemasaran juga
dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga pemasaran lain (pasar acuan) secara
positif (Heytens 1986 dan Ravallion 1986). Ketika pasar berjalan secara efisien
harga di masing-masing tingkat lembaga pemasaran cabe merah dapat diprediksi
dengan mengamati kondisi di salah satu tingkat pasar terutama pasar acuan.
Sehingga dalam menjaga kestabilan harga, permasalahan fluktuasi harga cabe
merah dapat diatasi secara lebih efektif. Untuk itu perlu dikaji lebih lanjut
mengenai efisiensi pasar antarlembaga pemasaran cabe merah dan faktor yang
mempengaruhi pembentukan harga pasar cabe merah.

Rumusan Masalah
Permasalahan utama pengembangan cabe merah Indonesia adalah pola
produksi yang bersifat musiman, dengan sifat produk yang mudah rusak
(perishable) dan tidak tersedianya fasilitas penanganan pasca panen yang optimal.
Kondisi ini menuntut baik petani maupun pedagang untuk segera menjual hasil
produksi yang berlimpah saat musim panen dan tidak dapat dijadikan cadangan
persediaan saat terjadi kelangkaan pasokan. Menurut berbagai pihak kondisi ini
merupakan penyebab tingginya fluktuasi harga komoditi cabe merah di Indonesiai
disamping masih minimnya kebijakan pengendalian harga dari pemerintah.
Fluktuasi harga yang tinggi akan menyulitkan petani dalam berproduksi dan
menimbulkan disinsentif dalam berusaha. Bagi konsumen kenaikan harga yang
tinggi akan menyulitkan dalam memenuhi kebutuhan konsumsi. Fluktuasi harga
yang tinggi di tingkat lembaga pemasaran menurut Anindita (2004) akan
memberikan peluang bagi pelaku pasar khususnya yang mempunyai kekuatan
dalam mempengaruhi harga untuk memanipulasi harga. Ketika terjadi kenaikan
harga di tingkat hilir mereka berkesempatan untuk tidak segera meneruskan ke
tingkat hulu atau sebaliknya saat terjadi penurunan harga di hulu tidak segera
diteruskan ke tingkat hilir. Sehingga, hal tersebut dapat menyebabkan transmisi
harga antar lembaga pemasaran menjadi tidak sempurna dan menciptakan
inefisiensi pasar.
Sejalan dengan hal tersebut, Vavra dan Godwin (2005) juga mengemukakan
bahwa pedagang cenderung mempertahankan keuntungan dengan tidak ikut

4
menyesuaikan harga sesuai sinyal yang berlaku. Oleh sebab itu, pedagang
disinyalir turut berperan dalam menciptakan efisiensi atau tidaknya suatu pasar.
Terjadinya inefisiensi pasar menurut Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004)
mengindikasikan adanya market power yang biasanya terjadi akibat konsentrasi
pasar dalam suatu level pemasaran. Akibatnya produsen tidak mendapat manfaat
atas kenaikan harga di tingkat konsumen dan konsumen tidak mendapat manfaat
atas penurunan harga produsen
Berdasarkan grafik harga cabe merah di tingkat produsen, grosir, dan
konsumen (Gambar 3), pergerakan harga di ketiga pasar menunjukkan
kecenderungan pola pergerakan yang sama dengan tingkat fluktuasi yang berbeda.
Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien variasi harga produsen sebesar 46.9 persen,
grosir 43.6 persen, dan konsumen 31.6 persen. Nilai keragaman harga masingmasing pasar menunjukkan bahwa harga di tingkat produsen lebih berfluktuasi
dibanding di tingkat grosir dan eceran. Lebih tingginya fluktuasi harga di tingkat
produsen menurut Simatupang (1999) dalam Irawan (2007) dapat menimbulkan
tindakan kecurangan pedagang dalam mentransmisikan harga ke tingkat petani.
Akibatnya ketika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen tidak segera
diteruskan ke produsen. Berdasarkan hal tersebut dalam pemasaran cabe merah
ada kemungkinan transmisi harga berjalan secara asimetris. Namun demikian,
dalam memastikan bagaimana transmisi harga pada jalur pemasaran cabe merah
perlu dibuktikan secara statistik.
Penelitian mengenai integrasi pasar dan transmisi harga cabe merah di
Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya namun dengan hasil
dan kesimpulan yang berbeda. Firdaus dan Gunawan (2012) menganalisis
integrasi pasar produsen Jawa Barat dengan Pasar Induk Kramat Jati
menyimpulkan tidak terdapat integrasi antar pasar produsen Jawa Barat dengan
PIKJ. Jubaedah (2013) menganalisis integrasi antar PIKJ dengan harga produsen
sentra cabe merah di 23 provinsi (termasuk Jawa Barat) menyatakan terdapat
integrasi yang lemah antara pasar produsen Jawa Barat dengan PIKJ. Sahara dan
Wicaksena (2013) manganalisis transmisi harga cabe merah antara pasar produsen
dengan pasar konsumen di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur
menyimpulkan bahwa harga cabe merah telah tertransmisi secara simetris.
Sehubung adanya perbedaan penelitian tersebut, perlu dilakukan analisis transmisi
harga cabe merah lebih lanjut.
Berdasarkan teori ekonomi, perubahan harga pada pasar yang saling
terhubung secara vertikal, disebabkan oleh perubahan harga di tingkat pasar lain
(pasar acuan), biaya transportasi dan jumlah pasokan. Akan tetapi hasil penelitian
Prastowo et al. (2008) menyatakan bahwa biaya transportasi berpengaruh positif
terhadap harga cabe merah sedangkan pasokan tidak menunjukkan pengaruh yang
signifikan. Selain itu dari aspek operasional, perilaku partisipan di dalam suatu
pasar akan mempengaruhi pembentukan harga suatu pasar yang juga akan
mempengaruhi efisiensi suatu pasar. Sehingga perlu dilakukan analisis faktor
pembentukan harga serta perilaku pasar pada rantai pemasaran cabe merah.
Berdasarkan hal tersebut perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana transmisi harga antar lembaga pada jalur pemasaran cabe merah ?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pembentukan harga pada lembaga
pemasaran cabe merah?

5
3. Bagaimana perilaku pasar lembaga pemasaran cabe merah dalam pembentukan
harga?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah maka penelitian ini
bertujuan:
1. Menganalisis transmisi harga antar lembaga pada jalur pemasaran cabe merah.
2. Menganalisis faktor pembentukan harga pada lembaga pemasaran cabe merah
dengan memasukan variabel harga yang terintegrasi dan faktor lainnya.
3. Mengidentifikasi perilaku pasar lembaga pemasaran cabe merah dalam
pembentukan harga.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang
berkepentingan, antara lain sebagai :
1. Informasi dan bahan masukan bagi pembuat kebijakan terkait bidang
pengembangan pemasaran komoditi hortikultura khususnya dalam terciptanya
stabilitas harga, dan efisiensi pasar sayur khususnya yang mempunyai
karakteristik sejenis dengan komoditi cabe merah.
2. Menjadi literatur atau referensi pembanding bagi penelitian selanjutnya yang
terkait dengan pemasaran komoditas hortikultura.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Analisis dalam penelitian ini mencakup integrasi pasar dan transmisi harga
cabe merah pada tingkat lembaga pemasaran serta menganalisis faktor
pembentukan harga dari sisi integrasi pasar dengan memasukkan variabel pasokan
dan harga BBM sebagai proksi biaya transportasi. Harga cabe yang dianalisis
adalah harga cabe merah keriting pada tingkat pasar sentra produsen (Jawa Barat),
harga grosir di Pasar Induk Kramat Jati yang merupakan pasar sentral distribusi
komoditas pertanian utama di Indonesia dan harga konsumen di Daerah Khusus
Ibukota yang merupakan representasi konsumen terbesar di Indonesia. Sementara
harga cabe merah besar dianggap sama dengan harga cabe merah keriting karena
korelasi harga keduanya cukup tinggi. Perilaku pasar dalam penelitian ini
dikhususkan pada perilaku penetapan harga di tingkat petani, pedagang grosir dan
pedagang eceran.
Keterbatasan penelitian ini adalah tidak memasukkan aspek modal input
usaha tani dalam analisis pembentukan harga. Harga cabe merah impor juga tidak
dimasukkan dikarenakan ketersediaan data impor hanya dalam bulanan, sementara
penelitian ini menggunakan data mingguan.

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Efisiensi Pasar, Integrasi Pasar dan Tansmisi Harga
Integrasi pasar menunjukkan hubungan harga komoditas suatu pasar dengan
pasar lain. Heytens (1986) mengemukakan hubungan harga pada pasar yang
terintegrasi berkorelasi positif di sepanjang waktu, perubahan harga pada suatu
pasar akan direspon oleh pasar lain dengan pola perubahan yang sama. Pada
pasar yang terintegrasi perubahan harga di suatu pasar akan ditransmisikan secara
positif ke pasar lainnya, sehingga harga suatu komoditas pada setiap pasar atau
tingkat lembaga pemasaran hanya dibedakan oleh biaya distribusi dan margin
pemasaran. Dengan mengukur tingkat integrasi pasar dan transmisi harga dapat
dilihat efisiensi pasar atau bagaimana pasar bekerja secara spesifik (Ravallion
1986; Muwanga dan Snyder 1997; Meyer& von Cramon- Taubadel 2004).
Integrasi pasar dibedakan atas integrasi pasar vertikal dan horizontal.
Integrasi vertikal merupakan integrasi yang terjadi antara suatu lembaga
pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya dalam satu rantai pemasaran yang
sama. Dengan menganalisis integrasi vertikal dapat diketahui tingkat hubungan
antar lembaga yang telibat mulai dari harga di tingkat produsen, pedagang
perantara, hingga harga di tingkat konsumen. Suatu pasar dikatakan terintegrasi
secara vertikal apabila harga pada suatu lembaga pemasaran dapat
ditransformasikan ke lembaga pemasaran lain dalam satu rantai pemasaran.
Integrasi pasar horizontal menunjukkan hubungan antar pasar yang terpisah
secara georafis. Ravallion (1986) mensyaratkan terjadinya integrasi pasar spasial
jika antara dua wilayah saling melakukan perdagangan, dimana harga di wilayah
pengimpor akan sama dengan harga di wilayah pengekspor ditambah biaya
transportasi yang digunakan dalam penyaluran barang antara dua pasar tersebut.
Dibawah kondisi competitive market dan pasar yang terintegrasi secara parsial
harga pasar cenderung mengarah pada yang disebut law of one price. Ketika harga
di suatu wilayah dengan willing to pay yang lebih tinggi dan biaya transportasi
lebih kecil dibanding harga suatu komoditi, maka akan terjadi aliran barang dari
wilayah yang harga pasarnya lebih rendah. Konsep excess supply dan excess
demand serta adanya perbedaan harga harga antar wilayah yang melakukan
perdagangan ini juga dikemukakan oleh Tomek dan Robinson (1990) serta Dahl
dan Hammond (1977).
Goodwin (2006) mengaitkan integrasi pasar vertikal dan parsial dengan
struktur, perilaku dan keragaan suatu pasar. Rantai pemasaran dikatakan efisien
apabila pola perubahan harga pada suatu pasar ditransmikan ke pasar lainnya
secara selaras dan hanya dibedakan oleh biaya transaksinya. Transmisi harga
secara vertikal melihat bagaimana harga di suatu level pemasaran pada rantai
pemasaran yang sama di suatu wilayah melakukan penyesuaian terhadap
informasi dan perubahan harga di tingkat pemasaran lainnya. Transmisi spasial
melihat bagaimana harga pada pasar yang terpisah secara geografis melakukan
penyesuaian terhadap informasi dan perubahan harga harga di wilayah lain.
Tingkat transmisi harga dapat dijadikan informasi dalam menilai kinerja suatu
pasar dalam suatu rantai pemasaran. Dalam melakukan analisis transmisi harga

7
vertikal menurut Goodwin (2006) ada tiga aspek yang perlu diperhatikan yaitu
besarnya respon penyesuaian harga suatu pasar terhadap perubahan harga pada
pasar lainya, waktu penyesuaian terhadap lag harga, tingkat penyesuaian asimetris
(apakah shock positif ditransmisikan secara berbeda dengan shock negatif.
Sebelum Goodwin (2006), Meyer& von Cramon-Taubadel (2004) terlebih
dahulu telah mengklasifikasikan asimetri pada transmisi harga,”asymmetries in
price transmissionn” (APT) dalam tiga kriteria. Kriteria pertama mengacu pada
kecepatan, besaran (magnitude) atau kombinasi kecepatan dan penyesuaian harga.
APT dalam hal waktu penyesuaian terjadi apabila perubahan harga suatu pasar
tidak segera direspon oleh pasar lainnya. Sementara APT dari sisi besaran terjadi
apabila perubahan harga tidak ditransmisikan secara penuh oleh pasar lainnya.
Kriteria kedua, mengikuti kaidah Peltzman. Asymmetries in price transmissionn
(APT) dibagi atas APT positif dan APT negatif. APT positif terjadi apabila respon
harga suatu pasar lebih cepat dan atau lebih sempurna pada saat harga pasar lain
mengalami kenaikan dibanding penurunannya. Sebaliknya APT negatif terjadi
apabila penurunan harga direspon lebih besar atau lebih cepat dibanding
kenaikannya. Kriteria ketiga, transmisi harga tidak simetris secara vertikal
ataupun spasial. APT secara vertikal terjadi pada tingkat pasar dalam satu rantai
pemasaran misalnya perubahan harga di tingkat petani ditransmisikan secara
berbeda ke pedagang pengecer baik dari sisi besaran, kecepatan maupun
perubahan kenaikan dan penurunan harga. Sedangkan secara parsial terjadi antar
pasar yang berbeda secara geografis.
Asmarantaka (2012) mengaitkan integrasi pasar dengan efisiensi harga
dalam sistem pemasaran. Efisiensi harga salah satunya tercapai jika terdapat
koordinasi aktivitas lembaga-lembaga pemasaran. Dalam kasus pasar produk
pertanian seperti halnya pasar cabe merah dikatakan efisien apabila perubahan
baik kenaikan maupun penurunan harga di salah satu tingkat pasar (misalnya
pasar konsumen) diikuti oleh tingkat pasar lainnya (misalnya di tingkat petani)
dengan pola yang sama. Ketika harga tidak tertransmisi sempurna maka,
perubahan atau peningkatan harga pada tingkat petani terjadi lebih lebih lambat
dibandingkan peningkatan harga di tingkat konsumen. Tidak terciptanya transmisi
harga secara simetris (asymmetries in price transmission) antar pasar yang
terhubung menurut Vavra dan Goodwin (2005) disebabkan oleh adanya perilaku
tidak kompetitif (market power) pada pedagang, terutama pada pasar yang
terkonsentrasi. Transmisi harga asimetris menurut Bailey dan Brorsen (1989) juga
disebabkan oleh adanya ekspektasi dan keyakinan antar pelaku pasar terhadap
respon pelaku pasar lain atas perubahan harga. Selain itu, terjadinya transmisi
harga yang tidak simetris menurut Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004) juga
disebabkan oleh adanya adjustment cost (biaya penyesuaian) yang tinggi. Biaya
penyesuaian merupakan biaya yang muncul ketika suatu perusahaan merubah
output produksi atau merubah harga produknya. Adanya intervensi pemerintah
menurut Vavra dan Goodwin (2005) juga dapat menimbulkan transmisi harga
yang asimetris.
Menurut Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004), pengujian asimetris pada
transmisi harga secara empiris pertama kali dikenalkan oleh Farell tahun 1952.
Model tersebut digunakan dalam mengestimasi fungsi permintaan yang tidak
dapat dirobah “irreversible demand functions”. Tweeten dan Quance tahun 1969
mengembangkan model tersebut dengan menggunakan teknik variabel dummy

8
dalam mengestimasi fungsi penawaran produk pertanian yang tidak dapat dirobah
“irreversible supply functions”. Model tersebut memisahkan antara variabel
kenaikan harga input dengan penurunannya. Hipotesis asimetri ditolak jika kedua
koefisien berbeda signifikan. Pada 1971 Wolffram mengembangkan teknik
pemisahan variabel dengan memasukkan “firs differences” dalam estimasi
persamaan. Selanjutnya, model Wolffram dikembangkan lagi oleh Houck tahun
1977 dan dikembangkan lagi oleh Ward pada tahun 1982 dengan memasukkan lag
dari variabel eksogen.
Dalam perkembangan analisis transmisi harga selanjutnya Boyd dan
Brorsen (1988) pertama kali menggunakan lag untuk memisahkan transmisi
berdasarkan waktu dan besaran penyesuaian. Selanjutnya, Von Cramon-Taubadel
dan Fahlbusch (1994) pertama kali menggunakan pendekatan kointegrasi
menggunakan model error correction model (ECM). Model ini awalnya
digunakan dalam menganalisis APT vertikal antara pasar babi produsen dan grosir
di wilayah Jerman Utara. Selanjutnya, Von Cramon-Taubadel dan Loy (1996)
dalam menganalisis kasus spasial pasar gandum dunia mengembangkan lagi
model sebelumnya. Model tersebut memisahkan antara shock positif dan shock
negatif pada error corection term serta shock positif dan negatif variabel
Independent.
Faktor Pembentukan Harga Pasar
Harga suatu komoditas mempunyai peranan penting dalam kegiatan
ekonomi, yaitu menyangkut keputusan berproduksi bagi produsen dan keputusan
konsumsi bagi konsumen. Tomek dan Robinson (1990) menyatakan bahwa harga
yang menarik mempengaruhi tingkah laku produsen untuk berproduksi lebih
banyak, sedangkan konsumen akan menanggapi perubahan harga dengan merubah
kecenderungan konsumsinya. Selanjutnya, pola perilaku produsen dan konsumen
juga akan berpengaruh terhadap pembentukan harga. Menurut Meyer dan von
Cramon- Taubadel (2004) selain dalam pertimbangan keputusan output harga juga
berperan penting dalam hal alokasi sumber daya ekonomi, mendorong transmisi
harga dan integasi pasar baik vertikal maupun horizontal.
Proses penentuan harga telah dikemukakan oleh Tomek dan Robinson
(1990), Dahl dan Hammon (1977) serta Kohl dan Uhl (2002). Menurut para ahli
tersebut, harga terbentuk melalui dua cara yaitu secara teori ekonomi (price
determination) dan aspek operasional (price discovery). Secara teori ekonomi
pembentukan harga suatu komoditas dalam pasar bersaing adalah interaksi antara
permintaan (demand) dan penawaran (supply) di pasar. Saat jumlah penawaran
melebihi permintaan harga akan bergerak turun, sebaliknya harga akan naik saat
permintaan lebih besar dibanding penawarannya. Perubahan keseimbangan antara
permintaan dan penawaran akan menyebabkan terjadinya fluktuasi harga suatu
komoditas. Selain itu, bentuk penentuan harga secara teori ekonomi juga
tergantung pada stuktur pasar yang berlaku apakah berupa pasar bersaing seperti
monopolistik atau mendekati monopoli dan oligopoli.
Faktor yang mempengaruhi permintaan secara umum adalah harga produk
itu sendiri, jumlah penduduk, pendapatan, selera dan preferensi konsumen, serta
harga dan ketersediaan barang lain. Peningkatan harga secara relatif akan
menurunkan jumlah barang yang diminta, sedangkan jumlah penduduk dan
pendapatan berhubungan positif terhadap permintaan dengan asumsi selera dan

9
preferensi konsumen tetap. Pada komoditi pertanian persentase peningkaan
permintaan akibat kenaikan pendapatan relatif lebih kecil dibanding kenaikan
permintaan. Sedangkan perubahan selera dan preferensi akan menggeser
permintaan ke kiri ataupun ke kanan tergantung pada jenis barang yang
dikonsumsi, apakah barang normal, inferior atau superior.
Menurut Tomek dan Robinson (1990) antara permintaan, penawaran dan
harga pada komoditas pertanian saling mempengaruhi satu sama lain. Perubahan
harga pada produk pertanian lebih disebabkan oleh sisi penawaran, produksi yang
bersifat musiman sangat berpengaruh terhadap fluktuasi perubahan harga.
Hubungan harga dan produksi dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan Gambar
4 dapat dilihat dalam jangka yang sangat pendek kurva penawaran merupakan
garis vertikal. Penawaran tidak responsif terhadap harga karena petani tidak dapat
menaikkan atau menurunkan kapasitas produksi dengan seketika hingga musim
panen selanjutnya. Dalam jangka pendek petani dapat menyesuaikan perubahan
harga dengan merubah pola produksi. Dalam jangka panjang penawaran lebih
responsif terhadap harga yang terbentuk dibanding jangka pendek, karena petani
dapat menyesuaikan produksinya pada tingkat harga yang berlaku.
very short run

time

Price per unit

Short run

Long run

0

Quantity per unit time

Sumber:Tomek dan Robinson 1990

Gambar 4 Hubungan respon penawaran terhadap harga sepanjang waktu
Mekanisme pembentukan harga pada aspek operasional (Price discovery)
merupakan human process dimana penjual dan pembeli di suatu tempat berperan
dalam mempengaruhi pembentukan harga melalui:
1. Negosiasi individu (individual, decentralized negotiation), harga yang
terbentuk melalui kegiatan tawar-menawar partisipan pasar. Pembentukan
harga yang adil tergantung pada informasi, trading skill, dan kekuatan tawar
menawar pembeli dan penjual.
2. Pasar yang terorganisir, misalnya pasar sentral merepresentasikan seluruh
penjual dan pembeli suatu pasar. Di sini harga menjadi lebih efisien karena
biaya transaksi pemasaran menjadi lebih kecil.

10
3. Penentuan harga secara kolektif (kelompok), pelaku pasar membuat kelompok
untuk meningkatkan bargaining power agar mendapatkan harga yang lebih
tinggi sebagai dampak dari ketidakpuasan terhadap harga dalam pasar bersaing.
4. Harga terkelola (administered price), harga ditentukan secara sepihak oleh
penjual, agen atau pemerintah, harga ditentukan berdasarkan formula pricing
atau mark-up pricing.
Chen dan Hu (2013) membagi penyebab fluktuasi harga sayuran
berdasarkan perspektif supply chain yaitu dari sisi produsen dan sisi pemasaran.
Dari sisi produsen, fluktuasi harga disebabkan karena tidak adanya organisasi
petani yang dapat mengakomodir kegiatan petani dalam berproduksi. Petani pada
umumya kurang memiliki informasi mengenai jumlah produksi dan pola tanam,
sehingga keputusan menanam mengenai apa dan berapa yang akan ditanam
biasanya hanya berdasarkan perkiraan dan pengalaman tahun lalu. Keberhasilan
panen yang cenderung dipengaruhi faktor cuaca dan iklim juga menyebabkan
penawaran produksi yang sulit dikontrol. Saat ketersediaan produk sedikit harga
akan bergerak naik, sebaliknya saat terjadi musim panen harga akan bergerak ke
tingkat yang lebih rendah dan petani tidak punya posisi tawar (bargaining power)
dalam menaikkan harga produksi.
Dalam rangka aliran distribusi produk dari petani ke pasar, para distributor
membutuhkan berbagai macam biaya distribusi seperti ongkos transportai,
penyimpanan, pengemasan dan biaya tenaga kerja. Gangguan distribusi akan
memperbesar transaction cost dan menyebabkan fluktuasi harga yang lebih besar
sehingga harga yang diterima pedagang grosir maupun eceran menjadi lebih besar.
Fluktuasi harga juga disebabkan adanya kendala logistik dalam penyimpanan
produk. Sisa produk yang tidak habis terjual dan sifatnya yang mudah rusak akan
membutuhkan biaya penyimpanan yang besar, sehingga akan mempengaruhi
perilaku pedagang dalam menjual produk.
Blein dan Longo (2009) juga menyatakan volatilitas harga pangan lebih
disebabkan oleh faktor supply side yaitu adanya perubahan volume penawaran
akibat ketergantungan produksi yang tinggi terhadap iklim dan cuaca, minimnya
infrasruktur di sepanjang rantai pemasaran baik secara vertikal maupun horizontal
yang menghambat terjadi perdagangan antara wilayah, dan tidak terintegrasinya
pasar secara baik. Hal ini mengindikasikan bahwa infrastruktur seperti jalan dan
sarana transportasi berpengaruh kuat terhadap pembentukan harga komoditas.
Sarana transportasi yang memadai akan mendukung kelancaran aliran barang
sehingga harga menjadi lebih stabil. Sebaliknya hambatan sarana transportasi
menyebabkan tingginya harga yang harus dibayar konsumen.
Perilaku Pasar (Market Conduct)
Perilaku pasar atau market conduct adalah perilaku pelaku pasar dalam
suatu rantai pemasaran terkait strategi yang diambil untuk memaksimumkan
keuntungan usaha. Menurut Asmarantaka (2012) perilaku pasar merupakan
perilaku partisipan (penjual dan pembeli) baik secara individu atau kelompok
dalam menghadapi partisipan lainnya baik pesaing ataupun mitra dalam rangka
mencapai tujuan pemasaran dalam stuktur pasar tertentu. Perilaku pasar dapat
dilihat dari integrasi pasar baik vertikal maupun horizontal.
Bosena et al. (2011) mengaitkan analisis perilaku pasar terhadap hubungan
antara pembeli dan penjual. Perilaku pasar dapat meliputi kegiatan jual beli,

11
penentuan sumber produk, pembentukan kelompok dalam rangka meningkatkan
posisi tawar baik secara formal dan non formal, pemilihan saluran pemasaran
serta perilaku penetapan harga. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatan bahwa
konsep perilaku pasar menyangkut penyesuaian tingkah laku atau strategi pelaku
pasar dalam menghadapi keadaan pasar. Strategi yang diambil pelaku pasar
menurut Dahl dan Hammond (1977) tergantung pada stuktur pasar dan
berpengaruh terhadap pembentukan harga yang selanjutnya akan berpengaruh
terhadap keragaan (performance) suatu pasar.
Struktur pasar ditentukan oleh ada tidaknya hambatan untuk keluar masuk
pasar, jumlah pelaku atau agen yang beroperasi di pasar, dan karakteristik
komoditas yang diperdagangkan. Menurut Bappenas (2013) bentuk struktur pasar
cabe merah adalah oligopolistik. Dalam pasar oligopolistik harga produk
ditentukan oleh segelintir pemain (beberapa perusahaan besar). Prastowo et al.
(2008) mengemukakan bahwa struktur pasar di level petani biasanya berada pada
kondisi pasar persaingan sempurna, terutama pada saat panen raya. Homogenitas
dan melimpahnya produksi membuat petani tidak punya bargaining position
untuk menentukan harga. Sementara itu, struktur pasar di tingkat pedagang
perantara cenderung bersifat oligopoli dan sering membentuk sebuah kartel dalam
kesepakatan harga pasar. Hal tersebut menyebabkan pedagang perantara
mempunyai kekuatan dalam mempengaruhi pembentukan harga (Howe 1992;
Prastowo et al. 2008).
Berperannya pedagang dan pedagang perantara dalam pembentukan harga
juga dikemukakan oleh Vavra dan Goodwin (2005). Pedagang yang rasional
bersifat profit oriented dan akan senantiasa memaksimalkan keuntungan (profit
maximization) dalam setiap kegiatan ekonominya. Perilaku mereka dalam
menanggapi perubahan harga menurut Vavra dan Goodwin (2005) cenderung
bersifat tidak simetris yang menyebabkan competition restrain pada jalur
distribusi, sehingga perubahan harga tidak tertransmisi dengan sempurna.
Pedagang berusaha mempertahankan tingkat keuntungan dengan tidak menaik
atau menurunkan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya dan lebih
cepat bereaksi saat terjadi kenaikan harga dibanding penurunan harga.
Struktur pasar di tingkat pengecer umumnya mengarah pada pasar bersaing.
Menurut Howe (1992) dalam menjalankan aktivitas bisnis pedagang pengecer
menghadapi tiga arah persaiangan (three principal directons) yaitu horizontal
competition, intertype competition dan vertikal competition. Horizontal
competition terjadi antara sesama pedagang eceran, pedagang eceran yang baru
masuk (new entrants), dan pedagang grosir yang yang bertindak menjual
barangnya pada konsumen bebas. Sedangkan vertikal competition terjadi antara
pedagang dengan tingkat yang berbeda seperti antara retailer dengan pemasok
(suppliers) dan pedagang grosir (wholesaler). Sedangkan intertype competition
merupakan persaingan antar metode distribusi yang berbeda. Perilaku masingmasing pesaing akan menentukan perilaku retailer dalam menjalankan strategi
bisnisnya yang juga akan berpengaruh dalam pembentukan harga di tingkat
konsumen.
Game Theory (Teori Permainan) dalam Analisis Perilaku Pasar
Untuk mengidentifikasi perilaku pasar atau lembaga pemasaran cabe merah
dapat digunakan studi pengambilan keputusan optimal yang dikenal dengan teori

12
permainan (game theory), dengan teori ini dapat digambarkan perilaku pasar
dalam situasi yang kompetitif dan memberikan solusi optimal dalam mengambil
keputusan strategis. Teori permainan (game theori) dapat membantu para pelaku
ekonomi membuat keputusan strategis dalam upaya memaksimumkan utilitasnya
(Juanda 2009). Nicholson (1999); Gibbons (1992) mengemukakan bahwa
gametheory adalah sebuah studi terhadap interaksi antara pelaku ekonomi dalam
mengambil keputusan strategis yang berakibat payoff bagi masing-masing pemain
dengan mempertimbangkan setiap tindakan dan respon pemain lainnya.
Teori permainan dalam aktivitas ekonomi dapat bersifat kooperatif dan
nonkooperatif. Dalam permainan kooperatif, pemain dapat merencanakan suatu
strategi secara bersama atau membuat koalisi antara sesama pemain, sehingga
memungkinkan adanya kesepakatan atau kontrak yang mengikat. Akan tetapi
dalam permainan nonkooperatif tidak memungkinkan adanya negosiasi dan
kontrak yang mengikat antara pemain. Suatu pemain pada permainan
nonkooperatif akan memperhitungkan perkiraan tingkah laku pemain lain dalam
menetapkan strateginya (Pindyck dan Rubinfeld 2005).
Henderson dan Quandt (1971) menyatakan, berdasarkan hasil permainan
game theory dibedakan at